Anda di halaman 1dari 4

INFORMED CONSENT

Prevalensi dan Epidemiologi Kasus

Awal mulanya, informed consent mulai dipertimbangkan dalam etik pada


tahun 1947, yaitu ketika dokter Nazi melakukan suatu eksperimen yang tak
beretika ketika Perang Dunia II, sejak saat itu dibuatlah suatu undang-undang
yang bernama “Nuremberg Code”.(1) Informed consent atau yang biasa disebut
dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK) merupakan salah satu hal
tersering yang dilaporkan pasien pada kasus malpraktik medis. Suatu hasil
penelitian di Australia menunjukkan bahwa 11,5% dari 1898 pasien yang komplain
berhubungan dengan informed consent. Hasil penelitian lain yaitu pada suatu
rumah sakit di Jakarta menyebutkan bahwa 66,3% kualitas informasi yang
diberikan dokter masih kurang. Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian lain
yang dilakukan di Arab Saudi menunjukkan bahwa secara umum PTK yang
dilakukan kurang berkualitas dan hanya dilakukan sebatas rutinitas, hal ini berefek
pada pengambilan keputusan pasien, dimana hampir setengah dari pasien takut
untuk mengungkapkan penolakan terhadap tindakan medis yang akan dilakukan. (2)

Aspek Medis

Dalam prinsipnya, informed consent dibuat untuk menghormati otonomi


pasien yang bebas menentukan sendiri apa yang akan dibuat ataupun tidak akan
dibuat. Agar dapat dijalankan sebagaimana mestinya, keharusan seorang dokter
untuk menghormati otonomi pasien diatur dalam Pasal 5 Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang berbunyi : “Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin
melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan
pasien / keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
tersebut”. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga
menyatakan bahwa : “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan
persetujuan dari pasien setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap”. (3)
Undang-Undang Kedokteran No. 36 tahun 2009 pasal 8 juga menyinggung
lebih lanjut mengenai informed consent, yakni berbunyi : “ Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun akan diterimanya dari tenaga kesehatan”. Pasal
56 ayat 1 juga menambahkan bahwa : “Setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap”.(4)

Secara umum, terdapat dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yaitu : (1) hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self
determination) dan (2) hak atas informasi (the right to information).(5) Dalam
penerapannya, informed consent dibutuhkan dalam pengambilan tindakan medis
tertentu seperti diagnostik maupun terapeutik sehingga baik dokter maupun pasien
masing-masing telah menyatakan kehendaknya dan mendapat informasi secara
timbal balik.(3) Ketika informed consent dilakukan hanya sebatas rutinitas,
kemungkinan keluhan pasien tergali sempurna tentu berkurang, pasien juga belum
tentu merasakan empati dari dokter. Selain itu jika pasien menyetujui ataupun
menolak tindakan yang hendak dilakukan dokter ada kemungkinan bahwa pasien
belum mengerti sepenuhnya mengenai tujuan, cara, dan risikonya.

Aspek Sosioekonomi Kultural

Pada prinsipnya, kedua belah pihak memiliki kewajiban dan hak masing-
masing. Dokter memiliki kewajiban untuk melakukan diagnosis dan tatalaksana
terbaik menurut pertimbangan mereka, disisi lain pasien atau pihak keluarga
memiliki hak untuk menentukan tindakan medis atau tatalaksana apa yang akan ia
dapatkan. Sehingga hal ini menimbulkan masalah bahwa tidak semua
pertimbangan dokter sejalan dengan apa yang diinginkan dan dapat diterima oleh
pasien atau keluarga pasien.(6)
Pendapat terkait solusi dilema etik

Dalam hal medis, informed consent merupakan hal yang sangat penting
dalam penegakan diagnosis maupun pemberian tatalaksana pada pasien. Oleh
karena itu mengingat informed consent saat ini kerap dilakukan hanya sebatas
rutinitas dan formalitas saja, maka hendaknya informed consent benar-benar
dilakukan sesuai dengan yang telah diatur dalam Kode Etik Kedokteran dan
Undang-Undang Kedokteran sehingga tidak ada hak yang dilanggar nantinya.
Selain itu, dengan informed consent yang berkualitas tentunya akan memudahkan
pasien dalam pengambilan keputusan, sehingga dari awal diharapkan pasien
mengerti apa yang hendak dilakukan beserta risiko yang mungkin ia terima, hal ini
juga sekaligus mencegah kemungkinan tuntutan terhadap dokter karena dianggap
tidak menjalankan tugas dengan kompeten.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nijhawan L, Janodia M, Muddukrishna B, Bhat K, Bairy K, Udupa N, et al.


Informed consent: Issues and challenges. J Adv Pharm Technol Res.
2013;4(3):134–40.

2. Afandi D. Aspek Medikolegal dan Tata Laksana Persetujuan Tindakan


Kedokteran Medicolegal Aspect and Procedure of Informed Consent. J
Kesehat Melayu. 2018;1(2):99–105.

3. Ramadianto AY. Informed consent sebagai Persetujuan dalam Kontrak


Terapiutik antara Dokter dan Pasien. Chirurg. 2015;50(4):193–7.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Informed Consent dalam


Pelayanan Kesehatan. Al Ihkam. 2010;V(2):309–18.

5. Realita F, Widanti A, Wibowo DB. Implementasi Persetujuan Tindakan Medis


(Informed Consent) pada Kegiatan Bakti Sosial Kesehatan di Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang. SOEPRA J Huk Kesehat.
2016;2(January):30–41.

6. Hanafiah J, Amir A. Etik Kedokteran Hukum Kesehatan. 5th ed. Jakarta:


EGC; 2014.

Anda mungkin juga menyukai