Anda di halaman 1dari 11

TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMILIK RUMAH SAKIT ATAS SENGKETA

HUKUM YANG TERJADI PADA MANAJEMEN


RUMAH SAKIT

PROPOSAL TESIS

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Hukum Militer


Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum

Oleh:

Purwanto Kitung, S.H., S.E., M.M., MPH., CLA

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


JAKARTA
2024
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
PROGRAM MAGISTER HUKUM

TANDA PERSETUJUAN PROPOSAL TESIS

Nama : Purwanto Kitung, S.H., S.E., M.M., MPH., CLA


NIM :

JUDUL :

TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMILIK RUMAH SAKIT ATAS SENGKETA


HUKUM YANG TERJADI PADA MANAJEMEN
RUMAH SAKIT

Pembimbing :

(………………….)
TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMILIK RUMAH SAKIT ATAS SENGKETA
HUKUM YANG TERJADI PADA MANAJEMEN
RUMAH SAKIT

A. Latar Belakang

Kedudukan tenaga medis dalam bidang kesehatan tidak hanya

untuk menyembuhkan pasiennya tetapi juga sebagai petugas atau

pegawai di rumah sakit. Tenaga medis ketika melakukan tindakan medis

terhadap pasien diperlukan informed consent, apabila dari pihak pasien

setuju terhadap informed consent tersebut maka antara tenaga medis dan

pasien melakukan perjanjian terapeutik.

Pemberian pelayanan medis terhadap pasien, antara tenaga medis

dengan pasien timbul suatu hubungan hukum yang diakibatkan oleh

pengikatan diri kedua pihak dalam suatu perjanjian yang disebut dengan

perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara

tenaga medis dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan

hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini

berbeda dengan objek perjanjian umumnya. Dalam perjanjian terapeutik,

yang menjadi objek perjanjian adalah upaya/terapi untuk menyembuhkan

pasien. Sehingga perjanjian terapeutik adalah perjanjian untuk

menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi

pasien yang dilakukan oleh dokter.1

Dahulu pengaturan mengenai tenaga medis diatur dalam Pasal 8

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

menyatakan bahwa tenaga di bidang kesehatan terdiri atas tenaga

1 Bader Johan Nasution, Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter. (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2005), hlm.11


kesehatan dan asisten tenaga kesehatan Tenaga medis termasuk

kedalam tenaga kesehatan sesuai dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang

Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa. “Jenis Tenaga Kesehatan yang

termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter spesialis, dan dokter gigi

spesialis. Saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2023 tentang Kesehatan, tenaga medis bukan lagi tenaga kesehatan.

Tenaga medis adakalanya melakukan kesalahan dalam

memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Kesalahan tenaga

medis ini dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan, kurangnya

pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang

seharusnya tidak dilakukan.2 Apabila kesalahan tersebut dilakukan

dengan sengaja maupun karena kelalaian dokter, maka pasien dan

tenaga medis dapat meminta pertanggungjawaban (responsibility) dari

tenaga medis yang bersangkutan. Pertanggungjawaban tenaga medis

dapat berupa pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi.

Suatu kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dalam mempergunakan

keterampilan dan ilmu pengetahuannya untuk mengobati pasiennya

disebut sebagai tindakan malpraktik.3 Kelalaian yang dimaksud adalah

sikap kurang hati-hati dimana tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis

berada di bawah standar pelayanan medis yang dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebut dengan pelayanan

2 Ibid., hlm. 14
3 Agus Buddianto dan Gweldolyn, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan
Pasien. (Bandung: Karya Putra Darwati,2010), hlm.129
kedokteran. Dokter dan dokter gigi disamping bekerja praktik mandiri atau

di klinik atau di puskesmas juga bekerja di rumah sakit baik itu rumah sakit

pemerintah maupun rumah sakit swasta.

Rumah Sakit adalah institusi tempat untuk memberikan pelayanan

kesehatan atau yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan, dan gawat darurat. Dahulu dapat disebutkan dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit.

Saat ini diatur dalam ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2023 tentang Kesehatan yakni:

Pasal 168 ayat (1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut


menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan lanjutan yang meliputi
pelayanan spesialistik dan/atau pelayanan subspesialistik. (2) Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa: a. Rumah Sakit; b. klinik utama; c. balai Kesehatan; dan d.
praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.

Kebijakan pembangunan di bidang kesehatan dalam hal ini rumah

sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan yang semula berupa upaya

penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke arah

kesatuan upaya pembangunan kesehatan masyarakat dengan peran

serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan yang meliputi upaya peningkatan (promotif), upaya

pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan

(rehabilitatif).

Berdasarkan upaya pembangunan kesehatan yang bersifat

menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan tersebut, maka setiap upaya

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilaksanakan


berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminatif, partisipatif, perlindungan

dan berkelanjutan

Perkembangan Rumah Sakit awalnya hanya memberi pelayanan

yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap.

Selanjutnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan khususunya teknologi

kedokteran, peningkatan pendapatan dan pendidikan masyarakat.

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tidak saja bersifat kuratif tetapi juga

bersifat pemulihan (rehabilitatif). Kedua pelayanan tersebut melalui upaya

promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Namun dengan

terjadinya perubahan paradigma perumahsakitan di dunia, di mana rumah

sakit merupakan institusi yang padat modal, padat teknologi dan padat

tenaga sehingga pengelolaan rumah sakit tidak bisa semata-mata sebagai

unit sosial tetapi menjadi unit sosio-ekonomi. Upaya tercapainya

kesehatan di Indonesia masih menjadi pokok permasalahan yang penting,

tidak hanya peran negara dan pemerintah namun keikutsertaan

masyarakat dalam mencapai kesejahteraan negara di bidang kesehatan

juga sangat menentukan. Indonesia sebagai negara hukum pada

hakikatnya merupakan negara yang patuh terhadap hukum serta

perundang-undangan yang berlaku.

Rumah Sakit merupakan badan hukum dan unit usaha yang

kompleks karena di dalamnya bekerja personalia yang berasal dari

berbagai profesi. permasalahan hukum yang dihadapi juga sangat variatif

dan unik karena sifat pelayanan yang diberikan sebagian besar bersifat

inspanningsverbintennis dan bukan resultaatsverbintennis. Rumah Sakit

dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara


paripurna, pada prinsipnya harus ditunjang oleh sumber daya di bidang

kesehatan. dengan kata lain, rumah sakit harus memiliki sumber daya

yang memadai, sehingga tujuan pelayanan kesehatan secara paripurna

dapat tercapai. Sumber daya yang dimaksud di sini adalah sumber daya

manusia, yaitu tenaga kesehatan.

Dahulu dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan disebutkan: “Tenaga kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan”. Saat ini pengaturan tenaga kesehatan

terdapat dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023

tentang Kesehatan yang berbunyi “Tenaga Kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki

sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan

tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan Upaya Kesehatan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berbunyi “Rumah Sakit adalah Fasilitas

Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan

perseorangan secara paripurna melalui Pelayanan Kesehatan promotif,

preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/ atau paliatif dengan menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan Gawat Darurat”, berarti sebuah

rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap seperti halnya

tenaga medis atau dokter dari luar rumah sakit. Dokter tidak tetap tersebut,
sering juga disebut sebagai dokter out (dokter tamu), yang berarti bukan

pegawai tetap rumah sakit tersebut. Dalam Pasal 4 Permenkes 2052/2011

tentang praktik kedokteran disebutkan bahwa dokter boleh berpraktik

maksimal pada tiga tempat praktik. Dalam literatur hukum medis, yang

dimaksud dokter tamu atau dokter mitra adalah para dokter yang tidak

terikat pada rumah sakitnya, namun sudah di terima dan diperbolehkan

untuk memakai fasilitas rumah sakit untuk jangka waktu tertentu. Untuk itu

maka sebaiknya dibuatkan surat perjanjian dan dimana harus

dicantumkan tanggungjawab hukumnya (legal liability). terhadap pasien

jika ada gugatan dari pasien ataupun keluarganya. Namun, tidak hanya

dokter tidak tetap yang berpraktek di rumah sakit, dokter tetap pun wajib

terikat dengan perjanjian dari rumah sakit yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pada rumah sakit

tertentu dokter atau tenaga medis yang bekerja di dalamnya dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu dokter yang merupakan tenaga tetap rumah

sakit bersangkutan dan dokter yang merupakan dokter tamu.

Dengan demikian, antara dokter tetap tersebut dengan rumah sakit

bersangkutan terbit suatu perikatan untuk berbuat sesuatu sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) Dokter yang merupakan tenaga tetap secara hukum telah

terjadi untuk melakukan suatu pekerjaan di rumah sakit dengan ciri-ciri

tertentu. Pertama, dokter bekerja atas perintah rumah sakit. Kedua, dokter

harus menaati segala bentuk peraturan yang berlaku di rumah sakit

tersebut. Ketiga, dokter dibayar atau digaji oleh rumah sakit bersangkutan.
Dalam Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH

Perdata) disebutkan bahwa semua perjanjian yang yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dalam

hal ini perjanjian rumah sakit dan dokter tetap atau dokter mitra.

Selanjutnya, dokter yang merupakan dokter tamu pada suatu rumah sakit

tertentu, biasanya diadakan suatu perjanjian khusus (bijzondere

overenskomst) yang mengatur hubungan kedua belah pihak dalam Pasal

1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan perjanjian hanya

berlaku antara pihak yang membuatnya dalam hal ini rumah sakit dan

dokter mitra atau dokter tetapnya. Pada umumnya perjanjian tersebut

ditentukan oleh rumah sakit bersangkutan, dan isi perjanjiannya akan

berlainan antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit yang lain.

Kondisi ini disesuaikan dengan kelas rumah sakit, kemampuan dan jumlah

pasien. Meskipun pola pekerjaan dokter tamu dalam sebuah rumah sakit

telah diatur dalam sebuah perjanjian kerja untuk mengatur hubungan

hukum antara rumah sakit dan dokter mitra namun perjanjian kerja itu

harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang

Kesehatan. Sedangkan dalam hubungan hukum antara dokter tetap dan

pasien berlaku hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien

sesuai peraturan perundang-undangan.

Tanggung jawab rumah sakit terhadap dokter mitra tersebut masih

perlu mendapat perhatian. Timbul pertanyaan bagaimana andai kata

dalam melakukan tindakan medis ada tenaga medis dan tenaga

kesehatan (perawat) yang terlibat dalam pelayanan kedokteran. Misalnya

dokter bedah dalam melakukan tindakan bedah akan melibatkan perawat


operator dan sebagainya. Jika perawatnya yang salah bagaimana?

Padahal ada doktrin the captain of ship/captain of the team. Apakah dokter

mitra secara serta merta juga dapat bertanggung jawab atas kelalaian

yang dilakukan perawat operator tersebut atau rumah sakit yang

bertanggungjawab sebagaimana disebutkan dahulu dalam Pasal 46

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yakni

rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian

yang di timbulkan oleh kelalaian tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Saat ini berdasarkan ketentuan Pasal 310 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berbunyi: ”Dalam hal Tenaga

Medis atau Tenaga Kesehatan diduga melakukan kesalahan dalam

menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada Pasien,

perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih

dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.”

Dengan demikian rumah sakit tidak lagi bertanggungjawab terhadap

kesalahan atau kelalaian yang dilakukan dokter kepada pasiennya.

Dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang menyebutkan: “Seorang tidak

saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatan

sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-

orang yang menjadi tanggunganya atau disebabkan oleh barang-barang

yang berada dibawa pengawasanya”. Kerugian dalam hukum adalah

kerugian yang dinyatakan hukum dan boleh dipulihkan dengan

membebankan tanggungjawab hukum pada pelaku.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka menjadi penelitian peneliti

mengenai tanggungjawab pemilik rumah sakit terhadap tenaga medis


yang melakukan kesalahan atau kelalaian terhadap pasien karena

terdapat ketentuan pidana jika kesalahan atau kelalaian itu berupa

malpraktik maka direktur rumah sakit bertanggungjawab terhadap hal

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai