Consent”
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar
profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi,
urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut
:
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang
sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping,
seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
o Persetujuan yang sudah didasari adanya informasi, sudah didasari pengertian dan
pemahaman akan tindakan yang akan disetujui.
o Pernyataan setuju terhadap tindakan diagnostik / terapetik, setelah mendapat
penjelasan tentang tujuan, resiko, alternatif tindakan yang akan dilakukan, serta
prognosis penyakit jika tindakan itu dilakukan / tidak dilakukan.
o Pada Bab I butir Id. Pedoman Persetujuan Tindakan Medik, disebutkan bahwa :
Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan
Consent berarti persetujuan (ijin).
Ada perbedaan penekanan antara informed consent ini dengan persetujuan dalam kontrak terapetik
(sesuai pasal 1320 KUH perdata).
Informed Consent dalam profesi kedokteran (juga tenaga kesehatanan lainnya) adalah pernyataan
setuju (consent) atau ijin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary)
tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup
tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.
2.2 - Dasar hukum informed consent -
o Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585 / MENKES 1 PER / IX / 1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medik, yang pedoman pelaksanaannya diatur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.063.5.1866 Tentang Pedoman
Persetujuan Tindakan Medik ( Informed Consent ) tanggal 21 April 1999.
o SK. Dirjen YANMED. No. YM 00.03.2.6.956 Tentang Hak dan Kewajiban Pasien Dan
Perawat.
o Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Nomor :
YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997 Tentang Pedoman Hak Dan Kewajiban Pasien,
Dokter Dan Rumah Sakit.
o Pasal 45 (1) UUPRADOK.
o semakin jauhnya masyarakat dari iptek kedokteran. Hal ini terjadi karena
perkembangan iptek kedokteran yang cepat.
o semakin banyaknya alternatif pilihan terapi dan diagnostik.
o semakin tingginya kesadaran masyarakat akan hak-hak pasien.
o perkembangan ilmu hukum yang mendorong masyarakat untuk sadar akan posisinya
dalam hubungan dokter pasien.
o kesadaran dokter akan aspek hukum dari tindakan medis.
Informed consent yang terwujud dapat berupa oral consent (terucap) dan writen consent (tertulis).
Bentuk oral consent ini terwujud dengan kata-kata persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang
akan dilakukan oleh dokter. Bentuk oral consent ini lebih sering terdapat jika dibanding dengan yang
writen consent. Bentuk yang tertulis ini banyak dipakai untuk tidakan yang bersifat infasiv, seperti
tindakan operasi, tindakan diagnostik (foto dengan kontras), dan tindakan dengan biaya mahal dan lain
sebagainya.
Untuk kepentingan rekam medik ada baiknya untuk selalu mencatat persetujuan dari pasien yang
berupa kata 'setuju' ke dalam lembaran rekam medik saat dokter visite.
Demikian juga misalnya tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat dalam rangka pelayanan
keperawatannya harus menyertakan adanya informed consent dalam setiap tindakan keperawatannya.
Baik dalam bentuk yang tersembunyi ataupun bentuk yang terwujud.
2.10 - Kewajiban memberi penjelasan-
Bab II butir 5 Kep Dirjen Yanmed Pedoman Pertindik menyebutkan bahwa : Dokter yang akan
melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan
yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan
kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.
Pasal 6 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK menyebutkan:
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh
dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri
(2) Datam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat informasi harus
diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi
dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
2.11 - Sahnya suatu informed consent-
Suatu persetujuan dianggap sah apabila:
a. Pasien telah diberi penjelasan/ informasi
b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan
keputusan/persetujuan.
c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela (tidak ada unsur paksaan)
d. Tidak boleh ada unsur penipuan.
Seperti pada syarat sahnya suatu kontrak, hal mana di dalamnya disebutkan salah satu unsur untuk
sahnya suatu kontrak yaitu adanya saling setuju. maka untuk sahnya informed consent itu juga
mengacu pada ketentuan yang sama dengan konsep saling setuju seperti yang terdapat dalam kontrak
terapetik.
Menekankan hanya pada adanya tanda-tangan persetujuan tindakan kedokteran akan menjebak
dokter hanya bekerja secara formal tanpa ada beban moral dari pekerjaannya. Bahkan dokter dapat
saja terbawa oleh susana formalitas dari pekerjaannya itu. Padahal yang terpenting adalah munculnya
kesadaran dari pasien tindakan dokter itu tidak menjanjikan hasil, dokter hanya berusaha dengan iptek
yang saat ini ada.
Memang bukti formal berupa selembar kertas yang ditanda-tangi itu sangat penting, terlebih jika
dikaitkan dengan aspek hukum perdata, tetapi dilihat dari aspek pidana, yang melihat kebenaran tidak
hanya dari aspek formal, tapi kebenaran adalah kebenaran material, maka bukti formal saja tidak
mencukupi. Maka, perhatian dokter terhadap masalah informed consent ini harus proporsional.
Kemudian juga harus disampaikan resiko-resiko yang mungkin dapat terjadi dari tindakan yang akan
dilakukan dokter. Untuk itu sangat penting diupayakan agar persetujuan juga mencakup apa yang
harus dilakukan jika terjadi peristiwa yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan tindakan kedokteran
tersebut.
Persetujuan harus diberikan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari manapun, termasuk dari staf
medis, saudara, teman, polisi, petugas rumah tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, pemberi kerja, dan
perusahaan asuransi. Bila persetujuan diberikan atas dasar tekanan maka persetujuan tersebut tidak
sah. Pasien yang berada dalam status tahanan polisi, imigrasi, LP atau berada di bawah peraturan
perundangundangan di bidang kesehatan jiwa/mental dapat berada pada posisi yang rentan. Pada
situasi demikian, dokter harus memastikan bahwa mereka mengetahui bahwa mereka dapat menolak
tindakan bila mereka mau.
2.12 - Cara memberi informasi-
Bab II butir 6 Pedoman Persetujuan Tindakan Medik menyebutkan : Informasi dan penjelasan
disampaikan secara lisan. Informasi dan penjelasan secara tulisan dilakukan hanya sebagai pelengkap
penjelasan yang telah disampaikan secara lisan.
Pada pasal 4 dan 5 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK disebutkan dalam pasal 4
dan 5 bahwa :
Pasal 4.
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi seiengkap- tengkapnya, kecuali biIa dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien atau pasien menolak diberi informasi.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud aya (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan
informasi kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh perawat sebagai saksi.
Pasal 5.
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan
dilakukan, balk diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan_
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.
CATATAN
Istilah kedokteran tidak boleh dipakai dalam memberikan informasi dan penjelasan karena mungkin
tidak dimengerti oleh orang awam agar supaya tidak terjadi salah pengertian sehingga mengakibatkan
masalah yang serius.
Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
2.13 - Pihak yang memberikan informasi.
Pihak yang wajib memberikan informasi adalah dokter atau tenaga kesehatan lain yang akan langsung
memberikan tindakan tersebut kepada pasien.
Adalah tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/tindakan untuk
memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat
mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab
tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara
benar dan layak.
Jika seseorang dokter akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama dokter
lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan
apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya untuk
memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.
2.14 - Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan.
Dalam Pedoman Persetujuan Tindakan medik hal ini diatur dalam pasal 7. yaitu :
a. Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
b. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan
Medik diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
(1) Ayah / ibu kandung.
(2) Saudara-saudara kandung.
c. Bagi yang dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan
hadir, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut
urutan hak sebagai berikut :
(l) Ayah/ibu adopsi.
(2) Saudara-saudara kandung.
(3) Induk semang.
d. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan
Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
( 1 ) Ayah/ibu kandung.
( 2 ) Wali yang sah.
( 3 ) Saudara-saudara kandung.
e. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), Persetujuan atau Penolakan
Tindakan Medik di berikan menurut urutan hak sebagai berikut:
(1) Wali.
(2) Curator.
f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah / orang tua, persetujuan atau penolakan tindakan medis
diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
a. Suami/istri.
b. Ayah/ibu kandung.
c. Anak-anak kandung.
d. Saudara-saudara kandung.
CATATAN.
Yang dimaksud dengan beberapa pengertian dibawah ini berdasarkan Bab I butir 4 Pedoman
Persetujuan Tindakan Medik :
l. Ayah : -Ayah kandung.
Termasuk "Ayah" adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan atau
berdasarkan Hukum Adat.
2. Ibu :-Ibu kandung.
Termasuk " lbu " adalah ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan Hukum Adat.
3. Suami :- Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan berdasarkan
peraturan perundang - undangan yang berlaku.
4.lsteri :- Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang lakilaki berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari l (satu) isteri, persetujuan /penolakan dapat
dilakukan oleh salah satu dari mereka.
5. Wali: - Adalah yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum menggantikan kedudukan
orang tua.
6. Induk semang : adalah orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab
terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga
dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang berusia 18
tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat
diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan
persetujuan.
Miskipun demikian untuk anak yang berumur dibawah 18 tahun, jika memerlukan tindakan darurat
maka pertolongan tetap harus diberikan dalam rangka mencegah timbulnya kecacatan, atau kerusakan
lebih lanjut jika tidak diberi tindakan segera.
Kemudian jika usianya dibawah 18 tahun, tapi memungkinkan untuk dapat mengerti dan memahami
sifat dari persetujuan itu (dalam rangka untuk memenuhi hak asasi manusia) maka dibolehkan untuk
melakukan persetujuan asal dilakukan pada tindakan yang tidak beresiko tinggi.
2.15 - Kompetensi pasien dalam persetujuan
Berkaitan dengan masalah kompetensi dalam memberikan persetujuan, maka pengertian kompeten
dari pasien itu perlu diurai, sampai sejauh mana sehingga dapat disebut kompeten, perlu ditetapkan
pedoman garis besarnya demi untuk kepastian hukum.
Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran KKI menyebutkan ada 3 kriteria, yaitu seseorang
(pasien) dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila:
o Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas,
menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis.
o Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup
lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan
secara bebas.
o Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
Miskipun pada pasien sudah disampikan informasi, ada baiknya untuk tetap dilakukan cek silang
dengan keluarganya akan sikap dari pasien tersebut. Hal ini untuk memberikan kepastian juga pada
keluarga bahwa apa yang disampaikan pasien itu benar, sudah disadari dan dimaklumi juga oleh
keluarga. Karena, penuntutan tidak selalu muncul dari pasien, tapi dapat juga termotivasi oleh sikap
keluarga yang merasa tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien.
Sehingga tetap diperlukan kehadiran daripihak keluarga untuk menjadi saksi atas persetujuan tindakan
yang akan dilakukan dokter kepada pasien..
2.16 - Cara Memberikan Persetujuan.
Bab II butir 8 Pedoman Persetu,juan Tindakan Medik menyebutkan bahwa cara pasien menyatakan
persetujuan dapat secara :
1. tertulis (express) maupun,
2. lisan (implied).
Persetujuan tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung risiko tinggi, sedangkan
persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung risiko tinggi.
Lebih lanjut KKI dalam buku petunjuknya menjelaskan memberikan petunjuk bahwa persetujuan
tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb:
- Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping yang
bermakna.
- Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
- Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian
atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
- Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ayat (5) menyatakan bahwa " Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan."
2.17 - Penolakan Tindakan Kedokteran (Informed Refusal)
Persetujuan akan tindakan yang sedang direncanakan mutlak ada ditangan pasien. Jadi setelahpasien
menerima informasi dari dokter atau yang bertugas untuk memberikan keterangan, maka selanjutnya
psien akan bersikap, menerima atau menolak.
Penolakan (refusal) pasien tersebut dapat disebut juga dengan istilah penolakan tindakan kedokteran
atau penolakan tindakan medik atau informed refusal.
Pada pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya dan mampu
membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran.
Penolakan itu boleh logis boleh juga tidak, sebab penolakan yang terjadi merupakan resiko pasien, hal
mana resiko akibat dari penolakan itu diterangakan sebelumnya oleh dokter kepada pasien atau
keluarganya..
Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan
tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi
untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi
tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan
merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan
dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan
tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini
rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
2.18 - Penundaan dan Pembatalan Persetujuan
Berhubungan dengan perihal penolakan tindakan kedokteran, pasien juga memiliki hak untuk
menunda bahkan membatalkan persetujuan yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata menghormati
hak pasien yang berdiri atas dasar hak untuk menentukan nasbnya sendiri (right to self determination).
Pedoman tentang yang dikeluarkan KKI juga menyebutkan, persetujuan suatu tindakan kedokteran
dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai
alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah
waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah
persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.
Pengecekan diperlukan untuk menilai lagi adakah tindakan medik yang dilakukan itu masih layak
mengingat perjalanan waktu sakit, sehingga dimungkinkan adanya perubahan kondisi dari pasien. Juga,
juga diperlukan apakah pasien masih ingat akan resiko dari tindakan yang akan dilakukan.
Memperhatikan hal ini, jika ditemukan hal- hal yan gkurang pas karena adanya perubahan, maka ada
baiknya dibuat bentuk persetujuan baru sesuai dengan kondisi yang ada sekarang.
Selain penundaan juga dimungkin pasien melakukan pembatalan terhadap tindakan medik yang sudah
disetujuinya.
Pada dasarnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan membuat surat
atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut dapat
dilakukan selama pasien memiliki kesadaran penuh. Jika pasien sudah dalam keadaan tidak sadar
karena pengaruh pembiusan tentunya pembatalan tidak akan dapat dilakukan.
Pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan
tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Menentukan kompetensi pasien pada beberapa situasi seperti pasien menderita nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai
kompetensi pasien. Dokter dalam hal situasi sulit seperti ini dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam
membangun landasan etik yang tepat.
Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter
harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya.
Kadang-kadang pembatalan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu
tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya
dibatalkan.
Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk
melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan,
dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan
akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan.
Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa
dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.
2.19 - Pembukaan Informasi
Berdasar Undang-undang Praktik Kedokteran Paragraf 4: Rahasia Kedokteran, pasal 48 ayat (2)
disebutkan: " Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan"
Oleh karena segala hal yang berkaitan dengan pasien adalah termasuk dalam pengertian "segala hal
yang harus dirahasikan oleh dokter atau yang disebut rahasia medik", maka ketentuan untuk membuka
rahasia ini harus memenuhi aturan yang ada.
Informasi tentang pasien yang diperoleh dokter dalam proses hubungan dokter psien menjadi rahasia
kedokteran.
Pada umumnya pembukaan informasi pasien kepada pihak lain memerlukan persetujuan pasien.
Persetujuan tersebut harus diperoleh dengan cara yang layak sebagaimana diuraikan di atas, yaitu
melalui pemberian informasi tentang baik-buruknya pemberian informasi tersebut bagi kepentingan
pasien.
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa pembukaan informasi tidak
memerlukan persetujuan pasien pada keadaan-keadaan:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, misalnya dalam
bentuk visum et repertum
c. atas permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina
Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi prinsip "need to
know", yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga tersebut hanya secukupnya,
yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta informasi.
2.20 - Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi tidak hanya melibatkan individu tetapi melibatkan pasangan dan janin yang
dikandungnya terutama bagi wanita. Oleh karena itu, persetujuan tindakan di bidang kesehatan
reproduksi memiliki dimensi yang agak berbeda dengan kondisi tindakan medis terhadap organ
lainnya.
Permasalahan utama pada pemberian persetujuan dalam lingkup kesehatan reproduksi adalah kapan
dan bagaimana persetujuan cukup diberikan oleh pasien wanita saja, orang tua, suami saja dan suami
isteri.
2.21 - Format Isian Informed Consent.
Formad isian Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) atau Penolakan Tindakan Medik,
digunakan seperti contoh formulir terlampir, dengan ketentuan sebagai berikut :
o Diketahui dan ditanda tangani oleh dua orang saksi. Perawat bertindak sebagai salah
satu saksi ;
o Materai tidak diperlukan ;
o Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien ;
o Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum tindakan medis
dilakukan.
o Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah diberikan
informasi dan penjelasan secukupnya.
o Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf harus
membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanan.
CATATAN
• Ibu jari pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu jari tersebut tidak boleh
dipegang oleh tenaga kesehatan yang mendampingi (untuk menghindari tuduhan adanya paksaan dari
pihak rumah sakit dan atau tenaga kesehatan)
• Apabila pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu tersebut buta aksara dan tuna
netra (tidak dapat melihat sama sekali) petugas yang mendapingi boleh memegang ibu jarinya, tetapi
harus disertai berita acara dan ditandatangani oleh dua orang saksi seperti berita acara dan ditanda
tangani oleh dua orang saksi seperti pada formulir persetujuan atau penolakan tindakan medik.
2.22 - Sanksi Hukum.
Sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan
berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas dapat dijatuhi sanksi hukum maupun sanksi
administratif apabila pasien dirugikan oleh kelalaian tersebut.
Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran disebutkan juga sanksi yang akan dapat menimpa
dokter jika tidak melakukan informed consent dalam praktiknya.
Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang sah, maka dampaknya
adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah :
1. Hukum Pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai
"penyerangan" (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan pasien untuk mengadukan dokter ke
penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi.
2. Hukum Perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka pasien harus dapat
menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan
dimaksud - padahal apabila dia telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau
menjalaninya, atau menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan
(perbuatan melanggar hukum).
3. Pendisiplinan oleh MKDKI
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan hal
tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang
dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.
2.23 - Sanksi Pidana.
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa persetujuan pasien
atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan yang sanksinya diatur dalam pasal 351
KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
5 Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.
Pasal 11.
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik
berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk
kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Pasal 14.
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana
tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik
tidak diperlukan.
CATATAN.
Meskipun pasien atau keluarganya telah menyetujui tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
dirinya atau keluarganya, apabila terjadi kematian, luka berat atau sakit untuk sementara akibat
kelalaian tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tetap dapat dituntut atau digugat karena kelalaian
tersebut.
2.27 - Mengapa masih ada permasalahan?
Permasalahan dalam hubungan dokter pasien, tetap masih dapat terjadi. Khususnya terkait tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter. Permasalah tersebut tetap masih ada karena adanya "misinformasi".
Kemungkinan karena kurangnya fasilitas komunikasi (dokter / RS dengan pasien).
Masalah informasi ini penting untuk dijadikan obyek kajian mengngat tenaga kesehatan dengan pola
pelayanan paternalisitiknya, mungkin akan melakukan tindakan yang tidak benar seperti :