Anda di halaman 1dari 46

TUGAS KULIAH

HUKUM TATA NEGARA RESUME SILABUS KE -13


SAMPAI KE-24 SERTA ESSAY DARI HAL 11- 14

DISUSUN OLEH :

IVANDRO ELPASYA
1910113141

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Intizham Jamil, SH, MS.
NIP. 195611041984031004

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
SILABUS KE-13 DAN 14 TENTANG HUKUM TATA NEGARA DARURAT

HUKUM TATA NEGARA DARURAT

A. PENGERTIAN HUKUM TATA NEGARA DARURAT

Hukum tata negara darurat (HTND) mungkin belum akrab ditelinga masyarakat luas. Hukum
tata negara darurat bagi sebagian dari sistem hukum bernegara. Hukum tata negara (HTN) adalah
bidang hukum yang jarang dipahami orang. Padahal tata negara dalam keadaan bahaya bisa
disalahgunakan penguasa. Dalam sebuah pemerintahan kadangkala terjadi sebuah keadaan yang
tidak dapat diprediksi dan bersifat mendadak. Keadaan demikian sering menimbulkan keadaan
darurat. Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan yang tidak dapat
diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum yang ada terkadang tidak
berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan perangkat aturan hukum tertentu yang
dapat melakukan pengaturan dalam keadaan darurat.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukum tata negara darurat kita harus mengetahui
definisinya , Menurut ahli
. Herman sihombing, merupakan hukum tata negara (HTN) dalam keadaan bahaya, yakni
sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu
sesingkat-singkatnya dalam menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam,
kedalam kehidupan biasa menurut undang-undang dan hukum yang umum dan biasa.

Sedangkan menurut

Jimly asshiddiqie, mengemukakan tentang hukum tata negara darurat sebagai berikut:“oleh
karena itu, didunia akademis, khususnya hukum tata negara perlu dibedakan antara HTN negara
yang berlaku dalam keadaan biasa atau normal dan HTN yang berlaku dalam keadaan luar biasa
atau tidak normal. HTN inilah yang kita namakan hukum negara darurat.

Dalam praktik, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa ( ordinary condition ) atau
normal ( normal condition ), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal/
abnormal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tersendiri sehingga fungsi-fungsi
negara dapat terus bekerja secara efektif dalam kedaan yang tidak normal tersebut.

Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan konstitusi dan produk
hukum lain yang resmi. Dalam keadaan tidak normal/abnormal sistem hukum tersebut dapat
berfungsi dengan baik. Maka pengaturan keadaan darurat mempunyai arti penting bagi tindakan
guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada keadaan abnormal (darurat) pranata hukum
yang diciptakan untuk keadaan normal tidak dapat bekerja .
Hukum tata negara darurat (staatsnoodrecht) dibagi menjadi dua macam yaitu:
. HTND Subjektif (staatsnoodrecht subjectip), yaitu hak negara dalam keadaan darurat untuk
bertindak dengan dapat menyimpang dari undang-undang dan jika diperlukan dapat juga
menyimpang dari UUD. Dasar hukum dari HTND Subjektif adalah hukum hak asasi atau hak
asasi manusia. Tujuan dari HTND Subjektif adalah untuk secepatnya dapat melindungi hak asasi
manusia masyarakat yang terancam karena keadaan bahaya. HTND Subjektif merupakan hukum
yang tidak tertulis tetapi diakui disemua negara didunia.

· HTND Objektif (staatsnoodrecht objetip), yaitu hukum yang berlaku semasa negara berada
dalam keadaan darurat. HTND Objektif dasarnya adalah undang-undang yang tertulis.

Lahirnya HTN objektif adalah dikarenakan berkembangnya ajaran tentang Negara hukum dalam
arti formil. Dimana dalam ajaran Negara hukum dalam arti formil dikatakan ciri-ciri Negara
hukum adalah :

· Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM

· Adanya pembagian kekuasaan (trias politica)

· Pemerintahan harus berdasarkan undan undang tertulis (asas legalitas).

· Adanya pengadilan administrasi.

· Karena adanya ciri Negara hukum yang menyatakan bahwa pemerintahan harus berdasarkan
undang-undang tertulis, maka untuk mengatasi keadaan bahaya perlu di buatkan suatu Undang-
undang tentang keadaan bahaya.

B. PERKEMBANGAN HUKUM TATA NEGARA DARURAT DI INDONESIA


Untuk di Indonesia, setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959, konstitusi Indonesia
kembali ke UUD 1945. Dalam pasal 22 UUD 1945 dapat dibentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang dalam keadaan bahaya, dan salah satunya Peraturan pemerintah yang
dibuat adalah Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang No.23 tahun 1959 tentang
keadaan bahaya.
Hubungan antara HTND Subjectif dan HTND Positif adalah bahwa HTND Positif bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang para penguasa yang sedang
melakukan upaya-upaya untuk melindungi hak asasi masyarakat yang terancam karena keadaan
bahaya (hukum HTND Subjektif). HTND Positif lahir sebagai akibat adanya paham Negara
hukum formil.
Setelah adanya HTND Positif yang mengharuskan adanya Undang-undang yang mengatur
keadaan bahaya, ternyata HTND Subjektif yang merupakan hukum tidak tertulis masih tetap
diperlukan dan diakui di Negara-negara di dunia. Hal itu dikarenakan dalam keadaan bahaya,
penguasa jika diperlukan dapat menyimpang dari UUD. Dan untuk diketahui bahwa semua UUD
dari suatu Negara terdiri dari :
· Bill of right, yang mengenai hak-hak asasi.

· Frame of Government, yang mengenai organisasi/rangka Negara.

HTND Objektif hanya memungkinkan penguasa untuk melanggar hak-hak dasar (bill of right)
tetapi tidak dapat melanggar frame of Government. Sedangkan HTND Subjektif memberi
kewenangan kepada penguasa yang tertinggi untuk melanggar frame of Government, dan hal itu
diakui dinegara manapun.

HTND adalah hukum yang berlaku saat Negara dalam keadaan bahaya atau darurat. HTND
adalah sebagai hukum positif di Indonesia. Dasar hukumnya adalah pasal 12 UUD 1945 dan
pasal 22 UUD 1945. Funsi dari HTND positif adalah

· Menentukan bila mana dan seberapa jauh atau sampai dimana para penguasa dapat melakukan
tindakan-tindakan yang menyampingkan hak-hak asasi yang telah ada pengakuannya dalam
UUD, UU lain atau hukum tak tertulis.

· Menentukan penguasa-penguasa yang mempunyai wewenang untuk apabila perlu dapat


melakukan tindakan-tindakan yang menyampingkan hak asasi.

· menetapkan cara-cara dan lain sebagainya yang menjamin penunjukan penguasa itu secara
seksama-seksamanya, dengan mempertimbangkan syarat-syarat yang diperlukan untuk
menunjuk penguasa itu, dihubungkan dengan wewenang-wewenang yang nanti diberikan
kepadanya.

· menjamin adanya pengawasan yang keras dan teliti terhadap para penguasa, serta menjamn
adanya tindakan-tindakan represif terhadap pejabat-pejabat yang menyalah gunakan wewenang
yang diberikan kepadanya.

Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan tentang klasifikasi HTN yang disampaikan oleh
Herman Sihombing sebagai berikut: “oleh para sarjana, HTND dalam arti „noodstaatrecht‟ itu
kadang-kadang dibedakan dari pengertian HTND dalam dalam arti „noodstaatrecht‟.

Namun Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa istilah hukum tata negara darurat (HTND) itu
dipakai sebagai terjemahan perkataan staatnoodrecht yang membahas mengenai HTND dan
negara dalam keadaan bahaya (nood). Oleh karena itu kita harus membedakan antara
„staatnoodrecht‟ dan „noodstaatrecht‟.

Perkataan „nood‟ dalam „staatsnoodrecht‟ merunjuk pada keadaan HTND sedangkan „nood‟
dalam „staatrecht‟ menunjuk kepada pengertian keadaan hukumnya yang bersifat darurat.

Peraturan tersebut tidak dilakukan secara tegas sehingga sulit mengetahui apakah suatu peristiwa
dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat. UU prp No. 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya
membagi keadaan darurat menjadi tiga yaitu: darurat sipil, darurat militer, darurat perang.
Dimana undang-undang tersebut mengatur tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat:

Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah indonesia terancam
oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan
tidak dapat diatasi oleh kelengkapan negara secara biasa. Timbul terjadinya perang atau bahaya
perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah republik indonesia. Keputusan pemberlakuan
keadaan darurat dilakukan oleh presiden melalui peraturan presiden (Perpres). Hal in
berdasarkan UU no.10 tahun 2004 tenteng pembentukan peraturan perundang-undangan.

C. ASAS DALAM PEMBERLAKUAN KEADAAN DARURAT


· . Asas proklamasi

Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat. Bila
keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil oleh pemerintah
tidak mendapat keabsahan.

· . Asas legalitas

Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara negara dalam keadaan
darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik hukum nasional maupun
hukum internasional.

· . Asas komunitas

Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengomunikasikan keadaan tersebut kepada
seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga harus memberitahukan kepada
negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan melalui perwakilan negara bersangkutan dan
kepada pelapor khusus PBB “ special rapporteur on state of emergency”

· . Asas kesementaraan

Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu pemberlakuan
keadaan darurat. Hal ini dikarnakan karena negara dalam keadaan darurat dapat mencederai hak
dasar warga negara. Sehingga pemberlakukan keadaan darurat harus jelas mengenai awal
pemberlakuan dan waktu berakhirnya.

· . Asas keistimewaan ancaman

Krisis yang menimbulkan keadaan darurat harus benar-benar terjadi atau minimal mengandung
potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang ada haruslah bersifat istimewa
tersebutkarena menimbulkan ancaman terhadap nyawa, fisik, harta-benda, kedaulatan,
kedaulatan, keselamatan dan eksistensi negara, atau perikehidupan bersama dalam sebuah
negara.
· . Asas proporsionalitas

Tujuan pemberlakuan keadaan darurat terhadap adalah agar negar dapat mengembalikan dalam
kedaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang diambil haruslah tepat
sesuai dengan gejala terjadi. jangan sampai negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan
cenderung berlebihan.

· . Asas intangbility

Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh
membubarkan organ pendampingannya yakni legislatif maupun yudikatif.

· . Asas pengawasan

Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi prinsip negar
hukum dan demokarasi. Parlemen harus mengawasi jalannya keadaan darurat tidak mengurangi
kewenangan mengawasi kebijaakan yang diambil pemerintah.

Jadi didalam kedaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi manusia. Tetapi
negara tidak boleh mengurangi sedikitpun hak asasi manusia diantara yakni:

1. Hak untuk hidup

2. Hak untuk tidak disiksa

3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani

4. Hak beragama

5. Hak untuk tidak diperbudak

6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum

7. Hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Maka dari itu, hukum tata negara darurat menjadi penting karena terkait dengan pelanggaran hak
dasar warga negara yang mungkin terjadi dalam keadaan darurat tersebut. Keadaan darurat
membolehkan apa yang tidak dibolehkan atau yang dilarang sebagaimana istilah “onrecht word
rech”, yang awalnya tidak boleh menjadi boleh. Kata darurat berasal dari dari bahasa Arab yakni
“dhorurot” yang berarti keadaan mendesak.
SILABUS KE-15 DAN 16 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT
AMANDEMEN UUD 1945

A. PROSES AMANDEMEN

Gerakan reformasi yang bergulir pada tahun 1997 – 1998 menuntut reformasi
konstitusional (constitutional reform) karena berpandangan bahwa UUD 1945 “sebelum”
reformasi dipandang tidak cukup mampu untuk mengatur dan menata penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rezim Orde Baru ditumbangkan dan era reformasi dimulai. Tuntutan kaum reformis adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good and clean governance),
demokrasi agar ditegakkan, hak-hak asasi manusia harus dihormati, aparatur korup harus
ditindak, kolusi dan nepotisme yang lebih cenderung berpihak kepada segelintir elit disentral
kekuasaan baik di pusat dan daerah harus dikikis habis. Transparansi, akuntabilitas dan
profesionalisme merupakan tuntutan rakyat yang tidak dapat dihalangi. Pengambilan keputusan
sebagai suatu kebijakan publik yang berstandar ganda, tidak berpihak kepada rakyat harus tetap
dikritisi. Kebebasan pers, kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat lisan maupun
tulisan dituntut oleh rakyat tidak sekedar lip service tapi sungguh-sungguh sebagai suatu
kebebasan yang bertanggung jawab.

Reformasi di bidang penyelenggaraan pemerintahan dituntut harus bermakna bagi rakyat dengan
mengikutsertakan seluruh komponen penyelenggara pemerintahan, dan ini berarti peran serta
sektor swasta dan segenap masyarakat sipil (civil society). Rakyat menuntut, penyelenggaraan
pemerintahan di daerah diberikan kewenangan yang bersifat luas, nyata dan dapat mengatur
rumah tangga sendiri (otonom). Sentralisasi harus diakhiri dan desentralisasi harus diberlakukan
di segenap pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota.

Dibidang penegakan demokrasi, pada era Orde Baru benar telah dilaksanakan pemilihan umum
(pemilu) yang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) tetapi jauh sama sekali dari jujur dan
adil (jurdil). Pemilihan umum (pemilu) lebih bersifat formalitas belaka. Demokrasi, yang secara
etimologi berasal dari kata Yunani, “demos” (rakyat) dan “kratos” (kekuasaan), dengan
perkataan lain rakyat yang berkuasa hanyalah slogan. Rakyat berdaulat yang dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih “membebek” kepada penguasa
(eksekutif).

Dibidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), pada masa Orde Baru pelanggaran HAM
mencapai puncaknya. Penguasa Orde Baru berpandangan bahwa HAM sebagai paham liberal
yang bertentangan dengan budaya timur. Pelanggaran HAM (mulai dari ringan sampai berat)
terus terjadi. Hak untuk hidup, hak atas kebebasan dari penyiksaan, hak atas kesamaan di muka
pengadilan, hak kebebasan beragama, hak kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, hak
untuk memperoleh pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang adil, hak untuk berserikat, hak atas
jaminan sosial, hak di bidang budaya dan lain-lain, pada masa Orde Baru sangat dikekang dan
atau bahkan ditindas.

Hal-hal di atas sebagaimana telah dikemukakan, akhirnya mendorong munculnya gerakan


reformasi untuk mengakhiri dominasi kekuasaan Orde Baru. Era reformasi membuat perubahan
drastis, dimulai pada Sidang Istimewa MPR 1998 sebagai desakan kaum reformis, yang
memutuskan bahwa Pemilu yang telah dijadwalkan tahun 2002 dipercepat menjadi tahun 1999
dan memutuskan TAP MPR mengenai HAM[3].

Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu demokratis pertama sesudah pemilu tahun 1955. Isu-isu
dari gerakan reformasi sangat diperhatikan oleh lembaga- lembaga negara, seperti : tuntutan
untuk membangun sistem politik check and balance, kebebasan pers, penghormatan terhadap
HAM dan supremasi hukum merupakan agenda yang selalu dibicarakan untuk dibahas. Bahkan
isu peka dan pernah di “tabu” kan untuk dibicarakan seperti apakah Pembukaan UUD 1945 perlu
diubah dengan memasukan tujuh kata : “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana rumusan Piagam Jakarta akan dimasukan kembali dalam
pasal 29 UUD 1945! Isu apakah bentuk negara kesatuan akan dipertahankan atau diganti dengan
bentuk negara serikat! Isu-isu tersebut memperoleh perhatian dan dibahas.

Jakob Tobing yang kala itu menjadi Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR menyatakan bahwa
: para Anggota MPR hasil Pemilu 1999 membahas isu-isu peka sebagaimana tersebut diatas
secara terbuka, penuh rasa persaudaraan dan saling menghargai serta jauh dari niat untuk
memaksakan kehendak. Anggota MPR pada akhirnya bersepakat untuk tetap mempertahankan
rumusan asli UUD 1945 secara musyawarah mufakat[4] kecuali satu hal yaitu keputusan
mengenai ditiadakannya keberadan utusan golongan sebagai anggota MPR yang diangkat yang
diputuskan melalui pemungutan suara[5].

Reformasi konstitusi sebagai perubahan sistem politik, berhasil dikonsolidasikan seiring


kebebasan berpendapat, penghormatan dan penegakan terhadap HAM, supremasi hukum, sistem
politik check and balance, sehingga segenap rakyat dapat menerima dan siap melanjutkan
dinamika politik yang melandasi proses demokratisasi dan kelanjutan reformasi.

Refleksi atas reformasi konstitusi ini harus dicermati, dimaknai, dihayati dan diedukasi seperti :
bentuk negara, sistem pemerintahan, tugas, fungsi dan kewajiban lembaga negara, agar
kehidupan demokrasi yang substansial benar-benar dilaksanakan dengan baik, penuh kesadaran
dalam implementasi terhadap nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. AMANDEMEN BENTUK NEGARA

Secara umum dipahami bahwa pengertian bentuk negara (staatsvorm) terdiri dari [6] :

1. Bentuk Negara (monarki)


2. Bentuk Republik.
Namun dalam praktek banyak sarjana menyamakan bentuk negara dan bentuk pemerintahan.

Bentuk negara adalah pengelompokan negara berdasarkan kriteria distribusi kekuasaan (resmi)
antar berbagai tingkat pemerintahan dalam suatu negara. Berdasarkan kriteria tersebut maka
bentuk negara terdapat dalam tiga bentuk yaitu: negara kesatuan, serikat/federasi dan
konfederasi. Jimly Asshiddiqie menyebut bentuk negara tersebut dengan susunan organisasi
negara[7] dengan menambah menjadi empat, sehingga diperoleh empat macam susunan
organisasi negara yaitu :

1. Negara Kesatuan (unitary state) yaitu negara,


2. Negara Serikat atau Federal (federal state),
3. Negara Konfederasi (confederation),
4. Negara Super Struktural (super state) seperti Uni Eropa[8].

Sementara sarjana lain membedakan bentuk pemerintah dan bentuk pemerintahan[9] (tambahan
akhiran –an). Bentuk pemerintah adalah pengelompokan berdasarkan kriteria cara pengisian
jabatan kepala negaranya. Dengan demikian, maka bentuk pemerintah :

1. Kerajaan (monarki) adalah negara yang jabatan kepala negaranya diisi melalui sistem
kewarisan,
2. Republik adalah negara yang jabatan kepala negaranya diisi melalui cara-cara diluar sistem
pewarisan (misal melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat).

Sedang bentuk pemerintahan adalah pengelompokan negara berdasarkan letak kekuasaan yang
tertinggi dalam suatu negara. Dan berdasarkan kriteria tersebut, sarjana hukum tata negara
membedakan adanya negara dengan pemerintah yaitu :

1. Monarki (kerajaan), sebagai suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertingginya berada
di tangan seorang penguasa tunggal yaitu raja atau ratu.
2. Aristrokasi, sebagai suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertingginya berada di
tangan satu lembaga kecil yang terdiri atas sekelompok orang/sekelompok elit yang
mempunyai hak istimewa.
3. Demokrasi, sebagai suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertingginya berada di
tangan semua warga negara (rakyat)

Soehino[10] menyatakan, negara kesatuan ditinjau dari segi susunannya adalah negara yang
tidak tersusun dari beberapa negara sebagaimana halnya negara federasi, tetapi negara kesatuan
tersebut sifatnya tunggal dalam arti hanya ada satu negara dan tidak ada negara dalam negara. Ini
berarti dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan/wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Dan hanya
pemerintah pusat yang dapat memutus segala urusan negara para tingkat terakhir dan tertinggi.

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.

Rumusan ini menyiratkan beberapa pengertian, antara lain :

1. Negara diatur dalam UUD yang bernama negara Indonesia.


2. Negara Indonesia ialah negara kesatuan.
3. Negara Indonesia berbentuk Republik, dan karenanya negara Indonesia dan UUD 1945 tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan negara kesatuan Republik Indonesia. Kata “ialah” pada
pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menunjukan rumusan yang bersfat definitif[11]. Ini berarti,
negara kesatuan “melekat” pada negara Indonesia.

Rumusan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 di atas merupakan rumusan pasal yang ditetapkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945 dan MPR tahun 1999 tidak
berkehendak untuk mengubah bentuk negara. Ketentuan mengenai hal ini diperkuat oleh pasal
37 ayat (5) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi :

“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan”.

Jimly Asshiddiqie menyatakan ketentuan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah menurut prosedur verfassungsanderung yaitu
yang diatur dan ditentukan sendiri oleh UUD 1945[12]. Status hukum materi pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 menjadi relatif mutlak dan sulit untuk diubah bahkan tidak dapat diubah dengan cara-
cara yang biasa[13], mengingat pilihan yang bersifat ideologis sebagaimana dicita-citakan
oleh “the founding leaders” dan perumus UUD sebagai ketentuan yang bersifat final.

Lebih lanjut, bagaimana konstitusi mengatur hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah?

Menurut pasal 18 UUD 1945:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18A UUD 1945:

1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18 B UUD 1945 :

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal-pasal tersebut diatas merefleksikan hubungan pusat – daerah bagi berkembangnya otonomi
daerah dari yang semula pada masa Orde Baru bersifat sentralisasi dan pada era reformasi
menjadi bersifat desentralisasi. Kepala daerah pada provinsi, kabupaten/kota secara politis
menjadi “legitimasi” karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga kedudukan kepala
daerah menjadi kuat untuk menjalankan pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa UUD 1945 memberikan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang dilaksanakan
dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah[14].

Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan bukan saja harus dilaksanakan sesuai amanah
konstituen yang memilih tapi harus pula mengedepankan prinsip akuntabilitas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
C. AMANDEMEN SISTEM PEMERINTAHAN

UUD 1945 tidak menyebut satu kata pun bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia
adalah sistem presidensial. Sekalipun demikian prinsip bahwa Negara Republik Indonesia
menganut sistem presidensial dapat diketahui dari ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yaitu:

1. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945


“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang
Dasar”. Ini menunjukan bahwa Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara (dari sebuah
Negara Republik) dan sekaligus Kepala Pemerintahan.
2. Pasal 17 ayat (1) UUD 1945
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara”. Ini menunjukan bahwa Presiden adalah
pihak yang harus dan berwenang untuk membentuk kabinet.
3. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945
“Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Ini menunjukan bahwa
menteri-menteri bertanggung jawab kepada Presiden, dan bukan kepada parlemen. Menteri
akan tetap menduduki jabatannya sebagai menteri selama masih dipercaya Presiden dan
menteri tidak dapat dijatuhkan oleh mosi tidak percaya dari parlemen.
4. Pasal 17 ayat (3) UUD 1945
“Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Ini menunjukan bahwa
jabatan menteri dan masa jabatannya bergantung pada Presiden bukan pada parlemen, dalam
artian Presiden dapat mengganti menteri yang dipandang tidak mampu (tidak cakap)
5. Pasal 17 ayat (4) UUD 1945
“Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian Negara diatur dalam undang-
undang”. Ini menunjukan bahwa Presiden dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan
harus sesuai dan sejalan dengan ketentuan undang-undang.

Materi amandemen pada awalnya dipersiapkan oleh Panitia Ad-hoc (PAH) III pada Oktober
1999 dan dalam perkembangannya sejak November 1999 dilanjutkan oleh PAH I. Namun PAH
III yang diketuai Harun Kamil telah berhasil memutuskan dasar-dasar perubahan UUD 1945
sebagai berikut :

1. Perubahan atas UUD 1945 dilakukan secara amandemen.


2. Pembukaan UUD 1945 tidak diubah, yang diubah hanyalah batang tubuh.
3. Hal-hal normatif dalam menjelaskan UUD 1945 akan dimasukan dalam pasal dan ayat
UUD[15].

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa MPR tetap mempertahankan sistem
presidensial, sekalipun UUD 1945 dilakukan perubahan. Sistem Presidensial adalah sistem atau
keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antar lembaga Negara melalui pemisahan
kekuasaan Negara dan Presiden selaku pengelola kekuasaan eksekutif.
Karakteristik sistem presidensial dapat diketahui dan difahami dari hal-hal sebagai berikut :
1. Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan
2. Presiden adalah pihak yang berwenang menyusun kabinet dan mengangkat menteri, sistem
ini disebut : non parliamentary executive.
3. Menteri adalah pembantu Presiden dan tidak boleh menjadi anggota parlemen karena
kabinet bukan sebuah komisi dari parlemen.
4. Menteri bertanggung jawab kepada Presiden bukan kepada parlemen, sehingga karenanya ia
tetap menjadi menteri selama Presiden masih mempercayai dan tidak dapat dijatuhkan oleh
mosi tidak percaya dari parlemen.
5. Masa jabatan menteri tergantung pada Presiden dalam artian Presiden dapat memberhentikan
menteri kapan saja. Sistem presidensial disebut juga sistem fixed executive dalam artian
jabatan Presiden bersifat pasti (5 tahun) dan tidak bergantung pada kehendak parlemen.
6. Parlemen sebagai legislatif dan Presiden sebagai eksekutif berperan seimbang melalui sistem
kontrol dan keseimbangan (check and balances)

Penulis berpandangan rasanya tidak terlalu salah, walau “pelan tapi pasti” sistem presidensial
kita bercermin kepada Amerika Serikat yang juga menganut sistem presidensial. Sebagaimana
diketahui, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menolak kekuasaan politik yang tidak terbatas,
terlepas siapa yang menjadi pemegang kendali pemerintahan, apakah seorang tiran atau raja yang
absolut atau sekelompok orang/elit – oligarki yang memerintah untuk kepentingan kelompok
penguasa. Bahkan kepercayaan pembentuk konstitusi Amerika Serikat juga menjadi “hilang”
terhadap pemerintahan yang didominasi oleh kehendak rakyat yang bersifat tidak terbatas, yang
dapat menjadikan lemahnya pemerintahan sehingga memungkinkan orang miskin merampok
orang kaya. Demikian pula halnya dengan kecenderungan pemegang kuasa untuk selalu berusaha
memperluas kekuasaan melebihi apa yang sudah ditentukan oleh rakyat, tetap harus diwaspadai.

Sebagaimana menurut Austin Ranney [16] dalam bukunya Governing : An Introduction to


Political Science menyatakan di negara yang menganut sistem presidensial, ketiga jenis
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) secara formal dipisahkan yaitu :

1. Pemisahan pejabat/larangan rangkap jabatan.


2. Kontrol dan keseimbangan (check and balances).

Oleh karena itu, amandemen terhadap UUD 1945 khususnya pada sistem pemerintahan sangat
direspon oleh MPR 1999. Pada masa Orde Baru, kekuasaan eksekutif sangat dominan, Presiden
berperan dan berfungsi hampir pada semua lini kekuasaan negara, baik dalam eksekutif, legislatif
dan yudikatif.

Di bidang eksekutif, Presiden memegang kekuasaan dalam arti Presiden membentuk


pemerintahan dan kabinet. Belum lagi, sistem pemerintahan bersifat sentralisasi menjadikan
Presiden memiliki aparatur sebagai kepanjangan tangan dari pusat sampai daerah. Di bidang
legislatif, Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
dan mempunyai kekuasaan atas grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Intinya, kekuasaan
Presiden sedemikian besar dan cenderung absolut, dan kekuasaan yang mendekati absolut inilah
yang akan direformasi oleh kaum reformis.

Reformasi konstitusi, dapat kita ketahui dari amandemen UUD 1945 sebagaimana telah
mengalami perubahan keempat kali. Dalam hubungan MPR – DPR dan DPD, sesuai pasal 2 ayat
(1) UUD 1945, anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Lahirnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah berarti merombak secara struktural MPR
yang semula terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Demikian pula
dengan mekanisme cara pengisian keanggotaan MPR, yang dahulu sebagian diangkat, dan sesuai
amandemen yang telah mendapatkan perubahan, maka seluruh anggota MPR dipilih melalui
pemilihan umum.

Dalam hubungan MPR dan Presiden, wewenang MPR setelah amandemen adalah MPR tidak
berwenang lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan
Wakil Presiden sesuai pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. Demikian pula dalam hal pemberhentian Presiden, MPR tidak hanya melanjutkan
usul DPR untuk menyelenggarakan sidang guna meminta pertanggung jawaban Presiden
sehubungan adanya pelanggaran hukum, tetapi harus lebih dahulu mendapat keputusan
Mahkamah Konstitusi.

Perihal hubungan DPR dan Presiden, terlihat prinsip demokrasi berupa kontrol dan
keseimbangan antara DPR dan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 11, 13 dan 14 UUD
1945.

Pasal 11 UUD 1945 :

1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat


perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal 13 UUD 1945 :

1. Presiden mengangkat duta dan konsul


2. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat
3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14 UUD 1945 :


1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung.
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar lembaga negara terbagi secara merata
antara DPR dan Presiden.

Hubungan DPR dan BPK terlihat dari pasal 23 E UUD 1945, dimana sebelum amandemen untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, BPK cukup memberitahu saja. Sedang
setelah amandemen, hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan
DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti.

Dalam hubungan Presiden dan MA, pasal 14 ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan pertimbangan
Mahkamah Agung dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

SILABUS KE-17 DAN 18 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT


HAK AZAZI MANUSIA

ASPEK HUKUM TATA NEGARA.


BERBICARA HAM MAKA DALAM KONTEKS HUKUM TATA NEGARA KITA BERBICARA
TENTANG:

PERLINDUNGAN

PENEGAKAN

Pada awalnya HAM merupakan hak moral atau moral right demikian dengan penegakannya pun
bersifat moral dengan sanksi yang bersifat moral. Tidak semua hak merupakan hak asasi
misalnya; hak waris, bukan merupakan hak asasi karena terhadapnya terdapat pembatasan;
artinya bahwa haak waris dapat diberi atau tidak. HAM tidak diberikan oleh hokum atau UU
ataupun Negara melainkan oleh tuhan.cttnkulhkmadedidikirawan Kewajiiban HAM ada untuk
menjaga agar hak seseorang tidak mengganggu hak orang lain. 4 kriteria atau sifat yang
membedakan apakah suatu hak merupakan hak asasi atau bukan yaitu;

Fundamental ; mutlak diperlukan manusia dalam menjalankan fitrahnya sebagai manusia

Universal;

Indivisible; tidak dapt dibagi atau dipisah-pisahkan karena sebgai satu mata rantai

Inalienable; tidak dapat diasingkan.


Menurut soewandi :

HAM sebagai hak subjektif yang ada pada para individu sejak mereka membuat perjanjian social
untuk membentuk pemerintahan (pactum unions). Karena itu makkkkkkkka hak bias diubah oleh
Negara seklipun dilegalisasi melalui konstitusi Negara. HAM tidak dapat lepas dari konsep
demokrasi dan Negara hokum dikatakan pula cttnkulhkmadedidikirawan memiliki hubungan
yang bersifat simbiosis mutualisme.

Menurut Mariam Budiarjo;

HAM merupakan tuntutan yang secara moral bias dibenarkan untuk menikmati kebebasan
dasarnya untuk mencapai harkat kemanusiaan. Adapun yang terjadi cttnkulhkmadedidikirawan
pedoman dalam membuat definisi (menurut Sidney Hock)yaitu melalui identifikasi HAM yang
antara lain:

HAM merupakan jenis dari hak yang ada yaitu hak moral bukan hak hokum

Apabila kata manusia mempunyai kekuatan maka tidak sama dengan binatang malaikat dan
persusahan-perusahaan ataupun Negara.

Tidak setiap hak moral merupakan hak cttnkulhkmadedidikirawan asasi.

Jika HAM diperlukan maka hak tersebuut menjadi alas an pembenar untuk berbuat atau
menghindar

HAM sebagai hak umum yang dibedakan dari hubungan-hubungan khusus dengan orang lain
seperti perjanjian.

HAM bersifat fundamental atau penting.

Menurut Gunawan; HAM adalah hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Menurut UU;
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai
mahluk tuhan YME dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara hokum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan cttnkulhkmadedidikirawan harkat dan martabat manusia. Secara umum ada 4
pandangan terhadap HAM :

1. Universal absolute
2. Universal relative
3. Partikularistik absolute
4. Partikularistik relative

Soekarno dan soepomo berpendapat bahwa HAM berasal dari liberalism yang berakar pada
indidividualism selanjutnya melahirkan colonialism yang pada zaman kemerdekaan justru
sedang kita berantas sehingga berkenan dengan HAM maka tidak perlu diatur dalam konstitusi
cukup secara garis besar dalam pembukaan konstitusi. Sedangkan Hatta berpendapat bahwa
HAM ini harus diatur dalam konstitusi. Kemudian diambil jalan tengah dimana diambil beberapa
pasal saja tentang HAM dan dimasukan ke dalam konstitusi sedangkan pelaksanaannya
dilegalisasikan ke UU. Didalam Tap MPR terkandung adanya hak dan kewajiban asasi. Hak
melahirkan legal right sedangkan kewajiban melahirkan legal obligation dimana legal obligation
tidak selalu melekat dalam hak misalnya hak hidup. Konstitusi RIS lebih maju dari pada
UUD1945 dalam impelementasi HAM. Dalam UU lingkungan: hak mndapatkan
cttnkulhkmadedidikirawan lingkungan hidup (melekat hak asasi). Kewajibannya untuk
memelihara lingkungan hidup yang baik ( tidak melekat pada haknya tetapi dari Negara). Hak
asasi merupakan moral tetapi kalau masuk UU maka akan menjadi masalah hokum. Di inggris
maka orang lebih takut melanggar etika atau moral (yang didalamnya termasuk HAM ) dari pada
hokum. Didalam rezim yang otoriter mka produk hukumnya cttnkulhkmadedidikirawan
cenderung bersifat represif di dalam rezim yang demokratis maka produk hukumnya cenderung
bersifat reponsif (doktrin prof Mahfud MD).

Demokrasi dan Negara Berdasarkan Hukum Sebagai Instrumen HAM.

Salah satu cirri Negara hokum adalah jaminanperlindungan dan penghormatan terhadap HAM.
Demokrasi dan prinsip-prinsip Negara hokum merupakan instrument bahkan prasyaratan bagi
jaminan perlindungan dan penegakan HAM. DEMOKRASI TANPA ADA PRINSIP NEEGARA
BERDASARKAN hokum adalah sebuah kediktatroan yang tersembunyi (verkapte dictatuur).
Prinsip Negara hokum dimaksudkan untuk mengendalikan segala bentuk kekuasan baik yang aa
pada rakyat terutama penguasa. cttnkulhkmadedidikirawan Salah satu aspek penting membangun
Negara hokum adalah memberdayakan system penegakan hokum.

HAM Sebagai Tatanan Sosial.

Bentuk lain dari upaya akulturasi HAM yaitu dngan menjadikan HAM sebagai tatanan social
yakni sbagai sesuatu yang hidup ditengah –tengah masyarakat baik didalam tatanan politik
ekonomi dan social di masyarakat. cttnkulhkmadedidikirawan Dalam hal tersebut diatas
pendidikan kemasyarakatan HAM perlu dilakukan secara terus menerus.

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL.

Deklarasi HAM (universal declaration of human right) sebagai dasar perlindungan dan pemajuan
HAM dunia yang seebagian besar adalah hokum adat internasional. Tatanan hokum tatanan
social dan tatanan internasional perlu dalam mewujudkan HAM secara efektif. Pemujaan HAM
yang baik bersifat koperatif karena menyangkut kesejahteraan semua orang. Kewajiban
pemerintah untuk menjamin penegakan HAM dan disini sangat diperlukan
cttnkulhkmadedidikirawan system pengadilan yang independen dan efektif. Nilai toleransi dan
persamaan hak dapat mengurangi gesekan masyarakat dan ini perlu bagi harmonisasi dan
perpaduan nasional misalnya peningkatan peraturan hokum akan meningkatkan system
pemerintah amn dan manajemen Negara peningkatan cttnkulhkmadedidikirawan kebebasan
meningkatkan kegiaatan ekonomi. PBB sangat erat dengan system internassional HAM dimana
ia menyediakan suatu kerangka yang memungkinkan semua pemerintah di dunia bersama-sama
menyusun draft standar HAM serta serta juga menyediakan forum bagi pemerintah-pemerintah
cttnkulhkmadedidikirawan ataupun LSAM-LSM guna bersama –sama membahas persoalan-
persoalan HAM. Kegiatan PBB dalam bidang HAM dikelompokan menjadi:

Dibidang hokum yaitu melalui fakta-fakta internasional deklarasi dan instrument hokum lainnya.

Bidang politik yaitu melalui badan-badan seperti komnas HAM PBB.

Pakta adalah semacam kontrak yang mengikat secara hokum sedangkan deklarasi lebih
menyerupai janji yang berisi kewajiban morsl cttnkulhkmadedidikirawan dari pada kewajiban
hokum untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai. Ada 6 pakta HAM yang utama
yakni:

1. Konvenan internasional ttg hak-hak sipil dan politik (ICCPR)


2. Konvenan internasional ttg hak-hak ekonommi social dan buddaya (ICESCR)
3. Konvenis ttg penghapusan diskriminasi RAS (CERD)
4. Konvensi mengenai penghapusan diskriminasi cttnkulhkmadedidikirawan terhadap
wanita (CEDAW)
5. Konvensi mengenai hak-hak anak (CORC).
6. Konvensi mengenai penyiksaan (CAT)

Indonesia telah menjadi anggota CERD CEDAW CROC dan CAT ini menunjukan keinginan
Indonesia untuk segera meratifikasi ICCPR dan ICESCR. Kewajiban pokok pemerintah
indonseia adalah menjamin bahwa semoa orang yang berada didalam wilayah yuridiksinya
mendapat hak-hak yang cttnkulhkmadedidikirawan telah ditetapkan dalam suatu pakta dimana
Indonesia menjadi anggotanya. Guna perwujudan hal tersebut maka mungkin memerlukan :

Penerimaan perUUan atau peraturan yang baru

Modifikasi

Pencabutan perUUan yang telah ada

PBB terdpat badan yang bertugas membahas mengenai situasi khusus suatu Negara dan
penyelidikan yang dinmakan special rapportuers.

KOMNAS HAM.

Komnas HAM dibentuk didasarkan keppres No. 50 Tahun 1993. Komnas HAM dianggap berdiri
pada tanggal 7 Juni 1993. Komnas HAM merupakan tindak lanjut dari lokakarya tentang HAM
yang dipromosikan oleh deplu dan PBB yang diadakan di Jakarta. Baru efektif pada tanggal 7
desember 1993 karena lembaganya baru ,memiliki anggota pada tanggal ini.
UU No.39/1999 juga memuat pengaturan ttg komnas HAM dimana cttnkulhkmadedidikirawan
pada ketentuan peralihan UU ini maka komnas HAM yang dibentuk berdasarkan
keppres No.50 tahun 1993 selanjutnya dinyatakan sebagai komnas HAM menurut UU ini.
Tujuann pendiriannya adalah:

1. Meningkatkan pengembangan HAM


2. Meningkatkan fungsi penegakan HAM

Fungsi komnas HAM berdasarkan UU No.39/1999: pengkajian, penelitian, penyuluhan,


pemantauan, dan mediasi. Kelengkapan komnas HAM: siding paripurna dan sub komisi.
Anggotanya berjumlah 35 orang yang dipilih oleh DPR berdasarkan usulan komnas HAM dan
diresmikan oleh presiden. Dalam keppres No.50/1993 ada 4 bidang kegiatan sedangkan menurut
UU No.39 /1999 ada 5 bidang kegiatan. Dulu sebelum lahirnya komnas HAM maka apabila ada
keberatan tentang suatu permasalahan HM harusnya diajukan ke DPR tapi sekarang diajukan ke
komnas HAM. Pelanggaran horizontal tejadi apabila pelanggaran dilakukan oleh sederajat tidak
mempunyai cttnkulhkmadedidikirawan kewenangan khusus sedangkan dikatakan sebagai
pelanggaran vertical apabila diberikan oleh perUUan.

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TTG HAK ASASI MANUSIA.

Definisi (pasal 1):

Hak asasi manusia (HAM) adalah separangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai mahluk tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hokum dan pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta cttnkulhkmadedidikirawan perlindungan harkat dan martabat manusia.

Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila hak ilaksanakan tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Diskriminasi adalah setiap pembatasan pelecahan atau pengucilan yang langsung atau tak
langsung didasarkan oleh pembedaan manusia atas dasar agama suku ras etnik kelompok
golongan status social status ekonomi jenis kelamin bahsa keyakinan politik yang berakibat
pengurangan penyimpangan atau penghapusan catatan kuliah ke M.Dedi kirawan pengakuan
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupaunkolektif dalam bidang politik ekonomi hokum social budaya dan aspek
kehidupan lainnya.

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukandengan sengaja sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani pada seserorang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga dengan
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh
seseorang atau memaksa seseorang atau orang ketiga atau untuk suatu alas an
cttnkulhkmadedidikirawan yang didasarkan atas setiap bentuk diskriminasi apabila rasa sakit
atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh atas hasutan dari dengan persetujuan atau
sepengetahuan siapapun dan atau pejabat public.

Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak
yang masih dalam kandungan cttnkulhkmadedidikirawan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk parat
Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hokum
mengurangi menghalangi membtasi dn atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh UU ini dan tidak mendapat cttnkulhkmadedidikirawan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hokum yang adil dan benar berdasarkan
meknisme hokum yang berlaku.

Komisi nasional HAM (komnas HAM) adalah lembaga mendiri yang kedudukannya setingkat
dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian penelitian
cttnkulhkmadedidikirawan penyuluhan pemantauan dan mediasi hak asasi manusia.

Asas-asas dasar (psl 2 s/d psl 8). Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia :

Hak untuk hidup (psl 9)

Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan ketrurunan (psl 10)

Hak mengembangkan diri (psl 11 s/d 16)

Hak memperoleh keadilam (psl 17 s/d 19)

Hak atas kebebasan pribadi (psl 20 s/d 27)

Hak atas rasa aman (psl 28 s/d 35)

Hak atas kesejahteraan (psl 36 s/d 42)

Hak turut serta dalam pmerintahan (psl 43 s/d 44)

Hak wanita (psl 45 s/d 51)

Hak anak (psl 52 s/d 66)

Kewajiban dasar manusia (psl 67 s/d 70)

Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (psl 71 s/d 72)

Pembatasan larangan (psl 73 dan 74)

Komnas HAM (psl 75 s/d 99)


Partisipasi masyarakat (psl 100 s/d 103)

Pengadilan HAM (psl 104)

Ketentuan perliihan (psl 105)

SILABUS KE-19 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT


KEWARGANEGARAAN

A. PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN

Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship).Di


dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau wargakab
upaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah,kewargaan ini
menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikanhak (biasanya sosial)
yang berbeda-beda bagi warganya.Merujuk dari apa yang telah disebutkan di atas,
kewarganegaraan diartikan sebagaikeanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu
(negara) yang dengannyamembawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang
dengan keanggotaanyang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak
memiliki paspor darinegara yang dianggotainya.Bahkan adanya status kewarganegaraan itu tidak
hanya berpengaruh dalam masalahkegiatan politik. Dalam teori kontrak sosial status
kewarganegaraan memiliki implikasihak dan kewajiban. Dalam filosofi kewarganegaraan aktif,
seorang warga negaradisyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan
komunitas
melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk
memperbaiki penghidupan masyarakatnya.Dari beberapa ahli menuturkan pengertian
kewarganegaraan yang berbeda-beda,diantaranya sebagai berikut :
Daryono
Kewarganegaraan adalah isi pokok yang mencakup hak dan kewajiban
warga Negara. Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politiktertentu
(Negara ) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang
dengan keanggotaan yang demikian disebut warga Negara.
Wolhoff
Kewarganegaraan ialah keanggotaan suatu bangsa tertentu yakni sejumlah manusiayang terikat
dengan yang lainnya karena kesatuan bahasa kehidupan social-budaya sertakesadaran
nasionalnya.

Ko Swaw Sik ( 1957 )


Kewarganegaraan ialah ikatan hukum antara Negara dan seseorang. Ikatan itu
menjadi suatu “kontrak politis” antara Negara yang mendapat status sebagai
Negara yang berdaulat dan diakui karena memiliki tata Negara.
Graham Murdock ( 1994 )
Kewarganegaraan ialah hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam berbagai polastruktur social,
politik dan kehidupan kultural serta untuk membantu menciptakan bentuk- bentuk yang
selanjutnya dengan begitu maka memperbesar ide-ide.
R. Parman
Kewarganegaraan ialah suatu hal-hal yang berhubungan dengan penduduk suatu bangsa.
Soemantri
Kewarganegaraan ialah sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai individudalam suatu
perkumpulan yang terorganisir dalam hubungan dengan Negara.
Mr. Wiyanto Dwijo Hardjono, S.Pd.
Kewarganegaraan ialah keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu(Negara) yang
dengannya membawa hak untuk berprestasi dalam kegiatan-kegiatan politik.
Stanley E. Ptnord dan Etner F.Peliger
Kewarganegaraan ialah studi yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintahandan hak-
kewajiban warga Negara.

B.PERBEDAAN WARGA NEGARA DAN PENDUDUK


Rakyat dalam sesuatu Negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalamwilayah
kekuasaan Negara itu. Pada permulaan rakyat dari suatu Negara hanya terdiri darisuatu ketentuan
yang berasal dari suatu nenek-moyang. Dalam hal ini faktor terpentingadalah pertalian darah.
Akan tetapi wilayah Negara itu didatangi oleh orang-orang dari

Negara lain. Adapun orang-orang yang berada diwilayah suatu Negara dapat dibagi
atas : penduduk dan bukan penduduk.Penduduk ialah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat
terentu yang ditetapkanoleh peraturan Negara yang bersangkutan diperkenankan mempunyai
tempat
tinggal pokok (domisil) dalam wilayah Negara itu. Bukan penduduk ialah mereka yang beradadi
wilayah sesuatu Negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempattinggal
diwilayah Negara itu.Penduduk dapat dibagi atas:1)

Penduduk warga Negara, dengan singkat disebut “warga Negara”.


2)

Penduduk bukan waga Negara yang disebut “orang asing”.


Tiap Negara biasaya menentukan dalam UU kewarganegaraan siapa yang menjadiwarga Negara
dan siapa yang dianggap orang asing. itu diatur dalam UU No.62 tahun1958 yang berbunyi :1)

Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asi danorang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara.2)

Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan UUDalam penjelasan diatas


sudah jelas bahwa Warga Negara dan penduduk
itu berbeda, Warga Negara adalah setiap orang yang menurut hukum atau secara resmimerupaka
n anggota resmi dari suatu Negara tertentu, atau dengan kata lain adalah orangyang ditetapkan
secara sah oleh perundang-undangan. Sedangkan penduduk adalah orang-orang yang bertempat
tinggal atau berdomisili dalam wilayah suatu Negara, jadi bisa saja penduduk itu ada yang bukan
warga Negara. Jadi bisa disimpulkan kalau warga Negara itusudah pasti penduduk, tapi kalau
penduduk belum pasti warga Negara.

C. ASAS KEWARGANEGARAAN

Adapun asas kewarganegaraan yang mula-mula dipergunakan sebagai dasar dalammenentukan


termasuk tindakannya seseorang dalam golongan warga Negara dari sesuatu Negara ialah:

1. Asas keturunan atau ius sanguinis menetapkan kewarganegaraan seseorang


menurut pertalian atau ketentuan dari orang yang bersangkutan. Jadi yang menentukanke
warganegaraan seseorang ialah kewarganegaraan orang tuanya, dengan
tidakmengindahkan dimana ia sendiri dan orang tuanya berada dan dilahirkan.
Contohnya:seseorang yang lahir dinegara A, yang orang tuanya adalah warga Negara B,
makaseseorang tadi berwarganegara B.2.

Asas tempat kelahiran atau ius soli menetapkan kewarganegaraan seseorang menurutdaerah atau
Negara tempat ia dilahirkan. Contohnya seseorang yang lahir dinegara A,adalah warga Negara
A, walaupun orang tuanya adalah warag Negara B.

D. APATRIDE DAN BIPATRIDE

Dalam menentukan kewarganegaraan beberapa negara nemakai asas ius solisedangkan dinegara
lain berlaku asas ius samguinis. Hal demikian itu menimbulkan duakemungkinan yaitu:1.

A-patride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyaikewarganegaraa.2.

Bi-patride. Yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macamkewarganegaraan


sekaligus (kewarganegaraan rangkap / dwi kewarganegaraan).Seseorang keturunan bangsa A,
yang negaranya memakai asas ius soli lahir dinegaraB yang menganut asas ius sanguinis, maka
orang ini bukan warganegara A karna tidaklahir dinegara A dan ia juga bukan warnga negara B
karna bukan keturunan bangsa B,maka orang ini mengali A-patride ( tidak punya
kewarganegaraan).Seorang keturunan bangsa B, yang menganut asa ius sanguinis lahir dinegara
A yang berlaku asas ius soli, karena orang ini keturunan bangsa B, maka ia diangap warga
negaradari negara B akan tetapi oleh negara A ia juga diangap sebagai warga negaranya karna
iadilahikan dinegara A oleh karena itu orang ini mempunyai kewarganegaraan ganda ( Bi-
patride).

E. HAK OPSI DAN REPUDIASI

Apabila seseorang mengalami biptride atau apatride maka mempunyai dua hakuntuk menentukan
kewarganegaraannya yaitu dengan hak opsi dan hak repudiasi. Dan hakini biasanya diberikan
ketika sudah dewasa yaitu sudah berumur 18 tahun atau sudah
menikah. Dan untuk mengatasi apatride seseorang mempunyai hak naturalisasi
untukmendapatkan status kewarganegaraan.Berkaitan dengan hak opsi dan repudasi pemerintah
lazim menggunakan
stelselaktif
dan
stelsel pasif
. Menurut
stelsel aktif
orang harus melakukan langkah-langkahhukum tertentu agar diakui kewarganegaraannya,
sedang
stelsel pasif
orang yang beradadalam suatu negara dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa
harusmelakukan tindakan hukum tertentu.Adapun mengenai perincian hak opsi dan hak
repudiasi sebagai berikut:

1. Hak opsi yaitu hak untuk memilih sesuatu status kewarganegaraan (dalam stelsel
aktif).
2. Hak repudiasi yaitu hak untuk menolak status kewarganegaraan (dalam
stelsel pasif).

SILABUS KE-20 DAN 21 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT


PEMERINTAH DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

A. PENGERTIAN PEMERINTAH DAERAH


Pemerintah daerah merujuk pada otoritas administratif di suatu daerah yang lebih kecil dari
sebuah negara. Sebutan ini digunakan untuk melengkapi lembaga-lembaga tingkat negara-
bangsa, yang disebut sebagai pemerintah pusat, pemerintah nasional, atau (bila perlu) pemerintah
federal. “Pemerintah daerah” hanya beroperasi menggunakan kekuasaan yang diberikan undang-
undang atau arahan tingkat pemerintah yang lebih tinggi dan masing-masing negara memiliki
sejenis pemerintah daerah yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam masyarakat
primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala desa atau kepala suku.
Menurut Pasal 1 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah[2]. Maka yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 2 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[3]
B. KONSEP OTONOMI DAERAH
Konsep otonomi daerah, menurut Ma‟mun Ridwan (2003:1), telah ada sejak zaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara, Pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, sampai Indonesia
merdeka hingga sekarang, sebenarnya telah melaksanakan konsep otonomi daerah. Pada setiap
zamannya terdapat benang merah yang menunjukkan bahwa substansi otonomi daerah telah lama
ada, yakni memberikan kewenangan pada pemerintahan daerah, untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, termasuk mengoptimalisasikan potensi sumber daya manusia dan potensi
alamnya. Realitasnya menunjukkan, konsep otonomi darah mendorong penyelenggaraan
pemerintah daerah bisa secara efektif dan efisien. Zaman penjajahan Belanda, otonomi daerah
diterapkan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal memberikan kewenangan
kepada pemerintah swapraja ataupun daerah Gubermenan, para pemimpin rakyat (Volks
Hoofden) dibiarkan memerintah rakyatnya sendiri, namun hasilnya dikuras untuk kepentingan
kompeni.
Ketika Indonesia merdeka, konsep otonomi daerah sudah diundangkan sebagaimana
termuat dalam UU No. 1 Tahun 1945 yang kemudian mengalami penggantian melalui UU No.
22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan terakhir
melalui UU No. 32 Tahun 2004.
Konsep otonomi, menurut Ismail Suny (dalam Ni‟matul Huda, 2005:87-88) ada lima
tingkatan, yaitu:
1. Negara kesatuan dengan otonomi yang terbatas. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, Indonesia
merupakan contoh negara yang menganut otonomi terbatas. Meski di dalamnya ditegaskan asas
desentralisasi, substansinya sangat sentralistik. Ia memberikan wewenang yang sangat besar pada
pemerintah pusat dalam banyak hal.
2. Negara kesatuan dengan otonomi luas. Secara ekonomi, otonomi yang luas harus didukung
dengan kekayaan dan keuangan. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan pengaturan tentang
perimbangan kekayaan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perimbangan
ini diperlukan agar pengurusan kekayaan dan keuangan tidak semata-mata ada di tangan
pemerintah pusat.
3. Negara quasi federal dengan provinsi atas kebaikan pemerintah pusat. Ciri negara semacam ini
adalah kekuasaan pada pemerintahan pusat untuk menentukan berlaku tidaknya keputusan-
keputusan yang ditetapkan oleh daerah-daerah bagian. Karenanya, negara model begini disebut
juga negara federal semu.
4. Negara federal dengan pemerintahan federal, seperti negara Amerika Serikat, Australia,
Kanada, dan Swiss.
5. Negara Konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, suatu negara dikatakan berbentuk
konfederasi jika pemerintah pusat tergantung pada goodwill negara-negara anggota konfederasi
atau negara-negara anggota commonwealth.
Ada dua alasan pokok, menurut Robert Rienow (1996:573), dari kebijaksanaan
membentuk pemerintahan di daerah. Kedua alasan pokok tersebut, yaitu: (1) membangun
kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung
dengan rakyat; (2) memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai
tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri.
Semangat ini tertuang di dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dinyatakan bahwa:
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sedangkan istilah Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5 UU 32 Tahun
2004).
Manfaat Otonomi Daerah, menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli, (dalam Dadang
Solihin, 2007:11), yaitu:
(1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat
heterogen.
(2). Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah
pusat.
(3). Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik. (4). Desentralisasi akan
mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah
yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami
oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap
program pemerintah sangat terbatas.
C. LANDASAN HUKUM OTONOMI DAERAH
UUD 1945
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan
berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan
bukan negara federasi.
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan perwakilan Rakyat
Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Di dalam Pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten
dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ditegaskan bahwa (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut (pasal 18, 18 A dan 18 B), dapat ditarik pengertian-
pengertian sebagai berikut:
a. Daerah tidaklah bersifat “staat” atau negara (dalam negara);
b. Wilayah Indonesia mula-mula akan dibagi dalam provinsi-provinsi. Provinsi ini kemudian
akan dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten atau kota;
c. Daerah-daerah itu adalah daerah otonom atau daerah administrasi;
d. Di daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (bd. BN. Marbun, 2005:13);
e. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa serta kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya (bd. Hanif
Nurcholis, 2005 : 59); ini menjadi dasar pembentukan Daerah Istimewa dan pemerintah Desa.
f. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan;
g. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5);
h. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 ayat 2,
bd. Muhammad Fauzan, 2006 : 41).
3.2. UNDANG-UNDANG
Undang-undang organik sebagai tindak lanjut pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia
berdasarkan konstitusi telah mengalami beberapa pergantian.
3.2.1. UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1945
Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-
Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam
semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat
kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting
bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang
dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan
kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti
bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan
tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
3.2.2. UU NO. 22 TAHUN 1948
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU
sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas
otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang
diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-
pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah
yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas
otonomi daerah.
3.2.3. UU NO. 1 TAHUN 1957
Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang seluas-
luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU
ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat
dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245),
DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan
oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
3.2.4. UU NO. 18 TAHUN 1965
Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini
merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah
otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem
pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah
ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan
DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.
3.2.5. UU NO. 5 TAHUN 1974
Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri
sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap
MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya
disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi
yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang
GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari
otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggungjawab” (Mahfud,
2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di
dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi
daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik. Seperti
kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah.
Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh
pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.
3.2.6. UU NO. 22 TAHUN 1999
Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah,
yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena
dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999,
prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang menjadi
visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid (2002:75), yaitu: (1) membebaskan
pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada
pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk
mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro
nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
3.2.7. UU NO. 32 TAHUN 2004
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22
Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat
landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga
ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas
untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda/Wakepda
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
3.3. PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah.
PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14
ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

D. ASAS PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH


4.1. Asas Desentralisasi
Asas penyelenggaraan otonomi daerah yang terpenting adalah desentralisasi
(Latin: decentrum). Desentralisasi dapat diartikan “lepas dari pusat” atau “ tidak terpusat”.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan
kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah, di pusat maupun
di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat. Pejabat-pejabat yang ada di daerah
hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi sebagian
kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Van Wijk dan Willem (dalam Lukman, 1977:55) menyatakan bahwa delegasi merupakan
penyerahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan
administrasi satu kepada badan administrasi negara. Desentralisasi sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI terdapat
penyerahan wewenang. Wewenang itu adalah penyerahan sebagian wewenang pusat ke daerah
terhadap hal-hal tertentu yang diatur dalam undang-undang.
Ada empat aspek yang menjadi tujuan desentralisasi atau otonomi daerah dalam menata
jalannya pemerintahan yang baik, (Mahfud, 2006:229) yaitu: (1) dalam hal politik, untuk
mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan
daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional dalam rangka pembangunan proses
demokrasi lapisan bawah. (2) dalam hal manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan
masyarakat. (3) dalam hal kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta untuk
menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usahaempowerment masyarakat,
sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian
pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan. (4) dalam hal
ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna
tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
Menurut Bagir Manan (1994:161-167), dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam
kerangka desentralisasi ada empat macam, yaitu:
1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara. UUD 1945 menghendaki
kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah. Ini berarti UUD 1945 menghendaki
keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah, keikutsertaan rakyat
pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh desentralisasi.
2. Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli: pada tingkat daerah,
susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah yang sesuai dengan dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
3. Dasar kebhinekaan: “Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan keragaman Indonesia, otonomi,
atau desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengendorkan “spanning” yang timbul dari
keragaman.
4. Dasar negara hukum: dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan
dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan
negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau
kedaulatan rakyat.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus
diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat diputuskan di tingkat pemerintah daerah. Kelebihan
sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat
diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun
kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang
berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan
kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi
karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Pemberian kewenangan otonomi daerah kepada daerah didasarkan asas desentralisasi dalam
wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan
berimplikasi :pertama, Adanya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan semua bidang
pemerintahan yang diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kedua, Adanya perwujudan
tanggungjawab sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan tersebut berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi, dan
mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan. Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan
sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat
memuaskan masyarakat serta memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan
kebijakan negara, sehingga pelayanan pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya,
serta terjangkau oleh masyarakat luas.
4.2. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-
pejabat di daerah. Pelimpahan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi adalah tetap menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat, baik dari segi policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun
pembiayaan.
Wewenang yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi ini adalah
(Penjelasan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004):
1. Bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
2. Bidang pemerintahan tertentu yang meliputi: (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan
regional secara makro; (2) pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia dan penelitian
yang mencakup provinsi; (3) pengelolaan pelabuhan regional; (4) pengendalian lingkungan
hidup, promosi budaya/pariwisata; (5) penanganan penyakit menular dan hama tanaman (6)
perencanaan tata ruang provinsi.
3. Kewenangan daerah otonom Kabupaten/Kota setelah ada pernyataan dari daerah yang
bersangkutan tidak atau belum dapat melaksanakan kewenangannya.
Pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dengan menselaraskan pelaksanaan otonomi yang
nyata, luas, dan bertanggung jawab.
4.3. Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Ketentuan Umum nomor 9, UU 32 Tahun
2004). Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan
dari daerah ke desa, untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Pelaksanaan asas tugas pembantuan ini
dapat dilaksanakan di provinsi, kota, dan desa. Oleh karena itu, pemerintah dalam melaksanakan
asas tugas pembantuan ini, pusat dapat menerapkan di provinsi sampai ke desa. Demikian juga
provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota sampai ke desa-
desa. Pelaksanaan tugas pembantuan ini senantiasa untuk memperkuat kedaulatan Indonesia
sebagai negara kesatuan.
E. UNSUR PEMERINTAHAN DAERAH
Di dalam Ketentuan Umum angka 2 dan angka 3, UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa
(1) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Pemerintah daerah adalah
Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
5.1. Kepala Daerah
Pemerintahan Daerah, menurut Penjelasan Umum (4) UU No 32 Tahun 2004, adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan
daerah, yaitu: Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan
secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan
wewenang DPRD menurut Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan, antara lain: bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan
wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara
demokratis dalam Undang-Undang 32/2004 dilakukan oleh rakyat secara langsung. Kepala
daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah dan perangkat
daerah. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat terjadi apabila:
meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan (Pasal 29, UU No. 32 Tahun 2004).
Perangkat daerah adalah pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu menyusun kebijakan dan
koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga
teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan
pemerintahan yang perlu ditangani. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang
meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan; jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja
dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan
urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu, kebutuhan
akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau
seragam.
Tugas dan wewenang Kepala Daerah diatur dalam Pasal 25 (UU No. 32 Tahun 2004),
sebagai berikut:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun kewenangan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:
a. Membuat Rancangan Perda. Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) memiliki wewenang
untuk membuat rancangan Perda dan mengajukan rancangan Perda untuk dibahas oleh DPRD.
Apabila DPRD juga mengajukan rancangan Perda yang materinya sama, maka rancangan Perda
dari Kepala Daerah digunakan sebagai bahan sandingan. Tata cara mempersiapkan rancangan
Perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden (Pasal 140 UU
No.32 Tahun 2004).
b. Menyebar-luaskan rancangan Perda yang buat oleh Kepala Daerah melalui sekretariat daerah
(Pasal 142 UU No. 32 Tahun 2004).
c. Menetapkan Perda. Kepala Daerah menetapkan Perda yang telah disetujui bersama DPRD.
Apabila Kepala Daerah tidak menetapkan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama DPRD,
setelah tiga puluh hari, maka Rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib
diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah (Pasal 144 UU No.32 Tahun 2004).
d. Kepala Daerah berhak mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung, apabila Pemerintah,
melalui Peraturan Presiden, membatalkan Perda (Pasal 145 UU No.32 Tahun 2004).
e. Kepala Daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya bersama DPRD mencabut
Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).
f. Kepala Daerah dapat membuat peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah untuk
mengimplementasikan Perda (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).
g. Menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah (Pasal 147 UU No.32 Tahun 2004).
h. Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148 UU. No. 32/2004), dan
dapat menunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran atas ketentuan Perda (Pasal 149).
5.2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Penjelasan Umum 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Pasal 40
menyatakan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat
daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Tugas dan Wewenang DPRD menurut Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan
lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana
perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yang membebani masyarakat dan daerah.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD mempunyai hak: interpelasi; angket; dan
c. menyatakan pendapat (Pasal 43).
Sebagai anggota DPRD, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 44 memberikan hak-hak sebagai
berikut: mengajukan rancangan Perda; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan
pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan . keuangan dan
administratif.
Adapun kewenangan DPRD dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:
1. Membuat Rancangan Perda. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota DPRD, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (pasal
140). Tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
(pasal 141).
2. Menyebarluaskan rancangan Perda yang dilaksanakan oleh sekretariat DPRD (pasal 142).
3. Membahas dan menyetujui Rancangan Perda (Pasal 140 ayat 2).
4. Menyampaikan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama Kepala Daerah, kepada Kepala
Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda (pasal 144).
5. Mencabut Perda, bersama Kepala Daerah, apabila Perda dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal
145).
SILABUS KE-22 DAN 23 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT
LEMBAGA NEGARA

LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA


Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi,
yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum
(law-applying function).[14] Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara.
Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara
umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga
negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[15]

Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi
hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada
pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga
negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk
menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para
pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk
sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat
utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat
ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau
primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi
hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat
disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja,
sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut
ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs),
dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak
dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang
sangat pesat.

Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi
independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga
atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan
sebagai berikut.[16]
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi
atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:

a) Komisi Yudisial (KY);


b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945
melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum
di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importanceyang sama dengan kepolisian;
g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki
sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang dibentuk berdasarkan
undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.

3) Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:

a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);


b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);

4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti


Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan
pemerintahan, seperti:

a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);


b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;54
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).

5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:

a) Menteri dan Kementerian Negara;


b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.

6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk
untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –atau apa pun namanya– di
Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan
keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin
mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga
negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga
yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.[17]

Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh
lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan
sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan
tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-
lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa
transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya
pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk
lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary
agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan
dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang
harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk
lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.

SILABUS KE-24 TENTANG HUKUM TATA NEGARA TERKAIT


PEMILU

A. PEMILIHAN UMUM

Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk
pemenuhan hak asasi warga negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu,
diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka
waktu tertentu. Sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 22 E, penyelenggara Pemilu
adalah sebuah organisasi mandiri yang bernama KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Tujuan Pemilu

Tujuan Pemilu adalah untuk memilih para wakil yang duduk dalam pemerintahan atau DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pemilu juga bertujuan memilih
Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Dengan
penyelenggaraan Pemilu menandakan, bahwa sistem pemerintahan kita menganut sistem
demokrasi.

Asas Pelaksanaan Pemilu

Dalam asas pelaksanaannya, Pemilu dilakukan secara :

 Langsung;
 Umum;
 Bebas;
 Rahasia;
 Jujur;
 Adil.

SISTEM PEMILIHAN UMUM


1. System distrik
2. System proposional
Terbagi menjadi 2 :
- proposional terbuka. ( memilih seseorang)
- proposional tertutup. ( memilih partai politik)

Kelebihan system distrik


 Mendorong integritas partai politik;
 Kecendrungan membentuk partai politik baru dapat dibendung;
 Wakil yang dipilih dapt dikenal dengan konstituenya;
 Lebih mudah bagi parpol untuk mencapai kedudkan mayoritas.

Kekurangan system distrik


 Kurang memperhatikan partai kecil dalam golongan minoritas;
 Partai yang calonnya kalah akan kehilangan suaranya;
 System ini kurang efektif dalam masyarakat prural;
 Wakil yang terpilih akan lebih memperhatikan kepentingan distrik.

Konsep Negara hukum sejak zaman yunani kuno


o Delik konsep nomokrasi
Kekuasaan Negara dikehendaki oleh norma / aturanide nomokrasi identik dengan kedaulatan
hukum dalam perkembangannya kedaulatan hukum menjelma menjadi konsep Negara hukum.
Konsep Negara hukum Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul laband,
Julius stahl. Rechtstaat dalam tradisi Anglo Saxon dikembangkan oleh A.V.Dicey (the rule of
law). Negara hukum formil dan materiel. Makdus dari materiel ialah HTN darurat yaiti penguasa
dapat bertindak diluar ketentuan dalam keadaan darurat. Contoh kasus : pada saat presiden 3
republik Indonesia dilantik B.J Habibie dilantik.

Ciri-ciri civil law (Eropa continental)


 Perlindungan terhadap HAM;
 Pembagian kekuasaan;
 Pemerintahan harus berdasarkan UU;
 Kepatian hukumnya menggunakan asas praduga tak bersalah;
 System hukum Eropa continental bersifat kaku.

Ciri-ciri commen law (Anglon Saxon)


 Adanya supremasi hukum;
 Persamaan kedudukan dimuka hukum;
 Adanya jaminan HAM;
 Putusan suatu perkara menggunakan yurisprudensi, kebiasan, adat;
 Menjunjung tinggi keadilan hukum.

Kelebihan system proposional


 System ini lebih representatif;
 Lenih demokratis karena tidak ada kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi
dalam parlemen;
 Semua golongan dalam masyrakat dapat terwakili diparlemen.

Kekurangan system proposional


 System ini kurang mendorong partai politik untuk berintegritas;
 System ini mempermudah sistempragfragmaentasi partai politik;
 System ini memberikan kedudukan yang kuat kepada pemimpin parpol;
 Wakil yang terpilih tidak lagi memiliki ikatan yang kuat dengan konstituantenya;
 Sulit bagi parpol untuk meraih suara mayoritas.

Pengertian partai politik


Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita cita untuk memperjuangkan kepentingan
masyarakatnya.
Fungsi partai politik sebagai :
 Saran sosialisasi politik untuk menanamkan nilai – nilai kebangsaan;
 Sarana komunikasi politik untuk penengah masyarakat dan penyalur aspirasi;
 Sarana pendidikan politik untuk merangkul masyarakat untuk aktif berpartisipasi;
 Sarana partisipasi politik untuk ikut serta kegiatan politik negara;
 Sarana pengatur konflik;
 Sarana rekrutmen politik sebagai batu loncatan untuk jabatan lebih tinggi.

Klasifikasi partai politik menurut Maurice Duverger


 System partai tunggal ;
 System dwi partai (dihasilkan dari system pemilu distrik);
 System multi partai.

Berdasarkan tujuan dan orientasi partai politik :

 Partai politik beranggotakan lapisan – lapisan sosial dalam masyarakat contoh : kalangan
atas, menengah, kebawah;
 Partai politik beranggotakan kalangan kelompok kepentingan tertentu;
 Partai politik beranggotakan pemeluk agama tertentu;
 Partai politik beranggotakan kelompok budaya tertentu.

Berdasarkan asas dan orientasi partai politik :

 Pragmatis, yakni program yang tak terikat kaku pada doktrin dan ideologi tertentu;
 Doktriner / partai asas, yakni sejumlah program konkret sebagai penjabaran ideologi;
 Kepentingan, yakni dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu.

Berdasarkan sudut pandang secara umum


 Partai Proto
Jenis partai politik ini merupakan karakter dasar dari tipe awal partai politik, yang
biasnya ada dalam lingkungan parlemen atau intra parlemen. Basis pendukungnya adalah
kaum menengah keatas, bentuk organisasi dan ideologinya sederhana.
UNTUK SOAL ESSAY TENTANG MERESUME HUKUM TATA
NEGARA DARURAT HAL 11 – 14

Hukum tata negara darurat mungkin belum akrab di telinga masyarakat luas. Hukum tata negara
darurat sebagi bagian dari sistem hukum bernegara. Dalam sebuah pemerintahan kadangkala
terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat diprediksi dan bersifat mendadak. Keadaan demikan
sering menimbulkan keadaan darurat. Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat
menimbulkan akibat yang tidak dapat diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata
hukum yang ada terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan
perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan dalam keadaan darurat.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukum tata negara darurat kita harus mengetahui
definisinya. Menurut Herman Sihombing, merupakan hukum tata negara dalam keadaan bahaya,
yakni sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam
waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam,
ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.
Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan konstitusi dan produk
hukum lain yang resmi. Dalam keadaan abnormal sistem hukum tersebut tidak dapat berfungsi
dengan baik. Maka pengaturan keadaan darurat mempuinyai arti penting sebagai dasar hukum
bagi pemerintah mengambil tindakan guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada keadaan
abnormal (darurat) pranata hukum yang diciptakan untuk keadaan normal tidak dapat bekerja.
Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan
subjektif. Hukum tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan
bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan
ketentuan undang-undang dasar. Sedangkan hukum tata negara darurat objektif adalah hukum
tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting.
Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar
tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara
dapat melakukn tindakan apapun termasuk membatasi hak warga negara. Kim Lane
mengemukakan keadaan darurat menyangkut hal yang ekstrim, di luar kebiasaan. Sehingga
negara perlu melanggar prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan
tersebut.

Dalam konstitusi indonesia diatur tentang keadaan darurat pada pasal 12 dan pasal 22 UUD 45.
Pasal 12 : “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 22 : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”

Pengaturan tersebut tidak dilakukan secara tegas sehinga sulit mengetahui apakah suatu peristiwa
dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat. UU Prp No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya membagi keadaan darurat menjadi tiga yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat
perang. Undang-undang tersebut mengatur tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat:
1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah
indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam
sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat kelengkapan negara secara biasa;
2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah negara
republik Indonesia. Keputusan pemberlakuan keadaan darurat dilakukan oleh presiden
melalui peraturan presiden (perpres). Hal ini berdasarkan UU No.10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Keadaan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai keadan berbahaya atau darurat? Ada
banyak pendapat dan doktrin dari para ahli hukum mengenai hal ini. Namun saya mencoba
mengambil simpulan dari Jimly Asshiddiqie. Jimly menyatakan:
1. keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar
2. keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri
3. keadaan bahaya karena perang di dalam negeri atu pemberontakan
4. keadaan bahaya karena kerusuhan sosial
5. keadaan bahaya karena bencana alam
6. keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu
7. keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara
8. keadaan lain dimana fungsi konstitusional tidak dapat bekerja

Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dan
meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat diambil menurut Vinkat Iyer
tindakan darurat meliputi:
1. kewenangan menangkap (power of arrest);
2. kewenangan menahan (power of detention);
3. pembatasan atas kebebasan fundamental (power imposing restriction of
fundamental freedom);
4. kewenangan terkait perubahan prosedur pengadilan dan pemidanaan (power
concerning modification of trial procedures and punishment);
5. kewenanan membatasi atasa akses ke pengadilan (power imposing restriction on
access to the judiciary);
6. kewenangan atas imunitas yang dinikmati polisi, aparat keamanan, dan yang
lainnya (power concerning immunities enjoyed by the police and member of security
forces and so on)
Asas dalam pemberlakuan keadaan darurat:
1. asas proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat. Bila
keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil oleh pemerintah
tidak mendapat keabsahan.
2. asas legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam keadaan darurat.
Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik hukum nasional maupun hukum
internasional.
3. asas komunikasi
Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan tersebut kepada
seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga harus memberitahukan kepada
negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan melalui perwakilan negara bersangkutan dan
kepada pelapor khusus PBB “special rapporteur on state of emergency”
4. asas kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu pemberlakuan
keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan darurat dapat mencederai hak dasar
warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan darurat harus jelas mengenai awal pemberlakuan
dan waktu berakhirnya.
5. asas keistimewaan ancaman
Krisis yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau minimal mengandung
potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang ada haruslah bersifat istimewa.
Keistimewaan tersebut karena menimbulkan ancaman terhadap nyawa, fisik, harta-benda,
kedaulatan, keselamatan dan eksistensi negara, atau peri kehidupan bersama dalam sebuah
negara.
6. asas proporsionalitas
Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat mengembalikan dalam keadaan
semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang diambil haruslah tepat sesuai
dengan gejala yang terjadi. Jangan sampai negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dan
cenderung berlebihan.
7. asas intangibility
Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh
membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun yudikatif.
8. asas pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi prinsip negara
hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi jalannya keadaan darurat sebagai bentuk
mekanisme “check and balances”.keadaan darurat tidak mengurangi kewenangan mengawasi
kebijakan yang diambil pemerintah.

Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi manusia. Namun negara
tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar manusia (non derogable rights). Berikut ini hak
dasar manusia:
a. hak untuk hidup
b. hak untuk tidak disiksa
c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
d. hak beragama
e. hak untuk tidak diperbudak
f. hak untuk diakui sebagai pribadi da hadapan hukum
g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

Hukum tata negara darurat menjadi penting karena terkait dengan pelanggaran hak dasar warga
negara yang mungkin terjadi dalam keadaan darurat tersebut. Keadaan darurat membolehkan apa
yang tidak boleh sebagaimana istilah “onrecht word rech”, yang semula tidak boleh menjadi
boleh atau bahkan melarang hal yang semula dibolehkan. Kata darurat sendiri berasal dari bahasa
Arab yakni “dhorurot” yang berarti keadaan mendesak. Dengan adanya tulisan ini diharapkan
dapat membantu siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai hukum tata negara darurat.

Anda mungkin juga menyukai