Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MALPRAKTIK KEPERAWATAN DALAM PRESPEKTIF KUHP


DAN KUHAP

Dosen Pengampu :
Dr.Ta’adi,SKp.Ns.SH.,MH.Kes

NAMA MAHASISWA : JUMIATI

NIM : 22.C2.0032

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

ANGKATAN 37

SEMARANG

2024
A. Latar Belakang

Dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 ditegaskan bahwa setiap Orang berhak memperoleh pelayanan

Kesehatan Pasal Tersebut masuk dalam Bab yang mengatur hak asasi manusia,

sehingga pelayanan kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Dewasa ini sistem pelayanan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

sebagai penyembuh banyakdiperbincangkan masyarakat, dan penilaian serba positif

terhadap profesi kesehatan mulai luntur dikarenakan dalam upaya penyembuhan

yang dilakukan tenaga kesehatan tidak semuanya sesuai yang diinginkan oleh pasien

yaitu kesembuhan (Ramoon, Arief and Sidqi, 2021).

Dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh rumah sakit, dokter dan perawat

merupakan tenaga kesehatan yang memegang peranan penting. Dokter berwenang

melakukan tindakan medis tertentu standar berarti pelanggaran perjanjian. Makna dari

perjanjian berdasarkan ilmu kedokteran, sedangkan perawat adalah orang yang di

didik menjadi tenaga paramedis untuk menyelenggarakan perawatan terhadap pasien

atau secara khusus untuk mendalami bidang perawatan tertentu (Aziz, 2014).

Perawat dalam melaksanakan tugasnya haruslah selalu di bawah

pengawasan dokter, sebab dalam praktik keperawatan terdapat fungsi depeden,

dimana dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan

pelayanan medis. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan dalam hal

pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya
dilakukan oleh dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat dan melakukan

suntikan (Aziz, 2014).

Namun, dalam layanan kesehatan, tenaga kesehatan kadang-kadang lalai,

menyebabkan malapetaka seperti cacat, lumpuh, atau bahkan meninggal dunia.

Pasien atau pihak keluarganya sering menuntut ganti rugi jika hal itu terjadi. Tenaga

kesehatan yang melakukan kelalaian dapat disebut dengan melakukan malpraktik.

Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa malpraktik dibidang

medik dan malpraktik medik. Dikatakan melakukan Malpraktik dibidang medik,yaitu

perbuatan malpraktik berupa perbuatan tidak senonoh (misconduct) yangdilakukan

tenaga kesehatan ketika ia menjalankan profesinya di bidang medik, sedang

malpraktik medik yaitu malpraktik yang berupa adanya kegagalan (failure) dalam

memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Dilain pihak, bentuk-bentuk malpraktik

tenaga kesehatan terdiri malpraktik kriminal (criminal malpractice),malpraktik perdata

(civil malpractice) dan malpraktik administrasi (administrative malpractice) (Wulandari,

2017).

Malpraktik dapat diartikan sebagai setiap tindakan medis yang dilakukan

oleh dokter atau oleh orang-orang di bawah pengawasannya, atau oleh penyedia

jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis,

terapeutik, atau manajemen penyakit, yang dilakukan secara melanggar hukum,

kepatutan, kesusilaan, dan prinsip-prinsip profesional, baik dilakukan dengan

kesengajaan, atau ketidakhati-hatian, yang menyebabkan salah tindak, rasa sakit,

luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa, atau kerugian lainnya dari

pasien dalam perawatannya, yang menyebabkan tenaga kesehatan harus


bertanggungjawab baik secara administrasidan atau secara perdata dan atau

secara pidana (Sari, 2015)

Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum Pidana di

Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),

yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda dan merupakan lex

generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia, dimana asas-asas umum

termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur diluar KUHP

(Wulandari, 2017)

Salah satu hal yang diatur oleh hukum adalah tentang kesehatan. Kesehatan

merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia terutama dalam

melakukan serangkaian aktivitas. Selalu sehat merupakan keinginan setiap manusia,

walaupun ada aksioma yang mengatakan bahwa semua manusia pasti akan

mengalami sakit, setidaknya sekali dalam hidupnya. Dalam hal inilah kemudian

kehadiran tenaga medis beserta institusinya dibutuhkan. Untuk mengobati sakit,

semua orang akan melakukan serangkaian pengobatan yang dibantu oleh tenaga

kesehatan untuk mendapatkan pertolongan medis. Seorang tenaga kesehatan dituntut

untuk menjalankan pekerjaannya dengan saksama sebab tenaga kesehatan yang

ceroboh dalam melakukan pekerjaannya, taruhannya adalah kesehatan dan tak jarang

nyawa pasien.

Contoh kasus lain, yaitu kisah pilu yang dialami oleh Hendri (25 tahun),

ayah dari bayi bernama Evan yang baru lahir satu malam di Rumah Sakit

Fatmawati, Jakarta Selatan pada 19 Maret 2013 yang lalu. Evan mengalami bercak

kemerahan, kemudian panas tinggi setelah disuntik perawat dan akhirnya


meninggal. Seharusnya Evan tidak boleh diberikan suntikan karena merupakan

bayi yang baru lahir secara prematur, tetapi perawat memberikan suntikan

imunisasi dengan menganggap bahwa tindakannya adalah benar. Pada kasus

tersebut, jelas terlihat bahwa perawat tidak berkolaborasi dengan dokter karena

perawat langsung mengambil tindakan sendiri tanpa adanya diskusi ataupun

perintah dari dokter untuk menanganI pasien.

Aspek hukum pidana dalam upaya pelayanan kesehatan oleh perawat

berkaitan dengan tanggung jawab perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di

rumah sakit. Kemampuan bertanggung jawab berkaiatan erat dengan perbuatan

pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam

lingkungan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan nomor 17 Tahun 2023 tentang

Kesehatan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai

pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan

Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan

rekomendasi dari majelis

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mengidentifikasikan rumusan masalah sebagai yaitu “bagaimana malpraktik

keperawatan dalam prespektif KUHP dan KUHAP”?

C. Pembahasan

1. Tanggung Jawab Hukum

Tanggung jawab hukum dapat telah dibedakan dalam tanggungjawab hukum

administrasi, tanggungjawab hukum perdata dan tanggungjawab pelanggaran-

pelanggaran hukum tersebut yang dilakukan oleh profesi dokter ini dapat dilakukan

tindakan atau dengan kata lain dilakukan penegakan hukum.

Tanggung jawab administrasi timbul apabila perawat lain melakukan

pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya

menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, menjalankan praktek

dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat

catatan medik. Sedangkan tanggung jawab hukum perdata timbul karena adanya

hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien, hubungan tersebut disebut

perjanjian atau transaksi terapeutik. Bila terjadi sengketa maka yang berselisih

adalah antar perorangan atau bersifat pribadi, maka pasien atau keluarganya dapat

mengajukan gugatan terhadap dokter yang telah melakukan wanprestasi atau

perbuatan melawan hukum tersebut ke Pengadilan. Berbeda halnya dengan

pertanggungjawaban hukum pidana, dimana penegakan hukumnya dilakukan oleh

aparat penegak hukum yang berwenang (Ramoon, Arief and Sidqi, 2021).
Tanggung jawab perawat yang mengakibatkan kerugian. Perbuatan yang

merugikan pasien adalah karena tindakan perawat yang telah melalaikan

kewajibannya dan menimbulkan kerugian yang nyata bagi pasien (Sari, 2015).

2. Malpraktik keperawatan dalam prespektif KUHP

Kasus-kasus malpraktik di Indonesia di atas cenderung diarahkan pada

perbuatan melawan hukum yang bersifat keperdataan. Secara Hukum Perdata,

dokter maupun perawat mempunyai tanggung jawab yang harus dilakukannya

ketika telah keluar dari garis orbit standar profesi keperawatan

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut. Pasal 1366 juga berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab

tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk

kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 310 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan juga

menyebutkan bahwa Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga

melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian

kepada Pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan

terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Di dalam Kode Etik Keperawatan, meskipun perawat telah memberikan

asuhan keperawatan dengan baik, yang sesuai dengan standar profesi dan standar
asuhan keperawatan, tetapi apabila pasien merasa tidak puas dan atau dirugikan

atas pelayanan keperawatan yang diterimanya, perawat berdasar Kode Etik

Keperawatan masih berkewajiban untuk menanggungnya. Wajib bagi perawat

untuk memikul tanggung jawab karena Kode Etik Keperawatan menentukan

demikian.

Pada Pasal 1371 KUHP menyatakan bahwa jika seseorang maupun perawat

yang Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja

atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut

penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang

disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini

dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut

keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian

yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang (‘Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)’ .

Terdapat beberapa Tanggung Jawab hukum perdata yaitu Pertama,

Tanggung jawab hukum perdata karena telah melakukan wanprestasi.

Wanprestasi secara hukum adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak

memenuhi kewajibannya yang didasari pada suatu perjanjian atau kontrak. Hal

ini termaktub dalam Pasal 1239 KUHPerdata. Seorang perawat dianggap

melakukan wanprestasi karena tidak melakukan apa yang telah disanggupinya,

terlambat melakukan apa yang telah diperjanjikannya, melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Kedua, tanggung jawab hukum

perdata seorang perawat karena melakukan perbuatan melawan hukum


(onrechtmatige daad). Perbuatan perawat dikatakan sebagai perbuatan

melawan hukum karena melanggar hak orang lain, bertentangan dengan

kewajiban hukum, menyalahi pandangan etis, dan berlawanan dengan sikap

hati-hati. Ketiga, tanggung jawab perawat yang mengakibatkan kerugian.

Perbuatan yang merugikan pasien adalah karena tindakan perawat yang telah

melalaikan kewajibannya dan menimbulkan kerugian yang nyata bagi pasien

(Sari, 2015).

Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Pasien Terhadap Perawat yang

Melakukan Malpraktik :

a. Litigasi

Litigasi merupakan sebuah proses dimana pengadilan menjatuhkan

keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses

hukum. Litigasi banyak digunakan dalam penyelesaian sengketa medik. Hal

yang paling menonjol dalam proses litigasi adalah biaya cukup tinggi, waktu

yang lama, beban psikologis yang tinggi, formalitas, dan kompleksitas dari

proses litigasi. Proses ini dimulai dengan cara mengajukan gugatan kepada

Pengadilan Negeri.

Jika seorang pasien merasa dirugikan dengan tindakan yang dilakukan

oleh perawat, maka perawat dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya dimuka hukum secara perdata. Pasien dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri (selanjutnya disebut dengan PN) dengan

syarat bahwa:

1) Pasien harus mengalami kerugian;


2) Adanya kesalahan;

3) Adanya hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian;

4) Perbuatan itu melawan hukum.

b. Non Litigasi

Non litigasi merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan

cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Cara

terbaik yang dipilih para pihak yang bersengketa, dalam hal ini perawat

dan pasien adalah melalui mediasi (Soetrisno, 2010).

Berdasarkan ketentuan beberapa pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa seorang perawat (sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan) dapat

dimintai pertanggungjawaban jika perawat melakukan kesalahan dan/atau

kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Hal ini sesuai dengan teori

tanggung jawab hukum yang dibahas pada Bab sebelumnya, yang mengatakan

bahwa seorang perawat baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum apabila terdapat unsur kesalahan dan/atau kelalaian yang dilakukan.

Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak

hanya bertentangan dengan undangundang, tetapi juga dengan asas kepatutan

dan kesusilaan dalam masyarakat.

3. Malpraktik keperawatan dalam prespektif KUHAP


Aspek hukum pidana dalam upaya pelayanan kesehatan oleh perawat

berkaitan dengan tanggung jawab perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di

rumah sakit. Kemampuan bertanggung jawab berkaiatan erat dengan perbuatan

pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam

lingkungan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dari alasan tersebut

terdapat tiga unsur perbuatan pidana, yaitu :

1. Perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkungan delik,

2. Bersifat melawan hukum, dan

3. Dapat dicela.

Jika menyebabkan orang luka ringan tidak dikenakan pasal ini. Pasal 361

menyatakan:“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam

melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah

dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu

mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya

keputusannya itu diumumkan”.Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan,

perawat, ahli-obat, yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-

masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila

mereka itu mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam

pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal

360), maka akan dihukum lebih berat. Sehubungan dengan aturan tindak pidana

malpraktik maka diperlukan pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik

tersebut. Pembuktian dalam hal malpraktik merupakan upaya untuk mencari

kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar
tidaknya peristiwa itu terjadi dan mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi

tujuan pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil,

bukan mencari kesalahan terdakwa.

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti

yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan

pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang

diperoleh dari dua alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori

‘negative wetelijk’, karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur

alat-alat bukti yang sah menurut UU (Ramoon, Arief and Sidqi, 2021)

D. Simpulan dan rekomendasi

1. Simpulan

Hukum Pidana tidak mengatur secara jelas tentang ancaman pidana tentang

perbuatan melawan hukum dibidang kesehatan yang dikenal dengan malpraktek

tersebut. Meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum seperti beberapa

pasal konvensional dalam KUHP yang tidak secara ekspilisit menyebut ketentuan

tentang malpraktik namun dapat digunakan sebagai dasar tuntutan pidana.

2. Rekomendasi

Diharapkan adanya penerapan hukum pidana yang jelas bagi perawat yang

melakukan malpraktik, diharapkan pemangku kebijakan membuat suatu produk

hukum yang lebih khusus mengatur tentang pidana malpraktek agar kiranya untuk

mejamin kepastian hukum untuk penerapan pidana bagi para dokter yang

melakukan malpraktek.
E. Referensi

Aziz, A. (2014) ‘Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik Yang Dilakukan


Oleh Perawat’, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 3(2), pp. 1–46. Available at:
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127.
‘Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)’ (no date), pp. 1–549.
Ramoon, W. D., Arief, H. and Sidqi, F. A. (2021) ‘Malpraktek dalam Perspektif Hukum
Pidana dan Hukum Perdata Indonesia’, Universitas Islam Kalimantan, (36).
Sari, S. P. (2015) ‘Tinjauan Yuridis Terhadap Malpraktik Yang Dilakukan Oleh Perawat
Pada Rumah Sakit Swasta (Analisis Dari Perspektif Hukum Perdata)’, JOM
Fakultas Hukum, 11(1).
Soetrisno (2010) Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Tangerang: Telaga Ilmu Indonesia.
Wulandari, M. (2017) ‘Tanggung JAwab Perdata Atas Tindakan kelalaian Tenaga
Kesehatan Di Rumah Sakit’, VAria Hukum, (44), pp. 1162–1173.

Anda mungkin juga menyukai