Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Indonesia merupakan Negara hukum yang sehingga mengatur sehala hal
berdasarkan undang-undang yang ada. Salah satunya mengatur tentang pelayanan
kesehatan. Setiap warga Indonesia dijamin oleh undang-undang bahwa mereka
memiliki ha katas pelayanan kesehatan tanpa dibeda-bedakan status sosialnya.
Di Indonesia landasan hukum kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Pada saat dipakainya Undang-Undang Kesehatan
tersebut hak dan perawatan-pemeliharaan kesehatan memperoleh dasar hukum
dalam hukum nasional Indonesia. Di dalam prakteknya kesehatan memiliki tiga
subyek yang berperan secara berkesinambungan, yaitu rumah sakit, dokter dan
pasien. Ketiga subyek tersebut masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang
sudah diatur dalam undang-undang. Tidak dapat dihindari pula bahwa ketiga
subyek hukum tersebut memiliki kesenjangan-kesenjagan dalam hal pelayanan
medis. Dari kesenjangan ini lah sering muncul masalah-masalah antara ketiga
subyek tersebut. Masalah-masalah yang sering terjadi ditengah masyarakat
berupa malpraktik, pelanggaran kode etik seperti tesebarnya rekam medis yang
tak boleh diketahui, dan masih banyak lagi.
Pasien dan dokter dalam praktek kesehatan memiliki hubungan yang saling
terkait.hubungan tersebut tidak terlepas dari sebuah Perjanjian yang disebut
perjanjian terapeutik.perjanjian terapeutik adalah bhubungan antara dokter dan
penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta
senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Oleh karna itu bersifat menjelaskan, merincikan, ataupun menegaskan berlakunya
suatu kode etik untuk melindungi dokter dan pasien. Perjanjian terapeutik
memiliki objek dan sifat yang khusus, kekhususan perjanjian ini terletak pada
objek yang diperjanjikan dan sifatnya.objek dari prtjanjian ini adalah pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan sifatnya berupa inspaning verbitenis,
yaitu upaya dokter untuk menyembuhkan pasien.

1
Perikatan antara rumah sakit atau dokter dan pasien dapat diartikan sebagai
perikatan usaha (inspanning verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats
verbintenis).posisi antara dokter dan pasien adalah sederajat,dengan posisi
demikian ini hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung gugat hukum,
berdasarkan transaksi terapeutik. Hubungan hukum dalam transaksi terapeutik ini
merupakan sebuah hubungan yang sifatnya vertical.bertitik tolak dari transaksi
terapeutik ini, tidaklah mengherankan jika banyak ditemukan gugatan pasien
terhadap dokter .gugatan untuk meminta pertanggung jawaban dokter bersumber
pada dua dasar hukum,yaitu berdasarkan ( contractual liability ) sebagaimana
diatur dalam pasal 1239 KUH perdata dan berdasarkan perbuatan melawan hukum
( onrechmatigedaad )sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH perdata.
Rumah sakit berkewajiban untuk mengutamakan kepentingan pasien yang
tercantum dalam pasal 29 huruf b undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit yang menyatakan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban
‘memberi pelayanan kesehatan yang aman. Bermutu,antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit’.

B. Rumusan masalah

Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut sebagai
berikut:

1. Bagaimana sanksi pidana apabila rekam medis disebarkan oleh oknum


yang tidak bertanggung jawab berdasarkan Undang-Undang?
2. Bagaimana ketentuan hukum tentang pembuktian pidana terhadap kasus
malpraktik?
3. Bagaimana bentuk pengaturan ganti rugi dalam pertanggungjawaban
perdata seorang dokter yang melakukan malpraktik?
4. Bagaimana pertanggungjawaban administrasi dokter dalam malptaktik?

2
C. Tujuan dan manfaat
 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sanksi apabila rekam medis disebarkan oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab?
2. Untuk mengetahui bagaimana proses hukum pembuktian pidana terhadap
kasus malpraktik?
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan ganti rugi dalam
pertanggungjawaban perdata seorang dokter yang melakukan malpraktik?
4. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban administrasi dokter
dalam malptaktik?

 Manfaat

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka makalah ini


diharapkan mempunyai manfaat sebagai refrensi pada penelitian-penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan hukum kesehatan serta bagi penulis dapat
menambah wawasan dari materi makalah ini.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban terhadap penyebaran rekam medis.

Rekam medis menurut Desriza Ratman merupakan catatan medis dan


dokumen medis. Catatan yaitu tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi
tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian
pelayanan kesehatan. Dokumen yaitu catatan dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan
tertentu yang berisikan laporan pemeriksaan penunjang, catatan observasi,
pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar
pencitraan (imaging) dan rekaman elektro-diagnostik.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008


tentang rekam medis, adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.

Pokok yang terpenting dari suatu rekam medis adalah itu bisa merupakan
suatu dokumen yang bersifat legal. Dengan demikian maka rekam medis ini
menjadi sesuatu yang esensial pada pembelaan tuntutan malpraktik medis.suatu
rekam medis yang baik memungkinkan rumah sakit untuk mengadakan
rekontruksi yang baik mengenai pemberian pelayanan kepada pasien seryta
memberikan gambaran untuk dinilai aoakah perawatan dan pengobatan yang
diberikan dapat diterima atau tidak dalam situasi dan keadaan demikian. Rekam
medis harus di isi segera dan secara langsung pada oleh pada saat dilakukan
tindakan pada pemberian intruksi oleh dokter oleh tenaga kesehatan lainnya, dan
pada saat dilakukan observasi telah timbul suatu gejala atau suatu perubahan, dan
sewaktu melakukan tindakan.

Terkait dengan isi rekam medis, hal tersebut tidak boleh diketahui oleh
siapapun kecuali pasien itu sendiri, namun hukum memperbolehkan kepada
beberapa pihak tertentu untuk dapat membuka isi rekam medis di antaranya;

4
aparatur penegak hukum yang digunakan sebagai alat bukti, peneliti yang
digunakan untuk pendidikan, dan lembaga lain seperti asuransi kesehatan.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10 ayat 2 Permenkes No.
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, bahwa informasi tentang
identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal:

1. Untuk kepentingan kesehatan pasien


2. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum atas perintah pengadilan
3. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri
4. Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan
5. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit medis sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.

Dalam hal pemberian sanksi terhadap pelanggaran kerahasiaan rekam medis


ini ternyata telah diatur dengan tegas dalam Pasal 79 butir c di dalam Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran yaitu “Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
50.000.000 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”. Ketentuan Pasal 51 tersebut merupakan
ketentuan terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran, manakala
kewajiban ini tidak ditaati maka berakibat sanksi pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 79 Undang undang Nomor 29 Tahun 2004 tersebut. Kewajiban –
kewajiban dimaksud adalah kewajiban :

 Pasal 51 huruf a: dokter atau dokter gigi untuk memberikan pelayanan


kesehatan harus sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.

5
 Pasal 51 huruf b : merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan dan pengobatan.
 Pasal 51 huruf c : merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Kewajiban pada
huruf d adalah melakukan pertolongan darurat atas dasar prikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
 Pasal 51 huruf e : menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atu kedokteran gigi.

Pelanggaran kerahasiaan rekam medis ini telah melanggar Pasal 13 KODEKI,


Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran, Pasal 322 KUHP dan Pasal 79 butir c Undang undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Lebih lengkap rumusan
pasalnya adalah sebagai berikut:

1. Pasal 13 KODEKI :

“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang


seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.”
Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya, sehingga
terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh dewan pembina yang bertugas
memberikan arahan, pertimbangan, petunjuk, saran dan nasehat. Sanksi yang
diberikan terhadap pelanggaran etik rekam medis bergantung pada berat dan
ringannya pelanggaran etik tersebut. Bentuk-bentuk sanksi pelanggaran etik
rekam medis dapat berupa10 :

a. Teguran atau tuntutan secara lisan atau tulisan

b. Penurunan pangkat atau jabatan

c. Penundaan kenaikan pangkat atau jabatan

6
d. Untuk kasus pelanggaran etikolegal, dapat diberikan hukuman sesuai
peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan

e. Pencabutan izin

2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan


Rahasia Kedokteran Pasal 4 :

“Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai : wajib simpan rahasia kedokteran


yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut Pasal 322 KUHP, maka Menteri
Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan Pasal 11 Undang-
undang Tenaga Kesehatan.”

3. Pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

“Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya


karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ribu rupiah.”

4. Pasal 79 butir c Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik


Kedokteran :

“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau
dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 51 huruf
c yaitu merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meinggal dunia.”

B. Ketentuan hukum pidana terkait pembuktian malpraktik

Seorang dokter yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar


operasional kedokteran dan standar prosedur tindakan medik berarti telah
melakukan kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara hukum
pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien menderita
kerugian. Penuntutan pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika

7
pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara
perdata dapat dilakukan asal pasien menderita kerugian meskipun terjadi
kesalahan kecil.

Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi seorang dokter yang


melakukan perbuatan malpraktek medis, diperlukan pembuktian adanya unsur-
unsur kesalahan, yang dalam hukum pidana dapat berbentuk kesengajaan dan
kelalaian. Perbuatan malpraktek medis yang dilakukan dengan kesengajaan,
tidaklah rumit untuk membuktikannya.

Menurut hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam


pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian
inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan membuktikan untuk menunjukkan
benar salahnya terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang
pengadilan.

Pembuktian merupakan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum


oleh hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Dalam acara pembuktian Jaksa Penuntut
Umum, Penasehat Hukum dan Majelis Hakim yang memimpin pemeriksaan
perkara pidana di persidangan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum
pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-
macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya.

Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dianggap melawan hukum jika
tindakannya itu tidak memenuhi stndar profesi kedokteran. Tindakan seorang
dokter haruslah sesui dengan tandar profesinya. Namun hal ini harus dibuktikan
lebih dahulu apakah tindakan tersebut telah memenuhi standar profesi atau tidak.

Jika perkara malpraktek diajukan ke pengadilan sebagai perkara pidana, maka


untuk dapat dipidananya seseorang termasuk dokter yang diduga melakukan
kesalahan baik yang berupa kesengajaan atau kealpaan dalam menjalankan
profesinya, haruslah didasari Jangan sekurang-kurangnya dua alat bukti seperti

8
yang terdapat dalam pasal 183 KUHAP. Sedangkan alat bukti yang sah terdapat
dalam Pasal 184 KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat d.Petunjuk
d. Keterangan terdakwa.

Alat bukt iyang paling tepat untuk dapat membuktikan bahwa dokter tersebut
melakukan kesalahan atau tidak adalah RekamMedis. Rekam medis ini sebagai
alat bukti berfungsi ganda yaitu :

a. Sebagai alat bukti keterangan ahli (pasal186 dan 187 KUHAP


b. Sebagai alat bukti surat (187 KUHAP)

Dari rekam medis tersebut kita dapat mengetahui bagaimana dokter tersebut
dalam memberikan pelayanan kesehatan. Yang dapat kita ketahui dari rekam
medis tersebut adalah:

a. Apakah pelayanan kesehatan terhadap pasien tersebut telah memenuhi


standar pelayanan yang berlaku,
b. Apakah dokter tersebut telah mempergunakan ilmu pengetahuan dan
tingkat ketrampilan yang seharusnya diiakukan.

Untuk mengukur bahwa tindakan seorang dokter dalam memberikan


pelayanan kesehatan terhadap pasien telah sesuai dengan standar pelayanan, dapat
dilihat melalui Standar Prosedur Operasional (SPO). Standar prosedur operasional
di Indonesia tidak diatur secara baku oleh Peraturan Perundang-undangan. Hal ini
menyebabkan standar prosedur operasional di rumah sakit, puskesmas atau balai
kesehatan satu dengan yang lainnya berbeda.

Jadi untuk menentukan seorang dokter telah melanggar prosedur memang


harus dilihat dari standar prosedur operasional tempat dokter tersebut bekerja,
karena seorang dokter tidak dapat dikatakan salah menerapkan standar prosedur
operasional rumah sakit, puskesmas atau balai kesehatan ditempat lain sebab

9
pembentukan standar prosedur operasional dibuat melalui kesepakatan yang
didasari oleh sumber daya manusia dan fasilitas peralatan yang menunjang
dirumah sakit, puskesmas atau balai kesehatan tersebut.

Dalam hubungan dokter dengan pasien, dalam hal terjadi kesalahan dokter
yang merugikan pasien, ada 4 macam surat yang dihasilkan dari hubungan
tersebut, yaitu:

1. .Kartu berobat
2. Persetujuan tindakan medis (berdasarkan"informed concenr)
3. Rekam medis
4. Resep dokter.

Untuk kepentingan pembuktian dalam rangka pelaksanaan secara ilmiah,


diperlukan dukungan teknis dun ahlitertentu, antara lain : laboratorium forensie
Kedokteran Kehakiman dan ahli psikologi. Berkaitan dengan upaya
pengungkapan tindak pidana diperlukan peranan laboratrium forensie untuk
melaksanakan pemeriksaan benda/barang bukti mati dengan menggunakan
SCI(Scientific Crime Investigation) yang meliputi kimia forensie, balistik, biologi
forensie dan sebagainya.

Dari uraian diatas dapat katakan bahwa prosedur untuk memintakan


pertanggungjawaban pidana seorang dokter yang melakukan kesalahan dalam
pelayanan kesehatan tetap menggunakan KUHAP sebagai dalam Undang-undang
Praktik Kedokteran tidak mengatur.

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang
pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri
bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh
pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan
bukti–bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang
memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu
sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa
pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh

10
(dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti–bukti yang menyanggah tuduhan
yang dikenakan kepadanya.

Dalam kasus atau gugatan adanya malpraktek pembuktiannya dapat


dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Cara langsung
a. Kewajiban yaitu dalam hubungan perjanjian tenaga medis dengan
pasien, tenaga medis haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis.
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti.
3) Bekerja sesuai standar profesi.
4) Sudah ada informen consent.
b. Penyimpangan dari kewajiban Jika seorang tenaga medis melakukan
tugasnya dan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak dari
apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Maka
tenaga medis tersebut dapat dipersalahkan.
c. Kerugian. Tenaga medis untuk dapat dipersalahkan haruslah ada
hubungan kausal (langsung) antara penyebab dan kerugian yang
diderita, oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya, dan hal ini harus dibuktikan dengan jelas. Hasil negatif
tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan tenaga medis.
2. Cara tidak langsung yaitu cara ini merupakan cara pembuktian yang
mudah bagi pasien yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
oleh pasien. Dapat diterapkan apabila memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga medis tidak lalai.
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga medis.
c. Fakta itu terjadi tampa ada kontribusi dari pasien.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,


disebutkan, Rumah Sakit bertanggungjawab terhadap semua kerugian yang

11
menimpa seseorang sebagai akibat dari kelalaian tenaga medis di Rumah Sakit,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Ketentuan pasal 46 ini menjadi dasar yuridis bagi seseorang
untuk meminta tanggung jawab pihak Rumah Sakit jika terjadi kelalaian tenaga
kesehatan yang menimbulkan kerugian.

C. Bentuk pengaturan ganti rugi dalam pertanggungjawaban perdata


seorang dokter yang melakukan malpraktik

Hubungan hukum dokter dan pasien dari sudut perdata berada dalam suatu
perikatan hukum. Perikatan Hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih
subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan
sesuatu. Sesuatu disebut prestasi. Untuk memenuhi prestasi yang pada dasarnya
adalah suatu kewajiban hukum bagi para pihak yang membuat hukum. Bagi pihak
dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum untuk berbuat dengan
baik dan secara maksimal (perlakuan medis) bagi kepentingan kesehatan pasien,
dan kewajiban hukum untuk tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan
medis, dalam arti kata kewajiban untuk pelayanan kesehatan pasien dengan
sebaik-baiknya. Malpraktek kedokteran dari sudut perdata terjadi apabila
perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi
menimbulkan kerugian keperdataan (diatur dalam hukum perdata).

Dalam proses perdata, yang menyangkut gugatan seorang pasien terhadap


dokter yang menanganinya, hampir semua menyangkut masalah tuntutan ganti
rugi. Dasar untuk pertanggungjawaban medik adalah perbuatan melawan hukum
(onrechmatigedaad), dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya
bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang
diharapkan dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat (tanggungjawab
berdasarkan Undang-Undang).

Malpraktek berasal dari bahasa Inggris yaitu Medical Malpractice. Mala yang
berarti sesuatu yangnburuk. Malpraktek adalah Suatu kelalaian atau kegagalan
seorang dokter dalam melakukan suatu proses pelayanannmedis sehingga

12
menimbulkan efek cedera, luka berat, bahkan meninggal. Keberadaan Dokterrdi
Indonesia sangat diperlukan untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit.
Dokter sebagai seorang professionalldalam melakukan pelayanan medis harus
memenuhi standar profesi. Adanya kelalaian dan kecerobohan dalam memberikan
pelayanan kesehatan tidak jarang mengakibatkan terjadinya malpraktek yang
menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, yaituupasien dan dokter.

Untuk dapat mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum


harus dipenuhi 4 (empat) syarat seperti yang tersebut dalam Pasal 1365
KUHPerdata, yaitu :

1. Perbuatan itu melanggar hukum.


2. Pasien harus mengalami suatu kerugian.
3. Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga
bisa bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya).
4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan.

Malpraktek Medis dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang


dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera
menurut ukuran di lingkungan yang sama Ganti rugi saat ini hanya berdasarkan
kesalahan, bukan tingkat kesalahan, sehingga setiap dokter harus menanggung
beban ganti rugi secraa renteng (sama jumlah sama rata). Skema ganti rugi seperti
ini merupakan skema ganti rugi yang tidak adil karena dokter yang melakukan
tingkat kesalahan kecil harus menanggung kerugian sama besarnya dengan dokter
yang melakukan tingkat kesalahan besar. Skema ganti rugi yang demikian ini
membutuhkan instrument yang dapat menyelaraskan ketimpangan beban
kewajiban bertanggung jawab antara dokter yang melakukan tingkat kesalahan
kecil dengan dokter yang melakukan tingkat kesalahan besar. UU Kesehatan yang
ada saat ini belum mengatur secara tegas mengenai tingkat kesalahan dari seorang
dokter dalam melakukan malpraktek berkaitan dengan ganti rugi yang bisa
diterima oleh pasien korban. Pada prinsipnya, suatu kerugian adalah sejumlah

13
uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat
kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi
sulit untuk dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian
seseorang, oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikan rupa
sehingga tercapai jumlah yang layak (Reasonable atau fair) suatu kecederaan
sukar di hitung dalam bentuk finansial. Mengenai perlindungan hukum pada
pasien korban malpraktek untuk menuntut ganti rugi diatur dalam Pasal 58 ayat 1
UU Kesehatan yang menyatakan “setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan.” Namun dalam pasal ini tidak diatur lebih lanjut mengenai berapa
besaran ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pasien terkait dengan tingkat
kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter. Dijelaskan juga di penjelasan pada
Pasal 58 ayat 1 UU Kesehatan, adalah : “yang termasuk “kerugian” akibat
pelayanan kesehatan termasuk didalamnya adalah pembocoran rahasia
kedokteran.”

Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan dalam bentuk ganti rugi agar
lebih jelas, perlu dibuatkan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
atau Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan).

D. Pertanggungjawaban administrasi dokter dalam malpraktik.

Menurut Dahlan (1999, h 54), malpraktek administrative terjadi apabila


petugas melanggar hukum administrasi Negara. Pemerintah memiliki kewenangan
Police Power untuk mengeluarkan berbagai aturan dibidang kesehatan. Apabila
aturan tersebut dilanggar, maka tenanga kesehatan tersebut dapat dipersalahkan.
Contoh tindakan malpraktik administrasi yaitu:

1. Menjalankan praktek tanpa izin


2. Melakukan tindakan di luar lisensi atau izin yang dimiliki
3. Melakukan praktik dengan izin yang kadaluarsa

14
Kasus malpraktik administrative cukup menarik karena hakikat
pelanggarannya masuk ke dalam ranah hukum administrasi Negara sehingga
sanksinya adalah administrasi. Akan tetapi, di dalam Pasal 76 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ditegaskan bahwa setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Catatan dirambah dengan sanksi
administrative langsung dari pemerintah sebagai pengawas kebijakan melalui
lembaga terkait dengan pencabutan izin praktek.

BAB III

PENUTUP

15
A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama apabila rekam


medis disebarkan dengan sengaja maka dapat dikenakan sanksi yang diatur
dalam Pasal 13 KODEKI, Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, Pasal 322 KUHP dan Pasal
79 butir c Undang undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Kedua, Tanggung jawab Malpraktek dalam hukum Pidana sangat erat
kaitannya dengan pembuktian perbuatan seseorang (dokter/para medis)
untuk dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice, manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana.Berdasarkan Pasal 184
KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan
syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari
dua alat bukti tersebut. Ketiga, kegiatan malpraktik juga bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum perdata sebagaimana diatur dalam
Pasal 58 ayat 1 UU Kesehatan yang mana pasien korban malpraktek dapat
menuntut ganti rugi. Terahkir, secara hukum administrasi pun juga bisa
dikenakan sanksi terhadap malpraktik hal ini diterangkan pada Pasal 76
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

B. Saran

16
Tindakan malpraktik yang dilakukan oleh dokter dan rumah sakit merupakan
tindakan yang dapat membahayakan keselamatan pasien. Meskipun secara
regulasi telah terdapat sanksi atas tindakan malpraktik ini, namun diharapkan para
dokter dan rumah sakit selaku pemberi layanan kesehatan untuk tidak melakukan
tindakan malpraktik. Jika tindakan tersebut masih dilakukan atau muncul, maka
diperlukan penindakan hukum yang tegas dari aparat penegak hukum agar
kejadian serupa tidak akan terulang lagi dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

17
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/26794/26388

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/44435/27009

https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/3445/3485

https://r.search.yahoo.com/
_ylt=AwrgLGIW5p5koywM2GJXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzMEdn
RpZANBRFRFU1RTQ18xBHNlYwNzcg--/RV=2/RE=1688163991/RO=10/
RU=http%3a%2f%2fwww.fk.unri.ac.id%2fwp-content%2fuploads
%2f2017%2f08%2f47-Syarifah-Hidayah-F.pdf/RK=2/
RS=WecFFUTE.Z3Aj7QV6_vb4qWcz4U-

18

Anda mungkin juga menyukai