PENDAHULUAN
1
tahun. Diperkirakan penyalahgunaan Kokain berkisar 15 - 19,3% per tahun
(prevalensi 0,3 - 0,4% per tahun) di dunia. Sementara penyalahgunaan dan
peredaran kokain di Barat dan Eropa Tengah mengalami penurunan dari 1,3%
tahun 2010 menjadi 1,2% tahun 2011, penurunan juga terjadi di Amerika Utara
dari 1,6% tahun 2010 menjadi 1,5% tahun 2011.2
Berdasarkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat penelitian
kesehatan Universitas Indonesia Tahun 2011 tentang Survei Nasional
Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka
prevalensi penyalahgunaan Narkoba di Indonesia telah mencapai 2,23% atau
sekitar 4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun
2015 jumlah penyahguna Narkoba diproyeksikan 2,8% atau setara dengan
5,1 - 5,6 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia. Hasil Survei Nasional
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Moda Transportasi (Darat,
Laut, Udara) di Indonesia tahun 2013 antara BNN bekerjasama dengan Pusat
penelitian kesehatan Universitas Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi
penyalahgunaan Narkoba setahun terakhir (current user) juga menunjukkan angka
yang relatif tinggi (6,9%), dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada moda
pekerja ASDP (9,7%) dan moda transportasi darat (7,6%).3
Kokain adalah sejenis stimulansia yang di hasilkan dari daun tumbuhan
yang disebut Erythoxylon coca. Bentuk kokain yang diperjual belikan di indonesia
dalam bentuk bubuk putih. Erythoxylon coca asli dari Amerika Selatan yang
daunnya dikunyah untuk mendapat efek stimulasi, pertama kali digunakan sebagai
anestetik lokal pada tahun 1980. Zat ini masih digunakan sebagai anestetik lokal
terutama pembedahan mata, hidung dan tenggorok karena efek vasokontriktif dan
analgesiknya yang bermanfaat.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kokain
2.1.1 Definisi
Kokain adalah sejenis stimulansia yang di hasilkan dari daun tumbuhan
yang disebut Erythoxylon coca. Bentuk kokain yang diperjual belikan di indonesia
dalam bentuk bubuk putih. Erythoxylon coca asli dari Amerika Selatan yang
daunnya dikunyah untuk mendapat efek stimulasi, pertama kali digunakan sebagai
anestetik lokal pada tahun 1980. Zat ini masih digunakan sebagai anestetik lokal
terutama pembedahan mata, hidung dan tenggorok karena efek vasokontriktif dan
analgesiknya yang bermanfaat. Daun tanamannya mengandung 14 jenis alkaloid
dan salah satu satu diantaranya kokain. 4
Ada 3 cara penggunaan kokain untuk di masukan kedalam tubuh yaitu :
inhalasi melalui lubang hidung, free-base cocain (garam kokain dikonversikan
dengan larutan yang menguap setelah dipanaskan, uap inhalasi melalui bibir
seperti merokok) dan cara injeksi. Umumnya pengguna kokain memulai
kebiasaan dengan cara inhalasi dan berakhir dengan cara injeksi atau dengan cara
merokok. Saat ini penggunaan kokain di indonesia umumnya adalah dari
golongan menengah keatas.4
2.1.2 Epidemiologi
Menurut DSM-IV-TR, sekitar 10 persen populasi Amerika Selatan pernah
mencoba kokain, dengan 2 persen melaporkan penggunaan dalam setahun
terakhir, 0,8 persen melaporkan penggunaan dalam sebulan terakhir dan angka
seumur hidup penyalahgunaan atau ketergantungan kokain sekitar 2 persen.
Penggunaan kokain paling tinggi di antara orang berusia 18-25 tahun (1,3 persen)
dan usia 26-34 tahun (1,2 persen). Namun penggunaan kokain saat ini mengalami
penurunan, terutama karena peningkatan kesadaran tentang risiko kokain serta
kampanye publik yang komprehensif tentang kokain dan efeknya. Namun, efek
3
sosial penurunan penggunaan kokain telah sedikit dihambat oleh kerapnya
penggunaan crack dalam setahun terakhir. Suatu bentuk kokain yang sangat poten.
Penggunaan crack paling sering pada orang berusia 18-25 tahun yang terutama
tertarik dengan harga jalanan dosis tunggal 50-100 mg yang murah. Pria dua kali
lebih mungkin menjadi penyalahgunaan kokain dibandingkan wanita. Dan semua
ras serta kelompok sosioekonomi sama-sama terkena.5
Hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia (puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka
prevalensi pecandu narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta
jiwa. Di tahun 2011 angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7
juta orang.3
2.1.3 Etiologi
Ketergantungan dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor
individu, faktor keluarga dan faktor sosiokultural.
Faktor individu yang dapat menyebabkan timbulnya ketergantungan
adalah adanya genetik dan kepribadian. Faktor genetik yang dimaksud adalah
adanya faktor gen yang memudahkan seseorang menjadi ketergantungan, selain
itu perilaku orang tua yang mengalami ketergantungan saat sedang mengandung
juga dapat memudahkan terjadinya ketergantungan. Faktor kepribadian yang
dapat memudahkan terjadinya ketergantungan antara lain adanya gangguan
kepribadian maupun mekanisme pembelaan ego yang imatur serta mekanisme
koping seseorang. Kepribadian seseorang yang memudahkan terjadinya
ketergantungan adalah adanya kepribadian antisosial. Pada kepribadian antisosial
ini seseorang cenderung tidak peduli terhadap norma dan peraturan dan memiliki
toleransi yang rendah terhadap rasa frustrasi dan cenderung agresif.6
Faktor keluarga yang menimbulkan terjadinya ketergantungan adalah
adanya fungsi keluarga yang kurang baik, baik itu dalam hal komunikasi,
pemecahan masalah, maupun pola asuh. Perilaku mencontoh atau modeling pada
orang tua atau keluarga yang mengalami ketergantungan juga merupakan suatu
faktor risiko terjadinya ketergantungan. Faktor lingkungan yang dapat
menimbulkan terjadinya ketergantungan adalah rasa nyaman saat di suatu
4
lingkungan, adanya kompetisi dan rasa takut gagal yang mempengaruhi seseorang
untuk mencari sebuah pemuasan melalui cara-cara yang salah satunya adalah
menyalahgunakan kokain. Seseorang yang hidup diantara orang-orang yang
mengalami ketergantungan maka akan besar kemungkinan untuk menjadi
ketergantungan juga.6
Faktor sosial, kultural dan ekonomi merupakan determinan penggunaan
awal, penggunaan berkelanjutan dan relaps. Penggunaan berlebih, jauh lebih
mungkin ditemukan di negara yang tersedia kokain secara bebas. Kesempatan
ekonomi yang berbeda dapat lebih memengaruhi kelompok tertentu dibanding
yang ikut terlibat pada penjualan obat terlarang, dan menjual pada komunitas yang
familiar dari pada komunitas yang penjualnya berisiko tinggi di tangkap.6
5
selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak efektif karena di dalam usus
sebagian besar mengalami hidrolisis. Sebagian besar mengalami detoksikasi dihati
dan sebagian kecil di ekskresi bersama urin dalam bentuk utuh. Diperkirakan hati
dapat melakukan detoksikasi kokain sebanyak 1 dosis letal minimal dalam waktu
1 jam. Detoksikasi kokain tidak secepat detoksikasi anestesi lokal sintetik.7
B. Farmakodinamik
Efek kokain yang paling penting yaitu menghambat hantaran saraf bila di
kenakan secara lokal. Efek sistemiknya yaitu rangsangan SSP.8
Susunan Saraf Pusat
Kokain merupakan perangsang korteks yang sangat kuat. Pada manusia zat
ini membuat banyak bicara, gelisah dan euphoria, ada petunjuk bahwa kekuatan
mental bertambah dan kapasitas kerja otot meningkat, hal ini mungkin di
sebabkan oleh berkurangnya rasa lelah. Adiksi dan toleransi terhadap efek
ini terjadi pada pemakaian kokain berulang.
Efek perangsangan ini sebenarnya berdasarkan depresi neuron
penghambat. Efek kokain pada batang otak menyebabkan peningkatan frekuensi
napas, sedangkan dalam pernapasan tidak di pengaruhi pusat vasomotor dan
pusat muntah mungkin juga terangsang. Perasaan ini juga di susul dengan depresi
yang mula-mula terjadi pada pusat yang lebih tinggi, dan ini mungkin sudah
terjadi sementara bagian sumbu serebrospinal yang lebih rendah masih dalam
stadium perangsangan.
Sistem Kardiovaskular
Kokain dosis kecil memperlambat denyut jantung akibat perangsangan
pusat vagus, pada dosis sedang denyut jantung bertambah karena perangsang
pusaat spinalis dan efek langsung pada system saraf spinalis. Pemberian kokain
IV dosis dasar menyebabkan kematian mendadak Karena payah jantung sebagai
akibat efek kokain langsung pada otot jantung . pemberian kokain sistemik
umumnya akan menyebabkan penurunan tekanan darah walaupun mula-mula
terjadi kenaikan akibat vasokontraksi dan takikardi. Vasokontraksi ini di sebabkan
oleh perangsang vasomotor secara sentral.
6
Muskuloskeletal
Tidak ada bukti bahwa kokain dapat menambah kekuatan kontraksi otot,
hilangnya kelelahan disebabkan oleh perangsangan sentral.
Suhu Badan
Kenaikan suhu badan di sebabkan oleh 3 faktor yaitu :
1. Penambahan aktifitas otot akan meningkatkan produksi panas.
2. Vasokontriksi menyebabkan berkurangnya kehilangan panas
3. Efek langsung pada pusat pengatur suhu
Pada keracunan kokain dapat dapat terjadi pireksia
Efek yang timbul akibat penyalahgunaan kokain
Efek sebagai drugs, sifat-sifat yang di tambahkan oleh pecandu adalah
kemampuanya untuk meningkatkan suasana jiwa(euforia)dan kewaspadaan yang
tinggi serta perasaan percaya diri akan kapasitas mental dan fisik.dalam dosis
kecil, kokain yang di hisap dari lubang hidung menimbulkan euforia, tetepi segera
di susul dengan depresi berat, yang menimbulkan keinginan untuk
menggunakannya lagi dengan dosis besar.
7
Halusinasi
Delirium
Eksitasi
Mulut kering
Meningkatnya kepercayaan diri
Panik
2. Keadaan putus kokain
Umumnya tidak ada tanda-tanda klinis keadaan putus kokain yang tepat
untuk menggambarkan perubahan fisiologis yang terjadi setelah penghentian
penggunaan berat kokain. Gejala-gejala klinis keadaan putus kokain ditandai
dengan adanya perasaan disforik yang menetap selama lebih dari 24 jam setelah
menurunnya konsumsi kokain dan diikuti gejala-gejala berikut:
Keletihan
Insomnia atau hipersomnia
Ide-ide bunuh diri dan paranoid
Mudah tersinggung
Perasaan defresif
Keadaan putus kokain adalah satu-satunya indikasi yang menunjukkan
adanya ketergantungan kokain. Gejala utama keadaan putus kokain adalah
menagih kokain (craving). Beratnya kondisi keadaan putus kokain berkaitan
dengan jumlah, lama dan cara penggunaan kokain. Snorting menyebabkan
ketergantungan dan keadaan putus kokain ringan, penggunaan intravena dan
merokok crack (freebase) menyebabkan ketergantungan dan keadaan putus kokain
berat.
Gejala-gejala putus kokain mencapai puncaknya setelah beberapa hari, dan
berakhir setelah beberapa minggu. Bila gejala-gejala tetap ada setelah lebih
beberapa minggu, maka ini menunjukkan adanya indikasi depresi sekunder.
Gangguan psikiatris lainnya yang sering menyertai ketergantungan kokain adalah
angguan kepribadian, ketergantungan alkohol dan ketergantungan sedativa-
hipnotika.
Perasaan disforia dan depresi berat merupakan dua gejala yang sering
terdapat pada keadaan putus kokain. Dengan ditemukannya dua gejala tersebut
perlu dipertimbangkan pula adanya gangguan psikiatris lainnya sebagai diagnosis
banding. Pasien sering menderita gangguan kepribadian yang mendasarinya
(gangguan kepribadian ambang atau antisosial), sehingga berperilaku manipulatif.
8
Akibatnya pasien sering mengobati keadaan putus kokain pada dirinya sendiri
dengan menggunakan kembali kokain. Angka relaps tetap tinggi meskipun ia telah
dirawat berkali-kali.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan:
1) Anamnesa
o Auto anamnesa (pengakuan jujur dari pasien)
o Alo anamnesa (dari keluarga yang dapat dipercaya)
2) Pemeriksaan fisik
Takikardi
Dilatasi pupil
Meningkatnya tekanan darah
Berkeringat, panas dingin
Tremor
Meningkatnya suhu badan
Nyeri dada
Mulut kering
3) Pemeriksaan laboratorium
Elektrolit : akut bisa memberikan gambaran hipokalemi sedangkan pada
intoksikasi kokain yang berat memberikan gambaran hiperkalemi.
Toksikologi : Urine drug screens : Benzoylecogonine (bentuk metabolic
kokain) bisa ditemukan pada urin 60 jam setelah menggunakan kokain. Pada
pengguna kokain yang berat bisa ditemukan sampai 22 hari.
Urinalisis untuk skrining kokain atau zat adiktif lain yang digunakan
bersama-sama.
2.1.5 Pengobatan
1. Intoksikasi Kokain
Yakinkan dan tenangkan pasien bahwa gejala-gejala hanya terjadi
dalam beberapa waktu yang terbatas sebagai akibat masuknya kokain
ke dalam tubuh, dan segera setelah itu ia akan menjadi tenang
kembali seperti semula.
Tempatkan pasien pada suasana yang tenang. Sementara itu,
lakukan wawancara tentang frekuensi, jumlah kokain dan rute
penggunaan kokain. Ikuti dan kendalikan semua gerakan/aktivitas
9
pasien dan lakukan pengendalian secara tepat. Hati-hati dalam
pendekatan pasien-pasien dengan waham paranoid. Jika
memungkinkan, minta bantuan keluarga untuk bekerjasama
menenangkan pasien.
Bila sudah memungkinkan, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
pasien.
Bila terjadi demam, lakukan tindakan secepat mungkin untuk
mengatasinya, kompres atau beri antipiretika.
Pantaulah tekanan darah dan denyut nadi pasien sesering mungkin.
Pastikan apakah pasien juga menggunakan zat adiktif lainnya seperti
opioida (misalnya heroin yang digunakan bersama-sama dengan
kokain secara intravena yang dikenal dengan istilah speed ball),
sedativa-hipnotika dan alkohol.
Isolasi dan fiksasi adalah tindakan terakhir yang kadang-kadang
perlu dilakukan.
Gejala-gejala psikosis seringkali menghilang setelah satu episode
akut penggunaan kokain, tapi dapat juga menetap pada
penyalahgunaan berat kokain dan menimbulkan gangguan yang
disebut dengan gangguan waham akibat penggunaan kokain
(cocaine delusional disorders), terutama pada orang-orang yang
sensitif.
Pertimbangkan rawat-inap agar dapat dilakukan detoksifikasi.
Seorang pasien yang datang ke unit gawat darurat merupakan
peluang yang baik untuk melakukan terapi induksi agar pasien
bersedia ikut program rehabilitasi.
Jelaskan kepada pasien keadaan putus kokain
Terapi psikofarmaka:
Bila agitasi dan membahayakan lingkungan atau delusi dapat
diberikan lorazepam 1-2 mg per oral, dan dapat diulang setelah
satu jam.
Bila agitasi masih tetap bertahan setelah beberapa dosis
benzodiazepin atau timbul gejala toksisitas benzodiazepin
(ataksia, disartria, nistagmus), maka dapat diberikan obat
antipsikotik berkekuatan tinggi seperti haloperidol atau
10
flufenazin masing-masing 2-5 mg per oral atau i.m. sebagian
klinisi kurang menyukai penggunaan antipsikotika karena
mengurangi nilai ambang kejang dan mengubah atau
menyamarkan gejala-gejala intoksikasi kokain dengan gejala-
gejala efek samping antipsikotika.
Bila terjadi takhikardia dan hipertensi, dapat diberikan beta-
bloker (propanolol) atau klonidin.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kejang, gangguan
respirasi dan gejala-gejala overdosis lain merupakan indikasi
untuk merawat pasien di unit rawat intensif (ICU).
2. Keadaan Putus Kokain
Pastikan apakah ada risiko bunuh diri. Meskipun gejala-gejala akan
hilang dalam beberapa hari, namun pasien dengan kecenderungan
bunuh diri harus di rawat-inap di rumah sakit.
Ketika pasien datang beri ketenangan dan terangkan kepadanya bahwa
gejala-gejala keadaan putus kokain tersebut akan hilang dalam satu
atau dua minggu. Wawancarai bagaimana kokain tersebut masuk ke
dalam tubuh, frekuensi dan jumlahnya serta kapan penggunaan kokain
terakhir.
Tanyakan juga apakah pasien menggunakan zat adiktif lain.
Motivasi pasien agar bersedia mengikuti program detoksifikasi atau
rehabilitasi.
Evaluasi apakah pasien menderita gangguan psikotik atau
menggunakan zat adiktif lain.
Terapi psikofarmaka:
Agitasi berat sampai perilaku maladaptif dapat dikendalikan
dengan pemberian derivat benzodiazepin ringan estazolam 0,5
sampai 1 mg per oral atau lorazepam 1-2 mg per oral.
Anti depresi dapat diberikan pada pasien-pasien dengan gejala
depresif menetap yang umumnya terjadi setelah dua minggu
penggunaan kokain dihentikan.10
Saat ini, tidak ada penanganan farmakologis yang menyebabkan
penurunan penggunaan kokain yang sebanding dengan penurunan penggunaan
opioid yang tampak ketika pengguna heroin dengan terapi metadon,
levomethadil asetat (ORLAAM) atau buprenorphine. Namun, berbagai agen
11
farmakologis, yang sebagian besar disetujui untuk penggunaan lain, telah, dan
sedang di uji secara klinis untuk penanganan ketergantungan dan relaps kokain.
Penggunaan kokain yang di duga memiliki gangguan pemusatan perhatian
atau hiperaktifitas atau gangguan mood yang telah ada sebelumnya masing-
masing diterapi dengan methilfenidat (litalin) dan litium (eskalith). Obat tersebut
hanya sedikit atau tidak bermanfaat pada pasien tanpa gangguan tersebut, dan
klinisi sebaiknya tetap berpegang teguh pada kriteria diagnosis maksimal
sebelum menggunakan salah satu diantaranya dalam penanganan ketergantungan
kokain.
Detoksifikasi
Sindrom putus kokain berbeda dari opioid, alkohol atau agen hipnotik
sedatif, karena tidak ada gangguan fisiologis yang mengharuskan keadaan putus
obat untuk di rawat inap. Oleh karena itu, biasanya mungkin untuk terlibat dalam
percobaan terapeutik keadaan putus zat rawat jalan sebelum menentukan apakah
diperlukan situasi yang lebih intensif atau terkontrol bagi pasien yang tidak
mampu berhenti lagi tanpa bantuan dalam membatasi akses mereka terhadap
kokain. Pasien yang putus kokain biasanya mengalami kelelahan, disforia, tidur
terganggu dan ketagihan, beberapa mungkin mengalami depresi. Tidak ada agen
farmakologis yang dapat diandalkan untuk mengurangi intensitas keadaan putus
zat, tapi pemulihan mungkin perlu waktu lebih lama agar kegiatan tidur, mood dan
fungsi kognitif dapat pulih sepenuhnya.5
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
2. United Nation Office on Drugs and Crime [UNODC]. 2014. World Drug
Report 2014. New York : United Nation Publications
14
9. Hawari, D. 2006. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Depkes RI. 2000. Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan
Zat Adiktif Lainnya. Bakti Husada
15