Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dekstrometorfan telah disetujui oleh US Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 1958 sebagai obat antitusif yang dapat
diperoleh secara bebas (Over The Counter) baik dalam bentuk cairan
maupun tablet.1,2 Romilar merupakan sediaan tablet pertama dan ditarik dari
perdagangan

dikarenakan

penyalahgunaan.

Sediaan

dekstrometorfan

kemudian diganti menjadi sediaan sirup dan gel tabs serta rasanya dibuat
menjadi tidak enak untuk menurunkan angka kejadian penyalahgunaan.3
Keracunan Dekstrometorfan dapat disebabkan karena tertelannya
obat dengan dosis tunggal yang besar atau penggunaan dosis supraterapeutik
yang kronis. Dekstrometorfan dapat juga digunakan sebagai subtansi
penyalahgunaan atau usaha untuk bunuh diri. Berdasarkan data dari Drug
Abuse Warning Network of US Emergency Departments tahun 2004, sekitar
12.584 orang datang ke unit gawat darurat dikarenakan masalah yang
berhubungan dengan Dekstrometorfan; yang terdiri dari 44,3% berhubungan
dengan penyalahgunaan; 30,3% efek samping dari penggunaan dosis
terapeutik; 14,1% sebagai usaha bunuh diri; dan 11,3% ketidaksengajaan.1
Penyalahgunaan Dekstrometorfan telah diketahui dalam beberapa
tahun ini, dan terdapat peningkatan insiden penggunaan oleh para remaja.
Berdasarkan laporan pada

California Poison Control System selama 6

tahun; dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 serta data dari American
Association of Poison Control Centers (APCC) dan Drug Abuse Warning
Network,

terdapat

1.382

orang

yang

mengalami

penyalahgunaan

Dekstrometorfan. Telah terjadi peningkatan 10 kali dari jumlah 48 orang


dari tahun 1999 menjadi 478 orang di tahun 2004, setiap tahunnya
meningkat lebih dari 50%. Rentang usia terbanyak yang dilaporkan adalah
usia 9-17 tahun dan juga mengalami peningkatan dari 47,9% di tahun 1999
1

menjadi 78,5% di tahun 2004. Produk yang tersering digunakan adalah


Coricidin HBP Cough and Cold (68,5%). Dari 1382 orang tersebut, 52,8 %
mengalami efek minor, 41,8% efek moderate dan sisanya efek mayor.2 Pada
tahun 2005, FDA melaporkan kematian lima orang remaja yang berkaitan
dengan penggunaan Dekstrometorfan. Berdasarkan survei dari Universitas
Michigan

tahun

2006,

proporsi

murid

yang

menyalahgunakan

dekstrometorfan adalah 4% pada kelas 8; 5% kelas 10; dan 7% pada kelas


12.

3,4

APCC menyatakan bahwa terdapat 52.991 kasus yang berkaitan

dengan dekstrometorfan tahun 2008.5


Obat yang dijual bebas sering diasumsikan aman oleh pasien
dibandingkan dengan obat yang harus dibeli dengan resep dokter. Persepsi
ini menyebabkan obat yang dijual bebas menjadi substansi penyalahgunaan
yang menarik.3 Ketersediaan dan harga yang terjangkau serta semakin
majunya teknologi, khususnya internet yang mendeskripsikan adanya efek
halusinasi dan euforia setelah mengkonsumsi obat dosis tinggi, membuat
para remaja rentan menggunakan Dekstrometorfan dan menganggap
penyalahgunaan Dekstrometorfan lebih diterima secara sosial dan aman
dibandingkan dengan substansi lainnya.

2,3,6

Hal ini didukung oleh data dari

Word Drug Report 2009 oleh United Nations Office on Drugs and Crime,
bahwa terdapat distribusi baru untuk obat-obatan yaitu melalui internet dan
peningkatan penyalahgunaan dari obat-obatan yang mempunyai efek
psikoaktif pada remaja (zat yang dapat mengubah kesadaran, mood dan
pemikiran).6,7,8 Faktor sosial tersebut, ditambah dengan intensitas efek obat
dapat menyebabkan emerging epidemiologi menjadi lebih luas, sehingga
diharapkan para klinisi dapat memahami kriteria ketergantungan, serta para
ahli forensik dapat memahami tanda, gejala toksisitas, dan prinsip
tatalaksana yang efektif baik secara farmakologis maupun perilaku.6,8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
2

1. Bagaimana tatalaksana pasien dengan intoksikasi Dekstrometorfan?


2. Apa yang dapat ditemukan pada pemeriksaan forensik pada pasien
dengan intoksikasi Dekstrometorfan serta pemeriksaan penunjangnya?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Menambah

pengetahuan

mengenai

intoksikasi

Dekstrometorfan dengan kaitannya pada pemeriksaan forensik.


1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui

farmakodinamik

dan

farmakokinetik

Dekstrometorfan.
Mengetahui patofisiologi intoksikasi Dekstrometorfan.
Mengetahui

tanda-tanda

korban

dengan

intoksikasi

Dekstrometorfan pada pemeriksaan forensik.


Mengetahui cara tatalaksana intoksikasi Dekstrometorfan.
1.4. Manfaat Penulisan
Memperkaya
pengetahuan

khususnya

mengenai

intoksikasi

Dekstrometorfan.
Dapat menjadi sumber informasi dan landasan teori bagi tulisan-tulisan
ilmiah selanjutnya mengenai intoksikasi Dekstrometorfan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

TOKSIKOLOGI UMUM

2.1.1 Definisi Toksikologi


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta
khasiat racun, gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan
yang didapatkan pada korban yang meninggal.9
Racun

ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan

fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan


atau mengakibatkan kematian.9,10 Dalam pengertian lainnya, racun adalah
substansi kimia yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksik
bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya
dengan kekuatan daya kimianya akan menimbulkan efek yang besar yang
dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.9
2.1.2 Klasifikasi Racun
Racun dapat digolongkan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Pestisida
Bahan Industri
Bahan untuk rumah tangga
Bahan obat-obatan
Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah

didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:


1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian dan
perkebunan. Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran/pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan,
dsb.
4

4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri/laboratorium.


Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.
2.1.3 Mekanisme kerja racun
a. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
Racun bersifat iritan: arsen dan HgCl2.
Racun bersifat anastetik: kokain dan asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan
menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan,
bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya
tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang
terjadi pada saluran pencernaan.
b. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini
biasanya memiliki akibat/afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh
yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh
lainnya.
Misalnya:
Narkotik, barbiturate dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan
syaraf pusat.
Digitalis dan asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
CO dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim
pernafasan.
Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.
Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus
terutama berpengaruh terhadap hati.
c. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum

Misalnya:
o Asam oksalat
o Asam karbol
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan
depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini
dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap
dan berpengaruh terhadap otak.9
o Arsen
o Garam Pb
2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Keracunan. 9
a. Cara masuk
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada
tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang
berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke
dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh
secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya
walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling
cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara
injeksi (i.v, i.m dan s.c), absorbsi melalui mukosa dan yang paling lambat
jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
b. Keadaan tubuh
Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun
bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis
racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih
tahan.
Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal,
biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang
sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum
6

mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orangorang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang
menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau
penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada
umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa
kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita
tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena
penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus
keracunan

arsen

(tipe

gastrointestinal)

dimana

disini

gejala

keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang sering


dijumpai.
Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena
terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak
selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya
pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak
menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi
kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan
preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian,
karena si korban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut.
Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan,
kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar
disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah
pemberian

preparat-preparat

mempunyai

indikasi. Ada tidaknya

indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat7

ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat


tersebut.
Racunnya sendiri
Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya
akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan
adanya faktor toleransi dan intoleransi individual. Pada intoleransi,
gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke
dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi
tersebut dapat bersifat bawaan/kongenital atau intoleransi yang
didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan
gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan
ekskresi.
Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal
misalnya

zat-zat

korosif,

konsentrasi

lebih

penting

bila

dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan


racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah
yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan oleh racun tersebut.
Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan
efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang
yang menelan racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan
lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan orang yang
menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol,
morfin atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis
barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi
hukum

kedokteran

kehakiman,

kemungkinan-kemungkinan
8

terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika


menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah
sekali dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya
racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun
yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa
kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal
atau karena adanya intoleransi.
Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu
tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan
secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.
Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih
dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh
karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain.
Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk
pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk
mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi
pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.
2.1.5 Kriteria diagnosis kasus keracunan
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat
yang diduga.

3. Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus
tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang
mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan. Bedah mayat (otopsi) mutlak
harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk menentukan
jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan
kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih
penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana
pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau
metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada
organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban. Kita selamanya
tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu
adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara
analisa

kimia,

kemungkinan-kemungkinan

seperti

tertukar

atau

disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan semua racun


kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
6. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan
tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan
dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis
letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja
racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik,
diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
10

Dari keenam kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian


pada kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria kelima
dan keenam merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.
2.1.6 Analitikal Toksikologi
Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang
berfungsi untuk:
a. Analisa tentang adanya racun.
b. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
c. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
d. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.
e. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,
narkotika, ganja, dan lain sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan
jumlah zat yang bukan merupakan komponen normal dalam material
biologis yang didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong
menentukan sebab kematian. Kadang-kadang material didapatkan dari
pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut, potongan kuku atau
jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam menentukan
kasus-kasus yang diduga keracunan.
Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan
dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan
memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna.
Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda
terhadap racun-racun tertentu, misalnya:
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racunracun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah
menguap.
Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan
keracunan logam berat yang akut.
11

Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat
organik non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan
morfin.
Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam
darah atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam
lambung saja maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut.
Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah
merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa
darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi.
Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung
sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.
A. Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap
pada waktu autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian
kubur untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan
analisis toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah
diawetkan.
Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari
sebelah kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah
tepi sebanyak 30-50 ml, diambila dari vena iliaka komunis bukan darah
dari vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan
yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang
pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam
kandung kemih untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung
beserta isinya. Usus beserta isinya berguna terutama bila kematian
terjadi dalam waktu beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat

12

diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tidak
hancur oleh lambung.
Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan
patologi anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun
sangat kecil, hanya beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh
sangat rendah dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus
banyak, serta hati merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan
intoksikasi logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus
dimana secara histologik ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada
otak, jaringan lipoid dalam otak mampu menahan racun. Misalnya
CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian
tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan.
Untuk menghidari cairan empedu mengalir ke hati dan mengacaukan
pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan dibuka.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain
dengan cara yang telah disebutkan, adalah: 11
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)
B. Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi11
Idealnya terdiri dari 9 wadah dikarenakan masing-masing bahan
pemeriksaan diletakkan secara tersendiri, yaitu :

2 buah peles a 2 liter untuk hati dan usus


3 peles a 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal
4 botol a 25 ml untuk darah (2 buah), urin dan empedu
Wadah harus dibersihkan dahulu dengan mencucinya memakai asam

kromat hangat dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan.


Bahan Pengawet
Yang terbaik adalah tanpa bahan pengawet, bila terpaksa dapat
digunakan bahan pengawet:

13

Alkohol absolut
Larutan garam dapur jenuh
Larutan NaF 1 %
Larutan NaF + Na sitrat
Na benzoat + fenil merkuri nitrat
Volume pengawet sebaiknya dua kali volume bahan pemeriksaan
2.2 DEKSTROMETORFAN
2.2.1 Struktur Kimia
Dekstrometorfan merupakan senyawa dari methylether dextrorotary
enantiomer dari methyl ether, levorphanol, suatu senyawa analgesic opioid
yang

tingkat

penyalahgunaannya

dextromethorphan

adalah

cukup

tinggi.

Penamaan

untuk

(+)-3-methoxy-17-methyl-9,13,14-

morphinan.12,13

Gambar 1. Struktur kimia dekstrometorfan

2.2.2 Sifat fisiko-kimia


Serbuk berbentuk kristal berwarna putih atau kekuningan, tidak
berbau. Tidak larut dalam air, larut dalam kloroform. Disimpan dalam
wadah tertutup rapat.14
2.2.3 Indikasi

14

Penggunaan utama dari dekstrometorfan adalah sebagai obat batuk,


untuk menghilangkan batuk yang disebabkan oleh iritasi tenggorokan ringan
dan bronkial (sebagaimana biasanya menyertai flu), serta penyebab lainnya
seperti iritasi saluran pernafasan. Penggunaan lainnya yaitu sebuah
kombinasi dekstrometorfan dengan kuinidin telah terbukti mengurangi
gejala mudah tertawa dan menangis (pengaruh pseudobulbar) pada pasien
dengan amiotrofik lateral sklerosis dan multiple sklerosis.14
Tabel 1. Dosis terapi anjuran dan dosis maksimal dekstrometorfan15
Nama obat

umur 2-6 tahun

umur

6-12 umur >12 tahun

tahun
Dekstrometorfan
HBr

3,5mg tiap 4 jam atau 7,5 mg tiap 4 30 mg tiap 6-8

sirup 7,5 mg tiap 6 -8 jam jam atau 15 jam (120 mg/hari)

(Benylin,

(30 mg/hari)

Robitussin,

Vicks

jam

44, Pertussin CS)


Dekstrometorfan
HBr

mg tiap 6-8
(60

mg/hari)
5 mg tiap 4 jam (30 5-15 mg tiap 5-15 mg tiap 2-4

lozenges mg/hari)

(Trocal)

2-6 jam (60 jam (90 mg/hari)


mg/hari)

Dekstrometorfan

15 mg tiap 12 jam (30 30 mg tiap 2-6 60 mg tiap 12 jam

polistirex (Delsym) mg/hari)

jam

(60 (120 mg/hari)

mg/hari)
2.2.4 Farmakokinetik
a. Absorbsi
Pada penggunaan secara oral, dekstrometorfan diabsorbsi secara
cepat pada traktus gastrointestinal dan mengalami metabolisme dalam
waktu sampai 1 jam. Dalam waktu 2,5 jam, kadar konsentrasi dalam
plasma mencapai puncak.12,16 DMP cepat diserap melalui usus, kemudian

15

masuk ke aliran darah dan menembus sawar darah otak. Pertama kali
DMP akan melewati vena porta hepatica, sebagian obat akan diubah
menjadi bentuk metabolit aktif, dekstrofan, 3-hidroksi dekstrometorfan.
Aktivitas terapeutik dari DMP berasal dari obat ini dan metabolitnya.
b. Metabolisme
Di dalam hepar, dekstrometorfan mengalami proses demethylasi
oleh enzim CYP2D6 dan sitokrom P450 menjadi D-methoxymorphinan,
D-hydroxymorphinan dan dexthrorphan.12,16 CYP2D6 berperan penting
dalam metabolisme DMP menjadi bentuk inaktif. Sebagian populasi
mengalami defisiensi enzim CYP2D6 sehingga metabolisme obat
tersebut terganggu sehingga durasi dan efek obat tersebut mengalami
peningkatan tiga kali lipat.
Dari ketiga hasil proses demethylasi, dexthrorphan merupakan
metabolit senyawa antitusif yang paling banyak dihasilkan, sedangkan
dari seluruh dosis dekstrometorfan, hanya 15% saja yang diubah menjadi
metabolit

minor,

yaitu

D-methoxymorphinan

dan

D-

hydroxymorphinan.12,16
c. Ekskresi
Dektrometorfan terutama diekskresikan melalui urine. Hasil
ekskresi dekstrometorfan tergantung pada metabolism di hepar, sampai
11% dapat diekskresikan dalam bentuk tidak berubah dan sampai 100%
dapat

diekskresikan

dalam

bentuk

senyawa

morphin

yang

terkonjugasi.12,13,16
2.2.5 Farmakodinamik
Pada dosis terapeutik, dekstrometorfan dapat berperan secara sentral
(artinya bekerja pada otak) bukan secara lokal (pada traktus respiratorius).
Obat ini bekerja meningkatkan ambang batas batuk, tanpa menghambat
aktivitas silia. Obat ini cepat diserap melalui saluran cerna dan
dimetabolisme 15 sampai 60 menit setelah konsumsi, dipengaruhi juga oleh
16

usia. Dosis lazimnya 15-60mg, bergantung pada umur. Durasi kerja obat 3-8
jam

untuk

Dekstrometorfan

dekstrometorfan polistirex.17

hidrobromida

dan

10-12

jam

untuk

Kadar puncak pada serum dicapai dalam

waktu 2-3 jam dan waktu paruhnya 3 jam.15


Dekstrometorfan dapat melalui sawar darah otak dan menimbulkan
beberapa efek seperti: antagonis reseptor NMDA, agonis reseptor 1 dan
2, antagonis reseptor nikotinik, serotonin reuptake inhibitor dan dopamine
reuptake inhibitor.17
Efek psikologis dekstrometorfan bisa disebabkan oleh dekstrofan
(DXO),.

Sama

seperti

semua

antagonis

NMDA,

dekstrofan

dan

dekstrometorfan menghambat neurotransmiter (khususnya glutamat) di otak.


Hal ini mengakibatkan melambatnya atau bahkan mematikan jalur saraf
tertentu sehingga menyebabkan gangguan psikologis. Efek euforia sering
dikaitkan dengan peningkatan kadar dopamin, seperti efek yang ditimbulkan
oleh obat antidepresan.18

2.2.5 Patofisiologi Intoksikasi

1. Efek sistem saraf pusat


a) Analgesi
Efek analgetik dekstrometorfan berdasarkan pada cara
kerjanya sebagai antagonis reseptor NMDA. Ikatan obat-obat
antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan perubahan pada
kalsium channel (Ca-channel). Perubahan pada kalsium channel (Cachannel) ini akan menyebabkan aktivitas neuron yang dirangsang oleh
NMDA, jika itu menetap akan diikuti dengan peningkatan intensitas
stimulus nosiseptik primer, misalnya fenomena wind-up dan
17

pencetusan

dari

nyeri

sekunder.

Dekstrometorfan

memiliki

kemampuan mengurangi influks ion Ca2+ melalui channel reseptor


NMDA dan mengatur channel voltase Ca yang pada keadaan normal
diatur oleh konsentrasi K+ ekstrasel yang tinggi. Eksitabilitas neuron
di kornu dorsalis medulla spinalis menurun karena berkurangnya
influks

ion

Ca2+,

sehingga

sensitisasi

menurun

dan

terjadi

pengurangan nyeri.19
b) Euforia
Respons afektif yang paling umum adalah euforia. Tetapi ada
juga yang dapat mengalami disforia.19
c) Sedasi
Terdapat sedikit amnesia atau tidak sama sekali.19
d) Depresi napas
Menghambat mekanisme pernapasan batang otak. PCO2
alveoler akan meningkat. Depresi napas ini tergantung pada dosis dan
dipengaruhi oleh tingkat masukan sensorik yang yang terjadi pada saat
itu.19
e) Penekan batuk
Dapat menekan

reflek

batuk,serta dapat

menyebabkan

akumulasi sekresi dan menghambat jalannya udara dan atelektasis.19


f) Miosis
Akan tampak kontraksi pupil.19
g) Mual dan Muntah
2. Efek-efek Perifer
a) Saluran cerna
Konstipasi (sembelit) sudah lama dikenal sebagai efek suatu
opioid. Reseptor opioid tetap dalam densitas tinggi pada saluran cerna
dan efek konstipasi opioid dimediasi melalui sebuah kerja pada saraf
enterik setempat dan juga sistem saraf pusat.19
b) Saluran bilier

18

Dapat menyebabkan kontraksi otot empedu, yang dapat


mengakibatkan nyeri empedu (kolik bilier). Spingter Oddy mungkin
mengalami kontraksi mengakibatkan kembalinya aliran bilier dan
sekresi pankreas dan menaikkan amilase dan lipase plasma.19
c) Saluran genitourinaria
Fungsi ginjal didepresi oleh golongan opioid. Dipercaya bahwa
di dalam tubuh manusia hal ini dihubungkan dengan menurunnya
aliran plasma ginjal. Opioid dapat menurunkan tekanan darah sistemik
dan laju filtrasi glomeruler (GFR, glomerular filtration rate. Opioid
juga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus ginjal.19
2.3

GEJALA DAN PENANGANAN INTOKSIKASI


Pada dosis besar, efek farmakologi DMP menyerupai PCP atau
ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA. DMP sering
disalahgunakan karena pada dosis besar ia menyebabkan efek euforia dan
halusinasi penglihatan maupun pendengaran. Intoksikasi atau overdosis
DMP dapat menyebabkan hipereksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara
kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan
bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat
menyebabkan kematian.
Penyalahgunaan DMP menggambarkan adanya 4 plateau yang
tergantung dosis, seperti berikut:17
1. Tahap 1/first plateau (1,5-2,5 mg/kg)
peningkatan kewaspadaan
restlessness
sensitisasi visual dan auditorik
euphoria
2. Tahap 2/second plateau (2,5-7,5 mg/kg)
halusinasi
energi bertambah dan eksitabel
sensasi auditorik dan visual makin meningkat
3. Tahap 3/third plateau (7,5-15 mg/kg)
gangguan visual dan auditorik
penurunan kesadaran
19

waktu reaksinya dan respon melambat


gangguan kognitif
mania/panik
4. Tahap 4/fourth plateau (>15 mg/kg)
asosiasi terganggu
halusinasi
ataksia
Pada penyalahgunaan

DMP jangka panjang dapat menimbulkan

toleransi, ketergantungan, dan gejala putus zat seperti muntah, berkeringat


di malah hari, mialgia, diare, dan gelisah. DMP juga dapat menimbulkan
gejala sindrom serotonin, berupa instabilitas otonom, perubahan status
mental, kejang, gejala ekstrapiramidal seperti kekakuan otot (muscle
rigidity), hipertermi, dan kematian. Gejala sindrom serotonin ini terjadi
karena stimulasi berlebih pada reseptor 5-HT di otak.15

20

Tata Laksana Intoksikasi Dextromethorphan20


1. Prinsip umum
Dalam penanganan intoksikasi dextrometorfan pada prinsipnya
perlu menilai dan menjaga saluran napas, ventilasi, dan sirkulasi.
Nalokson

dapat

digunakan

sebagai

anti

depresi

pernafasan.

Dekontaminasi lambung dianjurkan untuk keracunan yang baru terjadi,


lebih dari 10 mg / kg dekstrometorfan. Pasien dengan depresi pernafasan
mungkin memerlukan perawatan intensif di ICU. Lainnya dapat
diobservasi dahulu di fasilitas gawat darurat (UGD) selama 4 sampai 6
jam. Sejumlah kecil pasien dengan gejala minor (seperti ataksia atau
kegelisahan) dapat dikirim ke rumah di bawah pengawasan ketat. Anakanak yang telah menelan preparat long-acting sebaiknya dirawat dan
diobservasi di rumah sakit.
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi lambung dianjurkan untuk keracunan akut dengan
menelan lebih dari 10 mg / kg. Kejang dan / atau depresi sistem saraf
pusat

(SSP)

terjadi

dalam

waktu

30

menit

setelah

menelan

dekstrometorfan.
Bilas lambung diikuti penggunaan arang aktif dapat digunakan
dalam waktu 1 sampai 2 jam setelah menelan DMP dan diindikasikan
untuk keracunan oral dalam jumlah besar atau pada pasien yang koma
atau risiko kejang-kejang. Bilas lambung pada pasien koma harus
didahului oleh intubasi.
Arang aktif / katarsis dapat diberikan sendiri atau dengan katarsis
seperti sorbitol atau magnesium sitrat, meskipun pada saat ini belum
ada data mengenai adsorpsi dekstrometorfan oleh arang. Karena tidak
ada data mengenai adsorpsi dekstrometorfan oleh arang dan
21

pengosongan lambung rutin dilakukan maka pasien menerima


pengobatan inadekuat jika arang saja yang digunakan. Perlu
mempertimbangkan bilas lambung pada pasien yang menelan lebih
dari 10 mg / kg dekstrometorfan, mereka dengan klinis overdosis, atau
pada pasien yang tidak diketahui waktu dan jumlah DMP yang
dikonsumsi. Dosis optimum arang aktif belum ditentukan, sebagai
panduan disarankan 1 g sampai 2 g / kg arang aktif, terutama pada
bayi. Pada dewasa dosis arang aktif 30 g sampai 100 g dan dosis pada
anak-anak 15 g sampai 30 g. Jika pasien muntah dosis dapat diulang.
Jangan gunakan tablet arang atau antidotum universal sebagai
pengganti arang aktif.
Whole bowel lavage. Jika long-acting dekstrometorfan telah tertelan,
whole bowel lavage bisa dipertimbangkan.
Katarsis. Sebuah katarsis salin atau sorbitol dapat diberikan
bersamaan dengan dosis pertama arang aktif atau dapat diberikan
secara terpisah. Meskipun ada sedikit bukti untuk mendukung
penggunaan

katarsis,

penggunaannya

tampak

logis

untuk

mempersingkat waktu transit dan menghindari sembelit yang


disebabkan oleh arang. Dosis katarsis berulang tidak dianjurkan
terutama pada anak-anak. Dosis berulang harus dilakukan dengan
sangat hati-hati.
3. Eliminasi lebih lanjut
Saat ini belum ada informasi tersedia tentang efektivitas
penggunaan
haemoperfusion,

forced
atau

diuresis,
dialisis

alkalinization,
untuk

pengobatan

pengasaman,
overdosis

dekstrometorfan. Penggunaan metode ini unyuk meningkatkan eliminasi


obat tidak dianjurkan untuk pengobatan keracunan dekstrometorfan.
4. Antidotum
22

4.1 Dewasa
Nalokson dapat bermanfaat sebagai reverse efek pernapasan
dan SSP yang disebabkan dekstrometorfan. Meskipun ada laporan
tentang respon terhadap nalokson yaitu gejala neurologis yang
terjadi lebih dari tiga sampai delapan jam setelah pemberian
nalokson, dan hal ini lebih menggambarkan perjalanan alami
toksisitas dekstrometorfan daripada respon terhadap nalokson. Saat
ini tidak ada bukti yang menunjukkan keberhasilan signifikan yang
terkait dengan penggunaan nalokson.
4.2. Anak
Tidak ada data yang tersedia.

2.4

TEMUAN FORENSIK
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan:21,22
1. Sianosis pada muka dan ujung-ujung ekstrimitas (pada bibir, ujung jari
dan kuku). yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO 2
daripada HbO2.
2. Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya
pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal
ini akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih
cair. Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2
3. Busa halus pada hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya
fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
4. Pelebaran pembuluh darah konjuntiva bulbi dan palpebra.
5. Bintik-bintik perdarahan (Tardieus spot) pada konjuntiva bulbi dan
palpebra. Tardieus spot merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie)
akibat pelebaran kapiler darah setempat.
23

Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan:21,22


1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer.
2. Busa halus di saluran pernapasan.
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga organ
dalam tubuh menjadi lebih gelap dan lebih berat.
4. Petekie (Terdieus spot) pada mukosa organ dalam: perikardium, pleura
viseralis paru terutama pada aorta lobus dan busur, kelenjar tiroid,
kelenjar timus, pielum ginjal.
5. Edema paru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 24 ekor tikus wistar,
yang dibagi dalam dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol
(K) dan 3 kelompok perlakuan (P1, P2, P3), di mana kelompok P1
mendapatkan dekstrometorfan sebanyak 26,25 mg, kelompok P2 mendapat
52,5 mg, dan kelompok P3 mendapat 105 mg, dididapatkan hasil sebagai
berikut:
1. Pada Otak23
Terjadi peningkatan jumlah sel otak yang mengalami nekrosis.
Hal ini membuktikan bahwa pemberian dekstrometorfan dosis bertingkat
per oral pada tikus wistar mengakibatkan timbulnya perubahan struktur
histopatologi otak, apalagi untuk kasus penyalahgunaan. Pemberian
dekstrometorfan dosis bertingkat peroral mempengaruhi besarnya cedera
sel otak besar, di mana semakin meningkatnya dosis, jumlah sel yang
mengalami kerusakan semakin meningkat.

24

Gambar 2. Gambaran histopatologi otak tikus wistar pada kelompok K


dengan perbesaran 400x (tanda panah putih menunjukkan
sel otak yang normal)23

Gambar 3. Gambaran histopatologi otak tikus wistar pada kelompok


P1 dengan perbesaran 400x (tanda panah menunjukkan sel
yang mengalami kerusakan)23

25

Gambar 4. Gambaran histopatologi otak tikus wistar pada kelompok


P2 dengan perbesaran 400x (tanda panah menunjukkan sel
yang mengalami kerusakan)23

Gambar 5. Gambaran histopatologi otak tikus wistar pada kelompok


P3 dengan perbesaran 400x (tanda panah menunjukkan sel
yang mengalami kerusakan)23
2. Pada Hepar24
Terdapat

pengaruh

pemberian

dekstrometorfan

terhadap

gambaran histopatologi hepar tikus wistar yang dinilai dari tingkat


kerusakan hepatosit. Perubahan struktur histopatologi hepar yang terlihat
berupa hepatosit yang mengalami degenerasi parenkimatosa, degenerasi
26

hidropik, dan nekrosis. Selain itu, terdapat juga respon radang yang
ditunjukkan dengan terdapatnya deposit limfosit dan juga perdarahan
yang ditunjukkan dengan terdapatnya eritrosit.

Gambar 6. Gambaran histopatologi hepar tikus Wistar (400x). () sel


hepar normal; (): degenerasi parenkimatosa sel hepar;
(): degenerasi hidropik sel hepar; (): nekrosis sel
hepar24
3. Pada Ginjal25
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan dekstrometrofan
pada dosis bertingkat dapat mngakibatkan terjadinya proses degenerasi
yang minimal pada ginjal, khususnya paad tubulus proksimal ginjal.
Proses degenerasi yang terjadi pada tubulus proksimal berupa
pembengkakan dan penutupan lumen tubulus proksimal. Proses
degenerasi yang terjadi menunjukkan bahwa dekstrometorfan dapat
bersifat nefrotoksik apabila sudah berada dalam dosis letal, tapi
kerusakan yang terjadi pada ginjal masih minimal.

27

2.5

LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan urine dapat dilakukan ketika terdapat kecurigaan atau
riwayat menggunakan dekstrometorfan. Terdapat dua tipe utama skrining
obat-obatan dalam urine : pemeriksaan immunoassay dan kromatografi.26
Pemeriksaan immunoassay menggunakan antibodi untuk mendeteksi
adanya zat obat dengan menemukan metabolitnya. Pemeriksaan ini biasanya
digunakan pada awal pemeriksaan karena prosesnya yang cepat dengan
harga yang terjangkau. Dalam pemeriksaan dekstrometorfan, hasil positif
palsu seringkali terjadi karena hasil metabolit dekstrometorfan yang serupa
dengan metabolit obat golongan opiat dan atau penisiklidin. Deteksi opiat
dapat ditemukan setelah satu sampai tiga hari setelah konsumsi opiat, dan
metabolit penisiklidin dapat ditemukan dari tujuh hingga empat belas hari
setelah konsumsi penisiklidin.26
Pemeriksaan kromatografi urine pada dekstrometorfan menggunakan
prinsip menemukan metabolit berupa dekstorfan dengan cara menemukan
hasil assay dalam urine dengan high-performance liquid chromatography
(HLPC)

ataupun

dengan

Gas

Chromatography/Mass

Spectrometry

(GC/MS). Pemeriksaan kromatografi ini mengakarakterisasikan aktivitas


CYP2D6 yang menggunakan metabolisme dekstrometorfan yang dipicu
dengan menambahkan -glucuronidase pada sampel urine sebelum ekstraksi
dan analisis. Walaupun mereka memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
lebih baik, harga yang kurang terjangkau dan waktu pemeriksaan yang lama
membuat pemeriksaan ini kurang disarankan sebagai pemeriksaan awal.
Namun Basci dkk melaporkan bahwa pemeriksaan kromatografi dapat
dipercepat dengan melewati proses dekonjugasi dalam langkah pemeriksaan
kromatografi.27 Menurut Borges dkk, walaupun kromatografi dapat menjadi
pemeriksaan kuantitatif, kadar kuantitatif tidak dapat menentukan derajat
toksisitas dekstrometorfan karena perbandingan metabolik urine dekstorfan
tidak mencerminkan tingkat pembersihan deksometorfan dalam tubuh.28

28

Pemeriksaan

untuk

menentukan

apakah

adanya

kandungan

dekstrometorfan dalam suatu pil dapat menggunakan reagen Marquis atau


reagen Mecke. Selain dapat mendeteksi dekstrometorfan, reagen-reagen ini
biasanya lebih digunakan untuk mendeteksi zat ekstasi (MDMA) dalam
pemeriksaan lapangan. Dengan meneteskan reagen pada pil, dapat
ditemukan perubahan warna pada pil. Dengan 2 tetes reagen Marquis pil
akan berbusa sebelum berubah warna menjadi abu-abu gelap kehitaman,
dan dengan 2 tetes reagen Mecke pil akan berubah warna menjadi kuning.29

29

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Kasus pertama:
Pasien A, perempuan usia 12 tahun, mempelajari bahwa dekstrometrofan
dapat digunakan untuk tujuan terlarang dari teman-teman di sekolah dan dari
program televisi. Bersama temannya (pasien B) dia mencuri beberapa kotak obatobatan yang mengandung dekstrometrofan. Dari toko obat lokal dan menelan 8
tablet gel (dekstrometrofan 30 mg; klorfeniramin 4 mg per tablet), sebelum
menonton film di bioskop. Beberapa menit kemudian kedua anak perempuan
tersebut memutuskan untuk menghabiskan seluruh obatnya dan mengkonsumsi 8
tablet gel lagi. Kurang lebih 30 menit setelah mengkonsumsi obat tersebut, pasien
muntah. Sepulangnya dari bioskop, ibu pasien menemukan anaknya tertawa
secara tidak wajar dan telah menyalahgunakan dekstrometrofan. Ibunya membawa
anaknya ke unit gawat darurat (UGD).7
Setibanya

di

UGD,

pasien

A mengalami

agitasi

ringan.

Dia

mengemukakan bahwa dia hampir selalu mencuri obat tersebut dan dosis
dekstrometrofan yang biasa dikonsumsi adalah 8 tablet gel dan telah
mengkonsusmi obat tersebut selama 12 bulan. Pada pemeriksaan fisik, pasien
tampak sakit ringan dan refleks pupil minimal, dengan diameter 6 mm, mukosa
oral kering dan wajah kemerahan. Nistagmus lateral positif. Pasien B
mengkonsumsi 16 tablet gel namun muntah sebanyak 5 kali setelah
mengkonsumsi obat. Di UGD, pasien mengakui menggunakan ganja secara
berkala, namun dia telah menyalahgunakan dekstrometrofan selama 1 tahun. Pada
pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit ringan. Pada pemeriksaan fisik, terdapat
nistagmus lateral dan pemeriksaan fisik lainnya normal, walaupun pasien tampak
sedikit bingung. Pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan kehamilan,
konsentrasi serum asetaminofen, dan skrining penyalahgunaan obat-obatan pada
kedua pasien negatif. Mereka pulang setelah menerima terapi suportif.7

30

Kasus kedua:
Pasien laki-laki usia 44 tahun yang mengalami ketergantungan terhadap
dekstrometrofan selama beberapa tahun, membeli obat tersebut di apotik tanpa
resep dokter. Dia mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1800 mg setiap
harinya. Hal ini menyebabkan pekerjaan dan aktivitas sehari-harinya terganggu.
Pada pemeriksaan fisik dan neurologis normal kecuali adanya ataksia ringan pada
pemeriksaan tunjuk hidung. Meskipun dekstrometrofan tidak dapat terdeteksi
dengan skrining semikuantitatif, pemeriksaan gas kromatografi multidimensional
dapat

dilakukan.

Pemeriksaan

sampel

urine

ditemukan

mengandung

dekstrometrofan. Selama proses detoksifikasi, pasien tersebut mengalami gejala


putus obat yang terdiri dari craving, diaforesis, mula, hipertensi, dan takikardi.
Pasien dirawat di bangsal selama tiga mingggu.30

Pembahasan:
Dosis terapeutik dekstrometrofan maksimum 120 mg/hari. Pasien tersebut
didiagnosis telah mengalami ketergantungan terhadap dekstrometrofan selama 5
tahun. Dengan criteria ICD 10 yang terpenuhi berupa keinginan yang kuat untuk
mengkonsumsi dekstrometrofan, kurangnya kemampuan untuk mengkontrol
jumlah pemakaian zat, munculnya gejala putus obat, dan terganggunya kehidupan
sehari-hari.30
Kasus ketiga:
Seorang anak perempuan berumur 12 taghun dibawa ke UGD karena
penurunan kesadaran. Orangtua anak itu menceritakan riwayat kelebihan
penggunaan obat batuk antitusif, tablet kunign berukuran kecil, untuk niat yang
tidak baik. Kebiasaan anak itu mengkonsumsi obat tersebutsemakin meningkat
dosisnya, dan kadang-kadang mengkonsumsi beberapa tablet dalam sehari untuk
mendapatkan efek euforia.

Enam jam sebelu m masuk rumah sakit, pasien

mengkonsumsi 26 tablet dekstrometorfan (Romilar). Dia merasakan gejala


ngantuk, mual dan perasaan tidak nyaman pada perut. Ayahnya mengatakan ia
31

terlihat pusing dan membawanya ke UGD. Dalam pemeriksaan, tekanan darah


117/70mmHg, nadi 122x/menit, laju napas 20x/menit, suhu 38,2 C. Pasien terlihat
mengantuk dengan GCS 15. Ia masih bisa memberikan respons dengan berbicara
walaupun pem eriksaan funduskopi dalam batas normal.31
Pembahasan:
Dekstrometorfan dimetabolisme oleh enzim sitokrom hati p450 menjadi
dekstrofan yang dapat memicu pengeluaran serotonin dan juga sebagai antagonis
dari reseptor NMDA. Hambatan terhadap reseptor yang menyerupai PCP dapat
menimbulkan gejala euforia, hiperaktivitas dan halusinasi. Hanya dekstrofan yang
dapat menyebabkan gejala seperti PCP pada hewan. Gejala overdosis
dekstrometorfan akut adalah mual, muntah, hipereksitabilitas, halusinasi, pusing,
letargi, gangguan artikulasi, midriasis, takikardia, euforia, hipertensi, dan retensi
urin. Terapi suportif dekstrometorfan berupa bilas lambung yang harus diberikan
dalam waktu 60 menit setelah mengkonsumsi obat dan arang aktif diberikan
dalam waktu 4 jam. Terapi nalokson terbukti efektif apabila diberikan pada anakanak dan indikasi spesifik seperti hipereksitabilitas, gangguan status mental dan
depresi napas.31

BAB IV
32

PENUTUP
4.1 Simpulan

Dekstrometorfan adalah obat yang biasa digunakan sebagai obat


batuk, untuk menghilangkan batuk yang disebabkan oleh iritasi
tenggorokan ringan dan bronkial (sebagaimana biasanya menyertai flu),
serta penyebab lainnya seperti iritasi saluran pernafasan. Pada penggunaan
secara oral, dekstrometorfan diabsorbsi secara cepat pada traktus
gastrointestinal dan mengalami metabolisme dalam waktu sampai 1 jam
dan di metabolisme di dalam hepar dan di eksresi melalui urine.
Pada dosis terapeutik, dekstrometorfan dapat berperan secara
sentral (artinya bekerja pada otak) bukan secara lokal (pada traktus
respiratorius). Obat ini bekerja meningkatkan ambang batas batuk, tanpa
menghambat aktivitas silia.
DMP cepat diserap melalui usus, kemudian masuk ke aliran darah dan
menembus sawar darah otak dan menimbulkan beberapa efek seperti:
antagonis reseptor NMDA, agonis reseptor 1 dan 2, antagonis reseptor
nikotinik, serotonin reuptake inhibitor dan dopamine reuptake inhibitor.
Dekstrometorfan dapat mempengaruhi kesadaran seseorang pada
dosis 7 sampai 50 kali dari dosis terapi dalam waktu yang singkat.
Dekstrometorfan bila dikonsumsi pada dosis di bawah 200 mg, dapat
memberikan efek euphoria dan halusinasi. Pada pemberian dosis yang
lebih tinggi (600mg ke atas), terjadi perubahan mendalam pada kesadaran
atau psikosis sementara. Pada penggunaan yang sering dalam jangka
panjang dapat menyebabkan psikosis dan masalah psikologis yang sifatnya
permanen.
Efek psikologis dekstrometorfan bisa disebabkan oleh dekstrofan
(DXO). Sama seperti semua antagonis NMDA, dekstrofan dan
dekstrometorfan menghambat neurotransmiter (khususnya glutamat) di
otak. Hal ini mengakibatkan melambatnya atau bahkan mematikan jalur
saraf tertentu sehingga menyebabkan gangguan psikologis.
DMP sering disalahgunakan karena pada dosis besar ia
menyebabkan

efek

euforia

dan

halusinasi

penglihatan

maupun

pendengaran. Intoksikasi atau overdosis DMP dapat menyebabkan hiper33

eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata


melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama dengan alkohol,
efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian.
Gejala-gejala yang timbul dari tahap-tahap toksisitas
Dextromethorphan antara lain peningkatan kewaspadaan, restlessness,
sensitisasi visual dan auditorik, euphoria, halusinasi, energi bertambah dan
eksitabel, penurunan kesadaran, gangguan kognitif, mania/panik, asosiasi
terganggu dan ataksia. Pada penyalahgunaan DMP jangka panjang dapat
menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan gejala putus zat seperti
muntah, berkeringat di malam hari, mialgia, diare, dan gelisah. DMP juga
dapat menimbulkan gejala sindrom serotonin, berupa instabilitas otonom,
perubahan status mental, kejang, gejala ekstrapiramidal seperti kekakuan
otot (muscle rigidity), hipertermi, dan kematian. Gejala sindrom serotonin
ini terjadi karena stimulasi berlebih pada reseptor 5-HT di otak.
Dalam penanganan intoksikasi dextrometorfan pada prinsipnya
perlu menilai dan menjaga saluran napas, ventilasi, dan sirkulasi.
Nalokson biasa digunakan sebagai antidotum. Nalokson dapat bermanfaat
sebagai

reverse

efek

pernapasan

dan

SSP

yang

disebabkan

dekstrometorfan. Dekontaminasi lambung dianjurkan untuk keracunan


yang baru terjadi, lebih dari 10 mg / kg dekstrometorfan. Bilas lambung
diikuti penggunaan arang aktif dapat digunakan dalam waktu 1 sampai 2
jam setelah menelan DMP dan diindikasikan untuk keracunan oral dalam
jumlah besar atau pada pasien yang koma atau risiko kejang-kejang.
Pasien dengan depresi pernafasan mungkin memerlukan perawatan
intensif di ICU. Lainnya dapat diobservasi dahulu di fasilitas gawat
darurat (UGD) selama 4 sampai 6 jam. Sejumlah kecil pasien dengan
gejala minor (seperti ataksia atau kegelisahan) dapat dikirim ke rumah di
bawah pengawasan ketat. Anak-anak yang telah menelan preparat longacting sebaiknya dirawat dan diobservasi di rumah sakit.
4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana DMP menyebabkan
intoksikasi pada manusia dengan dosis yang lebih bervariasi, dalam jangka
34

waktu yang berbeda dan berbagai gejala yang ditimbulkan pada setiap
organ tubuh. Perlu dilakukan regulasi lebih lanjut untuk obat yang
mengandung

Dekstrometorfan

dekstrometorfan

memiliki

agar

potensi

tidak
untuk

dijual

bebas,

karena

disalahgunakan

apabila

digunakan secara overdosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cyhka Peter et all. Dextromethorphan poisoning: An evidence-based
consensus guideline for out-of-hospital management. Clinical Toxicology
(2007): 45, 662677.
http://informahealthcare.com/doi/pdf/10.1080/15563650701606443.
(Maret 2011)
35

2. Paul R. Increase in Dextromethorphan Abuse Among Adolescents. AAP


Grand Rounds 2007;17;26-27.
http://aapgrandrounds.aappublications.org/cgi/reprint/17/3/26. (Maret
2011)
3. Romanelli F. Smith K. Dextromethorphan abuse: Clinical effects and
management.

Pharmacy

Today

2009(Mar);15(3):4855.

http://www.pharmacytoday.org/pdf/2009/Mar_CE_exam.pdf. (Maret 2011)


4. Bryner J et all. Dextromethorphan Abuse in Adolescence. An Increasing
Trend: 1999-2004. Arch Pediatr Adolesc Med 2006 (Desember); volume
160:1-6.

http://archpedi.ama-assn.org/cgi/reprint/160/12/1217.

(Maret

2011)
5. Klein M. Drug Enforcement Administration Request for an Abuse
Potential

Evaluation

and

Dextromethorphan.

Scheduling

Recommendation

Amerika;2005.

hal

for
1-135.

http://www.fda.gov/downloads/advisorycommittees/drugs/ucm224446.pdf
6. Boyer

E.

Dextromethorphan

2004(Mar);12(20):1-6.

Abuse.

Pediatric

Emergency

Care

http://www.erowid.org/references/refs_view.php?

A=ShowDocPartFrame&ID=6876&DocPartID=6286. (Maret 2011)


7. Mutschler J et all. Dextromethorphan Withdrawal and Dependence
Syndrome.

Dtsch

Arztebl

Int

2010;

107(30):

537-540

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2925345/pdf/Dtsch_Arzteb
l_Int-107-0537.pdf (Maret 2011)
8. WHO.

Neuroscience

of

Psychoactive

Substance

Use

and

Dependence.Geneva;2004.
36

http://www.who.int/substance_abuse/publications/en/Neuroscience_E.pdf
(Maret 2011)
9. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta: 1997
10. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Tanya Jawab Ilmu
Kedokteran Forensik. Semarang: 2009
11. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?
IDNews=214( diunduh 12/03/2011)
12. Terry YC. Dextromethorphan Abuse [homepage on the Internet]. c2008
[cited

2010

Jan

28].

Available

from:

http://www.pharmacytimes.com/issue/pharmacy/2008/2008-11/2008-118747
13. Jody KB, Uerica KW, Jenny WH, Merilib B, Conan MD, Ilene BA.
Dextromethorphan Abuse in Adolescence. Arch Pediatr Adolesc Med
[serial online]. 2006 [cited 2009 Dec 7];160:6. Available from:
http://archpedi.ama-assn.org/cgi/content/full/160/12/1217
14. http://www.chemeurope.com/en/encyclopedia/Dextromethorphan.html
15. Chyka P, Erdman A. Manoguerra A. Christianson G. Booze L. Nelson L. et
al. Dextromethorphan poisoning: An evidence-based consensus guideline
for out-of-hospital management. Clinical Toxicology. 2007. 45 (6). 662677.

Available

from:

http://www.aapcc.org/FinalizedPMGdlns/dextromethorphan
%20Guideline.pdf) maret 2011

37

16. Margarey J. Dextromethorphan [homepage on the Internet]. No Date


[updated

1996

Aug;

cited

2010

Jan

28].

Available

from:

http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/pim179.htm
17. Frank Romanelli and Kelly M. Smith. Dextromethorphan abuse: Clinical
effects and management. Pharmacytoday. USA: American Pharmacists
Association.

2009.

http://www.pharmacytoday.org/pdf/2009/Mar_CE_exam.pdf

p50-51.
(30

maret

2011)
18. Hernandez SC, Bertolino M, Xiao Y, Pringle KE, Caruso FS, Kellar KJ.
Dextromethorphan and its metabolite dextrorphan block alpha3beta4
neuronal nicotinic receptors. J. Pharmacol. Exp. Ther. 293 (3): 962-7.
Available

from:

http://www.chemeurope.com/en/encyclopedia/Dextromethorphan.html
(Maret 2011)
19. Dextromethorphan [homepage on the Internet]. No Date [cited 2010 Jan
28].Available from: http://www.chemie.de/lexikon/e/Dextromethorphan/
20. http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/pim179.htm#PartTitle:10.
%20MANAGEMENT
21. Chadha PV. Kematian Akibat Asfiksia. Dalam Ilmu Forensik dan
Toksikologi. Edisi kelima. Penerbit: Widya Medika.
22. Mansjoer A, Suprohaita dkk. Asfiksia, Tenggelam, dan Keracunan. Dalam
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid kedua. Penerbit:Media
Aeskulapius. FK-UI. 2000.

38

23. Tjandra A. Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per


Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Otak Tikus Wistar. Semarang;
Undip;2010. Hal.31-33.
24. Bonauli N. Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per
Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar. Semarang;
Undip;2010. Hal.45-47.
25. Putra P. Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per Oral
Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar. Semarang;
Undip;2010. Hal.41-42.
26. Standridge J.B. Adams, S.N. Zotos, A.P. Urine Drug Screening: A Valuable
Office Procedure. American Family Physician, March 2010, Vol. 815:635-639
27. BASCI N.E. et al. Omission of the deconjugation step in urine analysis
and

the

inaltered

dextromethorphan.

outcome

European

of
Journal

CYP2D6
of

phenotyping

Drug

Metabolism

with
and

Pharmacokinetics. 1998, volume 23, 1:1-5


28. Borges S et al. Dextromethorphan To Dextrorphan Urinary Metabolic Rate
Does Not Reflect Dextromethorphan Oral Clearance. The American
Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics, 2005. 33:10521055
29. Diunduh dari: http-_www.bluelight.ru_vb_tkinstructions.php.html
30. Mutschler J et all. Dextromethorphan Withdrawal and Dependence
Syndrome.

Dtsch

Arztebl

Int

2010;

107(30):

537-540

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2925345/pdf/Dtsch_Arzteb
l_Int-107-0537.pdf (Maret 2011)

39

31. Manaboriboon B. Chomchai C. Dextromethorphan Abuse in Thai


Adolescents: A Report of Two Cases and Review of Literature. J Med
Assoc

Thai.

2005.

(88);

242-243.

http://www.mat.or.th/journal/files/Vol88_No8_242.pdf (Maret 2011)

40

Anda mungkin juga menyukai