Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Program pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup yang sehat bagi

setiap orang. Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana telah ditegaskan

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengatur tentang hak-hak diberikan kepada warga negara Indonesia

Semakin meningkatnya kebutuhan masayarakat pada pelayanan

kesehatan, semakin berkembang juga aturan dan dukungan terhadap

peningkatan pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah, hal ini

merupakan faktor pendorong pada institusi penyelenggara pelayanan kesehatan

untuk menerapkan dasar dan peranan hukum dalam pelayanan kesehatan. Yang

berorientasi pada perlindungan dan kepastian hukum pada hak pasien dalam

menerima pelayanan kesehatan.1

Pengaturan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di Indonesia, secara

filosofis berasal dari Pasal 34 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 yang menetapkan pelayanan kesehatan sebagai

tanggung jawab negara, dan Pasal 28 H Ayat (1) yang menetapkan mengenai

hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kedua pasal

tersebut merupakan perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab

1
Zahir Rusyad,2018, Hukum Perlindungan Pasien, Konsep Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan Hak
Kesehatan Oleh Dokter dan Rumah Sakit, Malang: Setara Press, hal,1.
1
dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2

Pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang yang dijamin dalam

Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan amanat konstitusi dengan tujuan

untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya baik perorangan, kelompok atau

masyarakat.3

Berdasarkan ketentuan tersebut ditegaskan bahwa setiap warga negara

berhak untuk mendapatkan dan atau menerima pelayanan di bidang kesehatan,

yang dilaksanakan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang sudah disiapkan oleh

pemerintah. Salah satu fasilitas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

adalah rumah sakit, ruang lingkupnya meliputi upaya pelayanan kesehatan

yang dilaksanakan oleh rumah sakit didukung dengan adanya tenaga medis,

tenaga kesehatan dan penunjang lainnya, seperti Farmasi, laboratorium,

radiologi dan lain sebagainya.

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia telah

menciptakan bisnis rumah sakit, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari

layanan kesehatan terhadap masyarakat. Data tahun 2013, menurut Ditjen Bina

Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, jumlah rumah sakit telah

mencapai 2.226, sedang pengaturannya juga terus berkembang hingga terbit

Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.4

Rumah sakit merupakan salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan

perseorangan, Rumah Sakit memiliki tugas dan fungsi yang amat penting.

2
Ibid
3
Soekijo Notoatmodjo,Agustus 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Jarkarta: Rineka Cipta, Cetakan
Pertama,hal.62
4
Zahir Rusyad, 2018, Hukum Perlindungan PasienKonsep Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan Hak
Kesehatan Oleh Dokter dan Rumah Sakit, Malang: Setara Press, hal,2
2
Sebagai salah satu bentuk pelayanan publik mengemban tugas pemerintah

untuk menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memenuhi hak dasar manusia

untuk memperoleh pelayanan kesehatan.5 Pada hakekatnya Rumah Sakit

memiliki fungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan

kesehatan.fungsi yang dimaksud memiliki implikasi berupa tanggung jawab

Rumah Sakit atas pelayanan kepada pasien.6 Rumah Sakit adalah merupakan

salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan dilaksanakan secara

bertanggung jawab, aman bermutu,serta merata dan nondiskriminatif.7

Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan terdapat ketentuan dan rumusan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek

Kedokteran, Pasal 1 butir 1, praktek kedokteran adalah rangkaian kegiatan

yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam

melaksanakan upaya kesehatan. Didalam menjalankan tugasnya setiap tenaga

medis harus memiliki SIP (Surat Ijin Praktek) dan STR (Surat Tanda

Registrasi), Pasal 1 butir 7, Surat Izin Praktik adalah bukti tertulis yang

diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan

praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan. Pasal 1 butir 8, Surat Tanda

Registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh

Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah

diregistrasi.

Dengan semakin interdependennya segala segi kehidupan manusia,

hubungan dokter pasien kini sangat memerlukan intervensi pihak lain, baik
5
Endang Wahyati Yustina,2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media, Cetakan Pertama, hal
1
6
Ibid,hal 2.
7
Soekijo Notoatmodjo,Agustus 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Jarkarta: Rineka Cipta, Cetakan
Pertama.hal 63.

3
berupa sarana teknologi, kendali sosial, pengawasan pemegang kebijakan,

pengaturan oleh norma, bahkan pembatasan oleh nilai, keyakinan dan sikap

yang dianut masyarakat yang beradab. Namun demikian bagi dokter tentu

sangat penting untuk pertama-tama menciptakan hubungan dengan pasien atas

dasar kepercayaan.8

Dalam menangani seorang pasien, dokter tidak dapat menjanjikan sebuah

kesembuhan, karena tubuh manusia bersifat kompleks dan tidak dapat

dimengerti sepenuhnya. Belum diperhitungkan variasi yang tedapat pada setiap

pasien: usia, psikis, tingkat penyakit, sifat penyakit, komplikasi, dan lain-lain. 7

Sehingga dalam menjalankan profesinya dokter juga harus mengerti dan

memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan

profesinya.sehingga seorang dokter dapat memahami pasien bagaimana

melaksanakan upaya pelayanan kesehatan terhadap pasien dan bisa melindungi

pasien dengan mengacu kepada Undang-Undang, yaitu tentang Undang-

Undang yang mengatur hak dan kewajiban dokter, maupun Undang-Undang

yang mengatur hak dan kewajiban pasien. Adapun Undang-Undang yang

mengatur hak dan kewajiban seorang dokter tertuang dalam Pasal 50 dan 51

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Salah satu tujuan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang di dalamnya

diatur tentang ketentuan sanksi disiplin dokter adalah untuk melindungi hak

penerima pelayanan kesehatan, maka dengan dibuatnya Undang-Undang

Praktik Kedokteran hak penerima pelayanan kesehatan untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang berkualitas seharusnya dapat terwujud. Namun

8
Benyamin Lumenta, 1989, Dokter Citra, Peran, dan Fungsi, Yogyakarta : Kanisius, hal.18

4
kenyataan menunjukkan bahwa hampir secara berkala dapat dibaca dalam

media cetak maupun dilihat di media elektronik adanya berbagai berita tentang

malpraktik medis.

Pada negara berkembang khususnya Indonesia, peningkatan kesadaran

akan hak-hak pasien baru disadari hanya oleh lapisan masyarakat tertentu. Dan

masih banyak masyarakat yang tetap belum menyadari hak-haknya, terutama

dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Golongan

masyarakat ini masih bersikap pasif dalam menerima pelayanan

kedokteran/kesehatan, sehingga terkadang dimanfaatkan oleh profesi dokter

untuk mengambil keuntungan sepihak. Dan bila muncul kondisi yang tidak

diinginkan, maka pasien hanya bisa pasrah dan menerimanya sebagai sebuah

takdir. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan dari segi pembangunan

kesehatan nasional, dimana pelayanan medis yang dilakukan terlalu hati-hati

juga tidak akan menghasilkan pengobatan yang maksimal dan memberikan

pelayanan dibawah standar akan menurunkan kepercayaan pasien terhadap

praktek kedokteran. Disinilah arti penting perlindungan hukum bagi semua

pihak yang terlibat dalam pelayanan medis, baik dokter maupun pasien. Seperti

yang dinyatakan oleh Aristoteles bahwa hukum berfungsi sebagai instrumen

untuk mewujudkan keadilan karena “law can be determined only in relation to

the just”. Bahwa hukum tidak hanya terbatas pada masalah adil tetapi jauh

lebih besar dari yakni memberikan suatu kepastian dan perlindungan hukum.

Didalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk

menciptakan ketertiban dan keadilan.9

9
Peter Mahmud Marzuki, 2006; Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta; hlm. 58

5
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola

hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak

dari prinsip “ Father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat

paternalistik. Dalam mengupayakan kesehatan pasien prinsip “father knows

best”. Dokter berupaya untuk bertindak sebagai “bapak yang baik” yang

cermat, dan hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam hal ini, dokter

dibekali oleh lafal sumpah dan kode etik kedokteran Indonesia. Seiring

perubahan jaman pola hubungan yang vertikal paternalistik bergeser pada pola

horizontal kontraktual.10 Pola hubungan ini menghasilkan aspek hukum yang

bersifat “inspanning verbitennis” yang merupakan hubungan antara dokter dan

pasien yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para

pihak yang bersangkutan. Hubungan ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan,

karena hukum ini berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan

pengalamannya (menangani suatu penyakit) untuk kesembuhan pasien.11

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain.18 Perlindungan yang diberikan oleh hukum,

terkait dengan adanya hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan

hukum. Upaya hukum yang harus diberikan untuk memberikan rasa aman, baik

secara fikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak

manapun. 12

Tujuan perlindungan hak pasien adalah untuk menjamin keselamatan

pasien atas layanan kesehatan dirumah sakit, oleh sebab itu hak tersebut juga

10
Endang Kusuma Astuti, 2003, Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis,
Jakarta: ISSN 0854-6509, hal.4.
11
Bahder Johan Nasution,2005, Hukum Kesehatan (Pertanggung jawabn dokter),Jakarta-Rineka Cipta, hal.11.
12
Zahir Rusyad, 2018, Hukum Perlindungan Pasien, Konsep Perlindungan Terhadap Pasien Dalam
Pemenuhan Hak Kesehatan oleh Dokter dan Rumah Sakit, Malang: Setara Press, hal, 42.
6
menjadi bagian dari rumah sakit.Tetapi tidak semua hak pasien menjadi

kewajiban rumah sakit, dan tidak semua hak rumah sakit menjadi kewajiban

pasien.13

Pada kesempatan ini peneliti melihat banyak kasus diberbagai layanan

kesehatan, terutama Rumah sakit. Pada dalam upaya pelayanan kesehatannya

belum begitu banyaknya yang memperhatikan tentang hak pasien dalam

menerima layanan kesehatan yang bermutu, sehingga hak atas mutu tersebut

perlu sekali mendapat perlindungan terutama untuk pasien atau masyarakat

menengah kebawah. Dalam pelaksanaannya rata-rata sudah baik tapi belum

begitu optimal, karena masih adanya Standar Operasional Prosedur yang belum

dilaksanakan pada waktu melakukan asuhan medis dan asuhan keparawatan,

sehingga banyak menyebakan adanya ketidak puasan pasien dalam menerima

layanan kesehatan yang dibutuhkannya.

Hal ini sejalan dengan penelitian tintin supriyatin (2018) 14,yang

menyatakan kurangnya Sumber daya manusia terutama tenaga perawat dan

tenaga adminitrasi, kurangnya sosialisasi tentang informasi baik Peraturan-

peraturan yang ada ataupun prosedur-prosedur yang sudah dibuat tidak

seluruhnya ditaati dan dilaksanakan, sebagian masih adanya tenaga medis yang

kurang peduli terhadap pengisian rekam medik, kurangnya penghargaan dari

pihak manajemen dan Kesempatan berkarir masih kurang. Sehingga hal ini

akan mempengaruhi hak pasien atas mutu, menyebabkan kepuasan pasien

dilayanan sedikit kurang optimal

Ada juga hal-hal berupa informasi-informasi baik dari pihak Rumah

13
Ibid, hal, 69
14
tintin supriyatin ,2018,perlindungan hak pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
terkait perundang-undangan(studi kasus di rsud kota tangerang)
7
Sakit sendiri maupun dari tenaga medis/ non medis dan tenaga lainnya yang

menyebakan komplain pasien masih terjadi, karena informasi yang mestinya

sudah tersampaikan, sehingga banyak menyebabkan kesalah pahaman, baik

dari penyedia layanan maupun pasiennya sendiri.15

Berbagai tuntutan atau gugatan terhadap kasus “kelalaian atau kesalahan

medis” yang terjadi di rumah sakit menandakan kesadaran dan pemahaman

pasien yang terus meningkat. Pasien mulai memperjuangkan hak mereka jika

terjadi pelanggaran hukum dalam pemberian pelayanan medis. Sesuai dengan

data yang ada pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), untuk wilayah Jakarta,

dalam setiap minggu terdapat satu kali pengaduan dugaan malpraktik medis

yang disampaikan kepada IDI dan sekitar 90% malpraktik medis tersebut

dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit. Pada periode 1998 - 2004,

terdapat 306 pengaduan kasus ketidakpuasan konsumen kesehatan yang

disampaikan kepada YPKKI. Setiap tahun, sedikitnya sepuluh orang

melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas

kesehatan yang mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien.16

Haruslah disadari bahwa pada dasarnya pasien selaku konsumen pelayan

medis sering kali dalam posisi lemah. Beberapa dekade ini hubungan antara

rumah sakit dan dokter selaku produsen jasa layanan kesehatan dengan pasien

selaku konsumen belumlah harmonis, hal ini dapat dilihat dari banyaknya

kasus malpraktek yang marak terjadi sejak 2006 hingga 2021, tercatat ada 246

kasus kelalaian medik (medical negligence) dan malpraktek (malpractice) yang

15
Ibid
16
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 3, Desember 2007 Perlindungan Hak
Pasien di RS Kanker Dharmais Jakarta Harvensica Gunnara, hlm.137.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=269690&val=7113&title=Perlindungan%20 Hak
%20Pasien%20di%20RS%20Kanker%20Dharmais%20Jakarta
8
terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti

dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).17

Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan pola hubungan hukum

dalam transaksi terapeutik yang terjadi adalah meningkatnya kesadaran

masyarakat akan pengetahuan tentang hak-hak mereka sebagai pasien.

Sebagian besar masyarakat telah memahami bahwa dalam kedudukan sebagai

pasien mereka memiliki hak-hak tertentu yang wajib dihormati oleh dokter.

Kesadaran ini membuat mereka tidak lagi bersikap pasif menunggu dan

mengiyakan apa pun yang disodorkan dokter. Namun seringkali kesadaran ini

tidak diiringi dengan pengetahuan terhadap kewajiban yang menyertai hak-hak

pasien, sehingga ketika muncul kondisi yang tidak diinginkan oleh pasien, akan

langsung dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak yang dapat dijadikan

landasan untuk melakukan gugatan atau tuntutan hukum. Dan gugatan maupun

tuntutan hukum ini kemudian sering diartikan oleh kalangan profesi dokter

sebagai sebuah intervensi sehingga mereka bereaksi dengan sangat defensif.

Pada akhirnya reaksi ini berujung pada mutu tindakan medis yang diberikan.

Dokter akan sangat bersikap hati-hati dalam menjalani profesinya bahkan

cenderung mengambil langkah menolak memberikan tindakan bila

diperkirakan tindakan tersebut tidak akan banyak membantu dalam proses

penyembuhan. 18

Ketidakpuasan pasien diartikan sama dengan keluhan terhadap rumah


17
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Selaku Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Yang Mengalami Malpraktek.
Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H.,M.H. Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar.
18
Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik Oleh Elizabeth Siregar dan Arrie
Budhiartie Majalah Forum Akademika, September 2013 vol 24 https://online-
journal.unja.ac.id/index.php/ForAk/article/view/2159. hal. 173-174
9
sakit, berikut pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya (dokter,

perawat, apoteker, psikolog dan lainnya) dan struktur sistem perawatan

kesehatan (biaya, sistem asuransi, kemampuan dan prasarana pusat kesehatan

dan lain-lain). Pasien mengharapkan interaksi yang baik, sopan, ramah,

nyaman dengan tenaga kesehatan, sehingga kompetensi, kualifikasi serta

kepribadian yang baik dari pelayan kesehatan. Faktor utama dalam

mempengaruhi kepuasan pasien adalah lengkapnya peralatan medik, bangunan

dan fasilitas rumah sakit yang memadai, kelengkapan sarana pendukung dalam

pelayanan.

Dari hasil pengalaman inilah peneliti merasa tergerak untuk melakukan

penelitian dengan judul” Perlindungan Hak pasien Dalam Layanan

Kesehatan Yang Bermutu menurut hukum positif indonesia di RSUD

Kota Bangkinang”. Disini peneliti akan melakukan penelitian di RSUD Kota

Bangkinang, karena peneliti lihat Rumah Sakit ini, adalah Rumah Sakit yang

sudah terakreditasi Paripurna, betul-betul sudah memahami tentang

Perlindungan Hak Pasien Terhadap Layanan Kesehatan yang bermutu, apakah

sudah sesuai dengan ketentuan cita-cita UUD 1945 dan Perundang-Undangan

yang berlaku. Dan peneliti ingin mengetahui lebih lanjut, apakah di rumah

Sakit yang sudah akreditasi Paripurna masih ada komplain pasien. Apakah

seluruh tenaga kesehatannya sudah paham tentang Perlindungan Hak Pasien

terhadap layanan kesehatan yang bermutu terkait Perundang-Undangan ,

Apakah Sumber Daya Manusia (SDM) cukup dan paham tentang hubungan

hak pasien dengan kendali mutu.

B. Rumusan Masalah
10
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan

konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam, maka

diperlukan suatu pembatasan masalah. Untuk memudahkan dalam

penyusunan dan pencarian data guna menghasilkan sebuah penelitian yang

baik dan menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam

penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah secara teratur dan

sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas

Maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana Aturan Perlindungan Hak pasien Dalam Layanan Kesehatan

Yang Bermutu menurut hukum positif indonesia di RSUD Kota

Bangkinang?

2. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hak pasien untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD Kota Bangkinang?

3. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan faktor penghambat dalam

pelaksanaan perlindungan hak pasien untuk memperoleh pelayanan

kesehatan yang bermutu di RSUD Kota Bangkinang?

11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Aturan perlindungan hak pasien untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD Kota Bangkinang

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hak pasien untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD Kota

Bangkinang

3. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang mendukung dan faktor

penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hak pasien untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD Kota

Bangkinang

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam tesis ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Bagi Perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan bidang

hukum tertentu khususnya Hukum Perdata, Hukum Pidanadan Hukum

Kesehatan mengenai penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien

berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Pemerintah

Hasil Penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam rangka

menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan

memberikan saran terhadap isi peraturan perundang-undangan tersebut


12
selanjutnya dapat dijadikan masukan apabila akan dilakukan perubahan

peraturan perundang-undangan.

b. Bagi Dokter

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi

dokter dan juga dapat dijadikan bahan kajian ilmiah bagi kalangan

akademisi guna pengembangan ilmu pengetahuan.

13
F. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu

“perlindungan” dan “hukum”. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata “perlindungan” berasal dari kata “lindung”

yang berarti “berada di balik sesuatu”, sementara arti “hukum”

adalah suatu peraturan yang dibuat dan disepakati baik secara

tertulis maupun tidak tertulis atau yang biasa disebut peraturan

atau perundang-undangan yang mengikat perilaku setiap

masyarakat tertentu. 19
Pengertian lain mengenai hukum

menurut para ahli, yaitu:20

a. E. M. Meyers : Hukum adalah aturan-aturan yang di

dalamnya mengandung pertimbangan kesusilaan yang

ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam sebuah

masyarakat dan menjadi acuan atau pedoman bagi para

penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

b. Drs. C. Utrecht S.H : Hukum adalah himpunan peraturan-

peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-

larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan

karena itu harus ditaati oleh masyarakat.


19
SS Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya, Apollo, hlm. 271
20
Muttaqin, “Pengertian Hukum menurut Aristoteles, Utrecht, L. Duguit, Immanuel Kant & Ahli”,
September 2017, http://www.muttaqin.id/2017/09/pengertian-hukum-aristoteles-utrecht-duguit-
ahli.html?m=1. Diakses pada tanggal 10 Desember 2021, jam 22:53 WIB

14
c. Paul Bohannan : Hukum merupakan himpunan

kewajiban yang telah dilembagakan dalam pranata hukum.

Setiap masyarakat di dunia ini masing-masing mempunyai

bahasa dan hukumnya sendiri. Setiap bahasa memiliki tata

bahasanya sendiri, begitupun hukumnya yang memiliki tata

hukum sendiri. Tata hukum yang berlaku pada waktu tertentu

dalam suatu wilayah negara tertentu itulah yang disebut hukum

positif. Lebih rinci lagi hukum positif adalah hukum yang

berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu

daerah tertentu Berikut contoh hukum positif yang ada di

Indonesia: Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang

(UU), Peraturan Pemerintah (PP), Dan lain-lain.21.

Hukum positif Indonesia menurut bentuknya terdiri dari hukum

tertulis (peraturan perundangan) dan hukum tidak tertulis

(hukum adat). Sumber hukum positif Indonesia ada dua yaitu

sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber

hukum materiil adalah kesadaran hukum masyarakat atau

kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang dianggap

seharusnya.22.

Adapun sumber hukum formil adalah tempat dimana kita dapat


menemukan hukum, prosedur atau cara pembentukan Undang-
undang. Yang termasuk sumber hukum formil adalah:
a. Undang-undang.
21
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), hal. 22
22
Ibid., hal. 37

15
b. Adat atau kebiasaan.
c. Jurisprudensi.
d. Traktat.
e. Doktrin hukum.23

Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui


cara-cara tertentu, yaitu dengan:

1) Memberikan peraturan, dengan tujuan:

a. Memberikan hak dan kewajiban.

b. Menjamin hak-hak para subyek hukum.

2) Menegakkan dan memelihara peraturan, melalui:

a) Hukum administrasi negara yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak yang

dimiliki oleh konsumen yaitu dengan dilakukannya

perjanjian dan pengawasan.

b) Hukum pidana yang bertujuan untuk menanggulangi

pelanggaran hak-hak konsumen yaitu dengan

mengenakan sanksi pidana dan hukuman.

c) Hukum perdata yang bertujuan untuk memulihkan

hak-hak konsumen, yaitu dengan adanya pembayaran

kompensasi atau ganti kerugian.

Perlindungan hukum adalah bentuk perlindungan yang

diberikan dalam keadaan membahayakan yang dapat

mengancam keselamatan jiwa dan fisik, baik karena alam

23
Ibid., hal. 38

16
atau perbuatan manusia. Perlindungan hukum juga

merupakan bentuk perlindungan berupa rasa aman dalam

melaksanakan tugas profesinya. Perlindungan hukum

selalu diberikan kepada pelaku profesi apa pun sepanjang

pelaku profesi tersebut bekerja dengan melaksanakan

prosedur standar sebagaimana tuntutan bidang ilmunya,

sesuai dengan moral dan etika yang berlaku dalam

masyarakat. 24

2. Fungsi Perlindungan Hukum

Pada prinsipnya hukum merupakan kenyataan dan

pernyataan yang beraneka ragam untuk menjamin adanya

penyesuaian kebebasan dan kehendak seseorang dengan orang

lain.25

Tugas hukum adalah menjamin terciptanya kepastian

hukum (rechtzekerheid) dalam pergaulan manusia dengan

membagi hak dan kewajiban antara individu serta memberi

wewenang dan mengatur serta memecahkan masalah hukum

serta memelihara kepastian hukum dalam

masyarakat.26Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran

fungsi hukum yang merupakan sebuah konsep dimana hukum

24
Juwita Suma, “Tanggung Jawab Hukum dan Etika Kesehatan”, Jurnal Legalitas Vol. 2 Nomor 3
(2009) hlm. 92
25
Sudarsono, 2013, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.167
26
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm.
57- 61

17
dapat memberikan kepastian, kedamaian, ketertiban, keadilan,

dan kemanfaatan. Perlindungan hukum akan memberikan rasa

aman kepada masyarakat sebagai individu maupun masyarakat

dalam lingkup sosial, karena upaya perlindungan merupakan

salah satu upaya utama untuk melindungi hak asasi manusia

secara holistik. 27

3. Sarana Perlindungan Hukum

Sarana Perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu :

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Tujuan sarana perlindungan hukum preventif

yaitu mencegah terjadinya sengketa. Dalam sarana

ini, subyek hukum memiliki kesempatan untuk

mengajukan pendapatnya. Namun hingga saat ini,

belum ada pengaturan khusus mengenai

perlindungan hukum preventif di Indonesia.

b. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Tujuan dari saran perlindungan hukum

27
Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, “Karakteristik Pelayanan Kesehatan dalam
Perlindungan Pasien”, Jurnal Universitas mahasaraswati press, (2016), hlm. 191

18
represif yaitu untuk menyelesaikan sengketa yang

telah terjadi. Lembaga yang memiliki kewenangan

sebagai sarana perlindungan hukum represif ini

adalah Pengadilan Umum dan Peradilan

Administrasi. 28

B. Tinjauan Umum Mengenai Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pengertian pelayanan adalah serangkaian kegiatan,

karena itu pelayanan merupakan proses yang berlangsung

secara rutin dan berkesinambungan yang meliputi seluruh

kehidupan dalam masyarakat.29 Menurut Lovely dan Loomba,

“Pelayanan Kesehatan adalah setiap upaya yang

diselenggarakan secara sendiri atau bersama- sama dalam suatu

organisasi untuk memelihara, meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun

kelompok”.30 Selain itu, Pelayanan Kesehatan dapat diartikan

juga sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

berupa tindakan penyembuhan, pencegahan, pengobatan, dan

pemulihan fungsi organ tubuh seperti sedia kala.31


28
Shoraya Yudithia, 2017, Perlindungan Hukum Terhadap Peserta Bpjs Kesehatan Dalam
Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit, (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung), hlm. 29
29
Moeir, 2002, Manajemen Pelayanan Umuum di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 27
30
Iqbal Mubarak, 2005, Pengantar Keperawatan Komunitas 1, Jakarta, Sagung Seto, hlm. 89
31
Merry Martha, “Kualitas Pelayanan Kesehatan Penerima Jamkesmas di RSUD Ibnu Sina
Gresik”, Jurnal Unair Kebijakan dan Manajemen Publik Vol. I Nomor 1 (Januari 2013),

19
Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan menyebutkan bahwa: “Pelayanan kesehatan

terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan

kesehatan masyarakat Pelayanan kesehatan tersebut meliputi

kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif”. Adapun pengertiannya yaitu:32

a. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan

dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang

lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi

kesehatan.

b. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan

pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

c. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan

dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang

ditujukan untuk menyembuhkan penyakit, pengurangan

penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau

pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat

dijaga seoptimal mungkin, dan

d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan

dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan

bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat

hlm. 178
32
Megi Akbar, 2013, Pelaksanaan Instruksi Medis via Telepon oleh Perawat di Ruang Rawat
Inap RSI YARSIS Surakarta, (Tesis, Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada),
hlm. 3

20
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna

untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin

sesuai dengan kemampuannya.

2. Prinsip Pelayanan Kesehatan

Mukherjee dan Malhotra mendefinisikan arti kualitas

pelayanan sebagai hasil dari interaksi antar manusia yaitu

antara pemberi jasa dengan konsumen. Sementara menurut

Dyke, pengertian dari kualitas pelayanan adalah sebagai

harapan, keinginan, ataupun sesuatu yang harus disampaikan

oleh penyedia jasa, harapan normatif, standar ideal, pelayanan

yang diinginkan, dan tingkat pelayanan yang diharapkan oleh

konsumen.33 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Chilgren yang dimuat dalam jurnalnya, Manager and The New

Definitions of Quality, ia menjelaskan bahwa kualitas

pelayanan yang diharapkan oleh pasien meliputi kecepatan

waktu pelayanan, sikap dan perilaku karyawan (dokter dan

karyawan lainnya), serta kejelasan informasi yang diberikan.

Menurut Ali Gufran, pelayanan kesehatan yang bermutu dalam

pengertian yang luas dapat diartikan bahwa realitas layanan

kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar

profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah


33
Ina Ratnamiasih et al, “Kompetensi SDM dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit”. Jurnal
Trikonomika Vol. 11 Nomor 1 (Juni 2012), hlm. 50

21
memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan

pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal. 34

Adapun prinsip-prinsip pelayanan di bidang kesehatan antara


lain:35

a) Mengutamakan pelanggan

Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan

kenyamanan pelanggan, bukan untuk memperlancar

pekerjaan kita sendiri.

b) Memberdayakan pelanggan

Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat

digunakan sebagai sumber daya atau perangkat tambahan

oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya

sehari-hari.

c) Melayani dengan hati nurani (soft system)

Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan

yang diutamakan adalah keaslian sikap dan perilaku sesuai

dengan hati nurani. Perilaku yang dibuat-buat sangat

mudah dikenali pelanggan dan memperburuk citra pribadi.

d) Sistem yang efektif

Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah sistem

yang nyata (hard sysitem), yaitu tatanan yang

memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam


34
Rizanda Machmud, “Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol. 2 Nomor 2 (2008), hlm. 186
35
Iqbal Mubarak, Op.Cit., hlm 92

22
organisasi perpaduan tersebut harus terlihat sebagai

sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan

tertib dan lancar di mata pelanggan.

e) Perbaikan berkelanjutan

Semakin baik mutu pelayanan maka akan

menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk

dipuaskan, karena tuntutan juga semakin tinggi,

kebutuhannya juga semakin luas dan beragam, maka

sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan terus-

menerus.

3. Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan

Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien,

tenaga kesehatan tidak hanya dilihat dari keahlian dan

pengetahuannya, namun juga melalui kondisi emosionalnya.

Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan standar profesi,

standar pelayanan, kode etik, hak pengguna pelayanan

kesehatan, dan standar prosedur operasional agar dapat

memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pelayanan

kesehatan.36

Ada beberapa syarat pokok dalam pelayanan kesehatan,

yaitu antara lain:37


36
Soekidjo Notoatmodjo, Op.Cit., hlm. 55
37
Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed 3, Jakarta, Binarupa Aksara, hlm. 16

23
1. Mudah dicapai (accessible)
Pengertian ketercapaian adalah dari sudut lokasi.

Pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat

penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang

baik. Pelayanan kesehatan dianggap tidak baik apabila

terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan tidak

ditemukan di pedesaan.

2. Mudah dijangkau (affordable)

Pengertian keterjangkauan terutama dari sudut

biaya. Biaya pelayanan kesehatan harus sesuai dengan

kemampuan ekonomi masyarakat.

3. Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous)

Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan adalah

harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat

berkesinambungan (continuous), artinya semua jenis

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak

sulit untuk ditemukan, serta keberadaannya dalam

masyarakat pada setiap dibutuhkan.

4. Dapat diterima dan wajar (acceptable and appropriate)

Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan

dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan

kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat,

kebudayaan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat

tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang

24
baik.

5. Bermutu (quality)

Mutu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan, disatu pihak dapat

memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak

lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik

serta standar yang telah ditetapkan.

25
4. Tanggung Jawab dalam Pelayanan Kesehatan

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan

secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan

masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di

dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan

antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan

risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan.38

Dalam pelayanan kesehatan, tindakan medis yang dilakukan memiliki

2 (dua) macam akibat, yaitu akibat positif dalam arti tindakan medik

yang dilakukan berhasil sebagaimana merupakan tujuan yang

diharapkan dan pasien bisa pulang dengan sembuh, dan akibat dengan

hasil yang negatif yang sama sekali tidak terduga dan tidak

diharapkan.

Dokter sebagai tenaga profesional dalam pemberian layanan

kesehatan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya yang

dilakukan kepada pasien atau konsumen kesehatan dengan sebaik-

baiknya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Adanya keharusan

bertanggungjawab adalah untuk melindungi jiwa (manusia) dan

mengingatkan kepada dokter agar dalam melaksanakan pekerjaan

mereka harus hati-hati sebagaimana mestinya, karena pekerjaan ini

berkaitan dengan kehidupan manusia.39


38
Maya Ruhtiani, 2012, “Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa dalam Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya”, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman), hlm. 25

39
Ahdiana Yuni Lestari, Muh Endriyo Susilo, Konstruksi Hukum Malpraktik Medik dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Media Hukum UMY Vol. 1 (Juni 2009), hlm. 16
26
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah

“kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan”. Menurut hukum, tanggung

jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang

perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam

melakukan suatu perbuatan.40 Pengertian tanggung jawab mengandung

unsur-unsur: kecakapan, beban kewajiban, dan perbuatan. Seseorang

dikatakan cakap jika sudah dewasa dan sehat pikirannya. Bagi badan

hukum dikatakan cakap jika dinyatakan tidak dalam keadaan pailit

oleh putusan pengadilan. Unsur kewajiban mengandung makna sesuatu

yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan. Jadi sifatnya

harus ada atau keharusan. Unsur perbuatan mengandung arti segala

sesuatu yang dilakukan. Dengan demikian tanggung jawab adalah:

“Keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hukum, serta

mampu menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang

dilakukan”.41

Adapun dasar pertanggungjawaban hukum dokter dapat berupa:

1. Pertanggungjawaban karena kesalahan42

Pertanggungjawaban ini merupakan bentuk klasik

pertanggungjawaban yang didasarkan atas 3 (tiga) prinsip yaitu

sebagai berikut:43
40
Soekidjo Notoatmojo, Op.Cit., hlm.13
41
Mona Wulandari, “Tanggungjawab Perdata Atas Tindakan Kelalaian Tenaga Kesehatan di
Rumah Sakit”, Jurnal Varia Hukum Vol. 38 (September 2017), hlm. 10
42
Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan
Dalam Hubungan Dokter Dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, Citra Aditya Bhakti, hlm. 93-
94

43
Moh Hatta, 2013, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Yogyakarta, Liberty, hlm. 97-98
27
a. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang

lain, menyebabkan orang yang melakukannya harus membayar

kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian.

b. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena

kerugian yang dilakukannya dengan sengaja tetapi juga dengan

kelalaian dan kurang hati-hati.

c. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya

atas kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena

tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.

Adapun ketiga prinsip tersebut terkandung dalam rumusan Pasal

1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1365

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Pasal 1366

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

2. Pertanggungjawaban karena risiko

Pertanggungjawaban ini adalah kebalikan dari

pertanggungjawaban karena kesalahan. Dalam

pertanggungjawaban ini, pasien hanya perlu menunjukkan

hubungan antara orang yang mengakibatkan kerugian dan kerugian

28
yang dideritanya. Biasanya ini dihubungkan dengan produk

tertentu, seperti obat, alat-alat kesehatan, peralatan medik, dan lain-

lain.44

Suatu kesalahan mungkin terjadi apabila yang bersangkutan

kurang pengetahuan, kurang pengalaman dan kurang pengertian.

Dengan demikian seorang dokter melakukan kesalahan, apabila dia

tidak memeriksa, menilai, berbuat atau meninggalkan hal-hal yang

harus diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan para dokter

pada umumya di dalam situasi yang sama.45 Jadi, suatu kesalahan

professional belum tentu mengakibatkan terjadinya tanggung jawab

hukum, tapi tanggung jawab hukum dasarnya adalah tanggung

jawab profesional.46 Apabila seseorang tidak melaksanakan

kewajiban kontraknya dengan melakukan kesalahan profesional,

maka dia melakukan wanprestasi dan dapat

dipertanggungjawabkan dengan membayar ganti rugi.47

Menurut Leahy Taylor, jika tindakan atau non tindakan seorang

dokter oleh Pengadilan dianggap kelalaian, maka apabila

mengakibatkan kerugian serius, tanpa menghiraukan besar kecilnya

kesalahan dokter, ia akan dikenakan wajib ganti-rugi. Sebaliknya,

kelalaian kasar yang tidak sampai mengakibatkan kerugian, tidak

menjadi dasar untuk suatu gugatan perdata.48

5. Pelayanan Kesehatan yang Bermutu

44
Ibid, hlm. 210
45
Jef.Leibo, 1986, Bunga Rampai: Hukum dan Profesi Kedokteran dalam Masyarakat Indonesia,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 6
46
Ibid hal 13
47
Ibid hal 15
48
J. Guwandi, 2009, Dugaan Mapraktek Medik & Draft RPP: “Perjanjian Terapetik antara Dokter dan
Pasien, Jakarta, FKUI, hlm. 47-48
29
Menurut Azwar (1996), Mutu Pelayanan Kesehatan adalah yang

menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang di

satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai

dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan

profesi yang ditetapkan.5 Dalam penelitian ini standar pelayanan

kesehatan, standar kompetensi kedokteran, digunakan sebagai tolak ukur

mutu pelayanan kesehatan.

C. Tinjauan Yuridis Rumah Sakit


Fasilitas kesehatan untuk melayani kebutuhan masyarakat sangat

penting keberadaannya dimana pemerintah wajib menyediakan fasilitas

kesehatan tersebut. Pihak swasta juga diperbolehkan untuk mendirikan

Rumah Sakit untuk membantu pemerintah dalam rangka menyediakan

fasilitas kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Rumah sakit adalah

fasilitas kesehatan yang sangat primer dibutuhkan masyarakat dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebagai penyedia jasa kesehatan

tentunya ada kompensasi yang didapatkan oleh Rumah Sakit dari pihak

pasien sebagai pemakai jasa kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan ini

dapat dijelaskan bahwasannya keberadaan Rumah Sakit sangat

dibutuhkan oleh setiap individu warga negara dalam mendapatkan

pelayanan kesehatan.

Berkaitan dengan tiap individu masyarakat yang dalam hal ini


menjadi pemakai jasa kesehatan, maka Pemerintah juga memberikan
perlindungan hukum terhadap Rumah Sakit maupun pasien yang tertulis
dalam keputusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit Bab VIII bagian ketiga pasal 31 tentang
kewajiban pasien dan pada bagian keempat pasal 32 tentang hak pasien.
30
Semula tujuan pendirian rumah sakit adalah karena alasan sosial,
kemanusiaan ataupun keagamaan, akan tetapi saat ini mengalami
perkembangan sehingga saat itu tujuan dari pendirian rumah sakit adalah
dengan adanya fungsi untuk mempertemukan dua tugas prinsipil. Rumah
sakit adalah suatu organ tempat bekerjanya tenaga professional yang
berdasarkan atas sumpah medik yang diikat oleh dalil Hippocrates dalam
berbagai tugas yang dilaksanakan. Dalam segi hukum rumah sakit
sebagai hubungan hukum dengan masyarakat yang diatur oleh suatu
norma hukum yang mengikat dan norma etik.49
Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
rumah sakit adalah rumah tempat merawat orang sakit, menyediakan dan
memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah
kesehatan. Pengertian mengenai rumah sakit dinyatakan juga pada Pasal
1 ayat (1) PerMenKes RI No.159 b Tahun 1988 Tentang Rumah Sakit.
“Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian”. KepMenKes No.582 Tahun 1997 Tentang
Pola Tarip Rumah Sakit Pemerintah pengertian rumah sakit adalah.50
“Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan
serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga penelitian.”

Rumah sakit merupakan badan usaha dalam bidang jasa


pelayanan medis dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang
yang melalui tindakan observasi, diagnostik, terapetik, dan rehabilitatif
untuk penanganan orang yang menderita sakit. Rumah sakit Rumah
sakit juga merupakan sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk

49
Hermein hadiati koeswadji, hukum untuk perumahsakitan, citra aditya bakti, Bandung, 2002, hlm 188-
189 18
50
KepMenKes No.582 Tahun 1997 Tentang Pola Tarip Rumah Sakit Pemerintah
31
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian (Permekes No.
159b/1988).51

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang


Rumah Sakit
“Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat ”.52

Pasal 1 angka 3 UU No 44 Tahun 2009 menyebutkan bahwa


pelayanan kesehatan prima adalah :
“Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif,dan rehabilitatif. Pelayanan
kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yanglebih mengutamakan kegiatan yang
bersifat promosi kesehatan.53 Pelayanan kesehatan preventif adalah
suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.”54

Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau


serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian
penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga seoptimal mungkin.55 Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas
penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.56

51
Soekidjo notoatmodjo, etika & hukum kesehatan, rineka cipta, jakarta, 2010, hlm 154.
52
Psl 1 angka 1Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
53
Ibid
54
Ibid
55
Ibid
56
Ibid
32
D. Tinjauan Umum Mengenai Pasien

1. Pengertian Pasien

Kata “Pasien” berasal dari bahasa Inggris “Patient”. Patient

diturunkan dari bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan

arti dengan kata kerja pati yang artinya "menderita". Sedangkan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasien adalah orang yang

sakit (yang dirawat dokter), penderita (sakit).57 Menurut Pasal 1 Angka

(4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

disebutkan bahwa : “Pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan

kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak

langsung di Rumah Sakit.” Dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 1

ayat (10) menjelaskan bahwa: “Pasien adalah setiap orang yang

melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun

tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”.

2. Hak dan Kewajiban Pasien

Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri

dari kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung

jawab seperti penelantaran. Pasien memiliki hak atas keselamatan dan

kenyamanan terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dari

57
Ni Luh Gede, Made Emy Andayani Citra, “Perlindungan Hukum bagi Pasien Selaku Konsumen Jasa
Pelayanan Kesehatan yang Mengalami Malpraktek”, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Denpasar, hlm. 121

33
tindakan yang dilakukan oleh dokter. Dengan hak tersebut maka

konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam

keselamatan atau kesehatan.58 Dalam pelayanan kesehatan, maka

pasien harus dipandang sebagai subjek yang memiliki suatu pengaruh

yang besar atas hasil akhir layanan dan bukan hanya sekedar objek.

Sebagai konsumen dalam pelayanan kesehatan, pasien memiliki hak

dan kewajiban. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan

hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti

tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan

bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh

hukum.59 Jadi dapat disimpulkan, hak merupakan sesuatu yang

dimiliki oleh seseorang secara mutlak yang diatur dan bahkan

dilindungi oleh undang-undang. Menurut Janus Sidabalok, ada 3 (tiga)

macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya yaitu:60

c. Hak manusia karena kodratnya, yaitu hak yang kita peroleh

dari lahir. Hak ini merupakan hak yang tidak boleh

diganggu gugat oleh negara, bahkan negara wajib

menjamin pemenuhannya.

d. Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh

negara kepada warga negaranya. Hak ini disebut juga hak

hukum.

e. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual, yaitu hak yang

didasarkan pada perjanjian kontrak antara orang yang satu

58
Ni Luh Gede, Op.Cit., hlm. 124
59
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 24
60
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia: Pertanggungjawaban menurut
Hukum Perdata, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 18
34
dengan yang lain.

Pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan memiliki 2 (dua)

jenis hak dasar. Yang dimaksud dengan hak dasar adalah hak- hak

warga negara yang sudah ada dan pada dasarnya tidak boleh diganggu

gugat oleh alat-alat perlengkapan negara.61 Hak pasien sebenarnya

merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar yang

menimbulkan hak pasien dalam bidang kesehatan, yaitu hak

menentukan nasib sendiri (the right of self determination) dan hak atas

pelayanan kesehatan (the right to health care).62 Oleh karena itu,

terpenuhinya hak-hak pasien dan kepuasan pasien yang merupakan

salah satu tolak ukur dalam pelayanan kesehatan.63

Menurut Declaration of Lisbon (1981) : “The Rights of the

Patient” disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih

dokter, hak dirawat dokter yang “bebas”, hak menerima atau menolak

pengobatan setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak

mati secara bermartabat, hak atas dukungan moral atau spiritual.64

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran menyatakan bahwa pasien mempunyai hak antara lain:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

yang mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan

dan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan

61
S. Verbogt dan F. Tengker, 1990, Bab-bab Hukum Kesehatan, Bandung, Nova, hlm. 8
62
Zaeni Asyhadie, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Depok, Rajawali Pers, hlm. 69
63
Muthia Septarina, Salamiah, Op.Cit., hlm. 74
64
Jendri Maliangga, “Hak Informed Consent sebagai Hak Pasien dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia”, E-journal Unsrat Lex Et Societatis Vol. I Nomor 4 (Agustus 2013), hlm. 10

35
risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

d. Menolak tindakan medis

e. Mendapatkan isi rekam medik.


Sementara itu, hak-hak pasien dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KODEKI) adalah sebagai berikut:65

a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati

secara wajar.

b. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai

dengan standar profesi kedokteran,

c. Hak mendapatkan penjelasan mengenai diagnosis dan terapi dari

dokter yang mengobatinya.

d. Hak mendapatkan penjelasan mengenai riset kedokteran yang

akan diikutinya.

e. Hak untuk menerima atau menolak keikutsertaannya dalam riset

kedokteran.

f. Hak menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan,

bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik.

g. Hak atas rahasia kondisi dan rekam medisnya.

h. Hak dirujuk kepada dokter spesialis, apabila diperlukan dan

dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai

konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau


65
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 173

36
tindak lanjut.

i. Hak yang berhubungan dengan keluarga, penasihat atau

rohaniawan dan lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan.

j. Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap,

obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen (x-ray),

ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic Resonance Immaging

(MRI), dan sebagainya.

k. Hak mendapatkan penjelasan tentang peraturan-peraturan Rumah

Sakit.

Pasien berhak untuk mendapatkan kerahasiaan atas kondisi dan

rekam medisnya, akan tetapi ada beberapa kondisi atau keadaan

seorang dokter boleh mengungkap rahasia pasiennya tersebut, yaitu

apabila:66

a) Pemberian izin dari pasien yang dinyatakan secara tegas

ataupun tidak

b) Kewajiban membuka rahasia berdasarkan kekuatan suatu

Undang-Undang

c) Pembukaan rahasia atas perintah hakim

d) Didasarkan pada perjanjian pasien, kepada siapa rahasia boleh

diungkapkan

e) Individu yang merupakan public figur.

Sedangkan kewajiban pasien adalah segala sesuatu yang harus

diberikan pasien kepada petugas kesehatan atau dokter yang berkaitan


66
Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Grafikatama Jaya, hlm. 49

37
dengan pelayanan kesehatan yang akan dijalani pasien tersebut. Pasien

memiliki kewajiban baik secara moral maupun secara yuridis. Secara

moral, pasien memiliki kewajiban untuk memelihara kesehatan

tubuhnya dan menjalankan segala aturan perawatan sesuai dengan

nasihat dokter yang merawatnya.67

Secara yuridis, kewajiban pasien terdapat dalam Pasal 53 Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran antara

lain: “Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya; Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;

Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya”.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 2 yang berbunyi:

“Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya

sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”. Dokter dalam

melaksanakan kewajibannya terhadap pasien harus melakukan

tindakan kedokteran yang sesuai dengan standar profesi medis. Hal itu

harus dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan profesinya.

Kemudian diatur juga kewajiban seorang dokter terhadap pasien yang

terdapat dalam Pasal 10-13, yang menjelaskan bahwa:

Pasal 10

“Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan

segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal

ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,

maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter

67
Bahder Johan, Op.Cit., hlm. 34
38
yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.”

Pasal 11

“Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar

senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya

dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.”

Pasal 12

“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal

dunia.”

Pasal 13

“Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu

tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia

dan mampu memberikannya.”

Kewajiban dokter dalam Pasal 13 dapat tidak dilaksanakan apabila

dokter tersebut terancam jiwanya.68

Kewajiban dokter dalam memegang teguh rahasia pasiennya

merupakan hal yang sangat diperlukan dalam hubungan antara dokter

dengan pasien dengan tujuan menumbuhkan kepercayaan pasien

terhadap dokter. Kobocoran rahasia dalam jabatan kedokteran dapat

berakibat kerugian pihak berkepentingan dan mungkin dapat berakibat

tuntutan ke pengadilan, terlebih dalam masyarakat yang telah maju,

menyebabkan seorang kehilangan pekerjaannya 69

68
As’ad Sungguh, 2014, Kode Etik Profesi tentang Kesehatan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 11
69
Ibid, hlm. 37
39
E. Tinjauan Umum Mengenai Transaksi Terapeutik

1. Pengertian Transaksi Terapeutik

Perjanjian terapeutik atau sering disebut dengan transaksi terapeutik

adalah “hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik

secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan

keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran”.70 Menurut

Hermien Hadiati Koeswadji, transaksi terapeutik adalah perjanjian

(verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat

bagi pasien oleh dokter.71 Objek dari perjanjian terapeutik adalah

upaya atau terapi dalam penyembuhan pasien.

Hubungan antara transaksi terapeutik dengan perlindungan hak

pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktek Kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan

penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan

dilakukan, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan

rekam medis, hak meminta penjelasan pendapat dokter, dan hak

mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis. Selain itu diatur juga

mengenai kewajiban pasien. Kewajiban pasien dalam menerima

pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap

dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau

petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan

kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang

diterimanya.72
70
Veronica Komalawati, Op.Cit., hlm. 14
71
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran (studi tentang hubungan dalam mana dokter
sebagai salah satu pihak), Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 132
72
Achmad Muchsin. “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
dalam Transaksi Terapeutik”, Jurnal Hukum Islam (JHI) Vol. 7 Nomor 1 (Juni 2009), hlm. 36
40
2. Syarat Sah Transaksi Terapeutik

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi 4

(empat) syarat, sebagaimana ditentukan pasal 1320 KUHPerdata,

yaitu:73

1. Kesepakatan

Untuk adanya suatu perjanjian harus ada kehendak yang

mencapai kata sepakat atau consensus. Tanpa kata sepakat tidak

mungkin ada perjanjian.74 Kata sepakat atau consensus

mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan

kehendak masing-masing untuk membuat suatu perjanjian, dimana

kehendak pihak yang satu sesuai dengan kehendak pihak yang lain

secara timbal balik. Suatu penawaran yang diikuti oleh penerimaan

itulah yang menyebabkan lahirnya suatu perjanjian. Akan tetapi,

suatu kesepakatan yang dikarenakan suatu kekhilafan, penipuan

maupun paksaan maka kesepakatan tersebut menjadi tidak sah. Hal

itu sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi: “ tiada

sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,

atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah

cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-

undang tidak dinyatakan tidak cakap. Artinya setiap orang

73
Ibid, hlm. 4
74
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 111

41
dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali mereka secara

tegas dianggap tidak cakap oleh ketentuan undang-undang,

sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 1330 KUHPerdata yang

berbunyi sebagai berikut: “Orang yang tidak cakap membuat suatu

perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa; mereka yang

ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang perempuan, dalam hal-

hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok atau obyek perjanjian

yang berupa prestasi dan atau benda sebagaimana diatur dalam

Pasal 1333 dan 1334 KUHPerdata. Suatu perjanjian haruslah

mempunyai obyek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan

bahwa obyek itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti

akan ada.75

4. Suatu sebab yang halal

KUHPerdata tidak secara tegas memberikan pengertian mengenai

sebab yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan suatu

sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau

berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari pasal ini

dapat ditarik kesimpulan secara a contrario bahwa yang dimaksud

dengan sebab yang halal adalah bahwa suatu perjanjian tidak boleh

75
ariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 79
42
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

umum. Suatu sebab yang tidak bertentangan dengan undang-

undang misalnya suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi

untuk melakukan suatu kejahatan, sedangkan sebab yang

bertentangan dengan kesusilaan misalnya suatu perjanjian dimana

satu pihak harus meninggalkan agamanya untuk memeluk suatu

agama lain.76

Secara umum, apa yang diatur dalam perjanjian menurut

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

berlaku pula dalam perjanjian terapeutik, hanya saja dalam

perjanjian terapeutik ada kekhususan tertentu, yaitu tentang ikrar

atau cara mereka mengadakan perjanjian.53 Dalam perjanjian

terapeutik, kedatangan pasien ke tempat praktik atau ke rumah

sakit dengan tujuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,

maka sudah dianggap ada perjanjian terapeutik. Dari sudut

hukum, untuk terbentuknya transaksi terapeutik diletakkan pada

persetujuan pasien, sedangkan dokter berada pada pihak yang

mengadakan openbare aanbod atau yang melakukan penawaran

umum.77

Dalam transaksi terapeutik, perjanjian merupakan salah satu

syarat yang utama. Unsur perjanjian (konsensus) antara pasien

dan rumah sakit atau tenaga medis profesional yang tercermin

dalam sebuah dokumen hukum yang disebut dengan Informed

76
Prof. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung, PT Intermasa, Hlm. 137
77
Adami Chazawi, 2016, Malapraktik Kedokteran, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 40
43
Consent.78 Informed Consent merupakan suatu persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarga pasien untuk perawatan atau

tindakan kedokteran yang dilakukan setelah pasien/keluarga

pasien menerima penjelasan lengkap mengenai penyakit yang

diderita. Setelah persetujuan diberikan oleh pasien, maka

terjadilah sebuah transaksi atau kontrak terapeutik yang mengikat

secara hukum kepada masing-masing pihak, baik dokter maupun

pasien. Pengaturan mengenai Informed Consent secara umum

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dan lebih khususnya diatur dalam Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Perjanjian

terapeutik, yang menjadi “suatu hal tertentu” adalah tindakan

medis yang akan dilakukan oleh si dokter, yaitu tindakan untuk

melakukan tindakan penyembuhan terhadap suatu penyakit.79

Sebab yang halal dalam perjanjian terapeutik, maksudnya adalah

obyek yang diperjanjikan dalam perjanjian adalah hal-hal yang

diperbolehkan atau tidak bertentangan dengan hukum, seperti

misalnya dokter tidak boleh memperjanjikan untuk melakukan

abortus, karena pengguguran kandungan (yang tanpa indikasi

medis) bertentangan dengan hukum.80

3. Hubungan Antara Dokter dan Pasien

Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien merupakan

78
Ahdiana Yuni Lestari, Siti Ismijati Jennie, “Philosophical Basis of Informed Consent, Informed Refusal
and Documentation of Medical Information into Medical Record”, Jurnal Media Hukum Vol. 26 Nomor 1
(Juni 2019), hlm. 61
79
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hlm. 58
80
Ibid, hlm. 59
44
hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum lainnya yang

diatur dalam kaidah-kaidah hukum perdata yang pada dasarnya

dilakukan berdasarkan atas kesepakatan bersama. Dasar dari perikatan

yang berbentuk antara tenaga kesehatan, sebut saja (dokter) dengan

pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan

berdasarkan undang-undang. Adapun dasar dari perikatan antara

dokter dan pasien, selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang sama,

karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berlandaskan

kepada apa yang dikenal sebagai profesi dokter, yaitu pedoman dokter

untuk menjalankan profesinya dengan baik.81 Sementara objek dalam

hubungan hukum tersebut adalah pelayanan kesehatan kepada pasien.82

Dalam Jurnal Hukum yang berjudul Kesembangan Etik dan Hukum

dalam Pelayanan Kesehatan yang ditulis oleh A.B. Sidharta, Dokter

sebagai pemberi pelayanan medik akan

melakukan pemeriksaan klinis umum, yaitu pemeriksaan mengenai

tanda-tanda patologi pada tubuh pasien dengan jalan inspeksi, palpasi,

perkusi, dan auskultasi.83 Inspeksi yaitu pemeriksaan dengan

menggunakan mata untuk melihat perubahan bentuk bagian tubuh,

perubahan warna kulit, dan tanda tidak wajar pada permukaan tubuh.

Palpasi yaitu pemeriksaan dengan tangan untuk mengetahui perubahan

suhu badan, kelainan pada bentuk dan konsistensi pada bagian tubuh,

denyut nadi, kebebasan dan kekuatan gerak anggota badan yang hanya

81
L. Niken Rosari, 2010, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa di Bidang
Pelayanan Medis Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata”, (Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta), hlm. 56
82
Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan Vol. 09 Nomor 02 (Juni 2006), hlm. 54
83
Hendrojono Soewono, Op.Cit., hlm. 85
45
dapat diperiksa dan dinilai dengan jalan dipegang, diraba, dan

digerakkan pada bagian tersebut. Perkusi yaitu pemeriksaan dengan

mendengarkan suara yang dihasilkan oleh ketukan pada bagian tubuh

tertentu. Auskultasi yaitu pemeriksaan dengan menilai suara yang

dihasilkan oleh kerja jantung, paru-paru, usus, pembuluh darah, sendi

dan tulang dapat didengar dengan telinga biasa.84

Profesi kedokteran merupakan profesi yang penuh dengan

risiko karena dalam praktiknya setelah melakukan pengobatan, pasien

memiliki 2 (dua) kemungkinan, yaitu mendapatkan kesembuhan atau

bahkan mendapatkan kerugian yang berupa luka, cacat tubuh, bahkan

kematian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang

mempengaruhi, seperti kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau

karena penyakit yang diderita pasien sudah berat sekali sehingga

kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, atau mungkin juga karena

adanya kesalahan yang dilakukan oleh pasien dalam memberikan

informasi kepada dokter.

Menurut Rusmana, 4 (empat) keinginan pasien yang harus

dipenuhi untuk membangun hubungan yang baik antara dokter dan

pasien adalah:85

1. Merasa ada jalinan dengan dokter dan mengetahui bahwa pasien

memperoleh perhatian penuuh dari dokter.

2. Mengetahui bahwa dokter dapat fokus pada setiap tindakan

84
Ibid

85
Endang F, “Komunikasi yang Relevan dan Efektif antara Dokter dan Pasien”, Jurnal
Psikogenesis Vol. I No. 1 (Desember 2012), hlm. 83

46
pengobatan dan interaksinya.

3. Merasa rileks dan bebas dari kekhawatiran pada suasana ruang

praktek.

4. Mengetahui bahwa dokternya dapat diandalkan.

Hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan

dimulai ketika pasien datang ke tempat praktik dokter, kemudian

pasien menjelaskan mengenai keluhan apa saja yang ia rasakan dan

dokter segera melakukan pemeriksaan tahap pertama yaitu dengan

melakukan wawancara terhadap pasien dengan menanyakan hal-hal

yang berkaitan degan keluhannya tersebut. Seperti, apa yang dilakukan

sebelum ia merasakan sakit, apakah keluhan tersebut baru dirasakan

atau sudah berlangsung lama, apakah sebelumnya pernah merasakan

hal tersebut atau tidak, dan lain sebagainya. Selanjutnya dokter akan

melakukan pemeriksaan fisik pada pasien untuk mendapatkan

diagnosa terhadap penyakit atau keluhan yang diderita pasien. Hasil

diagnosa itulah yang akan menentukan tindakan medis apa yang akan

dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut.

Menurut J. Guwandi dalam bukunya Dokter dan Hukum, ada

beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hubungan dokter dan

pasien. Hal-hal yang dimaksud adalah:86

i. Hubungan atara dokter dan pasien telah mengalami suatu erosi

dan depersonalisasi yang diakibatkan karena perkembangan

teknologi di bidang kedokteraan dengan bertambahnya

86
Hendrojono Soewono, Op.Cit., hlm. 11-12

47
spesialisasi.

ii. Tingkat kecerdasan masyarakat bertambah tinggi sehingga

bersikap lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan dokter.

iii. Ilmu kedokteran berdasarkan pengetahuan dan pengalaman,

sehingga sangat sukar untuk memberikan kriteria yang eksak

terhadap setiap tindakan medis yang dilakukan, keadaan

masing-masing individu, daya tahan tubuh serta reaksi tidak

sama, di dalam ilmu kedokteran sering tidak mungkin untuk

memberikan suatu putusan yang mutlak sifatnya, dan biasanya

dokter harus memilih beberapa kemungkinan.

Dokter dalam memberikan terapinya baik berbentuk

pengobatan ataupun pembedahan, tidak dapat menjamin akan

berhasilnya tindakan yang dilakukan, ia harus berusaha sekuat

tenaga untuk penyembuhannya (inspanningverbintenis), jika

tidak berhasil atau gagal, maka ia tidak dapat dipersalahkan

atau meminta pertanggungjawabannya, asalkan tindakan itu

sesuai standar profesi medis.

iv. Dalam menegakkan diagnosa serta memberikan terapi, seorang

dokter berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya yang

dimiliki harus selalu bekerja dengan hati-hati dan teliti, ia

harus bekerja dengan cermat dan penuh perhatian, jika ia

melakukan dengan acuh, ceroboh, sembarangan, tidak hati-

hati, maka ia dapat dimintakan pertanggungjawabannya karena

telah berbuat lalai.

v. Hak asasi pasien untuk meminta pertanggungjawaban serta

48
menuntut dokter di pengadilan jika ia berpendapat bahwa

dokter telah berbuat lalai.

vi. Hukum mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari etik, dan

etik tidak dapat menggantikan hukum, dengan demikian jika

seorang pasien masih merasa tidak puas dengan putusan

majelis etik, ia berhak menuntut dokter di pengadilan, baik

pidana maupun perdata.

Hubungan antara dokter dan pasien ditandai oleh prinsip-prinsip etis

yang utama, yaitu:87

a) Berbuat baik, yaitu berbuat dengan tidak melakukan sesuatu yang

merugikan. Berbuat baik meskipun mengakibatkan kesulitan bagi

dokter dan dokter harus berkorban.

b) Keadilan, yaitu perlakuan yang sama kepada setiap orang dalam

keadaan dan kondisi yang sama dengan menekankan persamaan

dan kebutuhan menurut kategori penyakit yang diderita, bukan

menurut jasa, kekayaan, status sosial, atau kemampuan untuk

membayar.

c) Otonomi, yaitu hak atas perlindungan privasi.

Dalam hubungan antara dokter dan pasien, jika seorang pasien

selama perawatan mengalami kejadian yang tidak diharapkan, maka

dokter yang merawat atau yang bersangkutan harus menjelaskan

keadaan yang terjadi akibat jangka pendek atau jangka panjang dan

87
Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Binarupa Aksara,
hlm.12

49
rencana tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter tersebut.

Jika seorang pasien adalah seorang dewasa yang tidak mampu

menerima penjelasan dokter, maka penjelasan harus diberikan kepada

keluarga terdekat atau teman lainnya yang ikut terlibat dalam

perawatan pasien tersebut yang bertanggung jawab terhadap pasien.

Namun apabila pasien adalah seorang anak, maka penjelasan

tersebut harus disampaikan kepada orang yang bertanggungjawab

secara pribadi terhadap pasien baik itu orangtuanya maupun kakak

(jika dinilai sudah cukup matang untuk mengerti kejadian tersebut).

Jika seorang pasien dalam asuhan dokter meninggal, dokter harus

50
menjelaskan sebab dan keadaan yang berkaitan dengan

kematian pasien tersebut kepada orangtua, keluarga dekat,

mereka yang mempunyai tanggung jawab, atau teman yang

terlibat dalam asuhan pasien tersebut kecuali jika pasien

berwasiat lain.88

Ada 2 (dua) teori hukum yang menunjang adanya suatu

hubungan antara dokter dan pasien, yaitu:89

1. Contract Theory

Yaitu apabila seorang dokter setuju untuk merawat

seseorang dengan imbalan honor tertentu, maka dapat

diciptakan suatu pengaturan kontraktual yang disertai

hak dan tanggung gugatnya. Jika para pihak secara nyata

mencapai suatu persetujuan mengenai syarat perawatan,

maka dapat timbul suatu kontrak nyata.

2. Undertaking Theory

Menurut teori ini, jika seorang dokter merelakan

diri untuk memberikan perawatan kepada seseorang,

maka tercipta suatu hubungan profesional yang disertai

kewajiban perawatan terhadap si penerima. Teori ini

88
Andy Y.S dan Dahlia Herawati, “Hubungan Dokter Pasien Sesuai Harapan Konsil Kedokteran
Indonesia (Tinjauan pada Profesi Dokter)”, Majalah Kedokteran Gigi Vol. 19 Nomor (2)
(Desember 2012), hlm. 173
89
Veronica Komalawati, Op.Cit., hlm. 85

51
memberikan dasar yang memuaskan bagi terciptanya

hubungan antara dokter dan pasien dalam kebanyakan

situasi yang menyangkut pelayanan medik, termasuk

situasi yang tidak diliputi oleh suatu kontrak.

Hal-hal yang menyebabkan berakhirnya hubungan antara

dokter dan pasien, yaitu:90

1. Pasien sudah sembuh

2. Pengakhiran hubungan oleh pasien

3. Meninggalnya pasien

4. Dokter mengundurkan diri

5. Dokter meninggal atau tidak mampu lagi menjalani

(incapacity) profesi seorang dokter

6. Kewajiban dokter dalam perjanjian telah terpenuhi

7. Persetujuan kedua pihak untuk mengakhirinya

8. Lewat jangka waktu yang telah diatur di dalam perjanjian

Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter


– pasien dengan alasan sebagai berikut :91

1. Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup,

sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain.

2. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.

3. Karena dokter tersebut merekomendasikan (merujuk) ke

90
J. Guwandi, 2005, Hukum Medik, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm. 33
91
Maya Ruhtiani, Op.Cit., hlm. 54

52
dokter lain atau rumah sakit lain yang lebih ahli dengan

fasilitas yang lebih baik dan lengkap

4. Karena dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang

sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu

dengan persetujuan pasiennya

G. Tinjauan Umum Mengenai Undang-Undang Kesehatan

Undang-Undang pertama mengenai kesehatan adalah

Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Kesehatan yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Namun, Undang-

Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,

tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga

dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan. Undang-Undang ini dinyatakan berlaku sejak

tanggal 13 Oktober 2009. Undang-Undang Kesehatan yang baru

menegaskan bahwa kesehatan rakyat merupakan salah satu modal

pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa, dan

mempunyai peranan penting dalam penyusunan masyarakat adil,

makmur, dan sejahtera.92

Bagi suatu masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera,

92
Muhamad Sadi, 2015, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Kencana, hlm. 11
53
persoalan mengenai kesehatan merupakan suatu unsur yang sangat

penting, dengan itu perlu ditetapkan suatu Undang-Undang tentang

Pokok- Pokok Kesehatan yang sesuai dengan dasar-dasar negara

kita serta sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.93 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memiliki

landasan hukum yang telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil

amandemen, seperti dalam konsideran mengingat; sebagaimana

dicantumkannya Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945.94 Selain itu, undang-undang ini juga

memiliki jumlah pasal yang sangat banyak yaitu terdiri dari 205

pasal dan 22 bab, serta penjelasannya. Adanya pengakuan yang

lebih tegas mengenai pentingnya memandang kesehatan sebagai

bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah

merupakan salah satu poin penting yang diatur dalam Undang-

Undang Kesehatan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 4-8 yang

berbunyi:

pasal 4

“Setiap orang berhak atas kesehatan.”

Pasal 5

“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh

akses atas sumber daya di bidang kesehatan”.

93
Ibid, hlm. 12
94
Arman Anwar, 2011, Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan,
https://fhukum.unpatti.ac.id/umum/85-peraturan-perundang-undangan-bidang-kesehatan, diakses pada
tanggal 10 desember 2021
54
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.”

“Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi

dirinya."

Pasal 6

“Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi

pencapaian derajat kesehatan.”

Pasal 7

“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan

bertanggungjawab.”

Pasal 8

“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang

telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.”

Perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan diatur dalam

peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal yang

mengatur mengenai perlindungan pasien terdapat dalam Pasal 56-

58. Perlindungan hukum terhadap pasien diantaranya yaitu berhak

untuk menolak atau menerima tindakan kedokteran, berhak atas

55
rahasia kondisi kesehatannya, dan berhak untuk menuntut ganti

rugi jika ia mengalami kerugian. Hal ini sesuai dengan Pasal 58

ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang berhak menuntut

ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang

diterimanya”. Mengenai ganti rugi atas kesalahan atau kelalaian

tersebut dimaksudkan agar menghindari adanya suatu kesalahan

atau kelalaian. Hal itu dapat dikatakan sebagai tindakan preventif

dalam melindungi pasien.95

95
L. Niken Rosari, Op.Cit., hlm.53

56
G KERANGKA TEORI

Pelayanan Kesehatan
UU No.36 Tahun 2009

Upaya Tenaga Kesehatan


Fasilitas Kesehatan
Kesehata UU No.36 Tahun
UU No.44 Th 2009 2014
PP No.47 tahun 2016

Pelayanan Kesehatan
di
Rumah Sakit

Kendali Mutu Pasien / Hak dan


PMK 755/2011 dan Kewajiban
PMK 42/2018

Perlindungan Hak
Pasien

Di RSUD Kota
Bangkinang

Skema 1.1 Kerangka Teori

57
H. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis sosiologis, yang merupakan

pendekatan berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan

perundangan), tetapi bukan mengkaji sistem norma dalam

aturan perundangan, namun mengamati reaksi dan interaksi

yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam

masyarakat96.

Pendekatan yuridis sosiologis adalah pendekatan dengan

melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang digunakan untuk

melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam

masyarakat26.

Pendekatan yuridis sosiologis digunakan dalam

penelitian ini agar dapat menggambarkan Perlindungan Hak

pasien Dalam Layanan Kesehatan Yang Bermutu menurut

hukum positif indonesia di RSUD Kota Bangkinang. Melalui

pendekatan ini dapat dibahas dua aspek sekaligus terkait

dengan aspek yuridis yaitu Perlindungan Hak Pasien untuk

memperoleh hak pelayanan kesehatan yang bermutu terkait

96
Zainuddin Ali, 2015, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 105.
58
perundang-undangan di RSUD Kota Bangkinang

Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian

deskriptif analitis. Bersifat deskriptis analitis yaitu

memaparkan gambaran secara rinci, sistematis dan

menyeluruh, serta menganalisis dengan mencari sebab akibat

suatu hal97. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil

wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan

lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak

dituangkan dalam bentuk angka-angka. Peneliti segera

melakukan analisis data dengan memperkaya informasi,

mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas

dasar data aslinya. Dan hasil analisis data berupa pemaparan

mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk

uraian naratif98.

Dalam penelitian ini menggambarkan Penerapan dan

ketentuan Perlindungan Hak pasien Dalam Layanan Kesehatan

Yang Bermutu menurut hukum positif indonesia di RSUD

Kota Bangkinang.serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,

kemudian dianalisa dengan mencari hubungan sebab akibat

dari perbedaan ketentuan dengan penerapan yang ada dan

menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis.

97
Suratman dan Philips Dillah, 2012, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfa Beta, hal. 92.
98
Imam Gunawan, 2016, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, Jakarta: Bumi
Aksara, hal. 87.
59
Dalam peneltitian ini ingin mengetahui ketentuan

Perlindungan Hak pasien Dalam Layanan Kesehatan Yang

Bermutu menurut hukum positif indonesia di RSUD Kota

Bangkinang. Sebagai fasilitas penyelenggara pelayanan

kesehatan sebagai sasaran objek penelitian.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah RSUD Kota Bangkinang. RSUD

Kota Bangkinang adalah Rumah sakit milik pemerintah daerah

kabupaten kampar sejak tahun 1979, memiliki letak strategis di

pinggir jalan raya Riau-Sumatera Barat dan Sumatera Utara ,

RSUD bangkinang diakui sebagai Rumah Sakit yang tergolong

tipe C dan menjadi salah satu Rumah Sakit terbaik di kota

Bangkinang , yang menjadi Rumah Sakit rujukan regional yang

ada di Provinsi Riau yang berada dikabupaten Kampar,dan

memiliki tenaga medis dan non medis yang handal, terampil dan

profesional yang didukung teknologi medis mutakhir, yang

dilengkapi fasilitas kesehatan dan fasilitas penunjang lainnya

3. Objek Penelitian / Situasisosial

Objek penelitian ini adalah terkait Perlindungan hak

pasien untuk memperoleh perlindungan hak pasien untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD

Kota Bangkinang

60
Informan yang akan diwawancarai dalam proses penelitian

ini adalah:

a) Direktur RSUD Kota Bangkinang

b) Kepala Bidang Pelayanan Medik

c) Komite Medik: 1 orang

d) Komite Keperawatan: 1 orang

e) Dokter : 2 orang

f) Perawat: 2 orang

g) Pasien: 4 orang

4. Sumber data

Jenis data di dalam penelitian berdasarkan sumbernya,

dibedakan antara data primer dan sekunder. Data primer

diperoleh langsung dari sumber pertama(primary data atau

basic data), yakni perilaku warga masyarakat, melalui

penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, Data

sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan

seterusnya99. dan dari bahan pustaka yang dinamakan data

sekunder (secondary data).

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan

pengambilan data melalui hasil wawancara pada narasumber,


99
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 3, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), hal. 11-12.
61
sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumen-dokumen

dan data yang ada di RSUD Kota Tangerang berupa hospital

bylaws, Pedoman, SOP, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM

Data Sekunder dalam penelitian hukum meliputi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.100

1) Bahan Hukum Primer, adalah bahan – bahan hukum yang

mempunyai kekuatan mengikat terdiri dari :

a) Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktek Kedokteran;

b) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;

c) Undang–Undang Nomor 44 Tahun 2009

Tentang Praktek Kedokteran;

d) Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 Tentang

Fasilitas Kesehatan.

Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan yang erat hubungannya

dengan bahan–bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer, terdiri dari :

a) Karya Ilmiah;

b) Artikel, Journal hukum dan peraturan perundang – undangan.

Bahan Hukum Tersier, adalah bahan – bahan hukum

yang memberikan informasi tentang bahan hukum


100
Soerjono Soekanto,2014, Pengantar Peneltian Hukum,Cetakan ke III Jakarta:
Universitas Indonesia, hal, 12.

62
primer dan bahan hukum sekunder.101 Terdiri dari :

1. Kamus hukum;

2. Kamus besar bahasa Indonesia;

5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan dua metode yaitu studi lapangan dan studi

kepustakaan.

a. Studi Lapangan

Sebagai penelitian yuridis sosiologis, penelitian ini

bertitik tolak pada data primer. Data primer adalah data

yang didapat langsung dari sumber pertama melalui studi

lapangan102. Sedangkan, studi lapangan dapat dilakukan

dengan beberapa cara yaitu observasi, wawancara,, survey,

dan focus group discussion103.

2) Dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi lapangan

pada lokasi penelitian yang telah ditentukan yakni

RSUD Kota Bangkinang sedangkan cara pengumpulan

data melalui studi lapangan dalam penelitian ini

dilakukan dengan wawancara dan observasi.

b. Studi Kepustakaan
101
Iskandar.2008, Metode Penelitian Pendidikan dan sosial ( kualitatif dan kuantitatif ),
Jakarta:GP pres,.hal, 178.
102
Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 16.
103
Agnes Widanti, 2015, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Semarang:
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Unika Soegijapranata., hal, 9.

63
Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis

(hukum empiris) selain menggunakan metode pengumpulan

data yang lain37.

Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh kemudian diperiksa, diteliti apakah

sudah sesuai dengan kenyataan dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, setelah proses

pengolahan data selesai data disusun secara sistematis dan

disajikan dalam bentuk teks, penyajian dalam bentuk

kalimat.104

Metode Sampling

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode non-probability sampling yaitu purposive

sampling. Purposive sampling atau penarikan sampel

dilakukan sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan

pertimbangan bahwa responden yang dipilih dapat mewakili

populasi105. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode wawancara kepada narasumber dan

responden dengan jenis pertanyaan terbuka.

Metode wawancara merupakan metode yang paling

104
Bambang Waluyo, op.cit., hal, 50.
105
Soekidjo Notoatmojo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 194
64
efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap

efektif karena peneliti dapat bertatap muka langsung dengan

responden dan atau narasumber106. Wawancara dilakukan

dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah

dipersiapkan sebelumnya sehingga tidak menyimpang dari

tujuan wawancara yang telah ditetapkan.

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan panduan

wawancara atau disebut wawancara terstruktur karena

informasi yang akan diperlukan sudah pasti sesuai dengan

tujuan penelitian. Akan tetapi, peneliti tetap mempunyai

kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan dan harus

disampaikan lebih dulu secara jelas.

6. Analisis Data

Metode analisis data secara umum dibedakan menjadi dua

yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.

Pemilihan terhadap metode analisis data yang digunakan

bertumpu pada tipe dan tujuan penelitian serta sifat data

yang terkumpul. Apabila data yang diperoleh kebanyakan

bersifat pengukuran atau dalam bentuk angka-angka maka

analisis yang digunakan adalah kuantitatif, sedangkan bila sulit

diukur dengan angka maka analisis yang digunakan adalah

106
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum,Cetakan Keempat, Jakarta: Rineka
Cipta, hal. 91.
65
kualitatif. 107

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

analisis data dengan pendekatan kualitatif. Metode analisis

data dengan pendekatan kualitatif digunakan apabila: data yang

terkumpul tidak berupa angka- angka yang dapat dilakukan

pengukuran, data yang diperoleh sulit diukur dengan angka,

sampel yang digunakan bersifat non probabilitas, dan

pengumpulan data menggunakan pedomana wawancara dan

pengamatan108.

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan

metode penelitian deskriptif analitis maka analisis data yang

digunakan adalah pendekatan kualitatif109. Hal ini disebabkan

pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden dan narasumber secara tertulis atau lisan, dan

perilaku nyata. Selain itu, dengan pendekatan kualitatif dapat

terpenuhi tujuan penelitian untuk mengerti atau memahami

gejala yang ditelitinya.

Metode analisis data dengan pendekatan kualitatif dalam

penelitian ini dilakukan dengan menganalisa hasil wawancara

dari narasumber dan responden tentang Perlindungan Hak

pasien Dalam Layanan Kesehatan Yang Bermutu menurut


107
Bambang Waluyo, op.cit., hal. 77.
108
Ibid. hal. 77-78
109
Zainuddin Ali, op.cit., hal. 107.
66
hukum positif indonesia di RSUD Kota Bangkinang Lalu data

yang diperoleh dilakukan analisa sesuai dengan bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini.

Langkah-langkah dalam melakukan analisis data :

a. Pengumpulan data

Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan data

dengan cara melakukan wawancara kepada responden

yang telah ditentukan melalui Teknik sampling yang

digunakan. Kemudian data dari hasil wawancara

tersebut diuraikan dalam bentuk narasi.

b. Penyajian data

Data yang diperoleh kemudiandiperiksa, diteliti

apakah sudah sesuai dengan kenyataan dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, setelah proses

pengolahan data selesai data disusun secara

sistematis dan disajikan dalam bentuk teks, penyajian

dalam bentuk kalimat.110

110
Soekidjo Notoatmojo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta, hal,194
67
68
69

Anda mungkin juga menyukai