Menurut John Stuart Mill (l806- 1873), pilihan dan tindakan pelaku otonom tidak
boleh dibatasi orang lain selama tidak merugikan orang lain dan/atau dirinya
sendiri. Meskipun demikian prinsip selfdetermination ini sering sulit diterapkan
dalam klinik karena problem penyakit dan penderitaan yang sering sudah sangat
menurunkan kemampuan pasien dan/atau keluarganya untuk berpikir dan
mengambil keputusan secara rasional. Namun karena seringnya terjadi praktek
medis yang melanggar prinsip ini, maka kode etik profesi mengungkapkan
pentingnya hormat akan otonomi ini.
Dalam praktek kedokteran, prinsip informed consent ini, dan standar praktek
profesi medis (the professional practice standard) berkaitan dengan malpraktek.
Valentin V mendefinisikan malpraktek sebagai ”Kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama”.
Status penandatanganan informed consent terhadap pasien telah sesuai 100% dengan ketentuan UURI
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang tercantum pada Pasal 45 ayat (1) angka 3 pada
bagian Penjelasannya, bahwa yang berhak mewakili pihak pasien dalam penandatanganan informed
consent adalah pihak suami atau istri, ataupun keluarga lainnya yaitu ayah ataupun ibu kandung.
Dibolehkan juga anak-anak kandung dari pasien maupun saudara-saudara kandung dari pasien.
Berdasarkan PerMenKes RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pada
Pasal 8 ayat (2), dicantumkan bahwa yang berhak melakukan penandatanganan persetujuan medis
adalah pasien dewasa yaitu pasien telah berumur 21 tahun atau dibawah 21 tahun akan tetapi pasien
telah menikah. Dari penelitian 8 formulir informed consent, didapatkan hasil sebanyak 8 formulir (100%)
dinyatakan telah memenuhi syarat akan usia penandatangan formulir informed consent telah termasuk
pasien dewasa sesuai dengan ketentuan Permenkes.
Hasil analisis formulir pada identitas pasien yang akan mendapatkan
pelaksanaan tindakan medis, didapatkan terdapat 4 formulir (50%) tidak
diisi identitas secara lengkap. Terdapat 7 formulir (87,50%) yang berisikan
diagnosis lengkap maupun benar, dengan 1 formulir (25%) tidak berisi
diagnosis akan pasien. Sebanyak 8 formulir (100%) telah berisikan
tindakan medis secara lengkap serta tanda tangan maupun nama lengkap
tenaga medis sehingga apabila muncul sengketa antara pihak tenaga
medis dengan pihak pasien, akan tidak sulit melakukan konfirmasi
kepada tenaga medis yang melaksanakan informed consent.
Ditemukan terdapat hanya 1 formulir (12,50%) yang dicantumkannya nama terang dan
tandatangan saksi-saksi dari pihak pasien. Selebihnya pada 7 formulir (87,50%) tidak
menyertakan saksi-saksi dalam pelaksanaan penandatanganan informed consent. Hal
tersebut bertentangan jika dengan Permenkes RI No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik, yang tercantum pada Pasal 4 ayat (3). Dinyatakan penandatanganan setiap
informed consent harus menyertakan saksisaksi. Adanya hal tersebut dapat merugikan baik
pihak dokter maupun pihak klinik jika kedepannya muncul sengketa dengan pihak pasien
dikarenakan lemahnya bukti akibat ketiadaan saksi dari pihak pasien. Dari 8 formulir
(100%), ternyata tidak ditemukan satupun formulir yang menyertakan perawat / tenaga
medis lainnya yang bertindak sebagai saksi. Hal tersebut tidak sesuai dengan Permenkes RI
No. 585 Tahun. 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang tercantum pada Pasal 4 ayat
(3) yang berbunyi: “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi
oleh seorang perawat/paramedis lainnya sebagai saksi”. Apabila dikemudian hari muncul
sengketa, maka pihak tenaga medis maupun klinik akan berada diposisi yang lemah. Hal
tersebut diakibatkan ketiadaan saksi-saksi dari perawat ataupun paramedis lainnya yang
bertujuan menguatkan hal-hal yang disampaikan pihak tenaga medis.
Untuk menganalisa pelaksanaan informed consent di Klinik Tiara Husada telah
dilakukan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responden dari pihak tenaga
medis maupun pihak pasien dengan memperbandingkan antara tingkat
pemahaman dari pihak pasien yang melaksanakan persetujuan tindakan medis,
dan tingkat pemahaman dari pihak tenaga medis akan tindakan medis yang akan
dilaksanakan. Didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: dari jawaban 16
responden ( 100%), baik itu dari pihak pasien ataupun dari pihak tenaga medis,
semuanya menyatakan yang menandatangani informed consent telah memenuhi
ketentuan telah sesuai Permenkes No. 585 Tahun. 1989 tentang Persetujuan
Tindakan medik.
Pada pasien yang masih belum cukup umur, termasuk bayi dan anak-anak atau
remaja di bawah usia 18 tahun, persetujuan informed consent dapat diwakilkan
oleh orang tua atau walinya.
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seperti pingsan atau koma,
sehingga tidak memungkinkan untuk menerima penjelasan atau memberikan
persetujuan, informed consent dapat diwakilkan oleh keluarga atau walinya.
Hal ini juga berlaku pada pasien yang mengalami mengalami fungsi kognitif,
seperti penderita Alzheimer, pikun, atau gangguan mental.
5. Informed consent anak
Informed consent umumnya diberikan kepada pasien yang sudah dewasa secara
hukum (usia 18 tahun atau lebih), bisa memahami penjelasan dokter dengan baik,
sadar penuh, serta memiliki kondisi kejiwaan yang sehat.
Dalam hal inilah peran orang tua sangat di butuhkan jika dalam tindakan medis
anaknya memerlukan ytindakan khusus yang mengharuskan informed consent di
berlakukan. Agar tidak terjadi miskom dan kekeliruan ,mengingat anak di sini adalah
yang belum cukup umur.
Anak yang telah dapat membaca dan cukup mengerti (±12 tahun ke atas), maka
harus dibuat dua macam lembar informasi, yaitu untuk orang tua/wali dan untuk
anak. Lembar informasi yang ditujukan untuk anak berisi informasi sederhana
menggunakan kalimat/kata-kata yang mudah dimengerti anak.
6. Informed consent penderita gangguan mental
Kondisi ini termasuk ke dalam hal yang di khususkan. Kondisi yang tidak
memungkinkan
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, seperti pingsan atau
koma, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima penjelasan atau
memberikan persetujuan, informed consent dapat diwakilkan oleh
keluarga atau walinya.
Hal ini juga berlaku pada pasien yang mengalami mengalami fungsi
kognitif, seperti penderita Alzheimer, pikun, atau gangguan mental.
Sebuah informed consent tertulis diberikan untuk seluruh tindakan kedokteran di
Rumah Sakit Ghrasia, menimbulkan dua hal yang perlu diteliti, yaitu: kekuatan
yuridis informed consent yang diberikan pada saat permulaan pasien penderita
gangguan jiwa akan menjalani perawatan pada Rumah Sakit Grhasia Pakem
Yogyakarta dan perlindungan hukum terhadap Rumah Sakit Grhasia Pakem
Yogyakarta berkaitan dengan diberikannya informed consent pada saat
permulaan pasien penderita gangguan jiwa akan menjalani perawatan. Hasil
penelitian menyatakan bahwa: Pertama, informed consent hanya sah untuk
tindakan kedokteran yang dilakukan sebagai penanganan awal pasien. Kedua,
rumah sakit wajib segera memberitahukan kepada keluarga atas tindakan
kedokteran yang telah dilakukan.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
mengatur bahwa untuk mendapatkan perawatan atau pengobatan pada suatu
tempat perawatan harus ada permohonan dari salah seorang berikut: si penderita
jika ia sudah dewasa, suami/istri atau seorang anggota keluarga yang sudah
dewasa, wali dan/atau yang dapat dianggap sebagai wali dari si penderita, Kepala
Polisi/Kepala Pamongpraja di tempat tinggal atau di daerah di mana si penderita
berada, dan Hakim Pengadilan Negeri bila dalam suatu perkara timbul
persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita penyakit jiwa.
H. ZAENI ASYHADIE,SH.,M.Hum
TERIMAKASIH