Anda di halaman 1dari 20

NAMA : DIDIMUS MIGU

UNIVERSITAS BUNG KARNO


EMAIL : didimusmig@gmail.com
DOSEN : HUDI YUSUF,S.H., M.H.

Pertanggungjawaban Pidana Mahasiswa Kedokteran Jenjang Pendidikan Profesi (Co-Asisten)


Yang Melakukan Kelalaian Medis Dalam Praktik Kerja Lapangan

ABSTRAK
Penulisana ini menunjukkan belum ada parameter yang tegas terhadap pertanggungjawaban
pelanggaran mahasiswa kedokteran yang melakukan praktek kerja ko-assisten, menujukkan
adanya kebutuhan hukum yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah medik. Rumusan
masalah yang diajukan: Bagaimana pertanggungjawaban dalam tindak pidana kelalaian
medis yang dilakukan mahasiswa kedokteran umum jenjang pendidikan profesi (co-ass)
dalam praktik kerja lapangan; Bagaimana perlindungan hukum terhadap mahasiswa
kedokteran yang Melakukan kelalaian medis dalam praktik kerja lapangan. Penulisan ini
bertujuan mengetahui pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam tindak pidana
kelalaian medis yang dilakukan mahasiswa kedokteran dalam praktik kerja lapangan dan
mengetahui perlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran yang melakukan kelalaian
medis dalam praktik kerja lapangan.Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif.
Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka dan wawancara kepada responden
dan narasumber. Kemudian data tersebut dipadukan dengan Undang-undang yang berlaku
untuk mendapatkan analisis yang selanjutnya akan diambil kesimpulan dan saran. Hasil dari
penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana yang dilakukan mahasiswa co-ass jika

1
melakukan kelalaian medis secara penuh dilimpahkan kepada dokter pembimbing atau dokter
konsulen, serta perlindungan hukumnya terdapat hierarkhi terhadap Dokter Co-Ass pada
tingkatan paling dasar yaitu Dokter Konsulen atau Dokter Pembimbing, yang berwenang
langsung terhadap mahasiswa co-ass dalam melakukan praktik; diatasnya ada perlindungan
dari Rumah Sakit tempat praktik mahasiswa co-ass; kemudian terakhir perlindungan dari
Universitas tempat mahasiswa co-ass melakukan pendidikan kedokteran.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, kelalaian medis, mahasiswa co-assisten.

A. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Dikaitkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, menurut Hermien Hadiati Koeswadji, pengertian hukum kesehatan adalah
sekelompok peraturan hukum yang mengatur perawatan pelayanan kesehatan, yang berarti di
Indonesia hukum kesehatan tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan yaitu
bersumber pada peraturan hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang.
Kesehatan dan dokter memiliki kaitan sangat erat ( menurut pasal 1 ayat 2 ) Undang-
Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang dimaksud dengan dokter
adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, yang dimaksud dengan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi
1
Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 3.

masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik


secara langsung maupun tidak langsung dirumah sakit.

2
Dokter dalam menjalankan praktek kedokterannya harus memperhatikan dan
memenuhi kewajibannya, yang mana setiap kewajiban dokter adalah hak dari seorang pasien.
Dokter dalam melakukan tindakan medis harus memenuhi standar praktik kedokteran yang
tedapat pada Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang
dimaksud praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Proses perjalanan seseorang untuk menjadi dokter melalui jenjang pendidikan yang
berkelanjutan sangat penting dan merupakan penentu kualitas dan kemampuannya dalam hal
menangani keluhan dan permasalahan pasien. Hal ini terkait mengenai kerugianyang akan
ditimbulkanterhadap pasienketika dokter tidak memenuhi standarpendidikan sesuai yang
ditetapkan dimana profesi dokter sangat erat kaitannya dengan kelansungan hidup seseorang,
sehingga bahkan dengan sedikit kesalahan pun dapat berakibat fatal dan bahkan
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Seorang dokter dalam menjalankan tanggungjawabprofesinyadapatdibantu oleh
paramedik, perawat, bidan, ahli farmasi, dan yang lainnya. Dari keseluruhan yang membantu
dokter tersebut terlebih dahulu harus melalui pendidikan formal masing-masing terkait tata
cara penanganan dan pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensinya masing-masing
sebagaimana hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419 / Menkes / Per / X / 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter

2
Desriza Ratman, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek Medik, Keni Media,
Bandung, 2014, hlm 7.

dan Dokter Gigi, Pasal 14 Ayat (1) bahwa: Dokter dan dokter gigi dapat memberikan
kewenangan kepada perawat atau tenagakesehatan tertentu secara tertulis dalam
melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.
Seorang dokter dapat melimpahkan wewenangnya untuk menangani pasien terkait
permasalahan kesehatannya dengan terlebih dahulu memperhatikan kemampuan atau
kecakapan orang yang akan menerima pelimpahan wewenang tersebutdan dilaksanakanketika
penanganan pasien selanjutnya dapatditangani oleh perawat berdasarkan kompetensi
keperawatan, atau dengan kata lain dokter dapat menginstruksikan kepada perawat, bidan,
dan termasuk dokter muda untuk menangani pasien sesuai kecakapannya dan kompetensinya
3
sebagaimana hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419 / Menkes / Per / X / 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi,
Pasal 14 Ayat (2) bahwa: Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud Ayat (1) sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuanperaturan perundang-
undangan.
Seseorang dibenarkan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan apabila telah
melalui pendidikan formal mengenai penanganan kesehatan dan telah mendapat kewenangan
dari pihak yang bertanggungjawab seperti kementerian kesehatan, atau departemenkesehatan
dan pihak lainnya yang dianggap bertanggungjawab dalam hal penanganan
kesehatan.Seorang tidak dibenarkan melakukan tidakan pelayanan kesehatan apabila tidak
memiliki keterampilan, pengetahuan termasuk pengalaman yang sesuai ketentuan terkait
mengenai bagaimana langkah dan upaya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap
seorang pasien. Hal ini karena kesehatan sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup
seseorang yang jika menyalahi ketentuan pelayanan dapat berakibat buruk pada pasiennya
sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran Pasal 73 Ayat (2) bahwa setiap orang dilarang
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
Mengenai pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat, bidan, ahli farmasi,
termasuk dokter muda dan mahasiswa yang melakukan praktik harus melalui instruksi dan
petunjuk dari seorang dokter. Hal ini karena mereka adalahorang-orang yang bekerja
ataskewenangandokter sehingga tidak diperkenankan melakukan tindakan medis dan
mengambil keputusan sendiri jika tidak sesuai dengan petunjuk dan instruksi dokter,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1419/ Menkes / Per / X / 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter danDokter Gigi.
Dokter muda sebagai seorang mahasiswa yang melaksanakan program pendidikan
profesinya berada dibawah wewenangseorang dokter pembimbing yang bertanggungjawab
terkait kegiatan yang dilaksananaknnya di rumah sakit. Sekalipun secara teori telah melalui
pendidikan formal di Universitas, akan tetapi belum diperkenankan mengambil keputusan
sendiri dan melakukan penanganan kesehatan.
Pada setiap praktik kedokteran dapat mengakibatkan timbulnya korban dan kerugian,
yaitu sebagai akibat perbuatan yang disengaja atau karena kelalaiannya atau kekurang hati-
4
hatiannya, atau dengan kata lain kasus malpraktik merupakan kasus yang sangat erat
hubunganya dengan dunia kedokteran.Malpraktek berasal dari terjemahan bahasa inggris
malpractice yang diartikan sebagai praktek yang tidak benar atau adanya kesalahan dalam
berpraktek. Menurut Soerjono medical malpractice adalah segala sikap tindak yang
menyebakan terjadinya tanggung jawab berdasarkan lingkup professional pelayanan
Kesehatan.
Oleh karena belum adanya parameter yang tegas terhadap pertanggungjawaban
pelanggaran mahasiswa kedokteran yang melakukan praktek kerja ko-assisten pada
pasiennya tersebut, menujukkan adanya kebutuhan akan adanya hukum yang dapat
diterapkan dalam pemecahan masalah medik. Dengan demikian penulis ingin mengangkat
masalah tersebut menjadi sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana
Pada Mahasiswa Kedokteran Umum Jenjang Pendidikan Profesi (Co-Assistant) Yang
Melakukan Kelalaian Medis Dalam Praktik Kerja Lapangan”.

B. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban dalam tindak pidana kelalaian medis yang dilakukan
mahasiswa kedokteran jenjang pendidikan profesi (co-assistant) dalam praktik kerja
lapangan?
2. Bagaimanaperlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran yang melakukan
kelalaian medis dalam praktik kerja lapangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam tindak pidana kelalaian
medis yang dilakukan mahasiswa kedokteran dalam praktik kerja lapangan.
2. Mengetahui perlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran yang melakukan
kelalaian medis dalam praktik kerja lapangan.

A. Makna Tanggung Jawab Secara Yuridis

5
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti tanggung jawab adalah:
"Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ter- jadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya)."
Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain:
1. An obligation one is bound in law or justice to perform.
2. Condition of being responsible for a possible or actual loss.
3. Condition which creates a duty to perform an act immediately or in the future.

Tanggung jawab hukum (legal liability) menurut Black's Law Dictionary mempunyai arti:
"Liability which courts recognize and enforce as between parties litigant."
Sedangkan menurut penulis, tanggung jawab mengandung makna:
"Keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala se- suatu akibat perbuatannya".

Pengertian tanggung jawab tersebut di atas harus memiliki unsur.


1. Kecakapan.
2. Beban kewajiban.
3. Perbuatan.
Menurut penulis, cakap menurut hukum mencakup orang dan badan hukum. Seseorang
dikatakan cakap pada dasarnya karena orang tersebut sudah dewasa atau akil balig serta sehat
pikirannya.
Sebuah badan hukum dikatakan cakap apabila tidak dinya- takan dalam keadaan pailit
oleh putusan pengadilan.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang tidak cakap adalah:
1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
3. Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Unsur kewajiban mengandung makna sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak
dilaksanakan, jadi sifatnya harus ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan
mengandung arti segala sesuatu yang dilakukan. Dengan demikian, tang- gung jawab adalah:
"Keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hu- kum, serta mampu
menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang dilakukan".
"Keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala se- suatu akibat perbuatannya".
6
Pengertian tanggung jawab tersebut di atas harus memiliki unsur.

1. Kecakapan.
2. Beban kewajiban.
3. Perbuatan.

Menurut penulis, cakap menurut hukum mencakup orang dan badan hukum. Seseorang
dikatakan cakap pada dasarnya karena orang tersebut sudah dewasa atau akil balig serta sehat
pikirannya.
Sebuah badan hukum dikatakan cakap apabila tidak dinya- takan dalam keadaan pailit
oleh putusan pengadilan.

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang tidak cakap adalah:


1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
3. Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang- undang danmemua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Unsur kewajiban mengandung makna sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak
dilaksanakan, jadi sifatnya harus ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan
mengandung arti segala sesuatu yang dilakukan. Dengan demikian, tang- gung jawab adalah:
"Keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hu- kum, serta mampu
menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang dilakukan".

B. Jenis Tanggung Jawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan

1. Tanggung Jawab Manajemen Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang unik, karena berbaur antara padat
teknologi, padat karya, dan padat modal, sehingga pengelolaan rumah sakit menja- di disiplin
ilmu tersendiri yang mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia
di dalam organisasi.

7
Definisi rumah sakit dari Sofwan Dahlan, SpPF(K) yang dikutip dari Crawford Morris &
Alan Moritz seba- gai berikut:

"a place in which a patient receive food, shelter, and nursing care while receiving medical or
surgical treatment" or "an ins- titution for the reception, care and medical treatment of the
sick or wounded, also the building used for that purpose" or "a place where medicine is
practiced by physician'

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/1992, rumah sakit adalah:

"Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan ke- giatan kesehatan serta dapat
dimanfaatkan untuk kepen- tingan pendikan tenaga kesehatan dan penelitian".

Berdasarkan uraian di atas, maka guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang
efisien dan efektif diper- lukan suatu institusi internasional yang bergerak di dalam mutu
pelayanan kesehatan "the professional standards review organization", yang dilengkapi
dengan suatu badan "join commision on hereditation of health care". Mutu pelayanan ke-
sehatan yang berlandaskan deklarasi internasional tentang "human right" dan "social
welfare" (Piagam PBB 1945 dan Deklarasi UDHR 1948) dan dikembangkan dalam "Declara-
tion of Helsinki 1964", yang kemudian disempurnakan dan diperbarui oleh hasil kongres
"The 29th of World Medical As- sembly, Tokyo 1975" dan yang lebih dikenal dengan nama
Helsinki Baru 1976.3

Mengacu pada perkembangan untuk mutu pelayanan kesehatan tersebut, maka


manajemen rumah sakit sejak tahun 1976 harus melaksanakan dasar filosofi hukum dan
doktrin pengembangan "Standar profesi dan akre- ditasi pelayanan kesehatan".
Berdasarkan kesepakatan PBB, UDHR, Helsinki, WMA, Tokyo 1975, manajemen rumah
sakit harus memiliki li- ma norma moral yang asasi, yaitu:

1. The right to information.


2. The right to self determination.
3. The right to health care.
4. The right to protect of privacy.
5. The right to second opinion.
8
Kelima norma kesehatan tersebut menjadi tanggung jawab wajib bagi manajemen rumah
sakit dan bersifat ha- kiki yang menjadi nilai norma pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Hubunga rumah sakit dan pasien serta dokter su- dah menjadi standar internasional yang
tercakup dalam "Hospital Patient's Charter, 1979" dan terdiri dari tiga nor- ma moral, yaitu:
1. Menghormati pasien:
2. Standar profesi; dan

Seminar: "Etika Pemasaran Rumah Sakit PMPK, FK-UGM oleh Prof. Dr. Bambang
Purnomo Op. cit

Malpraktik
Menurut Black’s Law Dictionary, malpraktek adalah perbuatan jahat dari sesorang ahli,
kekurangan dalam ketrampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli
dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau jelek atau perbuatan
tidak bermoral. Malpraktek pada hakekatnya adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama. Yang dimaksud
dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati yang tidak melakukan apa yang seorang
dengan hati-hati melakukan sikap yang wajar. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum
jika tidak membawa cidera atau kerugian pada pasien sesuai prinsip De Minimis Non Curat
Lex namun prinsip itu dapat
dikesampingkan jika, bertentangan dengan hukum akibatnya dapat dibayangkan –
Unsur malpraktik dikemukakan adanya “Three elements of liability” antara lain:15
1. Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan (culpability);
2. Adanya kerugian (damages);
3. Adanya hubungan kausal (causal relationship).
Malpraktik medik terdiri dari 4 (empat) D, yaitu:
1. Duty, kewajiban seorang dokter kepada pasiennya;
2. Dereliction, dokter gagal memenuhi kewjibannya terhadap pasiennya;

9
3. Damage, sebagai akibat dari kegagalan dokter untuk memenuhi kewajibannya maka
pasien menderita kerugian;
4. Direct, kelalaian dokter merupakan penyebab langsung dari kerugian yang diderita
pasien.
Menurut J Guwandi malpraktek medis dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan
a. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang
oleh peraturan per-Undang-Undangan. Dengan perkataan lain, malpraktek dalam arti sempit,
seperti dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia dan
sebagainya;
Moh, Hatta., Op.Cit., hlm. 173.
Triana Ohoiwutun, Op.Cit., hlm. 64.
Guwandi, Dokter, Pasien, dan Hukum, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2003, hlm. 17.
Syahrul Mahmud, Op. Cit., hlm. 264.

C. METODE PENELITIAN.
1. ObjekPenelitian.
Mengkaji tentang siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana
kelalaian medis yang dilakukan mahasiswa kedokteran dalam praktik kerja lapangan
dan bagaimana perlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran yang melakukan
kelalaian medis dalam praktik kerja lapangan.

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research);
b. Data Sekunder, yaitu berupa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) yang terdiri atas:
1) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan;
2) Bahan hukum sekunder, berupa rancangan peraturan perundang-undangan,
literatur, jurnal serta hasil penelitian terdahulu;
3) Bahan hukum tersier, berupa kamus, ensiklopedia dan leksikon

2. Metode Pendekatan.
Metode pendekatan penelitian yuridis normatif, suatu penelitian yang secara deduktif
dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
terhadap permasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang

10
mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan.
Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan
penerapan dalam prakteknya.

D. PEMBAHASAN
A. Resume Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Hubungan Dokter-Pasien,
Malpraktik, dan Risiko Medis
Beberapa ahli memberikan pengertian tindak pidana, sebagai berikut:
Secara umum ada dua jenis istilah yaitu hukum dan pidana. Menurut Prof. Dr.Van Kan,
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi
kepentingan manusia dalam masyarakat. Pidana juga terdapat beberapa pengertian menurut
para ahli. Menurut Profesor Van Hamel pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan
pidana atas nama negara sebagai tanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum
yang harus di tegakan oleh negara.
Menurut prof. simons, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang-
undang pidana telah dikaitakan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu
putusan hakim dijatuhi bagi seseorang yang bersalah. Untuk menjatuhkan pidana terhadap
pelaku perlu di tetapkan perbuatanan apa saja yang termasuk dalam tidak pidana sesuai
dengan prinsip atau asas legalitas yaitu suatu perbuatan pun yang dapat di pidana melainakan
kekuatan aturan pidanan yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar
dalam pengertian hukum pidana yang di bentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada suatu hukum pidana.

Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


8
Syarifin, Pipin. 2000. Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, hlm. 51.

Berbeda yang disebutkan oleh Pompe, menurut Pompe perkataan tindak pidana
itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan
terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan
11
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Dikatakan selanjutnya oleh Pompe bahwa menurut hukum positif, suatu tindak
pidana itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang dapat dihukum.

Unsur-Unsur Tindak Pidana


Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia,
2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana,
3. Perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang,
4. Harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan, 5. Perbuatan itu harus
disalahkan oleh si pembuat.

Menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah:


1. Subjek,
2. Kesalahan,
3. Bersifat melawan hukum,
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana,
5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Sofyan, Andi. 2016. Buku Ajar Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Pers, hlm. 99.

Dari apa yang disebutkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan
menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu:
1. Melawan hukum,
2. Merugikan masyarakat,
3. Dilarang oleh aturan pidana,
4. Pelakunya akan diancam dengan pidana,
5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Lamintang, ada unsur objektif yang berhubungan dengan keadaan- keadaan, yaitu
keadaan dimana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur- unsur obyektif itu
meliputi:
a. Perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bersifat positif dan bersifat
12
negatif yang menyebabkan suatu pelanggaran pidana. Terkadang perbuatan positif dan
negatif terdapat dengan tegas di dalam norma hukum pidana yang dikenal dengan delik
formil. Dimana pada delik formil yang diancam hukuman adalah perbuatannya seperti yang
terdapat pada Pasal 362 KUHP dan Pasal 372 KUHP, sedangkan terkadang pada suatu
perbuatan saja diancam hukuman sedangkan cara menimbulkan akibat itu tidak diuraikan
lebih lanjut, delik seperti ini disebut sebagai delik materil yang terdapat pada Pasal 338
KUHP.
b. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusaknya atau mebahayakan
kepentingan-kepentingan hukum yang menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya
dapat dipidana.
c. Sifat melawan hukum dan dapat dipidana. Perbuatan itu melawan hukum jika bertentangan
dengan undang-undang. Sifat dapat dipidana artinya bahwa perbuatan itu harus diancam
dengan pidana, oleh suatu norma pidana yang
tertentu.
Sifat dapat dipidana ini bisa hilang walaupun telah diancam pidana dengan undang-undang
tetapi telah dilakukan dalam keadaan-keadaan yang membebaskan misalnya dalam pasal,
44,48,49,50,dan 51 kuhp

A. Pertanggungjawaban Pidana Mahasiswa Kedokteran Jenjang Pendidikan Profesi (Co-


Asisten) Yang Melakukan Kelalaian Medis Dalam Praktik Kerja Lapangan

Pada setiap praktik kedokteran dapat mengakibatkan timbulnya korban dan kerugian, yaitu
sebagai akibat perbuatan yang disengaja atau karena kelalaian dan kurang kehati- hatian.
Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan,
harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dapat dipersalahkan
kepada pelakunya. Bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig. Penetapan mampu atau
tidaknya seseorang dimintai pertanggungjawaban, menurut Jan Remmelink, akan sangat
tergantung pada situasi dan kondisi sosial yang ada termasuk sifat dan ‘konteks’ dari tindak
pidana yang secara konkrit dilakukan. Jan Remmelink memandang keberadaan kemampuan
bertanggung jawab sebagai landasan pencelaan bersalah.
Malpraktek pada hakikatnya adalah keahlian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuna yang lajim di gunakan dalam mengobati pasien atau orang
terluka menurut ukuran lingkungan yang sama.
13
Yang dimaksud dengan kelalayan disini adalah sikap kurang hati-hati yang tidak melakuan
apa yang seorang dengan hatihati melakukan sikap yang wajar.

Mahasiswa co-ass yang melakukan praktik di Rumah Sakit atau Rumah Sakit Pendidikan
memiliki kompetensi sampai dengan 4A, yang didalamnya terdapat kompetensi dari
melakukan diagnosa sampai dengan terapi. Segala sesuatu tindakan medis yang dilakukan
mahasiswa co-ass tersebut adalah dengan ijin, perintah, persetujuan dan pengawasan Dokter
Konsulen, yang dipertanggungjawabkan kepada Dokter Konsulen untuk kemudian Dokter
Konsulen dapat bertanggungjawab terhadap pasien Dalam Peraturan Menteri Kesehatan dan
Badan Kepegawaian Daerah No.1201/MENKES/PB/XII/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Dojter Pendidik Klinis dan Angka Kreditya Pasal 1 Angka 1 mengatur
bahwa dokter pendidik klinik adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung
jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan atau medik,
pengabdian masyarakat, pendidikan dok kegiatan pelayanan kesehatan atau medik,
pengabdian masyarakat, pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis di rumah sakit dan rumah
sakit pendidikan serta melakukan penelitiian guna pengembangan ilmu kedokteran yang
diduduki oleh pegawai negeri sipil dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh
oleh pejabaan guna pengembangan ilmu kedokteran yang diduduki oleh pegawai negeri sipil
dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang.
Institusi pendidikan dokter agar dokter yang dihasilkan memiliki kompetensi yangmemadai
untuk membuat diagnosis yang tepat adalah dengan memberi penanganan awal atau tuntas,
dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka penatalaksanaan pasien.
Tingkat kompetensi setiap penyakit merupakan kemampuan yang harus dicapai pada akhir
pendidikan dokter.
Tingkat kemampuan yang harus dicapai:115
1. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan.Lulusan dokter mampu
mengenali
dan menje1askan gambaran klinik penyakit,dan mengetahui cara yang paling tepat
untuk mendapatkan informasi lebihlanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya
menentukan rujukan yangpaling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjutisesudah kembali dari rujukan.
2. Tingkat Kemarnpuan 2: mendiagnosis dan merujuk. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik terhadap penyakittersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat

14
bagi penangananpasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudahkembali dari rujukan.
3. Tingkat Kemampuan 3: men diagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk. 3A: Bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penangananpasien
se1anjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan; 3B: Gawat darurat. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikanterapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkannyawa atau mencegah keparahan darr/atau kecacatan pada
pasien.Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagipenanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjutisesudah kembali dari
rujukan.
d. Tingkat Kemampuan
4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secaramandiri dan tuntas. Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukanpenatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.4A: Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter;
4B:Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan atauPendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (PKB).Dengan demikian di dalam Daftar Penyakit ini level
kompetensi tertinggi adalah 4A.
Pada praktiknya, walaupun kompetensi dokter Co-Ass mengikuti kompetensi yang
dimiliki dokter seperti yang tercantum di dalam Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia
Nomor 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia, namun segala
tindakan medis yang dilakukan dokter Co-Ass tetap harus dengan ijin dokter konsulen
atau dokter pembimbing .
Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengatur bahwa barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa
yang berwenang tidak di pidana.
Pasal 24 Ayat (1) PERMENKES No.2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi menjelaskan dokter dan dokter gigi yang
bekerja di rumah sakit dan rumah sakit pendidikan dan fasilitas pelayanaan kesehatan
jejaringnya, dalam melaksanakan tugas pendidikannya dapat memberikan pembimbingan
atau pelaksanaan atau pengawasan pada peserta pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
15
untuk melkakukan pelayanan kedokteraan kepada pasien. Pasal 24 Ayat (2) PERMENKES
No.2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
menjelaskan pelaksanaan pelayanan kedokteran kepada pasien oleh peserta pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 Ayat (1)
PERMENKES No.2052/MENKE S/PER/X/2011 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter
dan Dokter Gigi dilakukan dibawah pengawasan dan tanggung jawab pembimbing, bahwa
Dokter dan Dokter Gigi yang bekerja di rumah sakit pendidikan dan fasilitas pelayanan
kesehatan jejaringnya, dalam melaksanakan tugas pendidikannya dapat memberikan
pembimbingan/ pelaksanaan/pengawasan kepada peserta pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi untuk melakukan pelayanan kedokteran kepada pasien.
Pasal 18 Ayat (1) Undang-UndangNomor 20 tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran
mengatur untuk pembelajaran klinik dan pembelajaran komunitas, mahasiswa diberi
kesempatan terlibat dalam pelayanan kesehatan dengan bimbingan dan pengawasan dosen.
Bimbingan yang dimaksud adalah proses alih pengetahuan, ketrampilan, sikap dari dosen
kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jangka waktu
tertentu, sedangkan yang dimkasud pengawasan adalah proses jaga mutu dari dosen kepada
mahasiswa untuk memastikan tidak terjadinya kekeliruan atau kerugian terhadap pasien
kedokteran harus menyediakan unit bimbingan dan konseling untuk menangani masalah
akademik dan non akademik mahasiswa. Bahwa Unit Bimbingan dan Konseling dikelola
atau masyarakat yang dilibatkan dalam proses pembelajaran
Melaksanakan perintah jabatan termasuk bagian dari alasan pembenar, alasan lainnya
adalah keadaan darurat atau noodtoestand (Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)), pembelaan terpaksa atau noodweer (Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)), melaksanakan perintah Undang-Undang (Pasal 50 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)). Tentang alat dan cara perintah disampaikan, Jan
Rammelink berpendapat perintah jabatan tidak perlu langsung diterima oleh penerima
perintah, sarana komunikasi yang biasa dipakai, termasuk sarana bantu lainnya juga dapat
dipergunakan untuk menyampaikan perintah tersebut, dalam hal ini berhubungan dengan
pendelegasian wewenang.
Beberapa syarat untuk menentukan sebagai perbuatan pidana adalah ;
1. Harus ada perbuatan manusia;
2. Perbuatan manusia itu bertentangan dengan hukum;
3. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-Undang dan diancam dengan pidana;
4. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan;
16
5. Perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat.
B. Perlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran yang melakukan kelalaian medis
dalam praktik kerja lapangan
Prinsip yang mendasari perlindungan hukum adalah prinsip negara hukum dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Perlindungan yang diberikan
oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh manusia
sebagi subjek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.
Pelindungan hukum ini bersifat preventif maupun represif, perlindungan hukum preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sebaliknya perlindungan hukum represif
bertujuan untuk menyelesaikan sngketa.

a. perlindungan hukum prventif ;


Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang difinitif, tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif sangat besar artinya dalam tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan
bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah mendorong
untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang di dasarkan pada diskresi.
b. Perlindungan Hukum Represif\

Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.


Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di
Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat lahirnya
konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia
diarahkan pada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan adalah prinsip negara hukum.
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran, mengatur setiap
mahasiswa berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam mengikuti proses belajar
mengajar, baik di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi maupun di Rumah
Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran.
17
Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional, maka ia tidak dapat dituntut hukum baik hukum administrasi,
hukum perdata, maupun hukum pidana. Menurut Syahrul Machmud, standar atau batasan
yang digunakan untuk menetapkan apakah seorang dokter didalam menjalankan praktek
kedokteran mendapatkan perlindungan hukum adalah ketaatan menjalankan pelayanan atau
praktek kedokteransesuai dengan standar profesi dan standar profesi operasional.
Sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
kewajiban dokter atau dokter gigi salah satunya adalah memberikan pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Diikuti dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
hak dokter atau dokter gigi salah satunya adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan profesi dan standar prosedur operasional. Dalam hal ini dokter yang
menjalankan tugasnya sesuai dengan standar, tidak dapat disalahkan dan tidak dapat dituntut
apabila terjadi kegagalan dalam upaya penyembuhan pasien, karena kegagalan yang terjadi
merupakan suatu resiko medis yang melekat pada setiap tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter, dan hal ini telah disetujui oleh pasien di dalam informed consent;
Kewajiban dokter juga tercantum pada Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI),
terdapat kewajiban dokter terhadap pasien yaitu:
1. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut (Pasal 10);
2. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalahnya (Pasal 11);
3. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya (Pasal 13).

E. Kesimpulan DAN SARAN

18
1. Segala tindakan yang mengakibatkan kelalaian medis yang dilakukan mahasiswa
kedokteran jenjang pendidikan profesi (co-assistant) tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban, dan pertanggungjawaban tersebut dialihkan kepada dokter konsulen atau
dokter pembimbing, sesuai dengan terdapatnya alasan pembenar yaitu dalam
melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)). Kemudian pada Pasal 24 Ayat (1) PERMENKES
No.2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan
Dokter Gigi dilakukan dibawah pengawasan dan tanggung jawab pembimbing, bahwa
Dokter dan Dokter Gigi yang bekerja di rumah sakit pendidikan dan fasilitas
pelayanan kesehatan jejaringnya, dalam melaksanakan tugas pendidikannya dapat
memberikan pembimbingan/ pelaksanaan/pengawasan kepada peserta pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi untuk melakukan pelayanan kedokteran kepada
pasien.
2. Perlindungan hukum terhadap mahasiswa kedokteran jenjang pendidikan profesi (co-
assistant) yang melakukan kelalaian medis terdapat pada Dokter Konsulen atau
Dokter Pembimbing. Selain dari persetujuan, melakukan tindakan kedokteran
dibawah bimbingan dokter pendidik klinik atau dokter supervisor dan sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) dan indikasinya, dokumentasi yang akurat dan
lengkap dalam rekam medis merupakan komponen perlindungan hukum yang penting
bagi dokter muda (Co-Ass).yang berwenang langsung terhadap mahasiswa co-ass
dalam melakukan praktik.
Saran-saran
1. Agar setiap mahasiswa co-ass yang melakukan tindakan medis dalam praktik profesi
kedokteran baik profesi dokter umum maupun dokter spesialis dapat lebih
memperhatikan dan berhati-hati sehingga dapat meminimalisir kelalaian medis,
karena pada dasarnya mahasiswa co-ass tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana sehingga segala tindakan yang dilakukan oleh dokter co-ass
pertanggungjawabannya dilimpahkan kepada dokter pembimbing atau dokter
konsulen.
2. Agar setiap komponen atau struktur yang terdapat hierarkhi yaitu pada tingkatan
paling dasar terdapat Dokter Konsulen atau Dokter Pembimbing, yang berwenang
langsung terhadap mahasiswa co-ass dalam melakukan praktik; diatasnya terdapat
perlindungan dari Rumah Sakit tempat praktik mahasiswa co-ass; terakhir
perlindungan dari Universitas tempat mahasiswa co-ass melakukan pendidikan
19
kedokteran, dapat menegakkan dan menaati agar tidak terdapat mahasiswa co-ass
yang bertanggungjawab terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dirinya sendiri.

Daftar Pustaka :

Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 3.
1

Desriza Ratman, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek Medik, Keni Media,
2

Bandung, 2014, hlm 7.


Moh, Hatta., Op.Cit., hlm. 173.
Triana Ohoiwutun, Op.Cit., hlm. 64.

Guwandi, Dokter, Pasien, dan Hukum, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2003, hlm. 17.
Syahrul Mahmud, Op. Cit., hlm. 264.

20

Anda mungkin juga menyukai