Anda di halaman 1dari 5

C.

KEGAGALAN MEDIS

Kegagalan medis identik hubungannya dengan malpraktek dan kelalaian medis.


Malpraktek bukan hanya terjadi pada profesional medis, melainkan juga terjadi pada semua
profesional, termasuk profesional di bidang hukum, perbankan, konstruksi, akuntansi dan
bidang lainnya. Kita pernah mendengar kisah malpraktek profesi non medis seperti “mafia
peradilan”, praktek kekerasan di kepolisian, runtuhnya jembatan yang sedang/baru dibangun,
laporan akuntan publik yang “palsu”, musibah BLBI di dunia perbankan, dan lain-lain

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional misconduct or


unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result of
injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon
them”.

Mengutip definisi diatas maka Mal praktek didefinisikan sebagai suatu kumpulan dari
berbagai perilaku menyimpang yang dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu
kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Sementara di bidang medis, pengertian istilah malpraktek medis menurut World Medical
Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform
to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence
in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Jadi jelas dari kedua definisi diatas, maka kelalaian adalah bagian dari malpraktek, terutama
kelalaian yang menimbulkan akibat fatal.

Namun WMA juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau
kelalaian medik.
“An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was
not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is
untoward result, for which the physician should not bear any liability”.

Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events dapat terjadi
sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error.
Adverse events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable
adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur
kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events. Suatu
adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik / kegagalan medis sebenarnya
dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari
(unavoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi.
Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.

3. Hasil dari suatu kelalaian medik.

4. Hasil dari suatu kesengajaan.

Kesengajaan masuk dalam kategori proffesional misconduct. Proffesional


misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administrasi serta
hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal,
euthanasia, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar
kompetensinya, dan lain lain.
Dari keempat faktor tersebut yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana
medik adalah kegagalan medis akibat kelalaian (culpa) dan pelaksanaan tindakan medis tanpa
persetujuan. Kegagalan medis yang merupakan suatu perjalanan alami penyakit dan resiko
yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau diketahui sebelumnya tetapi tidak dapat dihindari
bunkalah suatu tindak pidana tindakan medik, sedangkan kegagalan medis yang disebabkan
oleh kesengajaan merupakan suatu professional misconduct dan tindak pidana medik.

Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga
harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima
(acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang
dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut (Biben, Achmad, 2004 ).
a. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi,
diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi
pada pembedahan, dan lain-lain.
b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu
apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-
satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.

Lalu bagaimana membedakan itu kelalaian atau semata-mata kegagalan medis, batasan yang
dipakai adalah standar terapi, apabila sudah memenuhi standar terapi namun masih muncul
akibat fatal, maka tanggung jawab tidak bisa dimintakan kepada professional medis.
Tentunya penilaian standar ini harus dilakukan oleh badan yang diberi wewenang sesuai UU
praltek Kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDK).

Contoh Kasus Kegagalan Medik


Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam
menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan
gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya
dengan vacuum extractie 3 tahun yang lampau, sekarang menderita komplikasi kelumpuhan
otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson
Syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya oleh dokter).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar
2,9 % sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
1. Perpanjangan hospitalisasi
2. Cacat saat meninggalkan rumah sakit.
3. Cacat tetap.
4. Adverse drug event.
5. Infeksi luka.
6. Meninggal dunia.
Sekitar 70 % dari adverse event tersebut diatas disebabkan oleh error (diagnostic,
treatment, preventive and others)yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse
event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event atau sekitar 0,5 % dari
seluruh admission yang ada kemungkinan dapat dikatagorikan sebagai
malpraktek (negligence atau culpa). Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali
bagian dari adverse eventyang mungkin dapat dihubungkan dengan malpraktek, sedangkan
selebihnya merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hokum; baik yang
bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan)
maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).
Agaknya apa yang diuraikan diatas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal
Accident Theory) yang menyatakan bahwa:

1. Dalam system tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali.


2. Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi, kecelakaan merupakan hal yang
normal.

Suatu fakta yang tidak boleh diingkari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di rumah sakit
merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi
(metode, alat dan obat-obatan). Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The
National Patient Safety Foundation menyimpulkan sebagai berikut:

1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan


mencegah adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta
meningkatkan mutu outcome.
2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen
saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan system.

Hal-hal tersebut diatas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien serta pengacaranya
sebelum memutuskan menggugat, disamping perlu pula memahami logika hokum
sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:

1. Hubungan terapetik antara pasien dan rumah sakit merupakan hubungan kontraktual dan
oleh karenanya semua asas dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmost of good
faith (iktikad baik).
2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan
dimana dokter atau rumah sakit hanya dibebani kewajiban oleh hokum untuk memberikan
upaya yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau result).
3. Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktek.
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan sebagai malpraktek sepanjang dokter, dalam
membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit
adalah menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih
sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah aneh jika
kesalahan diagnosis di Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting
untuk dipertimbangkan adalah, apakah kesalahan diagnosis itu terjadi karena kecerobohan
dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak.Dokter dapat dituntut pidana apabila
tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta unsur-unsurnya (mens rea dan actus reus).

5. Tanggungjawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal


serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
6. Dokter juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau karena
tindakann melawan hokum (onrechtmatige-daad).
7. Tanggunggugat (civil liability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter
adakalanya dapat dialihkan ke pihak lain berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine
of vicarious liability).

TINJAUAN PUSTAKA
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57743/Chapte
r%20II.pdf;sequence=3
 https://pakdhe107.wordpress.com/2017/08/31/adverse-event/
 https://rizsa82.wordpress.com/tag/medis/
 http://www.koranopini.com/sehatisa/newssehatisa/malpraktek-
kelalaian-dan-kegagalan-medis

Anda mungkin juga menyukai