Anda di halaman 1dari 18

A.

Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam pelayanan terapi sel punca
(stem cell)

Hubungan antara Dokter dengan seorang pasien adalah suatu hubungan seorang yang

memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Oleh karenanya hubungan

hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistic yang

mana hubungan hukum itu timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu

yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Dokter sendiri merupakan orang yang

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan

untuk melakukan upaya Kesehatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indoneia Nomor 833/MENKES/PER/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel

Punca di Indonesia adalah sumber Sel Punca yang dipergunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan yang merupakan sel punca non-embrionik yang berasal dari donor manusia, dan

dilarang untuk diperjualbelikan. Sel punca sendiri hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan

dalam pelayanan medik bagi donor itu sendiri atau orang lain atau untuk digunakan dalam

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendapat persetujuan dari donor yang

bersangkutan.

Oleh karena itu, setiap pengambilan sel punca dari donor terlebih dahulu harus mendapatkan

persetujuan tertulis dari donor dan dilakukan dengan prosedur yang telah diatur dalam

perundang-undangan dan hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit Pendidikan yang memiliki

kemampuan dan persyaratan dalam melakukan pelayanan medik sel punca yang sudah ditunjuk

oleh pemerintah. Pesetujuan ini mempunyai kekuatan mengikat dalam arti mempunyai kekuatan

hukum, yang berarti hubungan dokter dengan pasien adalah bentuk dari suatu perjanjian upaya
(Inspanningverbintennis) yang mana pasien mengharapkan dokter untuk melakukan tindakan

tertentu dengan tujuan untuk dapat menyembuhkan penyakitnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III Tahun

2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, persetujuan tindakan medik (Informed Consent),

adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar informasi dan

penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut. Pelaksanaan

informed consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan yaitu persetujuan atau penolakan

tindakan medik diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik, persetujuan

atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (voluntary), persetujuan atau penolakan

tindakan medis diberikan oleh seseorang yang sehat mental dan yang berhak memberikannya

dari segi hukum, pemberian persetujuan atau penolakan tindakan medis setelah diberikan cukup

(adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan persetujuan secara tertulis mutlak

diperlukan pada tindakan medis yang mengandung risiko tinggi, persetujuan yang diungkapkan

dapat diberikan secara lisan atau tertulis.

Ketentuan mengenai informed consent diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) Pasal 45. Namun, sebagai implementasi

dari pasal tersebut Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medis (Permenkes Persetujuan

Tindakan Medis) yang di dalamnya Pasal 1 ayat (1). Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud

dengan persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadep pasien.


Dalam profesinya, dokter menjalankan tugasnya untuk memberikan informasi yang jujur

mengenai kondisi pasien yang merupakan hak pasien, sebagaimana ditetapkan oleh Ikatan

Dokter Indonesia (IDI) dalam Surat Keputusan No. 111/PB/A.4/02/2013 tentang Penerapan

Kode Etik Dokter Indonesia dinyatakan:

“Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien”
Oleh karenanya, hubungan hukum antara dokter dan pasien terapi sel punca (stem cell) dapat

tercipta karena adanya hubungan hukum secara perdata dimana terjadiny hubungan tersebut

dilakukannya suatu perjanjian terapeutik dimana dokter sebagai pemberi jasa. Oleh karenanya

dalam hubungan hukum tersebut, kepercayaan yang diberikan oleh pasien terhadap dokter yang

sudah memiliki reputasi atau penilaian yang baik. Ketatnya persaingan dan besarnya harapan

konsumen untuk memperoleh pelayanan yang terbaik menuntut dokter atau tenaga kesehatan

untuk memuaskan pasien, dan pada akhirnya berpengaruh besar terhadap tingkat kepuasaan dan

mempengaruhi loyalitas. Secara tidak langsung, pasien memperoleh nilai (value) yang dapat

menghantarkan pengaruh positif berupa kepercayaan dan kesetiaan kepada dokter oleh

karenanya dalam pelayanan kesehatan terapi sel punca sendiri hubungan hukum antara dokter

dan pasien akan timbul karena adanya tahapan pelayanan kesehatan terapi sel punca (stem cell).1

1. Transaksi teraupeutik dalam pelayanan terapi sel punca (stem cell)

Menurut Bahder Johan Nasution hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi terapeutik

yaitu hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Transaksi

terapeutik adalah kegiatan didalam penyelenggaraan praktik kedokteran berupa pelayanan

kesehatan secara individual atau disebut pelayanan medik yang didasarkan atas keahliannya dan
1
Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungawaban Dokter, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 11.
keterampilannya, serta ketelitian transaksi mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat

untuk menyembuhkan penyakit pasien yang dilakukan oleh dokter. Transaksi terapeutik antara

dokter dengan pasien tersebut mengakibatkan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien,

termasuk hubungan dalam melaksanakan pelayanan sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dimana dokter sebagai pihak yang memberikan

pelayanan kesehatan melakukan tindakan medis kepada pasien sebagai penerima dari layanan

perawatan medis tersebut. Transaksi terapeutik berlaku sebagai hukum bagi pasien atau dokter

sebagai pihak, dimana hukum mewajibkan para pihak untuk memenuhi hak dan kewajiban

masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Transaksi terapeutik yang dilakukan dokter bisa terjadi setelah informed consent diterima oleh

pasien. Hal ini menjadi bagian dalam hukum perdata, karena terjadinya transaksi terapeutik

berdasarkan dari perjanjian yang akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban pada dokter dan

pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata

menyebutkan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Adanya kata sepakat bagi

mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; suatu

hal tertentu; dan suatu sebab (causa) yang halal.

Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat

atau ciri yang berbeda, kekhususannya terletak pada objeknya. Objek tersebut adalah melakukan

upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Seperti dalam transaksi terapeutik dalam

pelayanan terapi sel punca (stem cell) yang mana pasien akan mendapatkan rekomendasi dari

dokter yang menangani penyakit sebelumnya untuk melakukan pengobatan ke dokter spesialis

konsultan. Apabila sudah mendapatkan dokter yang sesuai maka pasien akan memberikan

kepercayaan kepada Dokter Spesialis Konsultan untuk dapat mengobati penyakitnya.


Selanjutnya, kepercayaan atau hubungan antara dokter dengan pasien dapat meningkat karena

pasien sudah merasakan manfaat dari terapi sel punca (stem cell) dengan dokter yang

bersangkutan sehingga otomatis pasien akan kembali kepada dokter tersebut untuk melakukan

pengobatan lanjutan jika diperlukan.

a. Peran Dokter Dalam Pelayanan Terapi Sel Punca (Stem Cell)

Dalam pelayanan kesehatan dokter memiliki peran yang sangat penting terhadap pelayanan

kesehatan seperti pelayanan terapi sel punca (stem cell). Sebagaimana telah diatur di dalam

Permenkes No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel,

bahwasanya persyaratan tenaga kesehatan dalam pelayanan terapi sel punca (stem cell) meliputi :

1. Tenaga kesehatan yang kompeten di bidang sel punca (stem cell) dan sel, yang dibuktikan

dengan surat keterangan kompetensi dari kolegium masing-masing;

2. Kolegium sebagaimana dimaksud memberikan surat keterangan kompetensi tenaga

kesehatan, pembuktian kompetensi dilakukan melalui sertifikat pelatihan yang

diselenggarakan oleh komite.

Berdasarkan Permenkes tersebut, dijelaskan bahwa tenaga kesehatan yang berkompeten di

bidang sel punca (stem cell) memiliki ketenagaan yang memiliki peran penting, seperti halnya

seorang Dokter Spesialis Konsultan dalam memberikan layanan terapi sel punca. Secara praktik,

Dokter Spesialis Konsultan merupakan ketenagaan yang melakukan pendidikan atau pelatihan

khusus sel punca (stem cell), serta memiliki pengalaman bekerja di bidang sel punca (stem cell)

minimal 3 tahun dan bertugas pada fasilitas pelayanan kesehatan sebagai pemberi pelayanan

terapi sel punca (stem cell). Dalam Hal ini, seorang Dokter Spesialis Konsultan berhak

melakukan terapi sel punca berdasarkan standar terapi yang ditentukan oleh profesi terkait.

Dokter Spesialis Konsultan dalam melakukan pelayanan sel punca memiliki tugas yaitu
memimpin Instalasi Sel Punca, mengawasi, mengarahkan pelaksanaan program pelayanan,

penelitian dan pengembangan sel punca untuk jangka waktu 5 tahun. Penyusunan rencana,

program, anggaran, evaluasi dan laporan serta penyediaan data dan informasi kegiatan.

Menentukan staf dengan tugas dan kewenangannya dari tiap bagian di Instalasi Sel Punca.

Mengevaluasi pencatatan dan pelaporan dari setiap tahap pengolahan sel punca yang

dilaksanakan oleh teknisi atau tenaga laborat dalam rangka Quality Control. Menilai kinerja staf

Instalasi Sel Punca, serta Melakukan koordinasi internal dan eksternal dengan bagian/

departemen lain terkait juga turut mengawasi penyelenggaraan dan memberikan rekomendasi

kepada Direktur Utama dalam pembuatan MOU dengan Bank Sel Punca di luar RS.

b. Prosedur Pelayanan terapi Sel Punca (Stem Cell)

Kebutuhan pasien terhadap pelayanan medis kini semakin berkembang beragam pelayanan yang

saat ini ditawarkan dibidang kesehatan, salah satunya adalah pelayanan terapi Sel Punca (stem

cell). Pelayanan medis sel punca sendiri merupakan tindakan medis yang dimana tindakan

tersebut berupa suatu tindakan medis untuk menyimpan sel punca dan untuk terapi suatu

penyakit dengan menggunakan sel punca. Dalam pelayanan terapi sel punca sendiri memiliki

suatu prosedur yaitu yaitu pasien datang berkonsultasi dengan dokter yang kompeten di bidang

terapi sel punca yang selanjutnya dilakukannya penyimpanan sel punca dengan membuat

membuat kesepakatan antar klien untuk penyimpanan sel tersebut, penyimpanan sel punca dapat

dilakukan di Bank Sel Punca atau Unit Bank Instalasi Sel Punca yakni di RS Pendidikan.

Setelah mendapat informasi dari dokter yang kompeten tentang sel punca tersebut, selanjutnya

dilakukan verifikasi kelayakan donor dengan melakukan skrining terhadap penyakit menular dan

dilakukannya pengambilan sel punca dengan persetujuan dokter setelah melihat hasil tes

skrining. Prosedur dalam pemberian terapi sel punca sendiri dilakukan dengan cara yaitu pasien
datang berkonsultasi dengan dokter yang kompeten di bidang terapi sel punca. Berikut beberapa

tahapan pelayanan kesehatan terapi sel punca (stem cell), yaitu:

Anamnesis

Inspeksi

Diagnosis

Informed Consent

Tindakan Medis

Gambar 1. Tahapan pelayanan kesehatan terapi sel punca (stem cell)

1. anamnesis, dokter memulai menanyakan beberapa keterangan tentang kehidupan pasien

yang diperoleh memulai wawancara. Proses terjadinya wawancara langsung kepada pasien,

karena pasien dianggap mampu mejawab pertanyaan, apabila pasien dianggap tidak mampu

melakukan tanya jawab maka, wawancara dilakukan secara tidak langsung pada keluarga

pasien yang mengetahui tentang pasien.

2. Inpeksi, merupakan suatu pemeriksaan, dimana pemeriksaan tersebut melihat pasien secara

langsung dan mengidentifikasi tanda-tanda dari keluhan yang pasien alami. Pemeriksaan

inspeksi dalam pelayanan terapi sel punca dapat dilakukan dengan dilakukannya prosedur
pemeriksaan berupa pengecekan laboratorium, rontgen, ultrasonography (USG), kemudian

radiologi, atau bahkan perawatan rawat inap.

3. Diagnosis, (atau berdasarkan Bahasa baku menurut KBBI; Diagnosis) menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, diagnosis merupakan prosedur penentuan jenis penyakit dengan cara

meneliti gejala-gejalanya. Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit

(weakness, disease) apa yang dialami seorang dengan melalui pengujian dan studi yang

saksama mengenai gejala-gejalanya (symptons). Dalam pelayanan terapi sel punca setelah

dilakukannya inspeksi maka Dokter Spesialis Konsultan akan mendiagnosis berdasarkan

hasil dari pemeriksaan inspeksi yang telah dilakukan. Apabila dalam proses pemeriksaan

tersebut dinyatakan positif dan penyakit tersebut memerlukan terapi sel punca (stem cell),

maka Dokter Spesialis Konsultan akan membuat rujukan pemesanan sel punca. Rujukan

untuk memesan sel Punca dibutuhkan Dokter yang kompeten dan terdaftar di Instalasi Sel

Punca RS Pendidikan. Pengeluaran sel punca harus dengan rekomendasi Bagian Bioetik dan

Bagian Teknis Medis Instalasi Sel Punca. Bank/Instalasi memberikan sel yang dibutuhkan

klinisi untuk terapi kepada dokter. Dalam prosedur tahap ini, Dokter Spesialis Konsultan

akan memutuskan pasien untuk menjalani terapi sel punca (stem cell) sebagai upaya atau

terapi penyembuhan/ memperpanjang hidup pasien, sebagaimana yang tercantum dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) nomor 32 tahun 2018

tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca Dan/Atau Sel yaitu Pelayanan Sel Punca

dan/atau Sel adalah tindakan medis yang dilakukan dalam rangka pengambilan,

penyimpanan, pengolahan, dan pemberian terapi sel punca dan/ sel. Sebelum dilakukannya

tindakan terapi sel punca (stem cell), Dokter Spesialis Konsultan harus mendapatkan

persetujuan pasien terlebih dahulu.


4. Berdasarkan rujukan tersebut maka Dokter Spesialis Konsultan dengan pasien melakukan

prosedur Informed Consent. Informed Consent dalam pelayanan terapi sel punca sendiri

merupakan proses perikatan antara Dokter Spesialis Konsultan dengan pasien yang mana

pasien setuju akan adanya tindakan dalam pemberian terapi sel punca terhadap dirinya. Hal

ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran (Permenkes No. 290 Tahun 2008) bahwa:

“Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan kepada pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.”

Keluarga terdekat tersebut dijelaskan pada Pasal 2 Permenkes No. 290 Tahun 2008, yaitu

suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung dan saudara-saudara kandung.

Melalui persetujuan tersebut, maka terbentuklah informed consent antara Dokter Spesialis

Konsultan dan pasien penerima terapi sel punca. Setelah proses pemberian terapi dengan sel

punca tersebut, dokter harus melakukan prosedur yaitu melaporkan hasil terapi dan kejadian

kepada Instalasi Sel Punca RS Pendidikan Rujukan yang ditunjuk.

5. Selanjutnya tindakan kedokteran, tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa

preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter terhdap pasien.

Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan

jaringan tubuh pasien. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan

medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau

kecacatan. Dalam pelayanan terapi Sel Punca (stem cell) tindakan yang dilakukan ialah

tindakan secara langsung, pemberian resep obat, dan diserta nasihat-nasihat yang perlu

diikuti oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter dan pasien tersebut, sejak

tanya jawab sampai dengan perencanaan terapi, Dokter Spesialis Konsultan melakukan
pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Hal ini telah ditekankan di dalam

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis bahwa: "Rekam medis harus dibuat secara

tulis, lengkap, dan jelas atau secara elektronik." Sebagaimana hal ini diatur pula dalam UU

Praktik Kedokteran Pasal 46 mengenai Rekam Medis sebagai berikut:

a) Setiap dokter dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis;

b) Rekam medis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus segera dilengkapi setelah

pasien selesai menerima pelayanan kesehatan; dan

c) Setiap catatan medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang

memberikan pelayanan atau tindakan.

Mengacu pada prosedur tersebut, artinya seorang dokter yang harus memiliki kemampuan

atau keahlian dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien penerima terapi sel punca

(stem cell), maka perlu melakukan tindakan sesuai kompetensi. Oleh karena itu, secara garis

besar pemberian pelayanan terapi sel punca harus melalui prosedur yang hanya dapat

dilakukan oleh dokter professional dan terlatih dalam pelayanan terapi sel punca (stem cell).

Sebagaiaman diatur dalam pasal 22 ayat (6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca Dan/Atau Sel

bahwa “Tenaga kesehatan yang kompeten di bidang Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan surat keterangan kompetensi dari kolegium

masing-masing”

Masyarakat Dokter

Instalasi Sel Punca


RS/ Bank Sel Punca
Dokter yang
kompeten

Konsultasi Terapi

Masyarakat

Gambar 2. Alur Pasien Pelayanan Medis Sel Punca

Dengan demikian, secara garis besar prosedur yang dilakukan dalam terapi Sel Punca (stem cell)

dapat dilakukan dengan melalui prosedur di atas (diagnosis, rujukan, dan informed consent) lalu

kemudian dikuti langkah rekam medis yang dilakukan antara Dokter Spesialis Konsultan dan

pasien, maka terbentuklah hubungan hukum/kontraktual yang lahir dari transaksi terapeutik.

Kesepakatan yang dilakukan oleh Dokter Spesialis Konsultan dan pasien mengantarkan suatu

hubungan hukum bersegi dua (tweezijidigie rechbetrekkingen).

1) Prosedur Terapi Sel Punca (Stem Cell) Dengan Metode Autologous

Secara garis besar aplikasi sel punca di bidang kedokteran dapat dibagi menjadi dua,

yaitu: autotranplantasi/Autologus (donor dan resipien adalah orang yang sama) dan

allotransplantasi/Alogenic (donor dan resipien adalah orang yang berbeda). Dalam

prosedur metode Autologus merupakan metode teknik yang paling berkembang untuk

sel punca, karena tidak melibatkan sumber sel punca dari orang lain maupun spesies
lain. Dengan demikian, penolakan dari sistem kekebalan tubuh resipien tidak terjadi.

Prosedur metode ini bersumber dari darah tepi, sumsum tulang dan darah tali pusat.

Dengan perkembangan teknologi dewasa ini pemberian suatu faktor tertentu juga

dapat memobilisasi sel punca.2

Metode yang bersumber dari darah tepi merupakan teknik yang banyak diminati saat

ini karena relatif lebih nyaman dan aman. Dalam prosedur pengambilan dan

pengemasan metode ini dilakukan pengecekan terlebih dahulu yakni identitas dan

kelayakan klien atau donor, kemudian pengambilan darah harus dilakukan dengan

standar yang sesuai agar menjaga viabilitas sel yang akan di uji. Setelah dilakukan

pengambilan darah tali pusat, maka prosedur selanjutnya darah yang telah diambil

harus ditempatkan pada tempat atau kantung yang sesuai dan diberikan identitas,

antara lain nomor identitas darah tali pusat, volume darah, tanggal pengambilan, jenis

dan volume koagulan atau bahan lain, tanggal pengolahan darah tali pusat dan

penyimpanan, nama klien atau donor, identitas atau kode Bank Sel Punca.

Selanjutnya darah yang telah di kemas dan diberi nomor identitas dan lainnya maka

darah tersebut akan di periksa atau di uji kelayakan untuk menjaga mutu, selanjutnya

hasil uji apakah darah tersebut dapat digunakan atau tidak, karena Bank Sel Punca

hanya dapat menyimpan sel punca yang memenuhi kriteria kualitas dan kuantitas.

Kriteria kualitas yang dimaksud meliputi bebas dari HIV, Hepatitis B,2, Hepatitis C,3

Sifilis dan kontaminasi mikroorganisme, kemudian kuantitas yang dimaksud adalah

meliputi jumlah viabel. Tahap selanjutnya setelah melalui prosedur pengujian dan

lainnya yang telah dilakukan sesuai standar pelayanan, standar profesi dan prosedur

2
Ferry Sandra, Harry Murti, Nurul Aini, Caroline Sardjono, Boenjamin Setiawan “Potensi Terapi Sel Punca dalam
Dunia Kedokteran dan Permasalahannya”, JKM-Vol.8 No.1, Juli 2008, hlm.95.
operasional, kemudian darah tali pusat yang akan digunakan untuk diri pendonor

(autologous) maupun untuk orang lain (allogenic). Tahap selanjutnya yakni pada

prosedur pengaplikasian pada pasien, sebelum dilakukannya serah terima dari pihak

Bank Sel Punca kepada institusi kesehatan penyelenggara terapi Sel Punca, maka

dilakukan prosedur persetujuan tertulis dari pihak klien atau donor serta surat berita

acara serah terima yang mencantumkan identitas pegawai Bank Sel Punca yang

menyerahkan serta pihak penerima dan ditandatangani kedua belah pihak. Beberapa

tahap dan langkah tersebut harus dilalui secara runut dan sesuai aturan yang ada yakni

sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

834/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel

Punca.

2) Prosedur Terapi Sel Punca (Stem Cell) Dengan Metode Allogenic

Prosedur selanjutnya dalam tahapan terapi sel punca terdapat metode yang sering

digunakan adalah allotransplantasi/Alogenic (donor dan resipien adalah orang yang

berbeda). Metode ini digunakan apabila seorang resipien dalam keadaan dengan bakar

yang luas, atau pasien lansia dengan penyakit sistemik. Pasien-pasien dengan kondisi

tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan koleksi sel punca, sehingga sumber sel

punca diharapkan dapat diperoleh dari orang lain, yang dikenal sebagai

allotransplantasi/allogenic. Dalam prosedur metode alogenic dilakukan dengan 4 rute

yakni rute topical, rute intravenus, rute intraartricular dan intra lesi. Rute topical

dilakukan dengan cara pemberian sel punca langsung pada luka baik jaringan kulit

atau jaringan di bawah kulit. Rute intravenus dilakukan dengan cara pemberian sel

punca melalui infus (pembuluh darah), prosedur ini dalkukan apabila lokasi jaringan
yang sakit berada pada organ di dalam tubuh dan organ targetnya mempunyai akses

pembuluh darah yang memadai. Sedangkan rute intraarticural dilakukan dengan cara

menyuntikkan sel punca ke dalam rongga sendi, prosedur ini dilakukan rusak berada

pada rongga sendi dan jaringan tersebut tidak memiliki aksespembuluh darah yang

memadai (avaskular). Keempat yakni Rute intra lesi merupakan metode pemberian sel

punca dengan cara dilakukan secara langsung pada jaringan yang rusak (luka).

Penggunaan sel punca dan pilihan rute penghantarannya disesuaikan dengan kondisi

penyakit, ketersediaan sel punca, kemudahan teknik, aspek legal dan kesepakatan

pasien.3

Pada metode ini seringkali mengalami kendala, yang mana kerap terjadi pada adalah

kesulitan untuk mendapatkan donor yang sesuai secara imunologis untuk mencegah

terjadinya reaksi penolakan terhadap sel yang ditransplantasikan. Akibat dari adanya

reaksi penolakan terhadap sel punca tersebut dapat mengarah ke GvHD (Graft versus

Host Disease).4 Jika ini terjadi tentu akan memperparah keadaan bagi penerima

transplantasi sel punca. Oleh karena itu harus ada kecocokan antara sel punca donor

dengan penerima donor, maka dalam prosedur terapi sel punca alogenic seringkali

dilakukannya uji Human Leucocyte Antigen (HLA).

c. Informed Consent Dalam Pelayanan Terapi Sel Punca (Stem Cell)

Pelayanan kesehatan hingga kini terus berkembang oleh karenanya peranan hukum dalam

pelayanan kesehatan semakin meningkat seiringnya waktu. Dalam Pasal 52 Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan

terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayananan
3
Supartono, Basuki. ”Tehnik Rekayasa Jaringan untuk Penyembuhan Cedera Olahraga.”RSON II.NO-Januari-Maret-
2015, hlm.14
4
Ferry Sandra dkk, Op Cit, hlm.96.
yang diberikan berupa pencegahan, pengobatan, serta pemulihan dari suatu penyakit yang mana

pelayanan tersebut didasarkan atas hubungan individual antara para tenaga kesehatan yakni para

ahli di bidang kedokteran dengan seorang pasien yang membutuhkan jasanya. Oleh karenanya

berdasarkan hak, maka setiap perseorangan atau pasien memiliki hak untuk mengetahui prosedur

perawatan yang akan dialaminya, termasuk resiko-resiko yang harus ditanggung pasien tersebut

akibat dari adanya tindakan atau metode perawatan tertentu. Hal tersebut lazim dilakukan oleh

tenaga kesehatan dalam menjalankan pelayanan kesehatan, yang dimana hal itu dikenal dengan

istilah “informed consent”, yakni suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya suatu tindakan

kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya.5

Informed consent merupakan proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan

tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien, yang kemudian dilanjutkan dengan

penandatanganan formulir informed consent secara tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang

pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada tubuhnya serta tugas utama dokter dalam

melakukan penyembuhan terhadap pasien. Tujuan pemberian informasi secara lengkap

mengenai penyakit serta tindakan medis yang akan dilakukan adalah agar pasien bisa

menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihannya. Sebagaimana informed consent

merupakan syarat terjadinya kontrak terapeutik yang didasarkan atas dua hak asasi pasien, yaitu

hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi. Dalam pelayanan Sel Punca (stem

cell), Informed Consent memiliki fungsi ganda, artinya melalui informed consent ini akan

menjadi pelindung bagi masing-masing pihak. Bagi Dokter Spesialis Konsultan, surat

persetujuan tindakan medis dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada

pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya

tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak
5
Soerjono Soekanto, 1989, Aspek Kesehatan (suatu kumpulan catatan), Penerbit: Ind-Hill-co, Jakarta, hlm.68.
dikehendaki.

Sedangkan bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh

dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan apabila terjadi penyimpangan praktik dokter

dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan. Oleh karenanya Informed consent

memiliki peran penting bagi kedua belah pihak. Peran penting informed consent ini pula

diperkuat dalam pasal 45 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yaitu: “Setiap tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus

mendapat persetujuan”. Hal ini pula dalam pelayanan terapi Sel Punca (stem punca) perlu

dilakukan prosedur informed consent oleh Dokter Spesialis Konsultan terhadap pasien sebelum

melakukan tindakan terapi sel punca (stem cell). Dokter Spesialis Konsultan akan memberikan

informasi yang cukup dan jelas dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien, sehingga

pasien dapat mengambil keputusan yang tepat tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan

tindakan yang akan dilakukan oleh dokter tersebut.

Dokter Spesialis Konsultan harus memberikan informasi tentang maksud dan tujuan terapi sel

punca (stem cell) kepada pasien, termasuk fakta-fakta penting, risiko-risiko, efek samping

ataupun komplikasi yang mungkin akan terjadi, kerugian, dan keuntungan dari terapi sel punca,

alternatif yang tersedia, besarnya biaya yang akan dikeluarkan, persentase kegagalan, keadaan

setelah pengobatan, dan pengalaman dokter sendiri dalam menangani pasien. Berdasarkan

penjelasan yang diberikan oleh Dokter Spesialis Konsultan, maka pasien berdasarkan haknya

untuk menentukan sendiri terhadap apa yang akan terjadi pada tubuhnya (self determination).

Sebagaimana informed consent merupakan syarat terjadinya kontrak terapeutik yang didasarkan

atas dua hak asasi pasien, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.

Oleh karenanya dalam prosedur terapi sel punca informed consent dilakukan guna sebagai
langkah penentu dapat merencanakan terapi sel punca (stem cell), berupa tindakan secara

langsung, pemberian resep obat, dan diserta nasihat-nasihat yang perlu diikuti oleh pasien,

sehingga pasien dapat mempertimbangkan apakah menerima atau menolak sebagian atau

seluruhnya rencana tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya.

Namun apabila dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling

penting dan dapat dilakukan, sebagaimana apabila terjadinya kejadian darurat yang mana keadaan

pasien tidak sadarkan diri dan pihak keluarga tidak ada di tempat sedangkan dokter

memerlukan tindakan segera, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut

dokter oleh karenanya informed consent dianggap telah diberikan (Implied Consent). Hal ini

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Men.kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan

Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergencytidak diperlukan Informed consent.

Anda mungkin juga menyukai