Anda di halaman 1dari 12

INFORMED CONSENT SEBAGAI DASAR BERTINDAK DOKTER DALAM MEMBERIKAN

PELAYANAN KESEHATAN

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu

Informed: telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan

Consent : persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu

Dengan demikian pengertian bebas dari informed Consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu (tindakan medic) setelah mendapatkan
penjelasan atau informasi.

Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) :

informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi
mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Sehingga Informed Consent adalah sebuah proses, bukan hanya sekedar mendapatkan
tandatangan (lembar formulir persetujuan atas tindakan medik) oleh pasien atau keluarganya
tetapi adalah sebuah proses komunikasi yang efektif antara dokter (sebagai pemberi
pelayanan) dan pasien (sebagai penerima pelayanan kesehatan) untuk mencapai sebuah
kesamaan persepsi tetang dapat tidaknya dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan
medis terhadap pasien lalu dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak. Jika ternyata setelah proses komunikasi pasien menolak maka dokter
wajib untuk menghargai keputusan tersebut dan meminta pasien untuk menandatangani surat
pernyataan menolak tindakan medik .

Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak,
melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien,
keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan
tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]

Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada
pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
yang menegaskan sebagai berikut :

(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan
penjelasan lengkap

(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis

b. Tujuan tindakan medis dilakukan

c. Alternatif tindakan lain dan resikonya

d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi pasien
untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus
mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan
berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun
perawatan yang akan di terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent
merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus
dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya .

Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi antara dokter
dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah bahasa komunikasi yang
digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa atau istilah-istilah yang sulit
dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan terjadinya mispersepsi yang akan membuat
gagalnya persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut ,
Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :

a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis

b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan

c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan

d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.

e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan

Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata pasien
gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari bahwa upaya
memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus tetap memberikan ruang
yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan
medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan
yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau
meringankan sakit pasien.

Tiga elemen Informed consent [3]


1. THRESHOLD ELEMENTS

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan
yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan
membuat keputusan menjadi terganggu.

2. INFORMATION ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan)


dan understanding(pemahaman).

Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan


bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-
nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. CONSENT ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
danauthorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga
harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di


kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.

Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa
pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati
apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang
tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent.


Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat
menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap cakap
menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien
melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap
kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat
tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 %
yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif
yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat
diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh
mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik
spesialis.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya jawab.

o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.


Keluhan dokter tentang informed consent

o Pasien tidak mau diberitahu.

o Pasien tak mampu memahami.

o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

ABSTRAK

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah
memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter
terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif. Di Indonesia perkembangan informed
consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada
tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Isi dari informed berkaitan dengan
penyakit pasien, mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternatif terapi.

Kata kunci: informed consent, hukum, kedokteran

PENGANTAR

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta


Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan
Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang
perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu, sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum
informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format
informed consent yang sah secara hukum.

TINJAUAN PUSTAKA

DASAR HUKUM INFORMED CONSENT


Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak
mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada
kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak
pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk
melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB.
IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir
sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis
yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan
medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada
persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989,
yang berbunyi semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam
PermenkesNo.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu
Permenkes No.585 Tahun 1989.

BENTUK INFORMED CONSENT


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

DISKUSI
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan
Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang
perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed
consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan
pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan
informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan
ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan
dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari
kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien
sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang
akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga
diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Apa yang disampaikan: segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien.

Tindakan apa yang dilakukan: prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostic
maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan
alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga
akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

KESIMPULAN

Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan


munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun

[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005

[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang hal 37

[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005

Anda mungkin juga menyukai