Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
 
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan
yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan
sebagai konsekuensi dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai
salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas
yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah
sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan keperawatan
berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental,
keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan
sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu
dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga
kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan)
saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan
ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi,
sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik
atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan,
tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.

1
Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal
6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal
tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada,
dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk
memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melangga rcase
law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal
praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang
cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan
sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di
Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun
data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang
jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai
bermunculan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah adalah:
“Bagaimanakah Informed Consent pada pasien?”

1.3 Tujuan
1.3.1   Tujuan Umum
Menjelaskan Informed Consent pada pasien
1.3.2   Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian Informed consent
2. Menjelaskan komponen-komponen Informed consent
3. Menjelaskan tujuan pelaksanaan Informed Consent
4. Menjelaskan fungsi pemberian Informed Consent
5. Menjelaskan ruang lingkup informed consent
6. Menjelaskan peran perawat dalam pemberian Informed Consent

2
7. Menjelaskan hal-hal yang diinformasikan pada pasien
8. Menjelaskan aspek hukum Informed Consent
9. Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses Informed Consent

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed
consent pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
1.4.2 Bagi Institusi
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian
informed consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan
referensi-referensi buku tentang etika dan hukum kesehatan.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Agar lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed
consent pada pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
 
 
 
 
 
 

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 Pengertian Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian
suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH, “informed consent” dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
 
2.2 Komponen-Komponen Informed Consent
1. Threshold Elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk
membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan
sebenarnya merupakan suatu kontinum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat
berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah
menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan
membuat keputusan menjadi terganggu.

4
2. Information Elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang
adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan
informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan  
informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam       komunitas
tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan
tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya
resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan,
padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai
untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah
mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami
nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
c. Standar Pada Reasonable Person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan dan
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan
tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas
dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya
 

5
2.3 Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek
yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis
yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment”
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan
teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi
dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika
melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena
ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian
oleh teman sejawat lainnya.
 
2.4 Fungsi Pemberian Informed Consent
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk
menentukan nasibnya sendiri
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan
(Health Care Receiver = HCR)
4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati
pasien
5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan

6
9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan
introspeksi terhadap diri sendiri.
 
2.5 Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada
pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu
mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan
pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki
hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan
penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa
pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada
beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan
diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan
terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam
kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya
penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan
inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1. Hak Atas Informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita,
tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai
akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi
lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
2. Hak Atas Persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yang diberikan tanpa
paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan
yang ia berikan, dimana orang tersebut secara hukum mampu
memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani
oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur
yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang

7
kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi
(Informed Consent).
a. Hak atas rahasia medis
b. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
c. Hak untuk melihat rekam medik
d. Hak perlindungan bagi orang yang tidak berdaya (lansia, gangguan
mental, anak, dan remaja di bawah umur)
e. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan
informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi,
bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari
pelayanan orang yang tidak kompeten.
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di rumah sakit
2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit
9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap
dirinya
10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

8
2.6 Peran Perawat Dalam Pemberian Informed Consent
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi
dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem.
Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah
orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun
tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat
sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung
jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi
dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang
diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of
client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.
 
2.7 Hal-Hal Yang Dapat Diinformasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan
pasien.
2. Resiko
Resiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai
upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi
alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama
ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko
dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus
memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada

9
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter
lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis
dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh
adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium
radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur,
keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan Atau Konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan
terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang
dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk
tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga
berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan
mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat
diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari informed consent.
 
2.8 Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek
hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek
hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur
oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

10
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolak
ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi
kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada
hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain
harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan
adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil
(ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur
untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan
mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan,
tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa
adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan

11
hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relatif, misalnya
tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup
diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent
ini.
 
2.9 Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent
1. Bagi pasien
a. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
b. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak
ada waktu untuk tanya jawab
c. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
d. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
2. Bagi petugas kesehatan
a. Pasien tidak mau diberitahu.
b. Pasien tak mampu memahami.
c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

12
BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Kasus yang terjadi antara Ny. A dengan dokter dan perawat di salah satu
rumah sakit di Jakarta Timur pada Februari 2013 lalu. Kejadian bermula pada 20
Februari 2013 pasien memeriksakan benjolan pada lehernya, oleh dokter pasien
didiagnosa Struma Multinodosa Non Toksika atau menurut pasien disebut tumor
kelenjar tiroid. Hal ini diharuskan untuk melakukan operasi pengangkatan tumor
tersebut. Sebelum melakukan operasi dokter menyuruh perawat untuk
memberikan informed consent serta menjelaskan tentang hasil pemeriksaan,
resiko tindakan, alternatif, rujukan atau konsultasi, dan prognosis kepada pasien
dan keluarga. Namun, pada kenyataannya perawat hanya menyampaikan tentang
tindakan yang akan dilakukan. Dan keluarga pasien menyetujui tindakan tersebut.
Setelah dilakukan tindakan operasi ternyata kondisi pasien mengalami
penurunan dan terus memburuk hingga harus dilarikan ke ICU, sampai pada 23
Maret 2013 pasien tidak tertolong dan meninggal. 
Keluarga kemudian menuntut perawat Rumah sakit yang merawat pasien
karena saat diberikan informed consent pasien dan keluarga tidak diberitahu
tentang efek samping dari operasi yang akan dijalankan.

3.2 Pembahasan
Berdasarkan uraian kasus di atas dapat dilihat kelalaian dari tenaga medis
yaitu dokter dalam hal pemberian informed consent. Hal tersebut telah dijelaskan
dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 37 ayat 1 yang
menyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan dirumah sakit
harus mendapat persetujuan pasien dan keluarganya”. Namun dalam kasus
tersebut selain dokter yang menjelaskan informed consent, perawat juga
perlu menjelaskan informed consent pada pasien, sebab perawat 24 jam hadir
bersama pasien serta memiliki hubungan lebih dekat
dengan pasien dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 32 tahun 1996 keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga

13
kesehatan, dimana peran profesinya setara dengan tenaga kesehatan lain. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu memberikan
informed consent kepada pasien.
Kasus di atas digambarkan bahwa dokter dan perawat ataupun tenaga
kesehatan lain yang berada pada rumah sakit tersebut memang telah memberikan
informed consent yang harus ditandatangani oleh pasien atau keluarganya, namun
tenaga kesehatan tidak memberikan penjelasan tentang operasi serta efek ataupun
komplikasi yang akan terjadi setelah operasi. Padahal operasi yang dilakukan pada
pasien yang awalnya didiagnosa Struma Multinodosa Non Toksika yang kemudian
setelah dilakukan patologi anatomi pasien diketahui mengidap tumor ganas atau
Karsinoma Papiler Thyroid dan harus dilakukan pengangkatan seluruh tiroidnya
termasuk dalam operasi besar dan memiliki efek samping serta resiko pada pasien.
Sebab menurut UU No. 29 tahun 2004 Pasal 45 tindakan medis yang diberikan
pada pasien dapat diberikan setelah pasien menyetujui dan menerima penjelasan,
penjelasan yang diberikan sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan
risikonya, komplikasi terhadap tindakan serta prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
Namun, dilihat dari sisi medis dan keperawatan apa yang diputuskan oleh
tenaga medis yaitu dokter dan tenaga kesehatan dapat dikatakan tepat.
Pemeriksaan pertama pada pasien yang kemudian diketahui memiliki tumor pada
leher atau struma, kemudian pasien diputuskan untuk dilakukan operasi pertama
yaitu pengangkatan benjolan yang langsung diperiksa laboratorium patologi
anatomi yang apabila hasilnya jinak operasi dihentikan, namun apabila ganas
pasien harus dilakukan operasi kedua yaitu pengangkatan tyroid. Dan dari hasil
patologi anatomi benjolan pada leher pasien adalah kanker ganas atau karsinoma
yang berarti harus dilakukan pengangkatan seluruh thyroid.

14
BAB IV
PENUTUP
 
3.1 Kesimpulan
Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah
hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar
informasi (informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi
dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang
akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat
dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih
ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien
untuk mengambil keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
lingkup kewenangannya setelah diberikan informasi yang cukup oleh tenaga
kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan keadaan sejahtera.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang
berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau
persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang
berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed
consent (persetujuan medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa
seorang anak terlalu muda atau imatur untuk memberi persetujuannya sendiri
tidak membebaskan seorang dokter dari kewajibannya memperoleh suatu
persetujuan medik.
 

15
3.2 Saran
3.2.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed
consent pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
3.2.2 Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang
pemberian informed consent pada pasien dan dapat lebih banyak
menyediakan referensi-referensi buku tentang etika dan hukum kesehatan.
3.2.3 Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed
consent pada pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

16
DAFTAR PUSTAKA
 
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan
Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit
Pustaka Dwipar. Jakarta.
 
Imamah, Ieda. 2013. Peran Perawat Implementasi Informed Consent. http : / /
www . academia . edu / 8572203 / PERAN _ PERAWAT _ DALAM _
IMPLEMENTASI _ INFORMED _ CONSENT . html. Diakses pada 18 Mei
2016, pukul 08:44.

J. Guwandi. 2004. Informed Consent. FKUI. Jakarta.


 
M.jusuf H & Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC.
Jakarta.
  
Nahrowy, 2013. Makalah Informed Consent. https : / / nahrowy . wordpress . com
/ 2013 / 01 / 31 / makalah – informed – consent / html. Diakses pada 17 Mei 2016,
pukul 11:06.

17

Anda mungkin juga menyukai