Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan makna terdalam dari Negara
berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan
semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja
sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum
sebagai satu kesatuan. Untuk menelusuri konsep tentang negara hukum
pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran, yaitu konsep
rechtsstaat dan the rule of law. Untuk memahami hal itu, dapat ditelusuri
sejarah perkembangan dua konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep
“rechtssaat” berasal dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari
Inggris. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX,
meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada, sedangkan istilah “the
rule of law” mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn
Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Studi of the Law of the
Constitution.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme,
sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep the rule of law
berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria
rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman
law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hukum
yang disebut “common Law” atau “Anglo Saxon”.
Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing
mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan
2

prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan


1
the rule of law mengutamakan equality before The law. Akibat adanya
perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut, muncullah unsur-
unsur yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law.
Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. unsur-unsur rechtsstaat :
a. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).
b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin
perlindungan HAM,
c. pemerintahan berdasarkan peraturan,
d. adanya peradilan administrasi; dan
2. unsur-unsur the rule of law :
a. adanya supremasi aturan hukum,
b. adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
c. adanya jaminan perlindungan HAM.

Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maupun the rule of law tersebut nampak
adanya persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut. Baik
rechtsstaat maupun the rule of law selalu dikaitkan dengan konsep
perlindungan hukum, sebab konsep-konsep tersebut tidak lepas dari gagasan
untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dengan demikian keduanya sama-sama memiliki inti upaya memberikan
perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan
dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer
dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau
palingtidak dapat diminimalkan.
1
Abdulgani Roeslan, 1964, Hukum Dalam Revolusi dan Revolusi Dalam Hukum, BP. Prapanca. Jakarta.
3

Di samping itu, perbedaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of


law nampak pada pelembagaan dunia peradilannya, Rechtsstaat dan the rule
of law menawarkan lingkungan peradilan yang berbeda meskipun pada
intinya kedua konsep tersebut menginginkan adanya perlindungan bagi hak
asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep
rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan
lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, sedangkan pada konsep the rule
of law tidak terdapat peradilan administrasi sebagai lingkungan yang berdiri
sendiri. Hal ini disebabkan dalam konsep the rule of law semua orang
dianggap sama kedudukannya di depan hukum, sehingga bagi warga negara
maupun pemerintah harus disediakan peradilan yang sama. Selanjutnya
Philipus M. Hadjon menjelaskan: “Konsep Rechtsstaat bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau “Modern Roman
Law”, sedangkan konsep “The Rule of Law“ bertumpu pada sistem hukum
yang disebut “Common Law”. Karakteristik Civil Law adalah
“administratif“, sedangkan karakteristik Common Law adalah “judicial “.
Pembentukan hukum Civil law dilakukan melalui undang-undang dan
kodifikasi sedangkan Common law melalui Preseden (Judge madelaw).
Meskipun konsep Rechtsstaat dan Rule Of Law setelah Perang Dunia Kedua
juga sangat peduli terhadap kesejahteraan sosial, namun filosofi liberalistik
individual dan kapitalistiknya tetap menonjol, karena itu tidak disenangi
oleh negara-negara yang menganut paham sosialis-komunis. Negara-negara
berpaham sosialis-komunis lalu mengembangkan konsep Socialist Legality,
ialah Negara Hukum berwawasan sosialis-komunis untuk mewujudkan
masyarakat sosialis tanpa kelas dan anti Hak Asasi Manusia.
Konsekuensinya tidak ada tempat istimewa bagi individu untuk memiliki
Hak Kekayaan Intelektual, semuanya harus diserahkan menjadi milik
Negara. Berkenaan dengan negara hukum ini, Daniel S. Lev berpendapat
bahwa negara hukum adalah suatu negara yang disandarkan pada pembagian
4

kekuasaan yang bertujuan untuk memperlemah elit-elit politik. Pembagian


kekuasaan berdasarkan ide negara hukum menjadi suatu hal yang sah
(legitimate).
Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep
Friedrich Julius Stahl dan Zippelius Menurut F.J. Stahl
unsur-unsur utama negar hukum kum adalah:
1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;
3. penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid
van bestuur);dan
4. peradilan administrasi negara.

Sementara itu, Menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas:


1. pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur);
2. Jaminan terhadap hak-hak asasi;
3. pembagian kekuasaan;dan
4. pengawasanjustisialterhadappemerintah.

Dari unsur-unsur tersebut di atas nampak adanya perbedaan, jika Stahl


menempatkan “penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang
(wetmatigheid van bestuur)” pada elemen yang ketiga dari konsep negara
hukum, sebaliknya Zippelius menempatkannya pada unsur pertama dengan
pengertian yang agak luas, ialah “penyelenggaraan pemerintahan menurut
hukum (rechtsmatigheid van bestuur)”. Di sini nampak bahwa F.J. Stahl
masih sangat kental terpengaruh konsepsi dari aliran legisme, yang mana
aliran tersebut menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang. Oleh
karena itu, salah satu unsur utama negara hukum menurut F.J. Stahl adalah
5

penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van


bestuur).

1) Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu Negara hukum berdasarkan pancasila?
2. Apa implementasi Negara hukum berdasarkan pancasila ?

2) Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah di atas, dapat ditarik tujuan masalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Apa itu Negara hukum berdasarkan pancasila?
2. Untuk mengetahui Apa implementasi Negara hukum berdasarkan
pancasila?
6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Negara Hukum Berdasarkan Pancasila


Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno dalam
pidatonya pada tanggal 18 Agustus 1945 dan pidato Iwa Koesoema
Soemantri (anggota PPKI), menunjukkan bahwa UUD 1945 memang
bersifat sementara.
Adapun pidato tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno: Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan
umum, yang singkat. Cekak aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan
tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang
kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau
boleh saya memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat.
Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram,
kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan
sempurna.
2. Iwa Koesoema Soemantri: Salah satu perubahan yang akan saya
tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang
Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar
dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan.

Dari pidato di atas nampak bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah
konstitusi revolusi yang bersifat sementara dan kelak akan disusun
2
konstitusi baru yang lebih lengkap, jika suasana telah memungkinkan.

2
Adji Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta
7

Pernyataan ketua PPKI tentang sifat sementara dari UUD 1945 ini, sejalan
dengan aturan tambahan UUD 1945 naskah asli yang menyatakan:

1. Dalam Enam Bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya,


Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.

2. Dalam Enam Bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat


dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Dari ketentuan dua ayat Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut dapat
ditarik penafsiran bahwa UUD 1945 dimaksudkan hanya berlaku untuk
masa dua kali enam bulan atau setahun saja, terhitung mulai berakhirnya
perang Asia Timur Raya pada tanggal 15 Agustus 1945. UUD 1945
sebagai konstitusi revolusi sering pula disebut dengan Undang-Undang
Dasar kilat. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila rumusan UUD 1945
sangat singkat bila dibandingkan dengan konstitusi negara lain seperti ,
Malaysia, Philipina, India, Pakistan maupun Iran. Bahkan hal-hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara dibuat sesederhana mungkin
agar dapat segera digunakan dalam penyelenggaraan negara.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun secara singkat itu,
dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu
kalimat atau perkataan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Tetapi pengertian yang sedemikian di dapat pada
alinea ke 4 (empat) Pembukaan UUD 1945: “Maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang
dasar Negara Indonesia”, Jadi Republik Indonesia adalah negara hukum
yang berkonstitusi yang dituliskan.
8

Memang apabila ditelusuri dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-


Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ternyata pada saat
proses perumusan UUD 1945 tidak diwarnai dengan perdebatan yang
mendalam tentang faham negara hukum. Walaupun dalam proses
perumusan UUD 1945 di BPUPKI tidak ada perdebatan secara eksplisit
tentang negara hukum, namun hal ini tidak berarti bahwa secara
konseptual Indonesia adalah bukan negara hukum, karena adanya
konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan konsep negara hukum.
Menurut Moh. Mahfud pada saat pendiri negara (founding fathers)
berdebat untuk menyusun sebuah konstitusi, berarti mereka secara sadar
telah memilih konsep negara hukum untuk negara yang akan didirikan.
Konstitusi berfungsi membatasi secara hukum, oleh karena itu
penggunaan kekuasaan pemerintah tidak boleh melanggar hak asasi
manusia dan tidak boleh melampaui batas kewenangan yang diberikan
dalam konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra menyatakan:
“Meskipun UUD 1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat, negara
yang hendak dijelmakannya secara normatif memenuhi syarat-syarat
sebuah negara hukum“. Di samping itu, dalam sidang BPUPKI dapat
ditemukan pendapat yang menginginkan agar negara Indonesia yang akan
didirikan itu merupakan negara kesejahteraan, negara yang berkedaulatan
rakyat, negara yang hendak mewujudkan keadilan, negara yang menjamin
kesehatan rakyat, negara yang menjamin kebebasan rakyat untuk
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal tersebut antara
lain dikemukakan oleh M. Yamin, Soekarno dan Hatta.

M. Yamin antara lain menyatakan : “…bahwa negara yang akan


dibentuk itu hanya semata-mata untuk seluruh rakyat, untuk kepentingan
seluruh bangsa yang akan berdiri kuat di dalam negara yang menjadi
9

kepunyaannya”. Selanjutnya ia menambahkan : “ Kesejahteraan rakyat


yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada
ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial. Dalam kesempatan
yang sama Soekarno mengatakan : “Rakyat yang tadinya merasa dirinya
kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya
ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil, Maka oleh karena itu jikalau
kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia,
marilah kita terima prinsip hal sociale rechtsvaardigheid ini, yaitu bukan
saja persamaan politik, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-
baiknya.”

Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa negara yang


diinginkan oleh bangsa Indonesia ialah negara yang menjamin
kesejahteraan rakyat, yang menjamin keadilan dan hak asasi mnusia.
Negara yang demikian itu tiada lain ialah negara hukum. Apabila dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan tidak
dikemukakan pernyataan yang eksplisit tentang negara hukum, ternyata
tidak demikian halnya dalam Penjelasan UUD 1945 naskah asli. Dalam
Penjelasan Bagian Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara, pada
Pokok Pikiran yang pertama di tegaskan : “Indonesia ialah Negara yang
berdasar atas Hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan
belaka (machsstaat)”. Perlu diingat bahwa penjelasan UUD 1945 tidak
pernah dibahas dalam BPUPKI, bahkan naskah tersebut baru muncul
kemudian menyertai naskah UUD 1945 setelah diumumkan dalam Berita
Negara pada tahun 1946.
10

Mohamad Fajrul Falakh berpendapat, bahwa pemuatan pernyataan


3
Indonesia sebagai sebuah negara hukum dalam Penjelasan UUD 1945
menunjukkan kesadaran post-factum, setelah terjadi kekalahan fasisme
Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah Tenno Heika
dalam Perang Dunia II. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kedua rezim
fasis ini dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri oleh Soepomo di
dalam pidatonya di depan BPUPKI, dan keduanya merupakan negara
kekuasaan (machtstaat). Maka dapat dimengerti apabila Penjelasan UUD
1945 hanya menerangkan negara hukum dengan cara melawankan antara
rechtsstaat, sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme di satu sisi
dengan machtsstaat di sisi yang lain.
Hanya saja pernyataan Indonesia adalah negara hukum dalam
penjelasan UUD 1945 ini pun tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip-
prinsip negara hukum, sehingga sangat sulit untuk menelusuri orientasi
konsepsinya di antara berbagai konsepsi negara hukum yang ada. Berkait
dengan orientasi konsepsi negara hukum ini, menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, ide rechtsstaat atau yang di negeri-negeri bertradisi
common law disebut the rule of law mula pertama di perkenalkan dalam
ketatanegaraan Hindia-Belanda melalui Regeringsreglement (RR) tahun
1854. Ide itu digariskan dalam RR melalui tiga pasalnya, yaitu Pasal 79,
88, 89. Pasal 79 RR menyiratkan asas Trias Politika yang menghendaki
diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan hakim yang bebas, yang
berarti menyiratkan asas pembagian kekuasaan. Pasal 88 memerintahkan
dilaksanakannya asas legalitas dalam setiap proses pemidanaan,
sedangkan Pasal 89 melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang
akan kehilangan hak-hak perdatanya. Sebagai negara yang telah dijajah
sekian lama oleh Belanda, hukum Indonesia dapat dikelompokkan dalam
3
Arief Sidharta Bernard, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia. Mandar Madju, Bandung
11

keluarga Romawi – Jerman. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
beberapa pakar antara lain oleh Rene David dan John E.C. Brierley,
Muhamad. Yamin dan Djoko Soetono. Rene David dan John E.C.
Brierley, menyatakan “To a certain extent Indonesia, colonised by The
Dutch, belongs to The Romano-Germanic family”.
Sedangkan Ashary,menyatakan, karena besarnya pengaruh ide
rechtsstaat terhadap konsep negara hukum yang khas Indonesia, maka
banyak kepustakaan Indonesia yang menyebutkan bahwa istilah negara
hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal ini antara
lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan Djoko Soetono.

Muhammad Yamin menyatakan “Republik Indonesia ialah suatu


negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang
tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi
dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara
kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan
melakukan sewenang-wenang”. Sedangkan Djoko Soetono[20]
menyatakan: “Negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini
adalah salah, sebab kalau dikatakan democratische rechtsstaat, yang
penting dan primair adalah rechtsstaat”.
Untuk itu, dalam memahami negara hukum Republik Indonesia
hendaklah disadari bahwa ide rechtsstaat mempunyai pengaruh yang
cukup besar dan di sisi lain ada kecenderungan nasional untuk
merumuskan suatu konsep negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas
tersebut terlontar dalam gagasan yang disebut dengan negara hukum
Pancasila atau negara hukum berdasarkan Pancasila. Untuk merumuskan
konsep negara hukum yang khas Indonesia, pertama-tama hendaklah
dipahami secara jelas, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia diilhami
oleh ide dasar rechtsstaat. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan
12

bahwa negara hukum Republik Indonesia pada dasarnya adalah negara


hukum, artinya bahwa dalam konsep negara hukum Pancasila pada
hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam konsep
rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Bertolak dari beberapa
pendapat tersebut di atas dan juga adanya Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, maka wajar apabila ada pendapat bahwa orientasi negara
hukum Indonesia adalah tradisi hokum Eropa Continental.
Namun apabila di kaji secara mendalam bahwa pendapat yang
menyatakan orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada
tradisi hukum Eropa Continental ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab
apabila disimak Pembukaan UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menunjukkan
keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah
kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja
bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di
barisan yang paling depan dalam menentang dan menghapuskan
penjajahan di atas dunia.

Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa


penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan
oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di
dunia ini dapat menjalankan hak atas kemerdekaan sebagai hak asasinya.
Di samping itu dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, terdapat
pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia antara lain: Pasal 27,
28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945 setelah perubahan pasal-
pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27, 28, 29,
30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab
13

XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C,
28D, 28E, 28F, 28G, 428H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam konsep negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi
negara hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan rule of law.

Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep


“negara hukum” Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi
konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law, karena latar belakang
yang menopang kedua konsep tersebut berbeda dengan latar belakang
negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah
“negara hukum” berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh
konsep the rule of law. Sejalan dengan hal tersebut, Hadjon, menyatakan
bahwa negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the
rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian
menjadi rechtsmatigheid, sedangkan The rule of law mengutamakan
prinsip equality before the law. Adapun negara hukum Indonesia,
menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini terlihat pula adanya
elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni terjalinnya hubungan
fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, penyelesaian
sengketa secara musyawarah, dan peradilan merupakan sarana terakhir.
Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan bukan hanya hak atau
kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang antara keduanya.

Sebenarnya di Indonesia, baru pada tahun 1966 istilah the rule of law
mulai populer untuk mengartikan negara hukum, hal ini diungkapkan oleh
Ashary sebagai berikut: “Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal

4
Asshiddiqie Jimly 1, 2002, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal Kajian Putusan
Pengadilan, LeIP, edisi
14

pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum".
Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dan
Sudargo Gautama.Sunaryati Hartono mengemukakan: “Oleh sebab itu,
agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi
seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus
diartikan dalam artinya yang materiil. Sudargo Gautama menyatakan:
“dan jika kita berbuat demikian, maka pertama-tama kita melihat bahwa
dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak
sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi
oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule
of law. Dari berbagai macam pendapat tersebut, nampak bahwa di
Indonesia baik the rule of law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan
negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, sebab
sejak tahun 1945 The rule of law merupakan suatu topik diskusi
internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan
konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk
mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut,
lebih-lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan
terhadap hak-hak dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of
law, Inggris bersama rekan-rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-
sama menandatangani dan melaksanakan The European Convention of
Human Rights. Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa
konsep negara hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945
merupakan campuran antara konsep negara hukum tradisi Eropa
Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo
Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Bahkan lebih dari itu Rene
David & John E.C. Brierley, menyatakan: “To a certain extent Indonesia,
15

colonised by The Dutch, belongs to the Romano-Germanic family. Here,


however, Romano-Germanic concepts combine with Muslim and
customary law (adat law) in such a way that it is appropriate to consider
that the system is mixed also”. Hal ini sejalan dengan pemikiran Yusril
Ihza Mahendra[26] yang antara lain berpendapat bahwa kebijakan
pemerintah Indonesia dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional,
atau dalam semua hukum yang diciptakan, menjadikan empat hal sebagai
sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, hukum eks kolonial yang
sudah diterima oleh masyarakat dan konvensi-konvensi internasional yang
berlaku. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan hukum
yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan
hukum yang demokratis dan tentu saja tidak mungkin bagi negara untuk
menciptakan hukum yang bertentangan dengan kesadaran hukum
rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat,
yang direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah
hukum nasional yang baru.

Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli,
tidak secara eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara
hukum, lain halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS).
Dalam KRIS dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian
Mukadimah dan juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Adapun isi Mukadimah Konstitusi RIS adalah sebagai
berikut:

MUKADIMAH

“Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya


16

bersatu padu dalam memperjuangkan kemerdekaan, dengan


senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak hidup sebagai
bangsa yang merdeka berdaulat.Kini dengan berkat dan rakhmat
Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan
luhur.
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan
pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.Untuk mewujudkan
kebahagiaan kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna”.

Hal itu kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (1) KRIS yang
menyatakan “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat
ialah suatu negara hukum yang Demokrasi dan berbentuk federasi”.
Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa secara eksplisit negara
RIS dinyatakan sebagai negara hukum. Sedangkan dalam Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), penegasan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dapat dibaca dalam kalimat terakhir bagian Mukadimah dan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 sebagai berikut:

MUKADIMAH

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan


oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah


17

kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan


Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang
berbahagia dan luhur. Maka demi ini kami menyusun
kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk
republik kesatuan, berdasarkan pengakuan ke Tuhanan Yang Maha
Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial,
untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia
merdeka yang berdaulat sempurna.

Kemudian rumusan negara hukum ini dipertegas lagi di dalam Pasal 1 ayat
(1) UUDS 1950 yang menyatakan: Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan. Dalam UUD 1945 setelah diadakan perubahan, konsepsi negara
hukum yang awalnya berada dalam Penjelasan UUD 1945, dimasukkan ke
dalam Pasal 1 ayat (3) dengan perumusan “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Dengan demikian jelas bahwa baik konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950 maupun UUD 1945 yang telah diubah, ketiganya
merumuskan secara harfiah dan tegas bahwa Indonesia adalah negara
hukum, yang mana hal ini berbeda dengan UUD 1945 naskah asli.

Meskipun pernyataan tentang sistem negara hukum yang terdapat dalam


Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan tersebut hanya diuraikan
secara singkat dan tidak ada tambahan penjelasan, namun makna dan
implikasinya sangat luas dan jelas. Agar dapat lebih dimengerti,
hendaknya dibaca pula isi Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
18

Dasar”. Dapasal tersebut dapat ditegaskan bahwa Negara Indonesia


menganut prinsip demokrasi konstitusional (Constitutional Democracy)”
yang pada 5pokoknya tidak lain adalah dari prinsip negara demokrasi yang
berdasar atas hukum sebagai sisi lain dari mata uang yang sama dengan
prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) yang
sama-sama dianut dalam UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut Jimly
Asshiddiqie menyatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara
beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-
Undang Dasar 1945. menganut pengertian bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang berdasar atas
hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Kedaulatan rakyat (democratie) di Indonesia itu diselenggarakan


secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung,
kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang
tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan
Wakil Presiden; dan Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam menentukan kebijakan pokok
pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-
Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi legislasi), serta dalam
menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya
pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui
sistem perwakilan, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-
5
_______________2, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
19

daerah provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu


juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)


dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga
perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden, gubernur dan
bupati/walikota. Di samping itu, kedaulatan rakyat dapat disalurkan setiap
waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas
kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi, dan hak atas kebebasan
berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin
dalam Undang-Undang Dasar. Namun, prinsip kedaulatan rakyat yang
bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang
sah sesuai dengan prosedur demokrasi (procedural democracy). Sudah
seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah
diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga dapat memperkuat
sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional)
dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut. Bersamaan dengan
itu, negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat),
bukan negara kekuasaan (matchtsstaat), dan pemerintahan berdasarkan
atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Sebagai konsekwensi dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
perubahan, ada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap
warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan
penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
hukum. Dengan demikian dalam Negara Hukum Indonesia di dalamnya
terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi
hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan
kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-
20

Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang


Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang
menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin
keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang
oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum yang demikian itu,
pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya
sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin “the rule of
law, and not of man”. Dalam kerangka “the rule of law” itu, diyakini
adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi
(supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan
(equality before The law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).

Namun demikian, harus ada pula jaminan bahwa hukum itu sendiri
dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, karena
prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada
pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara
hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum
tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan
besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara hukum
tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu
diletakkan pada konstitusi yang pada hakikatnya merupakan dokumen
kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi. Dengan demikian,
merupakan suatu keharusan bahwa semua warga negara, tanpa melihat
kedudukannya, mengerti bahwa substansi dari negara hukum adalah
dianutnya paham supremasi hukum yang dalam bahasa populernya disebut
sebagai the Rule of Law. Berkait dengan democratische rechtsstaat ini
21

pendapat dari Padmo Wahjono (dalam Hendro Nurtjahjo,2004:83-84)


sangat menarik untuk dikemukakan. Ia menyatakan, bahwa dalam
perkembangan teori kenegaraan, pada pengertian reachtsstaat sering
dikaitkan dengan pengertian demokratis. Sehingga merupakan sesuatu
yang ideal dalam bernegara, ialah pola “Negara Hukum yang Demokratis”
( Democratische rechtsstaat). Rumusan itu pernah dipakai dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang
mana rumusan tersebut lazim didunia barat dalam suatu sistem
Parlementer. Adapun inti perumusan ini, ialah bahwa Hukum yang
berlaku dalam suatu Negara Hukum, haruslah yang terumus secara
demokratis, yaitu yang memang dikehendaki oleh rakyat. Dalam sejarah
kenegaraan menunjukkan, bahwa apabila kekuasaan tertinggi semata-mata
berada pada rakyat tanpa ada suatu pembatasan, memungkinkan timbulnya
absolute democratie, yang tidak berbeda sifatnya dengan kekuasaan tidak
terbatas pada satu orang (diktatur), maupun pada sekelompok orang
(diktatur proletariaat). Menurut Padmo Wahjono, rumusan mengenai hal
ini dapat dipahami dalam kalimat terakhir alenia ke empat pembukaan
UUD 1945 yang menyatakan : “….yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam persmusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sila-sila dari Pancasila membatasi
kemungkinan timbulnya demokrasi yang absolute, dan jaminan itu lebih
tegas dari pada rumusan: “Negara Hukum yang Demokratis“ ataupun
sebaliknya ”Negara Demokrasi yang dibatasi oleh pola negara Hukum”,
karena pandangan bernegara tidak nampak dalam rumusan tersebut.Di
Indonesia, prinsip rechtsstaat atau negara hukum yang memberlakukan
22

prinsip rule of law dan mengarah pada suatu welfare staat, diterima
dengan penyesuaian tertentu, yang mana prinsip negara hukum sebagai
penjaga malam atau nachtwakerstaat tidak bisa diterima oleh bangsa
Indonesia.
3) Terkait dengan kedua konsep di atas, maka konsep “Negara Hukum
Pancasila” hakikatnya memiliki elemen yang terkandung dalam konsep
Rechtsstaat dan Rule of Law. Perbedaan prinsipiilnya terletak pada landasan
filosofi kenegaraan, bahwa Negara Hukum Pancasila berbasis pada filsafat
Pancasila[29] bukan pada filsafat liberalistik. Pancasila sebagai ideologi
nasional memberikan ketentuan dasar sebagai landasan sistem hukum
Indonesia, termasuk landasan negara hukum. Kenyataan tersebut secara utuh
dapat dipahami pada Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasan UUD
1945 (sebelum perubahan) maupun Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945
sesudah dilakukan perubahan UUD 1945. Sebelum UUD 1945 diubah,
penjelasannya memuat tentang Negara Hukum RI khususnya berkaitan Sistem
Pemerintahan Negara RI sebagai berikut

1. Indonesia negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas


kekuasaan belaka (Machtsstaat).

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat


absolutisme, (kekuasaan yang tidak terbatas).

3. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, Majelis Permusyawaratan


Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
4. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dibawah
Majelis
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakya
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
23

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berkait dengan sistem pemerintahan, Mohammad Noor Syam menyatakan,


bahwa: “sistem pemerintahan negara ini mencerminkan tatanan negara hukum
dan tatanan Demokrasi Pancasila, dan dilaksanakan oleh kelembagaan
negara”: Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan,
disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya,
dengan negara hukum ini, Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa negara
sebagai rumah tangga bangsa, lebih-lebih dengan predikat negara hukum,
mengemban kewajiban untuk menegakkan hukum demi keadilan bagi setiap
manusia warganegara dan penduduk; bahkan juga demi kemerdekaan
manusia. Prinsip keadilan dan kemerdekaan ini diajarkan para pemikir filsafat
hukum, yang antara lain menyatakan: “The ideal of moral good is represented
by an ideal human being; The ideal of justice is represented by an ideal social
order”. Pada bagian lain dikemukakan: “Universally valid elements of the idea
of the law area justice and legal certainty”. Keadilan sebagai cita hukum
hanya dapat ditegakkan oleh dan di dalam negara; karena negara mempunyai
kewenangan atas nama seluruh rakyat, warga negara. Negara yang dapat
menegakkan hukum hanyalah negara hukum (Rechtsstaat), demikian
dikemukakan Friedmann “The law must realize justice and the state must be a
rechstsstaat”. Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini ialah wujud
kesejahteraan manusia (warga masyarakat) lahir dan batin, sosial dan moral.
Kesejahteraan rakyat lahir batin, terutama terjaminnya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat; yaitu sandang, pangan, papan, rasakeamanan dan keadilan,
serta kebebasan beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan sosial ini
dilaksanakan (diupayakan) berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang
berlaku dan ditegakkan secara melembaga berdasarkan UUD 1945.

Negara RI sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk


menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah
24

tanggungjawab lembaga hukum semata-mata, melainkan tanggungjawab


kelembagaan dan kepemimpinan atas nama kedaulatan rakyat. Hal itu
merupakan tanggung jawab semua warga negara; artinya oleh dan untuk
rakyat Indonesia sebagai 6manusia Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh
filsafat negara Pancasila dan UUD 1945. Wujud tanggung jawab rakyat warga
negara menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat
yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.

Adapun menurut Hadjo,elemen-elemen penting negara hukum Indonesia yang


berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut:

1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan


kerukunan:
2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara;
3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal; dan
4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut, hendaknya upaya perlindungan


hukum bagi masyarakat diarahkan pada:

1. upaya mencegah terjadinya sengketa atau mengurangi terjadinya sengketa


sehingga sarana perlindungan hukum yang preventif perlu lebih
diutamakan dari pada perlindungan hukum yang represif,
2. upaya menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara
musyawarah dan penuh kekeluargaan, dan

_______________3,2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan keempat UUD 1945,


Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
25

3. penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir dan


bukan forum konfrontasi sehingga dalam peradilan tercermin suasana
damai dan tenteram melalui hukum acaranya.

Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum Indonesia


menurut penulis dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas
kolektifitas dan asas pengayoman. Asas religiusitas nampak bahwa negara
Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian bermasyarakat”dari status
“naturalis”ke status “civil” dengan perlindungan terhadap “civil right”,
melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan
luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut
merupakan cerminan luhur asas kolektifitas yang melahirkan kesepakatan
satu tujuan (gesamtakt) untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam
arti “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan pembinaan
akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan
hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan
pengayoman kepada manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif
(negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif
(positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi
yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar
sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan
sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara
utuh.Dalam rumusan tersebut termasuk juga tujuan untuk memelihara dan
mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat
yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun pelaksanaan pengayoman dilakukan dengan usaha mewujudkan:


1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
2.Kedamaian yang berketentraman
26

3.Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif)

Terhadap cara pandang berdasarkan asas kolektifitas tersebut, Mohammad


Tahir Azhary menambahkan “asas kerukunan”, sehingga berdasarkan kedua
asas dimaksud “Bangsa dan Negara Indonesia merupakan satu persatuan dan
kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan kerukunan hidup”.
Apabila Moctar Kusumaatmadja mengambil titik pangkal pemahaman negara
hukum Pancasila berdasarkan “asas pengayoman” yang dikandung UUD
1945, dan ditambahkan dengan “asas kerukunan”oleh Mohammad Tahir
Azhary, lain halnya dengan Omar Seno Adji, yang mengangkatnya dari sudut
Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi Pancasila sebagai
sumber hukum tersebut maka negara hukum Indonesia dapat dinamakan
“Negara Hukum Pancasila”. Selain itu layak pula dikemukakan pendapat
Soejadi, tentang Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, antara
lain: Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ditransformasikan
dalam cita hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam
konsep Hukum Nasional Indonesia. Dengan demikian dapat diperoleh
pemahaman bahwa Hukum Nasional Indonesia mengandung corak, tidak
menganut positivisme hukum, menolak faham legisme dan sekuleristik,
mewujudkan nilai keadilan, dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia.
Dari pengertian mengenai unsur-unsur negara hukum yang telah dikemukakan
di atas, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka dapat ditemukan unsur-unsur
negara hukum, yaitu:
1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan;
2. adanya pengakuan mengenai adanya keseimbangan terhadap jaminan hak-
hak serta kewajiban asasi manusia dan warga negara;

3. adanya pembagian kekuasaan;


27

4. dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu


berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis;
5. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
maupun kekuasaan lainnya;

6. penyelesaian sengketa diusahakan secara musyawarah dan peradilan


merupakan jalan terakhir jika musyawarah gagal;

7. terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; sandang, pangan, papan,


rasa keamanan, keadilan serta kebebasan beragama/ kepercayaan.
8. penyelenggaraan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara
beriringan.

Sehubungan dengan pendapat di atas, maka menurut hemat penulis, adalah


menjadi tantangan para ilmuwan hukum (cendekiawan) Indonesia untuk
menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam konsep-konsep (teori) hukum
nasional yang lebih aplikatif. Sehingga dapat dibentuk tatanan sistem hukum
nasional yang konstan menampilkan Paradigma Negara Hukum Pancasila.
Dengan kata lain, maka ide negara hukum yang demokratis menjadi ide yang
harus diperjuangkan dan diterapkan dalam menegakkan supremasi Indonesia.

A. Implementasi Negara Pancasila


Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara diupayakan agar tidak mengakibatkan perpecahan
yang merugikan setiap orang bahkan dapat merugikan Negara
Indonesia.  Pancasila sebagai ideologi bangsa terdapat nilai-nilai yang bisa
diaktualisasikan dalam kehidupan sekitar. Tanpa nilai-nilai Pancasila tersebut,
28

masyarakat Indonesia tidak akan memiliki pandangan atau pedoman untuk


menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam negara yang
memiliki budaya beragam.
 Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) mengandung nilai yang
luhur dalam kaitannya dengan ketuhanan, keagamaan, keadilan dan
kenegaraan. Penerapan dalam sila pertama Pancasila dapat dilakukan
dengan menghormati setiap perbedaan, yaitu: perbedaan keyakinan
yang beragam antar masyarakat, membina kerukunan hidup antar
masyarakat yang memiliki perbedaan agama dan keyakinan, tidak
memaksakan suatu keyakinan atau agama kepada orang lain,
dan menumbuhkan sikap saling toleransi antar umat beragama.
 Sila Kedua  (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) mengandung
makna mengenai penghormatan terhadap orang lain walaupun setiap
masyarakat memiliki perbedaanyang beragam. Pengimplementasian
dari sila kedua ini adalah dengan cara: menanamkan dan menerapkan
rasa toleransi kepada orang lain,  menghargai dan menghormati antar
masyarakat, selalu bersikap adil terhadap setiap orang tanpa membeda-
bedakannya, menghormati perbedaan antar masyarakat, menghormati
harkat dan derajat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban
asasinya, menanamkan rasa nasionalisme dan komitmen pada
eksistensi bangsa, dan yang terakhir adalah terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Sila Ketiga  (Persatuan Indonesia). Masyarakat Indonesia diharapkan
dapat menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas golongan atau pribadi.
Menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi berarti
rela dan sanggup berkorban demi bangsa dan negara yang dilandasi
oleh rasa cinta tanah air dan semangat membangun rasa
29

nasionalisme. Selalu menempatkan kepentingan bangsa dan negara


lebih dari apapun. Untuk bisa menumbuhkan perilaku tersebut maka
kembangkanlah rasa kebanggaan untuk bertanah air Indonesia dalam
rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sila ketiga ini dapat di
implementasikan dengan cara menghidupkan segala perbedaan yang
ada sehingga perbedaan tersebut dapat mengarah kepada kesatuan
sebagaimana semboyan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika
yang berarti walaupun berbeda-beda tapi tetap satu tujuan. Ciptakan
suasana saling tolong menolong dibalik segala perbedaan yang
beragam sehingga akan terciptanya kehidupan yang rukun antar
masyarakat Indonesia. Sila ketiga Pancasila memberikan kesempatan
secara leluasa dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
 Sila Keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan). Kerakyatan Indonesia adalah
demokrasi yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan mufakat.
Kerakyatan timbul karena adanya kesadaran bahwa manusia memiliki
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sila keempat Pancasila ini masyarakat
Indonesia dapat mengimplementasikannya dengan cara: memuliakan,
menghargai dan menghormati orang lain tanpa membedakannya
sedikitpun, selalu bersikap jujur saat adanya pemilu, dan tidak saling
menghina antar warga negara.
 Sila Kelima  (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia). Masyarakat Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa
manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.
Untuk menciptakan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia
maka dalam hal ini perlu adanya kesadaran dan perkembangan sikap
30

dan suasana kekeluargaan dan gotong royong untuk segenap


masyarakat Indonesia. Untuk itu, perlu adanya kesadaran sikap yang
adil antar sesama dan menjaga antara hak dan kewajiban serta
menghormati harkat dan martabat orang lain. Implementasi Sila
Kelima Pancasila : menanamkan sikap tolong menolong sehingga
dapat terwujud kehidupan yang rukun dan damai. kerja keras juga
diperlukan dalam implementasi sila kelima ini untuk mencapai
kesejahteraan bersama.7

7
__________________, 4, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta
31

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dengan penyelenggaraan otonomi daerah, kedelapan unsur makro
negara hukum Indonesia di atas, tentunya masih dapat dipertajam dengan
unsur “adanya peran dan fungsi strategis Peraturan Daerah sebagai instrumen
yuridis penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan tujuan
negara hukum Indonesia”. Sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan
di Indonesia, maka eksistensi Peraturan Daerah bagi Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen
yuridis cukup fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal
ini dikarenakan, Peraturan Daerah bukan saja merefleksikan keotonomian
daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri, tetapi juga
menunjukkan adanya kewenangan lembaga pembentuk hukum (Peraturan
Daerah) di Daerah yang secara hierarkis tidak memiliki hubungan sub ordinat
dengan lembaga pembentuk hukum (undang-undang) di tingkat pusat.
Berdasarkan unsur ini, menurut penulis, dapat dikembangkan kekhususan
peran dan fungsi aktif Peraturan Daerah dalam sistem hukum nasional:

a. merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang materi


muatannya terfokus pada subjek, objek, kewenangan, dan urusan rumah
tangga daerah di wilayah hukum (yurisdiksi) Pemerintah Daerah bagi
pencapaian tujuan nasional,
b. sekalipun Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota tidak dapat
diberlakukan di Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota lainnya, akan tetapi
sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional, peran dan fungsi
32

Peraturan Daerah tidaklah bersifat superior terhadap peraturan perundang-


undangan tingkat atasan dan kepentingan nasional yang menjadi rambu-rambu
perukunannya (larangan, keharusan, keserasian, keselarasan, dan
keseimbangannya). Tegasnya, keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah (antar Pemerintah Daerah) dan segenap rakyat di
Daerah tetap terpelihara sebaik-baiknya,
c. prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang telah mengakomodasi secara
komprehensif jaminan dan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan
perubahan Pasal 28 A,B,C,D,E,F,G,H,I,J Undang-Undang Dasar 1945 dan
UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan sendirinya menjadi
acuan (rambu-rambu) fundamental bagi pembentukan, pelaksanaan dan
penegakan Peraturan Daerah, dengan tujuan memberdayakan kehidupan,
kesejahteraan dan keadilan warga masyarakat di daerah sebagai warga negara
dan rakyat Indonesia.
d. konsekuensinya, di setiap wilayah hukum (yurisdiksi) daerah otonom
berproses penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan
hukum, kedaulatan rakyat, asas desentrasilasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan dalam upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan
e. dengan demikian, kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam
membentuk, melaksanakan dan menegakkan Peraturan Daerah haruslah
signifikan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa aspek
pengawasan preventif dan represif terhadap Peraturan Daerah serta
keberlanjutannya melalui upaya judicial review ke Mahkamah Agung
merupakan standar baku (par exellence) tata laksana kehidupan negara hukum
Indonesia, dengan menempatkan supremasi hukum di atas kekuasaan negara,
daerah otonom, perseorangan, kelompok, suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA).
33

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh
dari kata sempurna kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam
menjelaskan tentang makalah dengan sumber-sumber lebih banyak dan lebih
bertanggungjawab.
34

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani Roeslan, 1964, Hukum Dalam Revolusi dan Revolusi Dalam


Hukum, BP. Prapanca. Jakarta.
Adji Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta
Arief Sidharta Bernard, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum
sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar
Madju, Bandung
Asshiddiqie Jimly 1, 2002, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum,
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, LeIP, edisi 1
_______________2, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta.
_______________3,2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan keempat UUD 1945, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
__________________, 4, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai