Anda di halaman 1dari 21

MALAKAH

Ajaran Kausalitas

Disususn untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen pengampu Atu Karomah, DH.,

Oleh:

Kelompok 7

Eka Eliyana 211120041


M. Khaetami 211120052
Sania Nabila Ahmad 211120068

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA


HASSANUDIN BANTEN

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah –Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Ajaran Kausalitas ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Atu Karomah, DH.,.
Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana. Yang membimbing kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Eka dan Tami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan referensi
maupun data – data dalam pembuatan makalah ini, sehingga mempermudah dan
akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
di karenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tiap-tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja,
dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal
tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau
beberapa peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama
causalitas yang berasal dari kata “causa” yang artinya adalah sebab.

Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, ajaran causalitas ini bertujuan


untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan
dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain
ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa
jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.

Seperti yang kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana


mengenal beberapa jenis delik yang penting dalam ajaran causalitas adalah
perbedaan antara delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang
telah dianggap penuh dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan suatu hukuman. Sedangkan delik materiil adalah delik yang telah
dianggap selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam
dengan hukum dan undang-undang.

Serang,13November 2022

Penulis

3
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................3
A. Latar Belakang ........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................5
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................6
A. Pengertian Ajaran Kausalitas ..................................................................................6
B. Ajaran Kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) .................8
C. Macam-macam Ajaran Kausalitas ..........................................................................9
1. Teori condition sine qua non ..............................................................................9
2. Teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien) .....................11
3. Teori-teori yang menggeneralisir (generaliserende theorien) ..........................13
D. Ajaran Kausalitas dalam perbuatan pasif .............................................................14
BAB III...............................................................................................................................19
PENUTUPAN .....................................................................................................................19
A. Kesimpulan ...........................................................................................................19
B. Saran ....................................................................................................................20

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ajaran Kausalitas
2. Bagaimana Ajaran Kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Apa saja macam-macam Ajaran Kausalitas
4. Bagaimana Ajaran Kausalitas dalam perbuatan pasif

C. Tujuan Masalah
1. Memahami pengertian Ajaran Kausalitas
2. Memahami Ajaran Kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
3. Mengetahui macam-macam Ajaran Kausalitas
4. Mengertahui Ajaran Kausalitas dalam perbuatan pasif

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ajaran Kausalitas

Tiap-tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat
juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut
diatas dapat juga terjadi satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Masalah
sebab akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa”
yang artinya adalah sebab.

Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan


untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan
dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain
ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa
jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.

Seperti yang kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal
beberapa jenis delik yang penting dalam ajaran causalitas adalah perbedaan antara
delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang telah dianggap
penuh dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
suatu hukuman. Sedangkan delik materiil adalah delik yang telah dianggap selesai
dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan
undang-undang. Contoh-contoh delik formal dan materiil sebagai berikut:

Delik Formal:

1. Pasal 362 KUHP : yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah
perbuatannya mengambil barang milik orang lain.
2. Pasal 242 KUHP : yang dilarang memberikan keterangan palsu di bawah
sumpah

Delik Materiil:

1. Pasal 338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menyebabkan
matinya orang lain.

6
2. Pasal 251 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menimbulkan
sakit atau luka pada orang lain.
3. Pasal 187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah timbulnya
kebakaran, peledakan banjir, sedangkan perbuatannya menimbulkan akibat
tersebut tidak menjadi soal.

Dalam delik formal perbuatan itulah yang dilarang dan pada delik materiil
yang ditekakan adalah akibat dari perbuatan itu. Apabila ajaran kausalitas
dihubungkan dengan delik formal sebagaimana telah diketahui akibat suatu
peristiwa tidak dinyatakan dengan tekad sebagai unsur dari suatu delik. Oleh
karena itu, ajaran kausalitas dalam hubungannya dengan delik formal tidak
memberikan pengaruh yang tegas. Akan tetapi jika ajaran kausalitas ini
dihubugkan dengan delik materiil, akan lain halnya karena yang ditekankan
dalam delik ini adalah akibat dari perbuatannya, jadi ajaran kausalitas ini
penting bagi delik materiil.

Tiap-tiap akibat pada kenyataannya dapat ditimbulkan oleh beberapa


masalah, dan masalah satu dengan yang lain merupakan suatu rangkaian
sehingga akibat tersebut tidak ditimbulkan dalam suatu perbuatan sajam
bahkan oleh beberapa perbuatan yang merupakan rangkaian yang dapat
dipandang sebagai sebab dari timbulnya suatu akibat.

1. Teori yang mengindividualisir


2. Teori yang menggeneralisir

Keterangan:

Teori yang mengindividualisir adalah dalam mencari satu masalah dari


rangkaian perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang
menyebabkan akibat yang timbul. Jadi ajaran ini mendasarkan pada in
concreto.

Teori yan menggeneralisir adlah ajaran ini menentukan sebab daripada


akibat yang timbul, dengan mencari ukuan dengan perhitungan pada
umumnya yang berarti ukuran itu ditentukan in abstrakto.

7
Jadi setelah sesuatu akibat timbul, dicarilah sebabnya dari rangkaia-rangkaian
perbuatan itu, yang menimbulkan akibat dalam pada mana dipergunakan
perhitungan yang layak sebagai penyebab timbulnya akibat.

B. Ajaran Kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP)

Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana merupakan


suatu hal yang sulit dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara
untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik.
KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-
delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan
pidana terhadap pembuat, seperti misalnya Pasal 338 KUHP tentang
kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan
pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat
menurut Pasal 338 KUHP tersebut. Kemudian Pasal 378 KUHP tentang
perbuatan curang, bahwa penipuan hanya dapat menyebabkan pembuatnya
dipidana bilamana seseorang menyerahkan barang, memberi hutang
maupun menghapuskan piutang karena terpengaruh oleh rangkaian
kebohongan dan tipu muslihat pembuat sebagaimana tersebut dalam pasal
itu.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
terjadinya delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan
adanya akibat tertentu, yaitu:
a. Delik materiil, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penipuan
(Pasal 378 KUHP).
b. Delik culpa, misalnya karena kelalaiannya menyebabkan kematian
orang lain (Pasal 359 KUHP), karena lalainya menyebabkan lukanya
orang lain (Pasal 360 KUHP).
Ada pula yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan
terjadinya akibat tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang
dikualifikasikan karena akibatnya, misalnya penganiayaan yang
berunsurkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP) dan matinya orang lain

8
(Pasal 351 ayat (3) KUHP), Pasal 187 ayat (3) KUHP yang mengandung
unsur timbulnya bahaya terhadap nyawa orang lain dan mengakibatkan
matinya orang.
Tentang keadaan luka berat dan matinya orang lain inilah yang
dapat disebut sebagai keadaan yang secara obyektif memperberat pidana,
artinya dalam keadaan biasa yang pembuat sengaja menganiaya orang lain
maka sanksi pidananya hanya maksimal dua tahun delapan bulan penjara
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 351
ayat (1) KUHP). Tetapi apabila dalam keadaan yang secara obyektif, maka
sanksi pidananya menjadi lebih berat yakni yang mengakibatkan luka-luka
berat menjadi paling lama lima tahun penjara (Pasal 351 ayat (2) KUHP)
dan yang mengakibatkan matinya orang lain menjadi paling lama tujuh
tahun penjara (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Kalau kesengajaan pembuat
memang tertuju pada luka beratnya orang lain, maka yang dikenakan ialah
sanksi yang tersebut pada Pasal 354 KUHP dengan maksimum sanksi
delapan tahun penjara. Jikalau sengajanya memang tertuju kepada
kematian orang lain, maka ia dapat dikenakan sanksi menurut Pasal 338
KUHP yaitu maksimum lima belas tahun.
Namun menurut Teguh Prasetyo bahwa KUHP mengenai ajaran
kausalitas ini berubah-ubah atau cenderung tidak pasti. Sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa yang dianut hanya satu ajaran saja. Karena dilihat
dari sejarahnya, Hoge Raad mengikuti beberapa teori kausalitas. Namun
tidak mengikuti satu ajaran saja.

C. Macam-macam Ajaran Kausalitas

Dalam rangka untuk mencari factor mana dalam sebuah peristiwa yang
menjadi penyebab kematian , digunakanlah ajaran kausalitas. Ada beberapa
macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 teori yang besar,
yaitu:

1. Teori condition sine qua non


Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah
menjabat sebagai Presiden Reichtgericht (Mahkamah Agung Jerman), yang

9
menulis dua buku megenai hukum ialah Uber Kausslitat un deren
Verantwortung, dan Die Kausalitat und ibre strafrechtliche Beziehungen.
Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873
ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua factor yang ada dan tidak
dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat.

Menurut teori ini, tidak membedakan mana factor syarat dan yang mana
factor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa
1
sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya.

Menurut teori ini tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya
sama, sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibat akan lain pula. Tiap
syarat baik positif maupun negative untuk timbulnya satu akibat adalah sebab,
dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan tidak akan
mungkin terjadi suatu akibat konkret, seperti yang senyata-nyatanya menurut
waktu tempat dan keadaan. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan tanpa
menyebabkan berubahnya akibat.2

Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (aquivelenz-theorie) atau


bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, oleh karena ajaran Von
Buri ini menilai semua factor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya
suatu akibat. Disebut dengan bedingungstheorie oleh karena dalam ajaran ini
tidak membedakan antara factor syarat (bedingung) dan mana factor
penyebab (causa).

Kelemahan ajaran ini ialah pada tindak membedakan antara factor syarat
dengan factor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Walaupun
teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi roh dalam praktik di
negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu
putusan (8 April 1929) yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai
sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau
normal” (Satochid:451). Bersifat umum atau normal maksudnya ialah bahwa
factor yang dinilai sebagai penyebab itu tidaklah perlu berupa factor yang
1
Drs. Adami Chazawi, S.H. Pelajaran Hukum Pidana. Bag. 2. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta,
2011
2
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Hukum Pidana Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2013

10
menurut perhitungan yang wajar dan kebiasaan yang berlaku dapat
menimbulkan akibat, asalkan ada kaitannya dalam rangkaian peristiwa yang
menimbulkan akibat semuanya adalah factor penyebab.

Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini tetapi dengan mudah dapat
digunakan dan diterapkan pada segala peristiwa, dan pada praktisi hukum
tidaklah perlu berdebat panjangn dan bersusah payah memikirkan untuk
mencari factor penyebab yang sebenarnya (secara obyektif) atau factor yang
paling kuat baik secara akal maupun ilmu pengetahuan yang menjadi
penyebab atas timbulnya suatu akibat tertentu.

Untuk mengatasi kelemahan ajaran Von Buri ini, maka Van Hamel salah
seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambahkan
kedalam Von Buri, ialah ajaran tentang kesalahan. Menurut Van Hamel
ajaran Von Buri sudah baik, akan tetapi harus dilengkapi lagi dengan ajaran
tentang kesalahan (schuldleer). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya
menjadi salah satu factor di antara rangkaian selain factor dalam suatu
peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas
timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri si pembuatnya dalam
mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan
maupun kealpaan.

Bisa dikatakan bahwa ajaran von Buri ini adalah dasar dari ajaran tentang
hubungan sebab akibat, karena pada kenyataannya berbagai ajaran kausalitas
yang timbul dan berkembang berikutnya merupakan suatu penyempurnaan
atau masih ada kaitannya dengan ajaran beliau. Dalam perkembangan
selanjutnya timbul banyak ajaran tentang hubungan sebab akibat ini, yang
pada pokoknya teori-teori yan timbul kemudian adalah berusaha mencari
untuk menentukan factor mana yang merupaka syarat dan factor mana yang
menjadi penyebab.

2. Teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien)

11
Teori yang mengindividualisir adalah dalam mencari satu masalah dari
rangkaian perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang
menyebabkan akibat yang timbul. Jadi ajaran ini mendasarkan pada in
concreto.3
Teori ini ialah teori yang dala usahanya mencari factor penyebab dari
timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada factor yang ada atau
terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu
beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut
teori ini setelah peristiwa itu, tidak semuanya menjadi factor penyebab. faktor
penyebab itu adalah berupa factor yang paling berperan atau dominan atau
mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat,
sedangkan factor lain adalah dinilai sebagai factor syarat saja dan bukan
factor penyebab. Pendukung teori ini antara lain Birkmeyer dan Karl
Binding.4
Menurut Brikmayer (teorinya de meest werzame factor): tidak semua
factor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai factor penyebab,
melainkan hanya terhadap factor yang menurut kenyataannya setelah
peristiwa itu terjadi secara konkret (post factum) adalah merupakan factor
yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya
akibat.
Menurut Karl Binding, yang teorinya disebut dengan ubergewicht theorie
yang menurut beliau bahwa di antara berbagai factor itu, factor penyebabnya
adalah factor yang terpenting dan seimbang atau sesuai dengan akibat yang
timbul. Bahwa dalam peristiwa yang menimbulkan akibat, akibat itu terjadi
oleh karena factor yang positif yaitu factor yang menyebabkan timbulnya
akibat lebih unggul daripada factor negative atau factor yang
bertahan/meniadakan akibat.
Guna lebih lebih menjelaskan ajaran ketiga sarjana tersebut di atas, di
bawah ini akan dikemukakan keterangan Vos mengenai ajaran-ajaran ketiga

3
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Hukum Pidana Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2013
4
Drs. Adami Chazawi, S.H. Pelajaran Hukum Pidana. Bag. 2. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta,
2011

12
sarjanna tersebut, yaitu sebagai golongan pengikut teori yang
mengindividualisir termasuk:5
 Teori dari meist wirksame bedingung dari Brikmayer: sebab adalah
yang dalam concreto yang paling memberikan akibat. Contohnya dua
ekor kuda yang menarik kereta, yang paling kuat adalah yang terlebih
dahulu menyebabkan bergerak kereta itu.
 Teori dari Binding: syarat adalah sebab, yang merupakan pokok
daripada syarat di atas negative. Yang dimaksud Binding di sini
bukanlah bahwa peluru terakhir adalah sebab, akan tetapi bila tiap
peluru ikut diperhitungkan juga, makan kita akan kembali lagi pada
ajaran Van Buri.
 Teori dan Kohler: syarat adalah sebab yang menentukan bagi die arts
des werdens. Kesulitan teori ini adalah bila berbagai syarat itu adalah
setingkat pentingnya, umpama seseorang yang sangat peka terhadap
racun, yang bila dimakan orang dalam jumlah tertentu pada umumnya
tidak menyebabkan kematian. Maka kepekaan yang berlebihan ini
adalah lebih menentukan daripada racunnya.
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang
mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam
dua hal, yaitu:
a) Dalam kriteria untuk menentukan factor mana yang mempunyai
pengaruh lebih kuat, dan
b) Dalam hal apabila factor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan
sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang muncul.

Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan itu menimbulkan rasa


ketidakpuasan bagi ahli hukum terhadap teori-teori yang
mengindividualisir, maka timbullah teori menggeneralisir.

3. Teori-teori yang menggeneralisir (generaliserende theorien)

5
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Hukum Pidana Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2013

13
Teori yan menggeneralisir adalah ajaran ini menentukan sebab daripada
akibat yang timbul, dengan mencari ukuran dengan perhitungan pada
umumnya yang berarti ukuran itu ditentukan in abstrakto.6

Teori ini adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian
factor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah
dengan melihat dan menilai pada factor mana yang secara wajar dan
menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu
akibat. Jadi mencari factor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada
factor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman
pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia.

Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini adalah bagaimana


penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk
menimbulkan akibat tertentu itu, mengenai hal ini ada beberapa pendirian
yang antara lain:

a) Penentuan subyektif: disini dianggap sebab adalah apa yang oleh si


pembuat dapat diketahui bahwa pada umumnya dapat menibulkan
akibat (Von Kries). Jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah
yang menentukan.
b) Penentuan objektif: dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara
objektif kemudian diketahui. Jadi bukan yang diketahui oleh si
pembuat melainkan pengetahuan dari hakim.

D. Ajaran Kausalitas dalam perbuatan pasif

Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara
pidana aktif atau pidana positif (tindak pidana comissi) dan tinak pidana pasif atau

6
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Hukum Pidana Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2013

14
tindak pidana negative (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak
pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak
berbuat mana melanggar suatu kewajiban hukum (rechtplicht) untuk berbuat
sesuatu. Barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan di
mana dia tidak melakukannya misalnya membiarkan (304) atau tidak datang
(522), atau seorang ibu dengan maksud membunuh bayinya sengaja tidak
menyusuinya (wujud dari perbutan menghilangkan nyawa secara pasif dari 338,
maka dia telah melakukan tindak pidana pasif.

Untuk tindak pidana pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah


merupakan persoalan, oleh sebab tindak pidana pasif murni itu adalah murni
berupa tindak pidana formil, yang dalam hal terwujudnya tidak penting akibat,
atau tidak bergantung pada akibat, misalnya pada pasal 304 dan 522. Dengan
terwujudnya perbuatan membiarkan (304) dan tidak datang (522) tindak pidana
itu telah terjadi secara sempurna. Lain halnya dengan tindak pidana pasif yang
tidak murni (oneigenlijke omissie delicten atau comisionis per ommisionem
comissa). Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana pasif
yang terjadi pada tindak pidana materiil.Sebagaimana diketahui bahwa pada
tindak pidana materiil tertentu dapat terjadi dengan tidak berbuat, seperti pada
contoh di atas “tidak menyusuii”, yang dapat menimbulkan akibat kematian bayi
yang wajib disusui oleh seorang ibu yang melahirkannya. Terwujudnya perbuatan
tidak menyusui (wujud perbuatan menghilangkan nyawa pada 338) tidak dengan
demikian otomatis menimbulkan akibat kematian bayinya, mungkin pada saat
setelah beberapa hari tidak disusui (perbuatan tidak menyusui telah selesai), tetapi
bayinya belum meninggal, bisa jadi sedang sekarat yang kemudian diketahui
orang dan lalu segera dilakukan pertolongan medis, maka bayinya tidak mati,
maka yang terjadi adalah berupa percobaan pembunahan (338 jo 53).

Persoalan ini timbul berhubung tindak pidana pasif yang pada dasarnya adalah
berupa tindak pidana formil itu, dilakukan pada tindak pidana materiil, di mana
unsur akibat menjadi sangat penting dalam hal untuk terwujudnya tindak pidana.
Dengan tidak berbuat, misalnya tidak menyusui bayinya, dapat menimbulkan
akibat terlarang yakni kematian bayinya. Dalam hal yang diterangkan terakhir

15
inilah yang menimbulkan persoalan. Mengenai peroalan ini ada beberapa
pandangan, yaitu:

a. Pandangan Pertama

Pada mulanya timbul pandangan yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan


alam. Berdasarkan pandangan ini maka “tidak mungkin ada hubungan antara
akibat dengan tidak melakukan perbuatan” (aktif), atau tidak mungkin tidak
berbuat apapun dapat menimbulkan suatu akibat. Pendirian ini tidak memuaskan
berhubungan dalam hukum tidak harus sama dengan ilmu pengetahuan alam,
karena hukum adalah mengenai nilai, sedangkan ilmu pengetahuan alam adalah
mengenai alam nyata.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak kejadian-kejadian yang oleh sebab tidak


berbuat yang seharusnya yang menimbulkan akibat, yang menurut rasa keadilan
masyarakat menuntut pertanggung jawab pidana terhadap pembuat yang tidak
berbuat, seperti pada peristiwa kecelakaan kereta api yang menewaskan sekian
banyak orang. Maka adalah tidak mungkin untuk berpegang teguh pada pendapat
menurut ilmu pengetahuan alam ini.

b. Pandangan Kedua

Pandangan yang disebut dengan “theorie van bet anders doen” atau teori berbuat
lain, yaitu didasarkan bahwa perbuatan aktif itu adalah suatu perbuatan apa yag
dilakukan pada saat terwujudnya suatu akibat terlarang. Berdasarkan pendirian ini,
maka dalam contoh ibu yang tidak berbuat menyusui bayi tadi, dipandang dia
berbuat apa pada saat kematian bayinya itu terwujud, misalnya dia sedang
berkencan dengan pasangan kumpul kebonya disebuah hotel. Maka tidak berbuat
menyusui adalah dianggap dia berbuat berkencan dengan pasangan kumpul
kebonya, yang menyebabkan kematian bayinya. Pendirian ini pun tidak
memuaskan, karena tidak terdapat hubugan antara berkencan dengan matinya
bayi.

c. Pandangan Ketiga

Pandangan yang ketiga apa yang dimaksud dengan “theorie van bet
voorafgraande doen” atau teori berbuat sebelumnya. Menurut teori ini, yang

16
harus dipandang sebagai sebab daripada akibat ialah perbuatan yang mendahului
pada saat terwujudnya akibat. Contohnya, ialah seorang penjaga wissel KA yag
tidak memindahkan wissel ketika kereta api hendak lewat, yang menjadi penyebab
adalah karena penerimaan jabatan sebagai petugas wissel sebelum terjadinya
akibat kecelakaan kereta api. Pandangan ini juga tidak memuaskan,
berhubungtidak ada hubungan antara diterimanya jabatan penjaga wissel dengan
kecelakaan kereta api.

d. Pandangan Keempat

Pandangan keempat ialah didasarkan pada kewajiban hukum yang dimiliki


seseorang yang pada waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh hukum harus
berbuat. Apabila karena hukum seseorang wajib berbuat, dan kemudian dia tidak
berbuat yang menimbulkan akibat, maka sebab dari akibat itu adalah terletak pada
dimilikinya kewajiban hukum tersebut. Pelopor pandangan ini ialah Van Hamel
yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak berbuat, ia tidak dapat dianggap
menyebabkan suatu akibat, apabila dia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk
berbuat (als de dader de rechtsplicht heft om te doen). Contohnya dalam putusan
Hof Amsterdam (23-10-1883) yang menyatakan orang tua yang diam saja ketika
anaknya akan dibunuh, maka orang tua tidak bertanggung jawab atas matiny anak
itu, walaupun sikap orang tuaya itu sebagai tidak patut (Sudarto, op.cit,: 75). Dari
pendirian Hof Amsterdam ini dapat disimpulkn bhwa tidak ada hubungan causal
antara tidak berbuat (pencegahan) dengan kemaatian anaknya akibat dibunuh
orang, karena dianggap tidak ada kewajiban hukum untuk berbuat mencegah
pembunuhan terhadap anaknya itu.

Lain halnya dengan contoh Ibu yang tidak menyusui bayinya yang
mengakibatkan kematian bayinya, dimana pada diri ibu sejak melahirkan bayinya
terbitlah suatu kewajiban hukum yang didasarkan pada kualitas atau
kedudukannya sebagai ibu yang melahirkan untuk berbuat menghidupi bayinya
dengan cara yang pada umumnya menyusuinya.

Dalam pandangan yang keempat ini, timbullah masalah tentang dari mana kita
dapat mengetahui bahwa seseorang itu memiliki suatu kewajiban hukum.
Kewajiban hukum timbul dari tiga macam, yaitu: pekerjaan atau jabatan,

17
ditetapkan oleh hukum, dan kepatutan yang diakui dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat (maatschapelijke betamelijkheid) (Satochid, op.cit:240). Oleh karena
itu untuk mengetahui apakah pada seseorang yang tidak berbuat yang karenanya
menimbulka suatu akibat, memiliki kewajiban hukum untuk berbuat (tidak
menimbulkan akibat terlarang itu) adalah mencarinya dari tiga macam sumber
tersebut.

Seorang penjaga gudang, karena jabatan atau pekerjaannya itu menerbitkan


suatu kewajiban hukum untuk menjaga keamanan atau keberadaan dari seluruh isi
gudang, dan untuk ituu dia memiliki kewajiban hukum untuk berbuatu sesuatu
ketika ada orang yang akan mengganggu keamanan dari isinya gudang, misalnya
pencurian. Demikian juga seorang penjaga palang kereta api, yang karena
jabatannya itu dia berkewajiban hukum untuk menutup palang kereta api ketika
kereta akan lewat.

Kewajiban hukum dapat timbul pada diri seseorang karena ditentukan secara
tegas oleh hukum, tentu saja namanya juga kewajiban hukum, misalnya pada
Pasal 304, dan Pasal 522.

Sedangkan kewajiban hukum dapat pula lahir dari kepatutan-kepatutan yang


dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Misalnya seorang anak kecil
yang suatu hari bapak ibunya meninggal bersama karena kecelakaan dan tidak
meninggalkan keluarga lain yang dekat, maka tetangganya timbul kewajiban
hukum untuk memberi makan anak itu agar tidak menimbulkan akibat kelaparan
dan jika berlanjut pada kematiannya.

Pandangan keempat ini dapat mengatasi persoalan tentang apakah mungkin


perbuatan dalam tindak pidana pasif yang tidak murni dapat menimbulkan akibat
terlarang. Pemecahan masalah ini penting dalam hal pembebanan tanggung jawab
pada si pembuat. Pandangan yang keempat ini sesuai dengan kenyataan pada
umumnya yang berlaku pada masyarakat, dan dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Contoh petugas penjaga palang kereta api yang tidak menutup jalan
dengan menurunkan palang pintu yang mengakibatkan sebuah bis mengalami
kecelakaan karena ditabrak kereta api dengan menimbulkan banyak orang mati.
Dengan mempertanggung jawabkan akibat matinya banyak orang kepada penjaga

18
palang yang tidak berbuat apa-apa ketika kereta api hendak lewat adalah
memenuhi rasa keadilan masyarakat.

BAB III

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Tiap-tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat
juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas
dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa
yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas yang berasal dari
kata “causa” yang artinya adalah sebab. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran
causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu
perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan
lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa jauh
akibat tersebut ditentukan oleh sebab. ajaran causalitas adalah perbedaan antara delik
formal dan delik materiil.

Ada beberapa teori kausalitas yaitu:,

Teori yang mengindividualisir adalah dalam mencari satu masalah dari rangkaian
perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang menyebabkan akibat
yang timbul. Jadi ajaran ini mendasarkan pada in concreto.

Teori yan menggeneralisir adlah ajaran ini menentukan sebab daripada akibat
yang timbul, dengan mencari ukuan dengan perhitungan pada umumnya yang berarti
ukuran itu ditentukan in abstrakto.

Ajaran kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada


dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat
yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya,
bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk
menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya Pasal 338 KUHP tentang
kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya
dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut Pasal 338 KUHP
tersebut. Kemudian Pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang, bahwa penipuan hanya
dapat menyebabkan pembuatnya dipidana bilamana seseorang menyerahkan barang,
memberi hutang maupun menghapuskan piutang karena terpengaruh oleh rangkaian
kebohongan dan tipu muslihat pembuat sebagaimana tersebut dalam pasal itu.

Dalam rangka untuk mencari factor mana dalam sebuah peristiwa yang menjadi
penyebab kematian , digunakanlah ajaran kausalitas. Ada beberapa macam ajaran
kausalitas, yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 teori yang besar, yaitu:

Teori condition sine qua non

19
Dalam teori ini yaitu membedakan antara sebab terjadinya suatu akibat dan syarat
terjadinya suatu akibat.

Teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien)

Teori yang mengindividualisir adalah dalam mencari satu masalah dari rangkaian
perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang menyebabkan akibat
yang timbul.

Teori-teori yang menggeneralisir (generaliserende theorien)

Teori yan menggeneralisir adalah ajaran ini menentukan sebab daripada akibat
yang timbul, dengan mencari ukuran dengan perhitungan pada umumnya yang berarti
ukuran itu ditentukan in abstrakto.

Tindak pidana pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah merupakan


persoalan, oleh sebab tindak pidana pasif murni itu adalah murni berupa tindak pidana
formil, yang dalam hal terwujudnya tidak penting akibat, atau tidak bergantung pada
akibat, misalnya pada pasal 304 dan 522. Dengan terwujudnya perbuatan membiarkan
(304) dan tidak datang (522) tindak pidana itu telah terjadi secara sempurna.

B. Saran
Kami selaku penulis agar makalah ini dapat menjadi pedoman untuk pembaca,
namun penulis menyarankan agar mencari referensi bukan hanya dari makalah ini
dikarenakan masih terdapat kekurangan, terimakasih terhadap pembaca yang telah
membaca.

20
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012

Effendi, Erdianto. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Refika


Aditama, 2011

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 2, Cet. II. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2005

Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007

21

Anda mungkin juga menyukai