Anda di halaman 1dari 24

HUKUM KESEHATAN

KUNTUM KHAIRA UMMAH:2009126472


Informed consent
Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang
berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan
atau memberi izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana
tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima
informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.
Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan
tanpa adanya unsur pemaksaan
Informed consent
Fungsi dan Tujuan Informed Consent
Fungsi dari Informed Consent adalah :
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai
suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan
biomedik
Informed consent terdiri dari beberapa jenis
yaitu:

1. Informed Consent dalam prosedural medis


2. Informed Consent dalam praktik klinis
3. Informed Consent dalam penelitian ilmiah,
seperti uji coba klinis, atau clinical trial
4. Informed Consent yang diwakilkan
5. Informed Consent Anak
6. Informed Consent Penderita Gangguan Mental
1.Informed consent dalam praktek
medis
Dewasa ini informed consent telah diterima sebagai prinsip
dasar dalam pelayanan kesehatan, walaupun dengan
konteks yang sering berbeda. Sebagai contoh, prinsip yang
berlaku di Amerika Serikat yaitu setiap manusia adalah
otonom, sehingga ia sendiri harus diikutsertakan dalam
semua tindakan yang menyangkut dirinya. Dengan
demikian paternalisme yang memperlaku-kan seseorang
dengan melewati kebebasannya ditolak dengan tegas.
Informed consent mengandalkan otonomi dan individualitas . Berbeda
halnya dengan suasana kebudayaan di Indonesia (dan Asia pada
umumnya) yang lebih menekankan sosialitasnya, yaitu keterikatan
seseorang dengan keluarga dan masyarakat di sekitarnya .

Di Indonesia bila diperlukan tindakan operasi atau tindakan medis


lainnya di rumah sakit, maka yang diminta menanda tangani surat izin
adalah keluarga, dan bukan pasien itu sendiri. Juga di bidang proses
pengobatan dan prospek penyembuhan, para dokter umumnya
berkomuniikasi dengan keluarga pasien.
Ketergantungan pasien pada dokter dan keluarga termasuk tradisi
budaya Asia pada umumnya. Perkembangan yang sama mulai terlihat
juga dalam masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam dua pernyataan
yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Yang
pertama tentang informed consent dan kedua tentang medical record
(rekam medis).

Dalam pernyataan pertama dikatakan bahwa dokter tidak berhak


melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri. Setiap tindakan medis
yang mengandung risiko cukup besar hanya dapat dilakukan setelah
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien.
Sebelumnya pasien harus diberikan informasi yang kuat tentang perlunya
tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya.
2. Informed consent dalam praktik klinik
Di banyak negara, informed consent penelitian di bidang medis dan
praktik klinis mutlak mengikuti persyaratan etika dan prosedur hukum
yang berlaku. Selain itu tenaga medis juga memiliki ”otonomi klinis”,
yaitu hak dan kewajiban tenaga medis untuk bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan klinis yang mempengaruhi kesehatan pasiennya.
Pihak lain mana pun tidak boleh memaksakan kehendak atas diri tenaga
medis. Tenaga medis dalam banyak hal wajib mendengarkan pendapat
pihak-pihak lain, tetapi tidak boleh bertindak sematamata karena
terpaksa mengikuti pendapat lain tersebut. Keputusan terakhir berada
dalam tanggung jawab dokter.
”Otonomi klinis” tidak berarti pula hak untuk bertindak gegabah dan
meremehkan pendapat tenaga medis lain terutama ahli-ahli yang berkompeten.
Kebebasan hati nurani hanya pantas diakui apabila orang sudah sungguh-sungguh
berusaha sebaik mungkin untuk mencari kebenaran Menurut Immanuel Kant
(1724- 1804) dan kaum deontolog, menghormati sesama berarti membiarkannya
sebagai individu bebas untuk membuat pertimbangan sendiri dan bertindak
sesuai pilihannya.

Menurut John Stuart Mill (l806- 1873), pilihan dan tindakan pelaku otonom tidak
boleh dibatasi orang lain selama tidak merugikan orang lain dan/atau dirinya
sendiri. Meskipun demikian prinsip selfdetermination ini sering sulit diterapkan
dalam klinik karena problem penyakit dan penderitaan yang sering sudah sangat
menurunkan kemampuan pasien dan/atau keluarganya untuk berpikir dan
mengambil keputusan secara rasional. Namun karena seringnya terjadi praktek
medis yang melanggar prinsip ini, maka kode etik profesi mengungkapkan
pentingnya hormat akan otonomi ini.
Dalam praktek kedokteran, prinsip informed consent ini, dan standar praktek
profesi medis (the professional practice standard) berkaitan dengan malpraktek.
Valentin V mendefinisikan malpraktek sebagai ”Kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama”.

Dokter yang karena profesionalismenya dan terdorong untuk berbuat yang


terbaik bagi pasiennya (prinsip beneficentia) tanpa informed consent segera
bertindak dan ternyata menimbulkan kerugian bagi pasien, maka dokter harus
bertanggung jawab atas dugaan umum telah terjadi malpraktek. Dalam kasus
dugaan malpraktek, unsur yang umumnya diperiksa adalah informed consent dan
standar praktek profesi medis yang dipakai dokter
3. Informed consent dalam penelitian ilmiah
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada 8 formulir informed consent ditemukan bahwa: Identitas
penandatanganan informed consent sudah diisi nama yang menandatangani informed consent maupun
informasi lainnya seperti umur, jenis kelamin, dan alamat lengkap. Didapatkan 2 formulir (25%) tidak
mencantumkan keterangan berupa bukti diri (KTP/SIM). Hasil tersebut membuktikan terdapat kurang
lengkapnya pengisian identitas dari pihak pasien yang menandatangani informed consent yang
merupakan syarat kelengkapan berupa bukti diri (KTP/SIM). Hal tersebut dapat merugikan kedua belah
pihak di kemudian hari apabila terjadi sengketa di antara para pihak.

Status penandatanganan informed consent terhadap pasien telah sesuai 100% dengan ketentuan UURI
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang tercantum pada Pasal 45 ayat (1) angka 3 pada
bagian Penjelasannya, bahwa yang berhak mewakili pihak pasien dalam penandatanganan informed
consent adalah pihak suami atau istri, ataupun keluarga lainnya yaitu ayah ataupun ibu kandung.
Dibolehkan juga anak-anak kandung dari pasien maupun saudara-saudara kandung dari pasien.
Berdasarkan PerMenKes RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pada
Pasal 8 ayat (2), dicantumkan bahwa yang berhak melakukan penandatanganan persetujuan medis
adalah pasien dewasa yaitu pasien telah berumur 21 tahun atau dibawah 21 tahun akan tetapi pasien
telah menikah. Dari penelitian 8 formulir informed consent, didapatkan hasil sebanyak 8 formulir (100%)
dinyatakan telah memenuhi syarat akan usia penandatangan formulir informed consent telah termasuk
pasien dewasa sesuai dengan ketentuan Permenkes.
Hasil analisis formulir pada identitas pasien yang akan mendapatkan
pelaksanaan tindakan medis, didapatkan terdapat 4 formulir (50%) tidak
diisi identitas secara lengkap. Terdapat 7 formulir (87,50%) yang berisikan
diagnosis lengkap maupun benar, dengan 1 formulir (25%) tidak berisi
diagnosis akan pasien. Sebanyak 8 formulir (100%) telah berisikan
tindakan medis secara lengkap serta tanda tangan maupun nama lengkap
tenaga medis sehingga apabila muncul sengketa antara pihak tenaga
medis dengan pihak pasien, akan tidak sulit melakukan konfirmasi
kepada tenaga medis yang melaksanakan informed consent.
Ditemukan terdapat hanya 1 formulir (12,50%) yang dicantumkannya nama terang dan
tandatangan saksi-saksi dari pihak pasien. Selebihnya pada 7 formulir (87,50%) tidak
menyertakan saksi-saksi dalam pelaksanaan penandatanganan informed consent. Hal
tersebut bertentangan jika dengan Permenkes RI No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik, yang tercantum pada Pasal 4 ayat (3). Dinyatakan penandatanganan setiap
informed consent harus menyertakan saksisaksi. Adanya hal tersebut dapat merugikan baik
pihak dokter maupun pihak klinik jika kedepannya muncul sengketa dengan pihak pasien
dikarenakan lemahnya bukti akibat ketiadaan saksi dari pihak pasien. Dari 8 formulir
(100%), ternyata tidak ditemukan satupun formulir yang menyertakan perawat / tenaga
medis lainnya yang bertindak sebagai saksi. Hal tersebut tidak sesuai dengan Permenkes RI
No. 585 Tahun. 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang tercantum pada Pasal 4 ayat
(3) yang berbunyi: “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi
oleh seorang perawat/paramedis lainnya sebagai saksi”. Apabila dikemudian hari muncul
sengketa, maka pihak tenaga medis maupun klinik akan berada diposisi yang lemah. Hal
tersebut diakibatkan ketiadaan saksi-saksi dari perawat ataupun paramedis lainnya yang
bertujuan menguatkan hal-hal yang disampaikan pihak tenaga medis.
Untuk menganalisa pelaksanaan informed consent di Klinik Tiara Husada telah
dilakukan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responden dari pihak tenaga
medis maupun pihak pasien dengan memperbandingkan antara tingkat
pemahaman dari pihak pasien yang melaksanakan persetujuan tindakan medis,
dan tingkat pemahaman dari pihak tenaga medis akan tindakan medis yang akan
dilaksanakan. Didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: dari jawaban 16
responden ( 100%), baik itu dari pihak pasien ataupun dari pihak tenaga medis,
semuanya menyatakan yang menandatangani informed consent telah memenuhi
ketentuan telah sesuai Permenkes No. 585 Tahun. 1989 tentang Persetujuan
Tindakan medik.

Informed consent pada 16 responden (100%) dinyatakan selalu diberikan sebelum


tindakan medis. Berdasarkan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) sampai dengan
ayat (3) UURI No. 29 Tahun. 2004 Tentang Praktik Kedokteran maupun PerMenKes
No.: 1419 Tahun. 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang
dicantumkan pada Pasal 13 ayat (1) dan juga pada Pasal 17 ayat (1) Ayat (2).
Berdasarkan pada pembahasan masalah yang telah diuraikan, bisa ditarik
kesimpulan yakni: pelaksanaan dari persetujuan tindakan medis oleh pihak
tenaga medis yang diterapkan di Klinik Pratama Tiara Husada secara yuridis sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana dalam 345 pelaksanaannya lebih
merupakan cara mengkomunikasikan tindakan medis antara dokter dengan
pasien. Persetujuan tindakan medis bukan hanya mengisikan dan
menandatangani suatu formulir. Jika terdapat perbedaan pendapat antara pasien
dengan pihak dokter terutama perihal tindakan medis yang akan dilaksanakan
terhadap pasien oleh pihak tenaga medis, secara umum pihak tenaga medis /
Klinik Tiara Husada berusaha menghormati terhadap hak-hak asasi dari pihak
pasien. Ketika pihak pasien tidak sependapat dengan tindakan medis yang
disarankan oleh pihak tenaga medis, pihak tenaga medis / Klinik Tiara Husada
tetap berupaya memberikan layanan yang terbaik. pihak tenaga medis / Klinik
Tiara Husada tidak melakukan pulang paksa pihak pasien, akan tetapi
menyarankan tindakan alternatif lain meskipun hasilnya akan tidak semaksimal
tindakan medis yang awalnya disarankan
4. Informed consent yang di wakilkan
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seperti pingsan atau
koma, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima penjelasan atau
memberikan persetujuan, informed consent dapat diwakilkan oleh
keluarga atau walinya.

Informed consent umumnya diberikan kepada pasien yang sudah dewasa


secara hukum (usia 18 tahun atau lebih), bisa memahami penjelasan
dokter dengan baik, sadar penuh, serta memiliki kondisi kejiwaan yang
sehat.
Jika dianggap tidak dapat memutuskan informed consent, pasien bisa
diwakili. Berikut ini adalah beberapa kondisi ketika informed
consent dapat diwakilkan:
Pasien di bawah umur

Pada pasien yang masih belum cukup umur, termasuk bayi dan anak-anak atau
remaja di bawah usia 18 tahun, persetujuan informed consent dapat diwakilkan
oleh orang tua atau walinya.

Kondisi yang tidak memungkinkan

Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seperti pingsan atau koma,
sehingga tidak memungkinkan untuk menerima penjelasan atau memberikan
persetujuan, informed consent dapat diwakilkan oleh keluarga atau walinya.
Hal ini juga berlaku pada pasien yang mengalami mengalami fungsi kognitif,
seperti penderita Alzheimer, pikun, atau gangguan mental.
5. Informed consent anak
Informed consent umumnya diberikan kepada pasien yang sudah dewasa secara
hukum (usia 18 tahun atau lebih), bisa memahami penjelasan dokter dengan baik,
sadar penuh, serta memiliki kondisi kejiwaan yang sehat.

Dalam hal inilah peran orang tua sangat di butuhkan jika dalam tindakan medis
anaknya memerlukan ytindakan khusus yang mengharuskan informed consent di
berlakukan. Agar tidak terjadi miskom dan kekeliruan ,mengingat anak di sini adalah
yang belum cukup umur.

Anak yang telah dapat membaca dan cukup mengerti (±12 tahun ke atas), maka
harus dibuat dua macam lembar informasi, yaitu untuk orang tua/wali dan untuk
anak. Lembar informasi yang ditujukan untuk anak berisi informasi sederhana
menggunakan kalimat/kata-kata yang mudah dimengerti anak.
6. Informed consent penderita gangguan mental
Kondisi ini termasuk ke dalam hal yang di khususkan. Kondisi yang tidak
memungkinkan
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seperti pingsan atau
koma, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima penjelasan atau
memberikan persetujuan, informed consent dapat diwakilkan oleh
keluarga atau walinya.
Hal ini juga berlaku pada pasien yang mengalami mengalami fungsi
kognitif, seperti penderita Alzheimer, pikun, atau gangguan mental.
Sebuah informed consent tertulis diberikan untuk seluruh tindakan kedokteran di
Rumah Sakit Ghrasia, menimbulkan dua hal yang perlu diteliti, yaitu: kekuatan
yuridis informed consent yang diberikan pada saat permulaan pasien penderita
gangguan jiwa akan menjalani perawatan pada Rumah Sakit Grhasia Pakem
Yogyakarta dan perlindungan hukum terhadap Rumah Sakit Grhasia Pakem
Yogyakarta berkaitan dengan diberikannya informed consent pada saat
permulaan pasien penderita gangguan jiwa akan menjalani perawatan. Hasil
penelitian menyatakan bahwa: Pertama, informed consent hanya sah untuk
tindakan kedokteran yang dilakukan sebagai penanganan awal pasien. Kedua,
rumah sakit wajib segera memberitahukan kepada keluarga atas tindakan
kedokteran yang telah dilakukan.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
mengatur bahwa untuk mendapatkan perawatan atau pengobatan pada suatu
tempat perawatan harus ada permohonan dari salah seorang berikut: si penderita
jika ia sudah dewasa, suami/istri atau seorang anggota keluarga yang sudah
dewasa, wali dan/atau yang dapat dianggap sebagai wali dari si penderita, Kepala
Polisi/Kepala Pamongpraja di tempat tinggal atau di daerah di mana si penderita
berada, dan Hakim Pengadilan Negeri bila dalam suatu perkara timbul
persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita penyakit jiwa.

Surat Persetujuan Tindakan Medis dan Penolakan Tindakan Medis merupakan


bentuk informed consent yang dinyatakan secara tertulis, yaitu berupa
persetujuan atau penolakan terhadap tindakan kedokteran terhadap pasien yang
dalam hal ini diisi oleh keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung jawab
atas diri pasien penderita gangguan jiwa setelah mendapat penjelasan yang
lengkap dari dokter mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa persetujuan secara tertulis
diperlukan untuk tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi, sedangkan
untuk tindakan kedokteran yang tidak mengandung risiko tinggi dapat diberikan
persetujuan secara lisan. I

Berdasarkan penelitian “Informed Consent atas Tindakan Kedokteran di Rumah


Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta” maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, informed consent secara tertulis yang diberikan pada saat
pasien pertama kali akan menjalani rawat inap di Rumah Sakit Grhasia hanya sah
untuk tindakan-tindakan kedokteran yang dilakukan sebagai penanganan awal
pada pasien, sedangkan untuk tindakan-tindakan kedokteran lain yang diperlukan
pada masa perawatan selanjutnya pada dasarnya memerlukan informed consent
tersendiri untuk setiap tindakan kedokteran yang dilakukan, terutama untuk
tindakan yang sifatnya invasif dan mengandung risiko yang tinggi harus didahului
dengan pemberian informed consent secara tertulis.
Sumber: https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/viewFile/16046/10592
5090-Article Text-27069-1-10-20220529.pdf
Jurnal Interpretasi Hukum |ISSN: 2746-5047 Vol. 3, No. 2 – Juni 2022, Hal.339-345|
Tersedia online di https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juinhum DOI:
10.22225/juinhum.3.2.5090.339-345

 ASPEK ASPEK HUKUM KESEHATAN DI INDONESIA,

H. ZAENI ASYHADIE,SH.,M.Hum
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai