Anda di halaman 1dari 13

Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.[1]

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien,
keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan
tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]

Tiga elemen Informed consent [3]


1. Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan
membuat keputusan menjadi terganggu.

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman).

Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi


Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-
nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga
harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di


kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.

Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa
pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati
apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).

Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang
tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical
privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent.


Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat
menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap”
menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien
melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap
kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat
tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 %
yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif
yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat
diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh
mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik
spesialis.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :


o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya – jawab.

o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Keluhan dokter tentang informed consent

o Pasien tidak mau diberitahu.

o Pasien tak mampu memahami.

o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

Informed consent
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti
mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan
sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat
mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan
dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat.
Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan
mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu
yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini
dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban
atas pertanyaan pasien.

Saat untuk memberi informasi


        Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk
memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi
materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.Add content to your paragraph here.

Elemen-elemen Informed consent


Suatu informed consent harus meliputi :

1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.

Ruang Lingkup Pemberian Informasi


Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain
yang berperan serta dalam pengobatan pasien.

Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar
menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan
yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya
mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan
terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya
pasien.
        Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu
walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif. 

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN


Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan
selanjutnya berada di tangan pasien.

 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter
mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang
lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia
harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan
terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan
prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

 Rujukan/ konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan


pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.
Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan
terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat
menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

 Prognosis

            Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat
diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent. 

Standar Pengungkapan Yang Dikembangkan Oleh


Pengadilan
Dua pendekatan diadaptasi oleh pengadilan dalam menggambarkan lapangan kewajiban
pengungkapan seorang dokter - standar pengungkapan profesional, standar pengungkapan
umum, atau standar pasien secara layak.

Di bawah standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk membuka rahasia diatur
oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam lingkungan yang sama atau serupa. Standar
pengungkapan ini yang diatur seterusnya baik oleh undang-undang maupun hukum umum pada
mayoritas peraturan Amerika Serikat menetapkan bahwa seorang dokter harus memberi
informasi sesuai dengan pelayanan kedokteran terkini. Banyak pengadilan telah menegakkan
standar pelaksana medis dalam komunitas yang sama atau serupa, di bawah lingkungan yang
sama atau serupa. Jika seorang dokter bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta dan jika
begitu, fakta apa yang wajib diberitahukan bergantung pada yang biasa dilakukan pada
komunitas setempat.

Standar pengungkapan umum atau standar pasien secara layak, yang ditetapkan
seterusnya oleh undang-undang atau hukum umum dalam peraturan minoritas yang bermakna,
membebankan tugas pada dokter untuk memberitahu setiap informasi yang akan bergantung
pada proses pembuatan keputusan oleh pasien. Hal ini berbeda-beda sesuai kemampuan pasien
untuk memahaminya. Bahkan dalam pengakuan medis ahli yang mendukung, seseorang dapat
saja melanggar standar pengungkapan yang seharusnya dalam peraturan ini jika juri
berkesimpulan bahwa informasi spesifik yang tidak diberitahukan akan berpengaruh bermakna
terhadap keputusan pasien apakah akan menjalani terapi tertentu atau tidak. Standar umum
membiarkan juri untuk memutuskan apakah dokter memberikan informasi yang cukup pada
pasien untuk membuat pilihan terhadap tatalaksana, sedangkan standar profesional membiarkan
dokter untuk menunjukkan apakah ia memberikan informasi yang cukup sesuai standar
pelayanan medis dalam komunitas tersebut. Perkembangan terkini adalah pengadilan yang
mengadaptasi bentuk standar umum.

Sekali telah ditegakkan, baik oleh standar profesional atau umum, bahwa pasien tidak
menerima informasi yang biasanya dibutuhkan untuk membuat pilihan bijak mengenai apakah
akan menolak atau menyetujui terapi, pengadilan akan memperhatikan materi dari informasi
yang kurang tersebut; yaitu akankah seseorang menolak atau menyetujui jika berada dalam
lingkungan yang sama atau serupa. Dengan kata lain, apakah kurangnya informasi menyebabkan
kecacatan/kerugian yang memang sudah diduga atau akankah pasien tetap menyetujuinya dalam
keadaan apapun. Tergantung dari peraturan yang terlibat, pengadilan telah menetapkan satu dari
dua standar yaitu standar objektf (juri memutuskan apakah pasien dalam keadaan serupa akan
menolak terapi) atau standar subyektif (juri memutuskan apakah pasien yang sebenarnya akan
menolak terapi). Kebanyakan peraturan  mengikuti standar objektif.

Siapa yang mengungkapkan ?


Siapa yang bertanggungjawab untuk mendapatkan informed consent pasien - pengadilan
umumnya telah menempatkan tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada waktu ada
pertanyaan. Pengadilan umumnya mengenali bahwa dokter, bukan perawat atau paramedis
lainnya, berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya. Perawat atau
paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau pelengkap informasi spesifik dari dokter
dengan informasi umum tergantung situasi pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien,
memiliki kewajiban yang independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan,
dan alternatif pilihan yang ditujukan padanya.
Pengadilan sangat jelas dalam opini tertulisnya bahwa tanggung jawab untuk
memperoleh informed consent dari pasien tetap dengan dokter dan tidak dapat didelegasikan.
Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya (wewenangnya) untuk memperoleh informed consent
kepada dokter lain namun tidak dapat mendelegasikan tanggung-jawabnya untuk mendapatkan
informed consent yang tepat.

Peranan Rumah Sakit


            Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari dokter yang berpraktek di rumah sakit
adalah ”Apakah rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa pasien menerima
informasi yang cukup meskipun pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”

            Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat ditahan dengan dokter
pegawai rumah sakit yang lalai untuk memperoleh informed consent yang dapat menimbulkan
kecacatan dan kegawatan pada pasien. Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai
bagaimana informed consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus menunda
terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya sudah diberikan ditarik
kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat mengklarifikasi kembali keputusan pasien.
Pengadilan cenderung untuk menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk
memastikan bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum melakukan tindakan.

Bentuk Persetujuan/Penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat.
Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan
menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter
lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed
consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.

Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed
consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien.
Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak
dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed
consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan.

Otoritas Untuk Memberikan Persetujuan


Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak
mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai
akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika
pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan
harus mengambil otoritas terhadap pasien.

Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap


persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak
rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai
keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang
diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi
dengan satu atau beberapa sejawatnya.

Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika
pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka
dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan
mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika
keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak
ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien
dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.

Kemampuan Memberi Perijinan


Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait
dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak
menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha
persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang
ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.

Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi
pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.

Pengecualian terhadap materi pemberitahuan


Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk
membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.

Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan


bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang
dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai ”keistimewaan terapetik”
atau ”kebijaksanaan profesional”. Dokter dapat memilih untuk menggunakan kebijaksanaan
profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika dokter meyakini
bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan pasien. Tergantung situasinya,
dokter boleh namun tidak perlu membuka informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.

Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat
melepaskan haknya untuk membuat informed consent.

Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang diketahui
umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan pengalaman di masa
lampau.

Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan dimana
pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal pengobatan
sangat nyata.

Kasus Kegawatdaruratan dan Informed Consent


Umumnya, hukum melibatkan persetujuan pasien selama keadaan gawat darurat.
Pengadilan biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang membutuhkan penanganan segera
untuk perlindungan nyawa atau kesehatan pasien karena tidak memungkinkan untuk memperoleh
persetujuan baik dari pasiennya maupun orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.
Pengadilan mengasumsikan bahwa seorang dewasa yang kompeten, sadar, dan tenang akan
memberikan persetujuan untuk penanganan menyelamatkan nyawa. Penting untuk
didokumentasikan keadaan yang terjadi saat gawat darurat. Pada keadaan tersebut, dokter harus
mencatat hal-hal berikut ini : 1) penanganan untuk kepentingan pasien, 2) terdapat situasi gawat
darurat, 3) keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan dari pasien atau dari
orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.

Kenyataan bahwa tatalaksana yang diberikan mungkin memang disarankan secara medis
atau mungkin akan berguna di waktu mendatang tidaklah cukup untuk melakukannya tanpa
persetujuan. Jika dokter tidak yakin apakah kondisi pasien betul-betul membutuhkan tindakan
segera tanpa persetujuan, maka dokter tersebut perlu melakukan konfirmasi dengan sejawatnya.
        Peraturan umum terkait persetujuan penanganan keadaan gawat darurat pada seorang anak
sama saja dengan orang dewasa. Pengadilan biasanya menunda menyetujui dokter yang
mengobati pasien anak “dewasa muda” (di atas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan
penanganan keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan untuk
membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien atau orang lain yang
bertanggung jawab atas pasien tersebut.

© 2006 forensik_A1_FKUI

Anda mungkin juga menyukai