Anda di halaman 1dari 62

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif konsisten. Meskipun namun standar bila dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau serta peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat pengobatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan

merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. UNODC memperkirakan sekitar 149 sampai 272 juta orang atau 3,3% sampai 6,1% dari penduduk usia 16-64 tahun di dunia pernah menggunakan narkoba sekali selama hidupnya. Tingkat prevalensi sebagian besar tetap stabil dari tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlah pengguna narkoba bermasalah diperkirakan antara 15 sampai 39 juta. Berdasarkan laporan WHO (2004) pada tahun 2002, penyalahgunaan obat-obat terlarang mengakibatkan 85.000 kematian di seluruh dunia yang terdiri dari 70.000 (82,35%) laki-laki dan 15.000 (17,65%) perempuan. Proporsi tertinggi terdapat di Mediterania Timur (35,47%) dan disusul di Asia Tenggara (27,10%). Diperkirakan ada sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang atau 5,9% dari populasi yang berusia 10-59 tahun di Indonesia pernah mencoba pakai narkoba minimal satu kali sepanjang hidupnya (ever used) atau dengan bahasa lain ada

sekitar 1 dari 17 orang di Indonesia yang berusia 10-59 tahun pernah pakai narkoba sepanjang hidupnya dari saat sebelum survei. Dari sejumlah itu, ada sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang (2,2%) yang masih menggunakan narkoba dalam satu tahun terakhir dari saat survei atau ada 1 dari 45 orang yang masih pakai narkoba (current users). Dengan demikian, terjadi 2,2% (2011). Dari 33 provinsi, ada sebanyak 15 provinsi angka prevalensinya turun, hanya satu provinsi (Jawa Timur) yang relatif stabil, dan sisanya naik. Secara keseluruhan terjadi kenaikan angka prevalensi sebesar 12% dari tahun 2008 ke 2011. Kenaikan tajam terlihat di provinsi DKI Jakarta mencapai 70%, atau dari 4,1% menjadi 7.0%. Secara absolut terjadi peningkatan jumlah penyalahguna sebanyak 2 kali lipat dari tahun 2008. Peningkatan tersebut di dorong oleh meningkatnya jumlah penyalahguna dari kelompok coba pakai dan teratur pakai. Berdasarkan hasil pengungkapan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, di Jawa Tengah jumlah tersangka kasus narkoba yang berperan sebagai pemakai tahun 2007-2011 sebanyak 2.343 orang. I.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi toksologi dan intoksikasi. 2. Apakah definisi dan macam-macam narkoba.

peningkatan angka

prevalensi penyalahgunaan narkoba setahun terakhir dari 1,9% (2008) menjadi

3. Apakah definisi intoksikasi narkoba. 4. Bagaimana mekanisme intoksikasi narkoba. 5. Bagaimana gambaran post-mortem pada kasus intoksikasi narkoba. I.3 Tujuan I.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui berbagai aspek mengenai intoksikasi narkoba, dari segi farmakologi dan forensik. I.3.2 Tujuan Khusus i. Mengetahui definisi toksologi dan intoksikasi. ii. Mengetahui definisi dan macam-macam narkoba. iii. Mengetahui definisi intoksikasi narkoba. iv. Mengetahui mekanisme intoksikasi narkoba.

v. Mengetahui narkoba. I.4 Manfaat I.4.1 I.4.2 Bagi Masyarakat

gambaran

post-mortem

pada

kasus

intoksikasi

Memberikan informasi mengenai intoksikasi narkoba dari segi medis. Bagi Penulis Menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai aplikasi tentang ilmu kedokteran forensik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II. 1. Toksikologi Definisi Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat, serta khasiat racun, gejalagejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban meninggal. Pengertian racun Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Jalan masuk Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara: 1. Melalui mulut (peroral / ingesti). 2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi) 3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi) 4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit. 5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985)

Klasifikasi racun Racun dapat digolongkan sebagai berikut: I. Pestisida A. Insektisida 1. Organoklorin a. Derivat Chlorinethane: DDT b. Derivat Cyclodiene Heptachlor, toxapene. c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex. 2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion. 3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam. B. Herbisida 1. Chloropheoxy 2. Ikatan Dinitrophenal 3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave 4. Ikatan Urea 5. Ikatan Triasine: Atrazine 6. Amide: Propanil 7. Bipyridye C. Fungisida 1. Caplan 2. Felpet 3. Pentachlorphenal 4. Hexachlorphenal D. Rodentisida 1. Warfarin 2. Red Squill 3. Norbomide 4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide 5. Aepha Naphthyl Thiourea 6. Strychnine 7. Pyriminil 8. Anorganik: - Zinc Phosfat : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan, Aldrin,

- Thallium Sulfat - Phosfor - Barium Carbamat - Al. Phosfat - Arsen Trioxyde II. Bahan Industri III. Bahan untuk rumah tangga IV. Bahan obat-obatan V. Racun (tanaman dan hewan) Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga. Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan. Misalnya: pestisida, herbisida. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan. Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium. Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb. Racun-racun yang terdapat di alam bebas. Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang. Mekanisme kerja racun 1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal) Misalnya: Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat. Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2. Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol. Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.

2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik) Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya. Misalnya: - Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf pusat. - Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung. - Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang. - CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan. - Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal. - Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama berpengaruh terhadap hati. 3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum Misalnya: - Asam oksalat - Asam karbol Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak (Nawawi, 1989). - Arsen - Garam Pb Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun 1. Cara pemberian Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya. Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh a. Umur Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan. b. Kesehatan Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai. c. Kebiasaan Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya. d. Hipersensitif (alergi idiosinkrasi) Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut

dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut. 3. Racunnya sendiri a. Dosis Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi. b. Konsentrasi Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut. c. Bentuk dan kombinasi fisik Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan. d. Adiksi dan sinergisme Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.

e. Susunan kimia Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya. f. Antagonisme Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik. Pengambilan bahan pemeriksaan toksikologi 1. Darah Darah jantung diambil secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri masingmasing sebanyak 60ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis, bukan darah dari vena porta. 2. Urin Diambil semua yang ada dalam kandung kemih. Penting karena merupakan tempat ekskresi sebagian besar racun sehingga dapat untuk tes pendahuluan. Juga penting untuk pemeriksaan penyaring racun dari golongan narkotika atau stimulan. 3. Bilasan lambung Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Lambung diikat pada perbatasan dengan usus dua belas jari agar pil/tablet tidak hancur. 4. Usus beserta isinya Bahan ini sangat berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tak dapat hancur oleh lambung (enteric-coated). Usus diikat tiap 60 cm atau diikat pada batas usus halus dan usus besar dan antara usus besar dan poros usus. Ikatan tersebut berguna untuk mencegah isi usus oral tidak tercampur dengan isi usus anal.

5. Hati Semua hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi anatomi. Organ ini mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan racun-racun sehingga kadar racun dalam hati sangat tinggi. 6. Ginjal Kedua ginjal harus diambil. Ginjal penting pada keadaan intoksikasi logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik ditemukan Caoksalat atau sulfonamide. 7. Otak Jaringan lipoid dalam otak mempunyai kemampuan untuk menahan racun, misalnya CHCl3 tetap ada walaupn jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. 8. Empedu Sebaiknya kandung empedu jangan dibuka agar cairan empedu tidak mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan. Cara pengambilan sampel bias dari tiga tempat yaitu tempat masuk racun (lambung, tempat suntikan), darah yang menandakan racun beredar secara sistemik, dan tempat keluarnya racun (urin, empedu). Menurut Curry, contoh bahan pemeriksaan yang rutin harus diambil adalah lambung beserta isinya, darah, seluruh hati dan seluruh urin. II.2. Intoksikasi Keracunan adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat dapat menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya. Berbeda dengan alergi, keracunan memiliki gejala yang bervariasi dan harus ditindaki dengan cepat dan tepat karena penanganan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan hanya akan memperparah keracunan yang dialami penderita.

Etiologi Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan wujudnya, zat yang dapat menyebabkan keracunan antara lain : zat padat (obat-obatan, makanan), zat gas (CO2), dan zat cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia, pestisida, bisa/ racun hewan). Racun-racun tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara, diantaranya : 1. 2. 3. 4. 5. Melalui kulit Melalui jalan napas (inhalasi) Melalui saluran pencernaan (mulut) Melalui suntikan Melalui mata (kontaminasi mata)

Diagnosis Penegakan diagnosis pasti penyebab keracunan cukup sulit dilakukan karena dibutuhkan sarana laboratorium toksikologi yang cukup handal dan belum ada sarana laboratorium swasata yang ikut berperan. Sedangkan sarana laboratorium rumah sakit untuk pemeriksaan ini juga belum memadai dan sarana instansi resmi pemerintah juga sangat minim jumlahnya. Untuk membantu penegakan diagnosis maka diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun yang dapat melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral, absorpsi kulit, dan mukosa atau parental. Hal ini penting diketahui karena berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya durasi (reaksi) keracunan. Racun yang melalui rute oral biasanya bisa diketahui melalui bau mulut atau muntahan kecuali racun yang sifat dasarnya tidak berbau dan berwarna seperti arsinikum yang sulit ditemukan hanya berdasar inspeksi saja. Luka bakar warna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan kausatif dan korosif, baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat menyebabkan nekrosis likuitatif. Adapun penyebab keracunan dapat dikenali melaui bau racun tersebut atau warna urin setelah terkontaminasi denga racun tersebut antara lain :

Karakteristik bau racun

Bau Aseton Almond Bawang putih Telur busuk

Penyebab - Isopropil alkohol, aseton - Sinida - Arsenik, selenium, talium - Hidrogen sulfida, merkaptan

Karakteristik warna urin Warna urine - Hijau/ biru - Kuning-merah - Coklat tua - Butiran keputihan - Coklat Gejala Klinis

Penyebab - Metilin biru - Rifampisin, besi (Fe) - Fenol, kresol - Primidon - Mio/ haemoglobinuria

Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran. Alat ukur yang paling sering digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun, maka diagnosis keracunan dapat dilakukan pereksklusionam dan semua penyebab penurunan kesadaran seperti meningoensefalitis, trauma, perdarahan subaraknoid/intrakranial, subdural/ekstradural hematom, hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, maupun ensefalopati. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut nadi mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Gambaran klinis yang menunjukkan penyebab keracunan Gambaran klinis Kemungkinan penyebab - Pupil pin point, frekuensi napas - Opoioid, inhibitor kolinesterase turun - Dilatasi pupil, laju napas turun - Dilatasi pupil, takikardia (organofosfat, carbamate insektidida), klonidin, fenotiazin Benzodiazepin Antidepresan trisiklik, amfetamin, ekstasi, kokain, antikolonergik benzitropin), SSP, bahan (benzeksol, - Sianosis - Hipersalivasi - Nistagmus, ataksia, tanda serebral - Gejala ekstrapiramidal antihistamin Obat depresan

penyebab methaemoglobinemia Organofosfat/karbamat, insektisida Antikonvulsan (frenitoin, karbamazepin), alkohol Fenotiazin, haloperidol,

- Seizures

metoklopramid Antidepresan antikonvulsan, isoniazid Litium, antidepresan antihistamin Amfetamin, ekstasi, kokain - Salsilat

trisiklik, teofilin,

antihistamin, OAINS, fenothiazin, - Hipertemia - Hipertemia dan hipertensi, trisiklik,

takikardi, agitasi - Hipertemia dan takikardi, asidosis metabolik - Bradikardia

- Penghambat beta, digoksin, opioid, klonidin, antagonis kalsium (kecuali dihidropiridin), organofosfat alkohol, opiat, insektisida - Withdrawal benzodiazepin

- Abdominal cramp, diare, takikardi, halusinasi Pemeriksaan Penunjang

Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin. Hal ini selain dapat membantu penegakan diagnosis juga berguna untuk kepentingan penyidikan polisi pada kasus kejahatan. Sampel yang dikirim ke laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, dan feses. 1. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau adanya dugaan perforasi lambung. 2. Laboratorium klinik Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas darah. Beberapa gangguan gas darah dapat membantu penegakan diagnosis penyebab keracunan. Pemeriksaan fungsi hati, ginjal, dan sedimen urin harus pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui dampak keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis penyebab keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang mengandung asam jengkol. 3. Pemeriksaan EKG Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi

supraventrikuler,

takikardi

ventrikuler,

fibrilasi

ventrikuler,

asistol,

dan

disosiasi

elektromekanik. Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik. Penatalaksanaan 1. Stabilisasi Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa pembebasan jalan napas, perbaikan fungsi pernapasan, dan perbaikan sistem sirkulasi darah. 2. Dekontaminasi Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. 3. Dekontaminasi pulmonal Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas, dan berikan oksigen lembab 100%, dan jika perlu beri ventilator. 4. Dekontaminasi mata Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu posisi kepala pasien ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atau NaCL 0,9% perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang. 5. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku) Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu, dan aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat, cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit, selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut. 6. Dekontaminasi gastrointestinal Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi kambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik. 7. Eliminasi Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.

8. Antidotum Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit jumlahnya. II.3. Narkoba Definisi Narkoba ( singkatan dari narkotika, psikotopika, dan bahan adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan atau zat yang bila dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral atau diminum, dihirup, maupun disuntikan dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Klasifikasi Narkotika Penggolongan narkotika menurut undang-undang RI No.22 Tahun 1997 adalah : berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No.22 Tahun 1997 tentang narkotika, narkotika digolongkan menjadi 3 yaitu narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. a. Narkotika golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk dalam golongan I misalnya tanaman Papaver somniferum L, Opium, tanaman koka, heroin, morfin, dan ganja. b. Narkotika golongan II Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk kedalam golongan II, misalnya Alfasetilmetadol, Benzetidin, Betametadol. c. Narkotika golongan III narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk golongan III misalnya Asetildihidrokodeina, Dokstropropoksifena, Dihidrokodeina, Etilmorfin, dan lain-lain Klasifikasi Psikotropika

Definisi Zat atau obat bukan narkotik tetapi berkhasiat psikoaktif berupa perubahan aktifitas mental atau tingkah laku melalui pengaruhnya pada SSP serta dapat menyebabkan efek ketergantungan. Psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan yaitu : a. Psikotropika Golongan I Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : LSD, MDMA, dan Masealin b. Psikotropika Golongan II Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : amfetamin c. Psikotropika Golongan III Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : kelompok hipnotik sedatif (barbiturat)

d. Psikotropika Golongan IV Psikotropika yang berkhasiat sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : Diazepam, Nitrazepam. Pengaruh penggunaan psikotropika terhadap SSP dapat dikelompokan menjadi : 1. Depresan, contoh : Sedatin, Mogadon, Valium, Mandrax 2. Stimulant, contoh : Amphetamin dan turunannya 3. Halusinogen, contoh : LSD Zat Psiko-Aktif Lain

Yaitu zat/bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak. Tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan tentang Narkotika dan Psikotropika. Yang sering disalahgunakan adalah: a.Alkohol, yang terdapat pada berbagai jenis minuman keras b.Inhalansia/Solven, yaitu gas atu zat yang mudah menguap yang terdapat pada berbagai keperluan pabrik, kantor dan rumah tangga c.Nikotin, yang terdapat pada tembakau d.Kafein, pada kopi, minuman penambah energi dan obat sakit kepala tertentu Penggolongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) di bawah ini didasarkan atas pengaruhnya terhadap tubuhmanusia: a. Opioida, mengurangi rasa nyeri dan menyebabkan mengantuk atau turunnya kesadaran. Contoh: opium, morfin, heroin dan petidin b. Ganja (mariyuana, hasis), menyebabkan perasaan riang, meningkatkan dayakhayal, dan berubahnya perasaan waktu c. Kokain dan Daun Koka, tergolong stimulansia (meningkatkan aktivitas otak/fungsi organ tubuh lain) d. Golongan Amfetamin (Stimulansia), Amfetamin, ekstasi, sabu (metamfetamin) e. Alkohol, yang terdapat pada minuman keras f. Halusinogen, memberikan halunsinasi (khayal). Contoh LSD g. Sedativa dan Hipnotika, Obat penenang/obat tidur, seperti pil BK, MG h. PCP (Fensiklidin) i. Solven dan Inhalansia, Gas atau uap yang dihirup. Contoh tiner dan lem j. Nikotin, terdapat pada tembakau (termasuk stimulansia) k. Kafein, (stimulansia) terdapat dalam kopi, berbagai jenis obat penghilang rasa sakit atau nyeri, dan minuman kola II. 4. Opioid Definisi Kata opium berasal dari bahasa Yunani untuk sari buah opium. Opiate adalah istilah yang digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium. Penggunaan istilah opioid untuk menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti morfin. Opioid dibagi menjadi opioid agonis, opioid agonis-antagonis dan opioid antagonis.

Struktur Opioid Bentuk alkaloid dari opium dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni: 1. Phenanthrene : morfin, codein, dan thebaine 2. Benzylisoquinolines : papaverin, noscapine Klasifikasi Opioids Morphine Morphine 6-glucorinide Meperidine Sufentanil Fentanil Alfentanil Ramifenttanil Codeine Tramadol Hydromorphine Methadone Heroin
Tabel 1. Contoh Obat Opioid

Opioid Agonis-Antagonis Pentazocaine Butophanol Nalbuphine Nalorphine Dezocine

Opioid Antagonis Naloxone Naltrexone Nalmefene

Mekanisme Kerja Opioid bekerja pada reseptor opioid di presinaps dan postsinaps di sistem saraf pusat (SSP) terutama batang otak (gray matter periakuduktus batang otak, amigdala, korpus striatum, dan hipothalamus) dan medula spinalis (substansia gelatinosa) dan pada jaringan perifer. Pada jaringan perifer opioid berikatan dengan reseptor opioid endogen (endorfin, enkefalin, dan dinorfin) kemudian mengaktifkan sistem antinosiseptif. Di presinaps, oipoid menurunkan sekresi neurotransmiter inhibisi sehingga mencegah aktivasi reseptor (asetilkolin, dopamin, norefinefrin, substansi P). Efek biokimia opioid adalah meningkatkan penghantaran kalium (sehingga terjadi hiperpolarisasi), inkatifasi kanal kalsium, atau keduanya yang menghambat efek pelepasan neurotransmiter. Efek utama opioid adalah penurunan transmisi kolinergik pada ujung saraf memberikan efek analgesia dan efek samping lainnya. Namun opioid tidak berpengaruh pada stimulasi berulang pada ujung saraf ataupun konduksi rangsang berulang dari saraf perifer

Terdapat tiga jenis reseptor opioid, yakni reseptor mu (MOR), kappa (KOR), dan delta (DOR). Reseptor opioid merupakan gianine (G) protein-coupled receptor yang merupakan 80% dari keseluruhan reseptor muskarinik, adrenergik, GABA, dan somatostatin. Mu1 Anlagesia (suprespinal spinal) Euphoria Potensi disalahgunakan rendah Miosis Bradikardi Hipotermia Agonis Retensi urin Endorfin Morfin Opioid sintetik Antogonis Naloxone Naltrexon Nalmefene Endorfin Morfin Opioid sintetik Naloxone Naltrexon Nalmefene Naloxone Naltrexon Nalmefene Naloxone Naltrexon Nalmefene Dinorfin Enkefalin Mu2 Anlagesia dan(spinal) Efek Konstipasi Delta Analgesi (supraspinal) Miosis Kappa Analgesia (supraspinal Depresi ventilasi Efek ketergantungan Konstipasi Retensi urin dan

Efek

Depresi ventilasi Dysphoria, sedasi spinal) ketergantungan Diuresis

Tabel 2. Klasifikasi Reseptor Opioid

Efek terhadap reseptor opioid adalah : 1. Menghambat adenil siklase 2. Menurunkan konduksi kanal kalsium 3. Membuka gerbang potasium. Efek dari ketiga reseptor tersebut menurunkan aktifitas neuron. Reseptor opioid ini juga memodulasi phosphoinositide-signaling cascade dan phospholipase. Pencegahan influks kalsium mencegah sekresi substansi P pada beberapa neuron. II.5. Morfin

Hasil olahan dari opium atau candu mentah. Merupakan alkaloida utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap atau disuntikan.

Merupakan bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya. Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstrimitas, mulut kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Farmakokinetik Morfin Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak terjadi di ginjal.. Efek Samping Morfin Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang ditimbulkannya. a. Sistem kardiovaskuler Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon dari sistem simpatik. Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada jaringan perifer sehingga terjadi penurunan venous return, cardiac output dan tekanan darah. Morfin juga dapat menyebabkan bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal sehingga terjadi penurunan tekanan darah.

Morfin menimbulkan efek depresi langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls jantung melalui AV node. b. Pernapasan Agonis opioid bekerja pada reseptor 2 yang menekan pusat pernapasan di batang otak sehingga akan menimbulkan depresi pernafasan. Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan terhadap karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan. Opioid juga mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga menyebabkan pernapasan yang pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas silia dari jalan napas sesuai dengan dosis yang diberikan. c. Penekanan batuk Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda dengan pusat pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang mengalami subsitusi besar pada posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk dihasilkan juga oleh isomer opioid dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak memiliki efek analgesia. d. Sistem saraf Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen nukleus Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan pemberian atropin dan keadaan hipoksemia arterial yang besar. e. Sedasi Pemberian titrasi morfin post operasi menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia terjadi. Titrasi morfin disarankan diberikan dalam waktu singkat setelah pemberian secara bolus (5-7 menit) untuk menilai efek klinisnya. f. Sistem biliar Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan peningkatan tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik biliar. g. Traktus gastrointestinal Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot polos saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan perlambatan pengosongan lambung. h. Nausea dan vomitting Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada wilayah pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek ini ditimbulkan oleh stimulasi reseptor dopamin juga karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan isi saluran cerna. i. Sistem genitourinarius

Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. j. Perubahan kulit Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan dada biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin. k. Plasenta Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus. Karenanya depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama persalinan. Takaran mematikan Sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung dari kepekaan korban. Takaran mematikan terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar 60 mg morfin, tetapi biasanya diambil patokan sekitar 200 mg bagi orang yang tidak menunjukkan toleransi. Jika kadar morfin dalam urin sebesar 55mg % berarti orang tersebut sudah menggunakan morfin/heroin dalam jumlah yang berlebihan. Bila kadar urin sebesar 5-20 mg% atau dalam darah 0,1-0,5 mg% berarti sudah berada dalam tingkat toksik II. 6. Heroin Definisi Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu disebut juga diasetilmorphine).

Farmakokinetik Absorpsi : diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa hidung atau mulut. Distribusi : cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya.

Metabolisme : didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Ekskresi : terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam. Farmakodinamik Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor dandynorpin dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat. Efek A. Sistem saraf pusat 1. Analgesia Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor: a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri. b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidak lagi timbul. c. Memudahkan timbulnya tidur. 2. Euforia Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan nyaman terbebas dari rasa cemas. 3. Sedasi Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. 4. Pernafasan Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7

menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam. 5. Pupil Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III. 6. Mual dan muntah Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang otak. B. Sistem Syaraf Perifer 1. Saluran cerna Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus besar akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi. 2. Sistem kardiovaskular Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin. 3. Kulit Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan pelepasan histamin. 4. Traktus urinarius Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine. Short term Gelisah Depresi pernafasan Fungsi mental berkabut Mual dan muntah Menekan nyeri Abortus spontan Long term Addiksi HIV, hepatitis Kolaps vena Pengaruh heroin terhadap wanita hamil: Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)

Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang umum. Tabel 3. Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin Gejala dan Tanda pada Pemakaian Heroin Intoksikasi Akut (Over Dosis) Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat. Gejala intoksikasi akut (overdosis): Kesadaran menurun, sopor koma Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan memburuk danterjadi syok Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin Bradikardi Edema paru Kejang Kodein merupakan hasil substitusi grup metil pada grup hidroksil di karbon nomor 3 morfin. Jumlah grup metil dibatasi oleh first-pass hepatic metabolism dan jumlah yang diberikan secara oral. Waktu paruh setelah pemberian oral atau IM antara 3-3,5 jam. Sekitar 10% akan demetilisasi di hati menjadi morfin yang menimbulkan efek analgesia pada pemberian kodein. Sebagian besar kodein dimetilisasi menjadi norcodeine yang inaktif.

II.7. Kodein

Kodein adalah obat antitussif oral yang efektif dengan dosis 15 mg. Bila diberikan sebanyak 60 mg maka kodein akan memiliki efek analgesia yang setara dengan 650 mg aspirin dan 120 mg kodein IM setara dengan 10 mg morfin. Kodein menimbulkan sedasi minimal, nausea, vomitting dan konstipasi. Namun kodein tidak memiliki efek depresi pernapasan. II. 8. Ganja Definisi Ganja (Cannabis sativa) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydrocanabinol)

Mekanisme kerja Ketika seseorang merokok ganja, THC dengan sangat cepat masuk aliran darah melalui paru dimana membawa zat-zat kimia ke seluruh organ tubuh termasuk otak. Otak memiliki canna binoid receptor pada sel-sel saraf. Cannabinoid receptor paling banyak terdapat pada bagian otak yang berhubungan dengan fungsi koordinasi gerak tubuh (Cerrebelum), fungsi daya tangkap dan ingatan (hipokampus), fungsi-fungsi kognitif lebih tinggi (Cerebral korteks terutama cingulated, frontal danparietal), fungsi reward (Nucleus accumbens), dan fungsi kontrol gerakan (Basal gangglia).

Efek 1. Efek psikologis dan kesehatan : euforia, relaksasi, perubahan persepsi, intensifikasi dari pengalaman panca indra yang luar biasa 2. Efek kognitif : berkurangnya memori jangka pendek dan kehilangan hubungan, keterampilan dan reaksi motoriknya juga mengalami kemunduran. Gejala dan tanda Ansietas selama 10-30 menit Timbul rasa tertekan dan takut mati Delusi Ilusi Gelisah Bersikap hiperaktif Halusinasi penglihatan Halusinasi pendengaran Euforia Tertawa terbahak-bahak tanpa sebab Merasa ringan pada seluruh tungkai badan Merasa curiga Intoksikasi ganja Efek kardiovaskuler dirasakan tekanan darah meningkat, jantung berdebar. Keracunan secara cepat pada pengguna ganja sangat rendah dan tidak ditemukan kasus yang fatal dari keracunan akibat penyalahgunaan ganja. Hal ini dipengaruhi oleh cara penggunaan dengan merokok dan ditelan yang mengakibatkan lambatnya reaksi dalam tubuh, disamping juga ditentukan oleh kandungan THC dari ganja yang dikonsumsi II. 9. Petidin

Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor . Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktuparuh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadapnyeri neuropatik.b. Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut : 1) Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air. 2) Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkannormeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifatkonvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudahberkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3) Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut,kekaburan pandangan dan takikardia. 4)Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan. 5) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pascabedah yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. 6) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Farmakokinetik Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun berlangsung baik.Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kuranglebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolismemeperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalambentuk derivat Ndemitilasi.Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak,dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresirespirasi pada kelahiran.

Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yanglebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik.e. Dosis dan sediaanSediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml,25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosisuntuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB. Efek samping Meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah,gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. II. 10. Metadon Metadon adalah di-4,4-difenil-6-dimetil-amino-3-heptanon.

Struktur kimianya adalah L-Metadon merupakan analgesic yang 8-50x lebih kuat dari pada D-metadon.Efek depresi napas D-metadon lemah dan berbahaya adiksinya juga kecil, tapi isomer ini berefek antitusif*.Derivate yang serupa dengan metadon tidak lebih baik daripadametadon sendiri, malah dekstromoramid lebih banyak menimbulkan efek samping danmenyebabkan depresi napas lebih berat dari pada morfin jika diberikan dalam dosis ekuianalgetik. Farmakodinamik

SUSUNAN SARAF PUSAT Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10mg morfin.Dalam dosis

tunggal, metadon tidak menimbulkan hypnosis sekuat morfin. Setelahpemberian metadon berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karenaadanya kumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuatseperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24r jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hiportemia dan penglepasan ADH OTOT POLOS Seperti meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus danmenghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamine. Efek konstipasimetadon lebih lemah dari pada morfin. Seperti morfin dan meperidin, metadonmenimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis. Uterus manusia atermetidak banyak dipengaruhi metadon.Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin.Pada pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat. SISTEM KARDIOVASKULAR Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkanhipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapikadang-kadang timbul sinus bradikardi. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah cerebral dan kenaikan tekanan cairan otak. Farmakokinetik Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma yang tinggiselama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein plasma. Metadondiabsorbs secara baik oleh usus dan dapat ditemukan didalam plasma setelah 30 menitpemberian oral; kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati,ginjal dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberianparenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas dan nama anagelsia. Metadonmengalami pengikatan erat pada protein jaringan. Biotrasformasi metadon terutamaberlangsung di hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-denitelasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan

tinja sebagai hasil biotrasformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami eksresi dalambentuk asli. Sebagian besar di ekresi bersama empedu. Masa paruhnya 1-1 hari. Sediaan dan Posologi Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan subkutan menimbulkan iritasi total. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/ml. Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-10 mg. Efek samping Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk,fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Seperti pada morfindan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripadapemberian parenteral dan lebih sering timbul pada penderita berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan urtikariahemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon ialah berkurangnya ventilasipulmonal. Kepekaan seseorang terhadap metadon dipengaruhi oleh factor yangmempengaruhi kepekaan terhadap morfin. Terapi intoksikasi akut metadon samadengan terapi intoksikasi akut morfin. Toleransi dan kemungkinan adiksi Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgesik, mual, anoreksia,miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap efek konstifasi. Toleransi ini timbul lebih lambat dari pada toleransi terhadap morfin.Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil dari pada bahaya adiksi morfin. Indikasi Analgesia Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yangdapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira-kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kkuat dari padamorfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian varenteral atau30-60 menit setelah pemberian oral

metadon. Masa kerja metadon dosis tunggalkira-kira sama dengan masa kerja morfin. Pada pemberian berulang terjadikomulasi, sehingga dapat diberikan dosis lebih kecil atau interval dosis dapat lebih lama. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkansebagi analgesik pada persalinan. Metadon digunakan sebagai pengganti morfinatau opioid lain (misalnya heroin) untuk mencegah atau mengatasi gejala-gejalaputus obat yang ditimbulkan oleh obat-obat tersebut. Gejala putus obat yangditimbulkan oleh metdon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atauheroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lambat. Antitusif Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg per oralsesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi padametadon jauh lebih besar dari pada kodein. Oleh karenanya dewasa inipenggunaannya sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah banyak ditinggalkan. II. 11. Metamfetamin Methampethamine adalah obat psikostimulant dari golongan phenethylaminedan amfetamine. Obat ini meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi, dan stamina, dan jika digunakan dengan dosis yang lebih tinggi lagi dapat mengakibatkan euforia,meningkatkan percaya diri, dan libido. Menurut UU No.5 Tahun 1997,methampethamine termasuk dalam obat psikotropika golongan II yaitu obat psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkansindrom ketergantungan. Methemphetamine bekerja pada sistem saraf pusat dengan mengaktifkan pelepasan neurotransmitter dopamin, norepinefrin, dan serotonin.

Farmakodinamik Metamfetamin merupakan obat simpatomimetik yang berarti menirutransmiter endogen di sistem saraf simpatis dengan berinteraksi dengan reseptornya. Neurotransmiter yang dimaksud adalah merupakan katekolamine, stimulan norephineprine, yang dopamine, dan epineprine. yangdapat Metamfetamin sistem saraf memiliki efek

mempengaruhi frekuensi nadi, suhu tubuh, tekanan darah, nafsu makan, konsentrasi, suasana

hati dan emosi serta berhubungan dengan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar. Efek akut dari senyawa tersebut antara lain dapat meningkatkan tekanan darah dan frekuensi nadi, vasokontriksi pembuluh darah, bronkodilatasi, hiperglikemia, peningkatan kewaspadaan, konsentrasi dan penurunan nafsu makan.Metamfetamin juga merupakan neurotoksin yang poten dan dapatmenyebabkan degenerasi dopaminergik. Metamfetamin dosis tinggi dapat menimbulkan penurunan beberapa penanda dopamin dan serotonin di otak. Hasil penetilian menyatakan bahwa berkurangnya produksi dopamin atau penurunan pengeluarannya merupakan efek dari metamfetamin. Ketika dopamin menurun,senyawa oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida pun diproduksi. Farmakokinetik Konsentrasi puncak penyerapan metamfetamin dicapai pada 3,13-6,3 jam pasca dikonsumsi. Metabolisme puncak dicapai pada 10 sampai 24 jam.Metamfetamin dapat melewati sawar darah otak dan plasenta karena memilikilipofilisitas yang tinggi.Metamfetamin dimetabolisme di hati dan diekresikan olehginjal. Waktu paruh dari metamfetamin bervariasi dengan waktu rata-rata adalah 9sampai 12 jam. Adapun efek metamfetamin terhadap tubuh antara lain : 1. Efek fisik Efek yang dapat terjadi berupa anoreksia, hiperaktivitas, dilatasi pupil,kemerahan pada kulit, mulut kering, nyeri kepala, takikardi, bradikardi,takipnue, hipertensi, hipotensi, diare, dan pada pengunaan yang lama dan ataudosis yang lebih tinggi dapat mengakibatkan kejang, serangan jantung, stroke,dan kematian. 2. Efek psikologis Dapat berupa euforia, cemas, peningkatan libido, peningkatan kewaspadaan,konsentrasi, kepercayaan diri, sensitif, agresif, halusinasi, obsesif, dan pada penggunaan yang lama dan atau dosis yang lebih tinggi dapat mengakibatkan psikosis amfetamin. 3. Efek dalam jangka panjang Penggunaan methemphetamine dengan jangka waktu panjang sangat erathubungannya dengan munculnya depresi, keinginan bunuh diri, dan perilakukasar. Methemphetamine juga mempunyai resiko ketergantungan, selain itu juga merupakan zat neurotoksik yang diyakini meningkatkan resiko penyakit parkinson. Penyalahgunaan methemphetamine diyakini bertanggungjawabuntuk mengakibatkan terjadinya penurunan kognitif yang menetap, sepertiingatan, dan gangguan konsentrasi.

4. Efek putus obat Efek yang terjadi akibat putus obat pada penggunaan methamphetamine dapat berupa lemah, depresi, peningkatan nafsu makan. Gejala dapat tetap munculdalam beberapa hari pada penggunaan jangka pendek, dan dapat tetap munculhingga beberapa minggu ataupun bulan pada pemakaian jangka panjang.Tingkat beratnya efek putus obat yang timbul tergantung dari lamanya pemakaian dan jumlah methamphetamine yang digunakan. II. 12. MDMA (Ecstasy) MDMA (N-metil-3,4-metilendioksi amfetamin atau 3,4-metilendioksimetamfetamin) yang popular dikenal sebagai ecstasy merupakan senyawa feniletilamin yang memiliki efek stimulant terhadap SSP. MDMA bekerja dengan cara meningkatkan penglepasan total neurotransmitter monoamine (serotonin, noradrenalin dan dalam jumlah kecil dopamine) dari ujung akson. MDMA tidak bekerja secara langsung melepaskan serotonin, namun dengan berikatan dan kemudian menghambat transporter yang terlibat dalam ambilan kembali (uptake). Efek akut berupa perasaan bertenaga, gangguan dalam orientasi waktu, perasaan mendaptkan pengalaman yang menyenangkan, dengan meningkatkan persepsi. Efek negative yang ditimbulkan adalah takikardia, mulut kering, rahang mencengkram dan nyeri otot. Pada dosis yang lebih tinggi akan terjadi halusinasi visual, agitasi, hipertermia dan serangan panic. Dosis oral yang umum digunakan adalah satu hingga dua tablet 100 mg dan efeknya dapat bertahan 3-6 jam. II. 13. Amfetamin Merupakan salah satu amin simpatomimetik yang paling kuat dalam merangsang SSP, di samping mempunyai kerja perifer pada reseptor alfa dan beta melalui pelepasan NE endogen. Amfetamin merangsang pusat napas di medulla oblongata dan mengurangi depresi sentral yang ditimbulkan oleh berbagai obat. Efek ini disebabkan oleh perangsangan pada korteks dan system aktivasi reticular. Pada manusia efek psikis dosis 10-30 mg dapat berupa peningkatan kewaspadaan, hilangnya rasa ngantuk, dan berkurangnya rasa lelah, perbaikan mood, bertambahnya inisiatif, percaya diri dan daya konsentrasi, seringkali euphoria dan peningkatan aktivitas motorik dan aktivitas bicara. Penggunaan lama dan dosis besar hamper selalu diikuti oleh depresi mental dan kelelahan fisik.

Mekanisme kerja amfetamin di SSP semuanya atau hampir semuanya melalui penglepasan amin biogenic dari ujung saraf yang bersangkutan di otak. Dosis yang lebih tinggi melepaskan dopamine, terutama di neostratium, dan menimbulkan aktivitas lokomotor serta perilaku yang stereotype. Dosis yang lebih tinggi lagi melepaskan serotonin (5-HT) dan dopamine di mesolimbik, di samping bekerja langsung sebagai serotonin-agonis, dan menimbulkan gangguan persepsi serta perilaku psikotik.

II. 14. ALKOHOL Alkohol banyak terdapat dalam minuman dan sering menimbulkan keracunan Sumber : minuman seperti whisky, wines, vodka ,dll Farmakokinetik Alcohol diabsorpsi dalam jumlah sedikit melalui mukosa mulut dan lambung. Sebgaian besar (80%) diabsorpsi di usus halus dan sisanya diabsorpsi di kolon. Kecepatan absorpsi bergantung pada takaran dan konsentrasi alcohol dalam minuman yang diminum, serta vaskularisasi, motilitas, dan pengisian lambung dan usus halus. Bila konsentrasi optimal alcohol diminum dan masuk ke dalam lambung kosong, kadar puncak dalam darah tercapai 30-90 menit sesudahnya, alcohol mudah berdifusi dan distribusinya dalam jaringan sesuai dengan kadar air jaringan tersebut, semakin hidrofil jaringan semakin tinggi kadarnya. Biasanya dalam 12 jam sudah tercapai keseimbangan kadar alcohol dalam darah, usus dan jaringan lunak, konsentrasi dalam otak sedikit lebih besar daripada dalam darah. 90% alcohol yang akan dikonsumsi akan dimetabolisme oleh tubuh terutama dalam hati oleh enzim alcohol dehidrogenase (ADH) dan koenzim nikotinamidadenindinukleotida (NAD) menjadi asetaldehida dan kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Farmakodinamik Konsumsi etanol akut mempengaruhi SSP, jantung dan otot polos.Kepustakaan mengenai alkoholisme hanya mengandung data yang terbatas mengenai hubungan dosisrespons yang tepat antara konsumsi alkohol kronis dan kerusakan sistem organ vital.Alkohol dalam dosis besar menciptakan efek metabolik bertingkat, menyebabkan kerusakanpada hati dan sistem pencernaan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung danpankreas dan

merubah sawar mukosa, dengan demikian akan meningkatkan risiko terjadinyagastritis dan pankreatitis. Perdarahan gastrointestinal akut sering disebabkan oleh gastritis karena alkohol. Efek akut pada lambung terutama berkaitan dengan efek toksik etanol pada mukosa membran dan kaitannya dengan peningkatan produksi asam lambung secara relatif kecil. Etanol diketahui sebagai faktor yang kuat (termasuk obat AINS, stress dan steroid) yangdapat meningkatkan resiko erosi mukosa gaster dan pembentukan ulkus. Suatu studi telahmenunjukkan peranan radikal bebas sebagai etiologi pembentukan ulkus yang diinduksi etanol.Adanya HCl dan etanol dapat menyebabkan lesi ulseratif dan meningkatkan peroksidase lipid dimukosa gaster dengan deplesi yang nyata pada antioksidan endogen. HCl/etanol telah terbuktidapat menyebabkan jejas dengan jalan menyerang protein di mukosa gaster dan kemudianmenyebabkan reduksi level protein. Tanda dan gejala keracunan Pada kadar yang rendah, 10-20 mg%, sudah menimbulkan gangguan berupa penurunan keapika keterampilan tangan dan perubahan tulisan tangan. Pada kadar 30-40 mg % telah timbul penciutan lapang pandangan, penurunan ketajaman penglihatan, dan pemanjangan waktu reaksi. Sedangkan pada kadar kurang lebih 80 mg% telah terjadi gangguan penglihatan 3 dimensi, kedalaman pandangan dan gangguan pendengaran. Selain itu, tampak pula gangguan pada kehidupan psikisnya yaitu penurunan kemampuan memusatkan pikiran, konsentrasi, asosiasi dan analisa. Alcohol dengan kadar dalam darah 200 mg%, menimbulkan banyak bicara, ramai, reflex menurun, inkoordinasi otot-otot kecil, kadang-kadang nistagmus dan sering terdapat pelebaran pembuluh darah kulit. Dalam kadar 250-300 mg% menimbulkan gejala penglihatan kabur, tak dapat mengenali warna, konjungtiva merah, dilatasi pupil, diplopia, sukar memusatkan pandangan dan nistagmus. Dalam kadar 400-500 mg%, aktivitas motorik hilang sama sekali, timbul stupor atau koma, pernafasan perlahan dan dangkal, suhu tubuh menurun. II. 15. Hipnotik Sedatif Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur. Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni:

1. Benzodiazepin 2. Barbiturat 3. Golongan obat nonbarbiturat - nonbenzodiazepin A. Benzodiazepin Definisi Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakalogi sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde. Struktur Kimia Benzodiazepin Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine ring yang berisi tujuh molekul.

Gambar 3. Struktur Kimia Benzodiazepin Mekanisme Kerja Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang merupakan 60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).. Efek Samping Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama benzodiazepine. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit

paru kronis. Gangguan koordinasi motorik, penurunan fungsi kognitif dan amnesia retrograde dapat terjadi apabila digunakan bersama dengan obat penekan CNS. Contoh Preparat Benzodiazepin A. 1. Diazepam Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibanding midazolam.

Farmakokinetik Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Metabolisme Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat. Waktu Paruh Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA A lebih cepat terpisah.

Efek pada Sistem Organ Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml. Penggunaan Klinis Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus. B. Barbiturat Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat. Farmakodinamik Barbiturat mempunyai efek utama depresi pada susunan saraf pusat. Efek depresi terkuat terjadi terhadap korteks serebri, daerah hipotalamus, dan diensefalon. Semua tingkat depresi dapat dicapai dari sedasi hingga koma dan dapat berakhir dengan kematian. GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat

Farmakokinetik Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar. Barbiturat kerja singkat diabsorpsi dengan cepat dalam waktu 15-20 menitkarena mudah larut, cepat didistribusi, dan dieksresi melalui urin secara bertingkat. Barbiturat kerja lama diabsorpsi lebih lambat (45-60 menit) dan sebagian dieksresi melalui urin dalam bentuk tidak berubah. Inaktivasi barbiturat dalam badan terjadi melalui penghancuran dalam jaringan terutama dalam hati, ekskresi melalui ginjal, dan kombinasi keduanya. Barbiturat kerja lama sebagian besar tidak dimetabolisme sehingga akan dikeluarkan dalam bentuk urin (65-80%). Barbiturat kerja singkat hampir seluruhnya dimetabolisme. Pengaruh Barbiturat 1. Pengaruh Pada Sistem Saraf Pusat Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. 2. Pengaruh pada Susunan Saraf Perifer Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat. 3. Pengaruh pada Pernapasan Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang.

Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia. 4. Pengaruh pada Sistem Kardiovaskular Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi. 5. Pengaruh pada Saluran Cerna Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat. 6. Pengaruh pada Hati Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D. 7. Pengaruh pada Ginjal Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata. Indikasi Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital. Topental Fenobarbital Di gunakan untuk induksi pada anestesi Untuk menghilangkan ansietas umum. jahit luka). Sedasi pada analgesik regional Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi) Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, Untuk sedatif dan hipnotik

Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus Kontra Indikasi Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson, dan penderita psikoneurotik tertentu. Interaksi Obat Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.. Intoksikasi Keracunan barbiturat terjadi bila jumlah yang masuk lebih dari 10-20 kali takaran hipnotik. Biasanya takaran mematikan untuk orang dewasa adalah 50-70 grain , tetapi dapat pula dengan takaran 125, 200, atau 300 grain (1 gram=4,8 grain). Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali, oligiuria dan anuria. II. 16. Nonbarbiturat Nonbenzodiazepin A. Ketamin Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan disosiative anesthesia yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat.

Struktur Kimia Ketamin

Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon asimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan ketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia yang lebih, lebih cepat dimetablisme, dan masa recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit, dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah zethonium chloride. Mekanisme Kerja Ketamin Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar. Farmakokinetik Memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Ketamin

dapat melewati sawar darah di otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah. Waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Metabolisme Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin.
II. 17. Kafein Sifat Kimia Kafein Kafein ialah alkaloid yang tergolong dalam keluarga methylxanthine bersama sama senyawa tefilin dan teobromin, berlaku sebagai perangsang sistem saraf pusat. Pada keadaan asal, kafein ialah serbuk putih yang pahit (Phytomedical Technologies, 2006) dengan rumus kimianya C6 H10 O2, dan struktur kimianya 1,3,7- trimetilxantin Sumber Kafein Kafein ialah senyawa kimia yang dijumpai secara alami di didalam makanan contohnya biji kopi, teh, biji kelapa, buah kola (cola nitide) guarana, dan mate. Teh adalah sumber kafein yang lain, dan mengandung setengah dari kafein yang dikandung kopi. Beberapa tipe teh yaitu teh hitam mengandung lebih banyak kafein dibandingkan jenis teh yang lain. Teh mengandung sedikit jumlah teobromine dan sedikit lebih tinggi theophyline dari kopi. Kafein juga merupakan bahan yang dipakai untuk ramuan minuman non alkohol seperti cola, yang semula dibuat dari kacang kola. Soft drinks khususnya terdiri dari 10-50 miligram kafein. Coklat terbuat dari kokoa mengandung sedikit kafein seperti terlihat pada tabel 2.1. Efek stimulan yang lemah dari coklat dapat merupakan kombinasi dari theobromine dan theophyline sebagai kafein Kandungan Kafein dalam Kandungan Kafein 85 mg

Makanan/Minuman Produk Secangkir kopi

Secangkir the 35 mg Sebotol Coca cola 35 mg Minuman Energi (kratingdaeng, 50 mg M 150, Galin Burgar, dll) Farmakodinamik Kafein Kafein mempunyai efek relaksasi otot polos , terutama otot polos bronchus, merangsang susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. a. Jantung, kadar rendah kafein dalam plasma akan menurunkan denyut jantung, sebaliknya kadar kafein dan teofilin yang lebih tinggi menyebabkan tachicardi, bahkan pada individu yang sensitif mungkin menyebabkan aritmia yang berdampak kepada kontraksi ventrikel yang premature. b. Pembuluh darah, kafein menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal, karena efek langsung pada otot pembuluh darah c. Sirkulasi Otak, Resistensi pembuluh darah otak naik disertai pengurangan aliran darah dan PO 2 di otak, ini diduga merupakan refleksi adanya blokade adenosine oleh Xantin Efek jangka Pendek Kafein Mencapai jaringan dalam waktu 5 (lima) menit dan tahap puncak mencapai darah dalam waktu 50 menit, frekuensi pernafasan ; urin, asam lemak dalam darah ; asam lambung bertambah disertai peningkatan tekanan darah. Kafein juga dapat merangsang otak (7,5-150 mg) dapat meningkatkan aktifitas neural dalam otak serta mengurangi keletihan), dan dapat memperlambat waktu tidur Efek Jangka panjang Kafein Pemakaian lebih dari 650mg dapat menyebabkan insomnia kronik, gelisah, dan ulkus. Efek lain dapat meningkatkan denyut jantung dan berisiko terhadap penumpukan kolesterol, menyebabkan kecacatan pada anak yang dilahirkan Farmakologi Kafein Kafein adalah stimulan dari sistem saraf pusat dan metabolisme, digunakan secara baik untuk pengobatan dalam mengurangi keletihan fisik dan juga dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan sehingga rasa ngantuk dapat ditekan. Kafein juga merangsang sistem saraf pusat dengan cara menaikkan tingkat kewaspadaan, sehingga fikiran lebih jelas dan terfokus dan koordinasi badan menjadi lebih baik (Ware, 1995).

Metabolisme Kafein Diserap sepenuhnya oleh tubuh melalui usus kecil dalam waktu 45 menit setelah penyerapan dan disebarkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada orang dewasa yang sehat jangka waktu penyerapannya adalah 3-4 jam, sedangkan pada wanita yang memakai kontrasepsi oral waktu penyerapan adalah 5-10 jam. Pada bayi dan anak memiliki jangka waktu penyerapan lebih panjang (30 jam). Kafein diuraikan dalam hati oleh sistem enzym sitokhrom P 450 oksidasi kepada 3 dimethilxanthin metabolik, yaitu : a. Paraxanthine (84%),mempunyai efek meningkatkan lipolysis, mendorong pengeluaran gliserol dan asam lemak bebas didalam plasma darah b. Theobromine (12%) melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan volume urin. Theobromine merupakan alkaloida utama didalam kokoa (coklat) c. Theophyline (4%), melonggarkan otot saluran pernafasan, digunakan pada pengobatan asma. Masing masing dari hasil metabolisme ini akan dimetabolisme lebih lanjut dan akan dikeluarkan melalui urin

II.18. Intoksikasi Narkoba A. Intoksikasi Narkotika Golongan I Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas. Gambaran klinis intoksikasi dari narkotika golongan I yaitu : Heroin Heroin termasuk ke dalam golongan obat depresan. Obat jenis ini menekan atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Pada keadaan intoksikasi dapat menyebabkan depresi nafas, denyut jantung dan nadi lambat, edema paru akut, kematian. Kokain Tergolong ke dalam obat stimulan yaitu jenis zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan fungsi tubuh. Pada keadaan kelebihan dosis timbul eksitasi, kesadaran yang berkabut, pernafasan yang tidak teratur, tremor, pupil melebar, nadi bertambah cepat, suhu badan naik, rasa cemas, dan ketakutan, serta kematian biasanya disebabkan pernafasan berhenti.

Ganja Termasuk ke dalam jenis obat halusinogen yang merupakan obat-obatan alamiah ataupun sintetik yang memiliki kemampuan untuk memproduksi zat yang dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi. Pemakaian ganja yang kronis mempengaruhi berbagai organ tubuh, menyebabkan peradangan pada paru-paru sehingga fungsi paru terganggu. B. Intoksikasi Narkotika Golongan II Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas. Gambaran klinis intoksikasi dari narkotika golongan II yaitu : Morfin Termasuk ke dalam kelompok obat depresan yang dapat menekan atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat. Efek intoksikasi menyebabkan penurunan kesadaran, depresi napas dan pupil kecil (pin point). Petidin Tergolong nakotika sintesis dan turunan dari opiat. Petidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan rasa sakit tingkat menengah hingga kuat. Petidin adalah obat yang aman untuk digunakan karena memiliki resiko ketergantungan yang rendah. Keadaan intoksikasi berupa pernafasan terhambat yang dapat menyebabkan kematian. C. Intoksikasi Narkotika Golongan III Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas. Gambaran klinis dari intoksikasi narkotika golongan III yaitu : Kodein Kodein termasuk turunan dari candu, namun efek kodein lebih lemah daripada heroin dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungan rendah. Obstipasi dan mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih tinggi. D. Intoksikasi Psikotropika Golongan I Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas.

Gambaran klinis intoksikasi dari psikotropika golongan I yaitu : Ekstasi Obat-obat ekstasi mempunyai efek kerja seratonergik dan dopaminergik pada sistem saraf pusat. Efek intoksikasi dapat menyebabkan tachyaritmia, hiperpireksia, gerakan klonis dan konvulsi. Efek buruk yang penting adalah gagal hati dan ginjal akut serta kerusakan pada saraf-saraf yang melepaskan serotonin. Shabu Shabu adalah nama julukan terhadap zat metamfetamin yang mempunyai sifat stimulansia yang lebih kuat dibanding turunan amfetamin yang lain. Shabu dapat menimbulkan gangguan serius pada kejiwaan dan mental, pembuluh darah rusak, rusaknya ujung saraf dan otot, tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat dan terjadi radang hati. LSD LSD (Lysergic Acid Diethylamide) termasuk sebagai golongan halusinogen yaitu zat yang dapat mengubah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang serta menimbulkan halusinasi. Resiko akan ketergantungan psikis bisa kuat sedangkan ketergantungan fisik biasanya ringan sekali. Dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan perasaan ketakutan, kebingungan dan panic yang biasanya disebut bad trip atau flip. E. Intoksikasi Psikotropika Golongan II Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas. Gambaran klinis intoksikasi dari psikotropika golongan II yaitu : Amfetamin Amfetamin adalah stimulansia susunan saraf pusat. Overdosis dapat menimbulkan kekacauan pikiran, delirium dan aritmia jantung. Zat ini juga meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung yang dapat mengakibatkan stroke maupun serangan jantung. Metilfenidat atau ritalin Metilfenidat merupakan salah satu derivate dari amfetamin yaitu senyawa sintetik yang tergolong perangsang susunan saraf pusat. Efek intoksikasinya berupa takikardia atau bradikardia, dilatasi pupil, agitasi atau retardasi psikomotor, kelemahan otot, depresi pernafasan, aritmia jantung, konvulsi, diskinesia, koma. F. Intoksikasi Psikotropika Golongan III Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas.

Gambaran klinis intoksikasi dari psikotropika golongan III yaitu : Pentobarbital Pentobarbital termasuk kedalam turunan barbiturat yang bersifat depresiva. Obat depresiva merupakan obat yang bekerja mengurangi kegiatan dari sistem saraf pusat sehingga dipergunakan untuk menenangkan saraf atau membuat seseorang mudah tidur. Dalam keadaan intoksikasi obat tersebut dapat menimbulkan depresi sentra dengan penghambatan pernafasan berbahaya, koma dan kematian. Flunitrazepam Flunitrazepam merupakan turunan benzodiazepine dan digolongkan ke dalam zat sedative dan hipnotika. Efek intoksikasi dapat menyebabkan peurunan kesadaran hingga koma. G. Intoksikasi Psikotropika Golongan IV Reaksi toksisitas beragam tergantung cara pemberian, efek toleransi, lama kerja, masa paruh obat yang akhirnya menentukan tingkat toksisitas. Gambaran klinis intoksikasi dari psikotropika golongan IV yaitu : Diazepam, bromazepam, klonazepam, nitrazepam Turunan benzodiazepine dan digolongkan ke dalam zat sedative dan hipnotika. Efek intoksikasi dapat menyebabkan peurunan kesadaran hingga koma. Fenobarbital Fenobarbital termasuk kedalam turunan barbiturat yang bersifat depresiva. Intoksikasi obat tersebut dapat menimbulkan depresi sentra dengan penghambatan pernafasan, koma dan kematian. Klordiazepoxide Klordiazepoxide digunakan untuk meringankan kecemasan dan mengendalikan agitasi. Intoksikasi zat tersebut dapat menyebabkan kesulitan bernapas atau menelan, ruam kulit parah, kulit atau mata menguning, detak jantung tidak teratur. H. Intoksikasi Bahan Adiktif Zat suatu benda yang termasuk dalam kategori bahan adiktif adalah: Alkohol Alkohol dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yaitu merangsang dan kemudian menekan fungsi otak serta menyebabkan vasodilatasi. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia. Overdosis dapat langsung mematikan dan pada pemakaian secara

teratur dan banyak dapat mengakibatkan terganggunya fungsi hati dan akhirnya selselnya mengeras.
Inhalansia dan solvent (pelarut)

Zat yang digolongkan inhalansia dan solvent adalah gas atau zat pelarut yang mudah menguap. Zat ini banyak terdapat pada alat-alat keperluan rumah tangga, seperti perekat, hair spray, deodorant spray, pelumas mesin, bahan pembersih dan thinner. Zat tersebut dapat menyebabkan luka-luka atau peradangan disekitar mulut dan hidung, juga bisa menyebabkan rusaknya berbagai organ tubuh misalnya otak, ginjal, paru-paru, jantung dan sumsum tulang dengan mengganggu pembentukan sel darah merah. Kafein Kafein atau 1,3,7 trimetilsantin adalah alkaloida yang terdapat dalam tanaman Coffea arabica, Coffea canephora dan Coffea liberica. Selain kopi minuman lain juga banyak yang mengandung kafein seperti daun teh (teh hitam dan teh hijau), kakao dan coklat. Kafein merangsang otot jantung sehingga kadang-kadang menyebabkan aritmia jantung, vasokonstriksi pembuluh darah otak, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan peredaran darah perifer, mempunyai sifat diuretik, iritasi pada lambung. Nikotin Nikotin terdapat pada tanaman tembakau, kadarnya dalam tembakau berkisar 1-4%. Nikotin dapat menimbulkan tremor tangan dan kenaikan berbagai hormon dan neurohormon dopamine di dalam plasma, di samping itu nikotin dapat menyebabkan mual dan muntah. II.19. Tanda Postmortem Pada Pengguna Narkoba A. Tanda Postmortem Pada Pengguna Narkotika a.Keracunan Heroin Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan narkotika, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan urine. Apabila hasil pemeriksaan laboratoriummenunjukkan adanya narkotika, maka kita wajib melaporkannya kepada pihak yang berwewenang (Pasal 48 UU Narkotika,1976). Pada pemeriksaan jenasah : Bekas-bekas suntikan Tersering terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat yang jarang namun harus tetap kita perhatikan adalah pada leher, di bawah

lidah atau pada daerah perineum. Pada adiksi kronik akan ditemukan bekas-bekas suntikan yang lama, berupa jaringan parut berbentuk tiitik-titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai intravenous (mainline) tracks. Pembesaran kelenjar getah bening regional Terutama di daerah ketiak disertai dengan adanya bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut seorang pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan fenomena drainase, sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena atau jaringan disekitarnya, dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada pemeriksaan mikroskopik kelainan ini menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.

Lepuh kulit (skin-blister)

Biasanya pada kulit daerah telapak tangan dan kaki. Kelainan ini biasanya terdapat pada kasus kematian karena suntikan morfin/ heroin dalam jumlah besar. Keadaan ini juga mungkin didapatkan pada kasus keracunan CO atau barbiturat. Kelainan lain Biasanya merupakan tanda asfiksia saeperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut, yang mulanya berwarna putih yang kemudian kemerahan (karena adanya autolysis). Kelainan ini dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir, perdarahan petekial pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing kadang dijumpai perforasi septum nasi. Kelainan paru akut Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu antara suntikan terakhir dan saat kematian. Perubahan awal (3 jam pertama) didapatkan edema dan kongesti saja. Makroskopik terlihat paru membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi, bagian anterior sering memperlihatkan emfisema akut. Mikroskopik terlihat kongesti dan edema disertai sebukan sel mononuclear di dalam dan pada dinding alveoli. Pada jangka waktu 3-12 jam didapatkan narcotic lungs. Menurut Siegel, kelainan ini khas dan dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis. Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa halus sampai ke cabang-cabangnya, penampang dan permukaan baru memperlihatkan berbagai gambaran lobuler yang paling menonjol. Mikroskopik terlihat edema, kongesti, dan sebukan makrofag yang tetap menonjol, perdarahan alveolar, intrabronkial dan

subpleural serta sebukan sel polimorfonuklear. Dalam bronkiolus tampak bendabenda asing, deskuamasi sel-sel epitel serta mukus. Perubahan lanjut terjadi lebih dari 24 jam. Paru menunjukkan gambaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak berwarna coklat kemerahan, padat seperti daging dan menunjukkan gambaran granuler. Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskuler paru sebagai manifestasi reaksi jaringan terhadap talk (magnesium-silikat) yang digunakan sebagai bahan pencampur. Mungkin pula perubahan tersebut terjadi sebagai akibat bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral, sama seperti mekanisme terjadinya granuloma subkutan. Letak granuloma tersebut dapat intravaskuler, perivaskuler, atau pada dinding alveoli tapi biasanya pada arteriol. Kelainan paru kronik Berupa granulomatosis vaskular paru sebagai manifestasi reaksi jaringan terhadap talk yang digunakan sebagai bahan pencampur, mungkin pula akibat bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral. Letak granuloma tersebut dapat intravaskular, perivaskular atau pada dinding alveoli, tetapi biasanya pada arteriol. Pada mikroskopis tampak gambaran kristal. Kelainan hati Dapat berupa akumulasi sel radang, terutama limfosit, sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells. Kelainan hati ini menurut Siegel terdapat pada 80% kasus, dan derajat kelainannya tergantung dari lamanya penggunaan narkotika. Pada pemeriksaan mikroskopik juga ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel-sel duktus biliaris. Kelainan pada hati tersebut dibagi menjadi : a. Hepatitis kronik agresif, dengan cirri khas berupa pembentukan septa b. Hepatitis kronik persisten, dengan infiltrasi sel radang terutama di daerah portal (lebih dari 40% kasus) c. Hepatitis kronik reaktif d. Perlemakan hati e. Hepatitis virus akut (pada 5,9% kasus) Kelainan kelenjar getah bening Terutama pada kelenjar getah bening di daerah porta hepatis, sekitar duktus koledokus dan di sekitar kaput pancreas. Kelainan ini juga berbanding lurus dengan

derajat adiksi seseorang. Makroskopis tampak kelenjar membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi dan hipertrofi limfosit. Kelainan lain Limpa membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi nodul dan sentrum germinativum yang menonjol. Jantung mungkin menunjukkan peradangan (endokarditis dan miokarditis). Pada otak mungkin ditemukan perubahan kistik pada ganglia basal. Dapat juga ditemukan kelainan yang biasa merupakan akibat pemakaian alat yang tidak steril. b. Keracunan Morfin Gambaran post-mortem tidak begitu khas kecuali jika telah terjadi gejala asfiksia yang menonjol. Tanda-tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian. Needle marks Lokasi di fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda-tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titiktitik sepanjang lintasan vena dan disebut intravenous mainline tracks. Kadangkadang untuk menyamarkan needle marks itu ditutup dengan gambaran tatoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini sering didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tandatanda abses dan lain sebagainya. Jika tidak ada bekas suntikan mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya dengan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu pada pemeriksaan toksikologi, pelu diambil sediaan usap ingus (nasal swab) sebagai bahan BBB. Hipertrofi kelenjar getah bening regional Pada korban yang sring menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler. Hal ini merupakan Drain

phenomenon. Biasanya karena jarum suntiknya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik. Gelembung-gelembung pada kulit Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate. Tanda mati lemas Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujungujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi. II.20. Tanda Postmortem Pada Pengguna Psikotropika a.Keracunan Barbiturat Diagnosis keracunan barbiturat dapat sukar ditegakkan, orang dengan mental tidak stabil dan bersifat destruktif mudah sekali menggunakan obat-obat depresi SSP. Pada penderita yang segera meninggal atau yang ditemukan setelah meninggal, pemeriksaan pada tempat kejadian perlu dilakukan. Ditemukannya botol obat yang kosong, sisa-sisa tablet/ kapsul pada tempat kejadian, sisa-sisa tablet/kapsul dengan warna khas dalam mulut atau dalam lambung akan sangat membantu diagnosis. Diagnosis banding dari hasil pemeriksaan toksikologik jenis zat yang terdapat dalam tubuh korban. Untuk ini diperlukan tersedianya pemeriksaan kromatografi yang dengan cepat dapat menentukan jenis dan jumlah obat depresi SSP dalam tubuh. Pada barbiturat tak terjadi deposit masif dalam organ tertentu, meskipun dalam hati kadarnya lebih banyak dari darah. Interpretasi kadar barbiturat : Kadar dalam serum kurang lebih sama dengan kadar dalam darah. Kadar dalam hati 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar dalam darah. Bila kadar lebih dari 4 kali berarti penelanan dalam waktu kurang dari 5 jam sebelum orang tersebut mati. Kadar barbiturat dalam darah pada saat mulai koma : Golongan kerja singkat 0,8 mg/100 ml darah

Golongan kerja sedang 2-3 mg/100 ml darah Golongan kerja lama 5-8 mg/100 ml darah

Kesadaran setelah overdosis dapat diperkirakan dengan cara : Lama koma = x (kadar ditemukan - kadar koma) x 24 jam Sebab pada takaran toksik, kadar barbiturat dalam darah turun 2 mg/ 100 ml darah dalam waktu 24 jam. Keadaan ini bila tidak terdapat komplikasi pernapasan maupun infeksi. Pada autopsi, diagnosis kematian akibat kematian keracunan barbiturat akut kadang-kadang tidak dapat ditentukan, oleh karena tertutupi oleh sebab kematian lain seperti perdarahan subarachnoid spontan, rupture aneurisma aorta. Bila ditemukan kadar barbiturat dalam darah dengan jumlah banyak, maka diagnosis kematian keracunan barbiturate baru dapat ditegakkan. Gambaran pasca mati pada keracunan barbiturat biasanya tidak khas. Pada pemeriksaan luar hanya tampak gambaran asfiksia, berupa sianosis, keluarnya busa halus dari mulut, tardieu spot, dapat ditemukan vesikel atau bula pada kulit daerah yang tidak tertekan. Pada pembedahan jenazah, mukosa saluran cerna dan seluruh organ dalam menunjukkan tanda-tanda pembendungan. Esofagus menebal, berwarna merah coklat gelap dan kongestif. Penemuan lain yang dapat membantu adalah adanya perubahan warna dari mukosa esofagus dan lambung dengan lender yang berwarna merah muda pada keracunan seconal, kuning pada nembutal, hijau kebiruan pada amytal. Dapat juga ditemukan sisa-sisa tablet dan kapsul dalam lambung. Karena barbiturat ada yang bersifat iritatif (garam Na dari golongan kerja singkat dan sangat singkat), mukosa lambung dapat menunjukkan tanda-tanda korosif dengan atau tanpa perdarahan. Paru-paru dapat menunjukkan tanda-tanda edema paru dan kongesti hebat, daerah basal paru dapat mengalami aerasi yang progresif yang menimbulkan atelektasis. Pada pleura dapat ditemukan bercak perdarahan. Dalam saluran nafas terdapat cairan yang berbusa bercampur sedikit darah. Otak menunjukkan tanda-tanda pembendungan, selain itu terdapat lesi di korteks dan bangsal ganglia otak berupa infiltrasi sel-sel bulat perivaskular, degenerasi neuron terutama di thalamus dan putamen, small ring hemorrhages, nekrosis globus palidus yang simetris dan bilateral.

Pemeriksaan mikroskopik hepar dan ginjal dapat memperlihatkan tanda degenerasi. b. Keracunan Metamphetamin Jantung para pengguna metamphetamine relative lebih berat dari berat normal, dengan adanya darah dengan fibrosis dan contraction band necrosis. Pada pembuluh darah terjadi percepatan penyakit arteri koroner dan kerusakan mikrovaskular. Peningkatan temperature tubuh karena penggunaan metamphetamin, menyebabkan terjadinya peningkatan produksi heat shock protein, suatu protein yang dihasilkan sel sebagai respons terhadap adanya stressor seperti iskemia dan kerusakan sel. Hal ini menjelaskan mengapa pada para pengguna metamphetamine jarang ditemukan infark jantung yang sering ditemukan pada para pengguna kokain. Pada penelitian melalui sejumlah autopsy, ditemukan pada kasus kematian terkait metamphetamine terjadi edema paru sebanyak 70% kasus, pneumonia pada 8% kasus dan pada 5% kasus ditemukan emfisema. Bila tablet metamphetamine digerus dan dilarutkan untuk disuntikkan secara intravena, maka zat pengikat yang tidak larut dalam air akan terperangkap dalam pembuluh darah mikro paru. Jika penyuntikan berlanjut, maka akan terjadi thrombosis pada pembuluh darah kecil paru dan terbentuk granuloma benda asing. Benda asing yang masuk ke ruang perivaskular akan membentuk granuloma dan fibrosis yang lebih luas. Pada foto rontgen paru akan dapat ditemukan nodul bilateral yang sering disalah artikan sebagai pulmonary amyloid atau AIDS. Pada otak manusia, lesi makroskopik umumnya tidak ditemukan pada kematian terkait metamphetamine. Penelitian Magnetic resonance imaging (MRI) pada pengguna metamphetamine menunjukkan rendahnya kadar N-acetylaspartate ( suatu penanda neuronal) pada basal ganglia dan substansi putih (white matter) pada lobus frontalis otak, bila disbanding dengan orang yang tidak menggunakan metamphetamine. Penurunan penanda neuronal ini berbanding terbalik dengan logaritma lama waktu pemakaian metamphetamine pada seseorang. Temuan ini mengindikasikan adanya kerusakan otak yang telah berlangsung dalam waktu yang lama. Stroke yang terjadi pada kasus terkait metamphetamine berbeda dengan stroke yang timbul akibat hipertensi. Pada hipertensi stroke umumnya merusak ganglia basalis dan hipotalamus, namun pada kasus terkait metamphetamine, kerusakan terjadi hanya pada lobus frontalis, walau kadang melibatkan ganglia basalis. Perdarahan lebih sering

terjadi intraserebral, atau ekstraserebral dan subarachnoid. Perdarahan subarachnoid yang berdiri sendiri jarang ditemukan . Penyalahgunaan kronis dari metamphetamine menyebabkan gangguan hati. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan terjadinya fatty liver pada 15,4% kasus, dan sirosis pada hampir 9% kasus. Penelitian lain juga mengungkapkan penyalahgunaan kronis menyebabkan terjadinya haemoragik pancreatitis baik pada manusia maupun hewan coba. c.Keracunan Amfetamin Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat. Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur. Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat. lntoksikasi amfetamin ditandai dengan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Pamakaian amfetamin yang belum lama terjadi Takikandia atau bradikardia Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis Dilatasi pupil Peninggian atau penurunan tekanan darah Berkeringat atau menggigil Mual atau muntah Tanda-tanda penurunan berat badan Agitasi atau retardasi psikomotor Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung Konvulsi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma

Gejala putus amfetamin ditandai dengan: a. b. c. d. e. f. g. Penghentian (atau penurunan) amfetamin yang telah lama atau berat Depresi Keleiahan Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan Insomnia atau hipersomnia Peningkatan nafsu makan Retardasi atau agitasi psikomotor

II.21. Tanda Postmortem Pada Pengguna Bahan Adiktif a.Keracunan Alkohol Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadangkadang tidak ada kelainan. Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna. Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium. Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol darah. Kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai pilihan kedua. Pada korban yang meninggal, sebagai pilihan kedua dapat diperiksa kadar alkohol dalam otak, hati, atau

organ lain, atau cairan tubuh lain seperti cairan serebrospinalis. Penentuan kadar alkohol dalam lambung saja tanpa menentukan kadar alkohol dalam darah hanya menunjukkan bahwa orang tersebut telah minum alkohol. Pada mayat, alkohol dapat berdifusi dari lambung ke jaringan sekitarnya termasuk ke dalam jantung, sehingga untuk pemeriksaan toksikologik, diambil dari pembuluh darah vena perifer (vena kubiti atau vena femoralis). Salah satu cara pemeriksaan semikuantitatif kadar alkohol dalam darah atau urin yang cukup sederhana adalah teknik modifikasi mikrodifusi (Conway), sebagai berikut: Letakkan 2 ml reagen Anti eke dalam ruang tengah. Reagen Antie dibuat dengan melarutkan 3,70 gm Kalium dikromat ke dalam 150 ml air. Kemudian tambahkan 280 ml asam sulfat, dan terus diaduk, lalu encerkan dengan 500 ml akuades. Sebarkan 1 ml darah atau urin yang akan diperiksa dalam ruang sebelah luar dan masukkan 1 ml kalium karbonat jenuh dalam ruang sebelah luar pada sisi berlawanan. Tutup sel mikrodifusi, goyangkan dengan hati supaya darah/urin bercampur dengan larutan kalium karbonat. Biarkan terjadi difusi selama 1 jam pada temperatur ruang. Kemudian angkat tutup dan amati perubahan warna pada reagen Antie. Hasil: warna kuning kenari menunjukkan hasil negatif. Perubahan warna kuning kehijauan menunjukkan kadar etanol sekitar 80 mg%. Warna hijau kekuningan sekitar 300 mg%. Kadar alkohol darah yang diperoleh pada pemeriksaan belum menunjukkan kadar alkohol darah pada saat kejadian. Hal ini akibat dari pengambilan darah dilakukan beberapa saat setelah kejadian, sehingga perhitungan kadar alkohol darah saat kejadian harus dilakukan meskipun kecepatan eliminasi kira-kira 14-15 mg%, namun dalam perhitungan harus juga dipertimbangkan kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalah perkiraan kecepatan eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan angka 10 mg% per jam digunakan dalam perhitungan.

BAB III PENUTUP


III.1 KESIMPULAN Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat, serta khasiat racun, gejalagejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban meninggal. racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Keracunan adalah Narkoba adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Menurut UU No. 22 Tahun 1997, narkotika dibagi menjadi tiga golongan sedangkan psikotropika dibagi menjadi 4 golongan. Gambaran postmortem intoksikasi heroin antara lain terdapat bekas suntikan di lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai, pembesaran kelenjar getah bening regional, kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang, terutama limfosit, sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells, terdapat pula kelainan pada paru. Gambaran postmortem intoksikasi morfin tidak begitu khas kecuali jika telah terjadi gejala asfiksia yang menonjol. Tanda-tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada

beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian, diantaranya needle marks di fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki, hipertrofi kelenjar getah bening regional. Gambaran postmortem intoksikasi barbiturat biasanya tidak khas. Pada pemeriksaan luar hanya tampak gambaran asfiksia, berupa sianosis, keluarnya busa halus dari mulut, tardieu spot, dapat ditemukan vesikel atau bula pada kulit daerah yang tidak tertekan. Gambaran postmortem intoksikasi metamphetamin jantung para pengguna metamphetamine relative lebih berat dari berat normal, dengan adanya darah dengan fibrosis dan contraction band necrosis. Pada pembuluh darah terjadi percepatan penyakit arteri koroner dan kerusakan mikrovaskular. Gambaran postmortem pada intoksikasi alkohol, yaitu seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap, mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi , organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol darah. III.2 SARAN III.2.1 Bagi Masyarakat Belajar untuk mengenali tanda-tanda bahaya penggunaan narkoba termasuk tanda-tanda keracunan narkoba. Serta meningkatkan peran serta dalam mengatasi bebasnya penggunaan narkoba.
III.2.2

Bagi Penulis Lain Melakukan penelitian lebih lanjut tentang keracunan narkoba dan mencari tahu

gambaran-gambaran postmortem dengan lebih terperinci dan terdifferensiasi.

Anda mungkin juga menyukai