Transaksi terapeutik adalah persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien dibidang
pengobatan (sesuatu yang mengandung unsur atau nilai pengobatan) yang mencakup
bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif.
transaksi terapeutik, dilihat dari asas hukum, peraturan hukum, dan pengertian hukum
yang dapat mendasarinya, juga perlu dilihat dari kekhususannya yang terdapat dalam
hubungan tersebut yang terletak pada subjek, objek dan tujuannya.9
pertolongan.
b. Objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan pemberian
pertolongan.
Rumah sakit merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan kesehatan memerlukan kerja
sama yang terkoordinasi dan integrasi dari tenaga kesehatan yang ada berdasarkan
akhlak (mores) dan kesopanan (ethos) yang tinggi.
Transaksi terapeutik secara yuridis diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter
dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional dengan didasarkan pada
kompetensi yang sesuai pada keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kesehatan.
Undang-undang No. 44 tahun 2009 menyatakan bahwa rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,
Rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan
antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien serta mempunyai
fungsi social.
Undang Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan dan Undang Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran dalam penjelasannya tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan perlindungan pasien.
1. Transaksi terapeutik yang mendasari adanya hubungan antara dokter dan pasien yang
dimulai dari adanya pemilihan dokter oleh seorang pasien untuk menyembuhkan sakit
yang dideritanya.
2. Berkaitan dengan hal kepemilikan rekam medis, sebagaimana diketahui bahwa
Undang-undang telah mewajibkan dokter dan rumah sakit untuk melakukan rekam
medis atas semua hal yang berhubungan dengan kondisi kesehatan seorang pasien.
Berdasarkan fungsi tersebut, pelayanan kesehatan di rumah sakit dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan klasifikasi rumah sakit
FAKTOR PENYEBAB TRANSAKSI TERAPEUTIK
1). Benturan Hukum: Sebagaimana kita ketahui terdapat banyak norma hukum yang
berlaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. 2). Kevakuman Hukum: Pasal 19
Permenkes RI, Nomor 290/Men. kes/Per/III/2008 yang menyatakan bahwa dalam
rangka pembinaan dan pengawasan persetujuan tindakan kedokteran kepada dokter
tersebut dapat diberikan sanksi administrasi berupa teguran lisan, teguran tulis ,
sampai dengan memberi surat izin praktek. 3). Kekaburan Hukum Adanya Kesepakatan
dalam hubungan dokter dan pasien, merupakan langkah untuk menyesuaikan kehendak
maupun kepentingan para pihak.
Perikatan hukum yang lahir karena perjanjian mempunyai dua segi yaitu segi kewajiban
(obligation) di satu pihak dan segi hak atau manfaat di pihak lainnya. Dari segi yuridis,
pertanggungjawaban perdata atas kerugian yang diderita pasien dapat mengajukan
tuntutan kepada tenaga kesehatan atau rumah sakit.
PENGATURAN PELAYANAN PRAKTIK DOKTER SERING MENIMBULKAN
PERMASALAHAN
1).Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta
wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
mencegah kecacatan terlebih dahulu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Contoh kasus
Kasus bayi Dera yang di tolak 8 Rumah SAKIE karema EIDAK EERsediamya NICU
( Neonatal Intensive Care Unit ). Bayi tersebut terlahir prematur dengan berat
badan 1 ( satu ) kilogram dan mengalami gangguan pernafasan. Oleh karena
tidak segera mendapatkan perawatan yang dibutuhkan, maka bayi yang baru
berumur 5 hari tersebut akhirnya meninggal dunia. Sempat beredar kabar bahwa
pihak rumah sakit menolak bayi Dera karena keluarga tidak bisa menyediakan
sejumlah uang, meskipun dibantah oleh Menkes pada saat itu, dimana Menkes
menyatakan bahwa bayi Dera ditolak rumah sakit karena terbatasnya peralatan.
Contoh kasus : seorang ibu yang akan melahirkan anak pertamanya di Rumah
Bersalin Ikatan Bidan di Bali, dimana Aktivitas rumah bersalim tersebut dibawah
pengawasan seorang dokter namun sayangnya pada saat si ibu datang,
dokter pengawas tidak berada di tempat, sehingga pemeriksaan awal menjelang
persalinan itu dilakukan oleh bidan yang bertugas. Setelah bidan memeriksa detak
jantung bayi dan memberi petunjuk tentang cara bernafas saat akan melahirkan
ternyata di depan rumah bersalin tersebut ada kecelakaan dan bidan meninggalkan
si ibu. Bidan tersebutbaru kembali setelah beberapa lama, kemudian melakukan
pemecahan ketuban, namun saat ketuban pecah bidan merasa bingung dan panik
dan menganjurkan kepada suami si ibu untuk segera membawa istrinya ke RSUP Sanglah
Denpasar. Setiba di RSUP Sanglah si ibu segera ditangani tim medis dan si ibu
melahirkan bayi tetapi dalam kondisi meninggal. Keterangan pihak RSUP menyatakan
bahwa bayi meninggal karena prolaps tali pusat dan kematian sudah dalam kandungan,
karena bidan tidak serius dan hati-hati dalam menangani pasien. Dalam hal ini yang
bertanggung jawab adalah bidan dan pimpinan rumah bersalin tersebut.
3). Ketentuan Pasal 3 huruf a Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang menyebutkan
bahwa penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
Contoh kasus : Kasus penolakan pasien dalam pelayanan kesehatan yang terjadi di
Lampung, menimpa Akbar Abdul Majid ( 20 tahun ) mahasiswa Universitas Malahayati
Bandar Lampung yang ditolak Rumah Sakit Immanuel karena hendak menggunakan
pelayanan kesehatan dengan kartu BPJS, pasien tersebut dalam kondisi kritis karena
mengalami kecelakaan motor. Salah satu keluarga Akbar menyatakan bahwa dia sempat
dibawa ke Rumah Sakit Islam Natar, tapi karena peralatan tak memadai, akhirnya
dirujuk ke RSUD Abdoel Moeloek ( RSUDAM) Bandar Lampung. Setibanya di
RSUDAM ternyata ruang Intensif Care Unit ( ICU ) penuh, karena Akbar membutuhkan
perawatan serius , akhirnya pihak RSUDAM merujuk ke RS Immanuel. Setibanya di RS
Immanuel, Akbar yang sudah kritis ditolak perawat penjaga Unit Gawat darurat ( UGD
) RS setempat denganalasanRumah Sakit Imanuel tidak melayani pasien yang
menggunakan BPJS. Akhirnya setelah menunggu beberapa jam RSUDAM mengabarkan
bahwa ruang ICU di rumah sakit tersebut sudah tersedia dan pasien Akbar ditangani di
Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek.
Hubungan antara tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat terjadi dalam 2 kemungkinan
yaitu: 1) Tenaga kesehatan bekerja sebagai pegawai tetap yang mendapat gaji bulanan;
terjadi hubungan vertikal (arbeids contract), 2) tenaga kesehatan bekerja sebagai tenaga
tamu yang mendapat penghasilan berdasarkan pasien yang ditanganinya; terjadi
hubungan horizontal (toelatings contract).
1. Vacarious liability. Dalam hubungan vertikal, yakni hubungan antara rumah sakit
sebagai atasan dan tenaga kesehatan sebagai pegawai tetap atau bawahan.
2. Coorporate liability. Dasar pemeliharaan doktrin ini terletak pada asumsi bahwa
pihak pasien tidak mengetahui hubungan antara tenaga kesehatan dan rumah sakit
Dalam hukum kesehatan, doktrin ini sering disebut sebagai hospital lenbility, yaitu
rumah sakit yang bertanggung jawab untuk setiap peristiwa yang terjadi yang
dilakukan oleh karyawannya, . Doktrin ini berkembang sebagai enterprise liahility
yang juga disebut sebagai channeling.
3. Ostensible liability. Doktrin ini mirip dengan cnorporate liability yangintinya adalah
meletakkan tanggung jawab pada rumah sakit.
4. Strict liability. Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas
semua kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut. Dalam doktrin ini
berlaku asas "res ipsa laquitor" yaitu fakta telah berbicara sendiri
Pelayanan kesehatan/rumah sakit diharuskan memenuhi wajb hukum yang berisiko
tinggi mengalami konflik hukum
1. Wajib hukum akreditasi terhadap sumber daya tenaga profesi dan sumber daya
upaya kesehatan.
2. Wajib hukum untuk menenuhi hak asasi pasien yang terdiri atas hak informasi,
hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedok teran, dan hak atas
pendapat kedua.
3. Wajib hukum untuk melaksanakan doktrin kesehatan yaitu pengadsan rekam
medis, pengadaan hak persetujuan tindakan medis, dan pener tiban rahasia kedokteran
HUBUNGAN HUKUM TENAGA KESEHATAN DAN PASIEN
Perikatan yang timbul dan tansaksi terapeutik itu disebut inspanmingsverbintenis, yaitu
suatu per katan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan perikatan yang timbul dari
transaksi terapeutik itu disebut usaha keras/maksimal (met met zorgen inspanning).
Menurut King (Veronika K, 1999), bahwa suatu perjanjian baik yang nyata maupun
diam-diam antara tenaga kesehatan dan pasien sering kali menimbulkan hubungan
profesional, sehingga kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang tenaga kesehatan
terhadap pasiennya adakalanya dilihat sebagai kewajiban yang didasarkan atas kontrak
jasa (service cortrice).
Ada 2 teori hukurn yang menunjang adanya suatu hubungan antara tenaga kesehatan dan
pasien, yaitu contract theory dan undertaking theory. Menurut conlract theonu, jika
seorang tenaga kesehatan setuju untuk merawat seseorang dengan imbalan honor tertentu
maka dapat diciptakany suatu pengaturan kontraktual vang disertai hak dan tanggung
gugatnya. menurut understanding theoru, jika sescorang tenaga kesehatan merelakan diri
untuk memberikan perawatan kepada seseorang maka tercipta suatu hubungan
profesional yang disertai kewajiban perawatan terhadap penerima.
Dari pandangan King di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hubung an tenaga
kesehatan dan pasien yang perlu diperhatikan bukan ada alzu tidak adanya suatu kortrak
yang melandasinya, melainkan adanya hubungan profesional dalam pelayanan kesehatan
yang dititikberatkan pada pemberian pertolongan yang didasarkan pada kewajiban
memberikan perawatan dan pengobatan.
Menurut Leenen (Veronika K, 1999), didasarkan atas prinsip penentuan nasib sendiri dan
prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas keselamatannya terhadap dirinya
sendiri, setiap penduduk mempunyai hak untuk menentukan apakah akan memanfaatkan
pelayanan medik yang tersedia atau tidak. . Dalam situasi ini timbul prinsip hubungan
kerja sama antara tenaga kesehatan dan pasien dan bukan jual beli jasa.
Keterangan yang tidak jelas atau menyesatkan (seperti menyembunyian penyakit yang
pernah diderita sebelumnya, tidak memberitahukan cut cbat yang pernah diminumnya
selama ia sakit) dapat dianggap sebacat kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah
contributory negligenc (doktrin pasien turut bersalah).
Contribulory negligence dianggap terjadi apabila:
1. Pasien tidak menaati instruksi (nasihat dan petunjuk) tenaga kesehatan/ dokter.
3. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak
akurat atau menyesatkan.
Setiap hubungan hukum selalu mempunyai dua sisi, yaitu hak dan kewajiban. Tidak ada hak
tanpa kewajiban. Hak dan kewajiban harus dibedakan dengan hukum, sebab hak dan
kewaiban bersifat individual, melekat pada individu, sedangkan hukum bersifat umum,
berlaku bagi setiap orang. Fred Ameln menyebutkan beberapa hak pasien. hak-hak pasien
yang paling menonjol dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, yaitu (1) rekam
medis,2) persetujuan tindakan medis, (3) rahasia medis. Ketiga hak tersebut kenal dengan
tiga doktrin kegehatan (Poernomo. 2000)
hak dan kewajiban tenaga kesehatan. Adapun hak dan kewajiban tenaga Kesehatan adalah:
a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sostal pemelhupn kesehatan (Health care).
Pada kelompok ini, kepentingan masyaria menonjol dan bukan kepentingan pasien saja.
b. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi dan keu jiban yang timbul dari
standar profesi.
c. Kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan. Tenaga kesehatan harus
menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dan tujuan yang ingin dicapai,
b. Hak menolak melaksanakan tindakan medis karena secara profesional tidak dapat
mempertanggungjawabkan.
c. Hak untuk menolak suatu tindakan medis yang menurut hati nuraninya (conscience) tidak
baik,dengan demikian tenaga keschatan mempunyai kewajiban untuk merujuk ke tenaga
kesehatan lain.
d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika tenaga kesehatan menilai bahwa kerja sama
pasien dengannya tidak ada lagi gunanya
e. Hak atas privasi tenaga kesehatan/dokter. Pasien harus menghargai dan menghormati hal
yang menyangkut privasi tenaga kesehatan/ dokter, misalnya jangan memperluas hal yang
sangat pribadi dari tenaga kesehatan/dokter yang ia ketahui sewaktu mendapatkan
pengobatan.
f. Hak atas informasi/pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas
terhadapnya
h. Hak atas pemberian penjelasan lengkap oleh pasien tentang penya kit vang dideritanya,
misalnya agar tenaga kesehatan dapat mendiagnosis dengan baik, pasien harus pula bekerja
sama sebaik mungkin.
j. Hak memilih pasien. Hak ini sama sekali tidak merupakan hak mutlak. Lingkungan sosial
merupakan hal yang sangat memengaruhi hak ini.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, hak-hak tenaga kesehatan/dokter yang timbul karena
adanya kontrak terapeutik adalah:
(1) Hak atas informasi pasien mengenai keluhan-keluhan yang diderita pasien.
(3) Hak mengakhiri hubungannya dengan pasien, jika pasien ti dak mau mematuhi nasihat
yang diberikannya.
(4) Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan transaksi
terapeutik.
KUH Perdata Pasal 1365 tentang perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) yang
menyebutkan Setiap perbuatan yang melanggar hukum sehingga membawa keru- gian
kepada orang lain, maka sipelaku yang menyebabkan ke- rugian tersebut berkewajiban untuk
mengganti kerugian tersebut.
Kemudian didalam KUH Perdata Pasal 1366 menyebutkan Setiap orang bertanggungjawab
tidak saja terhadap kerugian yang ditimbulkan karena suatu tindakan, tetapi juga yang
diakibatkan oleh suatu kelalaian atau kurang hati- hati.
Didalam KUH Perdata Pasal 1367 menyebutkan Seseorang tidak saja bertanggung - jawab
terhadap kerugian yangditimbulkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga bertenggungjawab ter-
hadap tindakan dari orang-orang yang berada dibawah tanggung- jawabnya atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada di- bawah pengawasannya.
1. Bidang hukum pidana, undang-undang nomor 36/2009 pasal 190-20 dan pasal-pasal dalan
KUHP seperti pasal 48-51, 224, 267, 268, 322 344 361, 531, dan pasa 535
2. Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuar pu da
buku II KUH Perdata teqntang perikatan dan pasal 58 UU nomor 3 tahun 2009
tentang kesehatan.
pertanggungjawaban haruslah memeruhi 3 unsur yaitu:
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak, artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa)
KESIMPULAN
Hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan merupakan hubungan hukum yang saling
kait mengkait antara pemberi layanan kesehatan ( health provider ) dan penerima
layanan kesehatan (health receiver), dimana hubungan tersebut akan menimbulkan
suatu transaksi yang disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik ini
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Nomer 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang Undang
Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang Undang Nomer 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit. Transaksi terapeutik ini sebagai landasan pemberian
persetujuan tindakan medis (informed consent), karena informed consent
merupakan hak atas informasi seorang pasien. Pengaturan hak dan kewajiban
dimana salah satunya adalah adanya persetujuan tindakan medis, secara yuridis
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif baik
terhadap dokter maupun masyarakat. Namun ternyata saat ini perlindungan yang
diharapkan tersebut belum dapat dirasakan oleh pasien. Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan transaksi terapeutik saat ini belum memberi perlindungan
kepada pasien menyangkut pelaksanaan sistem dalam pelayanan kesehatan
yaitu, bahwa secara substansi masih terdapat peraturan yang berbenturan dengan
etika, disiplin, maupun hukum. berkaitan dengan fungsi dan kewenangan
kelembagaan bahwa lembaga- lembaga yang dibentuk sebagai upaya
perlindungan ternyata belum menunjukkan OBJEKEIFIEASMya pada saaE
memamgami kasus-kasus sengketa medis karena hanya berorientasi pada
kesejawatan saja.Demikian pula dengan faktor budaya atau kultur masyarakat yang
cenderung pasif serta permisif mensikapi permasalahan- permasalahan yang muncul
dalam hubungan antara dokter dan pasiennya pada pelayanan kesehatan.
SARAN