PENDAHULUAN
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadi mendadak mengakibatkan seseorang atau
banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti pertolongan secara
cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan
mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Kegawatdaruratan maternal – neonatal merupakan suatu keadaan yang terjadi mendadak Pre –
intra – post natal pada seorang Ibu dan bayinya akibat suatu kecelakaan, ataupun suatu proses
perjalan penyakit
Basic Trauma – Cardio Maternal Neonatal merupakan perlakuan sementara / dasar yang
diberikan pada seorang ibu dan bayi yang mengalami kecelakaan atau sakit mendadak sebelum
pertolongan definitive oleh dokter dapat diberikan/ dilakukan pencegahan agar tidak terjadi
cedera yang lebih parah.
Seseorang yang berhenti bernafas akan berakibat kematian,seperti diketahui bahwa di dalam
tubuh terdapat berbagai macam organ, dan semua organ dibentuk oleh sel-sel, untuk dapat hidup
maka semua sel-sel tersebut membutuhkan oksigen, dan kematian akan timbulk bila sel-sel tidak
mendapatkan oksigen. Tanda-tanda pada kematian biologis dan mati klinis dapat dilihat pada
bahasan berikut :
a. Mati Klinis
Penderita dinyatakan mati klinis apabila henti nafas dan henti jantung. Waktunya 6-8 menit
setelah berhentinya pernafasan dan sirkulasi. Kematian klinis masih reversibel dilakukan BLS
(Basic Life Support).
b. Mati Biologis
Kerusakan sel otak dimulai 6-8 menit setelah berhentinya pernafasan dan sirkulasi. Setelah 10
menit biasanya sudah terjadi kematian biologis. Apabila BLS (Basic Life Support) dilakukan
cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari seperti tampak tabel dibawah ini
KETERLAMBATAN KEMUNGKINAN BERHASIL
1 Menit 98%
4 Menit 50%
10 Menit 1%
Melihat data diatas, maka menolong korban pada menit-menit pertama sangatlah diperlukan.
Kalau dahulu kala konsep pertolongan pertama pada korban senantiasa dilakukan di UGD, akan
tetapi jika melihat statistik waktu diatas, maka kita harus memberikan pertolongan pertama
terhadap korban pada 10 menit pertama.
Usaha untuk memberikan pertolongan pertama pada korban oleh tenaga kesehatan tidaklah
mudah, mengingat jarak dan waktu tempuh ke tempat kejadian pasti banyak kendalanya. Maka
dibutuhkan orang yang dapat menempuh waktu tersebut dan segera memberikan pertolongan
pertama pada korban. Secara nyata hanya masyarakat sekitar korbanlah yang mempunyai
kemungkinan untuk mencapai waktu pendek tersebut. Oleh karena itu maka sudah sewajarnya
bahwa cara menolong korban dalam keadaan gawat darurat harus di ajarkan kepada masyarakat
luas termasuk orang yang bekerja di bagian safety.
Cara yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami
keadaan yang mengancam nyawa dikenal sebagai basic life support
Rujukan Neonatal
Rujukan yang dilakukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas kesehatan
rujukan atau yang memiliki sarana lebih lengkap diharapkan mampu menyelamatkan
jiwa para ibu dan bayi baru lahir.
a) Perhatikan regionalisasi Rujukan Perinatal dalam menentukan tujuan rujukan,
sehingga dapat merujuk dengan cepat, aman dan benar
b) Puskesmas merupakan penyaring kasus risiko yang perlu dirujuk sesuai dengan
besaran risiko, jarak dan faktor lainnya
c) Memberi informasi kesehatan dan prognosis bayinya dan melibatkan orangtua atau
keluarga dalam mengambil keputusan untuk merujuk
d) Melengkapi syarat- syarat rujukan (persetujuan tindakan, surat rujukan, catatan
medis). Untuk kasus tertentu kadang diperlukan sampel darah ibu.
d Bebaskan jalan napas. Tengadahkan kepala ibu ke belakang (head tilt) dan angkat
dagu (chin lift). Bersihkan benda asing di jalan napas.
e Bila ada sumbatan benda padat di jalan napas, sapu keluar dengan jari atau lakukan
dorongan pada dada di bagian tengah sternum (chest thrust). Hindari menekan
prosesus xifoideus
g Jika ibu tidak bernapas atau bernapas tidak normal, periksa pulsasi arteri karotis
dengan cepat (tidak lebih dari 10 detik).
h Bila nadi teraba namun ibu tidak bernapas atau megap-megap (gasping), berikan
bantuan napas (ventilasi) menggunakan balon-sungkup atau melalui mulut ke mulut
dengan menggunakan alas (seperti kain, kasa) sebanyak satu kali setiap 5-6 detik.
Pastikan volume napas buatan cukup sehingga pengembangan dada terlihat. Cek nadi
arteri karotis tiap 2 menit.
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 14
Gambar : Bantuan Napas Mulut ke Mulut
5) Pasang kanul intravena (2 jalur bila mungkin) menggunakan jarum ukuran besar
(no. 16 atau 18 atau ukuran terbesar yang tersedia) dan berikan cairan sesuai
kondisi ibu.
j Tindakan resusitasi kardiopulmoner diteruskan hingga:
1) Tim yang lebih terlatih untuk menangani henti nafas dan henti jantung telah datang
dan mengambil alih tindakan, ATAU
2) Tidak didapatkannya respon setelah 30 menit, ATAU
3) Penolong kelelahan, ATAU
Ibu menunjukkan tanda-tanda kembalinya kesadaran, misalnya batuk, membuka
mata, berbicara atau bergerak secara sadar DAN mulai bernapas normal. Pada
keadaan tersebut, lanjutkan tatalaksana dengan:
a) Berikan oksigen
b) Pasang kanul intravena (bila sebelumnya tidak berhasil dilakukan) dan berikan
cairan sesuai kondisi ibu
c) Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap bernapas
normal.
k Setelah masalah jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi teratasi, pikirkan dan evaluasi
kemungkinan penyebab hilangnya kesadaran ibu, di antaranya:
1) perdarahan hebat (paling sering)
2) penyakit tromboemboli
3) penyakit jantung
4) sepsis
5) keracunan obat (contoh: magnesium sulfat, anestesi lokal)
6) eklampsia
7) perdarahan intrakranial
8) anafilaktik
9) gangguan metabolik/elektrolit (contoh: hipoglikemia)
10) hipoksia karena gangguan jalan napas dan/atau penyakit paru
l Lakukan pemeriksaan lanjutan, misalnya USG abdomen untuk melihat perdarahan
intra abdomen tersembunyi.
m Atasi penyebab penurunan kesadaran atau rujuk bila fasilitas tidak memungkinkan
d. Resusitasi jantung paru pada neonatal
a. Pengertian Resusitasi
Resusitasi ( respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. (Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002)
Resusitasi adalah pernafasan dengan menerapkan masase jantung dan pernafasan
buatan.(Kamus Kedokteran, Edisi 2000).
PERSIAPAN PENOLONG
5. Perslapan Diri
a. Cuci tang an dengan baik dan benar
b. Gunakan sarung tangan
c. Pakai gaun dan masker
Catatan: Paling sedikit tersedia satu penolong terampil resusitasi BEL
dikamar bersalin dan dua asisten tindakan resusitasi darurat
PROSEDUR LANGKAH AWAL
6. Menilai Keadaan Bayi dengan menjawab 4 pertanyaan:
a Apakah bersih dari mekonium ?
b Apakah bayi bernapas atau menangis ?
c Apakab tonus otot baik ?
d Apakah bayi cukup bulan?
1) Bila semua jawabannya Ya, bayi dirawat rutin saja
2) Bila satu atau lebih jawaban Tidak, bayi perlu tindakan lanjut,
yaitu : Langkah Awal Resusitasi
3) Bila bayi bernapas/menangis tetapi sianosis, bayi diberi O2
aliran bebas sambi! melakukan Langkah Awal
7. Urutan Langkah Awal:
a. Menghangatkan bayi
b. Memposisikan kepala
c. Menghisap lendir
d. Mengeringkan sambil melakukan rangsang taktil
e. Memposisikan kembalikepala bayi
f. Menilai bayi
MENGHANGATKAN BAYI
8. Menghangatkan Bayi dengan Cara:
a. Ditempatkan dibawah pemancar panas (bila tersedia) yang telah
diaktifkan sehingga bayi menjadi hangat,
b. Diterima dengan menggunakan kain bersih dan hangat
c. Menggunakan kain kering dan panas, kemudian bungkus dan
pakaikan topi bayi (jangan biarkan bayi telanjang)
d. Sungkup:
1) Harus dipilih sungkup dengan ukuran yang tepat, vaitu dapat :
menutupi dagu, mulut dan hidung bayi, tetapi tidak menutupi
mata. Sungkup yang terlalu lebar dapat merusak mata. Sungkup
yang terlalu sempit tidak menutupi mulut dan hidung
2) Ada 2 jenis tepi sungkup; yaitu yang mempunyai tepi dengan
bantalan dan tanpa bantalan.
3) Dipilih sungkup bertepi dengan bantalan karena memberi
keuntungan:
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 26
KASUS
LANGKAH TUGAS
1 2 3 4 5
a) Tepi sungkup lebih mudah disesuaikan dengan muka bayi,
sehingga lebih mudah melekat
b) Tidak memerlukan tekanan yang terlalu tinggi agar melekat
.(2014). Materi Pelatihan PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat) : Buku Teknik
Medis 1. Surabaya. Bidang Pendidikan dan Pelatihan Persatuan Perawat Nasional
Indonesia PPNI Provinsi Jawa Timur.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.
02.02/MENKES/148/1/2010, tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Kartikawati, Dewi. (2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Salemba
Medika. Jakarta.
Kemenkes No. 145/Menkes/SK/I/2007
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Krisanty P, Santa Manurung, Saratun, Wartonah, Mamah S., Ermawati, Rohimah, Santun S.
(2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV. Trans Info Media. Jakarta
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dasar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Subagjo, Agus, dkk. (2013). Bantuan Hidup Jantung Dsar ; BCLS (Basic Cardiac Life Support)
Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
Sumijatun. (2010). Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.
Jakarta,
WHO Media Centre, 2013, Cardiovascular Disease (CVDs), Updated March 2013, dilihat 04
Februari 2014, <http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/>
World Health Organization. (2005). Emergency Triage Assessment and Treatment (ETAT).
Switzerland. WHO Press.
Yahya, A. Fauzi, 2010, Menaklukkan Pembunuh No. 1: Mencegah Dan Mengatasi Penyakit
Jantung Koroner Secara Tepat Dan Cepat, Bandung, Qanita.
3.1 Pendahuluan
Trauma maternal – neonatal merupakan cedera/rudapaksa pada Ibu hamil dan bayi baru
lahir. Trauma pada Ibu Hamil trauma ini mampu menyebabkan kematian pada janin dan
pada Bayi baru lahir dapat menyebabkan pasien cacat seumur hidupnya. Trauma ini mampu
menyebabkan kematian apabila sampai terlambat penangananya.
3.2 Tujuan
a. Tujuan Intruksional Umum
Setelah menyelesaikan pelatihan ini diharapkan peserta dapat memberikan
pertolongan pada Trauma Maternal - Neonatal.
b. Tujuan Intruksional Khusus
1. Dapat memahami biomekanik trauma
2. Dapat melakukan pertolongan pada trauma pada kehamilan
3. Dapat melakukan pertolongan pada trauma bayi baru lahir
d. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi menggunakan sabuk
pengaman jarang sekali terdapat cedera yang serius, lain halnya dengan kendaraan
yang terguling ( roll over ) apalagi yang tidak memakai sabuk pengaman bisa
mengakibatkan cedera di semua bagian ( multi trauma ). Dalam menangani kasus –
kasus seperti ini harus lebih hati – hati karena semua bagian bisa ada cederanya baik
kelihatan maupun tidak kelihatan. Yang harus di waspadai cedera tulang belakang
dan cedera organ dalam.
i. Penatalaksanaan Perawatan
Kondisi wanita merupakan perhatian utama. Cedera yang dia dapat menentukan
tipe dan luas pengkajian yang akan dilakuakn. Perhatian pertama difokuskan pada
ABC dasar : jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Abdomen wanita dikaji untuk
melihat adanya ruptur uterus dan aktivitas uterus. Janin kemudian dikaji untuk
diketahui denyut jantung dan aktivitasnya. Pengkajian kesehatan secara individual
dilakukan dengan catatan prenatal wanita ditinjau kembali, jika tersedia.
Temuan akibat cedera harus dibedakan dari perubahan fisiologis normal selama
masa hamil. Tanda ruptur organ yang umum, misalnya, guarding, nyeri tekan yang
kuat, dan kekakuan ( rigiditas ), mungkin hany amerupakan respon terhadap
peregangan dinding abdomen. Apabila wanita diperiksa dalam posisi supine, ia akan
mengalami hipotensi dan nilai sistoliknya 80 mm Hg. Mengubah posisi wanita ke
posisi lateral atau mengubah posisi janin meningkatkan nilai sistolik sampai lebih
dari 100 mg Hg. Abdomen yang tenang, suatu tanda trauma usus, dapar merupaka
temuan normal akibat penurunan motilitas yang terjadi selama hamil. Waktu
pengosongan lambung yang tertunda selama masa hamil. Waktu pengosongan
lambung, yang tertunda selama masa hamil, merupakan ancaman terjadinya vomitus
dan kemungkinan aspirasi, jika wanita baru makan dalam beberapa jam terakhir.
Selama hamil, wanita dapat mengalami kehilangan darah yang signifikan (
penurunan volume darah sirkulasi sekitar 30% ) tanpa disertai tanda dan gejala
hipovalemia yang biasa. Ukuran pembuluh darah pelvis ( arteri retroperitonel dan
parametrial ) menungkat selama masa hamil, sehingga pembuluh darah tersebut lebih
mudah mengalami kerusakan dan berpotensi mengalami ruptur. Uterus yang besar
dapat menyekat dan menyembunyikan hemoragi yang berasal dari hati dan limpa.
Denyut yang cepat hanya mencerminkan peningkatan yang biasa, yakni 10 sampai 15
kali / menit atau hal itu dapat merupakan tanda hipovolemia.
Penatalaksanaan dalam Perawatan adalah sebagai berikut :
1. Kateter kandung kemih yang dipasang untuk darinase memfasilitasi
penatalaksanaan terapi cairan dan membantu menegakkan diagnosa. Misalnya,
kesulitan dalam memasukkan kateter menunjukkan disturb uretra dan
hematuriamenunjukkan ruptur kandung kemih. Kateter juga memungkinkan
akses untuk pemeriksaan sinr – X sistogram retrograde.
2. Hemoragi intraperitoneal harus dideteksi. Radiologi, ultrasound waktu-nyata
(real – time),dan pemindai computed tomography merupakan modalitas
diagnostik yang bermanfaat. Dokter memasang kateter lavage peritoneal untuk
mendeteksi hemoragi intraperotonel. Prosedur dilakukan melalui insisi kecil ke
dalam peritoneum, sementara wanita di bawah pengaruh anastesi lokal. Hasil tes
positif untuk perdarahan, jika aspirasi yang dihasilkan melebihi 10 ml darah
bukan bekuan atau jika, setelah insisi 1 liter larutan Ringer laktat, cairan yang
mengandung darah kembali pulih. Pemeriksaan radiografi diprlukan untuk
mengarahkan penatalaksanaan.
3. Selang nasogastrik diinseris jika diindikasikan karen awaktu pengososngan
lambung yang tertunda dan peningkatan waktu transit usus halus meningkatkan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 43
resiko vomitus dan aspirasi. Perawatan mulut dan tindakan untuk menenagkan
klien dilakukan untuk mengatasi setiap iritasi yang dibabkan oleh selang. Cairan
dan penggantian elektrolit dilakukan dan dipantau. Kebutuhan oksigen dipenuhi
j. Uterus Pasca Traumatik dan Surveilen janin
Apabila kondisi ibu telah stabil, perhatian difokuskan pada upaya memantau
janin dan memantau persalinan prematur dan abrupsio plasenta. Biasanya jika terjadi,
komplikasi ini terjadi dalam 24 sampai 48 jam setelah kecelakaan ( Smith, Phelan,
1991 ). Ruptur uterus dapat terjadi pada tempat jaringa parut terdahulu atau pada
tempat implantasi, yang dilemahkan oleh peningkatan vaskularisasi di tempat
tersebut. Dorongan isi uterus ke dalam kavum abdomen dapat terjadi dan biasanya
diikuti oleh hemoragi masif.
2. Fraktur Pelvis
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan
dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis.
Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua
persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis.
Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk
mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum
sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang
melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)
dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih
panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)
dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh
kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum
sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan
aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini,
bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada
pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus
sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke
crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus
lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (Gambar 1 )
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang
terletak pada dinding dalam pelvis
1. Evaluasi Pasien
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi
karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang
menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen,
kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien
dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera
muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan
dengan cedera pleksus lumbosacralis.
Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan
pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu,
termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah,
seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola
gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada
evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan
manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan
pernafasan.
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult
Respiratory Distress Syndrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait
dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi
hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik
terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab
tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi
hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau
kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan
tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya
tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri
glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga
sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera
CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua
vektor tekanan terpisah.
3. Metode Penatalaksanaan
a) Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatka
n aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST
membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun
masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas
telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
c) Fiksasi Eksternal
1. Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi
pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan
kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II),
reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal.
Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open
book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa
membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat
meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan
tulang kasar.
2. C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala
ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior
telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan
d) Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik
ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan
bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman
ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri.
Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan
retroperitoneal – telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi
kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5).
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan 50
Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh
untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan
mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan
retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan
hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting.
Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan
darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika
balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi
e) Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge)
kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang
penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau
lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan
darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah
tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di
crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit;
namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor
lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa
resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak
untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya
sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan
kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non
crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya
respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang
c. Brachialis palsi
1. Pengertian
Kelumpuhan pada fleksus brachialis.
2. Penyebab
Tarikan lateral pada kepala dan leher pada waktu melahirkan bahu
presentasi kepala
Apabilah dengan entensi melewati kepala pada presentasi bokong atau
terjadi tarikan yang berlebihan pada bahu
3. Gejala
Gangguan motorik lengan atas
Lengan atas dalam kedudukan ekstansi dan abduksi
Jika anak diangkat maka lengan akan lemas tergantung
Refleks moro negatif
Hiperekstensi dan fleksi pada jari-jari
Refleks meraih dengan tangan tidak ada
Paralisis dari lengan atas dan lengan bawah
“Gejala-gejala tersebut tergantung besar kecilnya kelumpuhan”
b. Sefalohematoma
Sefalohematoma merupakan suatu perdarahan subperiostal tulang tengkorak
berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melewati sutura.
Sefalohematoma timbul pada persalinan dengan tindakan seperti tarikan vakum atau
cunam, bahkan dapat pula terjadi pada kelahiran sungsang yang mengalami
kesukaran melahirkan kepala bayi. Akibatnya timbul timbunan darah di daerah
subperiost yang dari luar terlihat sebagian benjolan. Secara klinis benjolan
Sefalohematoma benbentuk benjolan difus, berbatas tegas, tidak melampaui sutura
karena periost tulang berakhir di sutura. Pada perabaan teraba adanya fluktuasi
karena merupakan suatu timbunan darah yang letaknya dirongga subperiost yang
terjadi ini sifatnya perlahan-lahan benjolan timbul biasanya baru tampak jelas
beberapa jam setelah bayi lahir (umur 6 – 8 jam) dan dapat membesar sampai hari
kedua atau ketiga. Sefalohematoma biasanya tampak di daerah tulang perietal,
kadang-kadang ditemukan ditulang frontal. Benjolan hematoma sefal dapat bersifat
soliter atau multipel. Sefalohematoma pada umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus. Biasanya mengalami resolusi sendiri dalam 2 – 8 minggu tergantung dari
c. Perdarahan Subafoneurosis
Perdarahan subafoneurosis merupakan perdarahan masif dalam jaringan lunak di
bawah lapisan aponeurosis epikranial. Trauma lahir ini sering disebut pula sebagai
“hematoma sefal subaponeurosis”. Perdarahan ini disebabkan karena pecahnya
pembuluh vena emisaria. Perdarahan timbul secara perlahan dan mengisi ruang
jaringan yang luas, sehingga benjolan trauma lahir ini biasanya baru terlihat setelah
24 jam sampai hari kedua pasca lahir. Pada perdarahan yang cepat dan luas, benjolan
dapat teraba 12 jam setelah bayi lahir. Pada umumnya bayi lahir dengan letak kepala
yang tidak normal atau kelahiran dengan tindakan misalnya tarikan vakum berat.
Pada benjolan yang luas perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan sistem
pembekuan. Bayi perlu mendapat vitamin K. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah perdarahan yang luas. Dalam keadaan ini mungkin dapat timbul renjatan
akibat perdarahan. Pengobatan dalam keadaan ini berupa pemberian transfusi darah.
Komplikasi lain adalah kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia akibat resorpsi
timbunan darah.
Gambar : Cephalhematoma
4.1 Pendahuluan
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadi mendadak mengakibatkan seseorang
atau banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti pertolongan
secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka
korban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Kegawatdaruratan maternal – neonatal merupakan suatu keadaan yang terjadi
mendadak Pre – intra – post natal pada seorang Ibu dan bayinya akibat suatu kecelakaan,
ataupun suatu proses perjalan penyakit.
4.2 Tujuan
a. Tujuan Intruksional Umum
Setelah menyelesaikan pelatihan ini diharapkan peserta dapat memberikan
pertolongan kegawatdaruratan maternal neonatal.
b. Pengkajian
1. Riwayat Medik
Informasi khusus tentang reproduksi yang harus diperoleh anatara lain :
Hari pertama haid terakhir dan kapan mulai terlambat haid
2. Pemeriksaan Fisik
Penting untuk diperhatikan :
Periksa dan catat tanda vital (TD, N, Suhu, RR)
Gangguan kesehatan umum (anemia, kurang gizi, keadaan umum jelek)
Periksa keadaan paru, jantung dan ekstremitas
a. Pemeriksaan Abdomen
Periksa adanya :
Massa atau kelainan intra abdomen lainnya
Perut kembung dengan bising usus melemah
Nyeri ulang lepas
Nyeri atau kaku dinding perut (pelvik/suprapubik).
b. Pemeriksaan Panggul
Tujuan ulang pemeriksaan panggul atau bimanual adalah untuk
mengetahui besar, arah, konsistensi uterus, nyeri goyang cerviks, nyeri
tekan parametrium, pembukaan ostium serviks. Melihat sumber
perdarahan lain (trauma vagina/cerviks) selain akibat sisa konsepsi.
c. Pemeriksaan Inspikulo/spekulum
Sebelum memasukkan spekulum perhatikan :
Daerah genetalia eksterna, perhatikan sifat dan jumlah perdarahan
pervaginam
Darah yang bercampur dengan sekret berbau
Setelah selesai melakukan pengalamatan bagian luar, masukksn
spekulum untuk melihat dinding vagina dan cerviks. Bersihkan
bekuan sarah / massa kehamilan dalam lumen vagina atau terjepit di
ostium serviks. Apabila diperlukan, awetkan jaringan / sisa konsepsi
untuk pemeriksaan hispatologi. Tentukan apakah darah keluar melalui
ostium uteri atau sari dinding vagina. Bila diduga atau jelas terjadi
infeksi lakukan pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi. Pasien
segera diberikan antibiotik spektrum luas secara adekuat, sebelum
melakukan prosedur AVM.
e. Posisi Uterus
Uterus Anteversi
Prosedur evakuasi masssa kehamilan pada uterus sangat anteversi
atau antefleksi, sebaiknya dilakukan hati – hati karena uterus
retroversi memiliki resiko perforasi yang cukup tinggi.
Uterus Retroversi
Retroversi lebih mudah ditentukan melalui pemeriksaan
rektovaginal. Kejadian perforasi sering disebabkan oleh
ketidakampuan operator mengenali uterus hiper retroversi/retrofleksi
uterus.
Uterus Lateroposisi
Apabila oleh sebab tertentu, uterus berada atau terdorong ke
lateral maka operator harus menyesuaikan arah kanula pada saat
melakukan proses evakuasi, untuk menghindarkan terjadinya
perforasi.
g. Pengelolaan Abortus
Prinsip pengelolaan abortus inkomplit adalah membersihkan sisa
hasil konsepsi dari kavum uteri. Cara membersihkan kavum tersebut,
tergantung usia kehamilan, besar uterus dan hasil penghitungan HPHT.
Dilihat pula ketersediaan peralatan, pasokan medik dan nakes yang
terampil. Bila tidak tersedia maka dianjurkan untuk melakukan rujukan
pasien ke fasilitas kesehtan yang lebih lengkap.
Evakuasi sisa konsepsi pada kasus abortus inkomplit pada trimester
II dapat dilakukan dengan Dilatasi dan Kuretase (D&C) atau Aspirasi
Vacum Manual (AVM). Kedua tindakan memiliki resiko perdarahan
hebat dan perforasi.
h. Pemantauan
Pemantauan pemulihan pasien
Pantau TTV mulai saat pasien masih berada diatas meja tindakan.
Upayakan pasien beristirahat dengan tenang, sehingga pemantauan
dapat berlangsusng dengan baik. Berikan antibiotik sebagai upaya
profilaksis, terutama apabila ditemui tanda – tanda infeksi. Pada kasus
tanpa komplikasi, periksa konsentrasi Hb, TTV sebelum pasien
dipulangkan. Setelah kondisi pasien stabil, diberika informasi tentang
perawatan lanjutan, baru pasien dipulangkan.
2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta (abrubtio plasenta) dalah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. Yang terjadi pada
kehamilan 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram.
a. Klasifikasi Solusio Placenta
1. Klasifikasi dari solusio plasenta adalah sebagai berikut:
Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari
tempat perlengkatannya.
Solusio plasenta totalis ( komplek ) : bila seluruh plasenta sudah terlepas dari
tempat perlengketannya.
Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat
teraba pada pemeriksaan dalam.
b. Patofisiologi
1. Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang
membentuk hematoma pada desidua,sehingga plasenta terdesak dan akhirnya
terlepas. Apabila perdarahan sedikit,hematoma yang kecil itu hanya akan
mendesak jaringan plasenta,pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum
terganggu,dan tanda serta gejala pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah
plasenta lahir,yang pada pemeriksaan di dapatkan cekungan pada permukaan
maternalnya dengan bekuan darah yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus
yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi
menghentikan perdarahannya. Akibatnya hematoma retroplasenter akan
bertambah besar,sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding
uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput ketuban keluar dari
vagina atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau
mengadakan ektravasasi di antara serabut-serabut otot uterus.
2. Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan keluar
antara selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari serviks
hingga terjadilah perdarahan keluar atau perdarahan terbuka.
Terkadang darah tidak keluar,tetapi berkumpul di belakang plasenta
membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan semacam ini disebut perdarahan
ke dalam atau perdarahan tersembunyi.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang
lebih khas karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah volume
uterus. Umumnya lebih berbahaya karena jumlah perdarahan yang keluar tidak
sesuai dengan beratnya syok. Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal
dari ibu,namun dapat juga berasal dari janin.
3. Plasenta Previa
Menurut Browne, klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, yaitu :
a. Plasenta Previa Totalis
Bila plasenta menutupi seluruh jalan lahir pada tempat implantasi, jelas tidak
mungkin bayi dilahirkan in order to vaginam (normal/spontan/biasa), karena risiko
perdarahan sangat hebat.
b. Plasenta Previa Parsialis
Bila hanya sebagian/separuh plasenta yang menutupi jalan lahir. Pada tempat
implantasi inipun risiko perdarahan masih besar dan biasanya tetap tidak dilahirkan
melalui pervaginam.
c. Plasenta Previa Marginalis
Bila hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir bisa dilahirkan pervaginam
tetapi risiko perdarahan tetap besar.
c. Penatalaksanaan
Penanganan Pasif
1. Perhatian – Tiap-tiap perdarahan triwulan ketiga yang lebih dari show
(perdarahan inisial), harus dikirim ke rumah sakit tanpa dilakukan manipulasi
apapun. Baik rektal apalagi vaginal (Eastmon).
2. Apabila pada penilaian baik, perdarahan sedikit, janin masih hidup belum
inpartu, kehamilan belum cukup 37 minggu atau berat badan janin dibawah
2500 gr, maka kehamilan dapat dipertahankan, istirahat dan pemberian obat-
obatan seperti spasmolitika, progestin atau progesterone, observasi dengan
teliti.
3. Sambil mengawasi periksa golongan darah dan menyiapkan donor transfusi
darah, bila memungkinkan kehamilan dipertahakan setua mungkin supaya
janin terhindar dari prematuritas.
4. Harus diingat bahwa bila dijumpai ibu hamil tersangka plasenta previa rujuk
segera ke rumah sakit dimana tedapat fasilitas operasi dan transfusi darah.
5. Bila kekurangan darah, berikanlah transfusi darah dan obat-obatan penambah
darah.
d. Cara Persalinan
1. Persalinan Pervaginam
2. Persalinan perabdominan, dengan seksio sesarea.
b. Penyebab KPD
Penyebab Ketuban pecah dini adalah karena berkurangnya kekuatan membran
atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya
kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina
dan serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri.
Penyebab lainnya adalah sebagai berikut :
1. Inkompetensi serviks (leher rahim).
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit
membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin
yang semakin besar.Adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkanlaserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu
kelainan congenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi
berlebihantanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua
atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput
janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2002).
d. Diagnosis KPD
Pastikan selaput ketuban pecah.
Tanyakan waktu terjadi pecah ketuban.
Cairan ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung
cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.
Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin
atau meminta pasien batuk atau mengedan.
Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes), jika
lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis).
pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3.
Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan
trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan
gambaran daun pakis.
Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
Tentukan ada tidaknya infeksi.
f. Patofisiogi KPD
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulensi : Bacteroides
Low virulensi : Lactobacillus
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
system aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi
dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/
amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
g. Pengaruh KPD
h. Komplikasi KPD
Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi Infeksi Maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal.
i. Penanganan KPD
1. Konservatif
Rawat di rumah sakit
Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusioplasenta
Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau),
berikanantibiotika sama halnya jika terjadi amnionitosis
Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin
Ampisilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250mg per oral
3x perhari selama 7 hari.
Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum inpartu, tidak ada infeksi,
beridexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi
tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin.
Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan sudah inpartu, tidak ada infeksi
maka berikan tokolitik dexametason, dan induksi setelah 24 jam.
2. Aktif
Kehamilan lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin
Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram –
50 mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.
Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri.
Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu
apakah 6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2. Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan
pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban
Tali pusat terlihat di daerah introitus vagina. Dalam keadaan ini, persalinan harus
segera diakhiri untuk segera menyelamatkan janin
Kondisi obstetric dimana pintu atas panggul tidak sepenuhnya ditempati dengan
bagian terendahjanin (presentasi) akan memudahkan terjadinya prolapsus talipusat
terutama pada :
Presentasi bokong tidak sempurna ( letak kaki )
Kelainan letak ( presentasi lintang )
Hidramnion
Prematur
PJT – Pertumbuhan Janin Terhambat.
b. Faktor predisposisi :
Tali pusat yang panjang
Amniotomi
Janin kedua pada persalinan gemelli
Dua masalah utama yang terjadi pada talipusat dan keduanya akan
menyebabkan terhentinya aliran darah pada tali pusat dan kematian janin.
1. Tali pusat terjepit antara bagian terendah janin dengan panggul ibu
2. Spasme pembuluh darah talipusat akibat suhu dingin diluar tubuh ibu
Pada kasus prolapsus tali pusat, waktu sangat bernilai sehingga tidak boleh disia-
siakan.
4. Obstruksi
Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi :
a. Bayi hidup lahirkan dengan SC
b. Bayi mati lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.
5. Malposisi/Malpresentasi
Bila tejadi malposi atu malpresentasi pada janin secara umum :
a. Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu (TTV)
b. Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila air ketuban pecah lihat warna air
ketuban :
1) Bila didapatkan mekoneum awasi yang ketat atau intervensi
2) Tidak ada cairan ketuban pada saat ketuban pecah menandakan adanya
pengurangan jumlah air ketuban yang ada hubungannya dengan gawat
janin.
c. Pemberian bantuan secara umum pada ibu inpartu akan memperbaiki
kontraksi atau kemajuan persalinan
d. Lakukan penilaian kemajuan persalinan memakai partograf
e. Bila terjadi partus lama lakukan penatalaksanaan secar spesifik sesuai dengan
keadaan malposisi atau malpresentasi yang didapatkan. (Saifudin AB, 2007 :
h 191-192).
Maneuver Mc Robert
Fleksi sendi lutut dan paha serta mendekatkan paha ibu pada
abdomen sebaaimana terlihat pada (panah horisontal). Asisten
melakukan tekanan suprapubic secara bersamaan (panah vertikal)
Jika cara tersebut diatas telah dicoba berulang kali namun tidak berhasil, ada
cara lain yang diusulkan yaitu :
a. Kleidotomi
Dilakukan pada janin mati yaitu dengan cara menggunting klavikula.
Patahkan tulang klavikula atau humerus
b. Pematahan klavikula
Dilakukan dengan menekan klavikula anterior kearah Superior.
c. Symphysiotomy
Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan serangkaian
tindakan emergensi berikut ini pada kasus distosia bahu
1. Minta bantuan – asisten , ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi.
2. Kosongkan vesica urinaria bila penuh.
3. Lakukan episiotomi mediolateral luas.
4. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah
untuk melahirkan kepala.
5. Lakukan maneuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten.
Sebagian besar kasus distosia bahu dapat diatasi dengan serangkaian
tindakan diatas. Bila tidak, maka rangkaian tindakan lanjutan berikut ini harus
dikerjakan :
1. Wood corkscrew maneuver
2. Persalinan bahu posterior
3. Tehnik-tehnik lain yang sudah dikemukakan diatas.
Tak ada maneuver terbaik diantara maneuver-maneuver yang sudah
disebutkan diatas, namun tindakan dengan maneuver Mc Robert sebagai pilihan
utama adalah sangat beralasan.
c. Pendekatan Drastis
Jika pilihan yang lain gagal yang biasanya melibatkan kerusakan pada
bayi atau ibunya. Langkah berikutnya adalah menggunakan maneuver
Zanvanelli namun ini mustinya dilakukan di RS besar dengan persiapan SC
karena langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Manuver Zavanelli (Sandberg, 1985)
Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila
kepala janin telah berputar dari posisi tersebut
Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk
kembali ke vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.
Ya
Uterus kontraksi? Evaluasi Rutin
tidak
- Evaluasi / bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
- KBI maks 5 menit
tidak
YA - Pertahankan KBI selama 1-2 menit
Uterus kontraksi? - Keluarkan tangan secara hati – hati
- Lakukan pengawasan kala IV
tidak
- Ajarkan keluarga melakukan KBE
- Keluarkan tangan (KBI) secara hati – hati
- Suntikan methylergometrin 0,2 mg IM
- Pasang infus RL + 20 IU oksitosin
- Lakukan KBI lagi
tidak
Ya
Uterus kontraksi? Pengawasan kala IV
S
k
e
m - Rujuk siapkan laparotomi
a - Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksi minimal 500 cc/jam hingga mencapai
tempat rujukan
P - Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBE
e
n tidak
a
n Ligasi arteri uterina dan / hipogastrika B-Lvnch method
g
a
n Pertahankan uterus
Perdarahan
a
n tetap
A Histerektomi
t
o
Atonia Uteri
No Langkah Keterangan
1. Lakukan massage fundus uteri segera Massage merangsang kontraksi uterus. Sambil
setelah plasenta dilahirkan melakukan massage sekaligus dapat dilakukan
penilaian kontraksi uterus
2. Bersihkan kavum uteri dari selaput Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam
ketuban dan gumpalan darah kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi
uterus secara baik
3. Mulai lakukan kompresi bimanual Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
interna. Jika uterus berkontraksi tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil
keluarkan tangan setelah 1-2 menit. setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain
Jika uterus tetap tidak berkontraksi
teruskan KBI sampai 5 menit
4. Minta keluarga untuk melakukan KBE Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat
meneruskan proses kompresi bimanual secara
eksternal selama anda melakukan langkah –
langkah selanjutnya
5. Berikan metyl ergometrin0,2 mg IM / IV Metyl ergometrin yang diberikan secara IM akan
mulai bekerja 5-7 menit dan menyebabkan
kontraksi uterus
Pemberian IV bila sudah terpasang infus
sebelumnya
6. Berikan infus cairan larutan RL dan Anda telah memberikan oksitosin pada saat
oksitosin 20 IU/500 cc penatalaksanaan aktif kala III dan metyl
ergometrin IM. Oksitosin IV akan bekerja segera
untuk menyebabkan uterus berkontraksi
RL akan membantu memulihkan volume cairan
yang hilangselama atonia uteri. Jika uterus wanita
belum berkontraksi selama 6 langkah pertama,
sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan
postpartum dan memerlukan penggantian darah
yang hilang secara cepat
7. Mulai lagi KBI atau pasang tampon Jika atonia tidak teratasi setelah 7 langkah
uterovagina pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius
lainnya
Tampon uterovaginal dapat dilakukan apabila
penolong telah terlatih
Rujuk segera ke RS
8. Buat persiapan merujuk segera Atonia bukan hal yang sederhana dan
memerlukan penanganan gawat darurat di
fasilitas dimana dapat dilakukan bedah dan
pemberian transfusi darah
9. Teruskan cairan IV hingga ibu mencapai Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu
tempat rujukan 10 mnt. Kemudian ibu memerlukan cairan
tambahan setidaknya 500 cc/jam pada jam
pertama dan 500 cc/4 jam pada jam – jam
berikutnya. Jika anda tidak mempunyai cukup
persediaan cairan IV, berikan cairan 500 cc yang
ketiga tersebut secara perlahan, hingga cukup
untuk sampai ditempat rujukan. Berikan ibu
minum untuk tambahan rehidrasi
10. Lakukan laparatomy : Pertimbangkan antara lain paritas, kondisi ibu,
Pertimbangkan antara tindakan jumlah perdarahan
mempertahankan uterus dengan ligasi
arteri uterina/hipogastrika atau
histerektomi
Kolporeksis :
adalah suatu keadaan dimana terjadi robekan di vagina bagian atas,
sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina.
Robekan ini memanjang atau melingkar.
Robekan cerviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus
partus presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi
persalinan operatif pervagina harus dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum keadaan jalan lahir termasuk cerviks.
e. Hematoma vulva
- Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada
hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan
kompres.
- Pada hematoma yang lebih besar dan disertai dengan anemia dan pre-syok,
perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan
disepanjang bagian hematoma yang paling teregang. Seluruh bekuan
dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan
tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difusi dapat
dipasang drain atau dimasukkan kassa steril sampai padat dan meninggalkan
ujung kassa tersebut diluar.
g. Robekan cerviks
Robekan cerviks paling sering dijumpai pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan
bibir belakang cerviks dijepit menggunakan klem Fenster. Kemudian cerviks
ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya
robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk
menghentikan perdarahan.
4. Sisa Plasenta
a. Patofisiologi Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan kulit ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau lambat (biasanya terjadi 6-
10 hari PP). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai
dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambatgejalanya sama dengan subinvolusio
uteri, yaitu perdarahan yang berulang atau terus dan berasal dari rongga rahim.
Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok. Penilaian klinis
sulit dilakukan untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong
persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila
kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa
plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan
eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnoostik yaitu USG. Pada
umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi
rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga
rahim.
6. Introduksi kondom ke dalam kavum uteri bisa dilakukan dengan 2 cara, yang
pertama dengan menggunakan spekulum sims / L, bibir serviks bagian anterior
dan posterior dijepit dengan ring forsep, dan kondom yang sudah diikat pada
ujung set infus/set transfusi dimasukkan intra kavum uteri dengan menggunakan
tampon tang.
Cara yang kedua, kondom yang sudah diikat pada ujung set infus/set transfusi
dimasukkan secara digital menggunakan jari, cara yang sama dipakai untuk
memasukkan kateter folley untuk induksi.
9. Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam. Bila tanda vital
stabil dan perdarahan pervaginam berhenti, berarti pemasangan kondom
hidrostatik intrauterin berhasil.
10. Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan dilakukan
di Rumah Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk laparatomi
sebagai rencana cadangan.
11. Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom hidrostatik
intrauterin menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan selama 24-48 jam,
jika perlu cairan dalam kondom dikeluarkan secara bertahap.
b. Tes Tamponade
Sampai saat ini, belum ada tes diagnostik yang dapat mengidentifikasi pasien
dengan perdarahan pasca persalinan yang masif, pasien mana yang memerlukan
intervensi pembedahan. Tes tamponade yang diperkenalkan oleh Arulkumaran dan
kawan-kawan adalah penggunaan balon tamponade sebagai tes untuk menilai apakah
pasien tersebut memerlukan intervensi pembedahan atau tidak. Pada pasien yang
perdarahannya berhenti dengan intervensi balon tamponade, intervensi pembedahan
lanjutan tidak diperlukan, dan tamponade menjadi prosedur terapeutik yang utama.
Tes tamponade ini tidak hanya menghentikan perdarahan dan menyelamatkan uterus,
tetapi juga memberikan kesempatan untuk memperbaiki dan mengkoreksi
koagulopati konsumtif.
Kesimpulan
1. Penggunaan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini adalah aman, sederhana,
murah untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan dan dapat dijadikan pilihan
utama untuk perdarahan pasca persalinan pada persalinan pervaginam.
2. Seluruh petugas kesehatan termasuk bidan dapat melakukan teknik ini saat
menghadapi perdarahan pasca persalinan.
3. Tes tamponade menggunakan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini, dapat
dijadikan pilihan untuk menentukan apakah tindakan pembedahan lebih lanjut
diperlukan atau tidak.
4. Dibutuhkan lebih banyak kasus dan pengalaman apabila teknik ini akan digunakan
sebagai praktek rutin.
2. Manifestasi Klinik
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan
atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
Luka bakar ( Combustio) dan anafilaksis.
3. Tahapan Syok
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat
keseriusan, menurut Guyton, (1997) syok dibagi dalam tiga tahap utama yaitu :
Tahap nonprogresif (atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi
sirkulasi normal akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu
terapi dari luar.
Tahap progresif, ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga
semua bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita,
meskipun pada saat itu, orang tersebut masih hidup.
5. Pengelolaan
Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien :
Nilai kegawatdaruratan dengan melakukan pemeriksaan tanda vital
Cegah hipotermia dan miringkan kepala / tubuh pasien untuk mencegah aspirasi
muntahan. Jangan berikan sesuatu melalui mulut untuk mencegah aspirasi
Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen melalui slang atau masker dengan
kecepatan 6 – 8 liter permenit
Tinggikan tungkai untuk membantu beban kerja jantung. Bila setelah posisi
tersebut ternyata pasien menjadi sesak atau mengalami edema paru, maka
kembalikan tungkai pada posisi semula dan tinggikan tubuh atas untuk
mengurangi tekanan hidrostatik paru.
Bila hingga langkah akhir tersebut diatas, ternyata tak tampak secara jelas
perbaikan kondisi pasien atau minimnya ketersediaan pasokan cairan dan medika
mentosa atau adanya gangguan fungsi peralatan yang dibutuhkan bagi upaya
pertolongan lanjutan, sebaiknya pasien dipindahkan ke ruangan perawatan intensif
atau dipersiapkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
3. Transfusi Darah
Transfusi darah untuk mengganti sejumlah darah yang hilang akibat
perdarahan, dapat menyelamatkan pasien dari kematian. Sebaliknya, pada beberapa
kasus, transfusi darah dapat pula menimbulkan komplikasi yang fatal. Oleh sebab
itu, pemberian transfusi darah harus melalui serangkaian proses yang teliti dan
pertimbangan yang matang. Sebaiknya setiap fasilitas rujukan, mempunyai
pelayanan transfusi darah.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit,
golongan darah, uji padanan silang (crossmatch) dan bila tersedia, periksa gas dan
nitrogen urea darah. Ukur jumlah dan produksi urine, produksi dibawah 50ml/jam
menunjukkan hipovolemia.
5. Antibiotika
Bila terdapat tanda – tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret
bau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotk spektrum luas.
MENINGKAT NORMAL
TD ≥ 140/90 mmHg
Rawat Inap
Terminasi Kehamilan
dalam 6 jam
PJT
Terkendali Tak
Steroid
Terkendali
Terkendali Tak
terkendali
4. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa
faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah:
a. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan
terjadinya Preeklampsia.Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan
Molahidatidosa.Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa
keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.
b. Faktor Imunologik
Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya,
pembentukan “Blocking Antibodies”akan lebih banyak akibat respon
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.
c. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan
Aldosteronantagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron
yangmenyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi hipertensi dan
edema
d. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Pre eklampsia/ eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diketahui:
1. Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
2. Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya
retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
3. Edema pada pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan yang
memberat
4. Peningkatan berat badan lebih dari 500 gr per minggu atau peningkatan berat
badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.
8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu:
1. Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
2. Hipofibrinogenemia
3. Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal
hati pada penderita pre-eklampsia.
4. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
5. Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi.Perdarahan
pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawatyang menunjukkan
adanya apopleksia serebri.
6. Edema paru
7. Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme
arteriolumum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama
denganenzim.
8. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
9. Prematuritas
10. Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.Bisa
juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
11. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila
telahmencapai tahap eklampsia.
9. Pengelolaan
a. Pre eklampsia berat
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre
eklampsia berat selama perawatan, maka pengelolaan dilakukan dengan
perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi, ditambah
pengobatan medicinal.
Perawatan aktif yang dilakukan dengan indikasi :
1) Kehamilan aterm ( > 37 minggu), adanya gejala-gejala impending
eklampsia, perawatan konservatif gagal (6 jam setelah pengobatan
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
132
medisinal terjadi kenaikan TD, 24 jam setelah pengobatan medisinal
gejala tidak berubah).
2) Adanya tanda-tanda gawat janin, adanya pertumbuhan janin terhambat
dalam rahim
Pengobatan Medisinal
1) Anti kejang: Sulfas Magnesikus (MgSO4), dengan memperhatikan
protokol pemberiannya.
2) Diazepam, digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian
MgSO4 tidak dipenuhi.
3) Diuretik, diberikan bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka, serta kelainan fungsi ginjal.
4) Anti hipertensi, dengan indikasi bila TD sistolik >160 mmHg, diastolik >
110 mmHg.
5) Kardiotonika, dengan indikasi bila ada tanda-tanda menjurus payah
jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid.
6) Lain-lain :
Konsul bagian penyakit dalam/jantung, dan mata.
Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,50 C.
Antibiotik diberikan atas indikasi.
Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi
uterus.
Anti Agregasi Platelet.
d. Diagnosis Asfiksia
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /
hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan
dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan
lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin
mungkin disertai asfiksia
e. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda
penting, yaitu :
1. Penafasan
2. Denyut jantung
3. Warna kulit
Nilai agar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan
h. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif,
kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a) Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
b) Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minimum antara lain :
Alat pemanas siap pakai – Oksigen
Alat pengisap
Alat sungkup dan balon resusitasi
Alat intubasi
Obat-obatan
d. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinis dari sepsis neonatorum tidak spesifik dan berkaitan dengan
sifat organisme penyebab dan respon tubuh terhadap invasi. Tanda-tanda klinis
nonspesifik sepsis awal juga dikaitkan dengan penyakit neonatal lainnya, seperti
sindrom gangguan pernapasan (RDS), gangguan metabolik, perdarahan intrakranial,
dan pengiriman traumatis. Dalam pandangan nonspecificity dari tanda-tanda ini,
adalah bijaksana untuk memberikan pengobatan untuk sepsis neonatorum tersangka
sementara tidak termasuk proses penyakit lainnya.
Untuk memperoleh informasi yang paling dari pemeriksaan, penilaian fisik
sistematis bayi yang terbaik dilakukan dalam serangkaian yang harus mencakup
observasi, auskultasi, dan palpasi, dalam urutan itu. Perubahan temuan dari satu
pemeriksaan ke yang berikutnya memberikan informasi penting tentang keberadaan
dan evolusi sepsis.
1. Pneumonia bawaan dan infeksi intrauterine
Lesi inflamasi yang diamati post mortem di paru-paru bayi dengan
pneumonia kongenital dan intrauterin. Mereka dapat mengakibatkan tidak dari
aksi mikroorganisme sendiri, melainkan, dari aspirasi cairan ketuban yang
mengandung leukosit ibu dan puing-puing selular. Takipnea, pernapasan tidak
teratur, retraksi moderat, apnea, sianosis, dan mendengus dapat diamati.
Neonatus dengan pneumonia intrauterin mungkin juga sakit kritis saat lahir dan
memerlukan tingkat tinggi dukungan ventilasi. The rontgen dada dapat
menggambarkan konsolidasi bilateral atau efusi pleura.
4. Manifestasi Jantung
Pada sepsis yang berat, fase awal awal ditandai dengan hipertensi paru,
penurunan curah jantung, hipoksemia dan mungkin terjadi. Fase ini diikuti oleh
penurunan progresif lanjut curah jantung dengan bradikardia dan hipotensi
sistemik. Bayi memanifestasikan kejutan jelas dengan pucat, perfusi kapiler
yang buruk, dan edema. Tanda-tanda akhir dari kejutan adalah indikasi
kompromi parah dan sangat terkait dengan kematian.
5. Manifestasi Metabolik
Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan penyakit kuning
semua tanda-tanda metabolik yang sering menyertai sepsis neonatorum. Bayi
memiliki kebutuhan glukosa meningkat sebagai akibat dari keadaan septik. Bayi
mungkin juga kurang gizi sebagai akibat dari asupan energi berkurang.
Hipoglikemia disertai dengan hipotensi mungkin menjadi sekunder untuk respon
yang memadai dari kelenjar adrenal dan mungkin terkait dengan tingkat kortisol
yang rendah. Asidosis metabolik disebabkan oleh konversi ke metabolisme
anaerobik dengan produksi asam laktat. Ketika bayi yang hipotermia atau tidak
disimpan dalam lingkungan termal netral, upaya untuk mengatur suhu tubuh
dapat menyebabkan asidosis metabolik. Jaundice terjadi dalam menanggapi
glucuronidation hati menurun disebabkan oleh disfungsi baik hati dan kerusakan
eritrosit meningkat.
6. Tanda neurologi
Meningitis adalah manifestasi umum dari infeksi SSP. Fitur histologis akut
dan kronis yang berhubungan dengan organisme tertentu. Meningitis karena
awal-awal sepsis neonatorum biasanya terjadi dalam waktu 24-48 jam dan
didominasi oleh tanda-tanda nonneurologic. Tanda-tanda neurologis mungkin
termasuk stupor dan mudah tersinggung. Tanda-tanda yang jelas dari meningitis
terjadi pada hanya 30% kasus. Bahkan budaya terbukti meningitis tidak mungkin
menunjukkan sel darah putih (WBC) perubahan dalam cairan cerebrospinal
Modul PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif) D III Keperawatan
145
(CSF). Meningitis karena akhir-onset penyakit lebih mungkin untuk
menunjukkan tanda-tanda neurologis (80-90%), namun, banyak dari temuan
pemeriksaan fisik yang halus atau tanpa gejala. Tanda-tanda neurologis meliputi:
Penurunan kesadaran (yaitu, pingsan dengan atau tanpa lekas marah), Koma,
Kejang, anterior fontanel Menggembung. Ekstensor kaku, tanda Focal serebral,
tanda Kranial saraf , kaku kuduk
g. Laboratorium
Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
Leukopenia ( 10%
Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T
ratio > 0,2
Trombositopenia 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
h. Diagnosa Banding
Bowel Obstruction in the Newborn
Congenital Diaphragmatic Hernia
Congenital Pneumonia
Heart Failure, Congestive
Hemolytic Disease of Newborn
Meconium Aspiration Syndrome
Necrotizing Enterocolitis
a. Etiologi
Kejang bayi dengan asfiksia disertai oleh hipoglikemia, hipokalsemia,
perdarahan intracranial, edema otak
Pada bayi cukup bualn penyebab kejang yang terjadi
o 48 jam pertama : asfiksia, trauma lahir, hipoglikemia
o Antara hari ke 5-ke 7 : hipokalsemia yang terjadi bukan karena
komplikasi
o Antara hari ke 7-ke 10 : infeksi, kelainan genetik
b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan gula darah, elektrolit darah, AGD, darah tepi, lumbal pungsi
EKG
EEG
Biakan darah
Titer untuk toksoplasmosis, rubela, citomegalovirus, herpes
Foto rontgen kepala
USG kepala
c. Penanganan
Prinsip tindakan untuk mengatasi kejang
Menjaga jalan nafas tetap bebas
Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang
Mengobati penyebab kejang
Penanganan kejang pada BBL
Bayi diletakan dalam tempat hangat, pastikan bayi tidak kedinginan, suhu
dipertahankan 36,5-37ᴼC
Jalan nafas dibersihkan dengan tindakan penghisapan lendir diseputar
mulut, hisung dan nasofaring
Pada bayi apnea, pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan alat Bag to
Mouth Face Mask oksigen 2 liter/menit
Infus
Obat antispasmodik/anti kejang : diazepam 0,5 mg/kg/supp/im setiap 2
menit sampai kejang teratasi dan luminal 30 mg im/iv
Nilai kondisi bayi tiap 15 menit
Bila kejang teratasi berikan cairan infus dextrose 10% dengan tetesan
60ml/kgBB/hr
Cari faktor penyebab
o Apakah mungkin bayi dilahirkan dari ibu DM
o Apakah mungkin bayi prematur
o Apakah mungkin bayi mengalami asfiksia
o Apakah mungkin ibu bayi emnghisap narkotika
o Kejang sudah teratasi, diambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium
untuk mencari faktor penyebab, misalnya : darah tepi, elektrolit darah,
gula darah, kimia darah, kultur darah, pemeriksaan TORCH
o Kecurigaan kearah sepsis (pemeriksaan pungsi lumbal)
o Kejang berulang, diazepam dapat diberikan sampai 2 kali
3. Apnea
Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu dan bila perlu rangsang pernapasan
bayi dengan mengusap dada atau punggung. Jika gagal, lakukan resusitasi dengan
balon dan sungkup.
Jika bayi mengalami episode apnu lebih dari sekali dan atau sampai membutuhkan
resusitasi berikan sitrat kafein atau aminofilin.
Kafein lebih dipilih jika tersedia. Dosis awal sitrat kafein adalah 20 mg/ kg oral atau
IV (berikan secara lambat selama 30 menit). Dosis rumatan sesuai anjuran.
Jika kafein tidak tersedia, berikan dosis awal aminofilin 10 mg/kg secara oral atau IV
selama 15-30 menit. Dosis rumatan sesuai anjuran.
Jika monitor apnu tersedia, maka alat ini harus digunakan
Selain ibu, ayah dan anggota keluarga lain bisa melakukan metoda
kanguru
.
Sumber gambar: WHO & UNICEF dan Beck et al, 2004.
b. Nutrisi
Selama pelaksanaan PMK, BBLR hanya diberikan ASI. Melalui PMK
akan mendukung dan mempromosikan pemberian ASI eksklusif, karena ibu
menjadi lebih cepat tanggap bila bayi ingin menyusu. Bayi bisa menyusu
lebih lama dan lebih sering. Bila bayi dibawa ke fasilitas kesehatan dan bayi
tidak mampu menelan ASI dapat dilakukan pemasangan Oro Gastric Tube
(OGT) untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
c. Dukungan
Keluarga memberikan dukungan pada ibu dan bayi untuk pelaksanaan
perawatan metoda kanguru. Di fasilitas kesehatan , pelaksanaan PMK akan
dibantu oleh petugas kesehatan.
d. Pemantauan
BBLR yang dirawat di fasilitas kesehatan yang dapat dipulangkan lebih
cepat (berat < 2000 gram) harus dipantau untuk tumbuh kembangnya.
Apabila didapatkan tanda bahaya harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
lebih lengkap.
Kunjungi BBLR minimal dua kali dalam minggu pertama, dan selanjutnya
sekali dalam setiap minggu sampai berat bayi 2500 gram.
1. Pada akhir pelatihan ini peserta diwajibkan untuk mengikuti tahapan – tahapan :
a. Materi dikelas selama 2 hari, Demonstrasi, dan Pembelajaran Praktik Skill
b. Skill station di lakukan selama 1 hari
c. Bimbingan skill station dibagi dalam :
1. Transportasi dan Stabilisasi
2. Balut Bidai pada Trauma Maternal – Neonatal
3. Airway - Breathing - Circulation
4. RJP Pasien Dewasa
5. RJP Maternal – Neonatal
6. DC Shock
7. Vacum Aspirasi manual
8. Compresi Bimanual
9. Pemasangan Kondom Kateter
10. Perawatan Metode Kanguru pada BBLR
11. Menolong Persalinan dengan Distosia Bahu
d. Gladi lapangan dilakukan untuk melihat kemampuan peserta dalam mengaplikasikan
teori dan praktik
e. Proses penilaian / evaluasi dilakukan dengan ujian teori dan praktek mengacu pada NBL
teori (70) dan praktek (75)
f. Sertifikasi diberikan kepada peserta yang memenuhi standar nilai yang ditentukan dan
kehadiran dikelas.
American College of Surgeon Committee of Trauma. 2004. Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition. Indonesia: Ikabi
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan, Edisi 31. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Jual. 1998. Buku Saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,
Edisi 6. Jakarta: EGC
Dazspecta. 2012. Resusitasi Jantung Paru pada Bayi, Anak, dan Dewasa. Diambil pada 9 Juli
2013 Jam 09.00 di http://thefuturisticlovers.wordpress.com/2012/03/18/kgd-i-resusitasi-
jantung-paru-pada-bayi-anak-dan-dewasa/.
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC
Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta :
EGC
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. FKUI: Media Aesculapius
Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH. Seattle : 2002.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
Jakarta: EGC.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Syok Hemoragika dan Syok Septik. Dalam : Ilmu
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri. Dalam : Ilmu
Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Yani, Sufi. 2012. Resusitasi Jantung Paru Anestesi. Diambil pada 9 Juli 2013 Jam 09. 20
dhttp://www.scribd.com/doc/79280894/resusitasi-jantung-paru-anestesi.