Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Kondisi Negara Dalam Keadaan Darurat dan berbagai norma hukum yang
ditentukan berlaku dalam keadaan darurat itu penting untuk dipelajari secara
tersendiri. Oleh Karena itu, di dunia akademis, Khususnya Hukum Tata Negara,
perlu dibedakan antara Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan biasa
atau normal dan Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau
tidak normal. Hukum Tata Negara yang terakhir inilah yang kita namakan Hukum
Tata Negara Darurat.
Dari Segi Praktis, Mengapa studi mengenai Hukum keadaan darurat itu
dianggap penting? Jelas karena studi mengenai soal ini sangat erat berkaitan
dengan pelanggaran serius atas hak-hak asasi manusia yang dapat terjadi dengan
diberlakukannya keadaan darurat itu. Studi yang menyeluruh mengenai soal ini
tentu dapat membantu agar negara terhindar dari pelanggaran terhadap hak asasi
manusia secara tidak sah. Jika pun Keadaan darurat itu diberlakukan,
pemberlakuannya dapat dikendalikan sesuai dengan maksud diadakannya aturan
mengenai keadaan darurat itu sendiri.
Oleh Sebab Itu, Tidak Dapat Tidak, studi mengenai Hukum Tata Negara
Darurat ini sebagai Imbangan Terhadap studi Hukum Tata Negara biasa sungguh
sangatlah penting dalam rangka perkembangan studi dan praktik ketatanegaraan di
Indonesia. Dalam Konteks demikian, studi mengenai Hukum Tata Negara Darurat
ini justru sangat penting. Studi tentang hukum keadaan darurat dapat pula
berfungsi sebagai mekanisme “early warning system”. Untuk mencegah jangan
sampau prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan mengalami kegagalan. Dengan
Demikian, Hukum Tata Negara Darurat itu sendiri dapat dikatakan merupakan
salah satu cabang ilmu Hukum Tata Negara yang secara khusus mempelajari
aspek-aspek hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan negara yang tidak
normal atau istimewa.

1
Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa dalam negara yang berada dalam
keadaan darurat, hukum tata negaranya disebut hukum tata negara darurat,
sedangkan dalam negara yang berada dalam keadaan normal, bidang hukum tata
negaranya disebut hukum tata negara biasa. Di samping itu, daam negara yang
berada dalam keadaan darurat, terdapat bidang-bidang hukum lain yang juga
bersifat darurat  atau dalam sifat darurat itu hanya terkait dengan bidang hukum
tertentu saja, misalnya, pada hukum tata negara dan hukum administrasi saja.
Dengan perkataan lain, pembicaraan tentang negara dalam keadaan darurat
mecakup materi yang lebih luas daripada perbincangan mengenai hukum tata
negara darurat. Pokok bahasan mengenai “state of emergencies.” Harus dibedakan
dengan pokok bahasan mengenai “emergency law”, yang kedua sama-sama
mempunyai kadungan materi lebih uas dari istilah hukum tata negara darurat atau
“martial law dan “contitutionallaw in a state of emergency.”1

2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang anda ketahui mengenai Hukum Tata Negara Subjektif dan
Hukum Tata Negara Subjektif?
2. Jelaskan asas – asas dalam pemberlakuan darurat?
3. Jelaskan tentang Hukum Tata Negara Darurat?

BAB II

1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,


2008, hlm.14

2
PEMBAHASAN

1. Hukum Tata Negara Subjektif dan Objektif


Hukum Tata Negara Subjektif atau staatsnoodrect dalam arti subjektif adalah
hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan
cara menyimpang dari ketentuan undang-udang, dan bahkan apabila memang
diperlukan, menyimpang dari undang-undang dasar. Dalam banyak literatur,
istilah staatsnoodrecht dalam arti subjektif ini biasa disebut staatsnoodrecht saja,
tanpa tambahan subjektif. Oleh karena itu, jika kita menemukan istilah
staatsnoodrecht dalam berbagai literatur, kita dapat memahaminya dalam konteks
pengertian yang bersifat subjektif itu.
Kebiasaan demikian ini terus dipertahankan oleh para sarjana mengingat
sumber dari staatsnoodrecht dalam arti subjektif itu adalah hak-hak asasi manusia
yang pada mulanya merupakan hukum tidak tertulis yang bersandar pada hukum
asasi sebagai hukum objektif. Namun demikian, karena pengaruh perkembangan
aliran positivisme dan ajaran tentang negara hukum formil, barulah setelah itu
berkembang istilah staatsnoodrecht dalam arti objektif.
Berbeda dengan pengertian hukum tata negara subjektif atau staatsnoodrecht
dalam arti subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam arti
subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam keadaan daruart,
maka yang dimaksud dengan staatsnoodrecht dalam arti objektif adalah hukum
yang berlaku dalam masa negara berada dalam keadaan darurat itu. Sekarang
ketentuan hukum yang masih berlaku dan mengatur mengenai keadaan bahaya
atau keadaan darurat ini adalah ketentuan pasal 12 Udang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 23 Prp Tahun 1959
Tentang Keadaan Bahaya.
  Sebagai istilah, perkataan staatsnoodrecht dalam arti objektif merupakan
antonim atau lawan perkataan dari staatsnoodrecht (dalam arti subjektif) yang
biasa dipakai secara luas dalam ilmu hukum tata negara. Istilah staatsnoodrecht
objektif inilah yang oleh M.I. Prins diusulkan agar dirubah dengan istilah
noodstaatsrecht karena yang diutamakan dalam staatsnoodrecht objektif adalah

3
keadaan daruratnya atau staat in nood. Oleh karena itu, istilah noodstaatsrecht
menurutnya lebih tepat untuk menggambarkan pengertian yang terkandung dalam
perkataan staatsnoodrecht dalam arti objektif itu. Keadaan bahaya atau nood dapat
terjadi dimana saja, termasuk dapat terjadi hanya di suatu daerah tertentu saja.
Jika keadaan bahaya itu timbul, meskipun hanya di daerah tertentu saja, hal itu
sudah cukup memberikan alasan bagi negara untuk menjalankan hak subjektifnya
untuk memberlakukan keadaan darurat atau staatsnoodrecht dalam arti subjektif.
  Dengan perkataan lain, istilah noodstaatsrecht atau staatsnoodrecht dalam
arti objektif merupakan hukum tata negara yang berlaku atau baru berlaku pada
waktu negara berada dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, atau dalam keadaan
genting. Dalam perkataan noodstaatsrecht itu, subjek utamanya adalah staatsrecht
atau hukum tata negara, sedangkan dalam perkataan staatsnoodrecht (subjektif)
subjek utamanya adalah staatsnood, keadaan darurat negara atau keadaan bahaya
yang memberikan hak kepada negara untuk bertindak dalam mengatasinya.
Hukum darurat negara itu dapat berupa hukum tata negara, hukum administrasi
negara, hukum pidana, ataupun lapangan hukum perdata. Sementara itu, dalam
istilah noodstaatsrecht yang dibicarakan hanya hukum tata negara saja, yaitu
hukum tata negara yang baru berlaku ketika negara berada dalam keadaan
darurat.2

2. Ketentuan Konstitusional keadaan darurat


a. Undang Undang Dasar
Hukum tata negara darurat mungkin belum akrab di telinga masyarakat luas.
Hukum tata negara darurat sebagi bagian dari sistem hukum bernegara. Dalam
sebuah pemerintahan kadang kala terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat
diprediksi dan bersifat mendadak. Keadaan demikan sering menimbulkan keadaan
darurat. Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan akibat
yang tidak dapat diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum
yang ada terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah

2 http://koesjreng.blogspot.co.id/2012/10/hukum-darurat-negara.html

4
dibutuhkan perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan
dalam keadaan darurat.3
Dalam UUD-RIS Tahun 1949, istilah yang dipakai adalah keadaan yang
mendesak dan Undang-Undang Darurat. Pasal 139 (1) menyatakan, "pemerintah
berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang
Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan federal yang
karena yang sama ini diadopsikan pula dalam UUDS 1950, yaitu pada pasal 96
ayat (1) yang berbunyi, "pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri
menetapkan undang-undang darurat yang mengatur hal-hal penyelenggaraan
pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan
segera."4
Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai ini diatur dalam dua pasal, yaitu pasal
12 dan pasal 22.
Pasal 12 : “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 22 : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

a. Undang-Undang Bahaya
Sejak UUD 1945 ditetapkan dan diasahkan pada 18 Agustus 1945, Pengaturan
lebih Lanjut mengenai keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh pasa 12 UUD
1945 ditentukan dalam beberapa undang-undang terakhir yang mengatur tentang
hal ini adalah UU Prp No. 23 Tahun 1959 yang diundangkan pada 16 Desember
1959. dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang yang berlaku
sebeumnya, yaitu UU No.74 Tahun 1957 dinyatakan dicabut. sebelumnya
berlakunya UU No. 74 Tahun 1957 ini, Undang-Undang Pertama yang dibentuk
untuk mengatur keadaan bahaya ini adalah UU No.6 Tahun 1946 tentang keadaan
bahaya.

3 https://fatahilla.blogspot.co.id/2009/07/hukum-tata-negara-darurat.html
4 Ibid hlm 205.

5
Dengan demikian, undang-undang yang merupakan penjabaran ketentuan
pasal 12 UUD 1945 yang masih berlaku sampai sekarang adalah UU Prp No.23
Tahun 1959. di Dalamnya diatur berbagai ha berkenaan dengan hukum
pemberlakuan keadaan bahaya itu. Jika Sebelumnya keadaan bahaya dibedakan
antara keadaan darurat (staat van beleg) dan keadaan perang (staat van
oorlog), dalam undang-undang yang terakhir ini, keadaan bahaya itu dibedakan
menurut tingkatannya antara keadaan darurat perang, keadaan darurat militer, dan
keadaan darurat sipil. perkataan keadaan darurat dianggap identik atau merupakan
sinonim saja dari perkataan keadaan bahaya.5

b. Penanggulangan Bencana
Untuk Mengatur mengenai penanggulangan bencana, pada 2007, telah pula
diundangkan undang-undang No. 24 Tahun 2007 yang dibentuk karena keharusan
mengambil tanggung jawab dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan memberikan perlindungan terhadap
kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana dalam
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan pancasila, sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945. Bencana itu sendiri dalam undang-undang ini
yang diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbunya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan,kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Prinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar dalam penanggulangan bencana
tersebut adalah :
1.      Cepat dan tepat;
2.      Prioritas;
3.      Koordinasi dan keterpaduan;
4.      Berdaya guna dan berhasil guna;

5 Ibid hlm 212 & 213

6
5.      Transparansi dan akuntabilitas;
6.      Kemitraan;
7.      Pemberdayaan;
8.      Nondiskriminatif; dan
9.      Nonproletisi.6

c. Mobilisasi dan Demobilisasi


Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam konteks pelaksanaan UU No.
23 Tahun 1959 sebagai penjabaran ketentuan pasal 12 UUD 1945, adalah UU
No.27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Mengenai Kaitan antara
undang-undang ini dengan pengertian dan ketentuan mengenai keadaan bahaya
dapat dilihat dengan jelas dalam konsideran mengingat UU No 27 tahun 1997 ini
juga karena diamanatkan oleh Pasal 42 UU No. 20 Tahun 1982 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
yang menentukan bahwa mobilisasi dan demobilisasi harus diatur dengan undang-
undang. Lagi pula, UU no.14 Tahun 1962 tentang penetapan Perpu No. 1 tahun
1962 tentang pemanggilan dan Pengerahan semua warga negara dalam rangka
Mobilisasi Umum Untuk Kepentingan Keamanan dan Pertahanan Negara menjadi
undang-undang dinilai sudah sangat ketinggalan zaman.
Selanjutnya, dalam pasal 6 ditentukan pula bahwa mobilisasi dikenakan terhadap:
I. Warga negara yang termasuk:
 Anggota rakyat terlatih;
 Anggota perlindungan masyarakat;
 Diperlukan karena keahliannya;
II. SDA,Sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang
dimiliki negara, swasta, dan perseorangan termasuk personal yang
mewakilnya.
Menurut Pasal 4, Mobilisasi dan demobilisasi mempunyai tujuan berbeda, yaitu
sebagai berikut.

6 Ibid hlm 217 & 218

7
1) Mobilisasi diselenggarakan dengan tujuan untuk menanggulangi setiap
ancaman yang membahaykan persatuan dan kesatuan bangsa serta
kelangsungan hidup bangsa dan NKRI.
2) Demobilisasi diselenggarakan dengan tujuan untuk memulihkan kembali
fungsi dan tugas umum pemerintahan, kehidupan Kemasyarakatan, dengan
tetap terpeliharanya kemampuan dan kekuatan pertahanan keamanan
negara.
Pengaturan tersebut tidak dilakukan secara tegas sehinga sulit mengetahui apakah
suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat. UU Prp No. 23
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya membagi keadaan darurat menjadi tiga
yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Undang-undang tersebut
mengatur tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat:
1) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian
wilayah indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan,
atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh
alat kelengkapan negara secara biasa;
2) timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
negara republik Indonesia. Keputusan pemberlakuan keadaan darurat
dilakukan oleh presiden melalui peraturan presiden (perpres). Hal ini
berdasarkan UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Keadaan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai keadan berbahaya
atau darurat? Ada banyak pendapat dan doktrin dari para ahli hukum mengenai
hal ini. Namun saya mencoba mengambil simpulan dari Jimly Asshiddiqie. Jimly
menyatakan:
1) keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luaR
2) keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri
3) keadaan bahaya karena perang di dalam negeri atu pemberontakan
4) keadaan bahaya karena kerusuhan sosial
5) keadaan bahaya karena bencana alam

8
6) keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu
7) keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara
8) keadaan lain dimana fungsi konstitusional tidak dapat bekerja

Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera mungkin


dan meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat diambil
menurut Vinkat Iyer tindakan darurat meliputi:
1) kewenangan menangkap (power of arrest);
2) kewenangan menahan (power of detention);
3) pembatasan atas kebebasan fundamental (power imposing restriction of
fundamental freedom);
4) kewenangan terkait perubahan prosedur pengadilan dan
pemidanaan (power concerning modification of trial procedures and
punishment);
5) kewenanan membatasi atasa akses ke pengadilan (power imposing
restriction on access to the judiciary);
6) kewenangan atas imunitas yang dinikmati polisi, aparat keamanan, dan
yang lainnya (power concerning immunities enjoyed by the police and
member of security forces and so on)

3. Asas dalam pemberlakuan darurat


1) asas proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh
masyarakat. Bila keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan
yang diambil oleh pemerintah tidak mendapat keabsahan.
2) asas legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam
keadaan darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik
hukum nasional maupun hukum internasional.
3) asas komunikasi

9
Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan
tersebut kepada seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga
harus memberitahukan kepada negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan
melalui perwakilan negara bersangkutan dan kepada pelapor khusus PBB “special
rapporteur on state of emergency”
4) asas kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu
pemberlakuan keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan darurat
dapat mencederai hak dasar warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan
darurat harus jelas mengenai awal pemberlakuan dan waktu berakhirnya.
5) asas keistimewaan ancaman
Krisis yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau
minimal mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman
yang ada haruslah bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut karena menimbulkan
ancaman terhadap nyawa, fisik, harta-benda, kedaulatan, keselamatan dan
eksistensi negara, atau peri kehidupan bersama dalam sebuah negara.
6) asas proporsionalitas
Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat mengembalikan
dalam keadaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang
diambil haruslah tepat sesuai dengan gejala yang terjadi. Jangan sampai negara
mengambil tindakan yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan.
7) asas intangibility
Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah
tidak boleh membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun
yudikatif.
8) asas pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi
prinsip negara hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi jalannya
keadaan darurat sebagai bentuk mekanisme “check and balances”.keadaan darurat
tidak mengurangi kewenangan mengawasi kebijakan yang diambil pemerintah.

10
Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi
manusia. Namun negara tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar
manusia (non derogable rights). Berikut ini hak dasar manusia:
a.       hak untuk hidup
b.      hak untuk tidak disiksa
c.       hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
d.      hak beragama
e.       hak untuk tidak diperbudak
f.       hak untuk diakui sebagai pribadi da hadapan hukum
g.      hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Hukum tata negara darurat menjadi penting karena terkait dengan
pelanggaran hak dasar warga negara yang mungkin terjadi dalam keadaan darurat
tersebut. Keadaan darurat membolehkan apa yang tidak boleh sebagaimana istilah
“onrecht word rech”, yang semula tidak boleh menjadi boleh atau bahkan
melarang hal yang semula dibolehkan. Kata darurat sendiri berasal dari bahasa
Arab yakni “dhorurot” yang berarti keadaan mendesak. Dengan adanya tulisan ini
diharapkan dapat membantu siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai
hukum tata negara darurat.7

4. Beberapa kasus keadaan darurat di Indonesia


Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarangan, telah banyak peristiwa atau
kejadian luar biasa yang menyebabkan peraturan perundanga-undangan yang
berlaku dalam keadaan biasa atau normal menjadi tidak berdaya dan tidak lagi
efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan pembentukannya. Untuk Menghadapi
berbagai potensi gangguan dan ancaman dimaksud, maka untuk pertama kali,
Pemerintah Republik Indonesia membentuk satu undang-undang tersendiri, yaitu
UU No. 6 Tahun 1946 Tentang Keadaan bahaya.
Setelah disahkan atau diundangkannya UU No. 6 Tahun 1946 tentang keadaan
Bahaya ini, Ketika Pemerintahan berpusat di Yogyakarta, Pada 7 Juni 1946,

7 https://fatahilla.blogspot.co.id/2009/07/hukum-tata-negara-darurat.html

11
Presiden Soekarno Mengeluarkan pernyataan Keadaan Bahaya Untuk Daerah
Jawa Timur dan Madura.
Dengan Putusan 7 Juni 1946, Mengingat Pasal 6 dari UU keadaan bahaya,
Memutuskan:
1. Membentuk suatu Dewan Militer yang diketahui oleh kami sendiri;
2. Mengangkat menjadi :
  a.  Wakil ketua pertama Wakil presiden;
  b.   Wakil ketua kedua Menteri Pertahaan;
3. Mengangkat seterusnya menjadi anggota:
a.   Panglima Besar;
b.   Pemimpin Umum AD RI;
c.   Kepala staf AL RI;
d.  Kepala staf AU RI;
e.   Direktur Jenderal Kementrian Pertahaan;
4.   Mencatat bahwa di kementrian Pertahanan dibentuk suatu kantor yang tetap
untuk Dewan tersebut dan yang berkedudukan di Yogyakarta. 
Selanjutnya, ketika RI berubah menjadi RIS berdasarkan UUD RIS 1949,
Presiden menetapkan UU Darurat No. 8 Tahun 1950 yang mengadakan tambahan
terhadap “Regeling op de saat van Oorlog en van Beleg,”8
Kasus pertama,Sejarah HTND di Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
catatan kelam peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus Hingga puncaknya Pada
30 September 1962 (G-30-S). Bermua dari eskalasi politik yang kian memanas,
akibat adanya pertentangan di kalangan elite politik terhadap beberapa
permasalahan sistem ketatanegaraan anatara lain : gerakan NASAKOM;
perebutan pengatuh dalam lingkar kekuasaan Presiden Soekarno, Khususnya PKI
dengan Kelompok (TNI-AD); Gerakan di tingkat akar rumput antara beberapa
organisasi massa dari berbagai unsur kemasyrakatan, agama, sosial politik; serta

8 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,


2008, hlm.28

12
adanya klik-klik dalam tubuh militer baik di intern AD maupun antarangkatan,
terutama dengan AU.
Dalam situasi yang sangat tidak menentu dan menimbulkan spekulasi
politik, Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa putusan penting. Di antaranya
(a)    Tentang Kesehatan Presiden;
(b)   Bahwa Presiden tetap memegang tampuk pimpinan negara dan tampuk
pemerintahan dan Revolusi Indonesia;
(c)    Bahwa Presiden memerintahkan semua Panglima Angkatan Bersenjata
bersama Wk. PM II Dr. Leimena dan para pejabar lain untuk menyelesaikan
persoalan dalam peristiwa G-30-S PKI;
(d)   Perunya menciptakan suasana tenang dan tertib dengan menghindari
bentrokan senjata;
(e)    Bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra untuk tugas sehari-hari; dan
(f)    Untuk pemuihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan
peristiwa 30 September ditunjuk Mayor Jenderal Soeharto, sesuai dengan
kebijaksanaan yang digariskan.9

Kasus kedua, dalam Proses Peralihan Kepemimpinan dari Presiden


Soeharto ke Presiden B.J. Habibie terjadi lagi gerakan massa yang sangat  massif
mirip apa yang terjadi pada 1965-1966. Pada pertengahan 1998 krisis moneter
melanda Indonesia.
Ditengah krisis moneter itu, Indonesia kembali mengadakan Sidang
Umum MPR dengan agenda pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dimana
Soeharto menjadi calon tunggal. Dapat dimengerti karena situasi poitik saat itu
memang sangat tidak memungkinkan kekuatan politik menyatakan ‘tidak kepada
sosok yang sudah berkuasa sejak tahun 1966 itu. Oleh karena itu, ia kembali
sebagai Presiden untuk masa jabatan ketujuh pada 11 Maret 1998 meski ia sendiri
sudah mulai ragu.

9 Ibid hlm.35 & 36

13
Untuk kembali memperkuat legitimasi pemerintahan, MPR mengelurakan
TAP No.V/MPR/1998 tentang pemberian tugas dan wewenang dan Pengamanan
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Di luar proses politik
fomral di MPR, Masyarakat terus bergerak tuntutan perubahan, pada  awalnya
perubahan tersebut baru sebatas perubahan politik dan perbaikan ekonomi, tetapi
kemudian berkembang pada tuntutan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden.
Situasi sosial juga semakin memanas dengan mulai munculnya kerusuhan-
kerusahan di berbagai tempat akibat krisis ekonomi yang melanda masyarakat.
Kerusuhan ditandai oleh aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran,
penjarahan hingga tindakan asusila di daerah-daerah lain. Ratusan korban
berjatuhan. Kerugian harta benda tidak terhitung jumlahnya.
Singkat kata, dalam menghadapi situasi yang genting tersebut, akhirnya,
Presiden Soeharto melakukan langkah-langkah darurat. Pada 18 Mei
1998  Presiden Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998
tentang Penunjukan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) RI Sebagai
Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional
(KOPKKN). Beberapa poin penting dari Impres itu adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kebijakan nasional untuk menghadapi krisis yang sedang atau
akam dihadapi.
2. Mengambilah langkah-langkah utnuk secepatnya mencegah atau
meniadakan sumber-sumber penyebab ataupun mengatasi peristiwa yang
mengakibatkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban.
3. Para menteri, dan pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan
daerah membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi
Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Pada 19 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang sejumlah tokoh
Masayrakat. Presiden Soeharto menyatakan agar segera membentuk Komite
Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU
Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi sesuai dengan keinginan masyarakat.

14
Akan tetapi, Kedua ‘langkah darurat’ untuk mengatasi keadaan ini tidak jadi
dilaksankan oleh Presiden Soeharto. Pembentukan Komite tidak dapat
dilaksankan karena tokoh-tokoh yang diharapkan menjadi anggota menolak.10
Kasus ketiga, Porong Sidoarjo Jawa Timur, yaitu penanganan bencana semburan
Lumpur Panas itu sendiri sampai sekarang, Setelah setahun berlangsung, belum
juga berhasil dihentikan terjadilah Lumpur panas itu juga jelas merupakan
bencana yang banyak menimbulkan korban jiwa,harta benfa dan lingkungan
dengan segala dampak-dampak sosialnya. Kerugian yang terjadi, bukan saja bagi
PT Lapindo Brantas, tetapi juga bagi rakyat atau penduduk sekitar dan kualitas
lingkungan hidup yang lebih luas.
Untuk mengatasi keadaan yang timbul di Porong tersedia dua Piihan, yaitu
dilakukan dengan cara biasa berdasarkan peraturan perundang- undangan yang
normal (ordinary law) atau dilakukan dengan cara-cara tidak biasa berdasarkan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang darurat (exceptional law).
Misalnya, untuk mengatasi keadaan, Presiden menetapkan Peraturan Presiden No.
14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Artinya Negara
Menganggap Penting bahwa masalah yang terjadi di Sidoarjo itu bersifat khusus
sehingga menganggapanya perlu diatur khusus dalam Peraturan Presiden yang
tersendiri.
Akan tetapi, karena penetapan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 itu
tidak didahuui oleh suatu pernyataan keadaan darurat, dapat dikatakan bahwa
keadaan di Sidoarjo itu bukanlah keadaan darurat atau keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 Ataupun yang dimaksud oleh
UU Prp No. 23 Tahun 1959.11

10 Ibid hlm 41,42,43


11 Ibid hlm 51 & 52

15
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum Tata Negara Subjektif atau staatsnoodrect dalam arti subjektif adalah
hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan
cara menyimpang dari ketentuan undang-udang, dan bahkan apabila memang
diperlukan, menyimpang dari undang-undang dasar. Hukum tata negara subjektif
atau staatsnoodrecht dalam arti subjektif yang merupakan hak negara untuk
bertindak dalam arti subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam
keadaan daruart, maka yang dimaksud dengan staatsnoodrecht dalam arti objektif
adalah hukum yang berlaku dalam masa negara berada dalam keadaan darurat itu.
Asas dalam pemberlakuan darurat yaitu, asas proklamasi, asas legalitas, asas
komunikasi, asas kesementaraan, asas keistimewaan ancaman, asas
proporsionalitas, asas intangibility, asas pengawasan.
Hukum Tata Negara (HTN) dalam keadaan bahaya, yakni merupakan sebuah
rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam
waktu sesingkat – singkatnya dalam menghapuskan keadaan darurat atau bahaya
yang mengancam, kedalam kehidupan biasa menurut undang – undang dan
hukum yang umum dan biasa. Hukum Tata Negara Darurat sebagai berikut “oleh
karena itu, didunia akademis, khususnya Hukum Tata Negara perlu dibedakan
antara HTN yang berlaku dalam keadaan luar biasaatau tidak normal. HTN inilah
yang kita namakan Hukum Tata Negara Darurat.

16

Anda mungkin juga menyukai