Anda di halaman 1dari 4

DEFINISI TARIKH TASRYI’

Kata tarikh berasal dari kata “ta’rikh” dengan kata kerja (fi’il) arrakha
yang berarti menentukan waktu terjadinya sesuatu. Sedangkan kata tasyri’ adalah
bentuk masdhar (verbal noun) dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat
syariat. Penutur asli bahasa Arab menggunakan kata ini untuk dua arti berikut.
a. Jalan yang lurus
b. Air mengalir yang biasa digunakan untuk minum, sebagaimana
ucapan orang Arab: Syara’at al ibil berarti (unta itu tengah pergi
mencari tempat air).
Sedangkan menurut terminologi fuqada’, kata syariat dipakai untuk
menjelaskan tentang hukum – hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-
Nya melalui lisan seorang Rasul.
Semua hukum yang dibawa para rasul juga memiliki kemiripan dengan
sumber air yang mengalir, karena syariat adalah jalan menuju hidupnya jiwa dan
nutrisi bagi akal, seperti halnya air sebagai sumber kehidupan bagi tubuh.
Kata syariat dengan makna istilah mencakup semua syariat yang dibawa
oleh para rasul. Dengan demikian, ia mencakup syariat yang dibawa oleh Nabi
Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad dan semuanya dinamakan syariat.
Dari makna syariat secara istilah inilah, kata tasyri’ yang berarti membuat
syariat diambil. Contoh: “Syara’a ad-din yusyri’u syar’an”, jika menetapkan
kaidahmenjelaskan aturan serta memunculkan hukum.
Merujuk pengertian ini, kata tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat,
menjelaskan hukum, dan membuat undang – undang. Jika demikian halnya, kata
tasyri’ islami hanya terjadi pada waktu Rasulullah masih hidup saja karena
baginda adalah penyampai dari Rabbnya, sedangkan setelah baginda wafat tidak
ada satu orangpun memliki kapasitas ini, sebab baginda adalah penutup para nabi
dan rasul.
Dari sini bisa kita simpulkan, syariat artinya adlah kompilasi hukum –
hukum yang ditetapkan oleh Allah kepada semua manusia melalui lisan
Rasulullah, baik yang ada dalam Alquran maupun sunnah.
1. Syariat pada Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah dapat disebut juga sebagai fase
kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal – hal sebagai
berikut.
a. Kesempurnaan dasar dan sumber – sumber utama fiqh Islam pasa masa
ini.
b. Setiap syariat (undang – undang) yang datang setelah zaman ini semuanya
merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah dalam meng-
istinbat (mengeluarkan) hukum syar’i.
c. Periode – periode setelah kerasulan (sepeningal Rasulullah) tidak
membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan
hanya pada masalah – maslah baru atau kejadian – kejadian yang tidak ada
di zaman Rasulullah.

2. Kondisi bangsa Arab pra kerasulan Muhammad


Dari aspek politik, orang – orang Arab tidak mengenal istilah negara dalam
arti yang sesuai menurut undang – undang, karena negara dengan definisi ini
harus meiliki aturan, undang undang dasar, perundangan, kehakima, tentara
sebagai pelindung dari serangan luar, dan polisi sebagai pelindung dari dalam.
Inilah yang tidak ditemukan dari orang – orang Arab, mereka hanya hidup dalam
sisitem kabilah, setiap kabilah ada pemimpin dan tidak ada kekuasaan yang
menyatukan semua pemimpin kabilah yang ada sebagai penguasa dan pelaksana
pemerintahan, yag akan memerangi tangan – tangan jahat. Bahakan setiap orang
bebasa untuk melakukan pembalasan sendiri, dan menjadi wajib atas kabilahnya
untuk membela sampai ia mendapatkan haknya.
Walaupun sistem kabilah ini dapat bertahan dan berkuasa, namun keputusan
pemimpin kabilah tidak mengikat setiap orang atau warga kabilah bersangkutan.
Setiap orang dalam kabilah memiliki hak untuk menolak dan tidak ada yang bisa
menyatukan sisstem kabilah ini, menyatukan kekuatannya dibawah satu panji
pada saat mereka mempertahankan diri. Jika satu kabilah mendapatkan serangan
dari luar maka mereka akan mempertahankannya bersama – sama walaupun ada
perbedaan atau kesepakatan antarindividu untuk mempertahankan diri atau
menjaga dan melindungi harta, jiwa, dan kehormatan.
Sedangkan dari aspek perundangan, banyak terpengaruh oleh kondisi politik,
ekonomi dalam peraturan perundang – undangan yang tersebar pada saat itu. Ini
disebabkan oleh ketidaktahuan mereka untuk menulis (ummiy) yang memang
menjadi fenomena umum masyarakat pada saat itu –sebelum Islam- sehingga
tidak dapat melahirkan sebuah sistem prundanga – undangan yang sempurna,
yang ada hanya berupa aturan – aturan adat kebiasaan lokal. Tradisi Mekah
berbeda dengan tradisi masyarakat Madinah, dan keduanya memiliki peranan
masing – masing yang berbeda dengan masyarakat primitif (badui).
Aturan ini sangat sedikit untuk mengatur semua hubungan sosial di antara
mereka, sangat sederhana dan kebanyakannya bertentangan dengan nilai – nilai
keadilan dan akhlak mulia, ditambah lagi semua aturan ini tidak menyebutkan
hukuman materil bagi yang melanggar selain menunggu keputusan masyarakat.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa aturan ini lebih dekat kepada regulasi normatif
daripada sebuah regulasi perundangan, dan disini akan dijelaskan beberapa aturan
dan kaidah perundang – undangan utama yang ada pada masyarakat Arab sebelum
diutusnya Muhammad.
Dalam aspek hubungan keluara, mereka mengenal beberapa bentuk
pernikahan, diantarayang sudah terbiasa, eorang wanita dilamar dari orang tuanya
lalu sang pelamar memberi mahar kemudian akad nikah antara calon suami dan
wali setelah calon mempelai wanita dimintai izin dan ridha dan disaksikan leh
para saksi.
Ada juga bntuk pernikahan yang lain yang sebenarnya sama dengan perzinaan,
lalu dibatalkan oleh Islam karena tidak dapat menjaga kesucian pernikahan dan
nasab serta menodai kehormatan wanita.
Praktik poligami juga sudah menjadi kebiasaan pada saat itu tanpa mengenal
batas. Seorang klelaki dpat menikahi sesuai dengan kemampuan keuangan dan
kekuasaan yang ia miliki tanpa ada yang menghalangi walaupun seratus wanita.
Orang Arab juga mengenal istilah talak sebagai cara untuk memutus ikatan
pernikahan dan hanya ada ditangan suami. Jika talak dijatuhkan maka sang suami
juga mempunyai iddah untuk ia rujuk kembali kepada istrinya sebelum tempo
habis walaupun ia sudah menceraikannya lebih dari seratus kali.

3. Tasyri pada Periode Mekkah


Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul
sampai beliau hijrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama tiga belas tahun.
Perundang –undangan hukum islam pada periode inni lebih fokus pada
upaya mempersiapkan masyarakat agar tetap dapat menerima hukum – hukum
agama, selain menanamkan akhlak – akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk
dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan
arahan kepada manusia kepada dua perkara utama.
a. Mengokohkan akidah yang benar dalam jiwa atas dasr iman kepada Allah
dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab – kitab, rasul,
dan hari akhir. Semua ini bersumber dari Alquran yang kemudian
dijelaskan dalam beberapa ayat.
b. Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan
menjauhkan sifat – sifat tercela. Alquran memerintahkan mereka agar
berkata jujur, amanah, menepati janji, adil, saling tolong – menolong yang
lemah dan terzalimi. Selain itu Alquran juga melarang mereka dari akhlak
tercela seperti berdusta, menipu, curang dalam timbangan, mengingkari
janji, berbuat zalim, dan aniaya serta perilaku lain yang dianggap
melampaui batas dan menyimpang dari adat kebiasaan.

Anda mungkin juga menyukai