Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ali Dzikri Fauzi

Kelas : C reguler

NIM : 3300200197

Mata Kuliah : Hukum Kesehatan

Dosen : Muhammad Amin Effendy, S.H.,M.H.

Tugas 4

1. Didalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran (Informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien.

Secara sederhana terdapat empat langkah praktis untuk melakukan informed consent, yang
terdiri dari:

a. Communication. Komunikasi dengan pasien. Komunikasi yang diberikan adalah yang bisa
memberikan pencerahan kepada pasien, yang etis dimana tidak melanggar etika-etika
medis. Penggunaan bahasa komunikasi pun bertujuan agar pasien dapat memahaminya,
sehingga dokter harus menjelaskan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien.

b. Condition. Dalam hal ini dokter secara langsung harus memenuhi bagaimana kondisi klinis
dan kompetensi dari pasien saat dokter memberikan informasi tersebut. Jika yang dihadapi
pasien dewasa yang sadar dan kompeten, tentu informed consent harus terjadi pada dokter
dan pasien. Tetapi untuk pasien anak-anak dan yang tidak kompeten maka consent
diberikan pada pihak ketiga, boleh orang tua, wali, atau orang yang dikuasakan. Tentu saja
consent diputuskan setelah mereka mendapat informasi yang jelas. Lalu apa yang
dimaksud dengan pasien yang tidak kompeten? Menurut hukum secara sederhana yaitu
orang yang tidak sadar, keterbelakang mental, pikun, dan lain-lain.

c. Clarification. Dokter juga harus memberikan clarification (penjelasan). Minimal pasien


harus tahu mengapa perlu dilakukan tindakan medis, apa saja komplikasinya, bagaimana
prosedur tindakan medis yang akan dilakukan, dan seberapa besar keberhasilannya.
Pasien/keluarganya harus mendapatkan masalah-masalah ini dengan jelas. Bila diperlukan,
seorang dokter boleh memberikan second opinion pada dokter lain sesuai dengan
kompetensi dokter tersebut. Dari hasil klarifikasi ini diharapakan pemahaman
pasien/keluarga akan semakin tercerahkan (enlightened).

d. Mendapatkan consent dari pasien/keluarga. Dengan pemahaman yang diperoleh setelah


mendapatkan klarifikasi, pasien dapat mengambil keputusan untuk mengabulkan tindakan
medis. Consent ini harus murni benar-benar terjadi karena kesadaran dari pasien.
Berdasarkan bentuknya, informed consent terdiri dari 2 jenis, yaitu implied consent dan
expressed consent.

Implied Consent atau persetujuan secara tersirat umumnya diberikan saat kondisi gawat
darurat. Pada kondisi ini, tindakan medis perlu dilakukan tetapi pasien atau keluarga tidak
dapat memberikan persetujuan lisan atau tertulis pada saat itu.

Expressed consent merupakan bentuk pesetujuan yang dinyatakan baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan.

2. a. Secara perspektif hukum positif di Indonesia tindakan aborsi dapat dilakuan sesuai Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 75 ayat (2) apabila

(a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bai tersebut
hidup diluar kandungan; atau

(b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.

b. Eutanasia dipandang dari perspektif Hak Asasi Manusia maka sangat bertentangan dengan
beberapa pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang mengatur tentang hak
asasi manusia, antara lain: pasal 28A, pasal 28G ayat (2), dan pasal 28I ayat (1). Selain
bertentangan dengan pasal-pasal tersebut, tindakan eutanasia juga bertentangan dengan
pasal 4, pasal 9 ayat (1), dan pasal 33 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Kemudian, dalam konteks hukum positif di Indonesia, sampai saat ini
belum ada aturan khusus yang mengatur pelaksanaan eutanasia di Indonesia. Pelaku tindak
aneutanasia di Indonesia masih diancam dengan pasal 338 KUHP,340KUHP,344 KUHP
dan 345 KUHP.

Beberapa pasal lain yang dapat dikaitkan dengan pelaku eutanasia, antara lain: pasal 304
KUHP, pasal 306 KUHP, pasal 340 KUHP, pasal 345 KUHP, pasal 359 KUHP, dan pasal
531 KUHP. Pihak-pihak lain (dokter, perawat, tenagakesehatan, keluarga pasien) yang
membantu tindakan eutanasia dapat dikenakan pasal tambahan, yaitu pasal 55-62 KUHP
tentang penyertaan.

3. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan


masyarakat dibandingkan kepetingan pribadinya karena dokter telah disumpah sebelum
mereka akan melakukan praktek dibidang kedokteran dan juga harus memperhatikan semua
aspek kesehatan yang menyeluruh.
Promotif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

Prevetif adalah kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

Kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk
penyembuhan penyakit, pengurangan penderita akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

Rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas


penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat
yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan.

Dokter juga harus bisa mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan,


mengantisipasi bila terjadi suatu penyakit yang dapat disembuhkan oleh penderita sendiri
tanpa proses langsung ke dokter; dan dokter juga harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada
masyarakat bila ada yang memerlukan pengobatan kepada dirinya.

4. Kewajiban moral menyimpan rahasia medis pasien tidak dapat dipandang secara pragmatis
menurut pemikiran utilitarianisme dan tidak juga bersifat kewajiban mutlak menu-rut
pemikiran deontologi. Kewajiban moral bersifat prima fascie sehingga kewajiban moral
menyimpan rahasia medis pasien akan terus berlaku selama tidak bertentangan dengan
kepentingan umum atau kewajiban moral lain yang lebih penting. Kemudian, dalam
perspektif etika biomedis kewajiban moral tersebut merupakan salah satu wujud dari prinsip
tidak merugikan (non-maleficence).

Kewajiban menyimpan rahasia medis pasien merupakan objek perikatan dalam kontrak
terapeutik yang menimbulkan perikatan di antara dokter atau dokter gigi dan pasien.
Pelanggaran terhadap kewajiban menyimpan rahasia medis pasien merupakan perbuatan
melanggar hukum. Namun, membuka rahasia medis pasien bukanlah merupakan per-buatan
melanggar hukum apabila hal ter-sebut dilakukan atas dasar keadaan memak-sa (overmacht)
seperti karena perintah undang-undang atau demi melindungi kepentingan umum.

5. Larangan beriklan kemudian dapat dikecualikan pada kasus-kasus dimana dokter yang
bersangkutan tidak memiliki STR yang aktif (tidak berpraktik sebagai dokter) atau produk
yang diiklankan tersebut tidak memiliki klaim kesehatan/kebugaran/kecantikan, dengan
catatan dalam kontennya tidak memunculkan gelar maupun atribut kedokteran sama sekali.
Tidak diperbolehkannya penggunaan gelar maupun atribut kedokteran dikarenakan oleh
keadaan masyarakat yang kurang memahami perihal aktif tidaknya STR dokter sehingga hal
ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam membedakan dokter dengan STR aktif
dan STR tidak aktif.
Adapun pemasangan iklan pada media cetak dalam rangka pengenalan awal praktik,
pengumuman cuti praktik, dan pengumuman kembali buka praktik pasca cuti diperbolehkan
dengan ketentuan besar iklan yang dimuat berukuran maksimum 2 kolom x 10 cm dan hanya
berisi informasi nama, jenis spesialisasi, alamat, waktu praktik, nomor telepon (seperti
ketentuan papan nama praktek) dengan nomor surat ijin praktik lengkap, tanpa disertai
properti persuasif apapun maupun alasan cuti praktiknya tersebut.

Sementara itu, dalam UU Praktik Kedokteran tahun 2004 pasal 41 disebutkan bahwa dokter
yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
memasang papan nama praktik kedokteran pada lokasi praktik. Untuk itu, dalam KODEKI
tahun 2012 juga dicantumkan bahwa pemasangan plang nama dokter pada lokasi praktik
tidak digolongkan dalam tindakan beriklan apabila memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan. Ketentuan tentang pemasangan plang nama tersebut kemudian diatur dalam
pasal 4, cakupan pasal butir (2), yakni plang maksimal berukuran 60 cm x 90 cm dengan
latar belakangputihdanwarnahurufhitam.Dalamplang hanya memuat nama, jenis spesialisasi,
nomor surat izin praktik, waktu praktik, dan nomor rekomendasi IDI. Dengan penerangan
yang wajar, plang dipasang pada dinding bangunan di depan tempat praktik atau di tepi jalan
bagi praktik perorangan, dan di depan/dinding lorong masuk ruang praktik pada rumah sakit,
puskesmas, klinik bersama, maupun kantor kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai