Anda di halaman 1dari 10

A.

Negara Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan


Negara merupakan gejala kehidupan umat ma- nusia di sepanjang sejarah
umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling
sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk
organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat
perhatian dan obyek kajian bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
umat manusia. Banyak cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai
objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan ilmu Administrasi
Pemerintahan (Public Adm inistration), semuanya menjadikan negara sebagai pusat
perhatiannya.
Namun demikian, apa sebenarnya yang diartikan orang sebagai negara
tentulah tidak mudah untuk didefinisikan. Meskipun diakui merupakan istilah yang
sulit didefinisikan, O. Hood Phillips, Paul J ackson, dan Patricia Leopold
mengartikan negara atau state sebagai:
“An independent political society occupying a defined territory, the m em bers of w
hich are united together for the purpose of resisting external force and the preser-
vation of internal order”.1
Secara sederhana, oleh para sarjana sering diuraikan adanya 4 (empat) unsur
pokok dalam setiap negara, 4 yaitu (i) a definite territory , (ii) population, (iii) a
Governm ent, dan (iv) Sovereignity . Namun demikian, untuk menguraikan
pengertian negara dalam tataran yang lebih filosofis, dapat pula merujuk kepada
pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”. 5 yang
menguraikan pandangannya tentang negara atau state a juristic entity dan state as a
politi- cally organized society atau state as pow er. Elemen negara menurut Kelsen
mencakup: (i) The Territory of the State, seperti mengenai pembentukan dan pembu-
baran negara, serta mengenai pengakuan atas negara dan pemerintahan;6 (ii) Tim e
Elem ent of the State, yaitu wak- tu pembentukan negara yang bersangkutan ; (iii)
The People of the State, yaitu rakyat negara yang bersang- kutan; (iv) The Com
petence of the State as the Material Sphere of Validity of the National Legal Order,
misalnya yang berkaitan dengan pengakuan internasional; (v) Conflict of Law s,

1
pertentangan antar tata hukum; (vi) The so-called Fundam ental Rights and Duties
of the States, soal jaminan hak dan kebebasan asasi manusia; dan (vii) The Pow er of
the State, aspek-aspek mengenai kekuasaan negara.7
Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat
manusia (human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan
berma- syarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi
kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang
bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit
pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan secara
politik, dan disebut body politic atau negara (state) sebagai a society politically
organized.
Negara sebagai body politic itu oleh ilmu negara dan ilmu politik sama-sama
dijadikan sebagai objek utama kajiannya. Sementara, ilmu Hukum Tata Negara
mengkaji aspek hukum yang membentuk dan yang di- bentuk oleh organisasi negara
itu. Ilmu politik melihat negara sebagai a political society dengan memusatkan
perhatian pada 2 (dua) bidang kajian, yaitu teori politik (political theory) dan
organisasi politik (political organization). Ilmu Politik sebagai bagian dari ilmu
sosial lebih memusatkan perhatian pada negara sebagai realitas politik.
Ilmu politik hanya dapat dimengerti melalui perilaku para partisipannya yang
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, kelompok-kelompok rasial, dan
sebagainya. Lebih lanjut, Clarke menyatakan bahwa legalisme itu bersifat redundant
dalam studi ilmu politik, tetapi bahwa the rules of the constitution dan, lebih penting
lagi, struktur-struktur institutional pemerintahan negara, bukanlah hal yang relevan
untuk dipersoalkan dalam ilmu politik. Struktur kelembagaan negara itu, menurut
Clarke, tidak mempunyai pengaruh yang berarti perilakulah yang menjadi subjek
utama dalam ilmu politik. 10 Orang boleh menerima begitu saja pendapat Clarke ini
dalam kerangka studi ilmu politik, tetapi di lingkungan negara-negara yang sedang
berkembang, banyak studi ilmu sosial lainnya yang justru menunjuk- kan gejala
yang sebaliknya, yaitu bahwa peranan institusi kenegaraan itu justru sangat
signifikan pengaruhnya terhadap perilaku politik warga masyarakat.
Bagi disiplin ilmu politik, pendapat Clarke itu tidak aneh. Bahkan, Robert
Dahl dalam bukunya “Pre- face to Dem ocratic Theory ” (1956) juga menyatakan
bahwa bagi para ilmuwan sosial yang lebih penting adalah social not constitutional.
11 Ilmu politik lebih mengutakan dinamika yang terjadi dalam masyarakat daripada
norma-norma yang tertuang dalam konstitusi negara. Hal itu tentunya sangat berbeda
dari ke- cenderungan yang terdapat dalam ilmu hukum, khu- susnya ilmu hukum tata
negara (constitutional law). Dalam studi ilmu hukum tata negara (the study of the
constitution atau constitutional law), yang lebih diutamakan justru adalah norma
hukum konstitusi yang biasanya tertuang dalam naskah undang-undang dasar. Di
situlah letak perbedaan mendasar antara ilmu Hukum Tata Negara dari ilmu politik.

B. Ilmu Hukum Tata Negara


1. Peristilahan
Ilmu Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang ilmu hukum yang
secara khusus mengkaji persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Kita me-
masuki bidang hukum tata negara, menurut Wirjono Prodjodikoro, apabila kita
membahas norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum
orang atau bukan orang dengan sekelompok orang atau badan hukum yang
berwujud negara atau bagian dari negara. 12 Dalam bahasa Perancis, hukum tata
negara disebut Droit Constitutionnel atau dalam bahasa Inggris disebut
Constitutional Law. Dalam bahasa Belanda dan J erman, hukum tata negara
disebut Staatsrecht, tetapi dalam bahasa J erman sering juga dipakai istilah
verfas- sungsrecht (hukum tata negara) sebagai lawan perkataan verw
altungsrecht (hukum administrasi negara).
Dalam bahasa Belanda, untuk perkataan hukum tata negara juga biasa
dipergunakan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law). Dalam istilah
staatsrecht itu terkandung 2 (dua) pengertian, yaitu staatsrecht in ruim ere zin
(dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit). Staatsrecht
in engere zin atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang biasa- nya
disebut Hukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat dibedakan antara
pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in
ruim erezin) mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht) dalam arti
sempit dan Hukum Administrasi Negara (verw altungsrecht). 13
Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai penggunaan verfassungslehre
daripada verfassungsrecht. Dalam berbagai kuliahnya yang dikumpulkan oleh
salah seorang mahasiswanya, yaitu Harun Alrasid, pada tahun 1959,14 dan
diterbitkan pertama kali pada tahun 1982, Djokosoetono berusaha mengambil
jalan tengah antara Carl Schmitt yang menulis buku Verfassungslehre dan
Hermann Heller dengan bukunya Staatslehre. Istilah yang tepat untuk Hukum
Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori
kons- titusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan men- jadi dasar untuk
mempelajari verfassungsrecht, terutama mengenai hukum tata negara dalam arti
positif, yaitu hukum tata negara Indonesia.
Istilah “Hukum Tata Negara” dapat dianggap identik dengan pengertian
“Hukum Konstitusi” yang merupakan terjemahan langsung dari perkataan
Consti- tutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto
Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (J erman). Dari segi bahasa, istilah
Constitutional Law dalam bahasa Inggris memang biasa diterjemahkan sebagai
“Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara” itu sendiri jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, niscaya perkataan yang dipakai adalah
Constitutional Law .15 Oleh karena itu, Hukum Tata Negara dapat dikatakan
identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum Konstitusi”.16
Di antara para ahli hukum, ada pula yang berusaha membedakan kedua
istilah ini dengan me- nganggap bahwa istilah Hukum Tata Negara itu lebih luas
cakupan pengertiannya dari pada istilah Hukum Konstitusi. Hukum Konstitusi
dianggap lebih sempit karena hanya membahas hukum dalam perspektif teks
undang-undang dasar, sedangkan Hukum Tata Negara tidak hanya terbatas pada
undang-undang dasar. Pembedaan ini sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam
mengartikan perkataan konstitusi (verfassung) itu sendiri yang seakan-akan
diidentikkan dengan undang- undang dasar (gerundgesetz). Karena kekeliruan
ter- sebut, Hukum Konstitusi dipahami lebih sempit daripada Hukum Tata
Negara.17
Perkataan “Hukum Tata Negara” berasal dari perkataan “hukum”, “tata”,
dan “negara”, yang di dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara. Tata
yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yang biasa juga diterjemahkan
sebagai “tata tertib”. Tata negara berarti sistem penataan negara, yang berisi
ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma kenegaraan.
Dengan perkataan lain, ilmu Hukum Tata Negara dapat dikatakan merupakan
cabang ilmu hukum yang membahas mengenai tatanan struktur kenegaraan,
mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan,
serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara.
Hanya saja, yang dibahas dalam Hukum Tata Negara atau Hukum
Konstitusi itu sendiri hanya terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan aspek
hukumnya saja. Oleh karena itu, lingkup bahasannya lebih sempit daripada Teori
Konstitusi sebagaimana yang dianjurkan untuk dipakai oleh Prof. Dr.
Djokosoetono, yaitu Verfassungslehre atau Theorie der Verfassung.18 Istilah
Verfassungslehre itu, menurut Djokosoetono lebih luas dari pada
Verfassungsrecht. Theorie der Verfassung lebih luas daripada Theorie der
Verfassungsrecht. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, Djokosoetono
menganggap lebih tepat untuk menggunakan istilah “Teori Konstitusi” daripada
“Hukum Konstitusi” ataupun “Hukum Tata Negara”. Sebab yang dibahas di
dalamnya adalah persoalan konstitusi dalam arti yang luas dan tidak hanya
terbatas kepada aspek hukumnya, maka yang lebih penting adalah Theorie der
Verfassung atau Verfassunglehre (Teori Konstitusi), bukan Theorie der
Verfassungsrecht, The orie der Constitutionnel Recht (Teori Hukum Konstitusi
atau Teori Hukum Tata Negara), ataupun Theorie der Gerundgesetz (Teori
Undang-Undang Dasar).
Semua produk hukum masa lalu, sepanjang me- mang masih diperlukan
haruslah dilihat sebagai produk hukum Indonesia sendiri yang memang
diperlukan untuk negara hukum Indonesia. Seperti halnya di zam an
kemerdekaan sekarang ini, cukup banyak produk pe- raturan perundang-
undangan yang sebagian atau seluruh materinya berasal dari contoh-contoh

praktik hukum di negara-negara lain yang dinilai patut untuk dicontoh. 26 Atas
dasar alasan inilah, maka pemberlakuan produk-produk hukum peninggalan
zaman Hindia Belanda dapat dibenarkan, meskipun hal itu tetap tidak menutup
keharusan untuk melakukan upaya pembaruan besar-besaran terhadap produk-
produk hukum masa lalu itu disesuaikan dengan kehendak perubahan zaman.
Apalagi, Indonesia dewasa ini berada dalam alam modern yang sangat
ditentukan oleh (i) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, (ii)
sistem de- mokrasi yang terus tumbuh, dengan (iii) tuntutan sistem ekonomi
pasar yang semakin kuat, serta (iv) diiringi pula oleh pengaruh globalisasi dan
gejolak kedaerahan yang sangat kuat. Semua ini memerlukan respons sistem
hukum dan konstitusi yang dapat menjalankan fungsi kontrol dan sekaligus
fungsi pendorong ke arah pem- baruan terus menerus menuju kemajuan bangsa
yang semakin cerdas, damai, sejahtera, demokratis, dan ber- keadilan.
2. Definisi Hukum Tata Negara
Di antara para ahli hukum, dapat dikatakan tidak terdapat rumusan yang
sama tentang definisi hukum dan demikian pula dengan definisi hukum tata
negara sebagai hukum dan sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum.
Perbedaan-perbedaan itu sebagian disebabkan oleh faktor-faktor perbedaan
pandangan di antara para ahli hukum itu sendiri, dan sebagian lagi dapat
disebabkan oleh perbedaan sistem yang dianut oleh negara yang dija dikan objek
penelitian oleh sarjana hukum itu masing- masing. Misalnya, di negara-negara
yang menganut tradisi common law tentu berbeda dari apa yang dipraktikkan di
lingkungan negara-negara yang menganut tradisi civil law .
Bahkan, dalam perkembangan praktik selama berabad-abad, di antara
negara-negara yang menganut tradisi hukum yang sama pun dapat timbul
perbedaan- perbedaan karena latar belakang sejarah antara satu negara dengan
negara lain yang juga berbeda-beda. Misalnya, meskipun sama-sama
menganut tradisi common law , antara Inggris dan Amerika Serikat jelas mem-
punyai sejarah hukum yang berbeda, sehingga konsep- konsep hukum dan
konstitusi yang dipraktikkan di kedua negara ini juga banyak sekali yang tidak
sama. Apalagi, di Inggris sendiri tidak terdapat naskah konstitusi yang bersifat
tertulis dalam satu naskah UUD, sedangkan Amerika Serikat memiliki naskah
UUD tertulis yang dapat dikatakan sebagai negara modern pertama yang
memilikinya.
Berbagai pandangan para sarjana mengenai definisi hukum tata negara
itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
a. Christian van Vollenhoven
Menurut van Vollenhoven, hukum tata negara mengatur semua
masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut

tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau

lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam

lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya

masing-masing, serta menentukan pula susunan dan kewenangan badan-

badan yang dimaksud. 27


Sebagai murid Oppenheim, van Vollenhoven juga mewarisi
pandangan gurunya itu yang membedakan antara hukum tata negara dan
hukum administrasi negara. Pembedaan itu digambarkannya dengan
perumpamaan dalam hukum tata negara, melihat negara dalam keadaan
diam (in rust), sedangkan dalam hukum administrasi negara, melihat

negara dalam keadaan bergerak (in bew eging).28


b. Paul Scholten
Menurut Paul Scholten, hukum tata negara itu tidak lain adalah het
recht dat regelt de staatsorgani- satie, atau hukum yang mengatur
mengenai tata organisasi negara. Dengan rumusan demikian, Scholten
hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara dari organisasi non-
negara, seperti gereja dan lain-lain. Scholten sengaja membedakan antara
hukum tata negara dalam arti sempit sebagai hukum organisasi negara di
satu pihak dengan hukum gereja dan hukum perkumpulan perdata di pihak
lain dengan kenyataan bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak
memancarkan otoritas yang berdiri sendiri, melainkan suatu otoritas yang

berasal dari negara.29 J ika yang diatur adalah orga- nisasi negara, maka
hukum yang mengaturnya itulah yang disebut sebagai hukum tata negara
(constitutional law ). Mengenai hubungan antara organisasi negara dengan
warga negara, seperti mengenai soal hak asasi manusia, belum
dipertimbangkan oleh Paul Scholten.
c. Van Der Pot
Menurut van der Pot, hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang
menentukan badan-badan yang diperlukan beserta kewenangannya masing-
masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu

warga negara dalam kegiatannya.30 Pandangan van der Pot ini mencakup
pengertian yang luas, di sam- ping mencakup soal-soal hak asasi manusia,
juga menjangkau pula berbagai aspek kegiatan negara dan warga negara
yang dalam definisi sebelumnya dianggap sebagai objek kajian hukum
administrasi negara.

d. J .H.A. Logemann
Mirip dengan pendapat Paul Scholten, menurut J .H.A. Logemann,
hukum tata negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara.

Negara adalah organisasi jabatan-jabatan. 31 J abatan merupakan


pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan penger tian
yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri
atas fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam
keseluruhannya, maka dalam pengertian juridis, negara merupa- kan
organisasi jabatan. Hukum tata negara meliputi baik persoonsleer maupun
gebiedsleer, dan merupakan suatu kategori historis, bukan kategori
sistematis. Artinya, hu- kum tata negara itu hanya bersangkut-paut

dengan gejala historis negara. 32


e. van Apeldoorn
Hukum tata negara (verfassungsrecht) dise- butkan oleh van Apeldoorn
sebagai staatsrecht dalam arti yang sempit. Sedangkan dalam arti yang luas,
staatsrecht meliputi pula pengertian hukum administrasi negara (verw altungsrecht
atau adm inistratiefsrecht). Sebenarnya, van Apeldoorn sendiri dalam karya-
karyanya tidak banyak membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukum tata
negara (verfassungsrecht), kecuali mengenai tugas-tugas dan kewenangan atau
kewajiban dan hak-hak alat-alat perlengkapan negara. Dalam berbagai bukunya,
van Apeldoorn malah tidak menyinggung sama sekali mengenai pentingnya

persoalan kewarganegaraan dan hak asasi manusia. 3


f. Maurice Duverger
Menurut sarjana Perancis, Maurice Duverger, hukum tata negara adalah
salah satu cabang hukum publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi
politik suatu lembaga negara. Seperti halnya para sarjana lainnya, Maurice
Duverger juga hanya memberikan tekanan pada aspek keorganisasian serta tugas-
tugas dan kewenangan lembaga-lembaga sebagai alat perlengkapan negara. Hal
yang lebih diutamakan oleh Maurice Duverger dalam definisi yang
dikembangkannya tersebut adalah bahwa hukum tata negara itu (droit
constitutionnel) termasuk cabang hukum publik.
3. Hukum Tata Negara Formil dan Materiel
J .H.A. Logemann, dalam bukunya “Staatsrecht”, membedakan antara form eele
stelselm atigheid dan m aterieele stelselm atigheid.49 Istilah yang pertama ada- lah
hukum tata negara, sedangkan yang kedua adalah asas-asas hukum tata negara.
Perbedaan keduanya sea- kan-akan adalah perbedaan antara bentuk dan isi, antara
vorm en inhoud, atau antara stelsel en beginsel. Vorm adalah bentuk, sedangkan
inhoud adalah isinya. Beginsel adalah asas-asasnya, sedangkan stelsel adalah pelem-
bagaannya. Istilah vorm en inhoud dipakai oleh van Vollenhoven seperti dalam Vorm
en Inhoud van het Internationale Recht. 50 Sedangkan Ter Haar Bzn meng- gunakan
istilah beginsel en stelsel seperti dalam Beginsel en Stelsel van het Adatrecht. 51
Oleh karena itu, berbagai buku hukum tata ne- gara dan juga silabus
perkuliahan hukum tata negara yang menggunakan judul “Asas-Asas
Hukum Tata Ne- gara”, “Pengantar Hukum Tata Negara”, ataupun “Po- kok-
Pokok Hukum Tata Negara”, mestinya tidak gegabah dengan istilah-istilah.
Pengertian kata “asas-asas” hanya berkaitan dengan inhoud atau m
aterieele stelsel- m atigheid, yaitu aspek materiel belaka dari hukum tata negara.
Oleh karena itu, perkataan “Pokok-Pokok” atau- pun “Pengantar” dapat
dipahami lebih luas cakupan pe- ngertiannya, meskipun hanya bersifat garis
besar atau- pun hanya bersifat pengantar (introduction ) saja.

3. H uku m Tata Ne gara Um um dan H ukum Tata Ne gara Po s itif


Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara Hukum Tata Negara Umum dan
Hukum Tata Negara Positif. Hukum Tata Negara Umum membahas asas- asas, prinsip-
prinsip yang berlaku umum, sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya membahas
hukum tata negara yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan
pengertian hukum positif. Misalnya, hukum tata negara Indonesia, Hukum Tata Negara
Inggris, ataupun Hukum Tata Negara Amerika Serikat yang dewasa ini berlaku di masing-
masing negara yang bersangkutan, adalah merupakan hukum tata negara positif.
Sedangkan prinsip-prinsip teoritis yang berlaku umum atau universal di seluruh negara
tersebut adalah merupakan materi kajian Hukum Tata Negara Umum atau disebut sebagai
Hukum Tata Negara saja.
Kadang-kadang dalam istilah Hukum Tata Negara Indonesia juga tercakup 2 (dua)
pengertian, yaitu (i) hukum tata negara positif yang sedang berlaku di Indonesia dewasa ini,
dan (ii) berbagai kajian mengenai hukum tata negara Indonesia di masa lalu dan yang akan
datang, meskipun belum ataupun sudah tidak berlaku lagi sebagai norma hukum positif.
Oleh karena itu, kita dapat membedakan pula antara Hukum Tata Negara sebagai Ilmu
Hukum (the science of constitutional law ) dan Hukum Tata Negara sebagai Hukum Positif
(the positive constitutional law ). J ika hal ini ditambahkan kepada kedua unsur bentuk (vorm )
dan isi (inhoud) se- perti dikemukakan di atas, maka Hukum Tata Negara ya- ng kita bahas
di sini dapat dibedakan dalam tiga aspek, yaitu:
a. Hukum Tata Negara Umum yang berisi asas-asas hu- kum yang bersifat universal.
b. Hukum Tata Negara yang berisi asas-asas yang ber- kembang dalam teori dan praktik
di suatu negara tertentu, seperti misalnya Indonesia.
c. Hukum Tata Negara Positif yang berlaku di Indo- nesia yang mengkaji mengenai
hukum positif di bidang ketatanegaraan di Indonesia.

Pada umumnya, aspek hukum tata negara yang kebanyakan mewarnai pemikiran
para ahli hukum tata negara kita seperti yang tercermin dalam berbagai buku yang
diterbitkan dan menjadi bahan bacaan di berbagai perguruan di Indonesia adalah yang
disebutkan terakhir, yaitu Hukum Tata Negara Positif. Sudah tentu hal ini tidak ada
salahnya, karena nyatanya pada aspek ketiga ini, buku-buku yang ditulis dan diterbitkan
juga terbilang masih sangat sedikit. Namun demikian, jika semua ahli hukum tata negara
dan semua sarjana hukum tata ne- gara di tanah air kita hanya terpaku kepada fenomena
hukum tata negara positif saja, maka kita sebagai bangsa akan ketinggalan zaman di bidang
ini.
Sekarang dunia sudah sangat pesat berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi di
semua cabang dan ranting- nya juga bergerak cepat menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman. Dalam bidang ilmu hukum tata negara, tidak terkecuali, juga telah mengalami
peruba- han yang fundamental di era globalisasi sekarang ini. Oleh karena itu, teori-teori
umum tentang hukum tata negara yang berkembang di dunia juga penting untuk diikuti
dengan seksama oleh para sarjana hukum, khu- susnya oleh para ahli hukum tata negara
kita. Oleh karena itu, sudah saatnya, studi hukum tata negara di berbagai fakultas hukum
di tanah air hendaklah me- ngembangkan ketiga aspek hukum tata negara tersebut secara
bersama-sama dan seimbang. Kita tidak boleh membiarkan bidang hukum tata negara
hanya dikembangkan sebagai ilmu kata-kata dan upaya pengkajian terhadap konstitusi
dipersempit hanya sebagai studi tentang perumusan kata-kata dalam pasal- pasal
konstitusi belaka. Hukum Tata Negara, pertama- tama haruslah dikembangkan sebagai
ilmu pengetahuan hukum yang bersifat universal. Setelah itu, Hukum Tata Negara baru
dapat dipahami sebagai persoalan hukum dan konstitusi yang tumbuh dalam praktik
ketatane- garaan Indonesia dari waktu ke waktu, sehingga untuk selanjutnya dapat pula
dimengerti sebagai persoalan hu- kum positif di negara kita yang berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara sifatnya yang statis dan dinamis. Ilmu
Hukum Tata Ne- gara itu disebut sebagai ilmu yang statis apabila negara yang dijadikan objek
kajiannya berada dalam keadaan statis atau keadaan diam (staat in rust). Hukum Tata
Negara yang bersifat statis inilah yang biasa disebut sebagai Hukum Tata Negara dalam arti
sempit. Sedang- kan Hukum Tata Negara dalam arti luas, mencakup Hu- kum Tata Negara
dalam arti dinamis, yaitu manakala negara sebagai objek kajiannya ditelaah dalam keadaan
bergerak (staat in bew eging). Pengertian yang terakhir inilah yang biasa disebut sebagai bidang
Ilmu Hukum Administrasi Negara (Adm inistrative Law , Verw altung- srecht).
Perhatian pokok ilmu Hukum Tata Negara (Verfas- sungsrecht, Constitutional Law ,
Droit Constitutionnel) adalah menyangkut struktur hukum dan kehidupan ber- negara,
sedangkan ilmu Hukum Administrasi Negara memusatkan perhatian pada substansi
sistem pengam- bilan keputusan dalam kegiatan berpemerintahan. 54

Anda mungkin juga menyukai