1. Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota
Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang
berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan
penulis sejumlah buku.karena kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih
sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih,
matematika,dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman
seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-
Maqdisi, Ahmad binAbu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya,Syamsuddin Al-
Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya
sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari
pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena
hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia
menolak tawaran tersebut. Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan
kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik
dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada
kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga
dimedan perang. Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah
kepada. Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan
dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa
tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya. Selama dalam
tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika
penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap
menulis dengan menggunakan batu arang.
Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20
DzulQo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
2. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain
Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyahdsan
al-Hisbah fi al-Islam.
a. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran
Islam. Alquran sendiri sangat menekankan kedilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Barkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba sebagai
penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen. Istilah harga yang adil
juga telah disebutkan dalam bebarapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik,
misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Sekalipun penggunaan
istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang
pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam
membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu
kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia
menyatakan,“kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan
inilah esensi keadilan (nafs Al-adl)ditempat lain, ia membedakan antara dua jenis harga, yakni
harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap
harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini
secara bergantian. Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl)
tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil
atau setara(‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut.
a) ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau
merusak harta atau keuntungan.
b) ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barang atau
keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
Ketika sesesorang diminta untuk menentukan akad yang rusak ( al-’uqud al- fasidah) dan
akad yang shahih ( al-’uqud al-shahihah )
dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik. Prinsip umum yang
sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya. Misalnya:
1) Hadiah yang diberikan oleh Gubernur kepada orang-orang muslim, anak-anak yatim dan
wakaf.
2) Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil unuk melakukan pembayaran
kompensasi.
3) Pemberian upah oleh atau kepada rekanan bisnis ( al-musyarik wa al-mudharib ).
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud,
dalam pemakaian yang umum(urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga(si’r) dan kebiasaan
(‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil
didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebutdengan barang lain yang setara. Ibnu
Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu hargayang adil. Ia
menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang
setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia menyatakan sering kali terjadi ambiguitas
dikalangan para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga yang
setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dankuantitas (miqdar). Tentang perbedaan
antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan,“Jumlah yang tertera
dalam suatu akad ada dua macam. Pertama,jumlah yang telah dikenal baik dikalangan
masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara umum.kedua, jenis yang tidak lazim sebagai
akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan(righbah) atau faktor lainnya. Hal ini
dinyatakan sebagai harga yang setara. Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang
setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya
kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran sertadipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.Berbeda halnya dengan
konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga
yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan hal ini, ia
menyatakan :“Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual
barang- barang dagangnnya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara barang-
barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus. Ibnu
Taimiya menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar
yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Ia
menggambarkan perubahan harga sebagai barikut. “Jika penduduk menjual barang-barangnya
secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil kemudian harga
tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply)atau karena
peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand) kenaikan harga-harga tersebut
merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang
mereka pada harga tertentu adalah pemakasaan yang salah (ikrah bi ghairi haq)