Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

RHINITIS KRONIK

Pembimbing :
dr. Nur Mei Chasanti Sp. THT-KL

Disusun Oleh
Ikhsan Pratama Alamsedayu (1920221095)
Novia Sundari Riadi (1820221143)
Nurdiza Bilqis (1920221122)

SMF IK THT-KL
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“RHINTIS KRONIK”

Diajukan Sebagai Pemenuhan Persyaratan Ujian


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto

Oleh:
Ikhsan Pratama Alamsedayu (1920221095)
Novia Sundari Riadi (1820221143)
Nurdiza Bilqis (1920221122)

Purwokerto, Februari 2020


Telah dibimbing dan disahkan oleh:

Pembimbing:

dr. Nur Mei Chasanati, Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa, Allah
SWT atas berkat dan rahmat Nya, sehingga laporan kasus yang berjudul “Rhinitis
Kronik” ini telah berhasil diselesaikan. Laporan kasus ini adalah salah satu
bagian dari syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik pendidikan Profesi
Dokter di KSM Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Prof. Dr. Margono Soerkarjo
Purwokerto.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Nur Mei Chasanati,
Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah sabar membimbing dan mengarahkan
laporan kasus ini. Tidak ada hasil yang baik tanpa dukungan dari pihak-pihak
yang memberi pertolongan sehingga tersusunlah dan terselesaikannya laporan
kasus ini.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab
itu penulis memohon maaf jika terdapat kekurangan dan segala kritik dan saran
sangat penulis terima dengan terbuka. Penulis berharap laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Purwokerto, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS....................................................................................1
I.1 IDENTITAS PASIEN.....................................................................................1
1.2 ANAMNESIS.................................................................................................1
I.3 PEMERIKSAAN FISIK.................................................................................2
I.4 DIAGNOSIS KERJA......................................................................................6
I.5 TATALAKSANA...........................................................................................6
I.6 PROGNOSIS..................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
II.1 Anatomi Hidung............................................................................................7
II.2 Fisiologi Hidung..........................................................................................11
II.3 Rhinitis.........................................................................................................12
II.3.1 Rhinitis Alergi.......................................................................................13
II.3.2 Rhinitis Vasomotor...............................................................................18
II.3.3 Rhinitis Atrofi.......................................................................................21
II.3.4 Rhinits Medikamntosa..........................................................................28
II.3.5 Rhintis Geriatri......................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

iii
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. SS
Usia : 76 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cilacap
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
No RM : 02-12-97-xx

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis langsung kepada
pasien pada tanggal 24 Februari 2020 pukul 11.30 WIB di poli THT,
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.

Keluhan Utama:
Pasien datang ke poli THT RSMS dengan keluhan utama keluar
cairan bening dari kedua hidung.

Riwayat Penyakit Sekarang


Tn. SS, seorang laki-laki berusia 76 tahun datang dengan keluhan
keluar cairan jernih encer dari kedua hidung sejak 3 bulan SMRS. Keluhan
timbul pada saat pagi hari dan terutama pada saat cuaca dingin dan bersifat
hilang timbul. Selain keluar cairan dari hidung pasien juga mengeluhkan
sering bersin-bersin di pagi hari dan merasakan gatal di hidung, dan pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih kental. Keluhan yang
dirasakan tidak menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari pasien.
Pasien mengatakan juga mengalami nyeri pada telinga sebelah kanan dan
pendengaran telinga kiri yang berkurang. Riwayat keluar cairan dari kedua

1
telinga disangkal oleh pasien dan riwayat telinga berdenging disangkal.
Keluhan rasa mengganjal di hidung, keluhan pada mulut dan tenggorokan
disangkal oleh pasien.

Riwyat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan
sejak 3 bulan terakhir. Pasien mengakui memiliki riwayat alergi. Riwayat
asma disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang
dirasakan oleh pasien saat ini. Riwayat alergi dan asma pada keluarga
pasien disangkal karena pasien tidak mengetahuinya.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sehari-harinya tidak bekerja dan pasien saat ini tinggal
bersama istri, anak dan cucu. Saat ini pasien masih merokok 1 hari 1
batang dan riwayat konsumsi alkohol disangkal.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : Baik, tampak sakit ringan.
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)
c. Vital Signs
Tekanan Darah : 140/60 mmHg
Nadi : 60 x/menit, reguler
Laju Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : axilla 36,8°C
d. Status Gizi
BB : 52,6 kg
TB : 158 cm

2
e. Status Generalis
 Kepala
Bentuk mesochepal, rambut berwarna hitam dan putih, distribusi
merata
 Mata
Konjungtiva anemis (-/-), skera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-),
pupil refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor dengan diameter 3/3
mm.
 Telinga, Hidung, Tenggorokan
Sesuai status lokalis.
 Thorax
a. Pulmo
 Inspeksi
Normochest, pergerakan simetris statis dinamis,
ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas (-), deformitas (-)
 Palpasi
Vokal fremitus paru kanan equal dengan paru kiri,
krepitasi (-)
 Perkusi
Sonor pada seluruh lapang paru (+/+)
 Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), bunyi napas tambahan:
wheezing (-/-), rhonki (-/-)
b. Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak, tidak ada jejas
 Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, kuat angkat (+)
 Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC III LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC III LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
 Auskultasi : BJ SI dan SII regular, murmur (-)

3
 Abdomen
Supel, jejas (-), BU (+) normal, hepatomegali (-), shifting dullness (-)
 Ekstremitas
Tidak ditemukan edema, akral hangat, CRT (capillary refill time) < 2
detik.
f. Status Lokalis
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan
Hidung kanan Hidung kiri
Hidung
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
deformitas (-) deformitas (-)
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Lapang, discharge (+) Lapang, discharge (+)
Meatus nasi media Mukosa basah, discharge Mukosa basah, discharge
(+) (+)
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa hiperemi
(-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-) ulkus (-)
Gambar Cavum Nasi:

4
Pemeriksaan Telinga
No Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
. Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema Nyeri tekan (-), edema (-)
(-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran Bentuk dan ukuran dalam
dalam batas normal, batas normal, hematoma (-),
hematoma (-), nyeri nyeri tarik aurikula (-)
tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (+), hiperemis Serumen (+), hiperemis (-),
(-), furunkel (-), edema furunkel (-), edema (-),
(-), otorrhea (-) otorrhea (-)

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of perforasi (-), cone of light
light (+) (+)

Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Sianosis (-)
Lidah Permukaan lidah kotor (-), tidak ada deviasi lidah
Uvula Deviasi (-), hiperemis (-)
Faring Hiperemis (-)
Tonsila palatine T1/T1, tenang, hiperemis (-/-), detritus (-/-), kripte normal
Arcus Faringeus Hiperemis (-/-)

5
Pemeriksaan Leher
Keterbatasan gerak leher: -
Tidak ditemukan pembesaran KGB leher kanan maupun kiri.

I.4 DIAGNOSIS KERJA


Rhinitis Kronik

I.5 TATALAKSANA
Medikamentosa
Antihistamin : Cetrizine 1 x 10 mg
Non-Medikamentosa
Edukasi :
- Pertahankan pola hidup sehat (Berhenti merokok)
- Jauhi faktor pencetus

I.6 PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam.
Ad Functionam : Bonam.
Ad Sanationam : Bonam.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsumnasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
a. Tulang hidung (os nasal),
b. Prosesus frontalis os maksila, dan
c. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
a. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
b. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor
c. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.

7
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan, yang terdiri dari :
a. Lamina perpendikularis os etmoid
b. Vomer
c. Krista nasalis os maksila
d. Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan adalah
a. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
b. Kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan 4 labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.

8
Gambar 1. Anatomi Hidung

Vaskularisasi hidung
a. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari:
a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari
a. karotis interna.
b. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang :
a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media.
c. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang :
a. fasialis pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a. sfenopalatina, a. ethmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor,
yang disebut pleksus kiesselbach (little‟s area).
d. Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada
anak.
e. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial.

9
Gambar 2. Vaskularisasi Hidung

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari
n. Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus
superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari n.
Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 3. Persarafan Hidung

10
II.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanise
inunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi
melalui nares anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah kearah nasorafing. Aliran udara di hidung ini benbentuk
lingkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi oleh
palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga
terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur
sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan
oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti
bulum nasi, b) silis, c) palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin.
b. Fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indera
penghidu dan pencecep dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah
untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,
seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi tulang. Resonasi oleh
hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan konsonan nasal (m,

11
n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara.
d. Fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas.

Sistem transpor mukosilier


Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada
epitel dan kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender
terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik,
dan IgA sekretorik (s-IgA).

II.3 Rhinitis
Rinitis merupakan inflamasi pada membran mukosa hidung, dengan
diikuti adanya kongesti, rhinorrhea dan berbagai gejala yang berhubungan dengan
etiologi (seperti gatal, bersin, cairan hidung berwarna bening atau purulent,
anosmia).
Rhinitis dapat bersifat akut dan kronis. Rhinitis akut pada umumnya
disebabkan oleh infeksi virus, dengan tanda adanya edem dan vasodilatasi pada
membrane mukosa hidung, rhinorrhea dan kongesti, biasanya ditemukan pada
common cold, atau penyebab lain termasuk infeksi Streptococcal, Pneumococcal,
dan Staphylococcal. Rhinitis kronis, merupakan inflamasi pada mukosa hidung
yang menimbulkan gejala keluar cairan dari hidung, hidung tersumbat, dan bersin
selama kurang lebih 30 menit dalam sehari selama dua bulan atau lebih dan
biasanya disertai juga dengan sinusitis kronis (rhinosinusitis kronis).
Rhinitis diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi dan rhinitis non-alergi.
Penyebab dari rhinitis alergi biasanya karena infeksi virus dan iritan lain. Rinitis

12
Atrofi, Rinitis vasomotor dan juga rhinitis medikamentosa merupak bentuk dari
rhinitis kronis.

II.3.1 Rhinitis Alergi


A. Definisi
Secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E
yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.
B. Etiologi
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak,
bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya
faktor pencetus ini berupa iritan non spesifik.
Alergen adalah senyawa/substansi (antigen) yang dapt menimbulkan reaksi
alergi dengan menginduksi immunoglobulin E (IgE) melalui paparan berupa
inhalasi (dihirup), ingesti (proses menelan), kontak, ataupun injeksi.
C. Klasifikasi
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala.

Gambar 4. Klasifikasi Rinitis Alergi (ARIA)

Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi berdasarkan lama gejala


dibagi menjadi:
a. Intermiten: gejala ≤4 hari per minggu atau lamanya ≤4 minggu

13
b. Persisten: gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu
Sedangkan berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:
Ringan:
a. Tidur normal
b. Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
c. Bekerja dan sekolah normal
d. Tidak ada keluhan yang mengganggu
Sedang atau berat: (satu atau lebih gejala)
a. Tidur terganggu (tidak normal)
b. Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
c. Gangguan saat bekerja dan sekolah
d. Ada keluhan yang mengganggu
D. Gejala dan Tanda
a. Gatal (hidung, mata dan mulut)
b. Bersin
c. Rhinorrhea: ingus encer bening
d. Obstruksi nasal dan sinus
e. Batuk
f. Edema nasal
g. Konka merah-kebiruan
h. Infeksi Konjungtiva
i. Edema palpebra
E. Patofisilogi
Pada permukaan mukosa hidung dan lamina propria terdapat sel mast dan
basofil, yang merupakan unsur terpenting pada patofisiologi rinitis alergi.
Individu yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau debu rumah, kecoa,
kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan diselaputi oleh IgE
terhadap alergen spesifik tersebut. Paparan ulang terhadap alergen tersebut
memicu suatu rangkaian kejadian yang meliputi respons fase cepat dan
fase lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi. Respons fase cepat
timbul dalam beberapa menit setelah paparan.

14
Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel mast dan basofil yang
sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan epitel. Bagian
Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel sementara bagian
Fab bebas untuk menerima molekul alergen. Jika alergen berikatan
dengan dua molekul IgE yang terikat pada permukaan sel, maka
preformed mediator seperti histamin dilepaskan dari sel.
Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolism fosfolipid membran
menjadi asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu rangkaian newly
generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan
tromboksan. Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan
timbulnya secara mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan
rinore. Histamin merupakan mediator utama dan telah diteliti dengan
baik pada rinitis alergi. Histamin menimbulkan gejala melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Efek langsung meliputi peningkatan
permeabilitas epitel, sehingga memudahkan kontak antigen dengan
basofil dan sel mast pada lamina propria, dan meningkatkan dilatasi dan
permeabilitas vaskular. Hal ini memerlukan interaksi histamin dengan
reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah. Secara tidak langsung,
histamin merangsang reseptor H1 pada saraf sensorik, mengawali
jalur refleks parasimpatetik yang menyebabkan bersin, gatal dan hipersekresi
kelenjar.
Terdapat bukti yang menduga bahwa penderita rinitis alergi
hiperaktif terhadap faktor lingkungan nonspesifik meliputi perubahan
temperature dan kelembaban serta polutan. Peningkatan sensitivitas
ini dapat disebabkan akibat ketidakseimbangan primer di samping
perubahan sekunder yang disebabkan oleh mediator yang dilepaskan oleh
reaksi alergi. Respons fase lambat terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah
paparan alergen dan merupakan suatu proses cellular-driven dengan adanya
infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit T dan makrofag, yang
melepaskan mediator inflamasi dan sitokin tambahan dan memperpanjang
respons proinflamasi. Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai
penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan

15
hidung, anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap
alergen yang sama atau alergen lainnya dan iritan. Paparan alergen yang
terus-menerus seringkali menyebabkan keadaan inflamasi kronis.
F. Diagnosa
a. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan: lama, frekuensi, waktu
timbulnya dan beratnya penyakit, persisten atau intermiten. Gejala
yang ditanyakan berupa hidung berair, hidung tersumbat, post-nasal
drip, gatal di hidung dan palatum, bersin-bersin. Selain itu perlu
ditanyakan gejala mata merah, gatal dan berair. Riwayat atopi dalam
keluarga (asma, dermatitis atopi, rinitis alergi) perlu ditanyakan untuk
mendukung status atopi pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Dicari gejala gatal pada hidung, telinga, palatum atau
tenggorok, sekret bening cair, kongesti nasal, nyeri kepala sinus, disfungsi
tuba estachius, bernafas lewat mulut atau mengorok, post nasal dripkronis,
batuk kronis non produktif. Adanya tanda atopi yang khas allergic shiner
(bayangan gelap pada mata), geographic tongue, Dennie Morgan’s line,
allergic salute dan allergic crease (garis melintang di bawah dorsum nasi).
c. Pemeriksaan Penunjang
 Skin test untuk mengidentifikasi reaksi terhadap penyebab allergen.
 Allergen-specific serum IgE test: apabila skin test tidak bisa dilakukan
(apabila pasien meminum obat yang dapat menintervensi hasil dari
skin test).
G. Tatalaksana
a. Penghindaran Alergen
b. Medikamentosa
c. Imunoterapi spesifik: untuk penderita rhinitis berat
d. Bedah: hanya dilakukan pada kasus selektif (sinusitis dengan air-fluid
level/deviasi septum)

16
Rinitis alergi intermiten
 Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3
dosis. Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah
dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali
sehari.
 Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali
diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang
dari 2 tahun, atau generasi ketiga seperti desloratadine dan
levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila tidak ada perbaikan atau
bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1
mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.
Rinitis alergi persisten
 Ringan
Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak
membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya
mometason furoat atau flutikason propionat.
 Sedang/berat
Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan
evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula
obat-obat simtomatik lain seperti rinitis alergi intermiten
sedang/berat.

17
II.3.2 Rhinitis Vasomotor
A. Definisi
Rhinitis Vasomotor merupakan gangguan vasomotor hidung karena
terdapatnya gangguan fisiolgoik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas saraf parasimpatis. Saraf mukosa hidung berasal dari
nervus vidianus yang mengandung serabut saraf simpatis dan parasimpatis.
Aktivitas saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga
terjadi sumbatan dan peningkatan produksi mucus, sementara aktivitas saraf
simpatis menyebabkan patensi hidung dan menurunnya produksi mucus. Pada
penderita rhinitis vasomotor mekanisme pengatur ini hiperaktif dan
kecendurungan saraf parasimpatis lebih aktif.

18
B. Etiologi
Rhinitis vasomotor dapat terjadi pada semua tingkatan usia, namun
memang lebih sering ditemuan pada usia tua meskipun keadaan ini merupaka
bagian dari proses penuaan. Etiologi pasti untuk rhinitis vasomotor belum
diketahui tetapi diduga sebagai gangguan keseimbangan vasomotor, yang
dipengaruhi oleh:
a. Neurogenik (disfungsi system otonom). Serabut simpatis melepaskan ko-
transmiter moradrenalin dan neropeptida Y yang menyebabkan
vosokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan
tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
b. Neuropeptida, pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut
C dihidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti
dengan penimgkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan
calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar.
c. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis (ergotamine,
chlorpromazine, anti-hipertensi, vasokonstriktor topical)
d. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembapan udara yang
tinggi dan bau yang merangsang
e. Faktro endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil
dan hipotiroidisme
f. Faktor psikis, seperti rasa cemas dan tegang

C. Patofisiologi
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara saraf simpatis dan
saraf parasimpatis sehingga terjadi keseimbagan pada mukosa hidung.
Rangsangan saraf parasimpatis akan menyebabkan pelepasan asetilkolin
sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah dalam konka dan meningkatkan
permeablitas kapiler dan sekresi kelenjar, sedangkan saraf simpatis
sebaliknya. Adanya aktivitas yang berlebihan dari saraf parasimpatis
menyebabkan gangguan vasomotor. Ada empat gejala yang dapat terjadi

19
akibat perangsangan parasimpatis yaitu obstruksi nasi, hipersekresi kelenjar,
pruritus dan bersin-bersin.
D. Tanda dan Gejala
Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien,
rinorea yang mucus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin,
dan tidak disertai gatal dimata. Gejala memburuk pada pagi hari atau bangun
tidur karena udara yang ektrim, udara lembab, dan juga karena asep rokok dan
sebgainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan obstruksi
(tersumbat), rinore (runner) dan golongan bersin(sneezers). Pemeriksaan
rinoskopi anterior menunjukan gambaran klasik berupa ademe mukosa
hidung, konka berwarna merah gelap atau tua atau berwarna pucat, permukaan
berbenjol. Pada golongan rinore biasa sekret yang ditemukan serosa dan
dalam jumlah banyak.
E. Diagnosa
a. Anamnesis
Menggali waktu perjalanan penyakit, waktu gejala muncul, apa yang
memperparah atau apa yang memperingan gejala
b. Pemeriksaan fisik
Edem mukosa hidung, konka warna merah gelap atau merah tua tetapi
dapat pula pucat. Permukaan konka licin/ tidak rata, secret mucoid sedikit,
sekretnya biasanya serosa.
c. Pemeriksaan penunjang
Prick test, test alergi untuk membedakan dengan rhinitis alergi
F. Tatalaksana
Di cari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Terapi bervariasi, tergantung factor
penyebab dan gejala yang menonjol secara umum terbagi atas:
a. Menghindari penyebab
b. Pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan oral, diatermi,
kauterisasi konka yang hipertrofi dengan nitras argenti 25% atau
trikloroasetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal, misalnya

20
budesonid, dengan dosis 2x100-200, dapat ditigkatkan sampe 400
mikrogram, sehari.
c. Operasi, dengan bedah beku, elekrokauter, atau konkatomi konka inferior.
d. Neurotomi nervus vidianus sebagai saraf otonom mukosa hidung, jika
cara-cara di atas tidak berhasil. Operasinya tidak mudah dan
komplikasinya cukup berat

II.3.3 Rhinitis Atrofi


A. Definisi
Rhinitis atrofi atau ozaena merupakan infeksi hidung kronik, yang
ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka.
Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa
struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis,
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
B. Etiologi
Keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu :
a. Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada
mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik
penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas
aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,
Cocobacillus foetidus ozaena.
b. Defisiensi Fe dan vitamin A.
c. Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
d. Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
e. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
f. Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti
deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
g. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
h. Herediter.

21
i. Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
j. Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :
rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi
sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi)
dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline
granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu
menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet
fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera
pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan
karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.
C. Patogenesis
Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous
atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar
alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan
periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis
atrofi bisa dibagi menjadi dua:
a. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat
infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di
arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga
akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Sel endotel bereaksi positif
dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi
lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun adanya antibody
yang berlawanan dengan surfaktan. Fungsi surfaktan yang abnormal
menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai
pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia yang akan

22
menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan
keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena),yaitu :
a. Mukosa hidung, berubah menjadi lebih tipis
b. Silia hidung, silia akan menghilang
c. Epitel hidung, terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak sial menjadi
epitel kubik
d. Kelenjar hidung mengalami degenerasi atrofi atau jumlah nya berkurang.
D. Gejala Klinis
Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa :
a. Hidung tersumbat
b. Gangguan penciuman (anosmia)
c. Ingus kental berwarna hijau,
d. Adanya krusta (kerak) berwarna hijau
e. Sakit kepala
f. Epistaksis dan hidung terasa kering
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita
sendiri tidak mencium namun orang disekitarnya merasa bau. Pasien
mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun
tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar,
pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung,
terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat
telah bergerak semakin jauh dari gambaran.
Ozaena secara klinik dalam tiga tingkat:
a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan
berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

23
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini
mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan
terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan
dan pendarahan.
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang
lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara
perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin
tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis
jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa
hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang
hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung
dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat
mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik
dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus
lakrimalis termasuk keratitis sicca.
E. Diagnosa
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal,
pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test
serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka
nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret
purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.

24
b. Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi.
 Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
 Pemeriksaan mikroorganisme.
 Uji resistensi kuman.
 Pemeriksaan darah tepi.
 Pemeriksaan Fe serum.
 Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat
mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia
menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau
atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.
 Pemeriksaan serologi darah.
F. Tatalaksana
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat
paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk,
terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator;
pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas.
Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung
mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai
darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor
etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan
secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.
a. Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat
cuci hidung, dan simptomatik.
 Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis
adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf
melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral
600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
 Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret dan menghilangkan bau. Antara lain :
- Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

25
- Campuran :
o NaCl
o NH4Cl
o NaHCO3
o Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air
hangat
- Larutan garam dapur
- Campuran :
o Na bikarbonat 28,4 g
o Na diborat 28,4 g
o NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi
dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke
nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
 Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa
25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam
minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan
streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-
masing tiga tetes.
 Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
 Preparat Fe.
 Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik
memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode
waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan
kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet
sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk
melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2

26
minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan
didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
b. Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk :
menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi. Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :
 Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
 Operasi seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke
arah dalam. Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :
- Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil
yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya
dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama
periode tiga tahun.
- Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
- Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
- Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
- Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N
melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada
penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak
menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan
lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares
anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau
dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

27
II.3.4 Rhinits Medikamntosa
A. Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakain vasokonstriktor
topikal ( tetes hidung atau semprot hidung ) dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat
dikatakan bahwa hal disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug
abuse).
B. Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ sangat peka terhadap rangsangan
atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokontriksi. Obat
topikal vasokontriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan
siklus nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian
obat itu dihentikan.
Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu
yang lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya
gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa
adrenergic yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan
penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga
terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan
vasikontriksi (dekongestan mukosa hidung) menghilang. Akan tetapi terjadi
dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini juga dsebut
sebagai rebound congestion.
C. Gejala dan Tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada
pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

28
D. Tatalaksana
a. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung
b. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari.
Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
c. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).
E. Prognosis
Pasien yang menghentikan pemakaian obat-obatan tetes hidung akan
menunjukan penyembuhan sempurna.

29
Perbedaan Rhinitis alergi Rhinitis vasomotor Rhinitis Medikamentosa Rhinitis Atrofi
Etiologi Alergen Iritan, perubahan cuaca Penggunaan Klebsiella Ozaena
vasokonstriktor topical
dalam jangka waktu lama
Gejala klinis
Kongesti Sering Sering, bergantian kanan Terus menerus Sering (karena tertutup
dan kiri krusta)
Bersin Sering Jarang Jarang Jarang
Anosmia Jarang Jarang Jarang Sering
Gatal pada mata Sering Jarang Jarang Jarang
Pemeriksaan Fisik
Mukosa hidung Edem, pucat Edem, Merah gelap/merah edem Konka atrofi
tua, dapat pucat.
Konka licin/hipertrofi
Sekret Bening, encer Bening, banyak Bening, berlebihan sekret kental hijau dan
cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
Laboratorium
Sitologi hidung Banyak eosinofil Tidak ada eosinophil Tidak ada eosinophil -
Skin test + - - -
IgE total Elevasi Normal Normal -

30
II.3.5 Rhintis Geriatri
A. Definisi
Rhinitis pada pasien lanjut usia (lansia) merupakan kejadian yang
umum namun terkadang tidak begitu terlalu diperhatikan karena tidak
mengancam jiwa. Rhinitis pada lansia yang paling sering terjadi adalah rhinitis
vasomotor, rhinitis atrofi, rhinitis gustatory dan medication induced.
B. Gejala
Pada dasarnya gejala, diagnosis dan terapi yang diberikan untuk rhinitis
pada lansia dan kelompok dewasa sama. Namun perlu adanya perhatian
khsusus pada pasien lansia dengan rhinitis, karena pada lansia gejala rhinitis
dapat berupa:
a. Rasa hidung mengeluarkan cairan terus-menerus
b. Untuk mengeluarkan lendir dari tenggorok agak sulit
c. Rasa adanya sumbatan hidung saat berbaring
d. Kerak hidung (crusting) terutama pada cuaca dingin dan menggunakan
diuretic
e. Rasa adanya tekanan pada wajah yang samar
f. Penurunan indra penghidu dan perasa
C. Perubahan fisiologis hidung pada lansia
a. Struktural: menurunanya fungsi otot-otot wajah dan melemahnya tulang
kartilago pada septum hidung dapat mempengaruhi perubahan pada cavum
nasal, yang menyebabkan menurunanya aliran udara hidung menyababkan
rasa kongesti
b. Mucus: menebalnya mucus bersaaman dengan menurunnya mucociliary
clearance
c. Kekeringan dan kelembapan hidung: lansia lebih mudah mengering
hidungnya. Karena adanya penurnan kelembapan pada hidung karena
adanya perubahan vaskularisasi pada hidung.
d. Penurunan fungsi penghidu

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke


Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Rauch, Daniel. Chronic Rinitis. Pediatrics in Review November 2004, 25 (11)
406-407; DOI: https://doi.org/10.1542/pir.25-11-406.
3. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke
Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from :
http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita
Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
5. https://www.enthealth.org/conditions/geriatricrhinitis/https://
aacijournal.bioet.com/articles/10.1186/1710-1492-6-10.

32

Anda mungkin juga menyukai