Anda di halaman 1dari 158

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadi mendadak mengakibatkan seseorang atau
banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti pertolongan secara
cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan
mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Kegawatdaruratan maternal – neonatal merupakan suatu keadaan yang terjadi mendadak Pre –
intra – post natal pada seorang Ibu dan bayinya akibat suatu kecelakaan, ataupun suatu proses
perjalan penyakit
Basic Trauma – Cardio Maternal Neonatal merupakan perlakuan sementara / dasar yang
diberikan pada seorang ibu dan bayi yang mengalami kecelakaan atau sakit mendadak sebelum
pertolongan definitive oleh dokter dapat diberikan/ dilakukan pencegahan agar tidak terjadi
cedera yang lebih parah.
Seseorang yang berhenti bernafas akan berakibat kematian,seperti diketahui bahwa di dalam
tubuh terdapat berbagai macam organ, dan semua organ dibentuk oleh sel-sel, untuk dapat hidup
maka semua sel-sel tersebut membutuhkan oksigen, dan kematian akan timbulk bila sel-sel tidak
mendapatkan oksigen. Tanda-tanda pada kematian biologis dan mati klinis dapat dilihat pada
bahasan berikut :
a. Mati Klinis
Penderita dinyatakan mati klinis apabila henti nafas dan henti jantung. Waktunya 6-8 menit
setelah berhentinya pernafasan dan sirkulasi. Kematian klinis masih reversibel dilakukan BLS
(Basic Life Support).
b. Mati Biologis
Kerusakan sel otak dimulai 6-8 menit setelah berhentinya pernafasan dan sirkulasi. Setelah 10
menit biasanya sudah terjadi kematian biologis. Apabila BLS (Basic Life Support) dilakukan
cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari seperti tampak tabel dibawah ini
KETERLAMBATAN KEMUNGKINAN BERHASIL

1 Menit 98%

4 Menit 50%

10 Menit 1%

Melihat data diatas, maka menolong korban pada menit-menit pertama sangatlah diperlukan.
Kalau dahulu kala konsep pertolongan pertama pada korban senantiasa dilakukan di UGD, akan
tetapi jika melihat statistik waktu diatas, maka kita harus memberikan pertolongan pertama
terhadap korban pada 10 menit pertama.
Usaha untuk memberikan pertolongan pertama pada korban oleh tenaga kesehatan tidaklah
mudah, mengingat jarak dan waktu tempuh ke tempat kejadian pasti banyak kendalanya. Maka
dibutuhkan orang yang dapat menempuh waktu tersebut dan segera memberikan pertolongan
pertama pada korban. Secara nyata hanya masyarakat sekitar korbanlah yang mempunyai
kemungkinan untuk mencapai waktu pendek tersebut. Oleh karena itu maka sudah sewajarnya
bahwa cara menolong korban dalam keadaan gawat darurat harus di ajarkan kepada masyarakat
luas termasuk orang yang bekerja di bagian safety.
Cara yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami
keadaan yang mengancam nyawa dikenal sebagai basic life support

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 1


1.2. Tujuan
a. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan
dan mengaplikasikan pengetahuan, pemahaman, serta ketrampilan terbaru mengenai
tindakan dasar penaganan gawat darurat maternal neonatal.
b. Tujuan Intruksional Khusus
1) Dapat mengenali tanda gangguan jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), dan
sirkulasi (circulation)
2) Dapat melakukan teknik-teknik pembebasan jalan nafas
3) Dapat melakukan intubasi
4) Dapat memberikan bantuan pernafasan
5) Dapat mendemonstrasikan teknik RJPO ibu hamil dan neonatal
6) Dapat melakukan teknik menghentikan perdarahan kehamilan dan post partum
7) Dapat mengatasi kegawatdaruratan kehamilan dan Persalinan
8) Dapat menangani trauma maternal - neonatal
9) Dapat menangani Syok
10) Dapat melakukan DC syok
11) Dapat menangani BBLR
12) Dapat melakukan transpotasi dan stabilisasi
13) Dapat melakukan rujukan maternal –neonatal
14) Dapat melakukan PONEK – PONED
1.3. Metode pelatihan
a. Materi
b. Tanya Jawab
c. Demonstrasi & Simulasi
d. Skill Station

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 2


BAB 2
PONED DAN PONEK
2.1. PONED – PONEK
a. Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED)
1) Pengertian PONED
PONED merupakan kepanjangan dari Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial
Dasar. PONED dilakukan di Puskesmas induk dengan pengawasan dokter. Petugas
kesehatan yang boleh memberikan PONED yaitu dokter, bidan, perawat dan tim
PONED Puskesmas beserta penanggung jawab terlatih.
Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar dapat dilayani oleh puskesmas
yang mempunyai fasilitas atau kemampuan untuk penangan kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal dasar. Puskesmas PONED merupakan puskesmas yang siap 24
jam, sebagai rujukan antara kasus-kasus rujukan dari polindes dan puskesmas.
Polindes dan puskesmas non perawatan disipakan untuk melakukuan pertolongan
pertama gawat darurat obstetri dan neonatal (PPGDON) dan tidak disiapkan untuk
melakukan PONED.
2) Batasan dalam PONED
Dalam PONED bidan boleh memberikan :
a) Injeksi antibiotika
b) Injeksi uterotonika
c) Injeksi sedative
d) Plasenta manual
e) Ekstraksi vacuum
f) Tranfusi darah
3) Indikator Kelangsungan Dari Puskesmas Poned
a) Kebijakan tingkat PUSKESMAS
b) SOP (Sarana Obat Peralatan)
c) Kerjasama RS PONED
d) Dukungan Diskes
e) Kerjasama SpOG
f) Kerjasama bidan desa
g) Kerjasama Puskesmas Non PONED
h) Pembinaan AMP
i) Jarak Puskesmas PONED dengan RS
4) Tujuan PONED
PONED diadakan bertujuan untuk menghindari rujukan yang lebih dari 2 untuk
memutuskan mata rantai rujukan itu sendiri.
5) Hambatan Dan Kendala Dalam Penyelenggaraan PONED
Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan PONED dan yaitu :
a) Mutu SDM yang rendah
b) Sarana prasarana yang kurang
c) Ketrampilan yang kurang
d) Koordinasi antara Puskesmas PONED dan RS PONEK dengan Puskesmas Non
PONED belum maksimal
e) Kebijakan yang kontradiktif (UU Praktek Kedokteran)
f) Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 3


6) Tugas Puskesmas PONED
a) Menerima rujukan dari fasilitas rujukan dibawahnya, Puskesmas pembantu dan
Pondok bersalin Desa
b) Melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetrik neonatal sebatas wewenang
c) Melakukan rujukan kasus secara aman ke rumah sakit dengan penanganan pra
hospital.
7) Syarat Puskesmas PONED
a) Pelayanan buka 24 jam
b) Mempunyai Dokter, bidan, perawat terlatih PONED dan siap melayani 24 jam
c) Tersedia alat transportasi siap 24 jam
d) Mempunyai hubungan kerjasama dengan Rumah Sakit terdekat dan Dokter
Spesialis Obgyn dan spesialis anak sebagai.
8) Petugas Pelaksana PONED
a) Dokter umum 2 orang
b) Bidan 8 orang
c) Perawat
d) Petugas yang telah mendapat pelatihan PONED
9) Pelayanan Yang Dilaksanakan PONED
Pelayanan PONED
a) Pelayanan KIA/KB
b) Pelayanan ANC & PNC
c) Pertolongan Persalinan normal
d) Pendeteksian Resiko tinggi Bumil
e) Penatalaksanaan Bumil Resti
f) Perawatan Bumil sakit
g) Persalinan Sungsang
h) Partus Lama
i) KPD
j) Gemeli
k) Pre Eklamsia
l) Perdarahan Post Partum
m) Abortus Incomplitus
n) Distosia Bahu
o) Asfiksia
p) BBLR
q) Hypotermia
r) Komponen pelayanan maternal : Pre eklamsia/eklamsia , Tindakan obstetri pada
pertolongan persalinan , Perdarahan postpartum dan Infeksi nifas.
s) Komponen pelayanan neonatal : Bayi berat lahir rendah, Hipotermi,
Hipoglikemi , Ikterus/hiperbilirubinemia , Masalah pemberian nutrisi , Asfiksia
pada bayi , Gangguan nafas, Kejang pada bayi baru lahir, Infeksi neonatal ,
Rujukan dan transportasi bayi baru lahir
10) Faktor Pendukung Keberhasilan PONED Puskesmas Antara Lain :
a) Adanya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JKRS, Jamkesmas)
b) Sistem rujukan yang mantap dan berhasil
c) Peran serta aktif bidan desa
d) Tersedianya sarana/prasarana, obat dan bahan habis pakai
e) Peran serta masyarakat, LSM, lintas sektoral dan Stage Holder yang harmonis.
f) Peningkatan mutu pelayanan perlu menyesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi serta kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan
standart pelayanan minimal.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 4


b. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK)
1) Pengertian PONEK
PONEK adalah Pelayan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif di Rumah
Sakit, meliputi kemampuan untuk melakukan tindakan :
a) Seksia sesaria,
b) Histerektomi,
c) Reparasi Ruptura Uteri, cedera kandung/saluran kemih,
d) Perawatan Intensif ibu dan Neonatal,
e) Tranfusi darah.
2) RS PONEK 24 Jam adalah RS yang memiliki kemampuan serta fasilitas PONEK siap
24 jam untuk meberikan pelayanan terhadap ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru
lahir dengan nkomplikasi baik yang datang sendiri atau atas rujukan
kader/masyarakat, bidan di desa, Puskesmas dan Puskesmas PONED.
3) Penanganan definitif adalah penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk
menyelesaikan permaslahan setiap kasus komplikasi kebidanan.
4) Rujukan dan Transportasi Maternal – Neonatal
Rujukan dan trasportasi merupakan kegiatan mencari tatanan layanan yang lebih
tinggi dan lengkap dalam upaya mendapatkan tindakan yang dapat menyelamatkan
ibu dan bayi. Rujukan dapat berupa rujukan alat, obat, sarana atau ahli.
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, kesediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah sistem pelayanan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif , kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Rumah Sakit dan Puskesmas .
Sistem Pelayanan Kesehatan adalah suatu tatanan yang menghimpun
berbagai upaya bangsa Indonesia secara terpadu, berkesinambungan dan saling
mendukung guna menjamin terlaksananya suatu sistem dengan baik.
Rujukan adalah upaya pelimpahan wewenang dan tanggungjawab
penanganan kasus penyakit dan atau masalah kesehatan kepada dokter lain yang
sesuai Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu
sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan
secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar
unit-unit yang setingkat kemampuannya).
5) Jenis Kasus Yang Perlu Dirujuk
Jenis kasus yang perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap fasilitas dan
keterampilan penanganan adalah kasus sebagai berikut:
a) Gangguan napas sedang dan berat, apapun penyebabnya
b) Asfiksia yang tidak memberi respons pada tindakan resusitasi, sebaiknya dalam
10 menit pertama
c) Kasus bedah neonatus
d) BBLR < 1750 g
e) BBLR 1750 - 2000 g dengan kejang, gangguan napas, gangguan pemberian
minum
f) Bayi hipotermi berat
g) Ikterus yang tidak memberikan respons dengan fototerapi
h) Kemungkinan penyakit jantung bawaan
i) Bayi ibu diabetes mellitus dengan hipoglikemia simtomatik
j) Kejang yang tidak teratasi
k) Tersangka infeksi (sepsis, meningitis) berat / dengan komplikasi
l) Penyakit hemolisis
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 5
m) Tersangka renjatan yang tidak memberi respons baik
n) Hipoglikemia yang tidak dapat teratasi
6) Sistem Rujukan
Rujukan adalah upaya pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penanganan kasus
penyakit dan atau masalah kesehatan kepada dokter lain yang sesuai Prof. Dr.
Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung
jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-
unit yang setingkat kemampuannya).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 03l/Birhup/72: Definisi Sistem
Rujukan adalah:
Sistem didalam pelayanan kesehatan dimana terjadi pelimpahan tanggung
jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul baik secara
vertikal maupun horizontal. Dalam sistem kesehatan nasional untuk mendukung
pelayanan kesehatan nasional di Indonesia sistem rujukan dibagi atas: Sistem
rujukan kesehatan dan rujukan medis.
Maksud Rujukan Kesehatan adalah : Rujukan yang terutama meliputi pencegahan
dan peningkatan kesehatan. Pada dasarnya rujukan kesehatan di laksanakan secara
bertahap, dari tingkat bawah yaitu masyarakat melalui Puskesmas kecamatan terus ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan terus ke provinsi, misalnya keadaan ini adalah
wabah.
Rujukan medis yang terutama dapat diupayakan pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan pemulihan dan pengobatan.
Rujukan Obsetric
Perencanaan rujukan
a) Komunikasikan rencana rujukan dengan ibu dan keluarganya karena rujukan
harus mendapatkan persetujuan dari ibu dan atau keluarganya. Tenaga kesehatan
perlu memberikan kesempatan apabila situasi memungkinkan untuk menjawab
pertimbangan dan pertanyaan ibu serta keluarga.
Beberapa hal yang perlu disampaikan meliputi:
1) Diagnose dan tidakan medis yang diperlukan
2) Alasan untuk merujuk ibu
3) Risiko yang dapat timbul bila rujukan tidak dilakukan
4) Risiko yang dapat timbul selama rujukan dilakukan
5) Waktu yang tepat untuk merujuk dan durasi yang dibutuhkan untuk merujuk
6) Tujuan rujukan
7) Modalitas dan cara transportasi yang digunakan
8) Nama tenaga kesehatan yang akan menemani ibu
9) Jam operasional dan nomer telepon rumah sakit/pusat layanan kesehatan yang
dituju
10) Perkiraan lamanya waktu perawatan
11) Perkiraan biaya dan system pembiayaan (termasuk dokumen kelengkapan
untuk BPJS).
12) Petunjuk arah dan cara menuju tujuan dengan menggunakan modalitas
transportasi lain
13) Pilihan akomodasi untuk keluarga
b) Hubungi pusat layanan kesehatan yang menjadi tujuan dan sampaikkan kepada
tenaga kesehatan yang akan menerima pasien hal – hal berikut:
1) Indikasi rujukan
2) Kondisi ibu dan janin
3) Rencana terkait prosedur tehnis rujukan (termasuk kondisi lingkungan dan
cuaca menuju tujuan rujukan)
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 6
4) Kesiapan sarana dan prasarana di tujuan rujukan
5) Penatalaksanaan yang sebaiknya dilakukan selama dan sebelum transportasi
berdasarkan pengalaman rujukan sebelumnya.
c) Hal yang perlu dicatat oleh pusat layanan kesehatan yang akan menerima pasien
adalah:
1) Nama pasien
2) Nama tenaga kesehatan yang merujuk
3) Indikasi rujukan
4) Kondisi ibu dan janin
5) Penatalaksanaan yang telah dilakukan sebelumnya
6) Nama dan profesi tenaga kesehatan yang mendampingi pasien
d) Saat berkomunikasi lewat telpon, pastikan hal – hal tersebut telah dicatat dan
diketahui oleh tenaga kesehatan di puast layanan kesehatan yang akan menerima
pasien.
e) Lengkapi dan kirimlah berkas (secara langsung ataupun melakui faksimili)
sesegera mungkin:
1) Formulir rujukan pasien (minimal berisi identitas ibu, hasil pemeriksaan,
diagnose kerja, terapi yang telah diberikan, tujuan rujukan, serta nama dan
tanda tangan tenaga kesehatan yang member pelayanan)
2) Fotokopi rekam medis kunjungan antenatal
3) Fotokopi rekam medis yang berkaitan dengan kondisi saat ini
4) Hasil pemeriksaan penunjang
5) Berkas – berkas yang lain untuk pembiayaan menggunakan jaminan
kesehatan.
f) Pastikan ibu yang dirujuk telah menggunakan gelang identifikasi
g) Bila terdapat indikasi pasien dapat dipasang jalur intravena dengan kanul
berukuran 16 atau 18.
h) Mulai penatalaksanaan dan pemberian obat – obatan sesuai indikasi segera
setelah berdiskusi dengan tenaga kesehatan di tujuan rujukan. Semua resusitasi,
penannganan kegawatdaruratan dilakukan sebelum memeindahkan pasien.
i) Periksa kelengkapan alat dan perlengkapan yang akan digunakan untuk merujuk
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan yang dapat terjadi selama
transportasi.
j) Selalusiap sedia untukkemungkinan terburuk
k) Nilai kembali kondisi pasien sebelum merujuk, meliputi:
1) Kedaan umum pasien
2) Tanda vital ( nadi, tekanan darah, suhu, pernafasan)
3) Denyut jantung janin
4) Presentasi
5) Dilatasi serviks
6) Letak janin
7) Kondisi ketuban
8) Kontraksi uterus : kekuatan, frekuensi dan durasi.
l) Catat dengan jelas semua hasil pemeriksaan berikut nama tenaga kesehatan dan
jam pemeriksaan terakhir.
7) Perlengkapan rujukan:
Perlengkapan dan modalitas secara spesifik dibutuhkan untuk melakukan rujukan tepat
waktu (kegawatdaruratan obstetric). Pada dasarnya perlengkapan yang digunakan
untuk proses rujukan ibu sebaiknya memiliki criteria:
a) Akurat
b) Ringan, kecil dan mudah dibawa
c) Berkualitas dan berfungsi baik

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 7


d) Permukaan kasar uintu menahan gerakan akibat percepatan dan getaran
e) Dapat diandalkan dalam keadaan cuaca ekstrim yanpa kehilangan akurasinya
f) Bertahan dengan baik dalam perubahan tekanan jika digunakan dalam pesawat
terbang
g) Mempunyai sumber listrik sendiri (baterai) tanpa mengganggu sumber listrik
kendaraan.
Tersedia perlengkapan umum
a) Formulir rujukan ibu (diisi lengkap, siapkan juga cadangan)
b) Tandu (stretcher)
c) Stetoskop
d) Termometer
e) Baskom muntah
f) Lampu senter
g) Sfignomanometer (digital lebih baik)
h) Doppler (bila tidak ada, gunakan stetoskop janin)
i) Infusion pump (tenaga baterai)
j) Sarung tangan steril (3 pasang, berbagai ukuran)
k) Pembalut wanita, diutamakan pembalut khusus pascasalin
l) Lubrikan steril
m) Larutan antiseptic
Tersedia cairan dan obat – obatan
a) 1000 ml 5% D/W
b) 1000 ml Ringer Laktat
c) 1000 ml NaCl 0,9% / Asering
d) Cairan koloid
e) Soluset atau buret
f) Plester
g) Torniket
h) Masing-masing sepasang kanul intravena ukuran 16, 18, dan 20
i) Butterfly (kanula IV tipe kupu-kupu) ukuran 21
j) Spuit dan jarum
k) Swab alkohol
l) MgSO4 1 g/ampul
m) Ca glukonas
n) Oksitosin 10 unit/ml
o) Ergometrin 0,2 mg/ml
p) 2 ampul diazepam 10 mg/ampul
q) Tablet nifedipin 10 mg
r) Lidokain 2%
s) Epinefrin
t) Sulfas atropine
u) Diazepam
v) Cairan dan obat-obatan lain sesuai kasus yang dirujuk
Perlengkapan persalinan steril
a) Sarung tangan steril/DTT
b) 1 buah gunting episiotomi
c) 1 buah gunting tali pusat
d) 1 buah pengisap lendir DeLee atau suction mekanis dengan kateter berukuran 10 Fr
e) 2 buah klem tali pusat
f) Benang tali pusat steril/DTT atau penjepit tali pusat
g) 2 buah kantong plastik
h) 6 buah kasa steril/DTT 4x4
i) 1 lembar duk steril/kain bersih
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 8
j) Selimut bayi (2 buah)
k) Selimut ibu
Perlengkapan resusitasi bayi
a) Laringoskop bayi dengan blade ukuran 0 dan 1
b) Self inflating bag dan sungkup oksigen untuk bayi, berukuran 0,1, dan 2
c) Pipa endotrakeal dengan stylet dan konektor, berukuran 2,5 sampai 4
d) 3 buah ampul epinefrin 1:10.000 1 ml/ampul
e) Spuit 1 ml dan 2 ml
f) Jarum ukuran 20 dan 25
g) Pipa orogastrik
h) Gunting dan plester
i) Tabung oksigen kecil lengkap
Perlengkapan resusitasi dewasa
Pastikan tenaga kesehatan mampu menggunakan alat-alat di bawah ini:
a) Tabung oksigen lengkap
b) Self inflating bag dan sungkup oksigen
c) Airway nomor 3
d) Laringoskop dan blade untuk dewasa
e) Pipa endotrakeal 7-7,5 mm
f) Suction dan kateter ukuran 14 Fr
Kendaraan yang dipakai untuk merujuk ibu dalam rujukan tepat waktu harus
disesuaikan dengan medan dan kondisi lingkungan menuju tujuan rujukan.

Rujukan Neonatal
Rujukan yang dilakukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas kesehatan
rujukan atau yang memiliki sarana lebih lengkap diharapkan mampu menyelamatkan
jiwa para ibu dan bayi baru lahir.
a) Perhatikan regionalisasi Rujukan Perinatal dalam menentukan tujuan rujukan,
sehingga dapat merujuk dengan cepat, aman dan benar
b) Puskesmas merupakan penyaring kasus risiko yang perlu dirujuk sesuai dengan
besaran risiko, jarak dan faktor lainnya
c) Memberi informasi kesehatan dan prognosis bayinya dan melibatkan orangtua atau
keluarga dalam mengambil keputusan untuk merujuk
d) Melengkapi syarat- syarat rujukan (persetujuan tindakan, surat rujukan, catatan
medis). Untuk kasus tertentu kadang diperlukan sampel darah ibu.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 9


e) Merujuk bayi dalam keadaan stabil, menjaga kehangatan bayi dan ruangan dalam
kendaraan yang digunakan untuk merujuk, dan menjaga jalan napas tetap bersih
dan terbuka selama transportasi. Bila memungkinkan bayi tetap diberi ASI.
f) Harus disertai dengan tenaga yang terampil melakukan Resusitasi
Data yang Harus Disediakan
Data dasar yang harus diinformasikan :
a) Identitas bayi dan tanggal lahir
b) Identitas orang tua
c) Riwayat kehamilan, persalinan dan prosesnya, tindakan resusitasi yang dilakukan.
d) Obat yang dikonsumsi oleh ibu
e) Nilai Apgar (tidak selalu harus diinformasikan, bila tidak tersedia waktu karena
melakukan tindakan resusitasi aktif)
f) Masa Gestasi dan berat lahir.
g) Tanda vital (suhu, frekuensi jantung, pernapasan, warna kulit dan aktif/tidak nya
bayi)
h) Tindakan/prosedur klinik dan terapi lain yang sudah diberikan
i) Bila tersedia data pemeriksaan penunjang yang ada (glukosa, elektrolit, dan lain-
lain)
Syarat untuk melakukan Transportasi
a) Bayi dalam keadaan stabil
b) Bayi harus dalam keadaan hangat
c) Kendaraan pengangkut juga harus dalam keadaan hangat
d) Didampingi oleh tenaga kesehatan yang trampil melakukan tindakan resusitasi,
minimal ventilasi
e) Tersedia peralatan dan obat yang dibutuhkan
Bayi dalam keadaan stabil, bila:
a) Jalan napas bebas dan ventilasi adekuat.
b) Kulit dan bibir kemerahan
c) Frekuensi jantung 120-160 kali/menit
d) Suhu aksiler 36.5-37 oC (97.7-98.6 oF)
e) Masalah metabolik terkoreksi
f) Masalah spesifik penderita sudah dilakukan manajemen awal
Peralatan dan Obat yang diperlukan :
a) Idealnya bayi dirujuk dengan menggunakan inkubator transpot dan dipasang
monitor. Berhubung alat tersebut sangat jarang tersedia di Puskesmas, maka
perhatikan cara menghangatkan bayi
b) Peralatan dan obat-obatan minimal yang harus tersedia:
1) Alat resusitasi lengkap, termasuk laringoskop dan pipa endotrakeal
2) Obat –obatan emergensi
3) Selimut penghangat
4) Alat untuk melakukan pemasangan jalur intra vena
5) Oksigen dalam tabung
c) Alat Resusitasi /bantuan ventilasi: selama transportasi
d) Indikasi bantuan ventilasi bila ada salah satu keadaan berikut:
1) Bradikardi (FJ < 100 x/menit)
2) Sianosis sentral dengan oksigen 100%
3) Apnea periodik
Pemberian Oksigen (Terapi Oksigen)
a) Indikasi pemberian oksigen
1) Bayi mengalami sianosis sentral (warna kebiruan di sekitar bibir) dan akral
(warna kebiruan di kuku, tangan dan kaki).
2) Bayi dengan gangguan napas

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 10


b) Pemberian oksigen membutuhkan pengawasan (konsentrasi, kelembaban dan
suhu)
c) Jumlah Oksigen yang diberikan:
1) Melalui kateter nasal 2-3 l/menit (konsentrasi 21%).
2) Melalui sungkup 4-5 l/ menit (konsentrasi 40%)
3) Melalui head box 6-8 l/ menit (konsentrasi > 50%)
d) Kecukupan kebutuhan oksigen terlihat dari hilangnya sianosis sentral.
Penilaian Oksigenisasi
Keberhasilan oksigenasi selama transportasi dinilai dari perubahan perbaikan klinis,
sebagai berikut:
1) Perubahan warna kulit menjadi kemerahan
2) Denyut jantung bertambah baik
3) Kadang kadang bisa mulai timbul napas spontan
Pengawasan Suhu
Pengawasan suhu dan menjaga kehangatan bayi selama transportasi menjadi suatu
keharusan Suhu normal:
a) Ketiak 36.5-37.5 oC (97.7-98.6 oF)
Cara menghangatkan bayi :
4) Membungkus atau menyelimuti bayi dengan kain yang kering, hangat dan tebal
5) Membungkus kepala bayi atau memakai topi/tutup kepala
6) Jangan meletakkan bayi ditepi jendela atau pintu kendaraan pengangkut
7) Kalau memungkinkan dapat pula dilakukan
8) Perawatan Bayi Melekat (Kangaroo Mother Care)
Rangkuman
Rujukan sebaiknya dilakukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas
kesehatan rujukan atau yang memiliki sarana lebih lengkap diharapkan mampu
menyelamatkan jiwa para ibu dan bayi baru lahir. Dalam melaksanakan rujukan
dilakukan sesuai kasus yang memerlukan rujukan dan mengikuti syarat rujukan supaya
penangnan kasus efektif dan tepat waktu.Untuk memudahkan dan meminimalkan
resiko dalam per jalanan rujukan, keperluan untuk merujuk ibu dapat diringkas
menjadi BAKSOKU/ BAKSOKUDA (Bidan, Alat, Keluarga, Surat, Obat, Kendaraan,
dan Uang/ Donor Darah)
c. Resusitasi Jantung Paru Pada Ibu Hamil
Sebelum melakukan Resusitasi Jantung Paru pada Ibu Hamil terlebih dahulu penolong
harus memahami RJP terbaru dari AHA 2010 sebagai berikut :
Resusitasi Jantung RJP Terbaru American Heart Association (AHA) 2010.
American Heart Association (AHA) pada tahun 2010 telah mempublikasikan pedoman
RJP dan perawatan darurat kardiovaskular. Evaluasi dan revisi senantiasa dilakukan
setiap 5 tahun sekali oleh American Red Cross, Australia Red Cross serta perwakilan Red
Cross dan Red Crescent lainnya, AHA, Europe Resuscitation Council, Resuscitation
Council of Asia (Jepang, Korea, Singapore, Taiwan), Australian and New Zealand
Committee on Resuscitation (ANZCOR), Resuscitation Council of Southern Africa
(RCSA), Heart and Stroke Foundation of Canada (HSFC),Inter American Heart
Foundation (IAHF),yang masuk dalam International Liaison Committee on Resuscitation
(ILCOR) yang bertugas untuk mengevaluasi RJP setiap 5 tahun sekali.
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-
langkah CPR dan disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi
faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Mereka
merekomendasikan untuk mendukung suatu intervensi yang hasilnya menunjukkan yang
paling memungkinkan untuk dilakukan. Perubahan pedoman ini menurut AHA adalah
dengan melakukan terlebih dahulu kompresi dada dari pada membuka jalan napas dan
memberikan napas buatan untuk korban henti jantung. Pertimbangannya adalah kompresi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 11


dada lebih penting untuk segera mensirkulasikan oksigen keseluruh jaringan tubuh
terutama ke otak, paru dan jantung.
Rekomendasi dari AHA untuk tahun 2010 berupa suatu pedoman yang lebih
aman dan lebih efektif dari banyaknya pendekatan yang ada dan memperkenalkan suatu
bentuk perawatan terbaru dengan berbasis pada evaluasi yang terbukti lebih intensif dan
atas dasar konsensus dari para ahli. Rekomendasi yangi baru ini bukan berarti bahwa
pedoman yang sebelumnya tidak aman atau tidak efektif. Setelah mengevaluasi dari
berbagai penelitian selama lima tahun terakhir,AHA mengeluarkan suatu 'Panduan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2010'. Hal utama pada RJP 2010 ini adalah pada kualitas
kompresi dada. Perbedaan antara 'Panduan RJP 2005 dengan Panduan RJP 2010' adalah
sebagai berikut :
1) ABC berubah menjadi CAB
Pada pedoman sebelumnya (tahun 2005) yang dipergunakan adalah ABC :
Airway, Breathing dan Chest Compressions,yaitu Membuka jalan napas,Memberi
bantuan pernapasan dan Kompresi dada. Pada pedoman yang terbaru (tahun
2010),Kompresi Dada didahulukan dari yang lainnya,baru kemudian Membuka jalan
napas dan Memberi bantuan pernapasan.
Dengan memulai kompresi dada terlebih dahulu diharapkan akan memompa darah
yang masih mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin,karena
beberapa menit setelah terjadinya henti jantung masih terdapat kandungan oksigen di
dalam paru-paru dan sirkulasi darah.
Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan
pembukaan jalan napas dan melakukan pemberian napas buatan. Untuk pada bayi yang
baru lahir tetap memakai pedoman ABC,jadi pada bayi yang baru lahir tidak terjadi
perubahan. Pedoman CAB hanya berlaku pada bayi,anak dan dewasa.
2) Tidak ada lagi Look,Listen dan Feel
Dalam menyelamatkan seseorang yang mengalami henti jantung adalah dengan
bertindak dengan segera dan cepat,sehingga tidak perlu dilakukannya lagi suatu
penilaian. Segera hubungi ambulan ketika melihat ada korban yang tidak sadarkan diri
dan terlihat adanya gangguan pernapasan. Jika dilakukan suatu penilaian bahwa
korban masih bernafas atau tidak,itu boleh saja akan tetapi perlu dipikirkan bahwa
dengan melakukan tindakan Look,Listen dan Feel,ini akan menghabiskan waktu yang
ada.
3) Melakukan Kompresi Dada lebih dalam
Jika pada pedoman sebelumnya (tahun 2005) dalam menekan dada adalah 1,5
sampai 2 inchi,maka pada pedoman yang baru (tahun 2010) AHA merekomendasikan
untuk menekan dada sedalam 2 inchi.
4) Melakukan Kompresi Dada lebih cepat
AHA merekomendasikan agar melakukan tekanan dengan menekan dada minimal
sebesar 100 kompresi dalam waktu 1 menit atau dengan kata lain 30 kompresi dalam
waktu 18 detik. Perbandingan kompresi berubah dari 15 : 2 menjadi 30 : 2
e) Hands only CPR
AHA tetap merekomendasikan melakukan RJP seperti ini pada 2008 karena AHA
berharap agar penolong yang tidak terlatih untuk melakukan Hands only CPR pada
korban dewasa yang sedang dihadapinya dimana korban dalam keadaan tidak sadarkan
diri.
Bagaimana jika korbannya bukan orang dewasa sedangkan yang menjadi
penolong bukan orang yang terlatih?Saran dari AHA : tetap lakukan hands only
CPR,karena lebih baik berbuat sesuatu daripada tidak melakukannya sama sekali.
f) Henti jantung mendadak
RJP adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan AHA
meminta kita waspada dan melakukan RJP saat itu terjadi.
g) Jangan berhenti menekan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 12
Jika menghentikan tekanan pada dada dalam jangka waktu yang lama maka hal ini
akan menyebabkan kematian jaringan pada otak karena terhentinya aliran darah ke
otak.
Dengan tetap melakukan tekanan pada dada maka aliran darah ke otak akan tetap
berjalan. Selain itu jika melakukan tekanan pada dada mulai dari awal lagi akan
dibutuhkan beberapa kali kompresi lagi agar aliran darah dapt mengalir kembali.
AHA menyarankan agar secara terus menerus melakukan tekanan pada dada
sampai tenaga medis datang untuk menilai keadaan jantung.Jika sudah waktunya
dilakukan memberikan bantuan pernapasan 'mouth to mouth',segera dilakukan dan
sesegera pula lakukan tekanan pada dada.
h) Langkah – Langkah Resusitasi Pada Kehamilan
a Periksa kesadaran ibu dengan memanggil atau menggoyang-goyangkan tubuh ibu.
Bila ibu tidak sadar, lakukan langkah-langkah selanjutnya.
b Panggil bantuan tenaga kesehatan lain dan bekerjalah dalam tim.
c Khusus untuk ibu dengan usia kehamilan >20 minggu (uterus di atas
umbilikus), miringkan ibu dalam posisi berbaring ke sisi kiri dengan sudut 15-30°
atau bila tidak memungkinkan, dorong uterus ke sisi kiri ( lihat gambar berikut ).

Gambar : Posisi Kompresi Dada Pada Ibu Hamil

Gambar : Mendorong Uterus ke Kiri

d Bebaskan jalan napas. Tengadahkan kepala ibu ke belakang (head tilt) dan angkat
dagu (chin lift). Bersihkan benda asing di jalan napas.
e Bila ada sumbatan benda padat di jalan napas, sapu keluar dengan jari atau lakukan
dorongan pada dada di bagian tengah sternum (chest thrust). Hindari menekan
prosesus xifoideus

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 13


Gambar : Chest Trust
f Sambil menjaga terbukanya jalan napas, “lihat – dengar – rasakan” napas ibu
(lakukan cepat, kurang dari 10 detik) dengan cara mendekatkan kepala penolong ke
wajah ibu. Lihat pergerakan dada, dengar suara napas, dan rasakan aliran udara
dari hidung/mulut ibu.
1) Jika ibu bernapas normal, pertahankan posisi, berikan oksigen sebagai tindakan
suportif. Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap bernapas normal.

Gambar : Menilai Pernapasan

g Jika ibu tidak bernapas atau bernapas tidak normal, periksa pulsasi arteri karotis
dengan cepat (tidak lebih dari 10 detik).

Gambar : Memeriksa Pulsasi Arteri Karotis

h Bila nadi teraba namun ibu tidak bernapas atau megap-megap (gasping), berikan
bantuan napas (ventilasi) menggunakan balon-sungkup atau melalui mulut ke mulut
dengan menggunakan alas (seperti kain, kasa) sebanyak satu kali setiap 5-6 detik.
Pastikan volume napas buatan cukup sehingga pengembangan dada terlihat. Cek nadi
arteri karotis tiap 2 menit.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 14
Gambar : Bantuan Napas Mulut ke Mulut

Gambar : Bantuan Napas dengan Balon dan Masker

i Bila nadi tidak teraba, segera lakukan resusitasi kardiopulmoner.


1) Resusitasi kardiopulmoner pada ibu dengan usia kehamilan >20 minggu dilakukan
dalam posisi ibu miring ke kiri sebesar 15-300.
2) Penekanan dada dilakukan di pertengahan sternum. Kompresi dilakukan dengan
cepat dan mantap, menekan sternum sedalam 5 cm dengan kecepatan 100-
120x/menit.
3) Setelah 30 kompresi, buka kembali jalan napas lalu berikan 2 kali ventilasi
menggunakan balon sungkup atau melalui mulut ke mulut dengan alas. Tiap
ventilasi diberikan dalam waktu 1 detik. Berikan ventilasi yang cukup sehingga
pengembangan dada terlihat.
4) Kemudian lanjutkan kompresi dada dan ventilasi dengan perbandingan 30:2.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 15


Gambar : Kompresi Dada

5) Pasang kanul intravena (2 jalur bila mungkin) menggunakan jarum ukuran besar
(no. 16 atau 18 atau ukuran terbesar yang tersedia) dan berikan cairan sesuai
kondisi ibu.
j Tindakan resusitasi kardiopulmoner diteruskan hingga:
1) Tim yang lebih terlatih untuk menangani henti nafas dan henti jantung telah datang
dan mengambil alih tindakan, ATAU
2) Tidak didapatkannya respon setelah 30 menit, ATAU
3) Penolong kelelahan, ATAU
Ibu menunjukkan tanda-tanda kembalinya kesadaran, misalnya batuk, membuka
mata, berbicara atau bergerak secara sadar DAN mulai bernapas normal. Pada
keadaan tersebut, lanjutkan tatalaksana dengan:
a) Berikan oksigen
b) Pasang kanul intravena (bila sebelumnya tidak berhasil dilakukan) dan berikan
cairan sesuai kondisi ibu
c) Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap bernapas
normal.
k Setelah masalah jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi teratasi, pikirkan dan evaluasi
kemungkinan penyebab hilangnya kesadaran ibu, di antaranya:
1) perdarahan hebat (paling sering)
2) penyakit tromboemboli
3) penyakit jantung
4) sepsis
5) keracunan obat (contoh: magnesium sulfat, anestesi lokal)
6) eklampsia
7) perdarahan intrakranial
8) anafilaktik
9) gangguan metabolik/elektrolit (contoh: hipoglikemia)
10) hipoksia karena gangguan jalan napas dan/atau penyakit paru
l Lakukan pemeriksaan lanjutan, misalnya USG abdomen untuk melihat perdarahan
intra abdomen tersembunyi.
m Atasi penyebab penurunan kesadaran atau rujuk bila fasilitas tidak memungkinkan
d. Resusitasi jantung paru pada neonatal
a. Pengertian Resusitasi
Resusitasi ( respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. (Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002)
Resusitasi adalah pernafasan dengan menerapkan masase jantung dan pernafasan
buatan.(Kamus Kedokteran, Edisi 2000).

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 16


b. Tujuan Resusitasi
1) Memberikan ventilasi yang adekuat
2) Membatasi kerusakan serebi
3) Pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen
kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya
4) Untuk memulai atau mempertahankan kehidupan ekstra uteri
c. Tanda – Tanda Resusitasi Perlu Dilakukan
1) Pernafasan
Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa
pernafasan tidak adekuat. Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya
pernafasan selama 1 menit. Nafas tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan
perlu tindakan, misalnya apneu. Jika pernafasan telah efektif yaitu pada bayi
normal biasanya 30 – 50 x/menit dan menangis, kita melangkah ke penilaian
selanjutnya.
2) Denyut Jantung – Frekuensi
Apabila penilaian denyut jantung menunjukkan bahwa denyut jantung bayi tidak
teratur. Frekuensi denyut jantung harus > 100 per menit. Cara yang termudah dan
cepat adalah dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba
arteria mempunyai keuntungan karena dapat memantau frekuensi denyut jantung
secara terus menerus, dihitung selama 6 detik (hasilnya dikalikan 10 =frekuensi
denyut jantung selama 1 menit) Hasil penilaian ;
a) Apabila frekuensi>100x / menit dan bayi bernafas spontan, dilanjutkan dengan
menilai warna kulit.
b) Apabila frekuensi < 100x / menit walaupun bayi bernafas spontan menjadi
indikasi untuk dilakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif).
3) Warna Kulit
Apabila penilaian warna kulit menunjukkan bahwa warna kulit bayi pucat atau bisa
sampai sianosis. Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit
menjadi kemerahan. Jika masih ada sianosis central, oksigen tetap diberikan. Bila
terdapat sianosis purifier, oksigen tidak perlu diberikan, disebabkan karena
peredaran darah yang masih lamban, antara lain karena suhu ruang bersalin yang
dingin.
d. Kondisi Yang Memerlukan Resusitasi
1) Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang
jatuh ke posterior.
2) Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu misalnya
obat anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan
sebagainya
3) Kerusakan neurologis.
4) Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat,
dan / atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan / sirkulasi.
5) Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan
Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika
terlambat, bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.
e. Hal – Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Resusitasi
1) Tenaga yang terampil, tim kerja yang baik.
2) Pemahaman tentang fisiologi dasar pernapasan, kardiovaskular, serta proses
asfiksia yang progresif.
3) Kemampuan / alat pengaturan suhu, ventilasi, monitoring.
4) Obat-obatan dan cairan yang diperlukan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 17


f. Persiapan Resusitasi Bayi Baru Lahir
Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi
bayi baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu
yang sangat berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak
bernapas, bayi baru lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat atau meninggal.
Dengan beberapa persiapan sebagai berikut :
1) Persiapan Keluarga
Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta persiapan yang
dilakukan oleh penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan
tindakan yang diperlukan.
2) Persiapan Tempat Resusitasi
Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi. Gunakan
ruangan yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata, keras, bersih
dan kering, misalnya meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Kondisi yang rata
diperlukan untuk mengatur posisi kepala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya di dekat
sumber pemanas (misalnya; lampu sorot) dan tidak banyak tiupan angin (jendela
atau pintu yang terbuka). Biasanya digunakan lampu sorot atau bohlam berdaya 60
watt atau lampu gas minyak bumi (petromax). Nyalakan lampu menjelang
kelahiran bayi.
3) Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu:
a) 2 helai kain/handuk
b) Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur
posisi kepala bayi.
c) Alat pengisap lendir DeLee atau bola karet
d) Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal
e) Kotak alat resusitasi.
f) Jam atau pencatat waktu
g. Langkah-Langkah Resusitasi BBL
Sebelum bayi lahir, harus mengetahui informasi :
1) Bayi cukup bulan atau tidak?
2) Air ketuban bercampur mekonium atau tidak?
Setelah bayi lahir, lakukan penilaian :
1) Bernafas atau menangis?
2) Tonus otot baik?
Bila hasil penilaian baik, yaitu bayi cukup bulan, air ketuban tidak bercampur
mekonium, bayi menangis, tnus otot baik. Maka lakukan PERAWATAN RUTIN : Beri
kehangatan, Bersihkan jalan nafas, Mengeringkan bayi.
Bila hasil penilaian tidak baik, maka lakukan :
1) Airway (Langkah Awal)
a Jaga bayi tetap hangat.
Selimuti bayi dengan kain, pindahkan bayi ke tempat resusitasi.
b Atur posisi bayi.
Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong. Ganjal bahu agar
kepala sedikit ekstensi. Posisi semi ekstensi yaitu hidung dan mulut dalam satu
garis lurus.
c Isap lendir.
Gunakan alat pengisap lendir DeLee atau bola karet.
1) Pertama, isap lendir di dalam mulut, kemudian baru isap lendir di hidung.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 18


2) Hisap lendir sambil menarik keluar pengisap (bukan pada saat
memasukkan).
3) Bila menggunakan pengisap lendir DeLee, jangan memasukkan ujung
pengisap terlalu dalam (lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm
ke dalam hidung) karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi melambat
atau henti napas bayi.
d Keringkan dan Rangsang taktil.
Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan
sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau bernapas
lebih baik.
Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini :
1) Menepuk atau menyentil telapak kaki.
2) Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan
Rangsangan yang kasar, keras atau terus menerus, tidak akan banyak
menolong dan malahan dapat membahayakan bayi.
e) Reposisi.
1) Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru
(disiapkan).
2) Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada
agar pemantauan pernapasan bayi dapat diteruskan.
3) Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi).
4) Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur
5) Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, megap-megap atau tidak
bernapas.
Lakukan evaluasi meliputi:
a) Pernapasan
b) Frekuensi jantung
c) Warna kulit
Bila bayi bernafas, FJ > 100x/menit à PERAWATAN SUPORTIF
2. Breathing (VTP)
Bila FJ < 100x/menit /APNUE à VTP (Ventilasi Tekanan Positif) Ventilasi adalah
bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke dalam paru
dengan tekanan positip yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa
bernapas spontan dan teratur.
a) Pasang sungkup, perhatikan lekatan.
b) Pasang dan pegang sungkup agar menutupi mulut dan hidung bayi.
c) Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi.
d) Ventilasi percobaan (2 kali) Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air.
Tiupan awal ini sangat penting untuk membuka alveloli paru agar bayi bisa
mulai bernapas dan sekaligus menguji apakah jalan napas terbuka atau bebas.
Lihat apakah dada bayi mengembang, Bila tidak mengembang
a) Periksa posisi kepala, pastikan posisinya sudah benar.
b) Periksa pemasangan sungkup dan pastikan tidak terjadi kebocoran.
Bila dada mengembang lakukan tahap berikutnya
a) Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air
dalam 30 detik.
b) Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur?
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dinding dada dan
auskultasi bunyi napas.
a) Bila bayi bernafas, FJ > 100x/menit, kemerahan àPERAWATAN LANJUT

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 19


3. Circulation
Apabila setelah dilakukan VTP, FJ < 60x/menit VTP dan kompresi dada :
Kompresi Dada
a) Kompresi dinding dada dapat dilakukan dengan melingkari dinding dada dengan
kedua tangan dan menggunakan ibu jari untuk menekan sternum atau dengan
menahan punggung bayi dengan satu tangan dan menggunakan ujung dari jari
telunjuk dan jari tengah dari tangan yang lain untuk menekan sternum.
b) Tehnik penekanan dengan ibu jari lebih banyak dipilih karena kontrol
kedalaman penekanan lebih baik.
c) Tekanan diberikan di bagian bawah dari sternum dengan kedalaman ± 1,5 cm
dan dengan frekuensi 90x/menit.
d) Dalam 3x penekanan dinding dada dilakukan 1x ventilasi sehingga didapatkan
30x ventilasi per menit. Perbandingan kompresi dinding dada dengan ventilasi
yang dianjurkan adalah 3 : 1.
e) Evaluasi denyut jantung dan warna kulit tiap 30 detik. Bayi yang tidak berespon,
kemungkinan yang terjadi adalah bantuan ventilasinya tidak adekuat, karena itu
adalah penting untuk menilai ventilasi dari bayi secara konstan.
Drug
Bila FJ < 60x/menit, berikan Epineprin.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 20


PANDUAN BELAJAR

Keterampilan Klinik Resusitasi Bayi Baru Lahir


1. Langkah Awal Resusitasi
2. Ventilasi Bayi Baru Lahir (Ventilasi Tekanan Positif/Vtp), Penggunaan Balon Resusitasi
Dan Sungkup
3. Resusitasi Bayi Baru Lahir Kompresi Dada
Lakukan penilaian kinerja pada setiap langkah/tugas dengan menggunakan skala
penilaian dibawah ini :
1. Memerlukan Langkah atau tug as tidak dikerjakan secara benar, atau dalam urutan
perbaikan yang salah (bila diperlukan) atau diabaikan
2. Dikerjakan Langkah atau tugas dikerjakan secara benar, dalam urutan yang benar
secara kompeten (bila diperlukan), tetapi belum dikerjakan secara lancar
(terampil)
3. Dikerjakan Langkah atau tugas dikerj akan secara efisien, dan dikerjakan dalam
secara profislen urutan yang benar (bila diperlukan)
(mahir)

LANGKAH AWAL RESUSITASI


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5

INDIKASI MELAKUKAN LANGKAH AWAL


1. Indikasi Melakukan Langkah Awal:
a. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap
b. AirKetuban bercampur mekonium
c. Tonus otot jelek
d. Masa gestasi kurang
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
PERSIAPAN PASIEN
2. Persiapan Pasien dan Persetujuan Tindakan Medik:
a. Sapa ayah/wali pasien, sebutkan bahwa anda petugas yang diberi
wewenang untuk menjelaskan tindakan pada bayi
b. Jelaskan tentang diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi
asfiksia neonatal
c. Jelaskan bahwa tindakan klinik juga mengandung risiko
d. Buat persetujuan tindakan medik, simpan dalam catatan medik.
3. Peninjauan Riwayat Antepartum dan Intrapartum
PERSIAPAN ALAT
4. Persiapan Alat Resusitasi:
a. Alat pemanas yang siap pakai
b. Alat resusitasi
c. Alat penghisap:
1) Penghisap Iendir kaca
2) Penghisap mekanis
3) Kateter penghisap no SF atai 6F, 8F, 10F
4) Sonde rninurnan no 8F dan semprit 20 ml
d. Penghisap mekonium
e. Alat balon dan sungkup resusitasi
1) Sungkup untuk bayi cukup bulan dan kurang bulan/prematur
(mempunyai pinggir yang lunak seperti bantal)
2) Balon udara (neonatus) dengan katup penurun tekanan Balon

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 21


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
dengan kapasitas pemberian oksigen 90-100%
3) Pipa saluran udara untuk bayi cukup dan kurang bulan
4) Tabung oksigen dengan pengukur aliran oksigen dan pipa-
pipanya,
f. Alat Intubasi
1) Laringoskop dengan lidah no, 0 (untuk bayi kurang bulan) dan
no 1 (untuk bayi cukup bulan)
2) Lampu dan baterai esktra untuk laringoskop
3) Pipa endotakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0 mm
4) Stilet
5) Gunting
6) Sarung tangan
g. Obat _- obat
1) Epinefrin 1 : 10.000 dalam ampul 3 ml atau10 ml
2) Nalokson hidroklorid 0,4 mg/ml dalam ampull ml atau
1mg/ml dalam ampul 2 ml
3) Cairan penambah volume darah (volume expander), salah
satu dari yang berikut ini:
a) Darah
b) Larutan NaCl 0,9 %
c) Larutan Ringer laktat
d) Bikarbonas natrikus 4,2% (5mEq/l0 ml) dalam ampul 10
ml
e) Larutan Dextrose 10%, 250 ml.
f) Aqubidest steril 30 ml
g) Larutan NaCI 0,9 %, 30 ml.
h. Lain – lain
1) Stetoskop
2) Plester
3) Semprit yatau }4 inciuntuk 1,3,5,10,20,50 ml
4) Kapas alkohol
5) Baki untuk kete terisasi arteria umbilikalis
6) Kateter umbilic us berukuran 3,5F; 5F
7) Three-way stop cocks
8) Sonde lambung berukuran 5F

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 22


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5

PERSIAPAN PENOLONG
5. Perslapan Diri
a. Cuci tang an dengan baik dan benar
b. Gunakan sarung tangan
c. Pakai gaun dan masker
Catatan: Paling sedikit tersedia satu penolong terampil resusitasi BEL
dikamar bersalin dan dua asisten tindakan resusitasi darurat
PROSEDUR LANGKAH AWAL
6. Menilai Keadaan Bayi dengan menjawab 4 pertanyaan:
a Apakah bersih dari mekonium ?
b Apakah bayi bernapas atau menangis ?
c Apakab tonus otot baik ?
d Apakah bayi cukup bulan?
1) Bila semua jawabannya Ya, bayi dirawat rutin saja
2) Bila satu atau lebih jawaban Tidak, bayi perlu tindakan lanjut,
yaitu : Langkah Awal Resusitasi
3) Bila bayi bernapas/menangis tetapi sianosis, bayi diberi O2
aliran bebas sambi! melakukan Langkah Awal
7. Urutan Langkah Awal:
a. Menghangatkan bayi
b. Memposisikan kepala
c. Menghisap lendir
d. Mengeringkan sambil melakukan rangsang taktil
e. Memposisikan kembalikepala bayi
f. Menilai bayi
MENGHANGATKAN BAYI
8. Menghangatkan Bayi dengan Cara:
a. Ditempatkan dibawah pemancar panas (bila tersedia) yang telah
diaktifkan sehingga bayi menjadi hangat,
b. Diterima dengan menggunakan kain bersih dan hangat
c. Menggunakan kain kering dan panas, kemudian bungkus dan
pakaikan topi bayi (jangan biarkan bayi telanjang)

MEMPOSISIKAN KEPALA BAYI

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 23


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
9. Memposisikan Kepala Bayi dengan cara:
a. Segera letakkan bayi di bawah alat pernancar panas, diposisikan
kepala dan pastikan jalan napas terbuka

b. Kepala bayi dimiringkan agar cairan berkurnpul di mulut (bukan


di farings belakang) sehingga mudah disingkirkan dan tidakmasuk
ke trakea dan paru-paru
MENGHISAP LENDIR
10. Menghisap Lendir:
a. Bila air ketuban jernih tanpa mekonium:
1) Pertama: bersihkan lendir dalam mulut (gunakan penghisap
Dee Lee atau penghisap lendir lain) dengan kedalaman sekitar
5 em
2) Kemudian: berishkan lendir dalam hidung dengan kedalaman
sekitar 3 cm
Pengisapan pada rongga hidung akan menimbulkan inisiasi
pernapasan/gasping sehingga bila dilakukan lebih dulu akan
menimbulkan aspirasi lendir dalam mulut ke saluran napas
b. Bila air ketuban bercampur mekonium, setelahkepala, bahu dan
seluruh badan bayi dilahirkan, nilaikeadaan bayi, apakah:
1) bugar (menangis, tonus otot baik ), atau
2) tidak bugar (tidak menangis, tonus otot jelek )
Jika bayi bugar: lakukan penghisapan lendir seperti di atas
Jika bayi tidak bugar, lakukan penghisapan lendir sbb:
1) Posisi bayi dimiringkan
2) Buka mulut bayi
3) Isap lendir yang di dalam mulut dengan menggunakan kain
kassa yang bersih
4) Menghisap lendir dengan lebih dalam
MENGERINGKAN SAMBIL MELAKUKAN RANGSANG TAKTIL
11. Mengeringkan Bayi dengan Cara:
a. Mengeringkan kepala dan rambut
b. Mengeringkan dada, perut bayi sampai kaki
c. Kernudian miringkan bayi kesatu sisi dengan salah satu tangan
memegang ketiak bayi, tang an yang lain mengeringkan dan
menggosok punggung bayi
d. Lakukan hal yang sarna untuk sisi sebelahnya
e. Dapat juga dilakukan rangsangan taktil ujung jari kaki
f. Mengganti kain yang basah dengan yang kering

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 24


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5

MEMPOSISIKAN KEMBALI KEPALA BAYI


12. Memposisikan Kembali KepalaBayl dengan Cara Seperti langkah
pertama tersebut di atas
MENILAI BAYI
13. Menilal Kondisi Bayi, dengan Cara:
a. Menilai napas bayi (spontan atau menangis)
b. Menilai denyut jantung bayi dengan cara memegang pulsasi
arteri Umbilikalis atau mendengarkan bunyi jantung bayi
(dengan stetoskop). Hitung denyut jantung bayi, selama 6 menit
Hasil penghitungan 6 menit dikalikan 10 untuk memperoleh
freknensi denyut jantung bayi per menit
c. Menilai warna kulit bayi , apakah pucat atau biru (sianosis), bila
bayi mulai bernapas tetapi kulit tetap sianotik,lakukan pemberian
oksigen
MEMBERIKAN OKSIGEN (BILA PERLU)
14. Pemberian Oksigen Harus Berkonsentrasi 100% (yang diperoleh
dari tabung okslgen) dengan:
a. Menggunakan sungkup oksigen atau alat resusitasi lain agar
oksigen tidak bercarnpur dengan udara (konsentrasi oksigen
dalam udara 21 %) yang dapat menurunkan konsentrasi oksigen
yang diberikan
b. Kecepatan aliran oksigen paling sedikit 5 liter/menit
c. Apabila sungkup tidaktersedia, berikan oksigen 100% melalui
pipa yang ujungnya berada pada mulut dan hidung bayi yang
dilingkupi tangan penolong. Berikan oksigen dengan kecepatan
5 liter/menit
15. Untuk mencegah kehilangan panas dan pengeringan mukosa saluran
napas, oksigen yang dlberikan perlu dihangatkan dan dilembabkan
melalui pipa berdiameter besar
TINDAKAN SELANJUTNYA
16. Membuat Kesimpulan
a. Bila bayitetap tidak bernapas, maka teruskan langkah berikutnya
b. Menilai tonus otot bayi
c. Bila bayi tetap tidak menangis lagi , dan atau tonus otot kurang
baik, maka lakukan langkah berikutnya yaitu Ventilasi Tekanan
Positif
d. Bila bayi bernapas dan tonus, otot baik , lakukan Asuhan Bayi
Pascaresusitasi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 25


VENTILASI BAYI BARU LAHIR (VENTILASI TEKANAN POSITIF/VTP),
PENGGUNAAN BALON RESUSITASI DAN SUNGKUP
KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
INDIKASI VTP
1. Indikasi:
Bila telah dilakukan Langkah awal, setelah dinilai bayi belum
menangis, tetapi megap-megap atau kulit bayibiru
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
PERSIAPAN PASIEN
2. Persiapan Pasien:
a. Posisi seperti pada saat langkah awal
b. Tetap menjaga kehangatan suhu bayi
PERSIAPAN ALAT
3. Menyiapkan dan Memeriksa Alat:
a Dipilih peralatan yang dirancang khusus untuk bayi baru lahir,
dapat menggunakan halon dan sungkup.
Pertimbangan harus berdasarkan fasilitas yang tersedia dengan
mempertimbangkan:
1) Kcmampuan oksigen
2) Ukuran balon resusitasi
3) Ukuran sungkup
4) Aman
b Oksigcn
1) Sumber O2 100%, pipa dan alat pengukur aliran O2
2) VTP pada bayi baru lahir harus sesuai dengan konsentrasi
oksigen 90-100%
4. Menggunakan Balon dan Sungkup:
a. Balon mengembang sendiri dengan reservoar oksigen
b. Balon tidak mengernbang sendiri
c. Balon resusitasi
1) Ukuran balon untuk bayi baru lahir tidak boleh melebihi 750 ml,
karena bayi cukup bulan hanya membutuhkan 20-30 ml setiap
ventilasi (6-8 ml/kg)
2) Ukuran balon lebih besar dari 750 ml sulit untuk memberikan
volume kecil
3) Beberapa balon mengembang sendiri menipunyai kapasitas
sekecil 240 ml

d. Sungkup:
1) Harus dipilih sungkup dengan ukuran yang tepat, vaitu dapat :
menutupi dagu, mulut dan hidung bayi, tetapi tidak menutupi
mata. Sungkup yang terlalu lebar dapat merusak mata. Sungkup
yang terlalu sempit tidak menutupi mulut dan hidung
2) Ada 2 jenis tepi sungkup; yaitu yang mempunyai tepi dengan
bantalan dan tanpa bantalan.
3) Dipilih sungkup bertepi dengan bantalan karena memberi
keuntungan:
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 26
KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
a) Tepi sungkup lebih mudah disesuaikan dengan muka bayi,
sehingga lebih mudah melekat
b) Tidak memerlukan tekanan yang terlalu tinggi agar melekat

5. Penyiapan Balon dan Sungkup Resusitasi:


balon dipasang dan dihubungkan dengan sumber oksigen bila ada
fasilitas oksigen, bila tidak tersedia dapat menggunakan oksigen atau
udara kamar, sungkup dihubungkan dengan balon
6. Melakukan Pemerlksaan Balon
Bila peserta memilih balon resusitasi, periksa apakah balon dapat tcrisi
penuh:
a. Apakah balon retak atau sobek?
b. Apakah katup pengontrol aliran terbuka?
c. Apakah pengukur tekanan hilang?
d. Apakah aliran ke pasien (ke tangan anda) benar -- benar tertutup
Bila balon terisi, remas balonnya:
a. Apakah anda merasakan adanya tekanan pad a tangan anda?
b. Apakah pengukur tekanan menunjukkan tekanan 30-40 cm H20?
Bila balon tidak terisi sempurna atau tidak memberikan tekanan dengn
baik, ambil balon lain dandicoba sekalilagi.
Periksa sungkup dengan teliti apakah terdapat retak atau
kerusakan pada pinggir sungkup
MELAKUKAN VENTILASI
7. Posisi untuk Tlndakan Ventilasi:
a. Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar
b. Posisi pelaksana ventilasi tekanan positif (VTP) berdiri di sebelah -
atau dekatkepada bayi
c. Balon dipegang dengan tangan kanan dan sungkup dengan tangan
kiri (bagi yang kidal cara memegang sebaliknya)
d. Posisi balon sedernikian rupa sehingga tidak menghalangi
pandangan mata ke dada bayiuntuk melihat gerak turun naik dada
bayi selama VTP
8. Melakukan LekatanAntara Sungkup dan Mulut dengan Benar:
Posisi sungkup:
a. Sungkup harus diletakkan di wajah bayi sedemikian rupa sehingga
menutupi hidung, mulut, dan tepi dagu tertutup tepat dengan
pinggiran sungkup, tetapi tidak menutupi mata
b. Hal itu dilakukan dengan mulai mencakupdagu dulu baru
kernudian menutup hidung Sungkup yang berbentuk lancip
(anatomik), bagian lancip harus pada posisi mencakup hidung
c. Sungkup diletakkan dimuka dengan cara menggunakan ibujari dan
telunjuk dan/atau jaritengah melingkari harnpir sebagian sungkup,
sedangkan jari manis menyangga agar dagu tetap dalam sungkup,
d. Lekatan sungkup dapat dilakukan dengan sedikit menekan tepinya
ke muka bayi sehingga posisinya tepat

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 27


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
Yang harus diperhatikan!
a. Jangan menekan sungkup ke muka. Terlalu menekan akan
mendatarkan belakang kepala dan melukai muka
b. Jangan rnenekan daerah trakhea Anda dapat menghambat arus
udara
c. Jangan sampai jari anda atau bagian dari tangan anda atau bagian
apapun dari alat mengenai mata bayi

9. Memeriksa Lekatan (Penekanan atau Ventilasi 2 Kali):


a. Pada saat balon ditekan atau melakukan VTP 2 kali untuk pertama
kali, lekatan diperiksa apakah tidak bocor dengan cara melihat
apakah dada bayi naik dan tidak ada kebocoran di tempat lekatan
b. Cara menekan balon: Jangan sekali _ kali menekan habis balon
untuk mengembangkan paru _paru bayi, karena volume paru-paru
bayi hanya sebagian kecil dari volume balon
c. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan VeIititasi) dan
tekanan ventilasi harus sesuai
10. Melakukan VTP:
a. Kecepatan ventilasi : dianjurkan 40-60 kali/rnenit
b. Bila menggunakan balon resusitasi: Kecepatan ini dicapai dengan
memompa balon sebagai berikut:
Pompa - dua (lepas) _:_tiga (lepas) - Pompa - dua (lepas)- tiga
(lepas) - Pompa - dan seterusnya.

11. Observasi Selama VTP Berlangsung :


a. Observasi gerak dada bayi
b. Adanya gerakan naik-turun dinding dada merupakan bukti bahwa
sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang Bayi
seperti menarik napas dangkal
c. Apabila dada bergerak maksimum (bayi seperti menarik napas
panjang) ini menunjukkan bahwa paru - paru terlalu mengembang
atau tekanan yang diberikan terlalu tinggi Hal ini dapat
menyebabkan pnemotoraks
d. Observasi gerak perut bayi
1) Gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi
yang efektif
2) Gerak perut mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam
lambung
e. Penilaian suara napas bilateral
1) Suara napas didengar dengan menggunakan stetoskop
2) Adanya suara napas di kedua paru - paru merupakan indikasi
bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 28
KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
f. Observasi pengembangan dada bayi, apabila dada terlalu
berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi remasan pada
balon
g. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah
satu penyebab berikut
1) Perlekatan sungkup kurang sempurna
a) Terdengar udara keluar (bocor) darisekitar sungkup
b) Kebocoran sering terjadi antara pipi dan pangkal hidung
c) Ulang lagi pernasangan sungkup agar perlekatan menjadi
lebih baik
d) Tepi sungkup sedikit ditekan, jangan menekan terlalu kuat ke
muka bayi
2) Arus udara terhambat
Cara melakukan koreksi sebagaiberikut:
a) Periksa posisi bayi dan ekstensikan leher lebih jauh
b) Periksa mulut, orofaring dan sekresi. Bila perlu isap cairan
dalam mulut dan hidung
c) Coba lakukan ventilasi dengan mulut bayi sedikit terbuka,
dengan memasang jalan udara melalui mulut
3) Tidak cukup tekanan
a) Naikkan tekanan sehingga tariipak dada bayi turun naik
b) Tingginya tekanan yang diberikan sesuai dengan j enis alat
yang dipakai
12. Penilaian Setelah Melakukan VTP Selama 30 Detik :
a. Apakah bayi sudah bernapas atau belum
b. Frekuensi denyut jantung
c. Wama kulit
13. Penilaian Denyut Jantung Bayi denganCara:
a. Cara menilai
Ada 2 cara untuk menilai frekuensi denyut jantung
1) Menggunakan stetoskop, mendengarkandetak jantung di apeks
2) Meraba denyutarteri umbilikalis atau arteri brakhialis
b. Cara menghitung
Frekuensi denyut jantung dihitung dcngan cara menghitungjumlah
denyut jantung dalam 6 detik dikalikan 10, sehingga diperoleh
frekuensi jantung permenit
14. Pemantauan Pascaresusltasl Bila bayi bernafas spontan dan baik, jaga
agar bayi tetap hangat, inisiasi ASI dini
15. Mencntukan Kapan Harus Merujuk ?
Bila telah melakukan resusitasi sampai tahapan pemasangan pipa ET
dan pemberian obat-obatan bayi tetap belum bernapas, dalam waktu
kurang dari to menit harus memberi tahu orangtua/wali untuk merujuk
bayi, stabilisasi bayi dan mempersiapkan rujukan dan transportasi
16. Menghentikan Resusitasi:
Resusitasi dihentikan apabila selama 10 menit tidak terdengar suara
jantung dan usaha nafas bayi
17. Membersihkan dan Meusterilkan Alat: sesuai dengan Panduan
Pencegahn Infeksi
18. Membuat Catatan Medik tentang apa yang telah dilakukan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 29


1. RESUSITASI BAYI BARU LAHIR KOMPRESI DADA
KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
INDlKASI
1. Bila setelah 30 detik melakukari VTP dengan oksigen 100%,
frekuensi jantung bayi kurang dari 60 kali/menit
PERSIAPAN PASIEN
2. Posisi Saat Melakukan Kompresi Dada:
Pelaksana menghadap ke dada bayi dengan kedua tangannya
dalam posisi yang benar
3. Lokasi untuk Melakukan Kompresi Dada
Kornpresi dilakukan di 1/3 bagian bawah tulang dada dengan cara
menyelusuri lengkung tulang iga dengan jari sampai menernukan
sifoid. Lalu tempatkan jari-jari sedikit dl atas sifoid. Hati-hati
jangan sampai menekan prosesus sifoideus
CARA MELAKUKAN KOMPRESI DADA
4. Cara atau Teknik Menggunakan Kedua Ibu Jari
a. Kedua tangan melingkari dada bayi bagian lateral, tempatkan
kedua ibu jari di tulang dada di lokasi kompresi; sedangkan
jari-jari lainnya diletakkan dipunggung bayi
b. Kedua ibu jari diletakkan berdampingan (untuk bayi kecil ibu
jari yang satu diletakkan diatas ibu jari yang lain)

5. Cara atau Tcknik Menggunakan 2 Jari


a. Ujung-ujung jari tengah dan jari telunjuk salah satu tangan
digunakan untuk kompresi dada
b. Letakkan kedua jari tersebut tegak lurus tulang dada di lokasi
kompresi. Kompresi hanya dilakukan dengan ujung-ujung jari
tersebut.
c. Jari-jari tangan lain diletakkan dan menopang punggung bayi
agar penekanan jantung bayi di antara tulang dada dan tulang
belakang lebih efektif. Selain itu jari-jari yang menopang
bahu/bagian belakang bayi dapat merasakan tekanan dan
dalamnya kompresi.

6. Kedalamari Kompresi Dada (Dalamnya Tekanan)


Dengan posisi jari-jari dan tangan yang benar, gunakan tekanan
yang cukup untuk menekan tulang dada kira-kira sedalam 1/3
diameter anteroposterior, kemudian tekanan dilepaskan untuk
memungkinkan pengisian jantung. Yang dimaksudkan dengan 1
kompresi adalah tekanan ke bawah ditambah pembebasan tekanan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 30


KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
7. Kecepatan Kornpresl Dada
a. Rasio kompresi dada dan ventilasi per menitialah 90 kompresi
dan 30 ventilasi (rasio 3:1). Dengan demikian dilakukan 3
kompresi dada per 1 ½ detik dan 1 ventilasi per ½ detik
b. Ibu jari/ujung-ujung jari harus tetap kontak dengan tempat
kompresi dada seiama prosedur dilakukan, baik saat
penekanan maupun saat melepaskan penekanan. Jika ibujari
atau ujung-ujungjari diangkat dari tulang dada, maka:
1) Membuang waktu untuk melokalisasikan kcmbali daerah l
penekanan
2) Kehilangan kontroI dalamnya penekanan
3) Dapat menekan daerah lain yang salah dan menyebabkan
cedera pada dada atau organ lain
8. Menjaga Konsistensl
Yang terpenting ialah menjaga agar dalam dan kecepatan
penekana tetap konsisten unruk memastikan sirkulasi yang cukup,
Setiap interupsi penekanan akan rnenyebabkan penurunan
tekanandarah karena peredaran darah berhenti.
9. Mengontrol Efektivitas
Untuk mengetahui apakah darah mengalir secara efektif, nadi
harus dikontrol secara periodik dengan meraba nadi misalnya di
tali pusat, karotis, brakhialis dan femoralis
10. Evaluasi Frekuensl Denyut Jantung Bayi
a. Pada awal, setelah 30 detik tindakan kompresi dada frekuensi
denyut jantung bayi harus dikontrol, oleh karena setelah
frekucnsi dcnyut jantung mencapai 60 kali/menit atau lebih,
tindakan kompresi dada dihentikan
b. Frekuensi denyut jantung bayi atau nadi dikontrol tidak Iebih
dari 6 detik
c. Apabila menggunakan stetoskop, ventilasi harus dihentikan
sementara pada saat menilai frekuensidenyut jantung bayi agar
suara nafas tidak mengaburkan denyut jantung
d. Pada resusiiasi kardiopulmonal yang lama, pernantauan
frekuensi denyut janiung bayi dapat dikurangi
11. Membuat Keputusan untuk Melakukan Lengkap Berlkutnya:
a. Menghentikan kompresi dada karena Denyut jantung > 60
x/menit, meneruskan VTP saja
b. Meneruskan kompresi dada dan VTP bila denyut jantung > 60
x/mnenit
c. Memberi obat – obatan
12. Keputusan untuk Menghentlkan Resusitasl Neonatus Resusitasi
kardiopulmonal dihentikan bila setelah 10 menit melakukan
tindakan resusitasi dengan benar, tetap tidak ada denyut jantung
13. Membuat Catatan Rekam Medik/Catatan Tindakan Resusltasi
14. Pencegahan Infeksi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 31


Air Ketuban Bercampur Mekonium
Bila tidak terdapat mekonium LANGKAH AWAL
Bila air ketuban bercampur mekonium, lakukan penilaian bayi bugar atau tidak:
 Usaha nafas baik
 Tonus otot baik
 FJ > 100x/menit
Bila bayi bugar
LANGKAH AWAL
Bila bayi tidak bugar
penghisapan mulut dan trachea - LANGKAH AWAL

Gambar : Resusitasi Pada Bayi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 32


2.2 ASUHAN PASCA RESUSITASI
Asuhan pascaresusitasi diberikan sesuai dengan keadaan bayi setelah menerima
tindakan resusitasi. Asuhan pascaresusitasi dilakukan pada keadaan :
a Resusitasi berhasil
Resusitasi berhasil bila pernapasan bayi teratur, warna kulitnya kembali normal
yang kemudian diikuti dengan perbaikan tonus otot atau bergerak aktif. Lanjutkan
dengan asuhan berikutnya.
Konseling:
1. Jelaskan pada ibu dan keluarganya tentang hasil resusitasi yang telah dilakukan.
Jawab setiap pertanyaan yang diajukan.
2. Ajarkan ibu cara menilai pernapasan dan menjaga kehangatan tubuh bayi. Bila
ditemukan kelainan, segera hubungi penolong.
3. Anjurkan ibu segera memberi ASI kepada bayinya. Bayi dengan gangguan
pernapasan perlu banyak energi. Pemberian ASI segera, dapat memasok energi yang
dibutuhkan.
4. Anjurkan ibu untuk menjaga kehangatan tubuh bayi (asuhan dengan metode
Kangguru).
5. Jelaskan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali tanda-tanda bahaya bayi baru
lahir dan bagaimana memperoleh pertolongan segera bila terlihat tanda-tanda tersebut
pada bayi.
Lakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk:
1. Anjurkan ibu menyusukan sambil membelai bayinya
2. Berikan Vitamin K, antibiotik salep mata, imunisasi hepatitis B
Lakukan pemantuan seksama terhadap bayi pasca resusitasi selama 2 jam
pertama:
Perhatikan tanda-tanda kesulitan bernapas pada bayi :
1. Tarikan interkostal, napas megap-megap, frekuensi napas <> 60 x per menit.
2. Bayi kebiruan atau pucat.
3. Bayi lemas.
4. Pantau juga bayi yang tampak pucat walaupun tampak bernapas normal.
Jagalah agar bayi tetap hangat dan kering.
Tunda memandikan bayi hingga 6 – 24 jam setelah lahir (perhatikan temperatur
tubuh telah normal dan stabil).

h. Bayi perlu rujukan


Bila bayi pasca resusitasi kondisinya memburuk, segera rujuk ke fasilitas rujukan.
Tanda-tanda Bayi yang memerlukan rujukan sesudah resusitasi :
a. Frekuensi pernapasan kurang dari 30 kali per menit atau lebih dari 60 kali per
menit
b. Adanya retraksi (tarikan) interkostal
c. Bayi merintih (bising napas ekspirasi) atau megap- megap (bising napas
inspirasi)
d. Tubuh bayi pucat atau kebiruan
e. Bayi lemas
Konseling
a. Jelaskan pada ibu dan keluarga bahwa bayinya perlu dirujuk. Bayi dirujuk
bersama ibunya dan didampingi oleh bidan. Jawab setiap pertanyaan yang
diajukan ibu atau keluarganya.
b. Minta keluarga untuk menyiapkan sarana transportasi secepatnya. Suami atau
salah seorang anggota keluarga juga diminta untuk menemani ibu dan bayi selama
perjalanan rujukan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 33


c. Beritahukan (bila mungkin) ke tempat rujukan yang dituju tentang kondisi bayi
dan perkiraan waktu tiba. Beritahukan juga ibu baru melahirkan bayi yang sedang
dirujuk.
d. Bawa peralatan resusitasi dan perlengkapan lain yang diperlukan selama perjalan
ke tempat rujukan.
Asuhan bayi baru lahir yang dirujuk
a. Periksa keadaan bayi selama perjalanan (pernapasan, warna kulit, suhu tubuh) dan
catatan medik.
b. Jaga bayi tetap hangat selama perjalanan, tutup kepala bayi dan bayi dalam posisi
“Metode Kangguru” dengan ibunya. Selimuti ibu bersama bayi dalam satu
selimut.
c. Lindungi bayi dari sinar matahari.
d. Jelaskan kepada ibu bahwa sebaiknya memberi ASI segera kepada bayinya,
kecuali pada keadaan gangguan napas, dan kontraindikasi lainnya.
Asuhan lanjutan
Merencanakan asuhan lanjutan sesudah bayi pulang dari tempat rujukkan akan
sangat membantu pelaksanaan asuhan yang diperlukan oleh ibu dan bayinya sehingga
apabila kemudian timbul masalah maka hal tersebut dapat dikenali sejak dini dan
kesehatan bayi tetap terjaga.

i. Resusitasi tidak berhasil


Bila bayi gagal bernapas setelah 20 menit tindakan resusitasi dilakukan maka
hentikan upaya tersebut. Biasanya bayi akan mengalami gangguan yang berat pada
susunan syaraf pusat dan kemudian meninggal. Ibu dan keluarga memerlukan dukungan
moral yang adekuat Secara hati-hati dan bijaksana, ajak ibu dan keluarga untuk
memahami masalah dan musibah yang terjadi serta berikan dukungan moral sesuai adat
dan budaya setempat

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 34


Gambar : Alur Resusitasi Bayi Baru Lahir

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 35


Referensi :

.(2014). Materi Pelatihan PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat) : Buku Teknik
Medis 1. Surabaya. Bidang Pendidikan dan Pelatihan Persatuan Perawat Nasional
Indonesia PPNI Provinsi Jawa Timur.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.
02.02/MENKES/148/1/2010, tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Kartikawati, Dewi. (2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Salemba
Medika. Jakarta.
Kemenkes No. 145/Menkes/SK/I/2007
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dasar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dsar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Sumijatun. (2010). Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.
Jakarta,
WHO Media Centre, 2013, Cardiovascular Disease (CVDs), Updated March 2013, dilihat 04
Februari 2014, <http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/>
World Health Organization. (2005). Emergency Triage Assessment and Treatment (ETAT).
Switzerland. WHO Press.
Yahya, A. Fauzi, 2010, Menaklukkan Pembunuh No. 1: Mencegah Dan Mengatasi Penyakit
Jantung Koroner Secara Tepat Dan Cepat, Bandung, Qanita.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 36


BAB 3
TRAUMA MATERNAL – NEONATAL

3.1 Pendahuluan
Trauma maternal – neonatal merupakan cedera/rudapaksa pada Ibu hamil dan bayi baru
lahir. Trauma pada Ibu Hamil trauma ini mampu menyebabkan kematian pada janin dan
pada Bayi baru lahir dapat menyebabkan pasien cacat seumur hidupnya. Trauma ini mampu
menyebabkan kematian apabila sampai terlambat penangananya.

3.2 Tujuan
a. Tujuan Intruksional Umum
Setelah menyelesaikan pelatihan ini diharapkan peserta dapat memberikan
pertolongan pada Trauma Maternal - Neonatal.
b. Tujuan Intruksional Khusus
1. Dapat memahami biomekanik trauma
2. Dapat melakukan pertolongan pada trauma pada kehamilan
3. Dapat melakukan pertolongan pada trauma bayi baru lahir

3.3 BIOMEKANIK TRAUMA


Biomekanik trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cedera pada suatu jenis
kekerasan atau kecelakaan tertentu. Misalnya orang jatuh dari sepeda motor akan
menimbulkan cidera yang beda di bandingkan dengan orang yang tertabrak mobil.
Biomekanik trauma akan diketahui karena akan membantu dalam :
 Akibat yang ditimbulkan trauma.
 Waspada terhadap jenis perlukaan yang di akibatkan trauma.
Sedangkan jenis perlukaan bias dibagi menjadi perlukaan yang tampak (kelihatan)
misalnya luka bagian luar, dan perlukaan yang tidak bias di lihat secara langsung misalnya
perlukaan organ bagian dalam.
Organ dalam tubuh dapat di bagi menjadi :
 Organ tidak berongga ( padat, solid ) contoh Hepar, Paru, Otak.
 Organ berongga seperti Usus.

1. Perlukaan organ dalam terjadi melalui mekanisme cidera :


a. Cidera langsung
Misalnya kepala di pukul. Kulit kepala bias robek yang menimbulkan
pendarahan luar, tulang kepala dapat retak atau patah, atau dapat mengakibatkan
pendarahan otaknya.

b. Cedera Perlambatan ( Deselerasi )


Misalnya pada saat KLL penderita naik motor membentur pohon. Setelah badan
berhenti di pohon, maka organ dalam akan tetap bergerak maju dalam rongga masing
– masing. Jantung akan terlepas dari ikatannya ( aorta ) dan terjadi rupture aorta. Usus
akan robek terlepas dari mesentrium dan sebagainya.

c. Cedera Percepatan ( akselerasi )


Misalnya bila pengendara mobil ditabrak dari belakang.

d. Cedera Kompresi ( efek kantong kertas )


Misalnya mainan anak di mana kantong kertas ditutup, lalu di pukul untuk
menghasilkan efek ledakan. Ini juga dapat terjadi pada organ berongga yang dapat
pecah karena tekanan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 37


2. Tabrakan Mobil :
Tabrakan dapat terjadi dengan cara :
a. Dari Depan ( Frontal )
Pada suatu benturan dari depan ( Frontal ) dengan penderita tanpa sabuk
pengaman akan terjadi benturan dengan beberapa fase :
 Fase 1 :
Bagian bawah penderita tergeser ke depan, biasanya lutut akan mengenai
dashboard tulang paha akan menanggung beban terlalu berat akibatnya kalau
tidak kuat menahan bisa patah.sendi panggul kedorong ke belakang, kalau tidak
kuat menahan beban sendi panggul bisa lepas dari mangkoknya.
 Fase 2 :
Bagian atas penderita turut bergeser ke depan, pada fase ini dada atau perut
akan menghantam setir mobil.
Dalam keadaan ini kemungkinan yang cidera bisa dada atau perut
tergantung dari posisi setir kendaraan tersebut ada di mana ( jenis mobilnya apa ).
Kalau mobil kecil kemungkinan kena dadanya, kalau mobil besar
kemungkinan kena perutnya, bisa juga dada dan perut cedera, maka dalam
menangani kasus ini penolong harus waspada / teliti dalam melakukan
pemeriksaan.
 Fase 3 :
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil. Di fase ini
yang perlu dicurigai adalah cedera di kepala atau leher penderita.
 Fase 4 :
Penderita terpental kembali ke tempat duduk. Pada fase ini kemungkinan
yang di akibatkan patah tulang belakang ( dari tulang service sampai ke tulang
sacrum ). Pada jenis kendaraan yang tidak memakai sandaran kepala ( head rest )
harus hati – hati kemungkinan cedera pecut ( whiplash injury ) pada tulang leher.
Sedangkan kemungkinan paling parah pada fase ini penderita bisa terpental ke
luar kendaraan, dan cedera yang di akibatkan lebih parah lagi.

b. Tabrakan Dari Belakang


Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti atau
pada kendaraan yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering terjadi karena
ada akibat gaya pecut ( Whiplash Injury ) dan cedera yang harus di waspadai adalah
cedera didaerah tulang leher, Apalagi kendaraan tersebut tidak menggunakan headset.

c. Tabrakan Dari Samping ( Lateral )


Tabrakan dari samping sering terjadi diperempatan – perempatan jalan yang
tidak ada rambu – rambu lalu lintasnya. Cedera yang bisa terjadi bagian samping
yang tertabrak kendaraan, yaitu bisa dari kepala sampai kaki tergantung jenis
kendaraan yang menabrak dan yang tertabrak.

d. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi menggunakan sabuk
pengaman jarang sekali terdapat cedera yang serius, lain halnya dengan kendaraan
yang terguling ( roll over ) apalagi yang tidak memakai sabuk pengaman bisa
mengakibatkan cedera di semua bagian ( multi trauma ). Dalam menangani kasus –
kasus seperti ini harus lebih hati – hati karena semua bagian bisa ada cederanya baik
kelihatan maupun tidak kelihatan. Yang harus di waspadai cedera tulang belakang
dan cedera organ dalam.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 38


Alat Pelindung Pada Kendaraan
a. Sabuk Pengaman
Sabuk pengaman ini sudah dibuktikan sangat menolongpada penumpang,
sabuk pengaman dapat mengurangi cedera, kecacatan atau kematian yang di
akibatkan karena kecelakaan di kendaraan.
Walau sudah memakai sabuk pengaman bukan berarti terhindar dari cedera,
kemungkinan cedera yang di akibatkan karena benturan atau kecelakaan apalagi
dalam pemakaian sabuk pengaman salah atau tidak pada tempatnya.
Pemakaian sabuk pengaman pada kendaraan yang umum di pakai adalah
tiga titik yaitu satu titik di daerah bahu, dua titik di daerah panggul kiri dan
kanannya. Kalau pada jenis mobil balap sabuk pengaman ada empat titik, dua
titik disebelah kiri dan dua titik disebelah kanan, sedangkan pada pesawat
terbang dipakai sabuk pengaman dengan dua titik yang terpasang di bagian
panggul, ada juga yang empat titik yang biasa dipakai oleh pilot – pilot pesawat
tempur. Pemakaian sabuk pengaman yang benar saja masih bisa menimbulkan
cedera apalagi kalau pemakaiannya salah.
Contoh :
- Letak sabuk pengaman di pakai di daerah perut maka perut yang isinya
organ lunak bisa rupture karena tekanan dari safety belt.
- Pada kecepatan 60km/jam mengalami tabrakan frontal, maka tanpa sabuk
pengaman seorang pengendara akan terbentur bagian depan kendaraan,
sama juga dengan orang tersebut jatuh bebas dari lantai 3 gedung bertingkat.
- Melepas sabuk pengaman harus juga hati – hati, Jangan melepas langsung
secara mendadak karena sabuk pengaman itu sendiri bisa saja sebagai
tampon pada saat terjadi pendarahan yang diakibatkan karena benturan
dengan sabuk pengaman tersebut.
- Kalau membukanya secara mendadak sabuk pengaman yang sudah menjadi
tampon, perdarahan sudah berhenti malah bisa terbuka lagi dan akan terjadi
perdarahan ulang.

b. Head Rest ( Sandaran Kepala )


Sandaran kepala saat ini sudah merupakan perlengkapan standar di mobil.
Kegunaan sandaran kepala adalah sebagai penopang atau menahan kepala
supaya kepala tidak cedera. Pemakaian sandaran kepala juga harus benar pada
posisinya, kalau tidak benar sandaran kepala justru bisa menciderai penumpang
tersebut.
Misalnya sandaran kepala tidak di pasang tepat berada di berlakang kepala
tetapi di pasang di bawah kepala tepat pada belakang leher, pada saat terjadi
benturan kepala tidak ada yang menahan sedangkan leher tertahan oleh sandaran
tersebut, akibatnya leher yang akan cedera.

c. Airbag ( Kantong Udara )


Airbag saat ini ada pada mobil mewah, berupa suatu kantong udara yang
ditempatkan pada pusat kemudi, dan akan mengembang apabila ada benturan
frontal. Pada beberapa jenis kendaraan saat ini ada Airbag yang terletak di
samping yang akan mengembang pada saat benturan dari samping. Airbag yang
di depan terkembang saat benturan secara frontal terjadi, dapat menimbulkan
perlukaan seperti patah lengan, perlukaan pada daerah wajah, perlukaan pada
mata karena kaca mata dan sebagainya, sedangkan airbag bagian samping akan
mengembang saat benturan dari arah samping. cedera yang mungkin bisa terjadi
cedera bagian samping dari kepala sampai kaki, tergantung dari arah mana
benturannya dan bagian tubuh apa yang kena benturan. Juga harus berhati hati

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 39


menolong penderita yang airbag – nya belum membuka, jangan sampai
mengembang pada saat yang tidak di inginkan. Untuk menghindari hal tersebut
caranya adalah dengan mematikan aliran listrik kendaraan tersebut ( Mesin
Dimatikan ).
Di airbag itu sendiri ada bedak yang membaluri airbag yang fungsinya
supaya airbag itu tidak terjadi perlengketan, bedak tersebut sangat iritatif
terutama pada orang – orang yang sensitive terhadap bedak, kalau sampai
tersentuh bilaslah dengan air bersih.

3.4 TRAUMA PADA KEHAMILAN


1. Trauma Abdomen
a. Klasifikasi Trauma Abdomen
 Trauma minor
Merupakan trauma yang ringan yang terjadi pada kehamilan. Biasanya
disebabkan karena jatuh, pukulan langsung ke perut dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Hal ini menyebabkan memar, laserasi dan konstusio.
 Trauma mayor
Trauma sedang sampai dengan berat. Lebih sering menyebabkan kritis pada
kehamilan. Dampaknya dapat berupa patah pada tulang rusuk, patah tulang
panggul. Bahkan tidak jarang ibu hamil datang ke UGD sudah dalam kondisi
yang kritis.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 40
b. Tipe Trauma Kehamilan
o Cidera tumpul ( Blunt Trauma )
o Pemerkosaan atau kekerasan seksual (Sexual Assault )
o Luka tusuk ( Penetrating Injuries )
o Luka Bakar (Burns)

c. Etiologi Trauma Kehamilan


Ada banyak faktor yang menyebabkan trauma pada wanita hamil, terlebih
karena faktor eksternal. Antara lain :
 KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga )
Saat terjadi pertengkaran atau perselisihan dalam rumah tangga, serinh kali
ibu hamil menjadi korban pukulan atau kekerasan yang mempunyai dampak
pada kandungannya. Contoh yang sering terjadi adalah pukulan langsung ke
perut, maupun tidak sengaja terjatuh.
 Kecelakaan kendaraan bermotor
Kecelakaan ini sering memberi dampak trauma pada kandungan ibu hamil
secara tidak sengaja dan hal ini bisa mengakibatkan dampak yang ringan
maupun berat. Dampak ringan dapat berupa memar, laserasi dan kontusio.
Sedangkan dampak yang lebih berat berupa patah tulang panggul dan patah
tulang rusuk.
 Jatuh
 Luka tembak

d. Fisiologi Trauma Kehamilan


~ Uterus
~ Darah
~ Sistem kardiovaskuler
~ Sistem respiratory
~ Sistem GI

e. Patofisiologi Trauma Kehamilan


Trauma minor Walaupun trauma ini termasuk pada trauma minor ( ringan )
tetapi dapat berpengaruh pada janin. Misalkan pada saat terjatuh atau terpeleset, lalu
si ibu mengalami syok atau setidaknya kaget. Perasaan inilah yang dapat berdampak
pula pada janin. Karena kondisi syok dapat mempengaruhi sirkulasi makanan dan
oksigen ke janin yang selanjutnya akan mempengaruhi tumbuh kembang janin.
Trauma mayor Yaitu berupa cedera yang ditimbulkan, seperti perdarahan,
pecahnya ketuban, atau terjadinya kontraksi sebelum waktunya. Umum trauma
langsung membutuhkan penanganan yang lebih cepat karena dapat membahayakan
janin dan ibunya.

f. Komplikasi Trauma Kehamilan


 Abruptio plasenta
 Luka abdomen ( blunt abdominal pain / trauma )
 Kelahiran prematur ( peterm labor )
 Perdarahan janin dan ibu ( fetal materrnal hemorrhage – FMH )
 Memar dan kontusioo pada ibu hamil
 Ketuban pecah dini

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 41


g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan sekunder yang teliti harus dilakukan terhadap penderita untuk
mencari tanda – tanda tambahan dari trauma seperti laserasi atau kontusio.
Pemeriksaan pelvis, menolong menemukan farktur tulang panggul. Resusitas dan
monitoring pasien tidak boleh terputus jika pasien di bawa kebagian radiologi.
Berikan tetanus toksoid bila dalam masa terakhir ( dalam batas waktu 10 tahun )
pasien tidak menerima vakasinasi atau tidak diketahui. Irigasi peritoneum ( satu
liter larutan ringer – laktat hangat ) terbukti aman dan merupakan metoda yang
peka untuk mendiagnosisi perdarahan inttraabdominal jika terdapat tanda – tanada
yang mencurigakan terhadap perdarahan intraabdominal, sensorium yang
terganggu, syok yang tidak jelas sebabnya, kerusakan yang besra pada dada, atau
kerusakan ortopedik yang banyak. Jika iigasi positif ( cairan berdarah, hitung
butir darah merah lebih dari 100.000sel/mm³, hitung sel darah putih lebih dari
175sel/mm³, kadar amilase lebih dari 175 unit/mL ) maka perlu dilakukan
laparatomi. Jika irigasi negatif ( hitung darah merah kurang dari 50.000sel/mm ³,
hitung butir darah putih kurang dari 100sel/mm³ , amilase kurang dari 75 unit/mL
, pasien boleh diobservasi saja. Jika hasil irigasi meragukan, ulang irigasi atau
pertimbnagan laparatomi.
2. Tes labaoratorium dan pemeriksaan diagnostik ditentukan oleh tipe cidera.
Pemeriksaan darah yang tepat meliputi tes serum amilase dan gas – gas darah,
profil perdarahan dasar, dan hitung sel darah lengkap, golongan darah, dan cocok
– silang ( cross – matching ). Pada kehamilan normal, jumlah sel darah putih
18.000 / mm³ selama trisemester terakhir dan 25.000 / mm³ selama persalinan
adalah hal yang biasa. Namun, ilai – nilai yang sama inu juga mengindikasikan
hemoragi intaabdomen. DIC dapat menyerupai trauma berat, abrupsio plasenta,
dan sepsis.
3. Ultrasonografi
Memiliki beberapa keunggulan untuk membantu dokter dalam mendiagnosa
pasiennya secara cepat, aman, invasif dengan nilai diagnostik yang tinggi.

h. Pencegahan Trauma Kehamilan


1. Banyak kasus trauma dapat dicegah. Pasien dinasehati mempergunakan penahan
pangkuan – bahu ( lap – shoulder – restraints ) karena lebih dapat melindungi
janin daripada penahan pangkuan ( lap restraints ) saja. Fleksi tubuh yang
ekstrim yang terjadi dengan pemakaian sabuk pengaman pangkuan ( lap seat belt
) pada penurunan kecepatan dengan tiba-tiba menaikkan kejadian solusio
plasenta. Identifiksi pasien yang beresiko mengalami penganiayaan oleh suami
bisa mencegah kasus traum pada ibu dengan menawarkan konsultasi,
perlindungan, atau intervensi hukum. Penganiayaan oleh suami harus diduga bila
ada tanda – tanda kerusakan tersembunyi di bawah pakaian atau kerusakan pada
wajah dan kepala disertai oleh bekas – bekas kerusakan “ mempertahankan diri ”
yang baru atau yang lama pada lengan bawah atau tangan.
2. Intervensi di mulai dengan upaya pencegahan. Wanita hamil di beri konseling
untuk menghentikan aktivitas yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi,
untuk menggunakan restrein tempat duduk di mobil dengan benar, untuk, untuk
mengenali gejala dini yang yang merugikan, dan ubtuk mencari terapi segera.
Apabila waniat di hospitaliisasi hanya untuk diobservasi, ia akan dilibatkan dalam
pengkajian tanda dan gejal komplikasi.
3. Pada kasus trauma minor, wanita di rawat dirumah sakit dan dievaluasi untuk
melihat hal – hal berikut : Perdarahan pervaginam, iritabilitas uterus, nyeri tekan
abdomen, nyeri atau kram abdomen, bukti hipovalemia, perubahan frekuensi
denyut jantung janin, aktivitas janin, kebocoran cairan amnion, dan keberadaan
sel – sel janin dalam sirkulasi matenal.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 42
4. Perawatan trauma segera dilakukan dengan memberi perhatian utama pada ABC.
Sementara hipoksia dan hipovalemia dikoreksi, waniat harus ditransfer ke pusat
trauma disertai tindakan antisipasi untuk neonatus dan obstetri jika
memungkinkan. Selama transfer, instruktur persalinan harus mewaspadai
terjadinya sindron autokaval ( hipotensi supine ). Wanita harus ditempatkan pada
possisi miring atau uterus harus digeser kesamping dengan alat penggeser uterus
atau dengan menggunakan sebuah bantal yang ditempatkan dibawah pinggul
kanan wanita. Hipotensi harus dihindari untuk mencegah gangguan curah jantung,
yang kemudian diikuti penurunan aliran darah ke uterus.

i. Penatalaksanaan Perawatan
Kondisi wanita merupakan perhatian utama. Cedera yang dia dapat menentukan
tipe dan luas pengkajian yang akan dilakuakn. Perhatian pertama difokuskan pada
ABC dasar : jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Abdomen wanita dikaji untuk
melihat adanya ruptur uterus dan aktivitas uterus. Janin kemudian dikaji untuk
diketahui denyut jantung dan aktivitasnya. Pengkajian kesehatan secara individual
dilakukan dengan catatan prenatal wanita ditinjau kembali, jika tersedia.
Temuan akibat cedera harus dibedakan dari perubahan fisiologis normal selama
masa hamil. Tanda ruptur organ yang umum, misalnya, guarding, nyeri tekan yang
kuat, dan kekakuan ( rigiditas ), mungkin hany amerupakan respon terhadap
peregangan dinding abdomen. Apabila wanita diperiksa dalam posisi supine, ia akan
mengalami hipotensi dan nilai sistoliknya 80 mm Hg. Mengubah posisi wanita ke
posisi lateral atau mengubah posisi janin meningkatkan nilai sistolik sampai lebih
dari 100 mg Hg. Abdomen yang tenang, suatu tanda trauma usus, dapar merupaka
temuan normal akibat penurunan motilitas yang terjadi selama hamil. Waktu
pengosongan lambung yang tertunda selama masa hamil. Waktu pengosongan
lambung, yang tertunda selama masa hamil, merupakan ancaman terjadinya vomitus
dan kemungkinan aspirasi, jika wanita baru makan dalam beberapa jam terakhir.
Selama hamil, wanita dapat mengalami kehilangan darah yang signifikan (
penurunan volume darah sirkulasi sekitar 30% ) tanpa disertai tanda dan gejala
hipovalemia yang biasa. Ukuran pembuluh darah pelvis ( arteri retroperitonel dan
parametrial ) menungkat selama masa hamil, sehingga pembuluh darah tersebut lebih
mudah mengalami kerusakan dan berpotensi mengalami ruptur. Uterus yang besar
dapat menyekat dan menyembunyikan hemoragi yang berasal dari hati dan limpa.
Denyut yang cepat hanya mencerminkan peningkatan yang biasa, yakni 10 sampai 15
kali / menit atau hal itu dapat merupakan tanda hipovolemia.
Penatalaksanaan dalam Perawatan adalah sebagai berikut :
1. Kateter kandung kemih yang dipasang untuk darinase memfasilitasi
penatalaksanaan terapi cairan dan membantu menegakkan diagnosa. Misalnya,
kesulitan dalam memasukkan kateter menunjukkan disturb uretra dan
hematuriamenunjukkan ruptur kandung kemih. Kateter juga memungkinkan
akses untuk pemeriksaan sinr – X sistogram retrograde.
2. Hemoragi intraperitoneal harus dideteksi. Radiologi, ultrasound waktu-nyata
(real – time),dan pemindai computed tomography merupakan modalitas
diagnostik yang bermanfaat. Dokter memasang kateter lavage peritoneal untuk
mendeteksi hemoragi intraperotonel. Prosedur dilakukan melalui insisi kecil ke
dalam peritoneum, sementara wanita di bawah pengaruh anastesi lokal. Hasil tes
positif untuk perdarahan, jika aspirasi yang dihasilkan melebihi 10 ml darah
bukan bekuan atau jika, setelah insisi 1 liter larutan Ringer laktat, cairan yang
mengandung darah kembali pulih. Pemeriksaan radiografi diprlukan untuk
mengarahkan penatalaksanaan.
3. Selang nasogastrik diinseris jika diindikasikan karen awaktu pengososngan
lambung yang tertunda dan peningkatan waktu transit usus halus meningkatkan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 43
resiko vomitus dan aspirasi. Perawatan mulut dan tindakan untuk menenagkan
klien dilakukan untuk mengatasi setiap iritasi yang dibabkan oleh selang. Cairan
dan penggantian elektrolit dilakukan dan dipantau. Kebutuhan oksigen dipenuhi
j. Uterus Pasca Traumatik dan Surveilen janin
Apabila kondisi ibu telah stabil, perhatian difokuskan pada upaya memantau
janin dan memantau persalinan prematur dan abrupsio plasenta. Biasanya jika terjadi,
komplikasi ini terjadi dalam 24 sampai 48 jam setelah kecelakaan ( Smith, Phelan,
1991 ). Ruptur uterus dapat terjadi pada tempat jaringa parut terdahulu atau pada
tempat implantasi, yang dilemahkan oleh peningkatan vaskularisasi di tempat
tersebut. Dorongan isi uterus ke dalam kavum abdomen dapat terjadi dan biasanya
diikuti oleh hemoragi masif.

2. Fraktur Pelvis
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan
dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis.
Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua
persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis.
Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk
mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum
sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang
melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)
dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih
panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)
dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh
kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum
sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan
aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini,
bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada
pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus
sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke
crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus
lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (Gambar 1 )

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 44


Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada
pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran
pelvis.
Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang
posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri
sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul
lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca
interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda,
arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan
obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan
fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang
menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).
Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali
pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap
pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang
terletak pada dinding dalam pelvis
1. Evaluasi Pasien
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi
karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang
menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen,
kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien
dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera
muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan
dengan cedera pleksus lumbosacralis.
Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan
pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu,
termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah,
seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola
gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada
evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan
manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan
pernafasan.
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult
Respiratory Distress Syndrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait
dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi
hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik
terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab
tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi
hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau
kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan
tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 45


intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang
tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai
kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik.
Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal
terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST.
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab
kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari
fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis,
perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis
harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang
signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika
usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien.
Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus
segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri
atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman
disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.
Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan
menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi
ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi
sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa ( Tabel ). Volume darah
diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan
berat badan 70 kg (155 lb).

Tabel : Klasifikasi Perdarahan ATLS


Kelas Rata-rata Volume Tanda Kebutuhan
Kehilangan Darah Darah (%) dan Resusitasi
(mL) Gejala Umum
I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut Tidak ada
jantung, pernafasan dan
tekanan darah
II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe; Biasanya larutan
tekanan darah sistolik mungkin kristaloid tunggal,
hanya menurun sedikit; sedikit namun beberapa
pnoe; tekanan darah sistolik pasien mungkin
mungkin hanya menurun membutuhkan
sedikit; pengurangan - transfusi darah
pengurangan output urin (20-
30 mL/jam)
III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang Seringnya
jelas, ekstremitas dingin membutuhkan
dengan pengisian-kembali transfusi darah
kapiler terlambat secara
signifikan,menurunnya tekanan
darah sistolik, menurunnya
status mental, menurunnya
output urin (5-15 mL/jam)
IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan darah Perdarahan yang
sistolik yang menurun secara membahayakan-jiwa
signifikan, kulit dingin dan membutuhkan
pucat, mental status yang transfusi segera
menurun dengan hebat, output
urin yang tak berarti

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 46


Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total
volume darah, mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan
jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit
atau tidak adanya perawatan sama sekali. Perdarahan kelas 2 didefinisikan sebagai
kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-tanda klinis
termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin hanya sedikit
menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan
nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien
dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja,
namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml)
volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3
mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian
kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif
status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan
darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah
sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi
tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4
didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili
perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan
darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau
tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat,
dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini
membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan
intervensi bedah segera.
Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang
sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat
diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok
pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur.
Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan informasi lebih
tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus diperoleh hanya setelah
pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga untuk menjelaskan
instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa
meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari
studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat
membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-
scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan
potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau
acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan.
Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien
trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah
terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan
pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan metodologi ini
dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien
yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi yang diperlihatkan oleh
angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis adalah negatif
pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CT-scan
preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT
pada dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan
spesifitas 85% untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk
menentukan adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90%.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 47


2. Sistem Klasifikasi Dan Nilai Prognostik
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera
yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh
tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis.
Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera
APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang
pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan
persendian sacroiliaca anterior.

Gambar : Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B,


kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe
I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada
masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya
tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri
glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga
sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera
CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua
vektor tekanan terpisah.

3. Metode Penatalaksanaan
a) Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatka
n aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST
membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun
masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas
telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 48


b) Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit
dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan
resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis
efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis
komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya
memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis
mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC

Gambar : Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar


pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk
mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.

c) Fiksasi Eksternal
1. Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi
pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan
kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II),
reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal.
Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open
book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa
membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat
meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan
tulang kasar.

2. C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala
ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior
telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 49


aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-
hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama
aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi.
Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif
bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi
fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan
fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri
terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur
pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih
tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien
yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi
dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis
kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan
bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang
sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS,
memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19
dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh
pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain,
ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan
arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan
“embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang
ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi
untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan
lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri
iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan
menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi
dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih
besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang
dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup.
Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi
iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan
dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan
sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-
tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien
hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.

d) Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik
ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan
bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman
ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri.
Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan
retroperitoneal – telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi
kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5).
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 50
Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh
untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan
mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan
retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan
hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting.
Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan
darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika
balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi

ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan


bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan
angiografi emergensi.

Gambar : Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A,


dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu
sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah
pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara
posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan
di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan
pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam
dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya,
dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi
umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.

e) Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge)
kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang
penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau
lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan
darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah
tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di
crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit;
namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor
lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa
resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak
untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya
sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan
kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non
crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya
respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 51


sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan
pembedahan mungkin dibutuhkan.

3.5 TRAUMA BAYI BARU LAHIR.


Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-
tindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat tindakan,
cara persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita sebut sebagai
cedera atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis.
Kebanyakan cedera lahir ini akan menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan
adekuat.
Kelainan yang terjadi pada kelahiran cunam/vakum biasanya disebabkan oleh tarikan
atau tahanan dinding jalan lahir terhadap kepala bayi.
 Kelainan Perifer
a. Molding
b. Kaput suksedanum
c. Sefal hematum
d. Perdarahan subaponeurosis
e. Kerusakan saraf perifer
f. Trauma pada kulit
g. Perdarahan subkojungtiva
h. Perdarahan retina
 Kelainan Sentral
a. Iritasi sentral
b. Perdarahan/gangguan sirkulasi otak

1. Definisi Trauma atau Cedera Kelahiran


Trauma lahir merupakan perlakuan pada bayi baru lahir yang terjadi dalam proses
persalinan atau kelahiran (IKA, Jilid I). Luka yang terjadi pada saat melahirkan
amniosentesis, transfusi, intrauterin, akibat pengambilan darah vena kulit kepala fetus,
dan luka yang terjadi pada waktu melakukan resusitasi aktif tidak termasuk dalam
pengertian. Perlakukan kelahiran atau trauma lahir. Pengertian perlakuaan kelahiran
sendiri dapat berarti luas, yaitu sebagai trauma mekanis atau sering disebut trauma lahir
dan trauma hipoksik yang disebut sebagai Asfiksia. Trauma lahir mungkin masih dapat
dihindari atau dicegah, tetapi ada kalanya keadaan ini sukar untuk dicegah lagi sekalipun
telah ditangani oleh seorang ahli yang terlatih. Angka kejadian trauma lahir pada
beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan
banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya pertimbangan seksio sesarea atau
indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan bayi. Cara kelahiran bayi sangat erat
hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Angka kejadian trauma lahir yang
mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7 per seribu kelahiran hidup.
Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian trauma lahir antara lain adalah
makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda, disproporsi sefala pelvik, kelahiran
dengan tindakan persalinan lama, persalinan presipitatus, bayi kurang bulan, distosia
bahu, dan akhirnya faktor manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat trauma lahir
sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang dilakukan
penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian cara lahir tertentu
umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula. Secara klinis trauma
lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau bersifat laten yang dapat
meninggalkan gejala sisa. Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis
dikenal pula trauma lahir yang bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 52


terdapat hubungan antara hipoksik selama proses persalinan dengan bertambahnya
perdarahan per intraventrikuler dalam otak.

2. Perlukaan pada Susunan Syaraf


a. Paralis Pleksus Brakialis
Fleksus brachialis adalah anyaman (latin : fleksus ) serat saraf yang berjalan dari
tulang belakang C4-T1, kemudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya
keseluruh lengan ( atas dan bawah ). Serabut saraf akan didistribusikan kebeberapa
bagian lengan. Jaringan saraf dibentuk oleh cervical yang bersambuangan dengan
dada dan tulang belakang urat dan pengadaan di lengan dan bagian bahu.
Etiologi Trauma Fleksus Brakhialis Pada Bayi Baru Lahir Trauma fleksus
brakhialis pada bayi dapat terjadi karena beberapa factor antara lain :
1. Faktor bayi sendiri :
 Makrosomia
 Presentasi ganda
 Letak sunsang
 Distosia bahu
 Malpresentasi
 Bayi kurang bulan
2. Faktor ibu :
 Ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit)
 Umur ibu yang sudah tua
 Adanya penyulit saat persalinan
3. Faktor penolong persalinan
 Tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat menolong kelahiran bahu
pada presentasi kepala
 Tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi bokong
4. Tanda Dan Gejala Bayi Dengan Trauma Fleksus Brakhialis
 Gangguan motorik pada lengan atas
 Paralisis atau kelumpuhan pada lengan atas dan lengan bawah
 Lengan atas dalam keadaan ekstensi dan abduksi
 Jika anak diangkat maka lengan akan lemas dan tergantung
 Reflex moro negative
 Tangan tidak bisa menggenggam
 Reflex meraih dengan tangan tidak ada
5. Trauma pada Fleksus Brachialis.
Proses kelahiran sangat dipengaruhi oleh kehamilan. Dalam kehamilan yang
tidak ada gangguan, diharapkan kelahiran bayi yang normal, di mana bayi
dilahirkan cukup bulan, pengeluaran dengan tenaga ibu mengedan denga cara
tidak dipaksakan dan kontaraksi kandung ramin tanpa mengalami akfiksi yang
berat maupun trauma lahir seperti trauma pada fleksus brachialis
6. Macam-macam plesksus brachialis yaitu :
a. Paralis wajah dan cedera pleksus brachialis
Cedera pada wajah termasuk memar karena penggunaan forsep atau
paralis wajah yang disebabkan oleh forsep maupun tekanan sakkrum ibu.
Tanda-tanda paralis wajah termasuk wajah asimetris. Salah satu mata mungkin
tetap terbuka. Tindakan kebidanan dapat meliputi konsultasi penggunaan
pelindung mata ( eye patch) dan tetesan mata untuk lubrikasi. Paralis ini
bersifat sementara.
Cedera fleksus brachialis dapat terjadi saat prenatal atau selama proses
kelahiran saat traksi digunakan di leher. Cedera tersebut dapat terjadi pada
kelahiran persentasi bokong atau kelahiran yang diperberat distosia bahu. Bahu
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 53
baru lahir yang mengalami cedera fleksus brachialis rewel dan merasa nyeri.
Manifentasi cedera bergantung pada radiks saraf yang terkena dan derajat
cedera. Radiks saraf dapat terkena adalah radiks saraf servikal C5 dan C6(
paralis Erb-Duchenne ), radiks C8 dan T1 ( paralis Klumpke ), arau keduanya.
Tanda-tanda fisik paralisis Erb-Duchenne termasuk hilangnya
pergerakan secara pada lengan yang terkena dengan aduksi pada bagian bawah
lengan tersubut. Hal ini menyebabkan karakteristik tanda “tip pelayanan”
(waiter's tip) yang ditandai denga totasi iternal bagian bawah lengan dengan
jari dan pergelangan tangan fleksi. Refles menggenggam tidak terganggu,
tetapi reflex moro lemah pada sisi yang terkena.
Pada paralisis Klumpke, refles genggam hilang dan tangan bayi dalam
postur seperti mencakar. Cedera fleksus brachialis sering terjadi dan
ditemukan pada hampir 1 dalam tersebut Biasanya terjadi setelah suatu
persalinan yang sulit, namun kadangkala sesudah persalinan yang tampaknya
mudah, bayi baru lahir dengan mengalami kelumpuhan. Paralisis
Dukchenne atau Erb meliputi paralisis mulkulus deltoideus dan infraspinatus
disamping lengan tanpak lemas dan tergantung disisi tubuh, dengan lengan
bawah dalam keadaan ekstensi serta rotasi ke dalam. Fungsi jari-jari tangan
biasanya tidak terganggu.
Lesi ini terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks superior pleksus
brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan kepala ke
lateral, sehingga denag tajam memfleksikan pleksus tersebut kea rah salah satu
bahu. Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk melahirkan
bahu pada presentasi verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi pada
persalinan yang tampak mudah. Karena itu, dalam melakukan ekstraksi kedua
bahu bayi, kita harus berhati-hati agar tidak melakukan flaksi lateral leher yang
berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus dengan persentasi kepala,
janin yang menderita paralisis ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar,
yaitu denga berat 4000 gram atau lebih.
Pada ekstraksi bokong, kita harus memberikan perhatian terutama untuk
mencegah ekstensi kedua lengan lewat kepala. Lengan yang ektensi bukan saj
memperlambat persalinan bokong namun juga meningkatkan resiko paralisis.
Prognosis keadaan ini biasanya baik bial dilakukan fisioterapi segera dan tepat.
Namun, demikian kadangkala terdapat kasus yag tidak berhasil diatasi denagn
segalah tindakan dan lengan bayi mengalami paralisis permanen.
Yang lebih jarang terjadi, trauma terbatas pada nervus bagian distal dari
pleksus brachialis yang menimbulkan paralisis tangan atau paralisis Klumpke.
Penatalaksanaan meliputi rujukan untuk membebat yang terkena dekat
dengan tubuh dan konsultasi dengan tim pediatric. Orang tua harus dianjurkan
untuk sebisa mungkin menghindari menyentuh ekstremitas yang tekena selama
minggu pertama karena adanya nyeri. Orang tua dapat diyakinkan bahwa pada
mayoritas kasus, paralisis hilang dalam 3-6 bulan, dengan perbaikan awal
dibuktikan dalam beberapa minggu. Terapi ini bermanfaat setelah
pembengkakan pertama berkurang.
Cedera pada radiks lebih tinggi, yaitu pada pleksus brachialis (C3-C5)
dapat menyebabkan tanda gangguan pernapasan yang signifikan karena
paralisis saraf frenikus dan gangguan diafragma. Bayi baru lahir yang
mengalami tipe cedera saraf ini bernapas sangat dangkal dengan ekskursi
pernapasan dan memerlukan dukungan pernapsan agresif saat lahir.
b. Paralisis fleksus brachialis
Timbul akibat tarikan kuat pada leher bayi, misal pada distosia bahu atau
persalinan sunsang.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 54


Kelainan ini terdiri atas :
- Paralisis Duchenne – Erb : yaitu mengenai lengan atas dipersarafi
cabang-cabang C5-C6,lengan dalam dengan ektensidan aduksi dengan
refleks biseps dan refleks Moro negatif atau dengan pengertian lain adalah
kelumpuan bagian tubuh yang disarafi oleh cabang-cabang C5 dan C6 dari
fleksus brachialis.disini terdapat kelemahan untuk fleksi, abduksi,
serta memutar keluar, disertai hilangnya refleks biseps dan Moro. Jadi
bayi diangkat maka lengan yang lumpuh akan tergantung lemas.
- Paralisis Klumpke : yaitu mengenai lengan bawah yang depersarafi
cdabang-cabang C8-T1,sangat jarang ditemukan atau dengan kata lain
kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang C8-T1 dari
fleksus brachialis. Disini terdapat kelemahan otot-otot freksor pergelangan
tangan, sehingga bayi kehilangan refleks mengepal.
Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat didaerah leher pada saat
lahirnya bayi, sehingga terjadi kerusakan pada fleksus brachialis. Hal ini
ditemukan pada persalinan sunsang apabilah dilakukan traksiyang kuat dalam
usaha melahirkan kepala bayi. Pada persalinan presentasi kepala, kelainan
dapat terjadi pada janin pada bahu lebar.
Pengobatan ialah dengan imobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi
lengan atas abduksi 90⁰,siku fleksi 90⁰disertai supinasi lengan bawah dan
pergelangan tangan dalam ekstensi, selain 12 jam sehari, disertai massege dan
latihan gerak. Atau penaggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas
dalam posis abduksi 90⁰ dan putaran keluar. Siku berada dalam fleksi
90⁰ disertai supinasi lengan bawah dengan ektensi pergelangan dan telapak
tangan menghadap kedepan. Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari,
kadang-kadang 3-6 bulan. Atau penyembuhan berpariasi antara 2 bulan sampai
2 tahun.

c. Brachialis palsi
1. Pengertian
Kelumpuhan pada fleksus brachialis.
2. Penyebab
 Tarikan lateral pada kepala dan leher pada waktu melahirkan bahu
presentasi kepala
 Apabilah dengan entensi melewati kepala pada presentasi bokong atau
terjadi tarikan yang berlebihan pada bahu
3. Gejala
 Gangguan motorik lengan atas
 Lengan atas dalam kedudukan ekstansi dan abduksi
 Jika anak diangkat maka lengan akan lemas tergantung
 Refleks moro negatif
 Hiperekstensi dan fleksi pada jari-jari
 Refleks meraih dengan tangan tidak ada
 Paralisis dari lengan atas dan lengan bawah
“Gejala-gejala tersebut tergantung besar kecilnya kelumpuhan”

d. Paralisis Nervus Frenikus


Trauma lahir saraf frenikus terjadi akibat kerusakan serabut saraf C3, 4, 5
yang merupakan salah satu gugusan saraf dalam pleksus brakialis. Serabut
saraf frenikus berfungsi menginervasi otot diafragma, sehingga pada gangguan
radiologik, yang menunjukkan adanya elevasi diafragma yang sakit serta
pergeseran mediastinum dan jantung ke arah yang berlawanan. Pada
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 55
pemeriksaan fluoroskopi, disamping terlihat diafragma yang sakit lebih tinggi
dari yang sehat, terlihat pula gerakan paradoksimal atau seesawmovements
pada kedua hemidiafragma. Gambaran yang akan tampak adalah waktu
inspirasi diafragma yang sehat bergerak ke bawah, sedang diafragma yang
sakit bergerak ke atas, gambaran sebaliknya tampak pada waktu ekspirasi.
Pada pemeriksaan fluoroskopi terlihat mediastinum bergeser ke posisi normal
pada waktu inspirasi. Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan
umum bayi. Bayi diletakkan miring ke bagian yang sakit, disamping diberikan
terapi O2. Pemberian cairan Intra Vena pada hari-hari pertama dapat
dipertimbangkan bila keadaan bayi kurang baik atau dikhawatirkan terjadinya
asidosis. Jika keadaan umum telah membaik, pemberian minum per oral dapat
dipertimbangkan. Pada kasus demikian perlu pengawasan cermat
kemungkinan pneumonia hipostatik akibat gangguan fungsi diafragma pada
bagian yang sakit. Pemberian antibiotik sangat dianjurkan bila gangguan
pernafasan terlihat berat atau kelumpuhan saraf frenikus bersifat bilateral,
maka dapat dipertimbangkan penggunaan ventilator. Penggunaan pacu elektrik
diafragma dapat digunakan dianjurkan bila sarana memungkinkan serta
kontraksi otot diafragma cukup baik. Tindakan bedah dapat dilakukan bila saat
nafas sangat berat atau sesak nafas bertambah berat walaupun telah dilakukan
pengobatan konservatif yang memadai. Walupun bayi tidak menunjukkan
gejala sesak berat tetapi pada pemeriksaan radiologi, 3 – 4 bulan kemudian
fungsi hemidiafragma yang sakit tidak menunjukkan kemajuan yang berarti,
maka perlu dipikirkan terhadap kemungkinan tindakan bedah.

e. Kerusakan Medulla Spinalis


Gejala tergantung bagian mana dari medulla spinalis yang rusak,
dijumpai gangguan pernafasan, kelumpuhan kedua tungkai dan retensiourin.
Hal ini dapat terjadi letak sungsang, presentasi muka dan dahi, atau pada
distosia persalinan, disebabkan tarikan, hiperfleksi, atau hiperekstensi yang
berlebihan. Penanganan dengan berkonsutasi pada bagian Neurologi.

f. Paralisis Pita Suara


Terjadi kerusakan pada cabang lain n. vagus menyebabkan gangguan
suara (afonia), stridor inspirasi, atau sindroma gangguan pernafasan. Hal ini
disebabkan tarikan, hiperfleksi atau hiperekstensi yang berlebihan di daerah
leher sewaktu persalinan. Kelainan ini dapat menghilang sendiri setelah 4 – 6
minggu tetapi pada yang berat memerlukan penanganan khusus seperti
trakeostomi.

3. Fraktur (Patah Tulang)


a. Fraktur Tulang Tengkorak
Jarang terjadi karena tulang tengkorak bayi masih cukup lentur dan adanya daya
molase pada sutura tulang tengkorak. Trauma ini biasanya ditemukan pada kesukaran
melahirkan kepala bayi yang mengakibatkan terjadinya tekanan yang keras pada
kepala bayi oleh tulang pervis ibu. Kemungkinan lain terjadinya trauma ini adalah
pada kelahiran cunam yang disebabkan oleh jepitan keras umumnya berupa fraktur
linier atau fraktur depresi, fraktur basis kranu jarang terjadi. Pada fraktur linier, secara
klinis biasanya disertai adanya hematoma sefal didaerah tersebut. Umumnya tingkah
laku bayi terlihat normal saja kecuali bila fraktur linier ini disertai perdarahan ke arah
subdural atau subarachnoid. Diagnosa fraktur atau fisura linier tanpa komplikasi tidak
memerlukan tindakan khusus, tetapi pemeriksaan ulang radiologik perlu memerlukan
4 – 6 minggu kemudian untuk meyakinkan telah terjadinya penutupan fraktur linier
tersebut, di samping untuk mengetahui secara dini kemungkinan terjadinya kista
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 56
leptomeningeal di bawah tempat fraktur. Prognosis fraktur linier baik, biasanya akan
sembuh sedini dalam beberapa minggu. Bila terjadi komplikasi seperti kista.
Pengobatan oleh bidang bedah syaraf harus dilakukan sedini mungkin. Fraktur depresi
secara klini jelas terlihat teraba adanya lekukan pada atap tulang tengkorak bayi.
Trauma lahir ini lebih sering ditemukan pada kelahiran dengan cunam. Fraktur
depresi yang kecil tanpa komplikasi atau tanpa gejala neurologik biasanya akan
sembuh sendiri tanpa tindakan, tetapi memerlukan observasi yang terliti. Pada
lekukan yang tidak terlalu lebar tanpa gejala neurologik, beberapa cara sederhana
dapat dilakukan untuk mengangkat lekukan tersebut, seperti teknik penekanan pinggir
fraktur atau dengan pemakaian pompa susu ibu sebagai alat vakum pada lekukan
tersebut. Pada fraktur depresi yang besar, apalagi jika disertai adanya trauma
intrakranial dan gejala kelainan neurologik, perlu dilakukan intervensi bedah syaraf
untuk mengangkat lekukan tulang guna mencegah kerusakan korteks serebri akibat
penekanan lekukan tulang. Prognosis fraktur depresi umumnya baik bila tindakan
pengobatan yang perlu dapat segera dilaksanakan.

b. Fraktur Tulang Klavikula


Fraktur tulang klavikula merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering
ditemukan dibandingkan dengan trauma tulang lainnya. Trauma ini ditemukan pada
kelahiran letak kepala yang mengalami kesukaran pada waktu melahirkan bahu, atau
sering pula ditemukan pada waktu melahirkan bahu atau sering juga terjadi pada lahir
letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas.Jenis fraktur pada trauma lahir ini
umumnya jenis fraktur freenstick, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi suatu
fraktur total, fraktur ini ditemukan 1 – 2 minggu kemudian setelah teraba adanya
pembentukan kalus.
- Gejala Klinis
Yang perlu diperhatikan terhadap kemungkinan adanya trauma lahir
klavikula jenis Greenstick adalah :
1) Gerakan tangan kanan-kiri tidak sama
2) Refleks moro asimotris
3) Bayi menangis pada perabaan tulang klavikula
4) Gerakan pasif tangan yang sakit disertai riwayat persalinan yang sukar.
- Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula
 Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat
pembentukan kalus.
 Lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi
pergelangan siku 900.
 Umumnya dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan
pembentukan kalus telah terjadi.

c. Fraktur Tulang Humerus


Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan
tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit
merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran
presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras
dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa
greenstick atau fraktur total.
- Gejala Klinis
 Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
 Refleks moro asimetris
 Terabanya deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
 Terjadinya tangisan bayi pada gerakan pasif

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 57


 Letak fraktur umumnya di daerah diafisi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan radiologik.
- Pengobatan trauma lahir fraktur tulang humerus
 Imobilisasi selama 2 – 4 minggu dengan fiksasi bidai
 Daya penyembuhan fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang
tindih ringan dengan deformitas, umumnya akan baik.
 Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang
yang fraktur tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang
yang normal.

d. Fraktur Tulang Femur


Umumnya fraktur pada kelahiran sungsang dengan kesukaran melahirkan kaki.
Letak fraktur dapat terjadi di daerah epifisis, batang tulang leher tulang femur.
- Gejala Klinis
 Diketahui beberapa hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki
yang berkurang dan asimetris.
 Adanya gerakan asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi pada
tulang femur.
- Pengobatan fraktur tulang femur
o Imobilisasi tungkai bawah dengan jalan fiksasi yang diikuti oleh program
latihan
o Dirujuk ke bagian bedah tulang

4. Perlakuan Jaringan Lunak Bayi Baru Lahir


a. Kaput Suksedaneum.
Kaput suksedaneum merupakan benjolan yang difus dikepala terletak pada
prosentasi kepala pada waktu bayi lahir. Kelainan ini timbul akibat tekanan yang
keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir hingga terjadi pembendungan
sirkulasi-kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vasa.
Gambaran klinisnya, benjolan kaput berisi cairan serum dan sering bercampur sedkit
darah. Secara klinis benjolan ditemukan di daerah presentasi lahir, pada perabaan
teraba benjolan lunak, berbatas tidak tegas, tidak berfluktuasi tetapi bersifat edema
tekan. Kaput suksedaneum dapat terlihat segera setelah bayi lahir dan akan hilang
sendiri dalam waktu dua sampai tiga hari umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus.

b. Sefalohematoma
Sefalohematoma merupakan suatu perdarahan subperiostal tulang tengkorak
berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melewati sutura.
Sefalohematoma timbul pada persalinan dengan tindakan seperti tarikan vakum atau
cunam, bahkan dapat pula terjadi pada kelahiran sungsang yang mengalami
kesukaran melahirkan kepala bayi. Akibatnya timbul timbunan darah di daerah
subperiost yang dari luar terlihat sebagian benjolan. Secara klinis benjolan
Sefalohematoma benbentuk benjolan difus, berbatas tegas, tidak melampaui sutura
karena periost tulang berakhir di sutura. Pada perabaan teraba adanya fluktuasi
karena merupakan suatu timbunan darah yang letaknya dirongga subperiost yang
terjadi ini sifatnya perlahan-lahan benjolan timbul biasanya baru tampak jelas
beberapa jam setelah bayi lahir (umur 6 – 8 jam) dan dapat membesar sampai hari
kedua atau ketiga. Sefalohematoma biasanya tampak di daerah tulang perietal,
kadang-kadang ditemukan ditulang frontal. Benjolan hematoma sefal dapat bersifat
soliter atau multipel. Sefalohematoma pada umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus. Biasanya mengalami resolusi sendiri dalam 2 – 8 minggu tergantung dari

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 58


besar kecilnya benjolan. Sefalohematoma jarang menimbulkan perdarahan masif
yang memerlukan transfusi, kecuali pada bayi yang mempunyai gangguan
pembekuan. Pemeriksaan radiologik pada hematoma sefal hanya dilakukan jika
ditemukan adanya gejala susunan saraf pusat atau pada hematoma sefal yang terlalu
besar disertai dengan adanya riwayat kelahiran kepala yang sukar dengan atau tanpa
tarikan cunam yang sulit ataupun kurang sempurna.

c. Perdarahan Subafoneurosis
Perdarahan subafoneurosis merupakan perdarahan masif dalam jaringan lunak di
bawah lapisan aponeurosis epikranial. Trauma lahir ini sering disebut pula sebagai
“hematoma sefal subaponeurosis”. Perdarahan ini disebabkan karena pecahnya
pembuluh vena emisaria. Perdarahan timbul secara perlahan dan mengisi ruang
jaringan yang luas, sehingga benjolan trauma lahir ini biasanya baru terlihat setelah
24 jam sampai hari kedua pasca lahir. Pada perdarahan yang cepat dan luas, benjolan
dapat teraba 12 jam setelah bayi lahir. Pada umumnya bayi lahir dengan letak kepala
yang tidak normal atau kelahiran dengan tindakan misalnya tarikan vakum berat.
Pada benjolan yang luas perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan sistem
pembekuan. Bayi perlu mendapat vitamin K. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah perdarahan yang luas. Dalam keadaan ini mungkin dapat timbul renjatan
akibat perdarahan. Pengobatan dalam keadaan ini berupa pemberian transfusi darah.
Komplikasi lain adalah kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia akibat resorpsi
timbunan darah.

d. Trauma Muskulus Sternokleido-Mastoideus


Adalah suatu hematoma (tumor yang dijumpai pada otot
sternokleidomastoideus). Trauma ini sering disebut pula sebagai “tortikolis” otot
leher. Diduga trauma terjadi akibat robeknya sarung otot sternokleido-mastoideus.
Perobekan ini menimbulkan hematoma, yang bila dibiarkan akan diikuti
pembentukan jaringan fibrin dan akhirnya akan menjadi jaringan sisa. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa dasar kelainan ini telah dijumpai sejak kehidupan
intrauterin sebagai gangguan pertumbuhan otot tersebut atau pengaruh posisi fetus
intrauterin. Secara klinis, umumnya benjolan baru terlihat 10 – 14 hari setelah
kelahiran bayi. Benjolan terletak kira-kira dipertengahan otot sternokleido-
mastoideus. Pada perabaan teraba benjolan berkonsistensi keras dengan garis tengah
1 – 2 cm, berbatas tegas, sukar digerakkan dan tidak menunjukkan adanya radang.
Benjolan akan membesar dalam waktu 2 – 4 minggu kemudian. Akibatnya posisi
kepala bayi akan terlihat miring ke arah bagian yang sakit, sedangkan dagu
menengadah dan berputar ke arah yang berlawanan dari bagian yang sakit.
Pengobatannya dilakukan sedini mungkin dengan latihan fisioterapi. Tujuan latihan
ini adalah untuk meregangkan kembali otot yang sakit agar tidak terlanjur
memendek. Dengan pengobatan konservatif yang dilakukan dini dan teratur,
benjolan akan hilang dalam 2 – 3 bulan.
e. Perdarahan Subkunjungtiva
Adalah salah satu trauma lahir dibola mata yang dapat dilihat dari luar adalah
perdarahan subkunjungtiva. Hal ini terjadi akibat dari persalinan kala II lama atau
akibat dari lilitan talipusat yang erat di daerah leher. Perdarahan ini ditandai dengan
bercak merah di daerah konjungtiva, bulbi. Perdarahan dapat dijumpai pada
kelahiran spontan letak kepala, walupun akan lebih sering terlihat pada kelahiran
letak muka, atau letak dahi.
Pengobatan khusus umumnya tidak diperlukan. Bercak merah didaerah sklera
ini umumnya akan hilang sendiri dalam waktu 1 – 2 minggu. Pada waktu proses
penyembuhan, bercak tersebut akan mengalami absorpsi dan akan berubah warna
menjadi jingga dan kuning. Bila perdarahan sub konjungtiva cukup besar dan dalam
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 59
riwayat kelahiran bayi ditemukan kesukaran dalam mengeluarkan kepala, maka
perlu dipikirkan pula kemungkinan adanya perdarahan yang lebih dalam di bola
mata.

f. Nekrosis Jaringan Lemak Subkutis


Trauma lahir ini akan lebih banyak ditemukan pada bayi besar yang mengalami
kesukaran pada waktu kelahirannya serta banyak mengalami manipulasi. Trauma ini
dapat terlihat pula pada daerah yang mengalami tekanan keras dijaringan kulit dan
subkutis, misalnya oleh daun cunam. Adanya iskemia lokal yang disertai hipoksia
atau keadaan hipotensi akan mempermudah kemungkinan terjadinya jenis trauma
lahir tersebut.Gejala klinis ditandai dengan adanya benjolan yang mengeras
dijaringan kulit dan subkutis, berbatas tegas dengan permukaan kulit yang berwarna
kemerahan. Benjolan pada minggu pertama, tetapi dapat pula sampai minggu ke
enam. Lokasi benjolan sering ditemukan ditempat beralaskan keras seperti didaerah
pipi, punggung leher, pantat, atau ekstremitas atas dan bawah. Trauma lahir ini tidak
memerlukan pengobatan khusus dan biasanya akan hilang sendiri dalam enam
sampai delapan minggu.

g. Eritema, Petekie dan Ekumosis.


Eritemia sering terlihat pada bayi yang mengalami disproporsi sefola-peink.
Trauma ini terlihat di daerah presentasi kelahiran. Di daerah tersebut kulit berwarna
merah. Trauma jenis ini dapat ditemukan pula pada kelahiran dengan cunam, terlihat
kulit berwarna merah di daerah yang mengalami jepitan daun cunam. Petekie terlihat
sebagai bercak merah kecil-kecil dipermukaan kulit. Kejadian ini disebabkan adanya
gangguan aliran darah perifer akibat suatu bendungan. Pada kejadian ini, disamping
petekie sering terlihat pula seluruh muka bayi menjadi biru yang memberi kesan
seolah-olah bayi mengalami sianosis yang disebut sebagai “Sianosis traumatik”.
Ekimosis merupakan trauma lahir berbentuk perdarahan yang lebih luas dibawah
permukaan kulit. Kejadian ini dapat ditemukan di daerah didaerah labia mayora,
pantat atau skrotum pada lahir sungsang letak kaki atau pada lahir bayi dengan kaki
atau tangan menumbang, maka jenis trauma lahir hematoma ini sering dijumpai
didaerah ekstremitas yang menumbang. Pada hematoma dan ekimosis yang cukup
luas perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya penurunan kadar hemoglobin,
khususnya pada bayi kurang bulan atau pada bayi akibat absorpsi sel darah merah di
daerah trauma lahir tersebut.

Gambar : Cephalhematoma

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 60


Gambar : Caput succedaneum Gambar : Fiksasi Trauma Clavicula

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 61


Referensi :
.(2014). Materi Pelatihan PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat) : Buku Teknik
Medis 1. Surabaya. Bidang Pendidikan dan Pelatihan Persatuan Perawat Nasional
Indonesia PPNI Provinsi Jawa Timur.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.
02.02/MENKES/148/1/2010, tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Kartikawati, Dewi. (2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Salemba
Medika. Jakarta.
Kemenkes No. 145/Menkes/SK/I/2007
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dasar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dsar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Sumijatun. (2010). Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.
Jakarta,
WHO Media Centre, 2013, Cardiovascular Disease (CVDs), Updated March 2013, dilihat 04
Februari 2014, <http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/>
World Health Organization. (2005). Emergency Triage Assessment and Treatment (ETAT).
Switzerland. WHO Press.
Yahya, A. Fauzi, 2010, Menaklukkan Pembunuh No. 1: Mencegah Dan Mengatasi Penyakit
Jantung Koroner Secara Tepat Dan Cepat, Bandung, Qanita.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 62


BAB 4
KEGAWATDARURATAN MATERNAL – NEONATAL

4.1 Pendahuluan
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadi mendadak mengakibatkan seseorang
atau banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti pertolongan
secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka
korban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Kegawatdaruratan maternal – neonatal merupakan suatu keadaan yang terjadi
mendadak Pre – intra – post natal pada seorang Ibu dan bayinya akibat suatu kecelakaan,
ataupun suatu proses perjalan penyakit.

4.2 Tujuan
a. Tujuan Intruksional Umum
Setelah menyelesaikan pelatihan ini diharapkan peserta dapat memberikan
pertolongan kegawatdaruratan maternal neonatal.

b. Tujuan Intruksional Khusus


1. Dapat menangani Kegawatdaruratan Kehamilan
2. Dapat menangani Kegawatdaruratan Persalinan
3. Dapat menangani Kegawatdaruratan Post Partum
4. Dapat menanganani Syok
5. Dapat menangani Pre Eklamsi dan Eklamsi
6. Dapat menangani Kegawatdaruratan Neonatal
7. Dapat melakukan PONEK – PONED
8. Dapat melakukan Rujukan dan Transportasi Maternal Neonatal

4.3 Penanganan Kegawatdaruratan Kehamilan


1. Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaranhasil konsepsi pada usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
a. Gejala dan Tanda
Untuk wanita yang masih dalam usia reproduksi, sebaiknya dipikirkan suatu
abortus inkomplit apabila :
 Terlambat haid (tidak datang haid lebih dari satu bulan, dihitung dari haid
terakhir)
 Terjadi perdarahan pervaginam
 Spasme atau nyeri perut bawah (seperti kontraksi saat persalinan)
 Keluarnya massa kehamilan (fragmen plasenta)
Apabila tidak terdapat gejala tersebut, sebaiknya dipertimbangkan diagnosis lain
(mis. Infeksi panggul). Upaya pengakhiran kehamilan secara paksa dilakukan
dengan memasukkan kayu, batang plastik/karet atau benda – benda tajam
lainnyakedalam kavum uteri dan ini menjadi penyebab utama dari berbagai
komplikasi serius abortus inkomplit. Karena berbagai alasan tertentu (normatif,
pribadi, sosiokultural, hukum) kebanyakan pasien abortus provokatus, segan atau
dengan sengaja menyembunyikan penyebab abortus yang dapat membahayakan atau
mengancam keselamatan jiwa pasien.

b. Pengkajian
1. Riwayat Medik
Informasi khusus tentang reproduksi yang harus diperoleh anatara lain :
 Hari pertama haid terakhir dan kapan mulai terlambat haid

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 63


 Alat kontrasepsi yang sedang digunakan (amenorea akibat kontrasepsi
hormonal dapat dikelirukan dengan abortus bila kemudian terjadi menoragia)
 Perdarahan pervaginam (lama dan jumlah)
 Demam, menggigil atau kelemahan umum
 Nyeri abdomen atau punggung/bahu (berkaitan dengan trauma intra
abdomen)
 Riwayat vaksinasi dan kemungkinan resiko tetanus (abortus provokatus).
Informasi medik penting yang lain meliputi :
 Alergi obat (anestesi atau antibiotika)
 Gangguan hematologi (anemia sickle cell, thalasemia, hemofilia atau
gangguan pembekauan darah)
 Penggunaan obat jangka panjang (mis. Kortikosteroid)
 Minum jamu atau obat- obatan yang tidak jelas komposisinya (apabila
bersifat toksik dapat menimbulkan efek samping yang serius)
 Kondisi gangguan kesehatan lain (mis. Malaria dan kehamilan).

2. Pemeriksaan Fisik
Penting untuk diperhatikan :
 Periksa dan catat tanda vital (TD, N, Suhu, RR)
 Gangguan kesehatan umum (anemia, kurang gizi, keadaan umum jelek)
 Periksa keadaan paru, jantung dan ekstremitas
a. Pemeriksaan Abdomen
Periksa adanya :
 Massa atau kelainan intra abdomen lainnya
 Perut kembung dengan bising usus melemah
 Nyeri ulang lepas
 Nyeri atau kaku dinding perut (pelvik/suprapubik).

b. Pemeriksaan Panggul
Tujuan ulang pemeriksaan panggul atau bimanual adalah untuk
mengetahui besar, arah, konsistensi uterus, nyeri goyang cerviks, nyeri
tekan parametrium, pembukaan ostium serviks. Melihat sumber
perdarahan lain (trauma vagina/cerviks) selain akibat sisa konsepsi.

c. Pemeriksaan Inspikulo/spekulum
Sebelum memasukkan spekulum perhatikan :
 Daerah genetalia eksterna, perhatikan sifat dan jumlah perdarahan
pervaginam
 Darah yang bercampur dengan sekret berbau
Setelah selesai melakukan pengalamatan bagian luar, masukksn
spekulum untuk melihat dinding vagina dan cerviks. Bersihkan
bekuan sarah / massa kehamilan dalam lumen vagina atau terjepit di
ostium serviks. Apabila diperlukan, awetkan jaringan / sisa konsepsi
untuk pemeriksaan hispatologi. Tentukan apakah darah keluar melalui
ostium uteri atau sari dinding vagina. Bila diduga atau jelas terjadi
infeksi lakukan pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi. Pasien
segera diberikan antibiotik spektrum luas secara adekuat, sebelum
melakukan prosedur AVM.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 64


d. Pemeriksaan Bimanual
Apabila periksa luar sulit untuk menentukan TFU maka lakukan
pemeriksaan dalam (besar, arah, dan konsistensi uterus).
 Nilai besar dan posisi uterus
Temuan yang pasti tentang besar dan arah uterus, sangat
menentukan keamanan dan keberhasilan prosedur klinik yang akan
dijalankan. Bila uterus lebih besar dari dugaan usia kehamilan,
kemungkinannya adalah :
 Usia kehamilan memang lebih besar dari HPHT
 Hamil ganda / kembar
 Uterus dipenuhi dengan bekuan darah (sindroma pasca keguguran)
 Hamil mola
 Mioma uteri dengan kehamilan
Uterus retroversi, obesitas atau kekakuan dinding perut, akan
menyulitkan perabaan uterus. Penting sekali untuk mengetahui besar
dan arah uterus sebelum melakukan prosedur AVM.

e. Posisi Uterus
 Uterus Anteversi
Prosedur evakuasi masssa kehamilan pada uterus sangat anteversi
atau antefleksi, sebaiknya dilakukan hati – hati karena uterus
retroversi memiliki resiko perforasi yang cukup tinggi.
 Uterus Retroversi
Retroversi lebih mudah ditentukan melalui pemeriksaan
rektovaginal. Kejadian perforasi sering disebabkan oleh
ketidakampuan operator mengenali uterus hiper retroversi/retrofleksi
uterus.
 Uterus Lateroposisi
Apabila oleh sebab tertentu, uterus berada atau terdorong ke
lateral maka operator harus menyesuaikan arah kanula pada saat
melakukan proses evakuasi, untuk menghindarkan terjadinya
perforasi.

f. Derajat dari Abortus


Dengan memperhatikan temuan dari pemeriksaan panggul, tentukan
derajat abortus yang dialami pasien. Pada abortus imminent, pasien harus
diistirahatkan atau tirah baring total selama 24-48 jam. Bila perdarahan
berlanjut dan jumlahnya semakin banyak, atau jika kemudian timbul
gangguan lain (misalnya, terdapat tanda – tanda infeksi) pasien harus
dievaluasi ulang dengan segera. Bila keadaanya membaik, pasien
dipulangkan dan periksa ulang 1-2 mgg mendatang. Untuk abortus
insipient atau inkomplit, harus dievakuasi semua sisa konsepsi.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan hasil proses evakuasi untuk
menentukan adanya massa kehamilan dan bersihnya kavum uteri.
Karena waktu paruh hCG adalah 60 jam, pada beberapa kasus, uji
kehamilan dengan dasar deteksi hCG akan memberikan hasil positif
beberapa hari pasca keguguran.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 65


Jenis dan Derajat Abortus
Diagnosis Perdarahan Serviks Besar Uterus Gejala Lain
Abortus Sedikit – sedang Tertutup Sesuai usia PP positif
imminent kehamilan Kram
Uterus lunak
Abortus Sedang – banyak Terbuka Sesuai atau lebih Kram
insipient kecil Uterus lunak
Abortus Sedikit – banyak Terbuka Lebih kecil dari Kram
inkomplit (lunak) usia gestasi Keluar jaringan
Uterus lunak
Abortus Sedikit/tidak ada Lunak Lebih kecil dari Sedikit/tidak
komplit (terbuka usia gestasi kram
atau Keluar jaringan
tertutup) Uterus kenyal

g. Pengelolaan Abortus
Prinsip pengelolaan abortus inkomplit adalah membersihkan sisa
hasil konsepsi dari kavum uteri. Cara membersihkan kavum tersebut,
tergantung usia kehamilan, besar uterus dan hasil penghitungan HPHT.
Dilihat pula ketersediaan peralatan, pasokan medik dan nakes yang
terampil. Bila tidak tersedia maka dianjurkan untuk melakukan rujukan
pasien ke fasilitas kesehtan yang lebih lengkap.
Evakuasi sisa konsepsi pada kasus abortus inkomplit pada trimester
II dapat dilakukan dengan Dilatasi dan Kuretase (D&C) atau Aspirasi
Vacum Manual (AVM). Kedua tindakan memiliki resiko perdarahan
hebat dan perforasi.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 66


1. Oksitosin Drip
Oksitosin drip diperlukan pada evakuasi sisa konsepsi pada kasus
abortus inkomplit TM II. Dosis oksitosin untuk tindakan ini dapat
mencapai 200 IU oksi dalam 500 cc cairan infus dengan kecepatan
tetesan 30-40 ttm. Ini dilakukan karena reseptor oksitosin pada
kehamilan TM II belum cukup untuk membuat uterus berkontraksi kuat
dan menebalkan dinding uterus (penting untuk mencegah perdarahan
dan perforasi uterus). Perhatikan timbulnya efek samping dari
pemberian oksi drip dosis tinggi ini. Sebagai pengganti, dapat diberikan
misoprostol 600 mgperoral. Setelah prosedur selesai, pantau TTV pasien
hingga kondisinya stabil.

h. Pemantauan
 Pemantauan pemulihan pasien
Pantau TTV mulai saat pasien masih berada diatas meja tindakan.
Upayakan pasien beristirahat dengan tenang, sehingga pemantauan
dapat berlangsusng dengan baik. Berikan antibiotik sebagai upaya
profilaksis, terutama apabila ditemui tanda – tanda infeksi. Pada kasus
tanpa komplikasi, periksa konsentrasi Hb, TTV sebelum pasien
dipulangkan. Setelah kondisi pasien stabil, diberika informasi tentang
perawatan lanjutan, baru pasien dipulangkan.

 Informasi Pasca tindakan


Tanda – tanda pemulihan berjalan normal :
- Spasme atau kram pada uterus hingga beberapa hari pasca
tindakan, berangsur berkurang atau masih dapat diatasi dengan
analgesik ringan
- Jumlah perdarahan yang makin lama makin berkurang
- Kembalinya siklus menstruasi (4-8 mgg).
Berikan penjelasan tentang obat – obatan yang masih perlu
diperoleh / dipergunakan atau beberapa petunjuk yang harus
dijalankan:
- Hindarkan hubungan seksual atau memasukkan sesuatu kedalam
vagina (tampon, bilasan) hingga perdarahan benar – benar
berhenti (5-7 hari).
- Kesuburan dapat kembali dalam 2 mgg pasca keguguran
sehingga perlu dilakukan konseling tentang kemungkinan akan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 67


terjadinya kehamilan atau tawaran menggunakan kontrasepsi bila
pasien belum ingin hamil
- Tempat kunjungan atau faskes yang dapat memberikan
pertolongan gawat darurat (bila diperlukan ).

 Gejala – gejala yang memerlukan pemeriksaan ulang


- Spasme atau kram tidak menghilang (atau makin hebat)
- Perdarahan berlanjut (lebih dari 2 mgg)
- Perdarahan banyak (lebih dari perdarahan menstruasi )
- Nyeri hebat atau intensitasnya meningkat
- Demam, menggigil atau lemah
- Gangguan kesadaran atau pingsan

2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta (abrubtio plasenta) dalah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. Yang terjadi pada
kehamilan 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram.
a. Klasifikasi Solusio Placenta
1. Klasifikasi dari solusio plasenta adalah sebagai berikut:
 Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari
tempat perlengkatannya.
 Solusio plasenta totalis ( komplek ) : bila seluruh plasenta sudah terlepas dari
tempat perlengketannya.
 Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat
teraba pada pemeriksaan dalam.

2. Solusio plasenta di bagi menurut tingkat gejala klinik yaitu :


Faktor - faktor yang mempengaruhi solusio plasenta antara lain sebagai berikut :
 Faktor vaskuler (80-90%).
Yaitu toksemia gravidarum, glomerulonefritis kronik,dan hipertensi
esensial. Adanya desakan darah yang tinggi membuat pembuluh darah mudah
pecah sehingga terjadi hematoma retroplasenter dan plasenta sebagian
terlepas.
 Faktor trauma.
 Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidromnion dan gemely.
 Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat dari pergerakan janin yang
banyak/bebas,atau pertolongan persalinan.
 Factor paritas
Lebih banyak dijumpai pada multi dari pada primi. Holmer mencatat
bahwa dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 18 primi.
 Pengaruh lain
Seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus pada vena cava inferior, dan
lain-lain.
 Trauma langsung seperti jatuh, kena tendang dan lain-lain

3. Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam


 Solusio plasenta ringan (Perdarahan pervaginam <100 -200 cc).
 Solusio plasenta sedang Perdarahan pervaginam > 200 cc,hipersensitifitas
(uterus atau peningkatan tonus,syok ringan,dapat terjadi fetal distress)
 Solusio plasenta berat (Perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus tetanik,
syok maternal sampai kematian janin dan koagulopati).

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 68


4. Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam
 Solusio plasenta yang nyata/tampak (revealed)
Terjadi perdarahan pervaginam,gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan
darah,tidak terdapat ketegangan uterus,atau hanya ringan.
 Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed)
Tidak terdapat perdarahan pervaginam,uterus tegang dan hipertonus,sering
terjadi fetal distress berat. Tipe ini sering di sebut perdarahan Retroplasental.
 Solusio plasenta tipe campuran (mixed)
Terjadi perdarahan baik retroplasental atau pervaginam,uterus tetanik.

5. Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus


 Solusio plasenta ringan
Plasenta yang kurang dari ¼ bagian plasenta yang terlepas. Perdarahan
kurang dari 250 ml.
 Solusio plasenta sedang
Plasenta yang terlepas ¼ – ½ bagian. Perdarahan <1000 ml,uterus
tegang,terdapat fetal distress akibat insufisiensi uteroplasenta.
 Solusio plasenta berat
Plasenta yang terlepas > ½ bagian,perdarahan >1000 ml,terdapat fetal distress
sampai dengan kematian janin,syok maternal serta koagulopati.

b. Patofisiologi
1. Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang
membentuk hematoma pada desidua,sehingga plasenta terdesak dan akhirnya
terlepas. Apabila perdarahan sedikit,hematoma yang kecil itu hanya akan
mendesak jaringan plasenta,pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum
terganggu,dan tanda serta gejala pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah
plasenta lahir,yang pada pemeriksaan di dapatkan cekungan pada permukaan
maternalnya dengan bekuan darah yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus
yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi
menghentikan perdarahannya. Akibatnya hematoma retroplasenter akan
bertambah besar,sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding
uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput ketuban keluar dari
vagina atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau
mengadakan ektravasasi di antara serabut-serabut otot uterus.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 69


Apabila ektravasasinya berlangsung hebat,maka seluruh permukaan uterus
akan berbercak biru atau ungu. Hal ini di sebut uterus Couvelaire (Perut terasa
sangat tegang dan nyeri). Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan
retroplasenter,maka banyak trombosit akan masuk ke dalam peredaran darah
ibu,sehinga terjadi pembekuan intravaskuler dimana-mana,yang akan
menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya terjadi
hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya
di uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya.
Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding
uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,akan terjadi anoksia
sehingga mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang
terlepas,mungkin tidak berpengaruh sama sekali,atau juga akan mengakibatkan
gawat janin. Waktu sangat menentukan beratnyaa gangguan pembekuan
darah,kelainan ginjal,dan keadaan janin. Makin lama penanganan solusio
plasenta sampai persalinan selesai,umumnya makin hebat komplikasinya.

2. Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan keluar
antara selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari serviks
hingga terjadilah perdarahan keluar atau perdarahan terbuka.
Terkadang darah tidak keluar,tetapi berkumpul di belakang plasenta
membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan semacam ini disebut perdarahan
ke dalam atau perdarahan tersembunyi.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang
lebih khas karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah volume
uterus. Umumnya lebih berbahaya karena jumlah perdarahan yang keluar tidak
sesuai dengan beratnya syok. Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal
dari ibu,namun dapat juga berasal dari janin.

Perdarahan keluar Perdarahan tersembunyi


1. Keadaan umum penderita relative 1. Plasenta terlepas luas,uterus
lebih baik. keras/tegang.
2. Plasenta terlepas sebagian atau 2. Sering berkaitan dengan hipertensi.
inkomplit.
3. Jarang berhubungan dengan
hipertensi.
4. Keadaan penderita jauh lebih jelek.

c. Penyulit terhadap ibu :


1. Berkurangnya darah dalam sirkulasi darah umum
2. Terjadi penurunan tekanan darah,peningkatan nadi dan pernapasan
3. Ibu tampak anemis
4. Dapat timbul gangguan pembekuan darah,karena terjadi pembekuan
intravaskuler diikuti hemolisis darah sehingga fibrinogen makin berkurang dan
memudahkan terjadinya perdarahan (hipofibrinogenemia)
5. Dapat timbul perdarahan packapartum setelah persalinan karena atonia uteri atau
gangguan pembekuan darah
6. Dapat timbul gangguan fungsi ginjal dan terjadi emboli yang menimbulkan
komplikasi sekunder
7. Timbunan darah yang meningkat dibelakang plasenta dapat menyebabkan uterus
menjadi keras,padat dan kaku.
8. Tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia ringan
sampai kematian dalam uterus.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 70


d. Pengelolaan
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirawat di rumah sakit kerena
memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan.
Pengelolaan pada solusio plasenta adalah sebagai berikut :
Tidak terdapat renjatan : usia gestasi Terdapat renjatan :
kurang dari 36 minggu atau taksiran berat
fetus kurang dari 2500 gr :
a) Solusio plasenta ringan dilakukan Solusio plasenta ringan/sedang/berat :
pengelolaan secara partus perabdominal bila persalinan
 Ekspektatif meliputi tirah pervaginam diperkirakan berlangsung
baring lama
 SedativeMengatasi anemia Atasi renjatan,resusitasi caiarn dan
 Monitoring keadaan janin transfuse darah.
dengan kardiotokografi dan 1. Bila ada renjatan tidak
USG teratasi,upayakan tindakan
 Seksio sesarea bila pelvic skor penyelamatan yang optimal.
<5 atau persalinan >6 jam 2. Bila renjatan tidak dapat
b) Sedang/berat teratasi pertimbangkan untuk
1. Resusitasi cairan paartus perabdominal bila janin
2. Atasi anemi (transfuse darahpartus masih hidup atau bila
pervaginam : bila diperkirakan persalinan diperkirakan
partus dapat berlangsung dalam 6 berlangsung lama.
jam (amonotomi dan oksitosin)
3. Partus perabdominal : bila partus
pervaginam diperkirakan tidak
dapat berlangsung dalam 6 jam

3. Plasenta Previa
Menurut Browne, klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, yaitu :
a. Plasenta Previa Totalis
Bila plasenta menutupi seluruh jalan lahir pada tempat implantasi, jelas tidak
mungkin bayi dilahirkan in order to vaginam (normal/spontan/biasa), karena risiko
perdarahan sangat hebat.
b. Plasenta Previa Parsialis
Bila hanya sebagian/separuh plasenta yang menutupi jalan lahir. Pada tempat
implantasi inipun risiko perdarahan masih besar dan biasanya tetap tidak dilahirkan
melalui pervaginam.
c. Plasenta Previa Marginalis
Bila hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir bisa dilahirkan pervaginam
tetapi risiko perdarahan tetap besar.

4. Low Lying Placenta (Plasenta Letak Rendah)


Lateralis plasenta, tempat implantasi beberapa millimeter atau cm dari tepi jalan lahir
risiko perdarahan tetap ada, namun bisa dibilang kecil, dan bisa dilahirkan pervaginam
dengan aman. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan,
sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 71


a. Gejala Utama
Perdarahan yang terjadi bisa sedikit atau banyak. Perdarahan yang berwarna
merah segar, tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri.
b. Gejala Klinik
 Perdarahan yang terjadi bisa sedikit atau banyak. Perdarahan yang terjadi pertama
kali biasanya tidak banyak dan tidak berakibat fatal. Perdarahan berikutnya
hampir selalu lebih banyak dari sebelumnya. Perdarahan pertama sering terjadi
pada triwulan ketiga.
 Pasien yang datang dengan perdarahan karena plasenta previa tidak mengeluh
adanya rasa sakit.
 Pada uterus tidak teraba keras dan tidak tegang.
 Bagian terbanyak janin biasanya belum masuk pintu atas panggul dan tidak
jarang terjadi letak janin letak janin (letak lintang atau letak sungsang)
 Janin mungkin masih hidup atau sudah mati, tergantung banyaknya perdarahan,
sebagian besar kasus, janinnya masih hidup

c. Penatalaksanaan
 Penanganan Pasif
1. Perhatian – Tiap-tiap perdarahan triwulan ketiga yang lebih dari show
(perdarahan inisial), harus dikirim ke rumah sakit tanpa dilakukan manipulasi
apapun. Baik rektal apalagi vaginal (Eastmon).
2. Apabila pada penilaian baik, perdarahan sedikit, janin masih hidup belum
inpartu, kehamilan belum cukup 37 minggu atau berat badan janin dibawah
2500 gr, maka kehamilan dapat dipertahankan, istirahat dan pemberian obat-
obatan seperti spasmolitika, progestin atau progesterone, observasi dengan
teliti.
3. Sambil mengawasi periksa golongan darah dan menyiapkan donor transfusi
darah, bila memungkinkan kehamilan dipertahakan setua mungkin supaya
janin terhindar dari prematuritas.
4. Harus diingat bahwa bila dijumpai ibu hamil tersangka plasenta previa rujuk
segera ke rumah sakit dimana tedapat fasilitas operasi dan transfusi darah.
5. Bila kekurangan darah, berikanlah transfusi darah dan obat-obatan penambah
darah.
d. Cara Persalinan
1. Persalinan Pervaginam
2. Persalinan perabdominan, dengan seksio sesarea.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 72


5. Ketuban Pecah Dini
a. Pengertian Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini adalah suatu keadaan dimana ketuban pecah sebelum
terjadinya persalinan. Kondisi seperti ini harus segera dilakukan penanganan. Karena
jika dibiarkan akan menimbulkan permasalahan pada kesehatan sang ibu dan janin
yang dikandungnya.

b. Penyebab KPD
Penyebab Ketuban pecah dini adalah karena berkurangnya kekuatan membran
atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya
kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina
dan serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri.
Penyebab lainnya adalah sebagai berikut :
1. Inkompetensi serviks (leher rahim).
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit
membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin
yang semakin besar.Adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkanlaserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu
kelainan congenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi
berlebihantanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua
atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput
janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2002).

2. Peninggian tekanan inta uterin.


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihandapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemeli : Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih.
Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi
karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput
ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan
sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah. (Saifudin.
2002)
c. Makrosomnia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi
dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan
selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,tipis, dan
kekuatan membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah
pecah. (Winkjosastro, 2006)

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 73


d. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL.
Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara
berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan
uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja
e. Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.
f. Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP
(sepalo pelvic disproporsi).
g. Korioamnionitis
Adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh
penyebaranorganism vagina ke atas. Dua factor predisposisi terpenting adalah
pecahnyaselaput ketuban > 24 jam dan persalinan lama.
h. Penyakit Infeksi
Adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme
yangmeyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang terjadi
menyebabkanterjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban dalam
bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
i. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetik)
j. Riwayat KPD sebelumya
k. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
l. Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23
minggu

c. Tanda dan Gejala KPD


Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.
Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Demam,
bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat
merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

d. Diagnosis KPD
 Pastikan selaput ketuban pecah.
 Tanyakan waktu terjadi pecah ketuban.
 Cairan ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung
cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.
 Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin
atau meminta pasien batuk atau mengedan.
 Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes), jika
lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis).
pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3.
Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan
trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
 Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan
gambaran daun pakis.
 Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
 Tentukan ada tidaknya infeksi.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 74


 Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38OC serta cairan ketuban
keruh dan berbau.
 Leukosit darah lebih dari 15.000/mm3.
 Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.
 Tentukan tanda-tanda persalinan.
 Tentukan adanya kontraksi yang teratur
 Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif ( terminasi
kehamilan).

e. Pemeriksaan Diagnostik KPD


 Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau
melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
 Amniosintesis
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru
janin.
 Pemantauan janin
Membantu dalam mengevaluasi janin
 Protein C-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan korioamnionitis

f. Patofisiogi KPD
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulensi : Bacteroides
Low virulensi : Lactobacillus
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
system aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi
dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/
amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.

g. Pengaruh KPD

Terhadap Ibu Terhadap Janin


Karena jalan telah terbuka, maka dapat Walaupun ibu belum menunjukan
terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila gejala-gejala infeksi tetapi janin
terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu mungkin sudah terkena infeksi,
juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis karena infeksi intrauterin lebih dahulu
atau nifas, peritonitis dan septikemia, serta terjadi (amnionitis,vaskulitis) sebelum
dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan
terbaring di tempat tidur, partus akan meninggikan morrtalitas
menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi danmorbiditas perinatal.
cepat dan nampaklah gejala - gejala infeksi
lainnya.

h. Komplikasi KPD
Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi Infeksi Maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 75


 Persalinan Premature
 Infeksi
 Hipoksia dan Asfixia
 Sindrom Deformitas Janin.

i. Penanganan KPD
1. Konservatif
 Rawat di rumah sakit
 Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusioplasenta
 Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau),
berikanantibiotika sama halnya jika terjadi amnionitosis
 Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
 Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin
 Ampisilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250mg per oral
3x perhari selama 7 hari.
 Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum inpartu, tidak ada infeksi,
beridexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi
tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin.
 Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan sudah inpartu, tidak ada infeksi
maka berikan tokolitik dexametason, dan induksi setelah 24 jam.

2. Aktif
 Kehamilan lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin
 Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram –
50 mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.
 Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri.
 Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu
apakah 6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2. Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan
pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban

j. Penatalaksanaan lanjutan KPD


1. Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului
kondisi ibu yang menggigil.
2. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah
tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat
dengan alat pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi
oksitosin untuk melihat tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi.
Takikardia dapat mengindikasikan infeksiuteri.
3. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
4. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan
juga hal-hal berikut :
 Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
 Bau rabas atau cairan di sarung tangan anda
 Warna rabas atau cairan di sarung tangan
5. Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh gambaranjelas
dari setiap infeksi yang timbul. Seringkali terjadi peningkatan suhu tubuh akibat
dehidrasi.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 76


6. Gawat Janin
Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima cukup oksigen sehingga terjadi
hipoksia. Gawat janin dalam persalinan dapat terjadi bila :
 Persalinan berlangsung lama
 Induksi persalinan dengan oksitosin (kontraksi hipertonik)
 Terjadi perdarahan atau infeksi
 Insufisiensi plasenta: post term atau preeklampsia
a. Diagnosis
1. Denyut jantung janin (DJJ) abnormal
o DJJ < 100x/menit DI LUAR kontraksi
o DJJ > 180x/menit dan ibu tidak mengalami takikardi
o DJJ ireguler: kadang-kadang ditemukan DJJ > 180x/menit tetapi disertai
takikardi ibu. Hal ini merupakan reaksi terhadap:
 Demam pada ibu
 Obat-obatan yang menyebabkan takikardi (misal: tokolitik)
 Amnionitis
 Pemantauan DJJ yang paling optimal adalah dengan menggunakan
kardiotokografi (KTG). Apabila tidak tersedia, dapat menggunakan
Doppler atau fetoskop.
 Mekonium
o Mekonium kental merupakan indikasi perlunya percepatan persalinan dan
penanganan mekonium pada saluran napas atas neonatus.
o Mekonium yang dikeluarkan pada saat persalinan sungsang bukan merupakan
tanda kegawatan kecuali bila dikeluarkan pada awal persalinan.
b. Faktor Predisposisi Gawat Janin
Gawat janin dalam persalinan dapat terjadi bila :
 Persalinan berlangsung lama
 Induksi persalinan dengan oksitosin (kontraksi hipertonik)
 Terjadi perdarahan atau infeksi
 Insufisiensi plasenta: post term atau preeklampsia
c. Tatalaksana Gawat Janin
1. Talaksana Umum Gawat Janin
 Bila sedang dalam infus oksitosin: segera hentikan infus.
 Posisikan ibu berbaring miring ke kiri.
 Berikan oksigen.
 Rujuk ibu ke rumah sakit.
 Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah
penanganan yang sesuai.
 Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan DJJ tetap abnormal sepanjang paling
sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab
gawat janin :
 Jika terdapat perdarahan dengan nyeri hilang timbul atau menetap,
pikirkan kemungkinan solusio plasenta
 Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau tajam)
berikan antibiotika untuk amnionitis
 Jika tali pusat terletak di bagian bawah janin atau dalam vagina, lakukan
penanganan prolaps tali pusat
 Jika DJJ tetap abnormal atau jika terdapat tanda-tanda lain gawat janin
(mekonium kental pada cairan amnion) rencanakan persalinan dengan
ekstraksi vakum atau cunam, ATAU seksio sesarea.
 Siapkan segera resusitasi neonatus

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 77


7. Prolapsus Tali Pusat

Gambar : Prolapsus Tali Pusat


Batasan :
 “ CORD PRESENTATION”
Tali pusat terkemuka adalah adanya tali pusat diantara bagian terendah janin
dengan selaput ketuban sebelum selaput ketuban pecah
 “ PROLAPSED UMBILICAL CORD”
Tali pusat menumbung atau prolapsus tali pusat adalah situasi yang sama dengan
“CORD PRESENTATION” tetapi setelah selaput ketuban pecah.
Tali pusat dapat berada dalam vagina ( occult prolapse ) atau berada diluar vagina (di
perineum) seperti terlihat pada gambar dibawah :

Gambar : Occult Prolapse


Prolapsus tali pusat melalui dilatasi servik yang masih belum lengkap

Tali pusat terlihat di daerah introitus vagina. Dalam keadaan ini, persalinan harus
segera diakhiri untuk segera menyelamatkan janin

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 78


a. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian prolapsus tali pusat dalam hubungan dengan presentasi
janin:
Presentasi Angka Kejadian
Vertex (belakang kepala ) 0.4%
Frank Breech 0.5%
Letak bokong kaki 4 – 6%
Letak kaki 15 – 18%

Kondisi obstetric dimana pintu atas panggul tidak sepenuhnya ditempati dengan
bagian terendahjanin (presentasi) akan memudahkan terjadinya prolapsus talipusat
terutama pada :
 Presentasi bokong tidak sempurna ( letak kaki )
 Kelainan letak ( presentasi lintang )
 Hidramnion
 Prematur
 PJT – Pertumbuhan Janin Terhambat.

b. Faktor predisposisi :
 Tali pusat yang panjang
 Amniotomi
 Janin kedua pada persalinan gemelli

GAMBARAN KLINIK / PEMERIKSAAN KLINIK

Dua masalah utama yang terjadi pada talipusat dan keduanya akan
menyebabkan terhentinya aliran darah pada tali pusat dan kematian janin.
1. Tali pusat terjepit antara bagian terendah janin dengan panggul ibu
2. Spasme pembuluh darah talipusat akibat suhu dingin diluar tubuh ibu

Pemeriksaan cardiotocography selalu memperlihatkan gambaran gawat janin


dalam bentuk deselerasi lambat yang sangat dalam atau deselerasi berkepanjangan
tunggal seperti terlihat pada gambar dibawah:

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 79


Gambaran CTG seperti ini merupakan indikasi untuk melakukan vaginal
toucher untuk melihat kemungkinan adanya prolapsus tali pusat

Pada beberapa keadaan diagnose sangat mudah ditegakkanya itu dengan


terlihatnya tali pusat di luar vagina ;namun dugaan diagnosa yang mendorong
perlunya dilakukan pemeriksaan VT adalah adanya gambaran CTG yang sangat
mencurigakan diatas.
Sangat dianjurkan untuk memeriksa kemungkinan adanya prolapsus talipusat
pasca melakukant indakan amniotomi
c. Penatalaksanaan

Gambar : Alogaritma Penanganan Prolaps tali Pusat

Pada kasus prolapsus tali pusat, waktu sangat bernilai sehingga tidak boleh disia-
siakan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 80


1. Tata laksana Umum Prolapsus Tali Pusat
a. Tali pusat terkemuka
Tekanan tali pusat oleh bagian terendah janin dapat diminimalisasi
dengan posisi knee chest atau Trendelenburg. Segera rujuk ibu kefasilitas
yang menyediakan layanan seksio sesarea.
b. Talipusat menumbung
Perhatikan apakah tali pusat masih berdenyut atau tidak. Jika sudah
tidak berdenyut, artinya janin telah mati dan sebisa mungkin pervaginam
tanpa tindakan agresif. Jika tali pusat masih berdenyut :
1. Berikan oksigen
2. Hindari memanipulasi talipusat. Jangan memegang atau memindahkan
talipusat yang tampakpada vagina secara manual.
3. Posisi ibu Trendelenburg atau knee-chest.

Gambar : Posisi Genu Pectoral

4. Dorong bagian terendah janin keatas secara manual untuk mengurangi


kompresi pada talipusat.
5. Segera rujuk ibu kefasilitas yang melayani seksio sesarea. Padas aat
proses transfer dengan ambulans, posisi knee chest kuran gaman,
sehingga posisikan ibu berbaring kekiri.

2. Tata laksana Khusus Prolapsus Tali Pusat


 Di rumah sakit, bila persalinan pervaginam tidak dapat segera
berlangsung (persalinan kala I), lakukan Seksio sesarea. Penanganan yang
harus dikerjakan adalah sebagai berikut :
o Dengan memakai sarung tangan steril/disinfeksi tingkat tinggi (DTT),
masukkan tangan melalui vagina dandorong bagian terendah janin
keatas.
o Tangan yang lain menahan bagian terendah di supra pubis dan nilai
keberhasilan reposisi.
o Jika bagian terendah janin telah ter pegang kuat di atas
rongga panggul, keluarkan tangan dari vagina dan letakkan tangant
etap di atas abdomen sampai operasi siap.
o Jika tersedia, berikan salbutamol 0,5 mg IV secara perlahan untuk
mengurangi kontraksi uterus.

 Bila persalinan pervaginam dapat segera berlangsung (persalinan kala II),


pimpin persalinan sesegera mungkin.
o Presentasikepala: lakukan ekstraksivakum atau cunam dengan
episiotomi
o Presentasi sungsang: lakukan ekstra sibokong atau kaki lalu gunakan
forsep Piper atau panjang untuk mengeluarkan kepala Letak lintang:
segera siapkan seksio sesaria
 Siapkan segera resusitasi neonatus

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 81


4.4 Penanganan kegawatdaruratan persalinan
1. Persalinan Macet
Persalinan macet adalah suatu keadaan dari suatu persalinan yang mengalami
kemacetan dan berlangsung lama sehingga timbul komplikasi ibu maupun janin (anak)
Penyebab persalinan lama diantaranya adalah kelainan letak janin, kelainan panggul,
kelainan keluaran his dan mengejan, terjadi ketidakseimbangan sefalopelfik, pimpinan
persalinan yang salah dan primi tua primer atau sekunder
a. Diagnosis Persalinan Macet
1. Keadaan umum ibu
 Dehidrasi, panas
 Meteorismus, shock
 Anemia, oliguri.
2. Palpasi
 His lemah
 Gerak janin tidak ada
 Janin mudah diraba
3. Auskultasi
Denyut jantung janin, takikardia, irreguler, negatif (jika janin sudah mati).
b. Pemeriksaan dalam Persalinan Macet
 Keluar air ketuban yang keruh dan berbau bercamput dengan mekonium
 Bagian terendah anak sukar digerakkan, mudah didorong jika sudah terjadi rupture
uteri
 Suhu rectal lebih tinggi 37,50c.
Komplikasi
Ibu Janin
o Infeksi sampai sepsis o Gawat janin dalam rahim sampai
o Asidosis dengan gangguan meninggal
elektrolit o Lahir dalam asfiksia berat sehingga
o Dehidrasi, syock, kegagalan dapat menimbulkan cacat otak
fungsi organ-organ menetap
o Robekan jalan lahir o Trauma persalinan, fraktur clavicula,
o Fistula buli-buli, vagina, rahim humerus, femur
dan rectum

c. Penanganan Persalinan Macet


1. False labor (Persalinan Palsu/Belum inpartu)
Bila his belum teratur dan porsio masih tertutup, pasien boleh pulang.
Periksa adanya infeksi saluran kencing, KPD dan bila didapatkan adanya infeksi
obati secara adekuat. Bila tidak pasien boleh rawat jalan.

2. Prolonged laten phase (fase laten yang memanjang)


Diagnosis fase laten memanjang di buat secara retrospektif. Jika HIS
berhenti pasien tersebut belum inpartu atau persalinan palsu jika HIS makin
teratur dan pembukaan makinbertambah lebih dari 4 cm, pasien dalam fase aktif.
Penilaian ulang terhadap serviks :
a. Jika tidak ada perubahan pada pembukaan serviks dan tidak ada gawat
janin, mungkin pasien belum inpartu
b. Jika ada kemajuan pembukaan serviks lakukan amniotomi dan induksi
persalinan dengan oxytosin atau prostaglandin
Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam
Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian
oksitosin, lakukan SC.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 82
3. Prolonged active phase (fase aktif memanjang)
 Bila tidak didapatkan tanda adanya CPD (chepalo Pelvic Disporportion)
atau adanya obstruksi : Berikan berikan penanganan umum yang
kemungkinan akan memperbaiki kontraksi dan mempercepat kemajuan
persalinan
 Bila ketuban intak, pecahkan ketuban. Bila kecepatan pembukaan serviks
pada waktu fase aktif kurang dari 1 cm/jam, lakukan penilaian kontraksi
uterusnya.
 Kontraksi uterus adekuat
 Bila kontraksi uterus adekuat (3 dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40
detik) pertimbangkan adanya kemungkinan CPD, obstruksi, malposisi
atau malpresentasi.
 Chefalo Pelvic Disporpotion (CPD)
 CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis kecil. Bila dalam
persalinan terjadi CPD akan kita dapatkan persalinan yang macet. Cara
penilaian pelvis yang baik adalah dengan melakukan partus percobaan (trial
of labor) kegunaan pelvimetri klinis terbatas.

4. Obstruksi
Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi :
a. Bayi hidup lahirkan dengan SC
b. Bayi mati lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.

5. Malposisi/Malpresentasi
Bila tejadi malposi atu malpresentasi pada janin secara umum :
a. Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu (TTV)
b. Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila air ketuban pecah lihat warna air
ketuban :
1) Bila didapatkan mekoneum awasi yang ketat atau intervensi
2) Tidak ada cairan ketuban pada saat ketuban pecah menandakan adanya
pengurangan jumlah air ketuban yang ada hubungannya dengan gawat
janin.
c. Pemberian bantuan secara umum pada ibu inpartu akan memperbaiki
kontraksi atau kemajuan persalinan
d. Lakukan penilaian kemajuan persalinan memakai partograf
e. Bila terjadi partus lama lakukan penatalaksanaan secar spesifik sesuai dengan
keadaan malposisi atau malpresentasi yang didapatkan. (Saifudin AB, 2007 :
h 191-192).

6. Kontraksi uterus tidak adekuat ( inersia uteri )


Bila kontraksi uterus tidak adekuat dan disporporsi atau obstruksi bias
disingkirkan, penyebab paling banyak partus lama adalah kontraksi yang tidak
adekuat.

7. Kala II memanjang ( prolonged explosive phase )


Upaya mengejan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi
jumlah oksigen ke plasenta, maka dari itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara
spontan, mengedan dan menahan nafas yang etrlalu lama tidak dianjurkan.
Perhatikan DJJ bradikardi yang lama mungkin terjadi akibat lilitan tali pusat.
Dalam hal ini lakukan ekstraksi vakum / forcep bila syarat memenuhi.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 83


Bila malpresentasi dan tanda obstruksi bias disingkirkan, berikan oksitosin
dri. Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam, lahirkan
dengan bantuan ekstraksi vacuum / forcep

Gambar : Vaccum Ekstraksi

Ekstraksi vacuum adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan


ekstraksi tenaga negative (vakum) pada kepalanya Alat yang umumnya
digunakan adalah vacum ekstraktor dari malmstrom. Prinsip dari cara ini adalah
bahwa kita mengadakan suatu vacum (tekanan negatif) melalui suatu cup pada
kepala bayi. Dengan demikian akan timbul caput secara artifisial dan cup akan
melekat erat pada kepala bayi. Pengaturan tekanan harus diturunkan secara
perlahan-lahan untuk menghindarkan kerusakan pada kulit kepala, mencegah
timbulnya perdarahan pada otak bayi dan supaya timbul caput succedaneum

Gambar : Tata Cara Ekstraksi Vaccum pada Bayi

Alat-alat Ekstraksi Vacum


a. Mangkok (cup)
Mangkok ini dibuat untuk membuat caput succedaneum buatan sehingga
mangkuk dapat mencekam kepala janin. Sekarang ini terdapat dua macam
mangkuk yaitu mangkuk yang terbuat dari bahan logam dan plastik. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa mangkuk plastik kurang traumatis dibanding
dengan mangkuk logam. mangkuk umumnya berdiameter 4 cm sampai dengan
6 cm. pada punggung mangkuk terdapat :
1) Tonjolan berlubang tempat insersi rantai penarik

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 84


2) Tonjolan berlubang yang menghubungkan rongga mangkuk dengan pipa
penghubung
3) Tonjolan landai sebagai tanda untuk titik petunjuk kepala janin ( point of
direction) Pada vakum bagian depan terdapat logam/ plastik yang
berlubang untuk menghisap cairan atau udara.
b. Rantai Penghubung
Rantai mangkuk tersebut dari logam dan berfungsi menghubungkan mangkuk
dengan pemegang.
c. Pipa Penghubung
Terbuat dari pipa karet atau plastik lentur yang tidak akan berkerut oleh
tekanan negatif. Pipa penghubung berfungsi penghubung tekanan negatif
mangkuk dengan botol.
d. Botol
Merupakan tempat cadangan tekanan negatif dan tempat penampungan cairan
yang mungkin ikut tersedot (air ketuban, lendir servicks, vernicks kaseosa,
darah, dll). Pada botol ini terdapat tutup yang mempunyai tiga saluran:
 Saluran manometer
 Saluran menuju ke mangkuk
 Saluran menuju ke pompa penghisap
e. Pompa penghisap
Dapat berupa pompa penghisap manual maupun listrik

Gambar : Estraksi Vaccum

f. Teknik Tindakan Ekstraksi Vacum


1. Ibu dalam posisi litotomi dan dilakukan disinfeksi daerah genetalia ( vulva
toilet ). Sekitar vulva ditutup dengan kain steril.
2. Setelah semua alat ekstraktor terpasang, dilakukan pemasangan mangkuk
dengan tonjolan petunjuk dipasang di atas titik petunjuk kepala janin. Pada
umumnya dipakai mangkuk dengan diameter terbesar yang dapat dipasang.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 85


3. Dilakukan penghisapan dengan tekanan negatif -0,3 kg/cm2 kemudian
dinaikkan -0,2 kg /cm2 tiap 2 menit sampai mencapai -0,7 kg/cm2. maksud
dari pembuatan tekanan negatif yang bertahap ini supaya caput
succedaneum buatan dapat terbentuk dengan baik.

4. Dilakukan periksa dalam vagina untuk menemukan apakah ada bagian


jalan lahir atau kulit ketuban yang terjepit diantara mangkuk dan kepala
janin.
5. Bila perlu dilakukan anastesi local, baik dengan cara infiltrasi maupun blok
pudendal untuk kemudian dilakukan episiotomi.
6. Bersamaan dengan timbulnya his, ibu dipimpin mengejan dan ekstraksi
dilakukan dengan cara menarik pemegang sesuai dengan sumbu panggul.
Ibu jari dan jari telunjuk serta jari tanan kiri operator menahan mangkuk
supaya tetap melekat pada kepala janin. Selama ekstraksi ini, jari-jari
tangan kiri operator tersebut, memutar ubun-ubun kecil menyesuaikan
dengan putaran paksi dalam. Bila ubun-ubun sudah berada di bawah
simfisis, arah tarikan berangsur-angsur dinaikan ( keatas ) sehingga kepala
lahir. Setelah kepala lahir, tekanan negatif dihilangkan dengan cara
membuka pentil udara dan mangkuk kemudian dilepas. Janin dilahirkan
seperti pada persalinan normal dan plasenta umumnya dilahirkan secara
aktif.

g. Yang Harus Diperhatikan Dalam Tindakan Ektraksi Vacum


1. Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar
2. Penurunan tekanan harus berangsur-angsur
3. Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam
4. Penarikan waktu ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his dan ibu
mengejan
5. Apabila kepala masih agak tinggi ( H III ) sebaiknya dipasang cup terbesar
(diameter 7 cm)
6. Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi
7. Vacum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature
h. Syarat Tindakan Ekstraksi Vakum
1. Pembukaan 7 cm atau lebih
2. Kepala di Hodge II-III
3. Tidak ada disproporsi kepala panggul
4. Konsistensi kepala normal
5. Ketuban sudah pecah atau dipecahkan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 86


PENUNTUN BELAJAR UNTUK ASPIRASI VAKUM MANUAL
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
A. Penilaian Awal
1. Nilai keadaan penderita ( syok atau gawat darurat lainnya )
2. Atasi syok / kegawatdaruratan dan lakukan stabiliasasi pasien
3. Tentukan kelayakan untuk tata laksana di fasilitas kesehatan ini
B. Penilaian Klinis
4. Sapa pasien, kenalkan diri anda dan jelaskan proses / tujuan
tindakan
5. Tanyakan HPHT/usia kehamilan, mulainya dan perkiraan jumlah
darah / perdarahan / massa kehamilan dan riwayat kehamilan
selanjutnya
6. Tanyakan riwayat alergi obat – obatan atau bahan lainnya
7. Nilai keadaan umum, tanda vital, inspeksi perut bagian bawah,
palpasi TFU, massa / tumor, nyeri tekan atau cairan bebas
8. Lakukan pemeriksaan inspikulo dan pemeriksaan dalam (tentukan
besar, konsistensi, arah, bukaan serviks, kelainan diluar uterus)
9. Lakukan pemeriksaan kadar Hb dan laboratorium lain (leukosit,
apusannpus/bakteriologis) apabila diperlukan
10. Buat diagnosis kerja dan kelayakan kondisi untuk prosedur AVM
11. Siapkan penatalaksanaan AVM atau dirujuk (apabila kondisi
pasien tidak layak untuk penatalaksanaan di Puskesmas)
C. Konseling dan Persetujuan Tindakan Medik
12. Jelaskan diagnosis kerja (abortus inkompletus), penatalaksanaan
dan tindakan yang akan dilakukan
13. Jelaskan setiap tindakan mempunyai resiko tetapi setiap petugas
akan melakukan upaya terbaik buat pasien
14. Beri kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk
menanyakan hal – hal yang belum jelas dan pastikan pasien /
keluarganya mengerti penjelasan yang diberikan
15. Mintakan persetujuan tindakan medis dan simpan dokumen
tersebut didalam status pasien
D. Persiapan
I. Pasien
 Bed Gyn dengan penopang kaki
 Meja dorong / meja instrument
 Wadah instrument khusus (untuk prosedur AVM)
 AMV kit (tabung, adaptor dan kanula)
 Tenakulum (1)
 Spekulum cocor bebek (1) & Sims/L (2) ukuran S/M/L
 Klem ovum/Fenster (1)
 Cunam tampon (1)
 Mangkok logam(1)
 Lampu sorot
 Infus set dan cairan infus
 Alat resusitasi kardiopulmoner dan oksigen
 Jarum dan tabung suntik (5ml dan 3 ml), kapas dan kassa
 Oksigen dan Balon Mask (ambu bag)
 Analgesik (injeksi tramadol/novalgin), sedatif (diazepam)
 Kain alas bokong dan penutup perut bawah
 Larutan antiseptik (klorheksidin, povidon iodin, alkohol)
II. Penolong
 Masker, apron, topi dan baju tindakan
 Tensimeter dan stetoskop
 Handuk bersih dan kering
 Air mengalir dan sabun
 Sarung tangan DTT dan alas kaki

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 87


PENUNTUN BELAJAR UNTUK ASPIRASI VAKUM MANUAL
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
III. Pratindakan
 Pasien
 Kosongkan kandung kemih dan bersihkan (dengan air
dan sabun) lipat paha dan area genetalia
 Posisi litotomi
 Pasang alas bokong dan penutup perut bawah serta
pastikan aliran darah tertampung pada tempatnya
 Pasang tensimeter, siapkan alur intravena, obat dan
cairan dan peralatan pertolongan gawat darurat
 Penolong
 Pakai baju untuk ruang tindakan dan gunakan barier
protektif
 Cuci tangan, keringkan dan pakai sarung tangan
DTT/steril
 Teliti ulang kelengkapan peralatan dan kesiapan
fungsinya
E. Tindakan
Beritahu pasien bahwa prosedur akan dimulai
16. Pasang spekulum vagina
 Sisihkan kedua labia sehingga tanoak introitus vagina kemudian
masukkan bilah spekulum Sims
 Setelah ujung melewati introitus, dorong spekulum hingga
pangkalnya, kemudian putar (90o) gagang spekulum kebawah
17. Masukkan spekulum atas, letakkan bilahnya diatas spekulum
yang terpasang, dorong kemudian putar gagang spekulum
tersebut keatas (180o)
18. Atur posisi spekulum sehingga menampakkan lumen vagina,
serviks dan forniks
19. Bersihkan darah dan gumpalannya, kemuadian perhatikan
bukaan ostium. Usap serviks dan dinding vagina denga larutan
antiseptik
20. Jepitkan (posisi jam 01.00) tenakulum pada serviks atas
 Bila bukaan serviks cukup besar, jepit bibir atas serviks dengan
klem ovum atau klem fenster
 Setelah tenakulum terpasang baik, pegang gagang spekulum
dengan jari – jari tangan kiiri kemudian keluarkan spekulum
atas
21. Ukur bukaan serviks dan kavum uteri menggunakan kanula yang
sesuai
22. Tegangkan tenakulum sehingga kanalis servikalis dan kavum uteri
terposisikan secara baik
F. Evakuasi
23. Tarik ujung kanula dari fundus kemudian pegang dengan ibu jari
dan telunjuk tangan kiri 9jari – jari lain tetap memegang
tenakulum atau klem fenster)
24. Ambil (pegang bagian kayub) dan dekatkan ujung tabung AVM
dengan adaptor
25. Hubungkan adaptor dengan mulut tabung (Ingat : posisi lobang
diujung kanula), eratkan pertautan tersebut (hindarkan
terdorongnya kanula lebih kedalam atau terlepasnya ganjal
pendorong)
26. Buka katup tekanan vakum yang berada diujung tabung dengan
jalan menekan pembuka katub kebawah belakang (perhatikan
masuknya sebagian cairan darah atau jaringan )
27. Pegang pangkal kanula, dorong kanula hingga menyentuh fundus
kemudian lakukan evakuasi sisa konsepsi dengan gerakan maju

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 88


PENUNTUN BELAJAR UNTUK ASPIRASI VAKUM MANUAL
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
mundur sambil merotasikan kanula dari kiri kekanan (antara jam
09.00 – 03.00 atau 180o)
Perhatikan :
 Ujung kanula jangan keluar dari ostium karena tekanan
negatifnya akan hilang atau terdorong terlalu jauh dari ukuran
awal pemeriksaan karena dapat terjadi perforasi
28. Setelah semua permukaan dinding depanuterus dianggap cukup
bersih, rotasikan mulut kanula ke belakang, gerakkan kanula
maju – mundur sambil dirotasikan kerah kanan dan kiri (antara
jam 09.00 – 03.00 atau 180o)
 Lakukan secara sistematik gerakan rotasi dan kraniokaudal
(meliputi semua area dinding uterus ) sehingga terasa mulut
kanula mengenai permukaan yang kasar (gritty sensation) atau
seperti mengerok sabut kelapa/sisik ikan (pada umumnya suara
kerokan didaerah kasar tersebut, dapat didengar)
 Perhatikan :
 Bila kanula masuk tanpa tahanan, melewati batas perkiraan
dan tidak tampak massa kehamilan, fikirkan kemungkinan
terjadinya perforasi
 Segera lepaskan sambungan tabung dari adaptor
(hilangkan tekanan negatifnya), keluarkan kanula,
kemudian tata laksana sesuai dengan panduan protokol
perforasi selama AVM
29. Apabila massa kehamilan telah mengisi lebih dari separuh isi
tabung, lepaskan adaptor dari tabung (tutup dulu katup pengatur
agar tidak terjadi percikan )
30. Keluarkan isi tabung kedalam tempat penampungan yang
tersedia (untuk pemeriksaan hasil evakuasi), buka katup
pengatur dan tekan pendorong (plunger)
 Bila evakuasi masih berlanjut, siapkan lagi tekanan negatif,
sambungkan lagi ke adaptor yang masih terpasang (tidak
dicabut pada saat sambungan dilepaskan) buka katup pengatur
tekanan negatif untuk melanjutkan proses evakuasi. Ulangi
langkah evakuasi
 Bila massa kehamilan di dalam tabung tidak melebihi setengah
dari volume tabung, proses evakuasi telah selesai, maka tutup
katup pengatur tekanan dan cabut kanula dari kavum uteri
31. Keluarkan kanula dari kavum uteri. Bila perdarahan masih
berlanjut, evakuasi ulang untuk menentukan evakuasi ulangan
atau ada penyebab lainnya
 Bila kanula belum terkontaminasi (diluar), masih dapat
digunakan untuk evakuasi ulangan, bila tidak memungkinkan,
gunakan kanula steril / DTT yang baru
 Sambung kembali adaptor (dan kanula), dengan tabung, hisap
larutan klorin 0,5% kedalam tabung, bilas berulang kali hingga
bersih. Lepaskan adaptor, kanula dan tabung, kemudian rendam
dalam wadah dekontaminasi
32. Bersihkan sisa darah dan jaringan di lumen vagina kemudian
usapkan larutan antiseptik pada serviks, forniks dan dinding
vagina. Kemudian lepaskan jepitan tenakulum (bila pada bekas
jepitan terjadi perdarahan, tekan dengan kassa kering hingga 20
detik, lakukan berulang kali hingga perdarahan berhenti)
33. Putar gagang spekulum bawah kelateral (90o) hingga lebar bilah
pada posisi vertikal kemuadian tarik spekulum tersebut keluar
34. Beritahukan kepada pasien bahwa masih perlu dilakukan periksa
dalam ulangan untuk mengetahui besar dan konsistensi uterus
atau kemungkinan adanya kelainan diluar abortus inkomplit
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 89
PENUNTUN BELAJAR UNTUK ASPIRASI VAKUM MANUAL
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
35. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk mengetahui besar dan
konsistensi uterus atau kemungkinan adanya kelainan diluar
abortus inkomplit
 Bila uterus masih terasa lunak dan perdarahan masih banyak
pertimbangkan untuk evakuasi ulangan atau dirujuk
36. Beritahukan bahwa prosedur evakuasi telah selesai, tanyakan
keluhan selama tindakan atau saat ini. Tanggapi dan beritahukan
masih ada observasi atau perawatan lanjutan
G. Dekontaminasi dan Cuci Tangan Pasca Tindakan
37. Sebelum melepas sarung tangan, kumpulkan instrumen yang
telah digunakan dan bahan habis pakai kedalam wadah yang
berisi larutan klorin 0,5% (hindarkan terjadinya robekan sarung
tangan)
38. Gunakan cunam tampon atau kapas yang dibasahi larutan klorin
0,5% untuk mengusap benda atau permukaan yang dicemari
darah atau cairan tubuh pasien
39. Masukkan tangan kedalam larutan klorin 0,5%, bersihkan darah
atau sekret pasien yang melekat apada sarung tangan. Setelah
sarung tangan tampak bersih, lepaskan secara terbalik dan
rendam dalam larutan klorin tersebut
40. Setelah melepas sarung tangan, cuci tangan dan lengan dengan
sabun dibawah air mengalir, kemudian keringkan tangan dengan
handuk kering dan bersih
H. Pemantauan dan Rekam Medik
41. Bantu pasien turun meja tindakan, kemudian bimbing pasien
keruang pulih. Pantau tanda vital dan keluhan pasien tiap 15
menit dalam jam pertama pasca tindakan
42. Pantau tanda vital dan keluhan pasien tiap 10 menit dalam jam
pertama pasca tindakan. Pantau sisa perdarahan atau perdarahan
baru pervaginam
43. Catat jenis dan hasil tindakan yang telah dilakukan, pemeriksaan
jaringan, obat – obatan yang diberikan dan penyulit yang timbul
selama tindakan
44. Tulis keadaan umum pasca tindakan dan instruksi lanjutan
45. Serahkan status klien kepada petugas dan ingatkan untuk
menjalankan pemantauan dan instruksi tertulis tersebut serta
laporkan apabila terdapat tanda – tanda gawat darurat
I. Konseling Pasca Tindakan
46. Jelaskan beberapa gejala pasca tindakan (yang normal dan yang
memerlukan perhatian khusus). Beritahukan untuk segera
kembali bila terjadi komplikasi
47. Jelaskan bagaimana dan kemana pasien harus datang, bila terjadi
komplikasi atau gawat darurat
48. Tanyakan apakah masih ada rasa nyeri atau hal yang kurang
nyaman 9agar dapat diambil tindakan yang sesuai). Berikan
medika mentosa apabila telah tersedia
49. Kaji ulang tentang rencana reproduksi pasca keguguran
50. Informasikan hal – hal penting (kembalinya kesuburan,
kontrasepsi, resiko kehamilan yang tidak direncanakan, jadwal
kunjungan ulang, hubungan seksual pasca keguguran)
51. Jelaskan apa yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh pasien
setelah pulang ke rumah (asuhan mandiri/petunjuk tertulis)
52. Ingatkan jadwal kunjungan ulang, persilahkan pasien untuk
beristirahat sejenak hingga mampu untuk mobilisasi sendiri

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 90


d. Distosia Bahu
1. Pengertian Distosia Bahu
Distosia bahu adalah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet
diatas sacral promontory karena itu tidak bisa lewat masuk ke dalam panggul.

Gambar : Distosia Bahu


2. Penilaian Klinik
 Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva
 Kepala bayi tidak melakukan putaran paksi luar
 Dagu tertarik dan menekan perineum
 Tanda kepala kura-kura yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum
sehingga tampak masuk kembali ke dalam vagina.
 Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di
belakang symphisis.

3. Syarat-Syarat Dapat dilakukan Tindakan Untuk Menangani Distosia Bahu


 Kondisi vital ibu cukup memadai sehingga dapat bekerja sama untuk
menyelesaikan persalinan
 Masih mampu untuk mengejan
 Jalan lahir dan pintu bawah panggul memadai akomodasi tubuh bayi
 Bayi masih hidup atau diharapkan dapat bertahan hidup
 Bukan monstrum atau kelainan conginetal yang menghalangi keluarnya bayi.

4. Etiologi Distosia Bahu


Menurut The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists tahun 2005
: Insiden keseluruhan adalah 2-3% dari kelahiran dengan; 48% kasus terjadi pada
bayi berat badan normal, 0,3% pada bayi dengan berat 2500-4000gram, 5-7%
pada bayi dengan berat 4000-4500gram.
Distosia bahu umumnya terjadi pada makrosomia, yakni suatu keadaan yang
ditandai oleh ukuran badan bayi yang relative besar dari ukuran kepalanya dan
bukan semata-mata berat badan bayi yang >4000 gram. Kemungkinan
makrosomia perlu dipikirkan bila dalam kehamilan terdapat penyulit-penyulit
obesitas, diabetes mellitus, atau kehamilan lewat waktu, atau bila dalam
persalinan terdapat pemanjangan kala II. Distosia bahu juga dapat terjadi pada
bayi anensefalus yang disertai kehamilan serotinus.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk “melipat” ke dalam panggul ( misal : pada makrosomia ) disebabkan oleh
fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan
kepala yang terlalu cepat menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan
lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah mengalami
pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk ke dalam panggul.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 91


Anak besar Badan anak relatif besar( anencephalus ) Abdomen Bayi Besar
(tumor abdomen) Bayi kembar.
Ibu dengan riwayat distosia bahu sebelumnya atau dengan riwayat vakum
karna makrosomia, ibu dengan DM.

5. Patofisiologi Distosia Bahu


Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan
kepala berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya
akan berada pada sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada
saat ibu meneran akan meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis,
bila bahu gagal untuk mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring
dan tetap berada pada posisi anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi
benturan bahu depan terhadap simfisis sehingga bahu tidak bisa lahir mengikuti
kepala.

6. Penatalaksanaan Distosia Bahu


Kejadian distosia bahu sulit diramalkan sebelumnya, bila diduga akan terjadi
distosisa bahu dan diputuskan untuk melahirkan anak pervaginam, perlu
dilakukan persiapan-persiapan sebagai berikut.
1. Dokter penolong harus sudah berpengalaman dalam mengelola distosia bahu
2. Penolong harus didampingi seorang ahli anestesi.
3. Dokter anak harus hadir dan siap untuk mengatasi dampak buruk yang
mungkin terjadi pada anak akibat adanya distosia.
4. Hindari 4P
 Panik
 Pulling : menarik kepala bayi
 Pusshing : dorongan fundus
 Pivoting : angulasi kepala

a. HELPERR (Pendekatan Standar) Distosia Bahu


HELPERR Mnemonic HELPERR ditemukan oleh Life Support in
Obstetrics (ALSO 2004 dan American Academy for Family Physicians
(AAFP 2004) untuk menyediakan pendekatan sistematis untuk mengelola
keadaan darurat ini
H = call for Help
E = Evaluate for episiotomy
L = Legs into McRoberts position
P = Pressure (suprapubic)
E = Enter the vagina
R = Remove the posterior arm
R = Roll the patient unto hands and knees
Penjelasan :
1. H = call for Help
Menginformasikan ibu dari situasi dan meminta bantuan untuk
memberitahu:
 Tambahan staf termasuk bidan yang bertugas dan bidan lain untuk
membantu maneuver
 Tim obstetrik untuk bantuan manuver yang lebih rumit
 Neonatologist untuk resusitasi bayi
 Anaesthetist

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 92


2. E = Evaluate for episiotomy
Pertimbangkan jika episiotomi akan menyediakan ruang tambahan untuk
manuver. ini jarang sekali dilakukan pada prakteknya di lapangan.
3. L = Legs into Mc Roberts position
Asisten diperlukan untuk membantu melenturkan pinggul ibu sehingga
lutut dan paha fleksi terhadap dada dan perutnya.
Efek dari posisi McRoberts :
 Melebarkan diameter anterior posterior panggul
 Fleksi tulang belakang janin
 Posisi ini efektif dalam lebih dari 40% kasus distosia bahu.
4. P = Pressure (suprapubic)
Bidan atau dokter kandungan harus memberitahu asisten apakah
punggung bayi ada pada ibu kiri atau kanan.
Tekanan supra pubik dilakukan seperti posisi tangan ketika CPR oleh
asisten
5. P = Pressure (suprapubic)
Tekanan kuat di atas simfisis pubis untuk menekan bahu anterior dan
mengurangi diameter bisacromial.
Tekanan diterapkan terus-menerus selama 30-60 detik,Kemudain bidan
atau dokter menolong pelahiran bayi
Jangan lakukan tekanan pada fundus
6. E = Enter the vagina Manuver rubin
 Mengguncang bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan melakukan
tekanan pada abdomen ibu
 Satu tangan kita yang sesuai dengan punggung anak dimasukkan ke
dalam jalan lahir dan diletakkan pada scapula depan anak.
 Seorang asisten membantu menekan bahu dari luar kea rah bawah.
 Kadang – kadang jari telunjuk dapat dikaitkan pada ketiak anak untuk
membantu menarik.
 Manuver Rubbin Woodscrew manoeuvre
 Posisikan jari seperti rubin manuver, kemudain tangan lainya
memegang bahu posterior.
 Pelan-pelan putar kedua bahu dari simfis
 Kedua tangan di belakang bahu posterior dan dua jari di depan bahu
posterior dan gerakan bersama-sama.
 Dengan manuver ini, bahu akan fleksi ketika bahu posterior berpindah
 Jika bahu anterior berpindah dari diameter AP, maka bidan atau
dokter harus bisa melahirkan bayi saat itu.
7. R = Remove the posterior arm
 Operator memasukkan tangan kedalam vagina menyusuri humerus
posterior janin dankemudian melakukan fleksi lengan posterior atas
didepan dada dengan mempertahankan posisifleksi siku
 Tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin
 Lengan posterior dilahirkan

b. Pendekatan Holistik pada Distosia Bahu


Ketika distosia bahu terjadi salah satu atau kedua dari 2 hal yang perlu
terjadi untuk melepaskan atau membebaskan bahu :
1. Mengubah ukuran dan posisi (ibu) panggul
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong ibu untuk bergerak dan
mengubah posisi. Anda dapat meminta atau membantu ibu untuk
mengubah pinggulnya dengan:
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 93
a. Mengangkat kaki dapat disertai dengan menggoyang ke belakang dan
ke depan dari pelvis.
b. Manuver McRoberts. Tehnik ini ditemukan pertama kali oleh Gonik
dkk tahun 1983 dan selanjutnya William A Mc Robert
mempopulerkannya di University of Texas di Houston. Maneuver ini
terdiri dari melepaskan kaki dari penyangga dan melakukan fleksi
sehingga paha menempel pada abdomen ibu . Tindakan ini dapat
menyebabkan sacrum mendatar, rotasi simfisis pubis kearah kepala
maternal dan mengurangi sudut inklinasi. Meskipun ukuran panggul
tak berubah, rotasi cephalad panggul cenderung untuk membebaskan
bahu depan yang terhimpit.
c. Manuver ini adalah mudah jika ibu sudah berbaring. caranya adalah:
 Dengan posisi ibu berbaring, minta ibu untuk menarik kedua
lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya, minta dua asisten (boleh
suami atau anggota keluarganya) untuk membantu ibu.
 Tekan kepala bayi secara mantap dan terus-menerus ke arah bawah
(kearah anus ibu) untuk menggerakkan bahu anterior di bawah
symphisis pubis. Hindari tekanan yang berlebihan pada bagian
kepala bayi karena mungkin akan melukainya.
 Secara bersamaan minta salah satu asisten untuk memberikan
sedikit tekanan supra pubis ke arah bawah dengan lembut. Jangan
lakukan dorongan pada pubis, karena akan mempengaruhi bahu
lebih jauh dan bisa menyebabkan ruptur uteri

 Maneuver Mc Robert
Fleksi sendi lutut dan paha serta mendekatkan paha ibu pada
abdomen sebaaimana terlihat pada (panah horisontal). Asisten
melakukan tekanan suprapubic secara bersamaan (panah vertikal)

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 94


d. Gaskin Manuver. Ini dengan melakukan perubahan posisi yaitu saat
ibu dalam posisi berbaring, si ibu langsung diminta untuk berputar dan
mengubah menjadi posisi merangkak.
o Langkah dari Gaskin maneuver ini sering di sebut FlipFLOP
o Flip = memutar ibu dari posisi berbaring menjadi merangkak
FLOP =
1. F = Flips Mom Over (memutar ibu dari posisi berbaring
menjadi merangkak).
Setelah ibu posisi terbalik menggunakan Gaskin's Manuver
kebanyakan bayi akan lahir spontan. Namun, jika bayi tidak
lahir segera, bidan atau asistennya mengarahkan langkah
berikutnya dilakukan ketika kontraksi berikutnya terjadi atau
sebelum ada kontraksi.
2. L = Lift Legs,
Dengan di bantu bidan, mintalah ibu mengangkat satu kaki,
arahkan ke depan posisi ini persis seperti posisi ketiaka atlet
lari hendak bersiap-siap untuk mulai balapan lari. Jadi
posisinya seperti gambar berikut ini:
o Mohon perhatikan posisi kaki, sehingga lutut tidak terlalu
jauh dari tubuhnya.
o Sekarang mulailah melakukan lekukan atau menggulung
bahu anterior bayi dari tulang kemaluan hingga bergerak
disamping simfisis pubis. pergeseran Pubis dari gerakan
menempatkan kaki ke dalam posisi "Running Start" seperti
diatas seolah-olah ini adalah seperti maneuver setengah
McRoberts yang dilakukan dengan ibu di dalam posisi
terlentang. Setengah dari tulang kemaluan yang terguling
atau bergeser ketika kaki diangkat. Jika lengan tidak dapat
diputar, pindah ke manuver berikutnya lebih cepat.
3. O = Oblique (Rotete Shoulder To Oblique)
memutar bahu kearah oblique.
Jika bayi tidak langsung lahir ketika kontraksi setelah
dilakukan perubahan posisi menjadi posisi "Running Start”,
selipkan tangan bidan ke ibu ssampai ia menemukan bagian
belakang bahu posterior bayi. memutar bahu posterior ke arah
dada bayi ke diameter miring dari panggul ibu. Ada ruangan
yang paling dalam dari diameter miring (diameter oblique)
panggul. Dengan demikian bayi akan mudah dari memutar
bahu posterior ke diameter miring. Jika tetap gagal Lanjutkan
upaya.
4. P = Posterior Arm To Get it
Ini dilakukan dengan mencari lengan bayi dan
mengeluarkannya menyapu tangan ke arah dada bayi .
sehingga Lengan ini akan flex, yang berarti itu akan membuat
sebuah tikungan. Sekarang bidan dapat menangkap
pergelangan tangan bayi, Kemudian seluruh lengan lalu
goyangkan dengan hati-hati. Hal ini akan mengurangi diameter
tubuh bayi sekitar 2 cm.Jika itu tidak cukup, bayi diputar 180
derajat sehingga lengan sebelumnya anterior sekarang posterior
dan lengan dibawa keluar. Sekarang ibu bisa mendorong dan
bayi akan keluar.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 95


2. Mengubah ukuran dan posisi (bayi) bahu
Tindakan ini akan membuat diameter bahu bayi lebih kecil. Memutar
bahu ke diameter oblique dari panggul akan tersedia ruang ekstra.
Beberapa maneuver yang dilakukan untuk memperkecil diameter
bahu bayi antara lain dengan:
a. Manuver Rubin (1964)
 Pertama dengan menggoyang-goyang kedua bahu janin dari satu
sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
 Bila tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu
yang paling mudah di akses, kemudian mendorongnya ke
permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan
abduksi kedua bahu kemudian akan menghasilkan diameter antar-
bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis

b. Manuver Corkscrew Woods (1943)


- Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan lakukan penekanan
pada bahu anterior, ke arah sternum bayi, untuk memutar bahu
bayi dan mengurangi diameter bahu
- Dengan melakukan rotasi bahu posterior 1800 secara “crock
screw” maka bahu anterior yang terjepit pada simfisis pubis akan
terbebas.
- Jika perlu, lakukan penekanan pada bahu posterior ke arah
sternum.

c. Teknik Pelahiran Bahu Belakang


 Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan pegang tulang lengan
atas yang berada pada posisi posterior

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 96


 Fleksikan lengan bayi di bagian siku dan letakkan lengan tersebut
melintang di dada bayi

Jika cara tersebut diatas telah dicoba berulang kali namun tidak berhasil, ada
cara lain yang diusulkan yaitu :
a. Kleidotomi
 Dilakukan pada janin mati yaitu dengan cara menggunting klavikula.
Patahkan tulang klavikula atau humerus
b. Pematahan klavikula
 Dilakukan dengan menekan klavikula anterior kearah Superior.
c. Symphysiotomy
Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan serangkaian
tindakan emergensi berikut ini pada kasus distosia bahu
1. Minta bantuan – asisten , ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi.
2. Kosongkan vesica urinaria bila penuh.
3. Lakukan episiotomi mediolateral luas.
4. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah
untuk melahirkan kepala.
5. Lakukan maneuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten.
Sebagian besar kasus distosia bahu dapat diatasi dengan serangkaian
tindakan diatas. Bila tidak, maka rangkaian tindakan lanjutan berikut ini harus
dikerjakan :
1. Wood corkscrew maneuver
2. Persalinan bahu posterior
3. Tehnik-tehnik lain yang sudah dikemukakan diatas.
Tak ada maneuver terbaik diantara maneuver-maneuver yang sudah
disebutkan diatas, namun tindakan dengan maneuver Mc Robert sebagai pilihan
utama adalah sangat beralasan.

c. Pendekatan Drastis
Jika pilihan yang lain gagal yang biasanya melibatkan kerusakan pada
bayi atau ibunya. Langkah berikutnya adalah menggunakan maneuver
Zanvanelli namun ini mustinya dilakukan di RS besar dengan persiapan SC
karena langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Manuver Zavanelli (Sandberg, 1985)
 Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila
kepala janin telah berputar dari posisi tersebut
 Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk
kembali ke vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 97


 Memberikan terbutaline 250 mg subkutan untuk menghasilkan
relaksasi uterus
DISTOSIA BAHU
LANGKAH TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK:
Lihat Buku Acuan, Bab 14 Persiapan Umum sebelum tindakan
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
 Pasien
 Penolong
PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN
TINDAKAN SEBELUM MELAKUKAN DISTOSIA BAHU
ANESTESI LOKAL DAN EPISIOTOMI
1. Tempatkan jari telunjuk dan jari tengah (dari tangan kiri) antara kepala
bayi dan perineum. Hal ini sangat penting untuk mencegah jarum
suntik mengenai kepala bayi yang dapat menyebabkan kematian bavi
2. Masukkan jarum secara subkutan, mulai komisura posterior,
menelusuri sepanjang perineum dengan sudut 45° kearah kanan ibu
(tempat akan dilakukan episiotomi)
3. Aspirasi untuk memastikan ujung jarum tidak mernasuki pembuluh
darah. Apabila pada aspirasi terdapat cairan darah, tarik jarum sedikit
dan kembali masukkan dengan arah yang berbeda. Kemudian ulangi
prosedur aspirasi
Injeksi bahan anestesi kedalam pembuluh darah, dapat
menyebabkan deta k tidak teratur atau konvulsi
4. Suntikkan bahan anestesi (lidokain 1%)5-10 ml sambil menarik jarum
keluar
5. Tekan tempat infiltrasi agar anestesi menyebar. Untuk hasil yang
optimal tunggu l -2 menit sebelum melakukan episiotomi.
MANUVER Mc ROBERTS
1. Baringkan ibu terlentang pada punggung
2. Minta ibu untuk melipat kedua pahanya, sehingga kedua lututnya
berada sedekat mungkin dengan dada. Gunakan kedua tangan untuk
membantu fleksi maksimal paha
3. Lahirkan bahu depan dengan menarik kepala bayi ke arah bawah
MANUVER UNTUK MELAHIRKAN BAHU BELAKANG
1. Masukkan tangan mengikuti lengkung sakrum sampai jari penolong
mencapai fosa antecubii
2. Dengan tekanan jari tengah, lipat lengan bawah ke arah dada
3. Setelah terjadi fleksi tangan, keluarkan lengan dari vagina
(menggunakan jari telunjuk untuk melewati dada dan kepala bayi atau
seperti mengusap muka bayi), kemudian tarik hingga bahu belakang
dan seluruh lengan belakang dapat dilahirkan
4. Bahu depan dapat lahir dengan mudah setelah bahu, dan lengan
belakang dilahirkan
5. 5 Bila bahu depan sulit dilahirkan, putar bahu belakang ke depan
(jangan menarik lengan bayi tetapi dorong bahu posterior) dan putar
bahu depan ke belakang (mendorong anterior bahu depan dengan jari
telunjuk dan jari tengah operator) mengikuti arah punggung bayi
sehingga bahu depan dapat dilahirkan
DEKONTAMINASI DAN PENCEGAHAN INFEKSI PASCA TINDAKAN
PERAWATAN PASCA TINDAKAN

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 98


e. Emboli Cairan Amnion

1. Pengertian Emboli air Ketuban


Emboli air ketuban / Amniotic Fluid Embolism(AFE) adalah sindrom
katastropik yang terjadi selama persalinan atau segera setelah persalinan. Emboli
air ketuban ini merupakan suatu keadaan dimana cairan amnion masuk ke
sirkulasi maternal yang jarang namun fatal dan menyebabkan kematian maternal
terutama di Negara sedang berkembang.

2. Etiologi Emboli air Ketuban


Faktor predisposisi ;
 Multi paritas
 Usia lebih dari 30 thn
 Janin yang besar
 Kematian janin intrauterine
 Meconium dalam cairan ketuban
 Kontraksi uterus yang kuat .
 Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi.

3. Gambaran Klinik Emboli air Ketuban


Gambaran klinik umumnya terjadi secara mendadak dan diagnosa emboli air
ketuban harus pertama kali dipikirkan pada pasien hamil yang tiba tiba mengalami
kolaps. Pasien dapat memperlihatkan beberapa gejala dan tanda yang bervariasi,
namun umumnya gejala dan tanda yang terlihat adalah segera setelah persalinan
berakhir atau menjelang akhir persalinan, pasien batuk batuk, sesak, terengah -
engah dan kadang ‘cardiac arrest’.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 99


4. Tanda dan Gejala Emboli air Ketuban
Tanda dan Gejala Emboli Air Ketuban
No Tanda Dan Gejala %
1 Hipotensi 100
2 Gawat janin 100
3 Edema pulmonal 93
4 Cardiopulmonary arrest 87
5 Sianosis 83
6 Koagulapati 83
7 Dyspnea 47
8 Seizure / kejang 48
9 Atonia uteri 23
10 Bronkospasme 15
11 Transient hypertension/Hipertensi sementara 11
12 Batuk 7
13 Sakit kepala 7
14 Nyeri dada 2
Sumber: Gist et al (2009)

5. Faktor Risiko Emboli air Ketuban


 Usia

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


100
 Multipara
 Faktor Psikologis yang menyebabkan kontraksi
 Induksi persalinan
 Instrumen partus pervaginam
 Kehamilan lewat waktu/postmatur
 Seksio Sesarea
 Ruptura uteri
 Polihidramnion
 Robekan leher rahim yang banyak
 Abrupsio plasenta
 IUFD
 Bayi besar
 Meconeum stained dalam cairan amnion
 Eklampsia
 Gawat janin
 Trauma abdomen
 Intervensi bedah
 Amnioinfusi dengan salin
 Meconeum bayi laki-laki

6. Diagnosis Emboli air Ketuban


Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala diatas. Beberapa diagnosa
banding dari emboli air ketuban antara lain :
a. Penyebab obstetri
 Perdarahan akut
 Abrupsio plasenta
 Ruptura uteri
 Eklampsia
 Cardyomiopati peripartum
b. Penyebab anestesi
 Anestesi spinal yang tingi
 Aspirasi
 Keracunan anestesi lokal
c. Penyebab non obstetric
 Emboli paru
 Emboli udara
 Anafilaksis
 Syok sepsis

7. Penanganan Emboli air Ketuban


Kondisi emboli air ketuban yang ditemukan secara dini akan memberikan
outcome yang leih baik. Manajemen emboli air ketuban antara lain:
 Tindakan yang paling pertama dilakukan adalah oleh bidah adalah resusitasi
ABC
 Berikan oksigen dengan konsentrasi 100% à intubasi
 Monitoring VS secara kontinyu
 IVFD dengan gauge yang besar (16-18G) à pertimbangkan input cairan agar
tidak menyebabkan edema paru
 Segera dirujuk

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


101
 Selanjutnya tindakan yang lebih lanjut dapat dilakukan oleh tenaga ahli di
tempat rujukan
 Kateterisasi arteri à menitoring tekanan darah yang akurat dan pemeriksaan
darah
 Lahirkan Bayi dengan tindakan resusitasi yang cepat dan tepat agar dapat
mereduksi sekuele.
4.5 Penanganan Kegawatdaruratan Post Partum
1. Pengertian Perdarahan Post Partum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan melebihi 500 cc yang terjadi setelah bayi
baru lahir.
Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara akurat karena
bercampur dengan ketuban dan serapan kain atau alas. Bila terdapat perdarahan lebih
dari normal maka disarankan untuk melakukan penatalaksanaan sebagai antisipasi
terjadinya perdarahan postpartum.

2. Patofisiologi Perdarahan Post Partum


Perdarahan postpartum berasal dari tempat plasenta, bila tonus uterus tidak ada,
kontraksi uterus lemah, maka arteri - arteri spiral yang seharusnya tertutup akibat
kontraksi uterus tetap terbuka. Darah akan terus mengalir melalui bekas melekatnya
plasenta ke uteri dan seterusnya keluar pervaginam. Setelah kelahiran anak, otot - otot
rahim terus berkontraksi dan plasenta mulai memisahkan diri dari dinding rahim selama
jangka waktu tersebut. Jumlah darah yang hilang tergantung pada berapa cepat hal ini
terjadi. Biasanya, persalinan kala III berlangsung selama 5 - 15 menit. Bila lewat dari 30
menit, maka persalinan kala III dianggap lama. Perdarahan postpartum bisa terjadi
karena kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta atau karena plasenta
melekat terlalu erat pada dinding uterus.

3. Masalah Perdarahan Post Partum


Perdarahan postpartum dini, yaitu setelah bayi lahir sampai dengan 24 jam
postpartum persalinan dan perdarahan postpartum lanjut, yaitu perdarahan setelah 24 jam
persalinan.
Perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh atonia uteri ( Tonus ), robekan jalan
lahir ( Trauma ), retensio plasenta ( Tissue ), sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah
( Trombin ).
4. Pengelolaan Umum Perdarahan Post Partum
 Selalu menyiapkan tindakan gawat darurat
 Tata laksana persalinan kala III secara aktif

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


102
 Minta petugas lain untuk membantu jika memungkinkan ( 4 tangan )
 Lakukan penilaian cepat KU ibu meliputi kesadaran, nadi, tekanan darah, pernafasan
dan suhu
 Jika terdapat syok lakukan segera penanganan
 Periksa kandung kencing, bila penuh segera kosongkan
 Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebab
perdarahan
Jenis Uterotonika dan cara pemberian
JENIS DAN CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL
Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal 400
pemberian larutan garam fisiologis 0,2 mg µg dapat diulang
dengan tetesan cepat sampai 1200 µg
IM : 10 IU
Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 µg 2-4 jam
larutan garam fisiologis setelah 15 menit setelah dosis awal
dengan tetesan 40
tts/mnt
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 Total 1200 µg atau 3
perhari larutan dengan dosis dosis
oksitosin
Kontra indikasi Pemberian IV secara Preeklamsia, vitium Nyeri kontraksi asma
cepat atau bolus cordis, hipertensi

5. Diagnosis Perdarahan Post Partum


GEJALA DAN TANDA GEJALA DAN TANDA LAIN DIAGNOSIS KERJA
Uterus tidak berkontraksi dan uterus Syok Atonia uteri
lembek, perdarahan segera setelah Bekuan darah pada cerviks atau posisi
bayi lahir terlentang akan menghambat aliran
darah ke luar
Darah segar yang mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir Menggigil
Uterus berkontraksi dan keras Lemah
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 menit Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
Perdarahan segera berlebihan
Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi tinggi Tertinggalnya sebagian
(mengandung pembuluh darah) tidak fundus tidak berkurang plasenta atau ketuban
lengkap
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila plasenta
belum lahir)
Sub-involusio uterus Anemia Endometriosis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam fragmen plasenta
uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan Late postpartum
Lokhea mukopurulen dan berbau hemorrage
Perdarahan postpartum
sekunder

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


103
6. Pengelolaan Khusus
1. Atonia Uteri
a. Patofisiologi Atonia Uteri
Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi
lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta terbuka lebar.
Merupakan penyebab tersering dari perdarahan postpartum (2/3 kasus perdarahan
postpartum disebabkan oleh atonia uteri).
b. Predisposisi Atonia Uteri
 Kondisi yang menyebabkan uetrus meregang lebih dari kondisi normal
seperti:
a. Persalinan lama
b. Persalinan terlalu cepat
c. Perslianan dengan induksi persalinan (akselerasi oksitosin)
d. Infeksi intrapartum
e. Paritas tinggi
Jika terdeteksi memiliki faktor predisposisi maka penolong mewaspadai dan
mengantisipasi kemungkinan terjadinya atonia uteri. Meskipun demikian, 20%
atonia uteri terjadi pada ibu tanpa faktor resiko diatas.

c. Penanganan Atonia Uteri


Langkah awal adalah mempersiapkan diri melakukan penatalaksanaan awal
terhadap masalah yang mungkin terjadi selama persalinan. Selanjutnya
melakukan penanganan kala III secara aktif, meliputi :
Menyuntikkan oksitosin
- Memeriksa fundus uteri untuk memastika janin tunggal
- Menyuntikkan oksitosin 10 iù secara IM pada bagian luar paha kanan 1/3
atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa
ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.
 Peregangan tali pusat terkendali
- Memindahkan klem tali pusat hingga 5-10 cm dari vulva
- Meletakkan tangan kiri diatas simpisis menahan bagian bawah uterus,
sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
- Saat uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan
sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati – hati kearah dorso
kranial
 Mengeluarkan plasenta
- Jika dengan PTT tali pusat bertambah panjang dan terasa adanya
pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan
kanan menarik tali pusat kearah bawah kemudian keatas sesuai dengan
kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva
- Bila TP bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan
kembali klem hingga 5-10 cm dari vulva
- Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15
menit
- Suntikan ulang 10 IU oksitosin IM
- Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh
- Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual.
 Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati – hati.
Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara
perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


104
 Massage uterus
Segera setelah plasenta lahir, lakukan massage pada fundus uteri dengan
menggosok fundus secar sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan
kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).

 Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalian


- Kelengkapan plasenta dan ketuban
- Kontraksi uterus
- Perlukaan jalan lahir

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


105
Massage fundus uteri segera setelah
plasenta lahir (maks 15 detik)

Ya
Uterus kontraksi? Evaluasi Rutin
tidak
- Evaluasi / bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
- KBI maks 5 menit
tidak
YA - Pertahankan KBI selama 1-2 menit
Uterus kontraksi? - Keluarkan tangan secara hati – hati
- Lakukan pengawasan kala IV
tidak
- Ajarkan keluarga melakukan KBE
- Keluarkan tangan (KBI) secara hati – hati
- Suntikan methylergometrin 0,2 mg IM
- Pasang infus RL + 20 IU oksitosin
- Lakukan KBI lagi
tidak
Ya
Uterus kontraksi? Pengawasan kala IV
S
k
e
m - Rujuk siapkan laparotomi
a - Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksi minimal 500 cc/jam hingga mencapai
tempat rujukan
P - Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBE
e
n tidak
a
n Ligasi arteri uterina dan / hipogastrika B-Lvnch method
g
a
n Pertahankan uterus
Perdarahan
a
n tetap

A Histerektomi
t
o
Atonia Uteri

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


106
Langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pasca persalinan

No Langkah Keterangan
1. Lakukan massage fundus uteri segera Massage merangsang kontraksi uterus. Sambil
setelah plasenta dilahirkan melakukan massage sekaligus dapat dilakukan
penilaian kontraksi uterus
2. Bersihkan kavum uteri dari selaput Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam
ketuban dan gumpalan darah kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi
uterus secara baik
3. Mulai lakukan kompresi bimanual Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
interna. Jika uterus berkontraksi tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil
keluarkan tangan setelah 1-2 menit. setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain
Jika uterus tetap tidak berkontraksi
teruskan KBI sampai 5 menit
4. Minta keluarga untuk melakukan KBE Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat
meneruskan proses kompresi bimanual secara
eksternal selama anda melakukan langkah –
langkah selanjutnya
5. Berikan metyl ergometrin0,2 mg IM / IV Metyl ergometrin yang diberikan secara IM akan
mulai bekerja 5-7 menit dan menyebabkan
kontraksi uterus
Pemberian IV bila sudah terpasang infus
sebelumnya
6. Berikan infus cairan larutan RL dan Anda telah memberikan oksitosin pada saat
oksitosin 20 IU/500 cc penatalaksanaan aktif kala III dan metyl
ergometrin IM. Oksitosin IV akan bekerja segera
untuk menyebabkan uterus berkontraksi
RL akan membantu memulihkan volume cairan
yang hilangselama atonia uteri. Jika uterus wanita
belum berkontraksi selama 6 langkah pertama,
sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan
postpartum dan memerlukan penggantian darah
yang hilang secara cepat
7. Mulai lagi KBI atau pasang tampon Jika atonia tidak teratasi setelah 7 langkah
uterovagina pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius
lainnya
Tampon uterovaginal dapat dilakukan apabila
penolong telah terlatih
Rujuk segera ke RS
8. Buat persiapan merujuk segera Atonia bukan hal yang sederhana dan
memerlukan penanganan gawat darurat di
fasilitas dimana dapat dilakukan bedah dan
pemberian transfusi darah
9. Teruskan cairan IV hingga ibu mencapai Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu
tempat rujukan 10 mnt. Kemudian ibu memerlukan cairan
tambahan setidaknya 500 cc/jam pada jam
pertama dan 500 cc/4 jam pada jam – jam
berikutnya. Jika anda tidak mempunyai cukup
persediaan cairan IV, berikan cairan 500 cc yang
ketiga tersebut secara perlahan, hingga cukup
untuk sampai ditempat rujukan. Berikan ibu
minum untuk tambahan rehidrasi
10. Lakukan laparatomy : Pertimbangkan antara lain paritas, kondisi ibu,
Pertimbangkan antara tindakan jumlah perdarahan
mempertahankan uterus dengan ligasi
arteri uterina/hipogastrika atau
histerektomi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


107
d. Penatalaksanaan Atonia Uteri Pasca Persalinan
1. KOMPRESI BIMANUAL INTERNA
Letakkan satu tangan pada dinding perut, dan usahakan untuk menahan
bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain pada
korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan tangan untuk mengkompresi
pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah darah yang keluar yang
ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang, teruskan kompresi,
pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau hingga pasien sampai
ditempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah mengajarkan pada keluarga
untuk melakukan KBE sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk
penatalaksanaan atonia uteri.

2. KOMPRESI BIMANUAL EKSTERNA


Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan sedapat
mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakkan tangan lain dalam keadaan
terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan tangan untuk
menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit uterus
diantara kedua tangan tersebut.

2. Perlukaan Jalan Lahir


a. Patofisiologi Perlukaan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi
rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan
jalan lahir.
b. Jenis – Jenis Perlukaan Jalan Lahir
 Perlukaan jalan lahir terdiri dari :
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
108
a. Robekan perinium
b. Hematoma vulva
c. Robekan dinding vagina
d. Robekan cerviks
e. Ruptura uteri

c. Tingkatan Robekan Perineum


 Dibagi menjadi 4 tingkat / derajat :
1. Derajat I : Robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perinium
2. Derajat II : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani
3. Derajat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan otot spingter ani
4. Derajat IV : Robekan sampai mukosa rektum

Kolporeksis :
adalah suatu keadaan dimana terjadi robekan di vagina bagian atas,
sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina.
Robekan ini memanjang atau melingkar.
Robekan cerviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus
partus presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi
persalinan operatif pervagina harus dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum keadaan jalan lahir termasuk cerviks.

d. Penanganan Robekan Perineum


1. Episiotomi, Robekan perineum dan Robekan vulva
Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.
- Robekan perineum derajat I
Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur.
- Robekan perineum derajat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum derajat I atau
derajat II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi,
maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.
Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing – masing dijepit dengan
klem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata,
baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Mula – mula otot – otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput
lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus – putus atau jelujur.
Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai
kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
- Robekan perineum derajat III
Pada robekan derajat III mula – mula dinding depan rektum yang
robek dijahit, kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal
dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung – ujung
otot sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem / pean
lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga
bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti
menjahit robekan perineum derajat II.
- Robekan perineum derajat IV
Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk
melakukan perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
109
gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka
dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan
rencana tindakan perbaikan di RS kabupaten/kota.

Gambar : Robekan Perineum

e. Hematoma vulva
- Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada
hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan
kompres.
- Pada hematoma yang lebih besar dan disertai dengan anemia dan pre-syok,
perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan
disepanjang bagian hematoma yang paling teregang. Seluruh bekuan
dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan
tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difusi dapat
dipasang drain atau dimasukkan kassa steril sampai padat dan meninggalkan
ujung kassa tersebut diluar.

f. Robekan dinding vagina


- Robekan dinding vagina harus dijahit
- Kasus kolporeksis dan fistula vesikovaginal harus dirujuk kerumah sakit.

g. Robekan cerviks
Robekan cerviks paling sering dijumpai pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan
bibir belakang cerviks dijepit menggunakan klem Fenster. Kemudian cerviks
ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya
robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk
menghentikan perdarahan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


110
3. Retensio Plasenta
a. Patofisiologi Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam
setelah janin lahir. Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau
seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan
tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan.
Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah
plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka dapat
melakukan plasenta manual.

b. Jenis – Jenis Retensio Placenta


 Plasenta adhesiva :
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh
karena kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta.
 Plasenta akreta :
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh
karena villi korialisnya menembus desidua sampai miometrium.
 Plasenta inkarserata :
Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi belum lahir karena
terhalang oleh lingkaran konstriksi dibawah rahim.

c. Penanganan Retensio Placenta


 Prosedur plasenta manual :
- Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis,
karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya terutama bila retensio
sudah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9%sebelum tindakan
dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva termasuk daerah
seputarnya, labia dibuka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan
dimasukkan secara obstetrik kedalam vagina.
- Kemudian tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis.
Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ostium uteri dan terus ke
lokasi plasenta, tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi
salah jalan (false route).
- Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah
tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke
pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk
menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan
kanan setelah kelingking (ulnar), plasenta dilepaskan pada bidang anatara
bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan
yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta lepas,
plasenta dipegang dan dengan perlahan – lahan ditarik keluar.
Setelah plasenta lepas dan dilahirkan, periksa bahwa plasenta lengkap,
segera lakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan ergometrin 0,2 mg
IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retplas, resiko
terjadinya atonia uteri tinggi karena itu segera dilakukan tindakan
pencegahan perdarahan postpartum.
Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai
dengan prosedur tindkan pada atonia uteri.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


111
Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi, oleh karena itu harus
dilakukan rujukan ke RS.

Gambar : Manual Plasenta

4. Sisa Plasenta
a. Patofisiologi Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan kulit ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau lambat (biasanya terjadi 6-
10 hari PP). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai
dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambatgejalanya sama dengan subinvolusio
uteri, yaitu perdarahan yang berulang atau terus dan berasal dari rongga rahim.
Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok. Penilaian klinis
sulit dilakukan untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong
persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila
kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa
plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan
eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnoostik yaitu USG. Pada
umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi
rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga
rahim.

b. Penanganan Sisa Plasenta


- Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam
kondisi tertentu apabila kondisi memungkinkan, sisa plasenta dikeluarkan
secara manual.
- Kuretase harus dilakukan di RS dengan hati – hati karena dinding rahim
relatif tipis dibandingkan dengan kuretase abortus.
- Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral.
- Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


112
KOMPRESI BIMANUAL UTERUS
PENUNTUN BELAJAR UNTUK KOMPRESI BIMANUAL UTERUS
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
Lihat: Persiapan Umum sebelum Tindakan
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
- Pasien
- Penolong
- Peralatan
PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN
TINDAKAN
1 Kosongkan kandung kemih
2 Pakai sarung tangan DTT
3 Pastikan cairan infus berjalan baik dan nuterotonika sudah
diberikan
KOMPRESI BIMANUAL UTERUS INTERNA
4 Penolong berdiri didepan vulva. Oleskan larutan antiseoptik
pada sarung tangan kanan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan
kiri, sisihkan labia mayora ke lateral dan secara obstetrik
masukkan tangan kanan melalui introitus vagina.
5 Kepalkan tangan kanan dan letakkan dataran punggung jari
telunjuk hingga kelingking pada forniks anterior, dorong uterus
ke kranio-anterior.
6 Tapak tangan kiri menekan bagian belakang korpus uteri
7 Lakukan kompresi dengan jalan mendekatkan telapak tangan
kiri dengan kepalan tangan kanan pada forniks anterior.
8 Perhatikan perdarahan yang terjadi. Bila perdarahan berhenti,
pertahankan posisi sedemikian hingga kontraksi uterus
membaik. Bila perdarahan belum berhenti, lanjutkan tindakan
berikut.
9 Keluarkan tangan kanan, bersihkan sarung tangan dan rendam
dalam larutan klorin 0,5%
10 Cuci tangan dan lengan, keringkan dengan handuk.
Pakai sarung tangan DTT yang baru secara benar
KOMPRESI BIMANUAL UTERUS EKSTERNA
11 Penolong berdiri menghadap sisi kanan ibu
12 Tekan dinding perut bawah untuk menaikkan fundus uteri agar
telapak tangan kiri mencakup dinding belakang uterus
13 Pindahkan posisi tangan kanan sehingga telapak tangan kanan
dapat menekan korpus uteri bagian depan
14 Tekan korpus uteri dengan jalan mendekatkan telapak tangan
kiri dan kanan dan perhatikan perdarahan yang terjadi.
Bila perdarahan berhenti, perhatikan posisi tersebut hingga
uterus dapat berkontraksi dengan baik. Bila perdarahan belum
berhenti, lanjutkan langkah berikut.
DEKONTAMINASI DAN PENCEGAHAN INFEKSI PASCA TINDAKAN
PERAWATAN LANJUTAN
15 Perhatikan tanda vital pasien, perdarahan, dan kontraksi uterus
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
113
PENUNTUN BELAJAR UNTUK KOMPRESI BIMANUAL UTERUS
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
setiap 10 menit pada 2 jam pertama
16 Tuliskan hasil tindakan dan instruksikan perawatan lanjutan,
jelaskan dan serahkan pemantauan dan status pada petugas
17 Beritahukan kepada pasien dan keluarganya tentang tindakan
dan hasilnya serta perawatan lanjutan yang masih diperlukan.

PENUNTUN BELAJAR UNTUK KOMPRESI AORTA ABDOMINALIS


LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
Lihat: Persiapan Umum sebelum Tindakan”
KOMPRESI AORTA ABDOMINALIS
1 Baringkan ibu di ranjang, penolong di sisi kanan pasien. Atur
posisi penolong sehingga pasien setinggi pinggul penolong
2 Tungkai diletakkan pada dasar yang rata (tidak menggunakan
penopang kaki) dengan sedikit fleksi pada artikulasio coxae
3 Raba pulsasi arteri femoralis
4 Kepalkan tangan kiri dan tekankan punggung jari telunjuk hingga
kelingking pada umbilicus, tegak lurus searah kea rah kolumna
vertebralis hingga terhenti pada bagian tulang yang keras
5 Pastikan pulsasi arteri femoralis dan perdarahan yang terjadi
6 Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi
tersebut dan lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga
uterus berkontraksi dengan baik.
Perhatikan:
- Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi
dengan baik
- Bila kontraksi membaik tapi perdarahan masih berlangsung
- Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan
uterus berkontraksi dengan baik
PERAWATAN LANJUTAN
7 Perhatikan tanda vital, perdarahan dan kontraksi uterus tiap 10
menit dalam 2 jam pertama
8 Tuliskan hasil tindakan dan instruksi perawatan selanjutnya,
jelaskan dan serahkan pemantauan dan status pada petugas
9 Beritahukan pada pasien dan keluarganya tentang tindakan dan
hasilnya serta perawatan lanjutan yang masih diperlukan

PENUNTUN BELAJAR UNTUK PLASENTA MANUAL


LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
Lihat: Persiapan Umum sebelum Tindakan”
Persiapan Sebelum Tindakan
- Pasien
- Penolong

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


114
PENUNTUN BELAJAR UNTUK PLASENTA MANUAL
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
- Peralatan
- Bayi
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
1 Berikan sedative (Diazepam 10 mg/IV) atau analgetik
2 Kosongkan kandung kemih
3 Jepit tali pusat dengan kocher, tegangkan tali pusat dengan
tangan kiri (sejajar lantai)
4 Tangan kanan masuk melalui introitus vagina secara obstetric,
menelusuri tali pusat hingga serviks
5 Tangan kiri menahan vundus, tali pusat dipegang oleh asisten
6 Lanjutkan penetrasi tangan kanan ke kavum uteri, temukan
implementasi dan tepi plasenta
Melepas Plasenta
7 Sisipkan ujung jari antara plasenta dan dinding uterus
8 Setelah penyisipan berhasil, gerakkan tangan kiri dan kanan
sehingga secara bertahap seluruh plasenta dapat dilepaskan
dengan tepi luar jari-jari tangan dalam
Mengeluarkan Plasenta
9 Gunakan tangan luar atau minta asisten untuk menarik tali
pusat untuk mengeluarkan plasenta, dan sementara tangan
dalam masih di kavum uteri, lakukan pemeriksaan untuk
memastikan tidak ada sisa plasenta
Bila bukaan serviks tidak memungkinkan plasenta dilahirkan,
sementara tangan masih dalam kavum uteri, maka lahirkan
plasenta sambil mengeluarkan tangan dalam (pegang
pangkal tali pusat pada plasenta) dan tangan luar
memegang korpus uterus pada supra simfisis.
10 Lahirkan plasenta dan letakkan pada tempat yang tersedia
11 Perhatikan kontraksi uterus dan kemungkinan perdarahan
Dekontaminasi dan Pencegahan Infeksi Pasca Tindakan
Perawatan Pasca Tindakan
12 Periksa tanda vital pasien, catat dan buat laporan tindakan
13 Buat instruksi perawatan, pengobatan dan pemantauan pasca
tindakan. Minta petugas untuk melaksanakannya dengan baik
14 Beritahukan pada suami/walinya bahwa tindakan telah selesai

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


115
PENUNTUN BELAJAR UNTUK PEMERIKSAAN PERLUKAAN JALAN LAHIR
DAN PENJAHITAN ROBEKAN PORSIO
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
Lihat: Persiapan Umum sebelum Tindakan”
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
- Pasien
- Penolong
- Peralatan
- Bayi
PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN
TINDAKAN
1 Pasien dengan posisi litotomi, pasangkan kain penutup
2 Kosongkan kandung kemih
3 Lakukan periksa dalam
4 Ganti sarung tangan
5 Pasang speculum bawah dan atas
EKSPLORASI ULANGAN (SEBELUM TINDAKAN)
6 Eksplorasi dinding vagina
7 Jepit porsio dengan klem ovum secara bergantian sehingga porsio
dapat diperiksa menurut arah putaran jarum jam. Pasang klem
ovum kanan dan kiri, masing-masing 2 cm dari tepi luka.
8 Bila timbul nyeri akibat luka, beri sedative dan analgetika
9 Penjahitan mulai dari ujung luka, 1 cm ka atas (proksimal porsio)
dari kanan luar menembus permukaan dalam, menyilang ke kirir
dalam (proksimal), tembus ke kirir luar, menyeberang ke kanan
luar (proksimal) menembus permukaan dalam, menyilang ke kiri
dalam (distal), menembus luar kiri (distal) baru dibuat simpul
kunci dengan pangkal benang di kanan luar (distal.
10 Jahitan angka 8 tersebut di atas dilanjutkan kea rah distal sehingga
seluruh robekan porsio, dijahit dan perdarahan dapat diatasi
EKSPLORASI ULANGAN (PASCA TINDAKAN)
11 Dengan speculum, periksa ulang bahwa perdarahan dapat diatasi.
Periksa permukaan dalam porsio dengan jalan menjepit porsio
dengan klem ovum kemudian balik posisi gagangnya.
12 Lakukan penjahitan di bagian lain jalan lahir (apabila diperlukan)
13 Bersihkan porsio dan lumen vagina dengan kapas dan larutan
antiseptic
14 Lepaskan jepitan cunam pada porsio, cabut spekulum
DEKONTAMINASI DAN PENCEGAHAN INFEKSI PASCA
TINDAKAN
PERAWATAN PASCA TINDAKAN
15 Periksa tanda vital pasien, catat dan buat laporan tindakan
16 Buat instruksi perawatan, pengobatan dan pemantauan pasca
tindakan. Minta petugas untuk melaksanakannya dengan baik
17 Beritahukan pada suami/walinya bahwa tindakan telah selesai dan
pasien masih memerlukan perawatan dan pengobatan lanjut

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


116
4.6 Penanganan perdarahan post partum
1. Kondom Hidrostatik Tamponade Intra Uterin
Perdarahan pasca persalinan masih merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di
dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Permasalahan ini sebenarnya adalah
masalah klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Dalam satu dekade terakhir
ini, banyak cara baru ditemukan untuk menanggulangi perdarahan pasca persalinan, yang
diharapkan dapat menekan angka kematian ibu. Dalam tatalaksana perdarahan pasca
persalinan, urutan tindakan yang cepat dan tepat, akan membuat pasien dapat tertangani
dengan baik. Untuk memudahkan tatalaksana, digunakan istilah singkatan
HAEMOSTASIS, yang sekaligus merupakan prinsip tatalaksana perdarahan pasca
persalinan, yaitu hemostasis atau hentikan perdarahan.
H Help. Ask for help. INITIAL
A Assess (vital parameters, blood loss) and resucitate. MANAGEMENT
E Establish aetiology, ensure availability of blood,
ecbolics (oxytocin, ergometrine, or syntometrine bolus
IV/IM).
M Massage uterus.
O Oxytocin infusion, ergometrin bolus IV/IM, MEDICATION
prostaglandins per rectal. MANAGEMENT
S Shift to the theatre. Exclude retain products and NON-SURGICAL
trauma, bimanual compression, abdominal aorta CONSERVATIVE
compression. MANAGEMENT
T Tamponade balloon and uterine packing
A Apply compression uterus, B-lynch technique or SURGICAL
modified, Lasso-Budiman technique. CONSERVATIVE
S Systemic pelvic devascularization: uterine, ovarian, MANAGEMENT
quadriple, internal iliaca.
I Interventional radiologist, if appropriate, uterine artery
embolization.
S Subtotal/total hysterectomy. LAST EFFORT –
SURGICAL NON-
CONSERVATIVE
MANAGEMENT

2. Non surgical conservative management


Pada perdarahan pasca persalinan yang terjadi di suatu tempat dengan fasilitas
minimal, seperti tidak tersedianya dokter ahli obstetri, rumah sakit rujukan yang jauh,
penanganan non pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan bukan lagi merupakan
pilihan dan sudah merupakan suatu keharusan.Non surgical conservative management
atau tatalaksana konservatif non pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan adalah
tindakan non pembedahan yang dilakukan setelah tatalaksana medikamentosa gagal
mengatasi perdarahan pasca persalinan, pada saat menunggu tatalaksana lebih lanjut
seperti laparotomi atau merujuk pasien ke rumah sakit. Tamponade intrauterin dengan
menggunakan balon adalah tindakan yang tidak invasif dan tindakan yang paling cepat
dan tindakan ini logis untuk dilakukan sebagai langkah pertama bila tatalaksana
menggunakan medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan.
Secara prinsip, tamponade intrauterin membutuhkan tekanan intrauterin yang cukup
untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat dicapai dengan 2 cara :
1. Dengan cara memasukkan balon yang digembungkan didalam kavum uteri, yang
akan memenuhi semua ruang, sehingga akan tercapai tekanan intrauterin yang lebih

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


117
besar dari tekanan sistemik arteri. Apabila tidak terjadi laserasi, perdarahan akan
berhenti.
2. Dengan cara memasukkan kassa gulung sebagai tampon ke dalam uterus, kemudian
dipadatkan, yang akan menekan pembuluh darah, sehingga perdarahan akan
berkurang atau berhenti.

3. Metode Sayeba dan modifikasinya


Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor Sayeba Akhter,
ahli kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik
intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan adalah
kateter Folley no 24, kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus), cairan
garam fisiologis. Benang chromic atau silk untuk mengikat dan beberapa tampon bola
untuk fiksasi. Kateter Folley steril dimasukkan ke dalam kondom, dan diiikat dengan
pangkal kondom menggunakan benang silk dan ujung luar dari kateter dihubungkan
dengan infus set yang berisi cairan salin. Setelah kateter dimasukkan ke dalam uterus,
kondom digembungkan dengan 250 – 500 ml cairan salin tergantung kebutuhan dan pada
ujung luar kateter diikat dan set infus/set transfusi dikunci begitu perdarahan berhenti.
Intervensi ini dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat dan tidak membutuhkan
petugas kesehatan yang terlatih.
Metode lain yang dapat dilakukan adalah dengan modifikasi teknik Sayeba, yang
menghilangkan komponen kateter Folley no 24, dengan alasan penggunaan kateter
dengan metode ini tidak bermakna. Kateter Folley no 24 tidak selalu ada di puskesmas,
dan penggunaan kateter Folley no 16 dan no 18 membutuhkan waktu yang lama untuk
mengalirkan cairan ke dalam kondom. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk merakit
metode ini menjadi lebih cepat, karena tidak perlu menyambungkan kondom dengan set
infus/set transfusi. Metode ini dinamakan kondom hidrostatik intrauterin untuk
penanganan perdarahan pasca persalinan.
Bahan yang digunakan hampir sama dengan metode Sayeba, tetapi tanpa kateter
Folley no 24. Bahan-bahannya adalah kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set
(set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk atau benang tali pusat untuk
mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Set infus/set transfusi yang sudah
disambungkan dengan cairan, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian
kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi, kemudian dimasukkan ke dalam kavum
uteri, dan kemudian digembungkan dengan mengalirkan cairan melalui set infus/set
transfusi. Kondom ini bisa digembungkan rata-rata 500 cc. Bahkan di literatur lain,
disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir, kondom dapat digembungkan
mencapai 2000 cc.

a. Teknik pemasangan kondom hidrostatik intrauterin


1. Penderita tidur diatas meja ginekologi dalam posisi lithotomi.
2. Alat-alat telah disiapkan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


118
3. Aseptik dan antiseptik genitalia eksterna dan sekitarnya.
4. Kandung kemih dikosongkan.
5. Telah dipersiapkan sebelumnya, set infus/set transfusi yang sudah disambungkan
dengan cairan NaCl/RL, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian
kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi dengan benang chromic/silk atau
benang tali pusat.

6. Introduksi kondom ke dalam kavum uteri bisa dilakukan dengan 2 cara, yang
pertama dengan menggunakan spekulum sims / L, bibir serviks bagian anterior
dan posterior dijepit dengan ring forsep, dan kondom yang sudah diikat pada
ujung set infus/set transfusi dimasukkan intra kavum uteri dengan menggunakan
tampon tang.
Cara yang kedua, kondom yang sudah diikat pada ujung set infus/set transfusi
dimasukkan secara digital menggunakan jari, cara yang sama dipakai untuk
memasukkan kateter folley untuk induksi.

7. Kemudian kondom digembungkan dengan mengalirkan cairan dari selang infus,


sampai ada tahanan atau perdarahan berhenti, kemudian cairan infus ditutup
kembali. Cairan yang dimasukkan antara 250 – 2000 cc.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


119
8. Dimasukkan tampon bola untuk memfiksasi kondom supaya tidak terlepas.

9. Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam. Bila tanda vital
stabil dan perdarahan pervaginam berhenti, berarti pemasangan kondom
hidrostatik intrauterin berhasil.
10. Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan dilakukan
di Rumah Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk laparatomi
sebagai rencana cadangan.
11. Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom hidrostatik
intrauterin menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan selama 24-48 jam,
jika perlu cairan dalam kondom dikeluarkan secara bertahap.

b. Tes Tamponade
Sampai saat ini, belum ada tes diagnostik yang dapat mengidentifikasi pasien
dengan perdarahan pasca persalinan yang masif, pasien mana yang memerlukan
intervensi pembedahan. Tes tamponade yang diperkenalkan oleh Arulkumaran dan
kawan-kawan adalah penggunaan balon tamponade sebagai tes untuk menilai apakah
pasien tersebut memerlukan intervensi pembedahan atau tidak. Pada pasien yang
perdarahannya berhenti dengan intervensi balon tamponade, intervensi pembedahan
lanjutan tidak diperlukan, dan tamponade menjadi prosedur terapeutik yang utama.
Tes tamponade ini tidak hanya menghentikan perdarahan dan menyelamatkan uterus,
tetapi juga memberikan kesempatan untuk memperbaiki dan mengkoreksi
koagulopati konsumtif.

Kesimpulan
1. Penggunaan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini adalah aman, sederhana,
murah untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan dan dapat dijadikan pilihan
utama untuk perdarahan pasca persalinan pada persalinan pervaginam.
2. Seluruh petugas kesehatan termasuk bidan dapat melakukan teknik ini saat
menghadapi perdarahan pasca persalinan.
3. Tes tamponade menggunakan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini, dapat
dijadikan pilihan untuk menentukan apakah tindakan pembedahan lebih lanjut
diperlukan atau tidak.
4. Dibutuhkan lebih banyak kasus dan pengalaman apabila teknik ini akan digunakan
sebagai praktek rutin.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


120
CHECK LIST
Pemasangan Kondom Hidrostatik Tamponade Intrauterin

No Urutan Tindakan Ya Tidak


1 Penderita tidur diatas meja ginekologi dalam posisi lithotomi.
2. Aseptik dan antiseptik genitalia eksterna dan sekitarnya.
3. Kandung kemih dikosongkan.
4. Telah dipersiapkan sebelumnya, set infus/set transfusi yang sudah
disambungkan dengan cairan NaCl/RL, ujungnya dimasukkan ke dalam
kondom, kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi dengan
benang chromic/silk atau benang tali pusat.
5. Pastikan kondom dalam keadaan vakum/kosong, belum terisi air/udara.
Posisikan kondom sehingga mudah mengembang intrauterin.
6. Asisten dalam posisi melakukan kompresi bimanual interna. Asisten
melepaskan kompresi, secara simultan,. operator melakukan introduksi
kondom ke dalam kavum uteri secara digital menggunakan jari, cara yang
sama dipakai untuk memasukkan kateter folley untuk induksi.
7. Kemudian kondom digembungkan dengan mengalirkan cairan dari selang
infus, sampai ada tahanan atau perdarahan berhenti, kemudian cairan infus
ditutup kembali. Cairan yang dimasukkan antara 250 – 2000 cc.
8. Apabila kondom mengembang keluar dari serviks ke arah vagina, ulangi
pemasangan dari awal.
9. Dimasukkan tampon bola untuk memfiksasi kondom supaya tidak terlepas
10. Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam, selama 15 – 30
menit. Bila tanda vital stabil dan perdarahan pervaginam berhenti, berarti
pemasangan kondom hidrostatik intrauterin berhasil.
11. Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan
dilakukan di Rumah Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk
laparatomi sebagai rencana cadangan.
12. Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom
hidrostatik intrauterin menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan
selama 24-48 jam, jika perlu cairan dalam kondom dikeluarkan secara
bertahap. Berikan uterotonika dan antibiotik.

4.7 Penanganan syok


a. Syok Hipovolemik
Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti
perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan
metabolik selular.
Pasien dengan syok, harus ditangani dengan segera dan diobservasi secara ketat
karena kondisi mereka dapat memperburuk secara mendadak. Tujuan utama dalam
mengatasi syok adalah stabilisasi pasien yaitu mengembalikan cairan tubuh yang hilang
dan memperbaiki sistem sirkulasi yang terlihat dari naiknya teknan darah dan turunnya
frekuensi nadi dan pernafasan.

1. Patofisiologi Syok Hipovolemik


Syok merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi ketika
tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak tercukupinya kebutuhan
aerobik seluler atau tidak tercukupinya oksigen untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jaringan secara global
dan meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini membutuhkan penanganan yang
cepat karena dapat berkembang / memburuk dengan cepat.Syok dapat terjadi
meskipun tekanan darah normal dan hipotensi dapat terjadi tanpa terjadinya

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


121
hipoperfusi.Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul
akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang masif,
trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau
emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok
septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons
imun (syok anafilaktik. Jika hal ini berlanjut maka akan terjadi hipoksia
jaringan, pembentukan asam laktat akibat metabolisme anaerob yang dapat
menyebabkan kerusakan organ.

2. Manifestasi Klinik
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan
atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
 Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
 Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
 Luka bakar ( Combustio) dan anafilaksis.

3. Tahapan Syok
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat
keseriusan, menurut Guyton, (1997) syok dibagi dalam tiga tahap utama yaitu :
 Tahap nonprogresif (atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi
sirkulasi normal akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu
terapi dari luar.
 Tahap progresif, ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
 Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga
semua bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita,
meskipun pada saat itu, orang tersebut masih hidup.

4. Tanda – Tanda Syok


Tanda – tanda syok :
 Nadi cepat dan halus (> 100x/mnt)
 Menurunnya tekanan darah (diastolik < 60 mmHg)
 Pernafasan cepat (respirasi >32x/mnt)
 Pucat (terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir)
 Berkeringat, gelisah, apatis / binggung atau pingsan / tidak sadar

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


122
Tabel : Kategori Syok Hipovolemik

Class I Class II Class III Class IV

Blood Loss < 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 > 2000 ml


% < 15 % (15-30 %) ml > 40 %
(30-40 %)
HR (b/min) Normal or > 100 > 120 > 140
minimally ↑

Ventilatory Normal 20 – 30 30 – 40 > 35


R.
(breath/min)
SBP Normal Normal Decreased Greatly
Decreased

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


123
Urine Output Normal 20 – 30 5 – 15 Minimal
(ml/hr)

Tabel : Tipe Syok Hipovolemik

5. Pengelolaan
Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien :
 Nilai kegawatdaruratan dengan melakukan pemeriksaan tanda vital
 Cegah hipotermia dan miringkan kepala / tubuh pasien untuk mencegah aspirasi
muntahan. Jangan berikan sesuatu melalui mulut untuk mencegah aspirasi
 Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen melalui slang atau masker dengan
kecepatan 6 – 8 liter permenit
 Tinggikan tungkai untuk membantu beban kerja jantung. Bila setelah posisi
tersebut ternyata pasien menjadi sesak atau mengalami edema paru, maka
kembalikan tungkai pada posisi semula dan tinggikan tubuh atas untuk
mengurangi tekanan hidrostatik paru.
Bila hingga langkah akhir tersebut diatas, ternyata tak tampak secara jelas
perbaikan kondisi pasien atau minimnya ketersediaan pasokan cairan dan medika
mentosa atau adanya gangguan fungsi peralatan yang dibutuhkan bagi upaya
pertolongan lanjutan, sebaiknya pasien dipindahkan ke ruangan perawatan intensif
atau dipersiapkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

b. Prinsip penanganan syok selanjutnya adalah :


1. Stabilisasi Pasien
Stabilisasi dan mmerujuk secara tepat waktu dengan kondisi optimal akan
sangat membantu pasien untuk ditangani secara adekuat dan efektif. Dalam sistem
pelayanan kegawatdaruratan dan rujukan antar fasilitas, seharusnya sudah tersedia
perangkat dan mekanisme operasional yang jelas antar unsur yang terlibat. Fasilitas
kesehatan primer akan merujuk pasien ke RS rujukan. Tetapi pada kota – kota besar,
mungkin saja terjadi rujukan antar Puskesmas, RS ataupun diantara pusat – pusat
rujukan. Apapun mekanisme yang terjadi, semua unsur yang terlibat, seharusnya

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


124
mampu untuk membawa pasien ke fasilitas rujukan yang dituju agar mendapatkan
pertolongan yang sangat vital dalam menyelamatkan jiwa pasien.

 Elemen penting dalam stabilisasi pasien :


 Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan sistem respirasi dan sirkulasi
 Menghentikan sumber perdarahan atau infeksi
 Mengganti cairan tubuh yang hilang
 Mengatasi rasa nyeri atau gelisah.
2. Terapi cairan
 Infus
Pada kebanyakan kasus gawatdarurat, pasien – pasien memerlukan infus
untuk mengganti cairan yang hilang. Larutan isotonik yang dianjurkan adalah RL
dan NaCL fisiologis atau garam fisiologis (normal saline). Larutan glukosa tidak
dapat menggantikan garam atau elektrolit yang dibutuhkan selama penggantian
cairan yang hilang.
Untuk pemberian cairan infus yang harus diperhatikan :
 Jumlah cairan yang akan diberikan
 Lamanya pemberian perunit cairan
 Ukuran atau diameter jarum (no.16 – 18) dan kecepatan tetesan.
Jumlah permililiter tetesan bervariasi antara 10 – 20 tetes permenit
Saat jarum infus dimasukkan, segera ambil spesimen darah untuk
pemeriksaan kadar Hb , golongna darah atau pemeriksaan lab lainnya. Bila pasien
mengalami syok, pemasangan infus dan pengambilan spesimen darah sulit
dilakukan (perlu vena seksi). Pengukuran Hb darah kapiler (ujung jari) pasien
yang mengalami syok hasinya sangat tidak akurat.
Pada kasus syok hipovolemik yang diakibatkan oleh perdarahan, berikan 500-
1000 ml cairan isotonik dalam 15-20 mnt pertama. Stabilisasi umumnya terjadi
setelah 1-3 liter cairan infus diberikan. Setelah stabilisasi tercapai maka
kecepatan cairan infus diatur menjadi tetesan pemeliharaan ( 1L dalam 6-8 jam).
Dalam terapi cairan, perlu dipantau tentang keseimbangan cairan. Apabila
terjadi pembengkakan atau oedem pada kaki, tangan, muka, mungkin hal ini
diakibatkan oleh kelebihan cairan, hal ini dapat pula dinilai dari terjadinya sesak
nafas atau bising nafas yang abnormal (ronkhi basah difuse)

Tabel : Kecepatan Pemberian Cairan Infus

Jumlah Waktu Pemberian Tetes Permililiter Tetes Permenit


Cairan
1 Liter 20 menit 10 Tidak dapat
dihitung
1 Liter 20 menit 20 Tidak dapat
dihitung
1 Liter 4 jam 10 40
1 Liter 4 jam 20 80
1 Liter 6 jam 10 28
1 Liter 6 jam 20 56
1 Liter 8 jam 10 20
1 Liter 8 jam 20 40

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


125
Rumus kecepatan cairan infus :
Jumlah cairan yang dibutuhkan (mililiter)/waktu pemberian (menit)xjumlah tetes
permililiter=jumlah tetes permenit

1000 cc X 10 tetes per = 41,47 atau 40 tetes per


Contoh :
4 jam x 60 mnt mililiter menit

Pada kenyataannya, seorang wanita sehat, masih dapat bertahan (tanpa


penggantian darah melalui transfusi) apabila kehilangan darah hingga 20% atau
1000 ml, dari total darah noraml (5000ml). Kehilangan hingga 30%, dapat diatasi
dengan cairan pengganti plasma. Transfusi darah dibutuhkan bila darah yang
keluar melebihi 30% dari total jumlah darah didalam tubuh. Pada perdarahan
masif, jumlah darah yang keluar dalam waktu kurang dari 3 jam, dapat mencapai
lebih dari 50% jumlah total cairan darah.

3. Transfusi Darah
Transfusi darah untuk mengganti sejumlah darah yang hilang akibat
perdarahan, dapat menyelamatkan pasien dari kematian. Sebaliknya, pada beberapa
kasus, transfusi darah dapat pula menimbulkan komplikasi yang fatal. Oleh sebab
itu, pemberian transfusi darah harus melalui serangkaian proses yang teliti dan
pertimbangan yang matang. Sebaiknya setiap fasilitas rujukan, mempunyai
pelayanan transfusi darah.

Transfusi darah juga memiliki resiko, diantaranya adalah :


 Transfusi penyakit, misalnya hepatitis B dan AIDS
 Reaksi immunitas yang menyebabkan gangguan atau penghancuran eritrosit
sistem yang normal didalm tubuh (misalnya hemolisis intravaskuler)
 Pembebanan sistem sirkulasi darah
Kesesuaian penggunaan cairan dan produk darah didefinisikan sebagai
pemberian darah yang aman (kesesuaian golongan, resiko rendah terhadap reaksi
inkompatibilitas dn bebas dari potensi transmisi penyakit) dan ditujukan terhadap
kondisi yang dapat menimbulkan morbiditas atau mortalitas dimana darah
merupakan pilihan utama untuk mengatasi kondisi tersebut.

Kondisi yang memerlukan trasfusi darah, diantaranya adalah :


 Perdarahan pascapersalinan yang disertai dengan syok
 Kehilangan banyak darah selama prosedur operasi
 Anemia berat (yang disertai gejala dekompensasi kordis) pada akhir masa
kehamilan.

4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit,
golongan darah, uji padanan silang (crossmatch) dan bila tersedia, periksa gas dan
nitrogen urea darah. Ukur jumlah dan produksi urine, produksi dibawah 50ml/jam
menunjukkan hipovolemia.
5. Antibiotika
Bila terdapat tanda – tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret
bau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotk spektrum luas.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


126
4.8 Penanganan Preeklampsia dan eklampsia
TEKANAN DARAH Penilaian Klinik

MENINGKAT NORMAL

TD ≥ 140/90 mmHg

GEJALA /TANDA LAIN


GEJALA /TANDA LAIN

Nyeri kepala dan/ atau Demam Nyeri kepala

gangguan penglihatan Nyeri kepala Gangguan penglihatan


dan/atau hiperrefleksia
dan/atau Kaku Kuduk + Muntah

proteinuria dan/atau koma Disorientasi Riwayat gelaja serupa


Kejang Trismus
Riwayat kejang Mig
Spasme
+
Mala otot muka raine
Demam – ria
Cere
Kaku kuduk – Tetanus
bral
Epilepsi

Hamil < 20 mgg Hamil > 20 mgg

Hipertensi Superimposed Kejang - Kejang +


Kronik Preeklampsia

Hipertensi Preeklampsia Preeklampsia Eklampsia


Ringan Berat

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


127
Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam penanganan hipertensi dalam Kehamilan,
karena tekanan diastolik mengukur tekanan darah perifer dan tidak tergantung pada keadaan
emosional pasien.
 Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada 2 kali pengukuran
berjarak 1 jam atau lebih.
 Hipertensi dalam kehamilan dibagi dalam :
- Hipertensi dalam kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama kali sesudah kehamilan 20
mgg, selama persalinan dan/atau dalam 48 jam post partum
- Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum kehamilan 20 minggu.

1. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Terdapat empat jenis penyakit hipertensi, antara lain:
a. Hipertensi kronik, dengan kriteria :
 Tekanan darah >140/90 mm/Hg sebelum hamil, atau
 Didiagnosa sebelum usia gestasi 20 minggu , atau
 Bila terdapat hipertensi didiagnosa setelah usia gestasi 20 minggu dan persisten 12
minggu setelah melahirkan.
b. Hipertensi gestasional, dengan kriteria :
 Tekanan darah >140/90mm/Hg untuk pertama kalinya ketika hamil,
 Tidak terdapat proteinuria, dan
 Tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu setelah melahirkan.

2. Pre eklampsia-eklampsia dengan kriteria :


 Tekanan darah >140/90 mm/Hg setelah usia gestasi 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal, dan
 Adanya proteinuria (0,3 gr protein dalam specimen urin dalam 24 jam).
 Sedangkan eklampsia didefinisikan sebagai kejang yang tidak dapat dihubungkan dengan
kasus lain pada wanita dengan preeklampsia.
a. Superimposed Pre eclampsia (pre eklampsia pada pengidap hipertensi kronis,) dengan
gejala yaitu onset baru proteinuria dengan jumlah proteinuria > 300 mg/24 jam pada ibu
hamil dengan hipertensi, tetapi tidak ada proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


128
Pengelolaan Pre eklampsia-eklampsia
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Preeklampsia Preeklampsia Eklampsia Hipertensi

Ringan Berat Kronik

Istirahat MgSO4 MgSO4 Cari Penyebab SLE,


Diabetes
Kendalikan TD Turunkan TD Turunkan TD

Rawat Inap

Terminasi Kehamilan
dalam 6 jam

HELLP <35 mgg >35 mgg Terapi + Kendalikan


Gawat janin tensi 140/90

PJT

Terkendali Tak
Steroid
Terkendali

Terminasi Terminasi Terminasi

Terkendali Tak
terkendali

Aterm Aterm Terminasi

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


129
3. Pengertian Pre Eklamsia dan Eklamsia
Pre eklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan, bahkan setelah 24 jam post partum.Sebelumnya, edema
termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis pre eklampsia, namun sekarang
tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil
umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis
pembuluh darah.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain.
Kenaikan tekanan sistolik > 30 mmHg dari nilai normal atau mencapai 140
mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik > 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg
dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang
kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+
atau 2+ atau 1gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter
atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai
tanda yang serius.
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-
eklampsia, namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di
jaringan tubuh harus tetap diwaspadai.Edema dapat menyebabkan kenaikan berat
badan tubuh.Normalnya, wanita hamil mengalami kenaikan berat badan sekitar
0.5 kg per minggu.Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu
dicurigai timbulnya pre-eklampsia.

4. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa
faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah:
a. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan
terjadinya Preeklampsia.Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan
Molahidatidosa.Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa
keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.
b. Faktor Imunologik
Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya,
pembentukan “Blocking Antibodies”akan lebih banyak akibat respon
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.
c. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan
Aldosteronantagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron
yangmenyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi hipertensi dan
edema

d. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Pre eklampsia/ eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


130
menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:

a. Pre eklampsia hanya terjadi pada manusia.


b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.
e. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang
mengandungasam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai
precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin
Refraktoriness” yang memicu terjadinya pre eklampsia.
f. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada
endotelvaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2)
yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan
fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombinakan
mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin.Aktivasi
trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) danserotonin,
sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
5. Tanda dan Gejala
Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satu atau
lebih dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini:
1. Pre eklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai kenaikan
tekanan darah sistolik 140/90 mm/Hg atau kenaikan diastolik 15 mm/Hg atau
lebih, atau kenaikan sistolik 30 mm/Hg atau setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal dan adanya proteinuria kuantitatif >3 gr
per liter atau kuantitatif 1+ atau 2+ padaurin kateter atau midstream.
2. Pre eklamsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertaikenaikan
tekanan darah 160/110 mm/Hg atau lebih, adanya proteiunuria 5 gr atau lebih
per liter dalam 24 jam atau kuantitatif 3+atau kuantitatif 4+, adanya oliguria
(jumlah urin kurang dari 500 cc per jam, adanya gangguan serebral,
gangguan penglihatan, rasa nyeri diepigastrium, adanya tanda sianosis, edema
paru, trombositopeni, gangguan fungsi hati, serta yang terakhir adalah
pertumbuhan janin terhambat.
Diagnosis banding preeklampsia berat , yaitu:
a. Kehamilan dengan sindrom nefrotik
b. Kehamilan dengan payah jantung
c. Hipertensi Kronis
d. Penyakit Ginjal
e. Edema Kehamilan
f. Proteinuria Kehamilan.
3. Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul dengan
koma
6. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kejang eklampsia mencakup:
1. Fase pramonotoris: kedutan-kedutan pada otot-otot kecil, otot wajah dan
memutarnya bola mata

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


131
2. Fase tonik: otot-otot sadar masuk ke dalam keadaan kontraksi tetanik
termasuk otot-otot interkostal dan diafragma dengan pernafasan yang tidak
memadai, serta sianosis.
3. Fase klonik: otot-otot secara kuat berkontraksi dan berelaksasi. Kontraksi
dapat bertahan selama satu menit. Bersifat kuat dan lidah dapat tergigit jika
tidak dilindungi.
4. Koma: terjadi bersamaan dengan respirasi dangkal yang cepat dan kelelahan
yang jelas.
5. Setelah koma: pasien dapat mengalami kejang yang lain atau sadar kembali.

7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diketahui:
1. Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
2. Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya
retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
3. Edema pada pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan yang
memberat
4. Peningkatan berat badan lebih dari 500 gr per minggu atau peningkatan berat
badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.

8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu:
1. Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
2. Hipofibrinogenemia
3. Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal
hati pada penderita pre-eklampsia.
4. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
5. Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi.Perdarahan
pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawatyang menunjukkan
adanya apopleksia serebri.
6. Edema paru
7. Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme
arteriolumum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama
denganenzim.
8. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
9. Prematuritas
10. Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.Bisa
juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
11. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila
telahmencapai tahap eklampsia.

9. Pengelolaan
a. Pre eklampsia berat
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre
eklampsia berat selama perawatan, maka pengelolaan dilakukan dengan
perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi, ditambah
pengobatan medicinal.
Perawatan aktif yang dilakukan dengan indikasi :
1) Kehamilan aterm ( > 37 minggu), adanya gejala-gejala impending
eklampsia, perawatan konservatif gagal (6 jam setelah pengobatan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
132
medisinal terjadi kenaikan TD, 24 jam setelah pengobatan medisinal
gejala tidak berubah).
2) Adanya tanda-tanda gawat janin, adanya pertumbuhan janin terhambat
dalam rahim
Pengobatan Medisinal
1) Anti kejang: Sulfas Magnesikus (MgSO4), dengan memperhatikan
protokol pemberiannya.
2) Diazepam, digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian
MgSO4 tidak dipenuhi.
3) Diuretik, diberikan bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka, serta kelainan fungsi ginjal.
4) Anti hipertensi, dengan indikasi bila TD sistolik >160 mmHg, diastolik >
110 mmHg.
5) Kardiotonika, dengan indikasi bila ada tanda-tanda menjurus payah
jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid.
6) Lain-lain :
 Konsul bagian penyakit dalam/jantung, dan mata.
 Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,50 C.
 Antibiotik diberikan atas indikasi.
 Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi
uterus.
 Anti Agregasi Platelet.

10. Penatalaksanaan Eklampsia


a. Prinsip pengobatan:
1) Menghentikan dan mencegah kejang-kejang
2) Memperbaiki keadaan umum ibu/janin seoptimal mungkin
3) Mencegah komplikasi
4) Terminasi kehamilan/ persalinan dengan trauma seminimal mungkin pada
ibu.
Pengobatan
1) Anti Kejang
2) Mencegah komplikasi
a) Obat-obat antihipertensi
b) Diuretika
c) Kardiotonika
d) Antibiotika
e) Antipiretika
3) Penanganan pada edema paru akut
4) Terminasi kehamilan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


133
PENUNTUN BELAJAR UNTUK
PENGELOLAAN PREEKLAMPSIA BERAT/EKLAMPSIA
LANGKAH/TUGAS PENGAMATAN
PERSIAPAN
1 Sapa ibu dengan ramah dan sopan
2 Beritahukan pada ibu apa yang akan dikerjakan dan berikan
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
3 Dengarkan apa yang disampaikan oleh ibu
4 Berikan dukungan emosional dan jaminan pelayanan
PENGELOLAAN SEGERA
5 Mintalah bantuan pada yang lain
6 Baringkan ibu pada sisi kiri untuk mengurangi aspirasi ludah,
muntahan dan darah
7 Pastikan bahwa jalan nafas ibu terbuka, bila ibu tidak bernafas
segera lakukan resusitasi
8 Berikan O2 4-6 liter/menit melalui sungkup atau kanula
9 Bila ibu kejang :
* Lindungi dari risiko jatuh dengan fiksasi
* Isap lendir mulut dan tenggorokan sesuai kebutuhan
10 Pasang infus IV dengan menggunakan larutan RL atau Glukosa
5%
11 Lakukan pemeriksaan pembekuan darah
PENGOBATAN ANTI KEJANG (MAGNESIUM
SULFAT/MgSO4)
1 Cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, keringkan
dengan handuk kering dan bersih atau pengering udara
2 Beritahu bahwa ibu akan merasakan panas pada saat MgSO4
diberikan
Alternatif 1
3 Berikan 4 gr MgSO4 (10ml) larutan 40% IV secara perlahan
selama 5 menit
4 Segera dilanjutkan dengan 6 gr MgSO4 40% (15ml) dalam
larutan Ringer Asetat/RL selama 6 jam
5 Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 gr MgSO4
(10ml) larutan 40% IV secara perlahan selama 5 menit
6 MgSO4 1 gr/jam
Alternatif 2
7 Berikan 4 gr MgSO4 (10ml) larutan 40% IV secara perlahan
selama 5 menit
8 Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 gr IM bokong kiri/kanan dengan
1 ml Lignokain (dalam spuit yang sama)
9 Apabila kejang berulang setelah 15 menit:
* Ambil 2 gr MgSO4 40% (5 ml)
* Berikan melalui suntikan IV secara perlahan selama 5 menit
PEMBERIAN DOSIS PEMELIHARAAN MgSO4

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


134
10 Masukkan 6 gr MgSO4 40% (15ml) dalam larutan Ringer
Asetat/RL selama 6 jam, yang diberikan sampai 24 jam post
partum
11 Awasi:
a. Kesadaran, TD, Nadi dan Nafas tiap 30 menit
b. Produksi urin tiap 2 jam
c. DJJ tiap 30 menit
12 Bila terjadi henti nafas :
* Bebaskan jalan nafas
* Berikan Kalsium Glukonat 1 gr (10 ml dari larutan 10%)
melalui suntikan IV perlahan sampai terjadi pernafasan spontan
Pemantauan Keracunan MgSO4
1 Hitung nafas selama satu menit tiap jam
2 Periksa reflek patella tiap jam
3 Pasang DC dan ukur volume urin tiap 4 jam
4 Catat pemberian obat dan temuan dalam CM untuk ibu
PENGOBATAN DIAZEPAM UNTUK PENCEGAHAN KEJANG
Perhatian: Hanya boleh diberikan bila tidak tersedia MgSO4
1 Cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, keringkan
dengan handuk kering dan bersih atau pengering udara
2 Ambil 10 mg Diazepam
3 Berikan injeksi IV perlahan selama 2 menit
4 Bila digunakan alat suntik pemakaian ulang (non disposibe
syringe), isap larutan klorin 0.5% sampai memenuhi tabung
suntik dan rendam dalam larutan klorin 0.5% selama 10 menit
untuk tindakan dekontaminasi
5 Bila gunakan disposible spuit, buang dalam tempat sampah yang
tahan tusukan
6 Cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, keringkan
dengan handuk kering dan bersih atau pengering udara
7 Apabila kejang berulang, berikan suntikan ulangan dosis awal
Diazepam
Pemberian Dosis Pemeliharaan untuk Diazepam
1 Berikan Diazepam injeksi 40 mg dalam 500 ml larutan NaCl
0.9% atau RL dengan tetesan 15 tetes/menit
2 Bila terjadi depresi pernafasan (dapat terjadi pada dosis melebihi
30 mg dalam 1 jam), bebaskan jalan nafas.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


135
4.8 Penanganan kegawatdaruratan neonatal
1. Asfixia Pada Neonatal
a. Penanganan Asfixia pada Neonatal
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan
mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan
gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi
kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan Normal,
2007).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
scr spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan
bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro,
1999).

b. Etiologi / Penyebab Asfiksia


Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang.
Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut
menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini :
 Faktor ibu
 Pre eklampsia dan eklampsia
 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
 Faktor Tali Pusat
 Lilitan tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat
 Faktor Bayi
 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
 Kelainan bawaan (kongenital)
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi
untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka
hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya
tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau
(sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena
itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan
persalinan.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


136
Pada asfiksia terjadi gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan
asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis
respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an
aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama
pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan
ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam, 1998).

c. Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia


 Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
 Warna kulit kebiruan
 Kejang
 Penurunan kesadaran.

d. Diagnosis Asfiksia
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /
hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan
dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan
lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin
mungkin disertai asfiksia
e. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda
penting, yaitu :
1. Penafasan
2. Denyut jantung
3. Warna kulit
Nilai agar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


137
menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera
ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan
positif (VTP).

Tabel : Penilaian Apgar Skor

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


138
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
139
Tabel : Nilai Apgar Score
Tanda 0 1 2
Denyut jantung (pulse) Tidak ada Lambat < 100 >100
Lambat, tidak Menangis dengan
Usaha nafas (respisration) Tidak ada
teratur keras
Fleksi pada
Tonus otot (activity) Lemah Gerakan aktif
ekstremitas
Kepekaan reflek (gremace) Tidak ada Merintih Menangis kuat
Tubuh merah muda, Seluruhnya
Warna (apperence) Biru pucat
ekstremitas biru merah muda
Klasifikasi :
a. Asfiksia ringan (apgar skor 7-10)
b. Asfiksia sedang (apgar skor 4-6)
c. Asfiksia berat (apgar skor 0-3)

f. Persiapan Alat Resusitasi


Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
1. Helai kain / handuk.
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur
posisi kepala bayi.
3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
5. Kotak alat resusitasi.
6. Jam atau pencatat waktu.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


140
g. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
 Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
 Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
 Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
 Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
 Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ET dan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
 Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
 Kompresi dada.
 Pengobatan

LANGKAH AWAL RESUSITASI --> H-A-I-K-A-L


1. HANGATKAN BAYI.
Letakkan bayi dengan posisi terlentang di bawah lampu pemanas, pertahankan
selimut yang melingkupi tubuh bayi
2. ATUR POSISI BAYI.
Posisikan kepala dan leher bayi dengan posisi setengah ekstensi untuk membuka
jalan nafas dengan mengganjal bahu bayi dengan lipatan kain
3. ISAP LENDIR
Lakukan pengisapan lendir, dengan menggunakan pengisap lendir De Lee terlebih
dahulu pengisapan lendir pada mulut (< 5cm), setelah itu pada hidung (< 3 cm)
4. KERINGKAN BAYI
Keringkan tubuh bayi dan lakukan rangsangan taktil dengan memberikan sedikit
tekanan mulai dari muka, kepala ke seluruh tubuh bayi. Gunakan telapak tangan
untuk menggosok punggung, perut dan dada.
5. ATUR KEMBALI POSISI BAYI DAN BUNGKUS BAYI
Ganti kain yang basah dengan kain yang baru yang bersih, kering dan hangat.
Selimuti bayi dengan kain tersebut, biarkan bagian muka dan dada sedikit terbuka
untuk memberi keleluasaan bernafas dan memantau gerakan dada. Atur kembali
posisi kepala bayi pada posisi setengah ekstensi.
6. LAKUKAN PENILAIAN
Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6
detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika
merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung
< 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
 Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
 Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2100 % melalui
ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak
menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut,
kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
 Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan
10.
a. 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
b. 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


141
c. 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai
kompresi jantung.
d. < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
e. Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara
kompresi jantung :
 Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain
mengelilingi tubuh bayi.
 Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan
belakang tubuh bayi.
f. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
g. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV
sampai denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
h. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin
1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
i. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
j. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis
diatas tiap 3 – 5 menit.
k. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak
rewspon terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan
dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007).

h. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif,
kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a) Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
b) Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minimum antara lain :
 Alat pemanas siap pakai – Oksigen
 Alat pengisap
 Alat sungkup dan balon resusitasi
 Alat intubasi
 Obat-obatan

i. Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :


 Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
merupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
 Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang
harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien.
 Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai
suatu tim yang terkoordinasi.
 Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
 Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap
pakai.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


142
2. Infeksi Neonatal / Sepsis Neonatorum
a. Pengertian Infeksi Neonatal / Sepsis Neonatorum
Suatu sindroma respon inflamasi janin/FIRS disertai gejala klinis infeksi yang
diakibatkan adanya kuman di dalam darah pada neonatus. Sepsis neonatorum dapat
dikategorikan sebagai awal-awal atau akhir-onset. Bayi baru lahir dengan awal
sepsis, sebagian besar atau 85% terjadi dalam waktu 24 jam, 5% timbul pada 24-48
jam, dan persentase yang lebih kecil terjadi dalam 48-72 jam. Onset yang paling
cepat pada neonatus prematur.

b. Pembagian Sepsis berdasarkan waktu


 Early Onset (dini) : terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi
klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama
mengenai system saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok.
 Late Onset (lambat) : timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis
sering disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
143
 Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi
yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
Awal-awal sepsis dikaitkan dengan perolehan mikroorganisme dari ibu. Infeksi
transplasenta atau infeksi menaik dari leher rahim dapat disebabkan oleh organisme
yang menjajah genitourinari ibu (GU) saluran, neonate memperoleh mikroorganisme
saat melewati jalan lahir dijajah saat melahirkan. Mikroorganisme yang paling sering
dikaitkan dengan awal-awal infeksi termasuk : Grup B Streptococcus (GBS),
Escherichia coli, Koagulase-negatif Staphylococcus, Haemophilus influenzae dan
Listeria monocytogenes.

c. Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum :


 Antenatal : paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending
melalui cairan amnion, adanya paparan terhadap mikroorganisme dari traktur
urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental).
 Selama persalinan : trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau
tindakan obstetri yang invasif.
 Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu
bayi ke bayi yang lain, ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang
kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman melalui umbilicus, permukaan
mukosa, mata, kulit.

d. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinis dari sepsis neonatorum tidak spesifik dan berkaitan dengan
sifat organisme penyebab dan respon tubuh terhadap invasi. Tanda-tanda klinis
nonspesifik sepsis awal juga dikaitkan dengan penyakit neonatal lainnya, seperti
sindrom gangguan pernapasan (RDS), gangguan metabolik, perdarahan intrakranial,
dan pengiriman traumatis. Dalam pandangan nonspecificity dari tanda-tanda ini,
adalah bijaksana untuk memberikan pengobatan untuk sepsis neonatorum tersangka
sementara tidak termasuk proses penyakit lainnya.
Untuk memperoleh informasi yang paling dari pemeriksaan, penilaian fisik
sistematis bayi yang terbaik dilakukan dalam serangkaian yang harus mencakup
observasi, auskultasi, dan palpasi, dalam urutan itu. Perubahan temuan dari satu
pemeriksaan ke yang berikutnya memberikan informasi penting tentang keberadaan
dan evolusi sepsis.
1. Pneumonia bawaan dan infeksi intrauterine
Lesi inflamasi yang diamati post mortem di paru-paru bayi dengan
pneumonia kongenital dan intrauterin. Mereka dapat mengakibatkan tidak dari
aksi mikroorganisme sendiri, melainkan, dari aspirasi cairan ketuban yang
mengandung leukosit ibu dan puing-puing selular. Takipnea, pernapasan tidak
teratur, retraksi moderat, apnea, sianosis, dan mendengus dapat diamati.
Neonatus dengan pneumonia intrauterin mungkin juga sakit kritis saat lahir dan
memerlukan tingkat tinggi dukungan ventilasi. The rontgen dada dapat
menggambarkan konsolidasi bilateral atau efusi pleura.

2. Pneumonia bawaan dan infeksi intrapartum


Neonatus yang terinfeksi selama proses kelahiran bisa memperoleh
pneumonia melalui aspirasi mikroorganisme selama pengiriman. Spesies
Klebsiella dan Staphylococcus S terutama mungkin untuk menghasilkan
kerusakan paru-paru yang parah, mikroabses memproduksi dan empiema. Awal-
awal pneumonia GBS memiliki lapangan sangat fulminan, dengan kematian yang
signifikan dalam 48 jam pertama kehidupan. Aspirasi intrapartum dapat
menyebabkan infeksi dengan perubahan paru, infiltrasi, dan kerusakan jaringan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
144
bronkopulmonalis. Kerusakan ini sebagian disebabkan oleh pelepasan granulosit
‘dari prostaglandin dan leukotrien. Eksudasi fibrinosa ke alveoli menyebabkan
penghambatan fungsi surfaktan paru dan kegagalan pernafasan, dengan
presentasi yang mirip dengan RDS. Kemacetan vaskular, perdarahan, dan
nekrosis mungkin terjadi. Pneumonia menular juga ditandai dengan
pneumatoceles dalam jaringan paru. Batuk, merintih, retraksi suprasternal dan
sternalis, napas cuping hidung, tachypnea atau respirasi tidak teratur, rales,
penurunan suara napas, dan sianosis dapat diamati. Evaluasi radiografik dapat
menunjukkan atelektasis segmental atau lobar atau pola reticulogranular difus,
seperti apa yang diamati di RDS. Efusi pleura dapat diamati pada penyakit lanjut.

3. Infeksi Setelah Melahirkan


Pneumonia postnatal diperoleh dapat terjadi pada semua usia. Karena agen
infeksius yang ada di lingkungan, penyebab kemungkinan sangat bergantung
pada lingkungan baru bayi. Jika bayi tetap dirawat di unit perawatan intensif
neonatal (NICU), terutama dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik,
organisme mungkin termasuk Staphylococcus atau spesies Pseudomonas. Selain
itu, organisme ini didapat di rumah sakit sering menunjukkan resistensi
antibiotik ganda. Oleh karena itu, pilihan agen antibiotik dalam kasus seperti itu
membutuhkan pengetahuan tentang organisme penyebab kemungkinan dan
antibiotik-perlawanan lokal pola.

4. Manifestasi Jantung
Pada sepsis yang berat, fase awal awal ditandai dengan hipertensi paru,
penurunan curah jantung, hipoksemia dan mungkin terjadi. Fase ini diikuti oleh
penurunan progresif lanjut curah jantung dengan bradikardia dan hipotensi
sistemik. Bayi memanifestasikan kejutan jelas dengan pucat, perfusi kapiler
yang buruk, dan edema. Tanda-tanda akhir dari kejutan adalah indikasi
kompromi parah dan sangat terkait dengan kematian.

5. Manifestasi Metabolik
Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan penyakit kuning
semua tanda-tanda metabolik yang sering menyertai sepsis neonatorum. Bayi
memiliki kebutuhan glukosa meningkat sebagai akibat dari keadaan septik. Bayi
mungkin juga kurang gizi sebagai akibat dari asupan energi berkurang.
Hipoglikemia disertai dengan hipotensi mungkin menjadi sekunder untuk respon
yang memadai dari kelenjar adrenal dan mungkin terkait dengan tingkat kortisol
yang rendah. Asidosis metabolik disebabkan oleh konversi ke metabolisme
anaerobik dengan produksi asam laktat. Ketika bayi yang hipotermia atau tidak
disimpan dalam lingkungan termal netral, upaya untuk mengatur suhu tubuh
dapat menyebabkan asidosis metabolik. Jaundice terjadi dalam menanggapi
glucuronidation hati menurun disebabkan oleh disfungsi baik hati dan kerusakan
eritrosit meningkat.

6. Tanda neurologi
Meningitis adalah manifestasi umum dari infeksi SSP. Fitur histologis akut
dan kronis yang berhubungan dengan organisme tertentu. Meningitis karena
awal-awal sepsis neonatorum biasanya terjadi dalam waktu 24-48 jam dan
didominasi oleh tanda-tanda nonneurologic. Tanda-tanda neurologis mungkin
termasuk stupor dan mudah tersinggung. Tanda-tanda yang jelas dari meningitis
terjadi pada hanya 30% kasus. Bahkan budaya terbukti meningitis tidak mungkin
menunjukkan sel darah putih (WBC) perubahan dalam cairan cerebrospinal
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
145
(CSF). Meningitis karena akhir-onset penyakit lebih mungkin untuk
menunjukkan tanda-tanda neurologis (80-90%), namun, banyak dari temuan
pemeriksaan fisik yang halus atau tanpa gejala. Tanda-tanda neurologis meliputi:
Penurunan kesadaran (yaitu, pingsan dengan atau tanpa lekas marah), Koma,
Kejang, anterior fontanel Menggembung. Ekstensor kaku, tanda Focal serebral,
tanda Kranial saraf , kaku kuduk

7. Ketidakstabilan suhu diamati dengan sepsis neonatal dan meningitis,


baik dalam menanggapi pirogen disekresikan oleh organisme bakteri atau
dari ketidakstabilan sistem saraf simpatik. Neonatus adalah paling mungkin
hipotermia. Bayi juga mungkin mengalami penurunan nada, lesu, dan nafsu
makan. Tanda-tanda neurologis hiperaktivitas lebih mungkin ketika akhir-onset
meningitis terjadi.

e. Tanda dan gejala Umum


 Suhu tubuh tidak stabil ( 37,5 0C)
 Laju nadi > 180 x/menit atau 60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi
oksigen,apnea atau laju nafas 10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia (<
2,5 mmol/L atau < 45 mg/dl)
 Intoleransi minum
 Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
 Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
 Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia 3 detik

f. Diagnosis Sepsis Neonatorum


 FIRS/SIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon
inflamasi janin).
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau < 30
x/menit atau apnea dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh
tidak stabil ( 37,50C), waktu pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit 34.000 x
109/L.
 Terduga/Suspek Sepsis
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
 Terbukti/Proven Sepsis
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia/kultur darah
positif.

g. Laboratorium
 Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
 Leukopenia ( 10%
 Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T
ratio > 0,2
 Trombositopenia 10 mg/dl atau 2 SD dari normal

h. Diagnosa Banding
 Bowel Obstruction in the Newborn
 Congenital Diaphragmatic Hernia
 Congenital Pneumonia
 Heart Failure, Congestive
 Hemolytic Disease of Newborn
 Meconium Aspiration Syndrome
 Necrotizing Enterocolitis

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


146
 Pericarditis, Bacterial
 Pulmonary Hypoplasia
 Respiratory Distress Syndrome
i. Komplikasi
 Sepsis berat : sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
 Syok sepsis : sepsis berat disertai hipotensi
 Sindroma disfungsi multiorgan (MODS)

j. Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum


 Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24
jam i.v (dibagi 2 dosis untuk neonatus umur 7 hari dibagi 3 dosis), dan
Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2
dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila
diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian ½ sampai 1 jam pelan-
pelan).
 Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine,
lengkap, feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas
indikasi), pungsi lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia,
pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).
 Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah,
analisa gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
 Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi,
pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika
diberhentikan pada hari ke-7.
 Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi,
CRP tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis
atau Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin
dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v i.m (atas indikasi khusus). Pemberian
antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21
hari.
 Pengobatan suportif meliputi :
 Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik
asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit,
terapi kejang, transfusi tukar.

3. Kejang pada Bayi Baru Lahir


a. Kejang pada bayi baru lahir
 adalah kejang yang terjadi pada bayi sampai dengan usia 28 hari
 Kejang pada BBL merupakan keadaan darurat karena kejang merupakan suatu
tanda adanya penyakit sistem sayarf pusat (SSP), kelainan metabolik atau
penyakit lain.
 Sering tidak dikenali karena berbeda dengan kejang pada anak
 Kejang umum tonik klonik jarang terjadi pada BBL
 Kejang berulang menyebabkan berkurangnya oksigenisasi, ventilasi dan nutrisi
otak

b. Manifestasi pada bayi baru lahir


1. Kejang tersamar
 Hampir tidak terlihat
 Menggambarkan perubahan tingkah laku

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


147
 Bentuk kejang :
o Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai
o Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba menghisap,
mengunyah, menelan, menguap
o Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak mata
berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata
o Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh pada
anggota gerak atas dan bawah
o Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea
o Untuk memastikan : pemeriksaan EEG
Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai
Kejang Klonik
 Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran
 Dapat disebabkan trauma fokal
 BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG, pemeriksaan
kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak, kemungkinan infark
serebri
 Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi cukup
bulan dengan BB>2500 gram
 Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang
berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang klonik lengan
kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan.
Kejang Tonik
 Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan pada
bayi dengan komplikasi perinatal berat
 Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas, pergerakan
tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai, menyerupai sikap
deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi.
Kejang Mioklonik
 Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro
Gemetar
 Sering membingungkan
 Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular)
 Gerakan tremor cepat
 Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola mata
 Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak timbul
dengan perangsangan
 Gerakan dominan adalah gerakan tremor
 Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan
melakukan fleksi anggota gerak
Apnea
 Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-6 detik,
sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik
 Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung, tekanan
darah, suhu badan, warna kulit

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


148
 Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum
sempurnanya pusat pernafasan di batang otak
 Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR dicurigai
adanya perdarahan intracranial
 Perlu pemeriksaan USG

a. Etiologi
 Kejang bayi dengan asfiksia disertai oleh hipoglikemia, hipokalsemia,
perdarahan intracranial, edema otak
 Pada bayi cukup bualn penyebab kejang yang terjadi
o 48 jam pertama : asfiksia, trauma lahir, hipoglikemia
o Antara hari ke 5-ke 7 : hipokalsemia yang terjadi bukan karena
komplikasi
o Antara hari ke 7-ke 10 : infeksi, kelainan genetik
b. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan gula darah, elektrolit darah, AGD, darah tepi, lumbal pungsi
 EKG
 EEG
 Biakan darah
 Titer untuk toksoplasmosis, rubela, citomegalovirus, herpes
 Foto rontgen kepala
 USG kepala
c. Penanganan
Prinsip tindakan untuk mengatasi kejang
 Menjaga jalan nafas tetap bebas
 Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang
 Mengobati penyebab kejang
Penanganan kejang pada BBL
 Bayi diletakan dalam tempat hangat, pastikan bayi tidak kedinginan, suhu
dipertahankan 36,5-37ᴼC
 Jalan nafas dibersihkan dengan tindakan penghisapan lendir diseputar
mulut, hisung dan nasofaring
 Pada bayi apnea, pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan alat Bag to
Mouth Face Mask oksigen 2 liter/menit
 Infus
 Obat antispasmodik/anti kejang : diazepam 0,5 mg/kg/supp/im setiap 2
menit sampai kejang teratasi dan luminal 30 mg im/iv
 Nilai kondisi bayi tiap 15 menit
 Bila kejang teratasi berikan cairan infus dextrose 10% dengan tetesan
60ml/kgBB/hr
 Cari faktor penyebab
o Apakah mungkin bayi dilahirkan dari ibu DM
o Apakah mungkin bayi prematur
o Apakah mungkin bayi mengalami asfiksia
o Apakah mungkin ibu bayi emnghisap narkotika
o Kejang sudah teratasi, diambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium
untuk mencari faktor penyebab, misalnya : darah tepi, elektrolit darah,
gula darah, kimia darah, kultur darah, pemeriksaan TORCH
o Kecurigaan kearah sepsis (pemeriksaan pungsi lumbal)
o Kejang berulang, diazepam dapat diberikan sampai 2 kali

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


149
 Masih kejang : dilantin 1,5 mg/kgBB sebagai bolus iv diteruskan dalam
dosis 20 mg iv setiap 12 jam
 Belum teratasi : phenytoin 15 mg/kgBB iv dilanjutkan 2 mg/kg tiap 12 jam
 Hipokalsemia (hasil lab kalsium darah <8mg%) : diberi kalsium glukonas
10% 2 ml/kg dalam waktu 5-10 menit . apabila belum juga teratasi diberi
pyridoxin 25-50 mg
 Hipoglikemia (hasil lab dextrosit/gula darah < 40 mg%) : diberi infus
dextrose 10%

4.9 Management bblr


Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram
tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu)
jam setelah lahir. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor
ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,
kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.

1. Bayi dengan berat lahir 1.750 – 2.499 gram


Bayi dengan berat lahir > 2.250 gram umumnya cukup kuat untuk mulai minum
sesudah dilahirkan. Jaga bayi tetap hangat dan kontrol infeksi, tidak ada perawatan
khusus.
Sebagian bayi dengan berat lahir 1.750 – 2.250 gram mungkin perlu perawatan ekstra,
tetapi dapat secara normal bersama ibunya untuk diberi minum dan kehangatan, terutama
jika kontak kulit-ke-kulit dapat dijaga.
a. Pemberian Minum
Mulailah memberikan ASI dalam 1 jam sesudah kelahiran. Kebanyakan bayi
mampu mengisap. Bayi yang dapat mengisap harus diberi ASI. Bayi yang tidak bisa
menyusu harus diberi ASI perah dengan cangkir dan sendok. Ketika bayi mengisap
dari puting dengan baik dan berat badan bertambah, kurangi pemberian minum
melalui sendok dan cangkir.
Periksalah bayi sekurangnya dua kali sehari untuk menilai kemampuan minum,
asupan cairan, adanya suatu Tanda Bahaya atau tanda-tanda adanya infeksi bakteri
berat. Jika terdapat salah satu tanda ini, lakukan pemantauan ketat di tempat
perawatan bayi baru lahir seperti yang dilakukan pada Berat Bayi Lahir Sangat
Rendah (BBLSR).
Resiko merawat anak di rumah sakit (misalnya mendapat infeksi nosokomial),
harus seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari perawatan yang lebih baik.

2. Bayi dengan berat lahir di bawah 1.750 gram


Bayi-bayi ini berisiko untuk hipotermia, apnu, hipoksemia, sepsis, intoleransi
minum dan enterokolitis nekrotikan. Semakin kecil bayi semakin tinggi resiko. Semua
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) harus dikirim ke Perawatan Khusus atau Unit
Neonatal.
a. Tatalaksana
Beri oksigen melalui pipa nasal atau nasal prongs jika terdapat salah satu tanda
hipoksemia
b. Suhu
 Lakukanlah perawatan kulit-ke-kulit di antara kedua payudara ibu atau beri
pakaian di ruangan yang hangat atau dalam humidicrib jika staf telah
berpengalaman dalam menggunakannya. Jika tidak ada penghangat bertenaga
listrik, botol air panas yang dibungkus dengan handuk bermanfaat untuk menjaga
bayi tetap hangat. Pertahankan suhu inti tubuh sekitar 36,5 – 37,5° C dengan kaki
tetap hangat dan berwarna kemerahan.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
150
c. Cairan dan pemberian minum
 Jika mungkin berikan cairan IV 60 mL/kg/hari selama hari pertama kehidupan.
 Sebaiknya gunakan paediatric (100 mL) intravenous burette: dengan 60 tetes = 1
mL sehingga, 1 tetes per menit = 1 mL per jam. Jika bayi sehat dan aktif, beri 2-4
mL ASI perah setiap 2 jam melalui pipa lambung, tergantung berat badan bayi.
 Bayi sangat kecil yang ditempatkan di bawah pemancar panas atau terapi sinar
memerlukan lebih banyak cairan dibandingkan dengan volume biasa. Lakukan
perawatan hati-hati agar pemberian cairan IV dapat akurat karena kelebihan
cairan dapat berakibat fatal.
 Jika mungkin, periksa glukosa darah setiap 6 jam hingga pemberian minum
enteral dimulai, terutama jika bayi mengalami apnu, letargi atau kejang. Bayi
mungkin memerlukan larutan glukosa 10%.
 Mulai berikan minum jika kondisi bayi stabil (biasanya pada hari ke-2, pada bayi
yang lebih matur mungkin pada hari ke-1). Pemberian minum dimulai jika perut
tidak distensi dan lembut, terdapat bising usus, telah keluar mekonium dan tidak
terdapat apnu.
 Gunakan tabel minum.
 Hitung jumlah minum dan waktu pemberiannya.
 Jika toleransi minum baik, tingkatkan kebutuhan per hari.
 Pemberian susu dimulai dengan 2-4 mL setiap 1-2 jam melalui pipa lambung.
 Beberapa BBLSR yang aktif dapat minum dengan cangkir dan sendok atau pipet
steril. Gunakan hanya ASI jika mungkin. Jika volume 2-4 mL dapat diterima
tanpa muntah, distensi perut atau retensi lambung lebih dari setengah yang
diminum, volume dapat ditingkatkan sebanyak 1-2 mL per minum setiap hari.
Kurangi atau hentikan minum jika terdapat tanda-tanda toleransi yang buruk. Jika
target pemberian minum dapat dicapai dalam 5-7 hari pertama, tetesan IV dapat
dilepas untuk menghindari infeksi.
 Minum dapat ditingkatkan selama 2 minggu pertama kehidupan hingga 150-180
mL/kg/hari (minum 19-23 ml setiap 3 jam untuk bayi 1 kg dan 28-34 mL untuk
bayi 1,5 kg). Setelah bayi tumbuh, hitung kembali volume minum berdasarkan
berat badan terakhir.
d. Antibiotika dan Sepsis
 Faktor-faktor risiko sepsis adalah: bayi yang dilahirkan di luar rumah sakit atau
dilahirkan dari ibu yang tidak sehat, pecah ketuban >18 jam, bayi kecil
(mendekati 1 kg).
 Jika terdapat salah satu Tanda Bahaya atau tanda lain infeksi bakteri berat
mulailah pemberian antibiotik.

3. Apnea
 Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu dan bila perlu rangsang pernapasan
bayi dengan mengusap dada atau punggung. Jika gagal, lakukan resusitasi dengan
balon dan sungkup.
 Jika bayi mengalami episode apnu lebih dari sekali dan atau sampai membutuhkan
resusitasi berikan sitrat kafein atau aminofilin.
 Kafein lebih dipilih jika tersedia. Dosis awal sitrat kafein adalah 20 mg/ kg oral atau
IV (berikan secara lambat selama 30 menit). Dosis rumatan sesuai anjuran.
 Jika kafein tidak tersedia, berikan dosis awal aminofilin 10 mg/kg secara oral atau IV
selama 15-30 menit. Dosis rumatan sesuai anjuran.
Jika monitor apnu tersedia, maka alat ini harus digunakan

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


151
4. Pemulangan dan pemantauan BBLR
BBLR dapat dipulangkan apabila :
 Tidak terdapat Tanda Bahaya atau tanda infeksi berat.
 Berat badan bertambah hanya dengan ASI.
 Suhu tubuh bertahan pada kisaran normal (36-37°C) dengan pakaian terbuka.
 Ibu yakin dan mampu merawatnya.
BBLR harus diberi semua vaksin yang dijadwalkan pada saat lahir dan jika ada dosis
kedua pada saat akan dipulangkan.

5. Konseling pada saat BBLR pulang


Lakukan konseling pada orang tua sebelum bayi pulang mengenai :
 pemberian ASI eksklusif
 menjaga bayi tetap hangat
 tanda bahaya untuk mencari pertolongan
Timbang berat badan, nilai minum dan kesehatan secara umum setiap minggu hingga
berat badan bayi mencapai 2,5 kg

6. PERAWATAN METODE KANGURU (PMK)


BBLR membutuhkan bantuan dan waktu untuk penyesuaian
kehidupan di luar rahim. Mereka juga memerlukan bantuan
untuk tetap hangat dan mendapatkan ASI yang cukup untuk
tumbuh. Satu cara untuk menolong bayi mendapatkan
kebutuhan ini adalah menjaga bayi tetap kontak kulit dengan
kulit ibunya.

Perawatan metode kanguru adalah suatu cara agar BBLR terpenuhi


kebutuhan khusus mereka terutama dalam mempertahankan kehangatan suhu
tubuh. Untuk melakukan PMK, tentukan bayi memiliki berat lahir <2500 gram, tanpa
masalah/komplikasi.
1. Butir untuk diingat, diperhatikan dan dilaksanakan:
 Perawatan metode kanguru adalah suatu cara perawatan untuk BBLR yang
sederhana dan mudah dikerjakan di mana saja dengan mendekap bayi agar kulit
bayi bersentuhan langsung dengan kulit ibu.
 Kontak kulit bayi dengan ibu dapat mempertahankan suhu bayi, mencegah bayi
kedinginan
 Keuntungan untuk bayi: bayi menjadi hangat, bayi lebih sering menetek,
banyak tidur dan tidak rewel, sehingga kenaikan berat badan lebih cepat
 Keuntungan untuk ibu: hubungan kasih sayang lebih erat dan ibu bisa bekerja
sambil menggendong bayinya.

1. Syarat melakukan PMK :


 Bayi tidak mengalami Kesulitan Bernapas
 Bayi tidak mengalami Kesulitan Minum
 Bayi tidak Kejang
 Bayi tidak Diare
Ibu dan keluarga bersedia dan tidak sedang sakit, maka Lakukan PMK untuk
menghangatkan bayi bila memenuhi syarat diatas. Metoda kanguru sangat baik

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


152
dilakukan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan. Metoda ini berguna untuk
mempercepat terjadinya kestabilan suhu tubuh dan merangsang bayi baru lahir
segera mengisap puting payudara ibu.

2. Pelaksanaan PMK memiliki 4 komponen :


 Posisi
 Nutrisi
 Dukungan
 Pemantauan

a. Posisi Melakukan Perawatan Metode Kanguru (PMK)
Bayi telanjang dada (hanya memakai popok,topi, kaus tangan, kaus
kaki), diletakkan telungkup di dada dengan posisi tegak atau diagonal.
Tubuh bayi menempel/kontak langsung dengan ibu. Atur posisi kepala, leher
dan badan dengan baik untuk menghindari terhalangnya jalan napas. Kepala
menoleh ke samping di bawah dagu ibu (ekstensi ringan). Tangan dan kaki
bayi dalam keadaan fleksi seperti posisi “katak”

Kemudian “fiksasi” dengan selendang

Ibu mengenakan pakaian/blus longgar sehingga bayi berada dalam 1


pakaian dengan ibu.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


153
Jika perlu, gunakan selimut.

Selain ibu, ayah dan anggota keluarga lain bisa melakukan metoda
kanguru

.
Sumber gambar: WHO & UNICEF dan Beck et al, 2004.

b. Nutrisi
Selama pelaksanaan PMK, BBLR hanya diberikan ASI. Melalui PMK
akan mendukung dan mempromosikan pemberian ASI eksklusif, karena ibu
menjadi lebih cepat tanggap bila bayi ingin menyusu. Bayi bisa menyusu
lebih lama dan lebih sering. Bila bayi dibawa ke fasilitas kesehatan dan bayi
tidak mampu menelan ASI dapat dilakukan pemasangan Oro Gastric Tube
(OGT) untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

c. Dukungan
Keluarga memberikan dukungan pada ibu dan bayi untuk pelaksanaan
perawatan metoda kanguru. Di fasilitas kesehatan , pelaksanaan PMK akan
dibantu oleh petugas kesehatan.

d. Pemantauan
BBLR yang dirawat di fasilitas kesehatan yang dapat dipulangkan lebih
cepat (berat < 2000 gram) harus dipantau untuk tumbuh kembangnya.
Apabila didapatkan tanda bahaya harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
lebih lengkap.
Kunjungi BBLR minimal dua kali dalam minggu pertama, dan selanjutnya
sekali dalam setiap minggu sampai berat bayi 2500 gram.

3. Hal - hal yang perlu dipantau selama PMK:


 Pastikan suhu aksila normal (36,5 – 37,5 ° C )
 Pastikan pernapasan normal (30-60 X/menit)
 Pastikan tidak ada tanda bahaya

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


154
 Pastikan bayi mendapatkan ASI yang cukup (minimal menyusu tiap 2 jam)
Pastikan pertumbuhan dan perkembangan baik (berat badan akan turun pada
minggu pertama antara 10-15%, pertambahan berat badan pada minggu kedua
15g/KgBB/hari).

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


155
BAB 5
PENUTUP

1. Pada akhir pelatihan ini peserta diwajibkan untuk mengikuti tahapan – tahapan :
a. Materi dikelas selama 2 hari, Demonstrasi, dan Pembelajaran Praktik Skill
b. Skill station di lakukan selama 1 hari
c. Bimbingan skill station dibagi dalam :
1. Transportasi dan Stabilisasi
2. Balut Bidai pada Trauma Maternal – Neonatal
3. Airway - Breathing - Circulation
4. RJP Pasien Dewasa
5. RJP Maternal – Neonatal
6. DC Shock
7. Vacum Aspirasi manual
8. Compresi Bimanual
9. Pemasangan Kondom Kateter
10. Perawatan Metode Kanguru pada BBLR
11. Menolong Persalinan dengan Distosia Bahu
d. Gladi lapangan dilakukan untuk melihat kemampuan peserta dalam mengaplikasikan
teori dan praktik
e. Proses penilaian / evaluasi dilakukan dengan ujian teori dan praktek mengacu pada NBL
teori (70) dan praktek (75)
f. Sertifikasi diberikan kepada peserta yang memenuhi standar nilai yang ditentukan dan
kehadiran dikelas.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


156
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Sepsis. Akses internet di http://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-


1uyr3qilmiahpopular.doc

American College of Surgeon Committee of Trauma. 2004. Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition. Indonesia: Ikabi

Bobak, 2004. Keperawatn maternitas ed.EGC:Jakarta

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan, Edisi 31. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Jual. 1998. Buku Saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,
Edisi 6. Jakarta: EGC

Catherino, Jeffrey M. 2003. Emergency Medicine Handbook. USA: Lipipincott Williams

Dazspecta. 2012. Resusitasi Jantung Paru pada Bayi, Anak, dan Dewasa. Diambil pada 9 Juli
2013 Jam 09.00 di http://thefuturisticlovers.wordpress.com/2012/03/18/kgd-i-resusitasi-
jantung-paru-pada-bayi-anak-dan-dewasa/.

Dorland. 2002. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC

JMS 119, 2013. Buku panduan Pelatihan PPGD, Jakarta: JMS

Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta :
EGC

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. FKUI: Media Aesculapius

Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak ed.15 vol.I .EGC:Jakarta

Scheets, Lynda J. 2002. Panduan Belajar Keperawatan Emergency. Jakarta: EGC

Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH. Seattle : 2002.

Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
Jakarta: EGC.

Testa, A.Paul. 2008. Abdominal Trauma. Internet:


(http://emedicine.medscape.com/article/overview).Diakses pada tanggal 28 Juli 2008

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


157
WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : Manual Removal. of Placenta.
Disitasi tanggal 22 September 2008 dari:
http://www.who.int/reproductivehealth/impac/Procedures/ Manual_removal_P77_P79.html.
[update : 2003].

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Syok Hemoragika dan Syok Septik. Dalam : Ilmu

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri. Dalam : Ilmu
Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.

Yani, Sufi. 2012. Resusitasi Jantung Paru Anestesi. Diambil pada 9 Juli 2013 Jam 09. 20
dhttp://www.scribd.com/doc/79280894/resusitasi-jantung-paru-anestesi.

Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan


158

Anda mungkin juga menyukai