Anda di halaman 1dari 10

FK UII

KONSEP DASAR

INFORMED CONSENT

Kata informed berasal dari bahasa Inggris yang artinya memberikan informasi, sedangkan consent
berasal dari bahasa Latin consentio yang artinya persetujuan, izin atau menyetujui. Pengertian consent
yang lebih luas mempunyai arti memberi izin atau wewenang untuk melakukan suatu tindakan (Guwandi,
2006).

Secara umum informed consent berarti suatu pernyataan setuju atau rasional oleh pasien secara
sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya dari tenaga kesehatan atau
dokter yang menanganinya. Menurut Jay Katz, falsafah dasar informed consent pada hakikatnya adalah
keputusan pemberian tindakan medis maupun pengobatan kepada pasien yang terjadi secara kolaboratif
(kerja sama) antara pihak tenaga medis dan pasien bukan hanya keputusan sepihak. Oleh karena itu
informed consent mengandung dua unsur utama yaitu sukarela (voluntariness) dan memahami
(understanding). Kata memahami harus digarisbawahi dan ditekankan karena pemahaman suatu
informasi oleh tenaga medis belum tentu dipahami oleh pasien. Oleh karena itu bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan informasi haruslah bahasa yang benar benar dimengerti dan dipahami oleh pasien.
Penjelasan yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup diagnosis, tujuan tindakan,
prosedur tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Dalam garis besar informed consent terbagi menjadi dua yaitu informed consent yang dinyatakan
secara tersurat baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written) dan yang dinyatakan secara tersirat atau
yang dikenal dengan implied consent atau tacid consent, misalnya dalam keadaaan biasa dan dalam
keadaan gawat darurat.

Menurut Leenen, informasi dan persetujuan tindakan medis tidak selalu bersamaan. Pertama ada
pemberian persetujuan tanpa informasi contohnya dalam kasus gawat darurat. Dalam hal ini yang paling
utama adalah keselamatan pasien. Apabila harus menunggu keluarga ataupun kerabat pasien untuk
dilakukan informed consent terlebih dahulu, nyawa pasien bisa terancam karena waktu sangat berharga
pada kasus kegawatdaruratan. Oleh karena itu dalam hal ini persetujuan dianggap ada. Kedua pemberian
informed consent dilakukan secara benar. Pada hakikatnya kewajiban untuk memberikan informasi
kepada pasien lebih luas daripada hanya kewajiban mendapat persetujuan. Apabila berdasarkan
informasi tersebut telah didapatkan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis selanjutnya maka
tenaga medis masih harus tetap memberikan informasi kepada pasien tentang cara hidup selanjutnya dan

1|Komprehensif Klinik
FK UII

tindakan selanjutnya. Ketiga adalah kewajiban tenaga medis untuk memberikan informasi yang lebih
sedikit daripada yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan persetujuan, misalnya jika tenaga kesehatan
dengan alasan yang sah menahan informasi demi kepentingan pasien (Hendrik, 2013).

 Alur perjalanan informed consent:


1. Pasien memeriksakan diri ke tenaga medis atau tempat pelayanan kesehatan.
2. Pasien diperiksa yanag kemudian ditetapkan diagnosis dan tindakan medis selanjutnya.
3. Tenaga medis memberikan informasi tentang penyakit pasien. (Inform)
4. Pasien mempertimbangkan atas informasi yang didapat dari tenaga medis.
5. Jika pasien setuju, pasien mempunyai hak untuk menandatangani formulir persetujuan
tindakan medis. (Consent)
6. Jika pasien tidak setuju maka pasien berhak menandatangani formulir penolakan tindakan
medis. (Refusal)
 Fungsi informed consent:
1. Promosi dari hak otonomi perorangan.
2. Proteksi dari pasien dan subjek.
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan.
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri
sendiri.
5. Promosi dari keputusan yang rasional.
6. Keterlibatan masyarakat dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan
mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
 Hak pasien dalam informed consent:
1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak
dilakukan oleh tenaga medis terhadap dirinya.
2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya.
3. Hak untuk memilih alternatif lain.
4. Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan.
 Dasar hukum informed consent:
1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989
tentang persetujuan tindakan medik
2. Diperbarui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran

2|Komprehensif Klinik
FK UII

3. UU Kesehatan No.23 tahun1992 Pasal 53 ayat 2 yang menyatakan bahwa:

“Tenaga kesehatan melakukan tugasnya berkewajiban dengan untuk mematuhi standar


profesi dan menghormati hak pasien”.

4. Yurisprudensi Kasus No. 1 Schloendorf v. Society of New York Hospital, 1914

CONSENT TANPA INFORMASI

Consent tanpa informasi dapat diartikan sebagai meminta persetujuan kepada pasien ataupun
yang dapat mewakili terkait sebuah tindakan medis tanpa memberikan informasi sebelumnya. Consent
ini disebut juga implied consent atau izin tersirat. Dalam sumber lain disebut juga sebagai tacid consent
dan presumed consent. Consent ini dilakukan pada pada dua keadaan yaitu dalam keadaan biasa (normal
consent) dan dalam keadaan gawat darurat (constructive consent). Persetujuan ini menganggap bahwa
pasien setuju dengan tindakan medis yang akan dilakukan.

3|Komprehensif Klinik
FK UII

DILEMA ETIK

SEGI MEDIS

Consent tanpa informasi ini memiliki dua sudut pandang yang berbeda. Pertama consent tanpa
informasi yang dilakukan dianggap diperbolehkan karena sudah terkait dengan tindakan medis biasa atau
umum dan kondisi kegawatdaruratan. Sedangkan yang kedua dianggap tidak diperbolehkan karena
pasien berhak mendapatkan informasi tentang apa yang akan dilakukan kepadanya. Hal inilah yang
banyak menyebabkan sengketa medis antara tenaga medis dan pasien karena perbedaan persepsi terkait
tindakan medis yang diberikan (Guwandi, 2006).

Pertama, semua tindakan medis yang hendak dilakukan oleh dokter harus diinformasikan dan
dimintakan persetujuan pasien terlebih dahulu. Pada umumnya memang demikian, namun untuk
tindakan yang sudah umum dan biasa dilakukan secara rutin tidak usah dimintakan lagi. Hal ini
dipertimbangkan karena tindakan medis yang dilakukan tidak menimbulkan rasa sakit atau rasa sakit
hanya sedikit dan tidak menumbulkan akibat apapun. Pelayanan yang diberikan akan berlangsung lebih
cepat dan tidak membuang-buang waktu percuma. Misalnya pasien datang ke poliklinik untuk berobat
dan untuk mengetahui penyakitnya diperlukan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan pernapasan
dengan stetoskop atau pengambilan darah pasien yang datang ke laboratorium untuk pemeriksaan darah
atau air seni dan lain-lain. Dalam hal tersebut dianggap bahwa apa yang akan dilakukan sudah diketahui
secara umum (general knowledge), sehingga orang yang datang ke tempat tersebut dianggap sudah
mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan. Begitu juga dengan orang yang datang ke unit gawat
darurat dengan suatu luka. Dengan datangnya pasien itu sendiri tanpa disuruh, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ia memang sudah menyetujui atau sudah memberikan izin terhadap tindakan medis yang akan
dilakukan kepadanya, misalnya untuk menghentikan perdarahan, penjahitan luka dan sebagainya.

Pada kasus kegawatdaruratan memiliki pertimbangan yang lebih untuk dilakukannya implied
consent ini. Jika pasien berada dalam kondisi gawat darurat dan tidak sadar maka tidak mungkin dilakukan
informed consent terlebih dahulu. Karena keadaannya sudah sangat gawat dan tidak ada waktu lagi untuk
mencari atau menghubungi anggota keluarganya terlebih dahulu untuk dimintai persetujuan, dan dokter
harus segera mengambil tindakan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1992
pasal 11. Yang menjadi dasar pertimbangan dilakukannya tindakan medis semata-mata hanya untuk
menolong jiwa pasien. Menyelamatkan jiwa pasien lebih tinggi kepentingannya daripada masalah

4|Komprehensif Klinik
FK UII

informed consent. Menurut kewajaran, seseorang tidak akan menolak jika ada yang hendak
menyelamatkan jiwanya. Maka dalam kasus semacam ini, pasien dianggap memberikan izinnya.

Consent seperti ini boleh dilakukan tetapi dengan memperhatikan batasannya. Dalam hal ini
tindakan boleh dilakukan tetapi tidak memberi kebebasan secara penuh kepada tenaga medis untuk
melakukan hal diluar batas “life saving”. Tindakan yang boleh dilakukan semata-mata hanyalah yang
bersifat menyelamatkan jiwa, tidak boleh melakukan tindakan lain yang secara langsung tidak ada
hubungannya dengan tindakan penyelamatan. Misalnya seorang ginekolog sewaktu melakukan operasi
caesar mendapatkan tuba fallopii yang meradang. Dokter menganggap bahwa jika tidak dilakukan
penganggkatan terhadap tuba fallopii pasien akan membahayakan kondisi pasien saat akan melahirkan
lagi. Maka dokter tidak boleh melakukan histerektomi bersamaan dengan dilakukannya tindakan Caesar.
Dokter tetap harus meminta izin pasien untuk dilakukannya tindakan histerektomi. Tidak boleh sekaligus
dilakukan jika bukan penyelamatan jiwa, walaupun atas pertimbangan demi kebaikan pasien itu sendiri.

Apabila pasien masih dalam keadaan sadar tetapi dalam kondisi gawat darurat dan tidak ada
waktu untuk memberikan informasi dan meminta persetujuan terlebih dahulu dokter harus segera
bertindak tanpa ragu-ragu. Atau hanya meminta izin kepada pasien terlebih dahulu karena waktu sangat
berharga untuk menyelamatkan jiwa pasien tersebut. Misalnya ada pasien digigit ular berbisa dan
racunnya sudah masuk ketubuh pasien sehingga harus segera dikeluarkan atau dinetralisasi dengan anti
bisa ular. Tidak boleh membuang waktu lagi untuk menjelaskan terlebih dahulu apa yang hendak
dilakukan, karena bisa terlambat.

Terdapat beberapa syarat untuk dilakukannya suatu tindakan medis invasif tanpa memerlukan
informed dan consent pasien:

a. Orang yang terluka dimana orang tersebut dalam keadaan tidak sadar atau tidak bisa
memberikan izin yang sah.
b. Situasinya sangat gawat sehingga harus segera diambil tindakan nyata dan tidak ada lagi
waktu untuk menginformasikan kepada pasien ataupun meminta persetujuannya.
c. Mencegah kematian, kehilangan anggota tubuh dan kecacatan kesehatan yang serius kecuali
jika dilakukan tindakan operasi.

5|Komprehensif Klinik
FK UII

Kedua, implied consent dianggap tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan prinsip
informed consent yang mana pasien harus diinformasikan mengenai semua tindakan yang akan diberikan.
Argumentasi ini mengatakan bahwa hal ini akan melanggar otonomi seseorang dan bertentangan dengan
hak asasi manusia.

Implied consent mempunyai beberapa kelemahan antara lain tidak samanya persepsi atau
pandangan antara dokter dengan pasien. Hal ini dikenal dengan sengketa medik, yang mana terjadi jarak
informasi (information gap) antara dokter dan pasien yang menyebabkan perbedaan pendapat. Sudah
banyak kasus yang terjadi karena dokter tidak melakukan informed consent, maupun hanya sekedar
consent. Misalnya pada kasus dr Ayu dan kawan-kawan. Pada tahun 2013 terjadi kasus kematian seorang
ibu yang melahirkan anaknya di rumah sakit. Sang ibu meninggal sedangkan bayinya bisa diselamatkan.
Proses persalinan tersebut ditangani oleh dr Ayu dkk. Keluarga pasien tidak terima terhadap perlakuan
yang diberikan dr ayu dkk kepada korban. Akhirnya keluarga pasien menuntut dr Ayu dkk ke pengadilan.
Terdapat beberapa tuntutan yang diberikan kepada dr Ayu dkk, salah satunya adalah hanya meminta
untuk menandatangani sebuah formulir dan tidak tahu apa tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Hal
tersebut termasuk kedalam consent tanpa informasi. Berhubung kondisi pasien saat itu sedang gawat
darurat, maka pemberian informasi tidak dilakukan secara mendetail. Berarti hal tersebut masuk dalam
implied consent kondisi emergency, yang mana prioritas utama adalah live saving. Akan tetapi terjadi
perbedaan pandangan antara dr Ayu dan keluarga korban. Hal seperti inilah yang menjadi pokok
pembahasan dan belum memiliki inti penyelesaian secara jelas.

SEGI SOSIO-EKONOMI

Jika ditinjau dari segi sosial ekonomi, implied consent memiliki manfaat dan memiliki kerugian.
Manfaatnya adalah jika dilakukan dalam kondisi sehari-hari, untuk penanganan medis umum dan biasa,
maka akan menghemat waktu dan pasienpun sudah mengerti apa yang akan dilakukan kepadanya. Hal ini
juga bisa menghemat biaya karena mempercepat proses pengerjaan tindakan kepada pasien. Sedangkan
kerugiannya adalah jika pasien belum sepenuhnya mengetahui tindakan yang akan diberikan dan terjadi
suatu hal yang tidak diinginkan, maka pasien bisa menuntut dokter karena tidak memberikan informasi
terlebih dulu. Otomatis jika hal tersebut terjadi maka akan berdampak juga tehadap segi ekonomi.

6|Komprehensif Klinik
FK UII

SEGI ISLAM

Dalam islam sudah dikatakan bahwa setiap umatnya harus tolong menolong dalam kebaikan.
Allah SWT sudah banyak mencantumkannya dalam alquran. Seperti dalam surat Al-Maidah ayat 2
“hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan”. dan juga dalam surat An-Nahl ayat 90
“Sesungguhnya Allah SWT telah menuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Dalam surat tersebut memerintahkan
kepada kita supaya kita berlaku adil kepada semua manusia terutama kepada pasien. Jadi memberikan
informasi sebelum melakukan tindakan hukumnya adalah wajib. Tetapi Allah juga berfirman dalam
Alquran bahwa karena sesuatu yang bersifat gawat darurat maka sesuatu yang dilarang diperbolehkan
dalam islam. Dalam hal ini consent tanpa informasi diperbolehkan apabila dalam kondisi gawat darurat.
Tetapi belum ada surat maupun hadist yang benar benar mengatur tentang consent tanpa informasi ini.

PENYELESAIAN DILEMA ETIK

Consent tanpa informasi sebenarnya boleh dilakukan oleh dokter apabila memang memenuhi
syarat yang ditentukan. Syarat dilakukannya consent ini seperti yang sudah dijelaskan diatas yaitu pada
kondisi medis yang biasa atau umum dan kondisi kegawatdaruratan. Apabila tidak memenuhi syarat yang
sudah ditentukan otomatis dokter yang bertugas dapat dikenai sanksi. Sebenarnya untuk tindakan medis
biasa tetap dapat dilakukan informed consent untuk menghindari hal buruk yang terjadi tetapi untuk lebih
megefektifkan waktu untuk pelayanan pasien, hal ini tidak dilakukan. Tetapi menurut saya informed
consent tetap harus dilakukan walau hanya sedikit untuk menjelaskan kepada pasien dan supaya
terhindar dari masalah yang mungkin timbul. Masyarakat zaman sekarang berbeda dengan masyarakat
zaman dulu. Masyarakat sekarang sudah sangat terbuka mengenai dunia informasi, sehingga apabila ada
dokter yang melakukan sedikit saja kesalahan atau hal yang membuat pasien bingung, dokter dapat
dilaporkan oleh pasien. Oleh karena itu sebisa mungkin, walaupun hanya sedikit tetap harus dilakukan
pemberian informasi kepada pasien.

Pada kasus kegawatdaruratan, prioritas utama adalah keselamatan pasien. Selamatkan dulu
nyawa pasien. Jadi untuk kasus ini saya setuju apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan informed
atau informed consent maka keselamatan pasien adalah yang pertama. Satu detik adalah sangat
berharga. Dan jikalau memang nyawa pasien tidak dapat diselamatkan atau timbul komplikasi dan risiko
medis lain pada pasien dan keluarga pasien menuntut dokter ke pengadilan, maka dokter mempunyai

7|Komprehensif Klinik
FK UII

pembelaan karena kondisi pasien saat itu sedang gawat darurat dan apabila dilakukan informed consent
terlebih dahulu, risiko kematian pasien menjadi lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan jika memang
kondisinya sangat mendesak. Jika kondisinya mendesak tetapi masih ada anggota dokter lain yang tidak
sedang menangani pasien, maka tugas informed consent dilakukan oleh dokter yang senggang ini. Untuk
kasus kegawatdaruratan memang menjadi suatu kasus yang khusus. Sudah dijelaskan dalam ilmu hukum
bahwa informed consent termasuk dalam bidang hukum kedokteran. Sebagai cabang dari ilmu hukum
maka hukum kedokteranpun harus mengikuti sistematika dari ilmu hukum secara umum. Dalam ilmu
hukum dikenal tiga macam sanksi yaitu:

1. Sanksi administratif
Sanksi administratif disinggung dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 pasal 13
yang berbunyi ”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa adanya
persetujuan dari pasien ataupun keluarganya dapat dikenakan sanksi admministratif
berupa pencabutan surat izin prakteknya”. Belum ada penjelasan mengenai berapa lama
jangka waktu pencabutan surat izin praktek tersebut. Sanksi administratif ini tentunya
tidak berlaku dalam pemberian pertolongan gawat darurat seperti yang tercantum dalam
pasal 11.
2. Sanksi perdata (ganti rugi)
Sanksi perdata dapat dilihat dalam KUH Perdata. Bentuk sansi perdata disini
adalah bentuk kerugian atas cacat atau luka yang ditimbulkan karena kelalaian. Ganti rugi
mulai dari biaya pengobatan rumah sakit, rujukan dan biaya lain. Hal ini diatur dalam KUH
Perdata pasal 1365 yang mengatur tentang tindakan yang melanggar hukum. Tindakan
yang tidak menyebabkan kerugian tidak menyebabkan adanya sanksi perdata.
3. Sanksi pidana (hukum badan)
Sanksi pidana tentang informed consent diatur dalam UU Kesehatan dalam
beberapa pasal. Jika sampai terdapat kelalaian, maka dapat dipergunakan KUH Pidana
pasal 369 dan 361 yang menurut ketentuan yaitu tindakan kelalaian yang mengakibatkan
luka badan atau kematian. Tindakan gawat darurat dimana tidak dilakukan informed
consent dapat dikhususkan dalam pemberian sanksi pidana.

8|Komprehensif Klinik
FK UII

KESIMPULAN

Informed consent adalah suatu hal yang wajib dikerjakan oleh semua tenaga medis sebelum
mengerjakan suatu tindakan. Namun ada beberapa syarat yang dapat menggugurkan dilakukannya
informed consent atau hanya dilakukan consent saja. Hal itu adalah kondisi kegawatdaruratan. Untuk
kasus kegawatdaruratan mendapat perhatian khusus karena prioritas utama adalah adalah keselamatan
pasien. Apabila terdapat kesimpangsiuran diakhir dari tindakan dokter tidak dapat disalahkan karena
dalam sudah diatur dalam Permenkes, UU, KUHP dan KUHPer tentang pengecualian informed consent
dalam kondisi gawat darurat. Sedangkan untuk tindakan medis sehari-hari yang sudah umum dan biasa,
sebisa mungkin tetap dilakukan pemberian informasi dalam informed consent. Hal ini memang akan
memperpanjang waktu pelayanan pasien tetapi akan meminimalisir risiko terjadinya sengketa medis.
Selain diluar dari syarat yang ditentukan maka dokter TIDAK BOLEH melakukan consent tanpa
informasi dan dapat dikenai sanksi.

9|Komprehensif Klinik
FK UII

DAFTAR PUSTAKA

Textbook

Amir, A. 2013. ETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM KESEHATAN. Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Guwandi, J. 2004. INFORMED CONSENT. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Guwandi, J. 2006. INFORMED CONSENT DAN CONSENT REFUSAL 4th EDITION. Balai Penerbit FK UI : Jakarta

Hariyani, S. 2005. SENGKETA MEDIK, ALTERNETIF PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA DOKTER DENGAN
PASIEN. Diadit Media : Jakarta

Hendrik. 2013. ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN. Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Jacobalis, S. 2005. PERKEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN, ETIKA MEDIS DAN BIOETIKA. Sagung Seto :
Jakarta

Syahrul, M. 2008. PENEGAKAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN BAGI DOKTER TANG DIDUGA MELAKUKAN
MEDICAL MALPRAKTIK. Mandar Maju : Bandung

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989 tentang


persetujuan tindakan medik

Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran

UU Kesehatan No. 23 tahun1992 Pasal 53 ayat 2

Yurisprudensi Kasus No. 1 Schloendorf v. Society of New York Hospital, 1914

Al-Quran

Surat Al-Maidah ayat 2 “hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan”

Surat An-Nahl ayat 90 “Sesungguhnya Allah SWT telah menuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat dan Allah elarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”

10 | K o m p r e h e n s i f K l i n i k

Anda mungkin juga menyukai