Anda di halaman 1dari 35

TUGAS MERANGKUM BUKU

HUKUM TATA NEGARA DARURAT

Tugas Mata Kuliah


“Sistim Konstitusi dan Hukum Darurat Negara”

Dosen Pengampu
Prof. DR. Jimly Asshidiqie S.H., M.H Letkol
Chk Dr. Syamsoel Hoeda, S.H., H.Hum

Disusun Oleh
Dr. Henri Azis, SpA(K), MKes, MARS
NIM : 21040058

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
Jakarta, Maret 2023

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa negara mengatur hukum tata negara darurat dalam undang-undang khusus,
sementara negara lain mengaturnya dalam konstitusi atau piagam tertulis. Namun, pada akhirnya,
tujuan hukum tata negara darurat adalah untuk menjaga keamanan negara dan kepentingan nasional,
sambil memperhatikan hak asasi manusia dan menjaga keseimbangan antara kekuasaan pemerintah
dan hak-hak individu. Apabila berbagai perangkat hukum positif yang tersedia tidak sejak semula
mengantisipasi berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak biasa semacam itu, niscaya hal itu
akan memperlemah kemampuan organisasi negara dan pemerintahan untuk bertindak sebagaimana
mestinya untuk kepentingan rakyat dan negara. Jika keadaan darurat yang tidak biasa itu benar-benar
terjadi, dapat timbul dua kemungkinan respons organ negara dan pemerintahan untuk mengatasinya,
yaitu organ Negara dan pemerintahan itu mengalami "syndroma disfunctie" atau tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, atau penguasa negara berubah menjadi tiran atau "dictator by accident" yang
memanfaatkan keadaan darurat yang tidak biasa itu untuk kepentingannya sendiri atau untuk
memperkokoh kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu, menjadi tugas para ahli hukum tata negara
untuk membuka jalan bagi pemahaman yang luas mengenai adanya kedua aspek hukum tata negara
ini, yaitu hukum tata negara dalam keadaan normal dan hukum tata negara dalam keadaan tidak
normal.
Para ahli hukum dan mahasiswa hukum harus mempelajari kedua bidang hukum tata negara
ini secara simultan dan saksama. Saya sendiri, dalam buku terdahulu, yaitu Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara jilid 2 telah menguraikan persoalan "Hukum Tata Negara Darurat" in. dalam bab yang
tersendiri, yaitu pada Bab V. Sekarang, dalam buku ini, uraian mengenai hukum tata Negara darurat
itu saya muat dalam buku yang tersendiri. Materi pokoknya berasal dari Bab V buku Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara itu, tetapi dengan perluasan pembahasan dan pendalaman yang tersendiri.
Penulisan dan penerbitan buku tersendiri ini saya anggap penting untuk memberikan bahan bagi para
mahasiswa dan pengkaji hukum tata negara pada umumnya mengenai berbagai aspek yang berkaitan
dengan hukum tata Negara darurat.

B. Ragam Peristilahan
Pada pokoknya, objek kajian ilmu hukum tata negara darurat adalah negara yang berada dalam
keadaan darurat atau 'state of emergency'. Banyak sekali istilah yang dipakai dalam praktik di berbagai
negara mengenai keadaan yang dimaksud dengan keadaan darurat atau terkait dengan pengertian
keadaan darurat tersebut. Semuanya menunjuk kepada pengertian yang hampir sama, yaitu keadaan

2
bahaya yang tiba-tiba mengancam tertib umum, yang menuntut negara untuk bertindak dengan cara-
cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal. Beberapa di
antara istilah-istilah yang dipakai itu antara lain adalah:
1.state of emergency;"
2.state of civil emergency;
3.state of siege (etat d'siege);
4.state of war.
5.state of internal war
6.state of exception (etat d'exception, regime d'exception)"
7.estado de alerta;
8.estado de excepcion, (exceptional circumstance);
Istilah-istilah tersebut di atas dipakai tergantung kepada kandungan makna yang dipahami di
masing-masing bahasa yang berlaku di tiap-tiap negara. Istilah 'state of emergency', misalnya, dipakai
di banyak negara, seperti dalam naskah-naskah konstitusi Irlandia, Afrika Selatan, Pakistan, dan India.
Sementara itu, istilah "state of siege" atau "etat d'siege" dipakai dalam undang-undang dasar Prancis
dan berbagai negara berbahasa Prancis lainnya, terutama negara-negara bekas jajahan Prancis. Hal ini
berbeda sekali dengan istilah yang biasa digunakan di Inggris dan juga dipakai dalam Konstitusi
Amerika Serikat. Istilah 'martial law' ini, selain digunakan di Inggris dan Amerika Serikat, juga dipakai
dalam Konstitusi Polandia, dan banyak lagi negara lainnya. ICCPR (International Covenant on Civil and
Political Rights) PBB menggunakan istilah 'public emergency'. Misalnya, Artikel 4 paragraf (1) berbunyi,
"In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is
officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from
their obligations etc.
Sementara itu, di Belanda, ada pula istilah 'state of civil emergency', 'de staat van beleg' (state
of emergency), dan 'de staat van oorlog' (state of war). Istilah-istilah 'state of civil emergency', 'state
of war' (de staat van oorlog), dan 'de staat van beleg' ini terdapat dalam undang-undang dasar
Belanda. 'Staat van oorlog' kurang lebih sama artinya dengan keadaandarurat perang, dan 'state of
civil emergency' sama dengan pengertian keadaan darurat sipil seperti yang dimaksud dalam UU No.
23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan
Bahaya. Ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil (state of civil emergency) itu dapat timbul
karena bencana alam atau karena konflik horizontal antarkelompok dalam masyarakat sendiri. Lain
lagi dengan UUD Uruguay yang di dalamnya digunakan istilah
'state of internal war' dan 'state of suspension of individual security'. State of internal war atau
keadaan perang dalam negeri dapat pula mencakup pengertian perang saudara dan konflik bersenjata

3
di dalam negeri sendiri. Sementara itu, state of suspension of individual security dimaksudkan sebagai
keadaan darurat di mana hak-hak asasi manusia yang tertentu di bidang keselamatan ditangguhkan
jaminan konstitusinya. Kurang lebih hal ini sama dengan keadaan darurat perang atau keadaan darurat
militer.

C. Pentingnya Studi HTN Darurat


Kondisi negara dalam keadaan darurat dan berbagai norma hukum yang ditentukan berlaku dalam
keadaan darurat itu penting untuk dipelajari secara tersendiri. Oleh karena itu, di dunia akademis,
khususnya Hukum Tata Negara, perlu dibedakan antara Hukum Tata Negara yang berlaku dalam
keadaan biasa atau normal dan Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau tidak
normal. Hukum Tata Negara yang terakhir inilah yang kita namakan Hukum Tata Negara Darurat. Dari
segi praktis, mengapa studi mengenai hukum keadaan darurat itu dianggap penting? Jelas karena studi
mengenai soal ini sangat erat berkaitan dengan pelanggaran serius atas hak-hak asasi manusia yang
dapat terjadi dengan diberlakukannya keadaan darurat itu. Studi yang menyeluruh mengenai soal ini
tentu dapat membantu agar negara terhindar dari pun keadaan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia secara tidak sah. Jika darurat itu diberlakukan, pemberlakuannya dapat dikendalikan sesuai
dengan maksud diadakannya aturan mengenai keadaan darurat itu sendiri. Di samping tu, di antara
negara-negara yang baru menerapkan sistem demokrasi, sangat boleh jadi penyelenggaraan negara
dalam keadaan darurat berlangsung tersendat-sendat atau serba gamang dan tidak terarah.
Misalnya, di lingkungan negara-negara demokrasi baru, penyelenggaraan kekuasaan biasanya
dihadapkan pada dua pilihan ekstrim, yaitu antara tuntutan kebebasan tanpa arah dan kendali di
antara warga negara yang sangat haus kebebasan setelah bertahun-tahun dicekam rasa takut, atau
kebutuhan rasional untuk mengadakan konsolidasi kekuasaan Negara meskipun dengan sedikit atau
bahkan dengan potensi agak mengekang dan membatasi kebebasan. Dalam situasi gamang dan sulit
menentukan pilihan yang demikian itu, sekiranya tidak cukup jelas pemahaman kita mengenai
berbagai seluk beluk tentang keadaan darurat dan mekanisme hukum yang mungkin diadakan untuk
mengatasi keadaan darurat itu. Maka kegamangan akan menjadi sangat sulit diselesaikan. Namun,
keadaan darurat beserta mekanisme hukumnya dapat diatur secara rasional, tentunya kegamangan
demikian dapat diatasi. Dalam konteks demikian, studi mengenai Hukum Tata Negara Darurat ini
justru sangat penting. Studi tentang hukum keadaan darurat dapat pula berfungsi sebagai mekanisme
"early warning system" untuk mencegah jangan sampai prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan
mengalami kegagalan. Dengan demikian, Hukum Tata Negara Darurat itu sendiri dapat dikatakan
merupakan salah satu cabang ilmu Hukum Tata Negara" yang secara khusus mempelajari aspek-aspek
hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan negara yang tidak normal atau istimewa. Hukum Tata

4
Negara Darurat itu harus dibedakan dari istilah hukum darurat atau "emergency law" yang mencakup
pengertian yang lebih luas, yaitu meliputi segala bidang hukum yang berlaku pada waktu negara
berada dalam keadaan darurat karena hukum yang berlaku dalam suatu negara, tidak hanya
berkenaan dengan bidang hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, misalnya,
bidang hukum perdata, bidang hukum bisnis, bidang hukum pidana, bidang hukum administrasi
negara, dan sebagainya. Di samping itu, pada saat dan selama berlakunya keadaan darurat dalam
suatu negara, segala ketentuan hukum yang ada, pada pokoknya masih tetap berlaku , kecuali oleh
penguasa keadaan darurat ditentukan lain sesuai dengan kewenangan yang sah.

5
BAB II
KASUS – KASUS KEADAAN DARURAT DI INDONESIA

A. Berbagai Kasus Dalam Sejarah


Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang, telah banyak peristiwa atau kejadian luar biasa yang
menyebabkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan biasa atau normal
menjadi tidak berdaya dan tidak lagi efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan pembentukannya.
Kejadian-kejadian tersebut mengandung dan mengakibatkan hal-hal yang mengancam dan
membahayakan sehingga kondisi yang normal tidak dapat bertahan. Ancaman yang membahayakan
itu sendiri beraneka ragam bentuk dan coraknya, yang berbeda-beda dari kasus yang satu ke kasus
yang lain, pada suatu waktu ke waktu yang lain, dan juga dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk
menghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman dimaksud, maka untuk pertama kali,
Pemerintah Republik Indonesia membentuk satu undang-undang tersendiri, yaitu UU No. 6 Tahun
1946 tentang Keadaan Bahaya. Setelah disahkan atau diundangkannya UU No 6 Tahun 1946 tentang
Keadaan Bahaya ini, ketika pemerintahan berpusat di Yogyakarta, pada 7 Juni 1946. Presiden Soekarno
mengeluarkan Pernyataan Keadaan Bahaya untuk Daerah Jawa Timur dan Madura. Pernyataan itu
ditandatangani oleh Presiden Soekarno beserta Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Sekretaris
Negara A.S. Pringgodigdo atas nama Dewan Menteri. Pada 26 Juni 1946, Presiden menandatangani
keputusan pembentukan Dewan Militer dan menyatakan, "Kami Presiden Republik Indonesia, setelah
mendengar nasihat dari Menteri Pertahanan serta Staf Tentara Darat, Laut, dan Udara, dengan
mengingat keadaan bahaya yang telah dinyatakan dengan putusan 2 Juni 1946.
Perkembangan demikian itu menggambarkan keadaan sosial politik negara kita di masa-masa
awal kemerdekaan yang penuh gejolak dan pergolakan serta bencana. Semua itu menyebabkan
negara terus-menerus berada dalam keadaan darurat, keadaan bahaya yang sebagian besar
diantaranya diatasi dengan secara resmi memberlakukan keadaan darurat. Berbagai pergolakan dan
bencana yang bersifat membahayakan juga terus terjadi di masa-masa Orde Baru, dan bahkan sampai
dengan sekarang, di masa reformasi. Gejolak politik juga selalu terjadi pada setiap terjadinya
pergantian kekuasaan antargenerasi seperti dalam peralihan kepemimpinan dari Presiden Soekarno
ke Presiden Soeharto pada 1966-1967, kemudian dalam peralihan dari Presiden Soeharto ke Presiden
B.J. Habibie pada 1998, dari Presiden B.J. Habibie ke Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999, dan
dari Abdurrahman Wahid ke Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001.

6
B. Krisis Politik 1965-1966
Sejarah hukum tata negara darurat di Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari catatan kelam
peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus hingga puncaknya pada 30 September 1965 (G-30-S).
Bermula dari eskalasi politik yang kian memanas, akibat adanya pertentangan di kalangan elite politik
terhadap beberapa permasalahan sistem ketatanegaraan antara lain: adanya gerakan ideologisasi
campuran Nasionalis Agama
dan Komunis (NASAKOM); perebutan pengaruh dalam lingkar kekuasaan Presiden Soekarno,
khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kelompok Angkatan Darat (TNI-AD); gerakan di
tingkat akar rumput antara beberapa organisasi massa dari berbagai unsur kemasyarakatan, agama,
sosial politik; serta adanya klik-klik dalam tubuh militer baik di intern angkatan darat maupun
antarangkatan, terutama dengan angkatan udara. Peristiwa 30 September 1965 itu sendiri merupakan
puncak dari perseteruan politik nasional tersebut hingga pada akhirnya menimbulkan korban enam
orang jenderal Angkatan Darat, ditambah ratusan ribu korban konflik horizontal serta pembersihan
anasir-anasir PKI oleh AD di seluruh pelosok daerah, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kondisi negara yang genting, khususnya setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam
Jenderal -ditambah satu orang Ajudan, Kapten Pierre Tendean pada 30 September 1965,
menimbulkan banyak spekulasi politik terhadap kekuasaan Soekarno sebab pada saat itu situasi dan
kondisi keselamatan dan kesehatan beliau tidak jelas, baik akibat penyakit yang dideritanya maupun
keadaan setelah peristiwa pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat. Presiden Soekarno akhirnya
diminta untuk tidak berada di Jakarta dan dipindahkan ke Istana Bogor oleh Mayor Jenderal Soeharto
selaku Komandan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) sehingga pemulihan keamanan dan
juga pengendalian situasi berada di tangan Mayor Jenderal Soeharto. Dalam situasi sangat tidak
menentu dan menimbulkan spekulasipolitik, Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa putusan
penting. Di antaranya, pada tanggal 3 Oktober 1965, melalui RRI diumumkan adanya Perintah
Presiden/Panglima Tertinggi yang pada intinya menerangkan:
(a) tentang kesehatan Presiden;
(b) bahwa Presiden tetap memegang
tampuk pimpinan negara dan tampuk pemerintahan dan Revolusi Indo-
nesia;
(c) bahwa Presiden memerintahkan semua Panglima Angkatan
Bersenjata bersama Wk. PM II Dr. Leimena dan para pejabat lain untuk
menyelesaikan persoalan dalam peristiwa G-30-S PKI; (d) perlunya
menciptakan suasana tenang dan tertib dengan menghindari bentrokan senjata.

7
C. Krisis Politik 1997 – 1998
Dalam proses peralihan kepemimpinan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie terjadi lagi
gerakan massa yang sangat massif mirip dengan apa yang terjadi pada 1965-1966. Pada pertengahan
1997 krisis moneter melanda Indonesia. Hal ini merupakan efek domino dari krisis moneter yang
melanda mata uang Thailand, Baht, pada 2 Juli 1997. Nilai Baht terhadap dolar turun dari 24,7 baht
per dolar AS menjadi 29, 1. Puncak krisis di Thailand tersebut adalah penutupan 56 dari 58 lembaga
keuangan utama pada 8 Desember 1997,15 Krisis yang melanda Thailand tersebut berimbas pula pada
negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya dan Asia Timur, seperti Filipina, Malaysia, Korea
Selatan, termasuk Indonesia. Di Indonesia, krisis terjadi mulai Juli 1997, Kurs rupiah merosot dari Rp
2.432,00 per dolar AS menjadi sekitar Rp 3.000,00 Nilai rupiah terus terjun menjadi Rp 5.097,00 per
dolar AS pada 8 Januari 1998, kemudian mencapai Rp11.050,00 pada akhir Januari 1998.7 Pada 22
Januari 1998 rupiah bahkan menembus level Rp17.000,00 per dolar AS. Krisis juga menyebabkan
penutupan enam belas bank oleh pemerintah pada 1 November 1997. Akibatnya, jumlah
pengangguran terbuka meningkat, dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998.
Jumlah yang setengah mengangur, juga meningkat dari 28,2 juta jiwa pada 1997 menjadi 32.1 juta
pada 1998." Pertambahan pengangguran dan setengah pengangguran ini menyebabkan berkurangnya
pendapatan masyarakat yang berimplikasi pada krisis sosial.

D. Kasus Luapan Lumpur Panas Sidoarjo


Contoh lain, dapat pula dikemukakan mengenai apa yang terjadi di Porong Sidoarjo Jawa Timur,
yaitu penanganan bencana semburan lumpur panas di areal proyek PT Lapindo Brantas. Semburan
lumpur panas itu sendiri sampai sekarang, setelah setahun berlangsung, belum juga berhasil
dihentikan. Terjadinya lumpur panas itu juga jelas merupakan bencana yang menimbulkan banyak
korban harta benda dan lingkungan dengan segala dampak-dampak sosialnya. Kerugian yang terjadi.
Bukan saja bagi PT Lapindo Brantas, tetapi juga bagi rakyat atau penduduk sekitar dan kualitas
lingkungan hidup yang lebih luas. Sebagaimana telah diramalkan sejak semula, semburan lumpur
panas itu semakin lama semakin luas menggenangi dan semakin tinggi pula menenggelamkan segala
sarana dan prasarana umum serta kawasan perumahan dan pemukiman penduduk Porong,
Kabupaten Sidoarjo. Akibatnya, timbul pula dampak-dampak sosial, ekonomi, dan politik yang
semakin menimbulkan ketegangan vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, antara masyarakat
dengan PT Lapindo Brantas, dan di antara warga masyarakat sendiri. Masalahnya adalah apakah
keadaan yang timbul dalam kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo itu sudah termasuk kategori
keadaan darurat atau bukan?
Untuk mengatasi keadaan yang timbul di Porong tersedia dua pilihan, yaitu dilakukan dengan cara

8
biasa berdasarkan peraturan perundang- undangan yang normal (ordinary law) atau dilakukan
dengan cara-cara tidak biasa berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan keadaan
darurat (exceptional law). Jika penanganan dilakukan menurut prosedur hukum biasa (ordinary law),
dapat dipastikan semua langkah dan tindakan yang diambil tidak boleh melanggar hukum yang secara
umum berlaku. Sebaliknya, jika yang dipilih adalah penanganan menurut hukum keadaan darurat
(emergency law), pemberlakuan keadaan darurat itu haruslah didahului oleh suatu pernyataan atau
proklamasi resmi yang menyebabkan keabsahan untuk dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hukum yang biasa (ordinary law) tersebut. Jika proklamasi atau deklarasi keadaan darurat
tidak dilakukan, sedangkan langkah-langkah yang diambil bersifat melanggar hukum yang biasa, maka
keadaan darurat demikian itulah yang disebut sebagai 'emergency de facto' yang justru harus dihindari
dalam setiap negara hukum.

9
BAB III
LINGKUP PENGERTIAN DAN PRINSIP – PRINSIP DASAR

A. Lingkup Pengertian
Untuk lebih memahami pengertiannya, masalah pertama yang harus dipecahkan dalam kaitan
dengan keadaan darurat adalah hal-hal apa saja yang dapat membenarkan dijalankannya suatu
tindakan kekuasaan yang bersifat luar biasa (extraordinary atau exceptional measure). Untuk maksud
membedakan dengan tegas antara keadaan luar biasa (state of exception) dari keadaan yang biasa
(ordinary constitutional law) dan untuk menjaga agar jangan timbul penyalahgunaan kekuasaan di
dalam keadaan luar biasa tersebut, makin sempit dan ketat definisi dirumuskan dianggap makin baik.
Namun sebaliknya, lingkup pengertian yang terlalu ketat juga dapat menghambat, melemahkan atau
menurunkan kemampuan untuk mencapai tujuan diberlakukannya keadaan darurat itu sendiri.
Rumusan yang terlalu ketat dapat menimbulkan kesan yang merendahkan kemampuan para legislator
dalam memahami berbagai kemungkinan buruk yang dapat terjadi di kemudian hari sesudah undang-
undang bersangkutan ditetapkan. Seperti diuraikan di atas, istilah yang dipakai dalam UUD 1945 ada
dua,yaitu: (i) keadaan bahaya; dan (ii) hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Dalam pengertiannya yang praktis, keduanya menunjuk kepada persoalan yang sama, yaitu
keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal atau "state of exception". Keadaan "the
state of exception" itu, digambarkan oleh Kim Lane Scheppele, sebagai "the situation in which a state
is confronted by a mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable in normal
times, given the working principles of that state" (keadaan di mana suatu negara dihadapkan pada
ancaman hidup-mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin
dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan). Di samping
itu, oleh Kim Lane Scheppele dikemukakan pula, "The state of exception uses justifications that only
work in extremis, when the state is facing a challenge so severe that it must violate its own principles
to save itself." (Keadaan pengecualian itu menggunakan justifikasi hanya menyangkut hal-hal yang
bersifat "ekstrem" apabila negara menghadapi ancaman yang sedemikian rupa seriusnya sehingga
untuk menyelamatkan diri dari ancaman tersebut, negara terpaksa harus melanggar prinsip-prinsip
yang dianutnya sendiri).
Oleh karena itu, keadaan bahaya, keadaan darurat, "state of emergency", atau "etat de siege" itu
tidak lain merupakan "the state of exception", suatu keadaan luar biasa atau di luar kebiasaan, di luar
keadaan normal, ketika norma-norma hukum dan lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara
dapat berfungsi sebagaimana adanya menurut ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-
undangan dalam keadaan normal. Keadaan yang tidak normal itu, jika terjadi, tentunya harus

10
dihadapi, diatasi, dan akibat-akibatnya harus ditanggulangi dengan maksud untuk mengembalikan
negara kepada keadaan yang normal menurut undang- undang dasar dan peraturan perundang-
undangan yang normal. Jika keadaan tidak normal itu memang terjadi, harus ada pemegang
kekuasaan yang diberi kewenangan untuk membuat keputusan tertinggi dengan mengabaikan untuk
sementara waktu beberapa prinsip dasar yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Hanya saja,
perlu diatur lebih dulu mengenai syarat-syarat bagaimana keadaan pengecualian itu dapat
dideklarasikan atau dinyatakan ada, bagaimana pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan Negara
dalam keadaan pengecualian itu dilakukan, dan bagaimana pula mengakhiri atau berakhirnya keadaan
pengecualian itu sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak dapat diatasi di kemudian hari. Semua
ini tentu harus diatur lebih dulu sebelum keadaan yang demikian itu benar-benar terjadi. Oleh sebab
itu, di banyak negara, hal-hal pokok mengenai keadaan pengecualian biasa diatur dalam undang-
undang dasar. Selanjutnya, rincian pengaturannya lebih lanjut dijabarkan dalam undang-undang. Hal
itu pula yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 yang berbunyi,
"Presiden menyatakan keadaan bahaya.

B. Doktrin Proportional Necessity


Dalam keadaan yang bersifat darurat, pemerintah dianggap dapat melakukan apa saja.
Pembenaran mengenai hal ini didasarkan atas pengertian bahwa suatu keadaan yang tidak normal
mempunyai sistem norma hukum dan etikanya sendiri, yaitu sebagai keadaan yang disebut sebagai
'Appaddharmakale' yang berarti keadaan krisis atau musim-musim penderitaan (seasons of distress).
Dalam keadaan yang kacau tersebut.
semua aturan moralitas yang biasa berlaku dalam keadaan normal dapat ditunda berlakunya. Dalam
tradisi hukum Islam, juga dikenal adanya doktrin keadaan darurat. Bahkan, istilah 'darurat dalam
bahasa Indonesia itu sendiri justru berasal dari bahasa Arab. Dalam kaidah ushul figh atau filsafat
hukum Islam, dikenal adanya doktrin "al-dharuuraatu tubihu al-mahzhuuraar" yang berarti bahwa
keadaan darurat itu membolehkan hal yang dilarang. Artinya, jika keadaan darurat itu diberlakukan,
hal-hal yang semula dilarang menjadi boleh, sedangkan hal-hal yang semula boleh mungkin saja
menjadi dilarang. "Onrecht word recht", yang semula tidak boleh menjadi boleh.
Dalam keadaan darurat yang ekstrim, hukum (therule of law) dapat digantikan oleh aturan
perang (the rules of warfare). Di samping itu, dapat pula ditambahkan adanya kaidah 'ushul figh dalam
memberlakukan keadaan darurat, yaitu "akhaffu al-dharuuraini yang menentukan apabila terdapat
dua pilihan mengenai pemberlakuan suatu keadaan darurat, hendaklah dipilih keadaan darurat yang
paling ringan risikonya. Oleh karena itu, dalam sistem nilai tradisional semua peradaban dunia dapat
dikatakan dikenal adanya doktrin mengenai keadaan darurat yang memungkinkan dilakukannya hal-

11
hal yang tidak biasa yang bahkan apabila diperlukan bersifat melanggar norma-norma yang lazim
untuk mengatasi atau untuk melindungi kepentingan bersama dalam keadaan yang bersifat luar biasa
itu. Pertimbangannya adalah karena adanya keperluan atau kebutuhan atau "necessity" untuk
melindungi kepentingan bersama yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Untuk itu, sistem hukum Dan
etika yang berlaku atau harus diberlakukan dalam keadaan darurat itu berbeda dari sistem hukum dan
etika yang biasa berlaku dalam keadaan normal. Bahkan, jika dihubungkan dengan kewenangan Raja
atau Ratu Inggris untuk memberlakukan keadaan darurat, pengaitannya dengan doktrin 'necessity
lebih dapat diterima daripada doktrin hak prerogative yang masih dipersoalkan oleh banyak pihak.
Seperti dikemukakan oleh John Alder dan Peter english.

C. Berbagai Asas Dasar


Di semua negara, keadaan darurat atau keadaan luar biasa tersebut selalu diatur tersendiri, baik
mengenai pokok-pokoknya dalam undang- undang dasar maupun dalam ketentuan undang-undang
yang tersendiri. Semua sistem hukum atau sistem hukum di semua negara menentukan tindakan-
tindakan khusus apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat. Dalam pengaturan-
pengaturan konstitusional dan legal itu selalu terdapat unsur-unsur yang bersifat mengurangi,
membatasi, atau pun membekukan hak-hak asasi manusia tertentu. Namun, pengurangan.
pembatasan, atau pembekuan hak-hak asasi semacam itu haruslah: (1) bersifat sementara waktu; (ii)
dimaksudkan untuk tujuan mengatasi keadaan krisis, dan (iii) dengan maksud dikembalikannya
keadaan normalnya bagaimana biasanya guna mempertahankan hak-hak asasi manusia yang bersifat
fundamental. Dalam konteks hukum internasional, pemberlakuan ketentuan yang mengatur keadaan
darurat (state of emergency) itu sejak lama mendapat perhatian serius.
Satu-satunya keadaan yang dianggap sebagai pengecualian dalam kerangka hukum internasional
yang terkait dengan kepentingan untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia hanyalah perang.
Sementara itu, dalam keadaan darurat lainnya, perlindungan hak asasi manusia itu tetap menjadi
'common concern' dalam berbagai instrument hukum internasional yang dikembangkan. Oleh karena
itu, Konvensi Jenewa 1949, hanya melindungi secara terbatas hak-hak sipil yang tidak ikut menjadi
pihak dalam perang, yaitu harus diperlakukan dengan manusiawi dan tanpa diskriminasi. Prinsip-
prinsip hukum internasional atau asas-asas yang berlaku dalam hubungan dengan pemberlakuan
keadaan darurat ini.

12
BAB IV
HUKUM KEADAAN DARURAT DI BERBAGAI NEGARA

A. MODEL “MARTIAL LAW” AMERIKA SERIKAT


1. Perkembangan Sejarah
Dikalangan negara-negara Eropa continental yang menganut tradisi hukum
civillawketentuan tentaang hukum tata negara darurat biasanya diatur secara eksplisit
dalamundang-undang dasar dengan rincian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang
(statute). Di masa lalu ,istilah martial law ini di Inggris juga cenderung diidentikkan d22a
katas22ayang sekarang disebut hukum militer. Istilah-istilah “State of emergency”
(Inggris,Amerika Serikat), Etat de Siege (perancis), ”staatsnood” (Belanda) dan lain-laain semuaa
menunjuk kepada pengertian keadaan luar biasaataau keadaan diluar kebiasaan yang
memberikan pembenaraan bagi diterapkan atau berlakunya hukum yang juga luar biasa, diluar
kebiasaan normal.
Dalam keadaan darurat tersebut, kewenangan presiden untuk memberlakukan
tindakaan-tindakanluar biasa dapat dibenarkan asalkan keadaan darurat (a state of emergency)
itu dideklarasikan lebih dahulu secara resmi. Dalam keadaan darurat,norma hukum yang biasa
dinyatakan tidak berlaku lagi dan untuk sementara waktu diberlakukan norma-norma hukum
yang khusus yang disebut sebagai “Martial Law”.
Hukum yang berlaku dalam keadaan darurat itu, dalam praktik, biasa disebut
“Martial Law”. Seperti perkembangan di Inggris, pada mulanya di Amerika Serikat juga konsep
“Martial Law” ini hanya dikaitkan dengan pengertian hukum militer yang dijalankanoleh military
government dan dipertahankan di “military court”.
2. Ketentuan Konstitusional “Martial Law”
Secara eksplisit ketentuan mengenai keadaan darurat atau “state of emergencies”ini
sebagai bukti atas pandangan demikian, menurutnya dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu:
(1) penentuan kewenangn tertentu pada fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan
situasi- situasi yang bersifat istimewa atau darurat. (2) adanya pengaturan mengenai
pengecualian- pengecualian tertentu terhadap aturan yang bersifat umum yang dikaitkan dengan
keadaan- keadaan yang bersifat istimewa atau darurat tersebut.
(2) Hal yang menghambat dalam penerapan “Martial Law” di Amerika Serikat, menurut Mary
Maxwell adalah adanya undang-undang yang biasa disebut posse Comitatus Act 1878. Undang-
undang ini secara eksplisit melarang tentaraa untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum
didalam negeri.

13
Undang-undang dasar Amerika Serikat sama sekali tidak menyebut secara secara
eksplisit ketentuan mengenai keadaan darurat atau “state of emergencies”. Hal yang
menghambat dalam penerapan “Martial Law” di Amerika Serikat, menurut Mary Maxwell, adalah
adanya undang-undang yang biasa disebut dengan proses comitatus Act 1878. Undang-undang ini
secara eksplisit melarang tentara untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum di dalam negeri.
Sebelum adanya posse comitatus Act ini dapat dikemukakan pula adanya putusan Mahkamah
Agung yang sangat terkenal dalam soal ini, yang dikenal dengan Ex Parte Milligan (1863) .
Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Lincoln’s imposition of martial law (by way of suspension
of habeas corpus) was unconstitusional.
a. Kekuasaan dalam keadaan darurat
Artikel 1 Section 8 UUD Amerika Serikat menetukan kekuasaan ekstensif kongres yang
berhubungan dengan perang dan Tindakan militer lainnya, dapat dibedakan dalam tiga kelompok,
yakni :
1. to declare war (menyatakan perang)
2. to raise and support armies, to provide and maintain a navy, and to make rules for the
government and regulation of the land and naval forces (memberi dukungan terhadap
Angkatan bersenjata, menyediakan dan mempertahankan Angkatan laut, serta
membuat peraturan bagi pemerintah dan regulasi Angkatan darat dan laut).
3. to provide for calling forth the militia (generally a state responsibility) for three
specifiedpurposes (menyediakan fasilitas pengerahan massal rakyat terlatiih (ratih)
atau militia untuk tiga macam tujuan tertentu. Ketiga macam tujuan spesifik yang
dimaksud adalah
untuk melaksanakan hukum, untuk menekan pemberontakan, untuk mengatasi
invasiasing.

b. Pengecualian terhadap aturan umum (General Rules)


Dalam konstitusi Amerika Serikat, terdapat empat ketentuan yang berisi
pengecualian (specific exception) terhadap norma hukum yang berlaku umum (general rules).
Dua yang pertama berkaitan dengan “Individual Rights”, dan yang ketiga berhubungan dengan
kekuasaan negara via-a-vis pemerintahan federal.
1. H23a kataswrit of Habeas Corpus
2. Indictment of Grand Jury
3. Keterlibatan Negara Bagian dalmperang
4. Penyelenggaraan Sidang Kongres

14
3. Pelaksanaan “Martial Law” dewasa ini
Amerika serikat merupakan salah satu negara yang dianggap sebagai model demokrasidi
dunia, penerapan atau pemberlakuan keadaan darurat atau “Martial Law”nya dipandang sebagai
sesuatu yang lumrah dan biasa dipraktikan. Dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaan martial
law tersebut di Amerika serikat, setidaknya ada empat hal yang relevan untuk dierbincangkan,
yaitu (1) Kewenangan presiden untuk memberlakukan “martial Law”atas alas an keadaan darurat.
(2) Peninjauan peradilan atas keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan yang dibuat
dibawah “Martial Law”. (3) Penggunaan peradilan militer didaerah-daerah yang diberlakukan
keadaan darurat atau “Martial Law”. Dan (4) Pembatasan- pembatasan yang dibebankan atas
kebebasan individu warga setelah martial law tersebut diberlakukan.
Ada beberapa macam tentang Martial Law :
a. Kewenangan presiden memberlakukan martial law.
Konstitusi Amerika Serikat memberikan kewenangan yang bersifat ekstensif kepada
kongres yang berhubungan dengan perang dan Tindakan militer lainnya yang dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori,yaitu :
1) Untuk menyatakan perang (to declare war)
2) Untuk mendukung dan membantu tentara, menyediakan dan mempertahankan
Angkatan laut, danmembuat aturan untuk pengelolaan dan pengaturan kekuatan
bersenjata darat dan laut.
3) Untuk mengadakan pengerahan milisi rakyat (biasanya merupakan tanggung jawab
negara) untuktiga tujuan yang spesifik.
b. Judicial Review atas Tindakan-tindakan pemerintahan
Tindakan pemerintah selama keadaan darurat, baik berupa keputusan -keputusan
administrative ataupun peraturan-peraturan dapat diuji aatau di review oleh pengadilan.Dengan
demikian tindakan-tindakan pemerintahan penguasa keadaan darurat itutetap dapat dikonntrol
melalui prosedur hukum dan peradilan. Dalam beberapa kasus keadaan perang atau keadaan
darurat, Mahkamah Agung pernah menetapkan putusan yang mempersalahkan penguasa
keadaan darurat karena dinilai melanggar hak dan kebebasan warga negara.
c. Military Tribunals
Ex parte Milligan juga memberikan basis pengertian mengenai ketentuan penggunaan
peradilan militer selama masa berlakunya martiallaw. Mahkamah Agung menolak penggunaan
pengadilan militer (military tribunal) untukmengadili Milligan karena aalasan bahwa pengadilan
sipil yang seharusnya mengadili kasus Milligan masih terbuka dan masih dapat bekerja dengan baik
untukmenjalankan fungsinya. Dari kasus milligan ini dapat dipahami bahwa pengadilan militer dan

15
pengadilan sipil sama-sama dapat bekerja secara parallel,meskipun keadaan darurat
diberlakukan.Pendadilan militer itu baru bekerja sebgai satu-satunya system peradilan , jika
pengadilan sipil benar-benar telah lumpuh dan tidak dapatlagi menjalankan tugasnya.
d. Individual Liberties
Pembentukan martial law atau keadaan darurat (state of emergency) memberikan
kewenangan yang besar kepada penguasa militer untuk melakukan apa saja yang dinilai sangat
diperlukan (reasonably necessary) untuk tujuan memulihkan keadaan menjadi normalKembali dan
mempertahankan tertib umum (public order).Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam
undang-undang peraturan dalam keadaan darurat.“rules of conduct” bagi penguasa militer
tersebut juga mencakup pula ketentuanketentuan yang membatasi gerak
individu (individual movement), pengenaan ancaman hukuman melalui peradilan militer dan
penundaan atau pengurangan beberapa hak asasi manusia, pengadilan militer dan pengadilansipil
sama-sama dapat bekerja secara paralel, meskipun keadaan darurat diberlakukan.Pengadilan
militer itu baru bekerja sebagai satusatunya system peradilan , jikapengadilan sipil benar-benar
telah lumpuh dan tidak dapat lagi menjalankan tugasnya.
e. Emergency Rule-making
Bidang pembuatan peraturan (rule-making) juga dapat dibedakan antara pembuatan
peraturan dalam keadaan normal dan pembuatan peraturan dalamkeadaan darurat. Pembedaan
mengenai keduanya juga diatur tegas dalam administrative procedure Act (APA). Peter Belmont-
misalnya dalam Florida State University Law Review, menguraikan contoh administrative procedure
Act di Florida yang meletakkan landasan hukum bagi pembuatan peraturan untukkedua situasi itu.
Yang pertama berlaku untuk keadan yang normal dan yang kedua keadaan darurat.
Biasanya, Lembaga regulator (the agency) diharuskan mempublikasikan lebih dahulu
keinginannya untuk membuat peraturan dalam Florida administrative weekly dan memberitahu
“Joint Administrative Procedures Committee” 21 hari sebelum suatu peraturan diberlakukan secara
efektif. Apabila hal itu dilakukan dalam keadaan darurat (emergency rule- making procedure),
keharusan batas waktu 21 hari itu tidak berlaku. Peraturan dalam keadaan darurat dapat mulai
efektif diberlakukan sejak tanggal diundangkan. Dalam hal prosedur pembuatan atau penetapan
peraturan dalam keadaan darurat diterapkan, tidak ada keharusan dipenuhinya pemberitahuan
lebih dahulu (prior notice) ataupun keharusan dilakukannya pengumuman (publication)
diberlakukannya peraturan yang bersangkutan.

16
B. MODEL “ETAT DE SIEGE” PRANCIS
Keadaan “etat de siege” atau keadaan darurat dibedakan atas:
1. Etat de siege reel (actual state of siege)
Keadaan dimana wilayah negara secara nyata telah diduduki atau dikuasai oleh
musuh negara dimana nyata-nyata operasi militer memang sedang berlangsung.
2. Etat de siege fictive (constructive state of siege)
Kehidupan normal tidak sepenuhnya terganggu, meskipun disana sini terdapat
gangguan bahaya yang mungkin mengancam. Keadaan darurat seperti ini bersifat
konstruktif, yatiu karena konstruksi hukum, bukan ada secara riel dalam keadaan nyata.
Fungsi institusi sipil memang terganggu, tapi masih berfungsi dalam pemenuhan
kewajiban dalam memelihara tertib hukum dan jaminan sistem konstitusional.

C. EMERGENCY LAW INDIA


Dalam UUD India, ketentuan mengenai keadaan darurat diatur terperinci:
a. Proclamation of emergency.
Proklamasi keadaan darurat diberlakukan dengan pernyataan proklamasi; haris
disampaikan kepada kedua kamar parlemen; akan berakhir dalam waktu 2 bulan, kecuali
apabila sebelum habis masanya, keadaan darurat itu mendapat persetujuan kedua kamar
parlemen sebagaiman mestinya.
b. Effect of proclamation of emergency.
▪ Selama keadaan darurat diberlakukan, pemerintah eksekutif pusat berwenang
meberikan arahan atau bimbingan kepada setiap negara bagian atau provinsi
mengenai cara bagaiman fungsi-fungsi pemerintahan di daerah harusdiselenggarakan.
▪ Kewenangan parlemen untuk membuat UU atau peraturan yang berkenaan dengan
semua hal yang diperlukan yang mencakup pemberian kewenangan dan tugas kepada
pemerintahan pusat atau Lembaga dan pejabat pemerintahan pusat tertentu yang
terkait meskipun hal kewenangan itu tidak tercantuk sebagai kewenangan eksplisit
dalam konstitusi sebagai pemerintah pusat.
c. Application of provisions relating to distribution of revenues while proclamation of
emergency is in operation.
Pada masa darurat, presiden dapat memberi perintah bahwa semua ketentuan
Pasal 268-279, tidak termasuk kasus diluar masa berlakunya tahun anggaran ketika
pernyataan darurat tersebut berlaku lagi, memiliki kekuatan berlaku dengan
mempertimbangkan pengecualian atau modifikasi sepanjang presiden menganggapnya

17
perlu.
d. Duty of union to protect states against external aggression and internal disturbance.
e. Provisions in case of failure of constitusional machinery in states.
Setelah menerima laporan dari gubernur, relah timbul keadaan dimana
pemerintahan negara bagian tidak dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan konstitusi,
presiden melalui suatu proklamasi dapat mengambil alih semua fungsi pemerintahan
negara bagian.
f. Exercise of legislative powers under proclamation issued under article 356. Kekuasaan
legislative negara bagian dapat dijalankan atau diberikan kepada parlemen untuk
menyerahkan kepada presiden kewenangan Lembaga legilatif negara bagian dalam
menetapkan suatu Perda dan mendelegasikan kewenangan yang telah diberikan it uke
Lembaga lain untuk dilaksanakan sesuai pendelegasian; parlemen/presiden atauLembaga
lain yang berwenang membuat UU; presiden untuk memerintahkan pengeluaran dana,
ketika parlemen tidak sedang bersidang, dai dana konsolidasi begarasebelum adanya sanksi
dari parlemen untuk pengeluaran dana tersebut.
g. Suspension of provisions of article 19 during emergencies.
h. Suspensions of the enforcement of the rights conferred by part III during emergency.
Presiden dapat mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa hak untuk memindahkan
pengadilan demi pemenuhan hak asasi dan semua perkara yang belum diselesaikan oleh
pengadilan untuk pemenuhan hak asasi sebagaimana yang telah disebutkan harus tetap
ditunda.
i. Provisions as to financial emergency.
Presiden dapat mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan darurat keuangan.

D. “MARTIAL LAW” DI INGGRIS


▪ Kewenangan menentukan keadaan darurat dan memberlakukan martial law dalam sejara
Inggris dipahami sebagai prerogative raja atau ratu sebagai kepala negara. Petition of Rights
1628 jutsru melarang pemberlakuan martial law sama sekali. Namun hal itu hanyalah
resolusi parlemen, bagaimanapun raja atu ratu teteap memegang kekuasaan mutlak untuk
mendeklarasikan timbulnya suatu keadaan perang.
▪ Tahun 2004 ditetapkan Civil Contingencies Act yang memberi wewenang kepada Privy
Council atau Perdana Menteri untuk menetapkan emergency regulation apabila negara
dianggap berada dalam keadaan darurat, yaitu bila adanya ancaman serius terhadap
kesejahteraan manusia; ancaman serius terhadap lingkungan; dalm hal terjadi perang;

18
terjadinya delik terorisme. Wewenang itu akan berakhir dengan sendirinya, yaitu paling
lambat 7 hari sejak peraturan dimaksud dietatpkan, kecuali apabila paeraturan tersebut
dalam masa 7 hari mendapat persetujuan dari parlemen. Dan adanya jaminan yang pokok
dalam penggunaan kewenangan keadaan darurat berdasarkan UU ini yaitu Kontrol
Parlemen dan Kontrol Pengadilan.

E. DI NEGARA LAIN
Baik dewasa ini maupun di masa lalu, banyak sekali kasus yang dapat dikemukakan untuk
menyebut contoh mengenai apa yang kita namakan dengan keadaan darurat atau "state of
emergency itu. Sampai dengan Mei 2007 saja, dapat dikemukakan tercatat cukup banyak kasus
keadaan darurat yang sedang berlaku di berbagai negara. Misalnya dapat kita sebutkan di sini
adalah sebagai berikut.
a. Amerika Serikat, dalam hubungannya dengan berbagai persoalan internasional yang terkait
dengan ancaman terorisme, dapat dikatakan secara nominal masih berada dalam keadaan
darurat secara nasional. Di samping itu, di negara bagian Virginia, keadaan darurat juga
diberlakukan ketika terjadi peristiwa Virginia Tech Massacre awal 2007. Negara bagian New
Jersey juga memberlakukan keadaan darurat sehubungan dengan bajir besar di New Jersey
bagian utara. Negara bagian California juga memberlakukan keadaan darurat menyusul
runtuhnya satu bagian dari highway yang menghubungkan kendaraan ke jembatan Oakland
Bay pada April 2007 yang lalu. Demikian pula di El Paso county, Colorado, keadaan darurat
diberlakukan menyusul terjadinya badai saliu yang dahsyat dengan kecepatan angin 75 mph.
Gubernur Florida memberlakukan keadaan darurat di 4 dari mid countys sesudah terjadinya
bencana badai dan tornado yang menyebabkan 20
orang meninggal pada2 Februari 2007. Oswego county di New York juga memberlakukan
keadaan darurat karena menerima curahan salju setebal 100 inchi pada 4 Februari 2007.
Pemerintah Oklahoma menyatakan keadaan darurat pada 8 Mei 2007 karena derai curah hujan
yang tidak berhenti-henti dan menyebabkan banjir besar di seluruh kota.
b. Di samping itu, sampai sekarang Mesir dapat dikatakan masih berada dalam keadaan darurat
sejak Perang 6-Hari pada Juni 1967. Israel juga terus berada dalam keadaan daruratsejak 1948,
yaitu Perang Kemerdekaan, 19 Mei 1948.
c. Syria berada dalam keadaan darurat sejak kudeta Kelompok Baathist pada 8 Mart 1963,
meskipun dari waktu ke waktu diakui terus-menerus melonggar sejak itu.
d. Brunei Darussalam mash memberlakukan keadaan darurat sejak 12 Desember 1962 sebagai
respons terhadap gerakan pemberontakan pro-kemerdekaan ketika itu.

19
e. Swaziland berada dalam keadaan darurat sejak konstitusinya ditunda keberlakuannya olehKing
Sobhuza Il pada 12 April 1973.
f. Perdana Menteri Tonga mendeklarasikan keadaan darurat pada 17 November 2006
sehubungan dengan demonstrasi sipil di ibukota negara itu ketika itu.
g. Fiji dewasa ini juga terus berada dalam keadaan darurat yang di- deklarasikan ole Commodore
Frank Bainimarama pada 5 Desember 2006 sehubungan dengan kudeta yangdilancarkan oleh
rakyat Fiji.
h. Bangladesh memberlakukan keadaan darurat pada 1 1 Januari 2007 karena terjadinya tindakan
kekerasan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
i. Pemerintah Bolivia memberlakukan keadaan darurat sesudah terjadinya El-Nino yang dikuti
oleh banjir bear pada 3 Februari 2007.
j. Pemerintah Paraguay juga memberlakukan keadaan darurat pada Februari 2007 untuk
mengatasi perkembangan dan perluasan berjangkitnya virus epidemik demam berdarah
(dengue ever epidemic). Presiden Nicanor Duarte menyatakan keadaan darurat itu akan
berakhir paling lambat setelah enam puluh hari.
k. Pemerintah Vanuatu memberlakukan keadaan darurat pada 5 Maret 2007 karena terjadinya
konflik antar etnis (ethnic clashes) di ibukota Port Vila.
l. Guinea memberlakukan keadaan darurat pada 12 Februari 2007 ketika terjadi demonstrasi
besar penuh kekerasan sebagai reaksi atas pengangkatannya sebagai Perdana Menteri.
Dimasa lalu, tercatat sangat banyak kasus yang dapat dikemukakan sebagai contoh
pemberlakuan keadaan darurat ini di berbagai negara di dunia. Misalnya, dapat dikemukakan
contoh-contoh sebagai berikut.
a. Di Ecuador: 2 provinsi, yaitu Sucumbios dan Orellana dinyatakan berada dalamkeadaan
darurat pada pertengahan Agustus 2005 karena protes yang dilancarkan oleh kelompok
suku asli menentang perusahaan- perusahaan minyak setempat;
b. Di Filipina: keadaan darurat diberlakukan pada 26 Februari 2006 sebagai respons atas
kudeta gagal terhadap Presiden Gloria Macapagal Arroyo.

20
BAB V

KEADAAN DARURAT, HUKUM MILITER DAN HUKUM INTERNASIONAL

A. KONTEK HUKUM INTERNASIONAL


1. Instrumen Hukum Internasional
Instrumen yang dianggap utama yang mengatur pemberlakuan keadaan darurat ada 3:
a. Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia
b. Konvensi Inter-Amerika tenatang hak asasi manusia
c. Konvensi Internasional hak-hak sipil dan politik, ketiga instrumen ini pada pokoknya dapat
dikatakan mengandung tujuh materi ketentuan pengawasan yang terdiri atas dua ketentuan
prosedural dan lima ketentuan materiil.
Kontrol yang bersifat prosedural :
a. Persyaratan bahwa setiap keadaan darurat harus dideklarasikan secara remi oleh pemerintah
yang memberlakukannya
b. Persyaratan lebih lanjut harus diberitahukan kepada otoritas tertentu, seperti kepada sekjen
PBB.
Kontrol substantif :
a. Adanya pengecualian yang bersifat mengancam keamanan negara
b. Adnya kesetimpalan anatara derajat ancaman yang timbul dengan dengan bentukupaya
untuk mengatasi keadaan darurat
c. Tidak adanya bentuk perlakuan diskriminatif dalam upaya yang dilakukan
d. Kesesuaian antara semua tindakan pengecualian keberlakuan norma yang dilkaukandengan
kewajibaninternasional lain.
e. The complete insulation of certain core rights such as the right to life fromderogation
2. Mekanisme Trety-Based
a. European convention
b. Inter-America convention
c. ICCPR
d. Mekanisme perjanjian lain
3. Mekanisme Non Treaty-Based
a. Prosedur 1503
PBB mempunyai mandat hukum untuk melayani komunikasi denagn siapa saja termasuk organisasi
non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat atau kelompoklainnya berkenaan dengan

21
pelanggaran hak asasi manusiaapaun jugaoleh negara manapun.
b. Special Rapporteur
Lembaga yang dibentuk oleh Sub-komisi sebagai kelanjutan dari rintisanstudi mengenai keadaan
darurat yang dilakukan pada tahun 1982. Pada awalnya keberadaan pelapor khusus ini diatur
dalam resolusi ECOSOC 1985/37 yang memberi wewenang kepada sub-komisi untuk mengangkat
petugas khusus. Kemudian dengan resolusi 1985/32, Sub-komisi mengangkat Mr. Leandro
Despouy. Mekanisme ini secara umum cukup baik dan sangat berguna untuk mencapai tujuan
pengkajian dan pengendalian keadan darurat.
4. Mekanisme lain
Masalah ‘state of emergencies’ pada pokoknya meskipun tidak bersifat langsungjuga menjadi
pusat perhatian berbagai badan dunia dan mekanisme lain di luar sistem resmi PBB, bahkan
badan-badan PBB sendiri juga biasa membentuk institusi- institusi ysng bersifat tidak resmi
dengan berbagai macam sebutan sesuaidengan tema dan negara tertentu yang menjadi obyek
perhatian.
Di samping itu mekanisme lain yang lebih kuat dan efektif melalui dewan keamanan PBB.
Mekanisme ini dianggap paling efektif untuk mengontrol pemberlakuan keadaan darurat di suatu
negara anggota,semata-mata untuk maksudmelindungi hak- hak asasi manusia yang cenderung
terancam dengan memanfaatkan momentum keadaan darurat (state of emergencies) yang
diberlakukan di negara-negara anggota PBB.

B. HUKUM MILITER
1. Pengertian Umum
A.W Bradley dan K.D Ewing: The military law is the internal law of

armed2 forces, administered by officers with appropriate authority, by courts- martial, and appeal
26
by the Courts-Martial Appeal Court. Dalam konteks hukum Inggris, Hukum Militer adalah hukum
yang berlaku di kalangan interbal Angkatan
bersenjata, yang dilaksanakan oleh perwira yang ditugaskan untuk itu, oleh
pengadilam martial dan pada tingkat banding oleh pengadilan banding CourtsMartial Appeal.
O.Hood Phillips, paul Jackson, Patricia Leopold: TheObjects of military law are disciplinary and
administrative.

2. Hukum Pidana Militer


Disamping menegakkan ketertiban internal organisasi tentara juga menegakkan ketertiban umum
(internal order dan public order). Hal ini diatur secara terkodifikasi dalam KUHPT (KUHP Tentara).
22
3. Hukum Disiplin Militer
Bertujuan mengatur dan menegakkan ketertiban internal organisasi tentara dan diatur secara
terkodifikasi dalam KUHDT (KUH Disiplin Tentara).
4. Hukum Tata Usaha Tentara
Objek materiil hukum ini adalah Keputusan Tata Usaha Tentara yang artinya penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha tentara yang berisi Tindakan hukum
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan berkaitan dengan
penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan tentara serta pengelolaan pertahanan negara di
bidang personil, metriil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
C . PERADILAN MILITER DAN PERADILAN MARTIAL
Military tribunal—Pengadilan perang adalah sejenis peradilan militer yang didesain khusus untuk
mengadili tentara musuh di waktu perang yang beroperasinya di luar lingkup wilayan hukum
pidana dan perdata biasa. Hakin dan petugas lain terdisi dari perwira militer. Dan ini harus
dibedakan dengan court-martial.
D . HUKUM HUMANITER DAN PERADILAN PENJAHAT PERANG
Dalam studi hukum, hukum humaniter merupakan cabang ilmu hukum yang secara khusus
dipelajari dalam kerangka hukum internasional yang oleh para ahli biasa dipahami sebagai
seperangkat aturan yang berusaha membatasi akibat suati konflik bersenjata untukalas an yang
bersifat kemanusiaan. Hukum ini bermaksud melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat
dalam permusuhan dan membatasi cara dan metode bagaimana suatuperang dilakukan (means
methods of warfare). Depkumham, hukum humakiter dalam astisempit adalah keseluruhan asas,
kaidah, dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa
bersenjata sebagaiman yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1948. Sedangkan dalam arti luas,
merupakan asas, kaidan dan hukum internasionalbaik tertulis maupun tak tertulis yang mencakup
hukum perang dan HAM bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
pribadi seseorang.
The law of Geneva atau Hukum Jenewa didesain untuk melindungi personil militer yang tidak lagi
terlibat dalam pertempuran dan orang yang tidak secara aktif terlibat dalampermusuhan, yaitu
orang sipil dan penduduk sipil. Sedangkan the law of Heague atau Hukum Den Haag menentukan
hak dan kewajiban dari “belligerents” untuk bertindak dalam operasi iliter dan membatasi sarana
untuk mencelakai musuh. Saat ini keduanya telah digabungkan menjadi satu.
Peradilan perang mengandung 2 pengertian yaitu peradilan di masa perang (seperti dalam
pengertian military tribunal)---peradilan perang ; dan peradilan yang diadakan untuk mengadili

23
penjahat perang---terkait hukum humaniter yang mengadili penjahat perang--- International
Criminal Tribunal.
Sama pentingnya dengan standar-standar yang dikemukakan di atas, yang penting darinorma-
norma hukum internasional yang terkandung dalam berbagai konvensi dan instrumeninstrumen
internasional tersebut adalah apakah mekanisme yang ditentukan itu efektif ditegakkan atau
tidak. Untuk itu, perlu dibedakan antara kedua intrumen regional, yaitu"the European Convention
on Human Rights" (ECHR)® dan "the Inter-American Conven- tionon Human Rights" (ACHR)' di satu
pihak, dengan "the International Covenant on Civil and Political Rights" (ICCPR)* di pihak yang
lain. Kedua instrumen regional Amerika dan Eropa itu menyediakan mekanisme peradilan
(adjudicatory mechanism) dalam bentuk satu komisi (commission)? dan satu pengadilan (court).
Sementara itu, ICCPR lebih mengedepankan sistem pelaporan (reporting system) yang kurang
bersifat adversarial seba- gaimana peradilan.
Dalam kedua instrumen regional Eropa dan Amerika tersebut ditentukan bahwa KomisiHak Asasi
Manusia (Human Rights Commission) dilengkapi kewenangan untuk menerima pengaduan atas
pelanggaran konvensi dari negara pihak (state-parties) dan dari perorangan (individuals) yang
hidup di mana saja di negara yang menandatangani konvensi (signatory countries). Baru pada
1998, yaitu mulai 1 November 1998, tugas Komisi HAM Eropa dilanjutkan dan digantikan oleh
European Court of Human Rights yang terdiri atas 39 orang hakim tetap (fulltime judges)." Pihak
yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan ini untuk di Amerika adalah Komisi HAM atau
negara-pihak (state-parties) yang terkait dengan perkara yang diajukan kepada Komisi HAM.
Sementara di Eropa, sejak European Commission on Human Rights dibubarkan, maka yang berhak
mengajukan perkara ke European Court of Human Rights hanya negaranegara pihak saja (state-
parties).

24
BAB VI
KETENTUAN KONSTITUSIONAL KEADAAN DARURAT

A. Undang – Undang Dasar 1945


Istilah (legal terms) yang dipakai dalam kedua pasal tersebut jelas berbeda. Istilah yang pertama
menggunakan istilah "keadaan bahaya" yang tidak lain sama dengan pengertian keadaan darurat
(state of emergency), sedangkan yang kedua memakai istilah "hal ihwal kegentingan yang memaksa"
Apakah kata "hal ihwal itu sama dengan pengertian "keadaan"?
Keduanya tentu tidak sama. Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ihwal adalah isinya.
Namun, dalam praktik, keduanya dapat mengandung makna praktis yang sama. Oleh karena itu,
keadaan bahaya kadang-kadang dianggap sama dengan hal ihwal yang membahayakan, atau
sebaliknya, hal ihwal yang membahayakan sama dengan keadaan bahaya. Hanya saja, apakah hal
ihwal kegentingan yang memaksa itu selalu membahayakan? Segala sesuatu yang "membahayakan"
tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan "kegentingan yang memaksa", tetapi segala hal ihwal
kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Jika demikian, berarti kondisi kegentingan
yang memaksa itu lebih luas dari pada keadaan bahaya. Oleh karena itu, kedua istilah "keadaan bahaya
dan "hal ihwal kegentingan yang memaksa" tersebut dapat dibedakan satu dengan yang lain. Dengan
adanya pembedaan itu, wajar apabila penetapan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang,berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului oleh suatu
deklarasi keadaan darurat. Sementara itu, pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945
mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan
keadaan bahaya itu.
Beberapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan di antara kedua ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 12 mengatur mengenai kewenangan Presiden sebagai
kepala Negara (head of state), sedangkan Pasal 22 berada dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu
berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi
negara dalam keadaan bahaya atau melakukan "declaration of a state of emergency" berada di tangan
Presiden selaku kepala negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya, termasuk syarat
pemberlakuan, pengawasan terhadap pelaksanaannya, dan tata cara mengakhirinya, harus terlebih
dulu diatur dengan undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang (bij de wet geregeld
of in de wet geregeld), tidak boleh dengan peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang.
Sementara itu, materi yang diatur dalam Pasal 22 berada dalam ranah fungsi kekuasaan legislatif, yaitu
mengenai kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang (perpu), apabila terpenuhi syarat-syarat untuk itu, yaitu adanya hal ihwal atau

25
keadaan kegentingan yang memaksa Kedua, seperti telah diuraikan di atas, keadaan dan hal ihwal
kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengan
keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 Keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 boleh
jadi termasuk kategori keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang dimaksud oleh
Pasal 22. Akan tetapi, alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu
merupakan keadaan bahaya seperti yang dimaksud Pasal 12. Artinya, keadaan atau hal ihwal
kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya daripada keadaan
bahaya menurut Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya.
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Sebaliknya, tidak setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
berarti negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama dengan hal ihwal
yang membahayakan, atau sebaliknya, hal ihwal yang membahayakan juga merupakan keadaan yang
membahayakan. Akan tetapi, hal ihwal kegentingan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan.
Segala sesuatu yang "membahayakan" tentu selalu bersifat "kegentingan yang memaksa". tetapi
segala hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam
keadaan bahaya menurut Pasal 12, Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan. Akan
tetapi, penetapan Perpu oleh Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan bahaya lebih dulu.
Artinya, dalam kondisi negara dalam keadaan normal pun, apabila memang memenuhi syarat,
Presiden dapat saja menetapkan suatu Perpu. Ketiga, ketentuan mengenai "keadaan bahaya" yang
ditentukan dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat),
sedangkan "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum
yang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu yang terbatas. Di
satu pihak ada unsur "reasonable necessity", tetapi di pihak lain terhadap kendala "limited time."
Dengan demikian, terdapat tiga unsur penting yang secara bersama-sama membentuk pengertian
keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa.
B. Undang – Undang Keadaan Bahaya
Sejak UUD 1945 ditetapkan dan disahkan pada 18 Agustus 1945 pengaturan lebih lanjut mengenai
keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 ditentukan dalam beberapa undang-
undang. Undang-undang terakhir yang mengatur tentang hal ini adalah UU Prp No. 23 Tahun 1959
yang diundangkan pada 16 Desember 1959. Dengan berlakunya undang-undang ini, undang-undang
yang berlaku sebelumnya, yaitu UU No. 74 Tahun 1957 dinyatakan dicabut. Sebelum berlakunya UU
No. 74 Tahun 1957 ini, undang-undang pertama yang dibentuk untuk mengatur keadaan bahaya ini
adalah UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. Dapat dibayangkan bahwa baru satu tahun
Indonesia merdeka, sudah terbentuk undang-undang khusus yang mengatur soal keadaan bahaya ini

26
sesuai dengan amanat Pasal 12 UUD 1945. UU No. 6 Tahun 1946 itu pada pokoknya banyak
mencontoh ketentuan yang terdapat dalam "Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg" atau biasa
disingkat dengan Regeling SOB yang diundangkan pada 1939.* Kedua undang-undang yang terakhir
ini, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya dan "Regeling op de Staat van
Oorlog en van Beleg" atau (Regeling SOB) dicabut oleh UU No. 74 Tahun 1957.
Dengan demikian, undang-undang yang merupakan penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945
yang masih berlaku sampai sekarang adalah UU Prp No. 23 Tahun 1959. Di dalamnya diatur berbagai
hal berkenaan denga pemberlakuan dan pengakhiran serta tentang syarat-syarat dan akibat hukum
pemberlakuan keadaan bahaya itu. Jika sebelumnya keadaan bahaya dibedakan antara keadaan
darurat (staat van beleg) dan keadaan perang (staat van oorlog), dalam undang-undang yang terakhir
ini, keadaan bahaya itu dibedakan menurut tingkatannya antara keadaan darurat perang, keadaan
darurat militer, dan keadaan darurat sipil. Perkataan keadaan darurat dianggap identik atau
merupakan sinonim saja dari perkataan keadaan bahaya.
Di zaman Hindia Belanda, perkataan "staat van oorlog" dan "staat van beleg" memang dibedakan
satu sama lain. Kedua istilah ini secara tidak tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu
"staat van oorlog" diartikan "keadaan perang", sedangkan "staat van beleg" diartikan "keadaan
darurat". Padahal, seperti dalam terjemahan Susi Moeimam dan Hein Steinhauer, 'de staat van beleg'
itu adalah suatu keadaan di mana "kekuasaan diambil alih dan undang-undang negara tidak
diberlakukan lagi." Namun, karena kesalahan itu, dalam UU No. 74 Tahun 1957 tentang Keadaan
Bahaya." keadaan bahaya tersebut dibedakan dalam dua tingkatan pengertian, yaitu keadaan darurat
dan keadaan perang. Hal itu terlihat dalam rumusan Pasal 1 Ayat (1) UU Keadaan Bahaya Tahun 1957
tersebut.
C. Penanggulangan Bencana
Untuk mengatur mengenai penanggulangan bencana, pada 2007, telah pula diundangkan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 yang dibentuk karena keharusan mengambil tanggung jawab
dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas
bencana dalam mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945. Wilayah Negara yang demikian luas, memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan sering terjadinya bencana, baik yang
disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam
keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang penanggulangan bencana yang ada selama ini memang belum dapat dijadikan

27
landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan
masyarakat dan kebutuhan bangsa sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara
terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
Bencana itu sendiri dalam undang-undang ini yang diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh factor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor Sementara ini, bencana nonalam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit sedangkan bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antar-
komunitas masyarakat, dan terot .
Untuk menanggulangi bencana dimaksud, maka oleh undang undang diatur mengenai
penyelenggaraan rangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Prinsip-prinsip
yang digunakan sebagai dasar dalam penanggulangan bencana tersebut. Pembentukan undang-
undang ini sama sekali tidak dikaitkan dengan keadaan bahaya atau keadaan darurat sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 23 Prp Tahun 1959. Misalnya, dalam konsideran UU No. 24 Tahun 2007 ini,
tidak tercantum sama sekali UU No. 23 Tahun 1959 yang merupakan satu-satunya undang-undang
yang berlaku sampai sekarang tentang keadaan bahaya sebagai penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD
1945. Rupanya, pembentuk undang-undang berusaha membedakan antara keadaan yang timbul
karena terjadinya bencana seperti yang dimaksud dalam undang- undang ini dengan keadaan darurat
sebagaimana yang diatur dan dimaksud dalam UU Keadaan Bahaya dan UUD 1945. Padahal, keadaan
bahaya darurat itu sendiri sebenarnya dapat terjadi bukan saja karena perang agresi, ataupun karena
konflik-konflik bersenjata, tetapi juga karena bencana alam sehingga sudah seharusnya UU No. 23 Prp
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya juga dijadikan referensi oleh penyusun Undang-Undang No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ini. Memang dapat dimaklumi juga bahwa UU No. 24
Tahun 2007 ini disusun dalam suasana eforia reformasi, sedangkan UU No. 27 Tahun 1997 disusun
dalam masih dominannya rona kekuasaan Orde Baru, dan UU No. 23 Prp 1959 disusun dalam suasana
dominannya kekuasaan Orde Lama. Sangat boleh jadi, pembentukan UU No. 27 Tahun 2007
dipengaruhi oleh suasana yang sedemikian antinya terhadap segala bentuk otoritarianisme sehingga

28
kekuasaan penguasa darurat dipandang harus dihindari dalam pengelola keadaan yang timbul akibat
terjadinya bencana alam sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Namun demikian, terlepas dari kekurangan ini, yang jelas, UU No. 23 Prp Tahun 1959 tentang
Keadaan Bahaya dan juga UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi sampai sekarang
masih berlaku mengikat sehingga masih harus diterapkan apabila terjadi bencana yang menimbulkan
keadaan-keadaan yang memenuhi unsur-unsur yang dimaksud oleh kedua undang-undang ini. Dengan
demikian, suatu bencana alam yang dahsyat yang menimbulkan ancaman bahaya serius dan
membutuhkan tindakan mobilisasi, maka kedua undang-undang terakhir harus diterapkan bersama-
sama dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

29
BAB VII
APARATUR PELAKSANA KEKUASAAN DARURAT
A. Penanggungjawab : The Sovereign Power
Siapa yang secara konstitusional dapat dianggap bertanggung jawab dan karena itu dianggap
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keadaan darurat yang dimaksud di atas? Pada
pokoknya, kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola keadaan darurat terletak di
tangan kepala negara. Di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidentil,
kewenangan tersebut berada di tangan Presiden, sedangkan di kalangan negara-negara yang
menganut sistem parlementer atau pemerintahan kabinet, kewenangan tersebut berada di tangan
Raja, Ratu, Kaisar, ataupun Presiden. Para pemegang puncak kekuasaan eksekutif tersebut dapat
disebut sebagai "the Sovereign Executive" yang dianggap mempunyai hak-hak yang bersifat prerogatif
apabila negara berada dalam keadaan darurat. 'The Sovereign Executive' inilah yang sebenarnya
merupakan pemegang kekuasaan untuk mengecualikan berlakunya hukum yang biasa (ordinary laws),
seperti dikatakan oleh Carl Schmitt, "Sovereign is he who decides upon the exception." Menurutnya,
untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat yang mengancam keselamatan negara, demokrasi
liberal hanya mungkin bertahan dengan mengangkat seorang menjadi diktator yang akan
memberlakukan kekuasaan darurat yang memungkinkan "everything is justified that appears to be
necessary for a conretely gained success.
Dengan diberlakukannya keadaan darurat, semua tindakan yang diperkonkret." Jukan menjadi
benar semata-mata untuk mendapatkan keberhasilan yang juga mengembangkan pengertian
mengenai hak prerogatif yang luas, John Locke, dalam bukunya "Two Treaties on Civil Government".
sehingga mencakup pula hak-hak negara dalam keadaan darurat. prerogative can be nothing but the
people's per Menurut John Locke, " law was silent and sometimes too against the direct letter of the
law, for mitting their rules to do several things of their own free choice, where the the public good."
Hak prerogatif itu bahkan, menurut A.V. Dicey, tidak halnya hak yang dimiliki oleh "the crown and its
servants." Raja dan segenap saja dimiliki negara, tetapi juga oleh setiap individu warga negara, seperti
individu rakyat mempunyai hak "to repel force by force in the case of invasion, insurrection, riot, or
generally of any violent resistence of orderly government and is most assuredly recognised in the most
ample manner by the law of England." Dalam sistem presidentil, seperti di Amerika Serikat, Indonesia,
dan Filipina, hak prerogatif yang menyangkut tanggung jawab untuk mengatasi keadaan darurat
nasional seperti tersebut di atas berada di pundak Presiden sebagai 'single sovereign executive'.
Menurut Appacorai, konsep 'single executive' ini sangat penting, terutama ketika fungsi eksekutif
negara diperhadapkan dengan situasi krisis di mana kesatuan komando menjadi sesuatu yang sangat
penting.

30
B. Pelaksana Kekuasaan Darurat Di Daerah
Keadaan darurat yang diberlakukan dapat bersifat nasional atau local di daerah atau untuk lingkup
daerah-daerah tertentu saja. Dalam kedua keadaan tersebut, aparatur pemerintahan daerah
memegang peranan yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan dalam masa
berlakunya keadaan darurat. Hanya saja, jika keadaan darurat atau bahaya itu berlaku secara nasional,
aparatur pemerintahar. daerah. hanya sebagai pelaksana aparatur pelaksana operasional kekuasaan
pemerintahan dalam keadaan darurat yang bersifat nasional. Sementara itu, apabila keadaan darurat
yang diberlakukan hanya bersifat lokal, yaitu untuk daerah yang bersangkutan itu saja, peranan
pemerintahan daerah yang bersangkutan dapat menjadi pelaksana langsung dari kewenangan
Presiden sebagai 'the Sovereign.' Namun, terlepas dari perbedaan tersebut di atas, yang jelas dalam
konsepsi negara kesatuan (unitary state), badan hukum negara bersifat tunggal sehingga 'the sole
sovereign head of state'nya hanya ada satu. Dalam hal ini, berdasarkan ketentuan UUD 1945, yang
mempunyai kedudukan sebagai 'the sole sovereign head of state' adalah Presiden. Gubernur atau
pun bupati/walikota sebagai kepala pemerintah daerah tidak memiliki kedudukan sebagai 'the
sovereign legal entity' yang bersifat otonom. Otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan (unitary
state, eenheidsstaat) hanyalah merupakan sistem pengelolaan pemerintahan daerah yang menganut
asas desentralisasi. Artinya, pemerintahan daerah itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari konsepsi tentar.g negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Oleh karena
itu, kepala pemerintah daerah tidak dapat dianggap memiliki kewenangan yang otonom untuk
menyatakan atau mendeklarasikan berlakunya keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, sekalipun keadaan darurat itu hanya merupakan keadaan darurat
sipil dan bersifat lokal di wilayah pemerintahannya.
Mengapa demikian? Jawabannya jelas terkait dengan kenyataan bahwa akibat hukum yang
dihasilkan oleh pernyataan berlakunya keadaan darurat itu adalah timbulnya pembenaran atau
legalisasi untuk dilakukannya tindak penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan hukum yang
berlaku dalam keadaan normal. Dengan adanya pernyataan keadaan bahaya atau darurat itu, keadaan
negara berubah menjadi tidak normal sehingga berlaku doktrin "abnormal recht voor abnormal tijd",
yaitu bahwa hukum yang tidak normal berlaku untuk waktu yang tidak normal. Bahkan, oleh Profesor
Omar Seno Adjie bahwa dalam keadaan darurat itu, segala penyimpangan dan pertentangan dengan
kelaziman dapat dibenarkan (gerechtvaardigd) karena pertimbangan adanya bahaya atau 'nood. Oleh
karena itu, hanya 'the sovereign executive' yang memiliki kewenangan yang disebut sebagai 'the
inherent and independent power untuk mendeklarasikan atau memproklamasikannya. Pejabat
pemerintahan daerah dalam lingkup suatu Negara kesatuan hanya bertindak sebagai operator atau
pelaksana di daerah yang menjadi tanggung jawabnya, bukan justru bertindak sebagai sang 'sovereign'

31
itu sendiri.
C. Pengadilan Dalam Keadaan Darurat
Pengadilan dalam keadaan normal berbeda dengan pengadilan dalam keadaan darurat. Kondisi
darurat dalam keadaan damal (emergency power) juga berbeda dari kondisi darurat dalam keadaan
perang ac in me of war). Dalam keadaan biasa, pengadilan di Indonesia dewasa ini terdiri atas
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) beserta keempat lingkungan peradilan yang
berada di bawahnya, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan lingkungan peradilan militer Masing-masing lingkungan peradilan
tersebut terdiri atas peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding, dan peradilan tingkat kasasi
di Mahkamah Agung Pengadilan tingkat pertama meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer Sementara itu, peradilan tingkat banding terdiri
atas Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan
Pengadilan Tinggi Militer Dalam kondisi biasa dan dalam keadaan darurat yang damai (emergency in
time of peace), peradilan militer merupakan peradilan hukum disiplin militer yang bersifat internal
organisasi tentara, Inilah yang biasa dikenal sebagai pengadilan militer pada umumnya. Perlunya
peradilan militer diadakan tersendiri dan terpisah dari peradilan umum, karena di bidang hukum
pidana, di samping hukum pidana umum, maka terhadap anggota tentara masih perlu diberlakukan
hukum yang bersifat khusus yang disebut hukum pidana militer dan hukum disiplin militer Menurut
Soegiri, hal tersebut berkaitan dengan adanya kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam
kehidupan para anggota tentara atau militer.

32
BAB VIII
PROSEDUR PEMBERLAKUAN DARURAT
A. Prosedur Pemberlakauan
Dalam bab ini akan dibahas mengenai prosedur-prosedur pemberlakuan keadaan darurat yang
ideal. Maksudnya, pembahasan di sini tidak dilakukan dengan hanya terbatas pada sumber rujukan
normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang ada, yang notabene sudah sangat
ketinggalan zaman. Seperti telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, pemberlakuan keadaan darurat
itu di Indonesia sampai sekarang masih didasarkan atas ketentuan UU Prp No. 23 Tahun 1959 beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya. Upaya untuk mengadakan pembaruan dengan pembentukan
undang-undang baru, meskipun telah diusahakan, masih belum juga berhasil sampai sekarang. Oleh
karena itu, kita tidak dapat hanya mengandalkan ketentuan normatif berdasarkan undang-undang di
masa Orde Lama itu. Lagi pula, dewasa ini, rezim konstitusi Indonesia sudah sangat berubah. Jika UU
Prp No. 23 Tahun 1959 ditetapkan sebagai respons atas keadaan yang tidak normal yang timbul akibat
ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi
negara, maka sekarang keadaan negara didasarkan atas UUD 1945 pascareformasi, yaitu telah
dilengkapi dengan Perubahan Pertama (1999). Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan
Perubahan Keempat (2002). Lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara juga telah berubah
dan bertambah. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ditiadakan. dan telah terbentuk lembaga (tinggi)
negara yang baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian
pula dengan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang dulunya hanya merupakan mitra Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengawasi pelaksanaan tanggung jawab keuangan negara, sekarang
dilengkapi dengan kewenangan yang lebih luas dan lebih besar sehingga laporan hasil pemeriksaannya
juga harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai tingkat
kewenangannya, di samping kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

B. Keadaan Darurat Sipil


Keadaan darurat sipil itu sendiri dapat terjadi karena berbagai sebab. baik yang bersifat alami,
insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani. Sebab alami adalah sebab yang terjadi karena
akibat bencana alam baik yang timbul dari perut bumi, dari lautan, atau dari udara. Sebab-sebab yang
bersifat insani adalah sebab-sebab yang terjadi karena ulah manusia. Sementara itu, sebab-sebab yang
bersifat hewani adalah bencana yang timbul karena hewan yang menyebabkan berjangkitnya wabah
penyakit
yang meluas. Misalnya, bencana gunung berapi meletus, luapan lumpur panas dari perut bumi, hujan

33
badai, gelombang tsunami, banjir besar. kebakaran hutan, atau kebakaran pada umumnya,
berjangkitnya wabah penyakit demam berdarah (DB), penyakit malaria, penyakit Aids, flu burung
(aviant influenza), dan lain sebagainya.
Di samping itu, dapat pula terjadi konflik horizontal antarpenduduk yang menimbulkan
keadaan darurat. Tentu harus diadakan penilaian tersendiri berdasarkan kasus per kasus, apakah
peristiwa yang terjadi memang cukup diatasi dengan cara mendeklarasikannya sebagai keadaan
darurat sipil. Misalnya, jika konflik horizontal itu sendiri ternyata menimbulkan korban jiwa yang
meluas karena adanya faktor senjata api atau senjata tajam lainnya dalam jumlah tertentu, dapat saja
timbul kesimpulan bahwa pemberlakuan keadaan darurat sipil tidak mencukupi untuk mengatasi
keadaan. Dalam hal yang demikian, keadaan darurat militer dapat saja diberlakukan, Keadaan darurat
sipil bahkan dapat pula berhubungan dengan berbagai persoalan administrasi pemerintahan atau
dengan tugas-tugas administrasi yang bersifat internal pemerintahan. Apabila fungsi-fungsi
pemerintahan tertentu tidak dapat dilakukan dengan efektif sesuai dengan tujuannya, kecuali jika
dilakukan dengan cara yang terpaksa melanggar peraturan perundang-undangan, sementara
peraturan dimaksud tidak mungkin dapat diubah dalam waktu yang tersedia, hal yang demikian itu
juga dapat menimbulkan keadaan yang bersifat darurat. Sekiranya keadaan demikian juga dinyatakan
sebagai keadaan darurat, kedaruratan yang demikian juga hanya bersifat darurat sipil. Keadaan yang
demikian itulah yang disebut sebagai keadaan darurat internal administrasi pemerintahan (innerer
notstand atau internal state of emergency).

C. Keadaan Darurat Militer


Keadaan darurat militer adalah keadaan yang tingkatan bahayanya dianggap lebih besar daripada
keadaan darurat sipil dan penanganan atau penanggulangannya dianggap tidak cukup dilakukan
dengan operasi yang dikendalikan oleh pejabat sipil dan hanya berdasarkan ketentuan peraturan yang
berlaku dalam keadaan darurat sipil. Apabila tingkat ancaman bahaya yang terjadi dianggap lebih
besar atau lebih serius dan dinilai tidak cukup ditangani menurut norma-norma keadaan darurat sipil,
maka keadaan negara, baik untuk seluruh wilayah ataupun hanya untuk sebagian wilayah tertentu
saja, dapat dinyatakan atau dideklarasikan berada dalam keadaan darurat militer. Menurut ketentuan
Pasal 7 Ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,2% tugas pokok Tentara
Nasional Indonesia (TNI) adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahu 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

34
Tugas pokoktersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang atau operasi militer selain
perang. Operasi militer untuk perang dilakukan dalam keadaan darurat perang, sedangkan operasi
militer selain perang dapat dilakukan dalam keadaan darurat militer, keadaan darurat sipil, ataupun
dalam keadaan tertib sipil biasa. Misalnya, operasi militer dalam keadaan darurat militer dapat
dilakukan untuk maksud: (i) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; atau (ii) mengatasi
pemberontakan bersenjata. Ketentuan mengenai keadaan darurat militer ini diatur dalam Bab III UU
Prp No. 23 Tahun 1959 mulai dari Pasal 22 sampai dengan Pasal 34. Dalam Pasal 22 ditentukan bahwa
selama keadaan darurat militer berlangsung, ketentuan-ketentuan dalam Bab III itu berlaku untuk
seluruh atau sebagian wilayah negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam
keadaan darurat militer, Apabila keadaan darurat militer dihapuskan dan tidak disusul dengan
pernyataan keadaan perang, maka pada saat penghapusan itu peraturan-peraturan atau tindakan-
tindakan Penguasa Darurat Militer tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam Pasal 22 Ayat (3).

35

Anda mungkin juga menyukai