Anda di halaman 1dari 207

i

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN


KEMBALI NO. 79 PK/PID/2013 TENTANG TINDAK PIDANA
KARENA KEALPAANNYA MENYEBABKAN KEMATIAN

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk


Menyelesaikan Program Studi Strata Dua
Magister Hukum

Oleh :

Nama : Nadya Febriany Maringka, S.H.


Nim : 110012010031
Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hal yang terpenting dalam
kehidupan Manusia, Sehingga manusia berusaha hidup dengan
menaati aturan, namun tak dapat dipungkiri tidak jarang manusia
mempunyai tubuh yang tidak sempurna atau sakit. Berdasarkan
pendapat Mulyohadi Ali dalam buku Ari Yunanto dan Helmi
mengatakan bahwa bagi orang yang tidak sehat membutuhkan
pertolongan atau bantuan seorang dokter dalam hal mencari
pertolongan dokter untuk penyembuhan, tetapi dalam pelaksanaan
tindakan medis harus memperoleh persetujuan pasien atau
keluarganya, diwujudkan dalam bentuk dokumen informed consent
yang artinya salah satu dasar pertimbangan para dokter dalam
mengambil tindakan medik untuk menyelamatkan nyawa pasiennya,
maka kedua belah pihak ini diikatkan oleh perjanjian teraupetik. 1
Didasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor: 434/MEN.KES/X/1983
Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter
di Indonesia, maka yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah
hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana
saling percaya.2Hubungan antara dokter dengan pasien dalam
pelayanan medis secara profesional didasarkan kompetensi yang
sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran.

1
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta: CV. Andi
Offset (Penerbit Andi), 2010, h. 13.
2
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka,
Cipta, Jakarta, 2013, h.11.

1
2

Dalam buku Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija


Siswaja, menuliskan pendapat menurut Veatch dokter dan pasien
adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan
kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai dalam
hal dokter akan bertanggunggjawab atas segala keputusan teknis,
sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting,
terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.
Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun
mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris,
maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang dicapai melainkan
upayanya yang sungguh-sungguh. 3Hubungan kontrak ini harus dijaga
dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu pada suatu
standar atau benchmark tertentu, Sehingga dapat dikatakan Tugas
dokter disini berkewajiban memberikan saran atau obat sebagai proses
penyembuhan sesuai dengan aturan yang berlaku yang terdapat
dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran. Sedangkan pasien dalam hubungan ini berkewajiban
membayar biaya pengobatan.
Bahwa tugas dokter dalam melakukan proses pengobatan sesuai
standar kedokterannya, adakalahnya dokter melakukan suatu tindak
pidana yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga mengakibatkan
kerugian bagi pihak pasien atau korban berdasarkan hukum pidana,
dimana kalau ada orang melakukan perbuatan yang merugikan maka
harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan
teori pemidanaan absolut dan teori pertanggungjawaban pidana
sehingga tindakan dokter yang tidak sesuai prosedur ini kadang dikenal
dengan malpraktek.

3
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija Siswaja, “Peranan Ilmu forensic
Dalam Penegakan Hukum”, “Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2008, h.9
3

Adapun salah satu bentuk malpraktek yaitu karena kelalaian


sehingga tindakan itu dikenal menyebabkan kerugian bagi pasien atau
korban. Melihat hal itu pemerintah mengeluarkan undang-undang yang
mengatur tentang tugas dan kewajiban dokter dan dokter gigi, dalam
tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik tetapi pada
undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai
kesalahan atau kelalaian dokter yang sekarang diubah menjadi
undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan sedangkan
dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran
dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Dalam tindak pidana
didalam aturan ini jika ada ketentuan dokter yang tidak sesuai dengan
prosedur salah satunya dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-undang
No. 29 tahun 2004 ini yang dikenal dengan malpraktek. Oleh karena itu,
dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang
berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok
untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan
tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika
melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas
tindakan tersebut..
Sedangkan untuk menentukan apakah seorang itu dinyatakan
malpraktek menurut undang-undang kedokteran harus dilakukan
dahulu langkah-langkahnya, jika sudah ditetapkan oleh IDI barulah
dapat diproses ke dalam hukum pidana, sehingga dalam hukum pidana
mereka yang melakukan malpraktek ini dianggap telah melakukan
kesalahan atau kelalain dengan Pasal 359 KUHP.
Dokter sebagai seorang tenaga medis tidak jarang juga dapat
melakukan perbuatan hukum yang merugikan kepentingan pasien
seperti salah diagnosis atau pada gilirannya mengimbas pada
kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi
pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh),
4

dan faktor-faktor lainnya.4Oleh karena itu menurut Dr Mochtar Kusuma


Atmojo mengatakan bahwa keseluruhan kaidah dan asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termaksud lembaga
dan proses dalam mewujudkan hukum itu secara nyata. Artinya perlu
adanya norma-norma yang mengatur kehidupan manusia sehingga
hidup manusia tercapai kesejahteraan termasuk disini dalam hal hukum
kedokteran, dalam untuk melindungi kesehatan masyarakat maka
pemerintah perlu campur tangan mengatur hal-hal apa saja yang dapat
dilakukan oleh dokter selaku tenaga ahli dalam hal medis.
Selanjutnya guna mewujudkan tujuan manusia Indonesia yang sehat
diundangkan undang-undang kedokteran yang sebelumnya diatur
dalam Pasal 54 undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan yang berkaitan dengan dokter, dan dokter gigi dianggap
tidak berlaku lagi sehingga dipandang belum mencapai tujuan diubah
menjadi undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
kemudian penganturan tentang dokter dan dokter gigi diatur lebih
khusus lagi dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran, Salah satu Pasal yang mengatur masalah
kewajiban dokter diatur dalam Pasal 51 yang intinya dokter
memberikan pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi dan
standar operasionalnya jika di rasakan tidak mencukupi maka dokter
harus menyarankan pasien mengambil atau memeriksa kepada dokter
lain yang di kenal dengan second opinion.
Dalam melakukan kewajiban sering dimunculkan juga dokter yang
tidak mematuhi aturan yang ditetapkan ini dikenal dengan nama
Malpraktek. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai
“professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of
one rendering professional services to exercise that degree of skill and
learning commonly applied under all the circumstances in the

4
Achadiat, DM. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman,
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 2007, h 21.
5

community by the average prudent reputable member of the profession


with the result of injury, loss or damage to the recipient of those
services or to those entitled to rely upon them” , jadi dapat diartikan
bahwa malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran atau ketidak-
kompetenan yang tidak beralasan.5
Malpraktek itu sendiri dibagi atas tiga bentuk yaitu kesengajaan,
kelalaian, dan kecelakaan medis atau resiko medik. dalam hal ini
termasuk dalam malpraktek kelalaian dimana kasus dr. Ayu, dr. Hendi
Siagian, dan dr. Henry Simanjuntak ini telah melangar 4 syarat yaitu
duty, derelictios of duty, demage, dan direct causal relationship. Namun
dapat juga dilihat penjelasan dalam buku Guwandi menurut Treub
menyebutkan bahwa yang diharapkan dari seorang dokter adalah
ketelitian dan kehati-hatian yang wajar, bukan ukuran dari 6seorang
dokter yang terpandai atau yang paling hati-hati, tetapi dilihat ukuran
dari seorang dokter rata-rata pada umumnya. Dapat dikatakan
culpa/lalai apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau tidak
melakukan yang dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di
dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan
atau tidak melakukan.
Oleh sebab itu Kelalaian dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu
Malfeasance yaitu melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
membuat kebijakan/keputusan atau rencana yang tidak tepat/layak
(unlawful/ improper); Misfeasance 7yaitu melakukan pilihan keputusan
atau tindak medis yang tepat, tetapi melaksanakannya dengan tidak
tepat (improper performance), melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosedur; Non feasance yaitu tidak melakukan tindakan
5
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija Siswaja,, 2008, Ibid, h 90
6
Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence). Jakarta: Fakultas Kedokteran UI,
1994¸h 20.
7
Yusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran EGC,
1999, h.13
6

medis yang merupakan kewajiban baginya. Sehingga masalah


malpraktek diindonesia belum ada secara jelas diatur dalam undang-
undang hanya ada dalam Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa “Setiap orang
berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan yang diterimanya, ini merupakan salah satu hak pasien
dalam hal ganti rugi selain hak-hak lainnya yang diatur dalam undang-
undang nomor 29 tahun 2004 praktik kedokteran.
Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang
bertentangan dengan SOP,kode etik, dan undang-undang yang
berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan
kerugian atau kematian pada orang lain. Di sisi lain, dalam pelaksanaan
tindakan pelayanan kesehatan, tenaga medis, yaitu dokter tidak
menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian.
Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan dokter dalam
melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap
badan maupun jiwa dari pasiennya (dalam istilah medis/hukumkejadian
ini disebut malpraktik) dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi
pihak pasien sebagai korban malpraktik.8
Dalam hal ini penulis juga melakukan wawancara kepada salah satu
dokter mengenai malpraktek, Menurut pendapat dr. Fauzy Masjhur,
S.H., M.Kes mengatakan, malpraktek itu tidak merujuk hanya kepada
suatu profesi tertentu, namun juga meliputi beberapa profesi yang ada,
misalnya: dokter, advokat, notaris dan akuntan publik. Dalam hal
Malpraktek medis itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seorang dokter yang merupakan kelalaian. Maksudnya seorang dokter
melakukan suatu perbuatan itu dengan sengaja atau karena kelalaian
terhadap pasiennya dalam segala tingkatan baik melanggar standar
profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran. Tetapi tidak

8
Wila Chandrawila Supriadi,Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, h. 35
7

semua tindakan dokter itu merupakan malpraktek. contoh dari tindakan


malpraktek yaitu mengambil organ pasien secara sengaja dan tidak
memberitahukan kepada pasien ataupun keluarga pasien sebab dan
akibat yang akan terjadi dalam melakukan operasi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Dalam kasus dr Ayu bersama rekannya yaitu dr
Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian dapat dikatakan telah
melakukan malpraktek medis karena telah melakukan perbuatan yang
dengan sengaja atau kelalaian yang mengakibatkan pasien meninggal
dunia, salah satunya melanggar standar prosedur kedokteran.
Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran ini ditujukan agar hak-hak pasien lebih
dapat dilindungi oleh undang-undang. Hukum kedokteran tersebut
bertumbuh pada dua hak asasi manusia, yaitu hak atas pemeliharaan
kesehatan dan hak untuk menetukan nasib sendiri, Dimana sebelum
lahirnya undang-undang praktik kedokteran, undang-undang
konsumen sudah ada yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dari
konsumen baik konsumen yang menggunakan barang maupun jasa.
Data MKDKI menunjukkan bahwa kasus malpraktek oleh dokter
kandungan cukup tinggi. Salah Satunya kasus malpraktek yang sampai
disidangkan ke Mahkamah Agung adalah tim dokter yang terdiri atas dr.
Ayu, dr. Hendi Siagian, dan dr. Henry Simanjuntak di RS Dr.Kandau
Manado terhadap korban, Julia Fransiska Makatey dimana dalam
kasus ini dr Ayu bersama rekannya yaitu dr Hendry Simanjuntak dan dr
Hendy Siagian sebagai dokter dalam melaksanakan operasi Cito
Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey, hanya memiliki
sertifikat kompetensi. Dimana Para terdakwa tidak mempunyai Surat
Izin Praktik (SIP) kedokteran/yang berhak memberikan persetujuan.
Sedangkan untuk melakukan tindakan praktik kedokteran, termasuk
operasi cito yang dilakukan para terdakwa terhadap diri korban, para
terdakwa harus memiliki SIP kedokteran. Akibat perbuatan para
terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia. Sebab kematian
8

korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung


yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi
kegagalan fungsi paru, dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung. Oleh sebab itu Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri
Manado dengan nomor register perkara No.90/Pid.B/2011/PN.MDO
dengan putusan bebas , Kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan
Kasasi kepada Mahkamah Agung dengan nomor register perkara
No.365K/Pid/2012 dengan amar putusan bahwa para terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP. Atas dasar putusan kasasi
tersebut, Para pemohon / para terpidana mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan nomor register
perkara No.79PK/Pid/2013 dengan amar putusan berbunyi
membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012
tanggal18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MDO dan menyatakan bahwa
para pemohon / para terpidana tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan.
Dalam kasus diatas dalam pokok perkara Peninjauan Kembali No.
79 PK/PID/2013, jika dilihat dari syarat materiil, maka permohonan PK
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima Karena tidak
memenuhi syarat-syarat dalam permohonan peninjauan kembali
dimana pemohon peninjauan kembali tidak menguraikan tentang
adanya “novum” atau bukti baru yang mempunyai sifat dan kualitas
“menimbulkan dugaan kuat” sesuai Pasal 263 ayyat 2 huruf a KUHAP.
Oleh karena itu Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis tertarik
menganalisis kasus tersebut dalam tesis yang berjudul “Analisis Yuridis
Terhadap Putusan Peninjauan Kembali NO. 79 PK/PID/2013 Tentang
Tindak Pidana Karena Kealpaannya Menyebabkan Kematian”
9

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah :
1. Apakah Putusan Peninjauan Kembali Nomor 79 PK/PID/2013 yang
mengatakan bahwa terpidana dinyatakan tidak bersalah Sudah
Tepat?
2. Bagaimana Proses Penanganan terhadap Tindak Pidana
Malpraktek?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan cerminan arah dan penjabaran
strategi terhadap fenomena yang muncul dalam penelitian, sekaligus
supaya penelitan yang sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari
tujuan semula. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk menggambarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 79
PK/PID/2013 yang mengatakan bahwa terpidana dinyatakan
tidak bersalah Sudah Tepat.
b. Untuk menggambarkan dan menganalisis Proses Penanganan
terhadap Tindak Pidana Malpraktek.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis
1) Untuk dapat menambah pemahaman landasan filosofis dari
makna dan fungsi prinsip, standar dan peraturan profesi
kedokteran. Dengan pemahaman ini maka akan ditemukan
teori baru dalam ruang lingkup hukum kesehatan khususnya
berkaitan penyelesaian sengketa medis di Indonesia.
2) Sebagai pelengkap ujian baru dalam hukum pidana khususnya
hukum pidana dalam malpraktek medis.
10

b. Secara praktis
1) Sebagai sumbangan pemikiran terhadap kepada pihak terkait
yang ingin mendalami mengenai apa yang dimaksud dengan
penerapan tindak pidana malpraktek medis dalam tindakan
karena kealpaannya menyebabkan kematian;
2) Bermanfaat bagi para akademisi yang mencari bahan referensi
yang membahas tentang penerapan tindak pidana malpraktek
medis karena kealpaanya menyebabkan kematian ;

D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodelogis dan konsiten melalui proses penelitian tersebut maka
diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan
dan telah diolah.
1. Tipe Penelitian
Penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Peninjauan
Kembali NO. 79 PK/PID/2013 Tentang Tindak Pidana Karena
Kealpaannya Menyebabkan Kematian”. Dalam melakukan penelitian
ini penulis menggunakan penelitian sosiolegal research. Metode
penelitian sosio-legal (socio-legal research/studies) diperlukan untuk
menjawab masalah-masalah ketidakadilan sosial. Pendekatan studi
sosio-legal ini dapat diidentifikasi melalui dua hal yakni: pertama,
studi sosio-legal melakukan studi tekstual, Pasal-Pasal dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis
secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap
subjek hukum, dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna
yang terkandung dalam Pasal-Pasal tersebut merugikan atau
menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara
bagaimana. Kedua, studi sosio-legal mengembangkan berbagai
11

metode “baru” hasil perkawinan antara metode hukum dam ilmu


sosial, seperti penelitian kualitatif sosio-legal dan etnografi sosio-
legal.9
Digunakan pendekatan penelitian sosiolegal reseacrh untuk
menjawab semua permasalahan yang telah diangkat maka penelitian
ini juga dilakukan pendekatan/penelitian sosiolegal research dengan
meneliti keberlakuan hukum itu dari aspek kenyataan. Hal ini
diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku
suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perubahan pemikiran masyarakat.

2. Objek Penelitian
a. Lokasi
Penelitian ini dilakukan dalam wilayah masyarakat di Kota
Manado. Di pilihnya wilayah Kota Manado dengan alasan bahwa
kasus tersebut masih ada masyarakat yang tidak mengerti dan
takut untuk melaporkan peristiwa yang mereka mengalami sendiri
dan juga tingkat penyelesaian kasus tindak pidana yang terjadi
dalam masyarakat masih banyak yang belum diselesaikan
ataupun hanya diselesaikan secara kekeluargaan yang
seharusnya perkara tersebut menurut peraturan perundang-
undangan harus dilimpahkan ke peradilan untuk diproses secara
hukum sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam kitab undang
undang hukum pidana KUHP dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Alasan penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena
peneliti berasal dari Kota manado sehingga biaya penelitian relatif
murah.

9
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2013, h. 177-178.
12

b. Populasi Penelitian
Populasi penelitian meliputi Dokter, dan Penegak Hukum yang
terlibat dan mempunyai kewewenangan dalam hukum dan
mengerti tentang hukum pidana itu sendiri.

3. Sifat Penelitian
Penelitian dalam penyusunan Tesis ini bersifat deskriptif analisis,
yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran
mengenai data seteliti mungkin mengenai penerapan sanksi pidana
adat dalam tindak pidana pembunuhan dan kaitanya dengan
pembaharuan hukum pidana serta mengenai kaidah-kaidah, norma-
norma, asas-asas dan peraturan hukum yang telah tersedia,
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau didalam
kerangka menyusun teori-teori yang baru.
Suatu penelitian yang baik akan membawa hasil yang baik apa
bila dapat memberikan gambaran dan jawaban terhadap
permasalahan yang diangkat, mengenai hal ini Soerjono Soekanto
berpendapat bahwa : “Suatu penelitian hukum pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
menganalisisnya10

10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penellitian Hukum, Jakarta UI, Press, 1981, h. 43.
13

4. Data dan sumber data


a. Data
Pemilihan metedologi sosiolegal research itu akan
mempengaruhi digunakannya data dalam penelitian ini data yang
digunakan adalah data sekunder dan data primer.
Sumber data yang diperoleh adalah dengan cara melakukan
penelitian kepustakaan (library resecrh) untuk mendapatkan
konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual
dari bahan-bahan berupa peraturan perundang undangan dan
karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Dilakukan penelitian lapangan ( field resecrh) guna untuk
mendapatkan penjelasan yang berkenaan dengan sanksi adat
sebagai pengganti pidana penjara. Pengumpulan data
kepustakaan dan penelitian lapangan akan dipadukan untuk
menjawab semua permasalahan yang telah peneliti tetapkan
dalam penulisan ini. Guna penelitian lapangan untuk mendukung
atau pelengkap dalam penelitian kepustakaan dalam menjawab
semua permasalahan penelitian.
1) Data Sekunder
Data sekunder merupakan jenis data yang digunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui
studi kepustakaan. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini
antara lain:
a) Bahan Hukum Primer Menurut Peter Mahmud Marzuki,
bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
otoritas. Di mana dalam hal ini bahan hukum primer adalah
terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatancatatan
resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
14

undangan.11 Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan


bahan hukum primer sebagai berikut:
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
(3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan,
(4) Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor
90/Pid.B/2011/PN.MDO
(5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/Pid/2012
(6) Putusan Peninjauan Kembali Nomor No.79PK/Pid/2013
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
mendukung dan memperkuat bahan hukum primer
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
yang ada sehingga dapat di lakukan analisa dan
pemahaman yang lebih mendalam12 sehingga adanya
penguatan atas dasar hukum mengasilkan analisa hukum
yang baik. Maka dalam penelitian ini yang menjadi bahan
hukum sekunder terdiri atas:
(1) Penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang di
gunakan sebagai bahan hukum primer;
(2) Buku-buku literature bacaan yang menjelaskan
mengenai tindak pidana malpraktek;
(3) Hasil penelitian.

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.6, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), h. 141
12
Ibid .h.3
15

c) Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah bahan
hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder13. Dalam Penelitian ini bahan hukum
tersier yang digunakan adalah bahan-bahan yang diambil
dari internet, kamus bahasa.
2) Data Primer adalah data yang di peroleh dari lapangan secara
langsung dengan wawancara melalui narasumber yang telah
ditentukan secara purposive sampling. Arti Purposive sampling
adalah salah satu teknik sampling non random sampling
dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara
menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan
penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan
penelitian.
a) Sampel Penelitian
Sampel penelitian ditentukan secara purposive, dimana
dari keseluruhan pupolusi dipilih beberapa responden dan
informan yang mengatahui tentang masalah yang diteliti dan
dapat mewakili keseluruhan populasi yang ada di wilayah
tersebut. Adapun sampel penelitian dimaksud terdiri dari
responden dan informan yaitu :
(1) Dokter
(2) Penegak Hukum

5. Teknik Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data, penelitian tesis ini dilakukan Penelitian
Kepustaakaan (liberary research) dan Pengumpulan Data Lapangan.
Metode Penelitian kepustakaan ini dilaksanakan dengan mebaca,
mempelajari, dan menganalisa dari buku – buku serta perundang-
undangan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Malpraktek Medis

13
Ibid.
16

karena kealpaannya menyebabkan kematian. Studi kepustakaan


dilakukan di berbagai tempat seperti Perpustakaan Universitas
Trisakti, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, maupun
mengakses data-data atau bahan melalui media internet. Berbagai
literature dikumpulkan, diseleksi kemudian digunakan oleh penulis
guna mendukung penelitian tesis ini.
Teknik pengumpulan data lapangan, yaitu penelitian lapangan
yang dimaksudkan untuk memperoleh data Primer, dengan teknik
melakukan wawancara yang mendalam dan responden yang telah
peneliti tetapkan. Wawancara dan responden tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui dan mendapatkan penjelasan yang kongkrit
terhadap permasalahan penelitian.

6. Analisa Data
Setelah data penelitian kepustakaan dan data penelitian lapangan
yang diperoleh melalui wawancara terkumpulkan, dan kemudian data
dikelompokkan atas data yang sejenis dan data akan dianalisis yang
sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan
menggunakan metode induktif dan deduktif. Dari hasil pembahasan
dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang
memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

7. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan logika deduktif. Deduksi berasal dari bahasa Inggris
deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan
yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya
induksi14. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

14
Ibid, h 68.
17

E. Kerangka Konsepsional
Dalam membahas berbagai permasalahan yang hendak diteliti
melalui penelitian ini, perlu diperjelas mengenai batasan terhadap
pengertian serta penjelasan mengenai istilah-istilah umum yang
dipergunakan dalam penelitian ini.

1. Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan
yang turut serta melakukan perbuatan;
b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”

2. Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

3. Pasal 361 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk
menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
(KUHP 10, 35, 43, 92.)”

4. Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau
pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh rang
lain memakai surat tersebut selah-lah isinya benar dan tidak
palsu, di. ancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
18

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan


sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan selah-lah
asli, bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

5. Pasal 267 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(1) “Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”

6. Pasal 346 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (KUHP
37-1 sub 2’, 299, 347 dst., 349, 534 dst.)”

7. Pasal 347 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, ia
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(KUHP 35, 37-1 sub 2’, 299, 349 dst., 487, 534 dst.)”

8. Pasal 361 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


“Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk
menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
(KUHP 10, 35, 43, 92.)”

9. Pasal 75 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004


“(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
19

10. Pasal 76 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004


“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)”

11. Pasal 79 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004


“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau
huruf e.”

12. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009


Menyatakan bahwa, “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.”

13. Peninjauan kembali


Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan
terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun
bukan berarti pengajuan Peninjauan kembali oleh terpidana
menyimpangi asas praduga tak bersalah. Karena walaupun telah
ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap namun
selama masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk
membela dirinya maka selama itu pula seorang terpidana berhak
atas asas praduga tak bersalah. Selain karena alasan menjunjung
asas praduga tak bersalah, menurut Martiman Prodjokamidjojo
dalam bukunya “komentar atas KUHAP”, adanya upaya hukum
peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana merupakan jalan
yang ditempuh guna menghindari terjadinya kekeliruan hakim dalam
20

menerapkan hukum, karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak


luput dari kesalahan.
Peninjauan kembali (PK) adalah suatu upaya hukum yang dipakai
untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sebelum berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) berlaku, dalam sistem tata cara peradilan di
Indonesia, suatu kasus yang berakhir dengan putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, guna kepastian hukum maka
tidak dapat dibuka kembali. Kekecualian dimungkinkan apabila
terjadi ketidakadilan.

F. Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang
mengemukakan penjelasan atau suatu gejala. Sedikitnya terdapat tiga
unsur dalam suatu teori. Pertama, penjelasan tentang hubungan antara
unsur dalam suatu teori. Kedua, teori menganut sistem deduktif, yaitu
sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju
suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, teori memberikan penjelasan
tentang gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari teori dalam suatu
penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian
yang akan dilakukan.
Beberapa teori yang digunakan sebagai kerangka kerja penelitian ini
antara lain:
1. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Pidana menjurus kepada pemindanaan, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsure-
unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dapat dilihat
dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-
21

tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum,


untuk itu dapat di lihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab
maka hanya seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat
dipertanggungjawab-pidanakan.
Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab
(toerekeningvatbaar), bilamana pada umumnya :
a. Keadaan jiwanya:
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan.
3) Tidak terganggu karena terkejut, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, dengan perkataan lain dia dalam
keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwa:
1) Dapat menginsafi hakekat dari tindakannya.
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut,
apakah akan dilaksanakan atau tidak.15

2. Teori Pemindanaan
Arti pidana menurut Van Hamel ialah “merupakan penderitaan
yang bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang sebagai penanggungjawab ketertiban umum terhadapa
seorang pelanggar karena telah melanggar peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara. Sedangkan menurut Sudarto, pidana
ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
16
melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu. Dalam
menjatuhkan pidana pada pelaku maka perlu memperhatikan tujuan
dari pemidanaan tersebut hal itu harus dikaitkan dengan stelsel
pemidanaan yaitu:
15
Dr.Amir illyas,S.H.,M.H., Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktek
Medic Dirumah Sakit, (Yogyakarta: Rangkang Education), 2014, h.73
16
Dr. Vnce ratna multiwijaya, sh.mh., Hukum Pidana Dan Pembangunan Hukum,
Universitas Trisakti, Vol. 2 no. 1, september 2019. h. 50.
22

a. Teori Absolut
Teori ini dikenal dengan teori pembalasan. Oleh karenanya
negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah
melakukan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum
yang dilindungi. Teori ini dibagi dua yaitu pembalasan terhadap
subyektif mengenai kesalahan yang dilakukan pelaku dan
pembalasan obyektif terhadap perbuatan-perbuatan apa yang
telah dilakukan pelaku.
b. Teori Relative
Tujuan teori ini adalah penegakan ketertiban masyarakat dan
tujuan pidana untuk mencegah kejahatan. Teori ini dibagi dua
yaitu pencegahan umum berguna untuk memberikan rasa takut
pada orang lain untuk tidak berbuat jahat sedangkan pencegahan
khusus (Von Feuerbach) menurut Van Hamel ditujukan pada
pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana agar tidak
menggulangi lagi.
c. Teori Gabungan
Teori pemindanaan gabungan Grotius menyatakan penderitaan
memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung oleh pelaku
kejahatan, namun harus memperhatikan kemanfaatan social
dalam menetapkan berat ringannya derita yang layak diberikan.
Menurut Vos teori ini menyatakan titik berat yang sama antara
pembalasan dan perlindungan masyarakat. Sedangkan
Zevenbergen menyatakan dalam teori ini pembalasan yang
diberikan untuk melindungi masyarakat.
d. Teori Kontemporer
Teori kontemporer pada dasarnya gabungan dari ketiga teori
sebelumnya dengan beberapa modifikasi. Wayne R. Lafave
menyebutkan adapun tujuan utama dalam teori kontemporer ialah
adanya efek jera agar pelaku tidak menggulangi lagi, edukasi
pada masyarakat, pengendalian social dengan mengisolasi pelaku
23

agar tindak berbahaya yang dilakukan tidak merugikan


masyarakat, dana keadilan restorative justice dimana bentuk
penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku kejahatan,
korban kejahatan atau pelaku dan pihak lainnya yang terkait guna
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Selain itu Lafave
menyatakan tujuan lainnya dari teori ini adalah rehabilitasi artinya
pelaku kejahatan harus diperbaiki kea rah yang lebih baik agar
kembali kemasyarakat ia dapat diterima oleh masyarakat dan
tidak menggulangi lagi kejahatannya.17

3. Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh Undang-undang.18Istilah tindak pidana sebagai
terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak
pemerintah Dapartemen Kehakiman. Istilah ini banyak digunakan
dalam tindak pidana khusus, Istilah Tindak Pidana menunjukan
gerak-gerik dan tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang.
Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan
tetapi dengan tidak berbuat dia, dia telah melakukan tindak pidana.
Prof Sudarto berpendapat bahwa pembentukan Undang- Undang
sudah tetap dalam pemakaian tindak pidana dan beliau lebih
condong memakai tindak pidana seperti yang dilakukan oleh
pembentukan Undang-Undang.

17
Hiariej O.S Eddy, 2016,Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Yogyakarta,Cahaya Atma
Pustaka.h.31-32
18
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 151.
24

Oleh karena itu, setelah melihat beberapa definisi maka dapat


diambil kesimpulan bahwa yang disebut tindak pidana adalah
perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, di
mana pengertian perbuatan di sisi selain perbuatan bersifat aktif
(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum) juga
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum.19

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas
unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya subjek; adanya unsur
kesalahan; perbuatan bersifat melawan hukum; suatu tindakan yang
dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan
terhadap yang melanggarnya diancam pidana; dalam suatu waktu,
tempat dan keadaan tertentu.20
Sedangkan Menurut Simons unsur-unsur Tindak pidana (strafbaar
feit) adalah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan)
b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld)
c. Melawan Hukum (onrechtmatig)
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand)
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
person)21

19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2015), h. 49.
20
S. R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3.
Jakarta: Storia Grafika, 2002;h 208
21
Sudarto,2013, Hukum Pidana I, Semarang, Fakultas Hukum Universitas
Diponegore. h.68
25

Simon menyebut adanya unsur subjektif dan unsur objektif dari


Stafbar feit atau tindak pidana tersebut. 22
Unsur subjektif terdiri dari:
1) Orang yang mampu bertanggung jawab
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa)
Sedangkan unsur objektif terdiri dari:
1) Perbuatan orang
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
3) Mungkin ada keadaaan tertentu yang menyertai perbuatan itu
seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar”atau “dimuka
umum”

5. Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan
sosialyang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
danekonomi. Sedangkan istilah sehat dalam kehidupan sehari-hari
seringdipakai untuk menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja
secara normal.Bahkan benda mati pun seperti kendaraan bermotor
atau mesin, jikadapat berfungsi secara normal, maka seringkali oleh
pemiliknya dikatakanbahwa kendaraannya dalam kondisi sehat.
Kebanyakan orangmengatakan sehat jika badannya merasa segar
dan nyaman. Bahkanseorang dokterpun akan menyatakan
pasiennya sehat manakala menuruthasil pemeriksaan yang
dilakukannya mendapatkan seluruh tubuh pasienberfungsi secara
normal. Namun demikian, pengertian sehat yang sebenarnya
tidaklah demikian. Pengertian sehat menurut UU Pokok Kesehatan
No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang
meliputikesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta
bukanhanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.

22
Ibid.
26

6. Pengertian Malpraktek
Malapraktik, berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak
semestinya, sedangkan “praktik” adalah proses penanganan kasus
(pasien) dari seseorang pasien yang profesional yang sesuai dengan
prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya,
dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik salah atau yang
menyimpang dari ketentuan atau prosedur baku (benar). Dalam
bidang kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan dalam
penanganan kasus atau penanganan kesehatan (termasuk penyakit)
oleh tugas kesehatan sehingga menyebapkan dampak buruk bagi
penderita atau pasien. Dalam praktik kedokteran kelalaian juga
diartikan dengan melakukan tindakan medis di bawah standar
layanan medis atau standar profesi kedokteran.23
Malapraktik adalah suatu jenis kelalaian dalam standar profesional
yang berlaku umum, dan pelanggaran atas tugas yang
menyebabkan seseorang menderita kerugian. Hal ini dilakukan oleh
seorang profesional ataupun bawahannya, agen atas nama klien
atau pasien yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien 24.
Dari beberapa pengertian tentang malapraktik medik di atas
semua sarjana sepakat untuk mengartikan malapraktik medik
sebagai kesalahan dokter yang karena tidak mempergunakan ilmu
pengatahuan dan keterampilan sesuai dengan standar profesinya
yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat bahkan
meninggal.25

23
Sukidjo Notoatmojo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rinika Cipta, 2010),
h.166
24
https://id.wikipedia.org/wiki/Malapraktik, diakses pada tanggal 25 november 2022,
jam 22:00 wib.
25
Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik, dalam Kajian Hukum Pidana,
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), h. 22.
27

7. Pengertian Praktik Kedokteran


Adapun pengertian praktik kedokteran menurut Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Praktik Kedokteran,
“Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan. Praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat
pemberian pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan
pasien terhadap dokter dan bukan merupakan hubungan bisnis
semata yang berorientasi pada keuntungan sepenuhnya.”

8. Hubungan Dokter dan Pasien


Hubungan dokter dan pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi
kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi
yang memberikan batasan atau ramabu-rambu-rambu hubungan
tersebut. Dimana kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-
prinsip moral profesi, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence,
dan justice yang disebut sebagai prinsip utama dan veracity , fidelity,
privacy dan confidentiality sebagai prinsip turunannya.
Hubungan antara dokter dan pasien juga mengikuti alternatif
hubungan, dimana pada awalnya hubungan dokter dan pasien
adalah hubungan yang bersifat paternalistik dengan prinsip moral
utama beneficence. Walaupun hubungan dokter dan pasien ini
bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang
berdasarkan ilmu empiris, sehingga dengan menganggap bahwa
teori kontrak telah terlalu menyedrehanakan nilai hubungan dokter
dengn pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih
hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling
cocok bagi hubungan dokter dan pasien. 26

26
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija Siswaja,, 2008, Ibid, h 8-9
28

Adapun pendapat dari Munir fuady, yang terdapat dalam


tulisannya yang berjudul “Sumpah Hipocrates” menggambarkan
hubungan dokter dengan pasien terjalin didasarkan pada adanya
kepercayaan (trust) seorang pasien kepada seorang dokter yang
mewajibkan dokter tersebut untuk mengobatinya dengan sungguh-
sungguh atau beriktikad baik serta menyimpan segala rahasia asien
(secret trust) yang diketahuinya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
dalam hubungan ini karena ada kewajiban menjaga kerahasiaan
pasien, maka hubungan dokter dengan pasien disebutnya juga
sebagai suatu hubungan fiduciary.27

9. Perjanjian Terapeutik
Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, Transaksi terapeutik adalah
perjanjian (Verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang
paling tepat bagi pasien oleh dokter. 28

10. Unsur-unsur Malpraktik


Malpraktik merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam menjalankan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan medik, sehingga pasien menderita luka, cacat, atau
meninggal dunia. Adapun unsur-unsur malpraktik adalah sebagai
berikut:
a. Adanya kelalaian.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan.
c. Tidak sesuai standar pelayanan medik.
d. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia.

27
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2005, h 29
28
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran ( Studi Tentang Hubungan dalam
Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 132.
29

11. Bentuk-bentuk Malpraktik


Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik
menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridicalmalpractice), ditinjau dari segi etika
profesi dan segi hukum yaitu : Malpraktek Etik, Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk,
yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana
(criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative).

12. Penanganan Malpraktek Medis Indonesia


Di Indonesia untuk penegakkan hukum dalam kasus malapraktik
medis digunakan aturan yang sama dengan tindak pidana umum
yaitu menggunakan KUHAP dan KUHP sehingga ketentuan yang
melekat adalah sama dengan ketentuan untuk penegakkan hukum
dalam kasus-kasus tindak pidana lain seperti pencurian dan
pembunuhan, padahal medis atau kedokteran merupakan cabang
ilmu khusus yang sulit dipahami oleh orang awam apalagi para
penegak hukum tidak disertai dengan pengetahuan yang kompleks
mengenai medis. Dalam hukum positif Indonesia seperti KUHP,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan maupun
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak diatur secara khusus atau
tidak dikenal adanya istilah Malapraktik medis. Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan menyatakan banyaknya kasus Malapraktik dokter
di Indonesia adalah akibat sistem kesehatan yang tidak menunjang.
Upaya penanganan malpraktek medis Indonesia dapat dilihat
dalam pembuktian dalam perkara pidana dimana pembuktian
perkara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil yaitu
kebenaran yang sesungguhnya, sehingga dapat dikatakan bahwa
hakim pidana jika mencari kebenaran materiil dari suatu perkara,
maka peristiwa tersebut harus terbukti atau dibuktikan (beyond
30

reasonable doubt).29 Oleh sebab itu pembuktian pada kasus


Malapraktik di Indonesia menggunakan cara yang sama seperti yang
diatur oleh kitab undang-undang hukum acara pidana. Pembuktian
dalam KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian yang
berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).
Seperti yang diatur pada Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.30

G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab ini diuraikan mengenai latar belakang,
permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang
digunakan, kerangka konsepsional, dan sistematika
penulisan.

BAB II : TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA


MALPRAKTEK KARENA KEALPAANNYA
MENYEBABKAN KEMATIAN
Dalam Bab ini diuraikan hasil kajian pustaka berupa
penelusuran literatur yang telah dilakukan, mengenai
Pengertian tindak pidana, Unsur-unsur tindak pidana,
Teori pertanggungjawaban pidana, Teori Pemindanaan,
Peninjauan Kembali, Pengertian kesehatan, Pengertian
praktik kedokteran, Hak dan kewajiban dokter, Kode etik
dokter, Hubungan dokter dan pasien, Hak dan kewajiban
pasien, Pengertian perjanjian terapeutik, Pengertian

29
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), h.241.
30
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana (Jakarta: LBH Jakarta, 1989), h.106.
31

informed consent, Arti malpraktek, Pengertian


malpraktek medis, Unsur-unsur Malpraktek Medis,
Bentuk-bentuk malpraktek medis, dan Penanganan
malpraktek diindonesia.

BAB III : DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN


Dalam bab ini mendeskripsikan putusan hakim mengenai
pertimbangan putusan pengadilan negeri, kasasi, dan
peninjauan kembali serta wawancara.

BAB IV : PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Dalam bab ini menganalisis dan membahas tentang:
A. Apakah putusan peninjauan kembali nomor 79
PK/PID/2013 yang mengatakan bahwa terpidana
dinyatakan tidak bersalah sudah tepat dan;
B. Bagaimana proses penanganan terhadap tindak
pidana malpraktek.

BAB V : PENUTUP
Bagian ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan
penulisan, yang berisi kesimpulan dan saran.
32

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana atau kejahatan ini dapat kita artikan bahwa setiap l l l l l l l l l l l l l l l l

orang atau siapapun juga yang melanggar suatu aturan yang


l l l l l l l l l l l l l

ditentukan oleh undang-undang sehingga terhadap dia dapat dikatakan l l l l l l l l l l l l

pelaku tindak pidana dan orang tersebut jika memenuhi bisa dikenakan
l l l l l l l l l l

sanksi pidana. Jadi Menurut Simons, menyatakan tindak pidana ialah


l l l l l l l l l l l l

suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh


l l l l l l l l l l l l l

Undang-undang Hukum Pidana, bertentangan dengan hukum pidana


l l l l l l l l l

dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu


l l l l l l l l l l

31
bertanggung l jawab. l l sedangkan l l menurut Menurut E. Utrecht
menyatakan tindak pidana ialah dengan istilah peristiwa pidana yang l l l l l l l l l l l l l l

sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu merupakan suatu l l l l l l l l

perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun akibatnya(keadaan l l l l l l l l l l l l l l l l

yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan itu). 32


l l l l l l l l l

Aturan-aturan hukum pidana yang ada di dalam masyarakat, tentu


l l l l l l l l l l l l l l l

saja untuk mewujudkan tujuan hukum. Keberadaan hukum tentunya


l l l l l l l l

sangat diharapkan dapat menertibkan dan mengatur kehidupan


l l l l l l l l l l l

masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodikroro bahwa


l l l l l l l l l

tujuan hukum adalah “untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan,


l l l l l l l l l l l l l l

dan tata tertib dalam masyarakat”.33


l l l l l l l l l

Menurut Sudarto, hukum pidana bertujuan” untuk mengulangi l l l l l

kejahatan dan pengguguran terhadap tindakan penanggulangan itu


l l l l l l l l l l l l

sendiri”.Pemahaman dan perwujudan tindak pidana ini sangatlah perlu l l l l l l l l l l l

31
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2005, h.20.
32
Ibid h. 22
33
R.Soersono, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 1992, h.27

32
33

demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan anggota masyarakat l l l l l l l l l l l l l l l l l

secara seimbang.34 l l l

Sedangkan menurut Andi Hamzah, tujuan hukum pidana adalah l l l l l l l l l l l

“untuk memenuhi rasa keadilan, untuk melindungi masyarakat, l l l l l l l l

melindungi kepentingan-kepentingan orang perseorangan dan atau l l l l l l l l

hak-hak asasi manusia (HAM) dan melindungi kepentingan masyarakat


l l l l l l l l l l l l l

maupun negara”35
l l l

Paradigma hukum pidana memberikan arahan bahwa ketentuan


l l l l l l l l l l l l

pidana ditujukan dan berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan tata


l l l l l l l l l l

tertib hukum dalam masyarakat, disamping menjamin ditegakkan nya l l l l l l l l l l l

rasa keadilan masyarakat atas perbuatan orang atau perorangan atau


l l l l l l l l l l l l l l l l l l l

sekelompok orang.36 l

Kebijakan sosial pada dasarnya merupakan kebijakan atau upaya- l l l l l l l l l l l l l l l l

upaya yang rasional dengan hukum pidana pada hakikatnya juga


l l l l l l l l l l l l l l

merupakan l l bagian l l usaha l l dari l penegakan l l hukum (khususnya l

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan l l l l l l l l l l

bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan


l l l l l l l l l l l l l

hukum.37
Berdasarkan uraian di atas, di dalam perundang-undangan dipakai l l l l l l l l l l l l l l

istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga
l l l l l l l l l l l l l l

sering disebut delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana l l l

berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman


l l l l l l l l l l l l

pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan subjek tindak pidana. Di


l l l l l l l l l l l l l

dalam WVS dikenal dengan istilah Strafbaar feit, sedangkan dalam


l l l l l l l l l l l l

kepustakaan dipergunakan istilah delik. Pembuat undang-undang l l l l l l l l l

menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak l l l l l l l l l l l l

34
18 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
h.22.
35
Ibid h 38
36
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika,
h.20.
37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
2003, h.56.
34

pidana38. Sehinga dalam hal ini pembentuk undang-undang sekarang


l l l l l l l l l l

ini tetap dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi dalam hal l l l l l l l l l l l l l l l l

ini para sarjana Hukum Pidana tetap mempertahankan istilah yang


l l l l l l l l l l l l l

dipilihnya sendiri, misalnya menurut Prof. Moeljatno, Guru Besar pada l l l l l l l

Universitas Gadjah Mada yang menganggap lebih tepat dipergunakan l l l l l l l l l l l

istilah perbuatan pidana (dalam pidatonya yang berjudul “perbuatan


l l l l l l l l l l l l

pidana dan pertanggungan jawab dalam Hukum Pidana”. Sehingga


l l l l l l l l l l l l

Beliau berpendapat bahwa perbuatan itu ialah keadaan yang dibuat


l l l l l l l l l l l l l l

oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan. Yang selanjutnya l l l l l l l l l l l l

dikatakan (perbuatan) ini menunjuk baik pada akibatnya maupun yang


l l l l l l l l l l l l l

menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna yang abstrak. l l l l l l l l l l

Dalam hal ini beliau juga membedakan secara tegas mengenai


l l l l l l l l l l l

“dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheud van het feit atau het
l l l l l l l l l l l l l

verboden zijr van hel feit) dan “dapat dipidananya orangnya” l l l l l l l l l

( strafbaarheid van den person). Dan sejalan dengan ini beliau l l l l l l l l l

memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan l l l l l l l l l l l l l

“pertanggungan jawab pidana” (criminal responbility atau criminal


l l l l l l l l l l

liability).39
l

Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan l l l l l l l l l l

pidana tidak meliputi pertanggungan jawab pidana, sehingga dalam hal


l l l l l l l l l l l l l

ini dapat disebut pandangan dualistic mengenai perbuatan pidana.


l l l l l l l l l l l

Dimana pandangan ini ialah penyimpangan dari pandangan yang


l l l l l l l l l l l l l l

disebut pandangan monistic yang dianggapnya kuno. Pandangan l l l l l l l l l l

monistic adalah melihat keseluruhannya (tumpukan) syarat untuk l l l l l l l l l

adanya pidana, kesemuannya merupakan sifat dari perbuatan. Drs. E.


l l l l l l l l l l l l l

Ultrecht S.H memakai istilah peristiwa pidana dan ada juga para penulis l l l l l l l l l l l l

memakai istilah delik (delict). l l l

38
Sofyan, Andi. 2016. Buku Ajar Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Pers, h. 99.
39
Ibid., h.50.
35

Adapun pendapat salah satu ahli belanda yang diikuit oleh para ahli
l l l l l l l l l l l l l l

hukum lainnya. Sebagai contoh pendapat dari Van Hamel. Van Hamel l l l l l l l l l l l

merumuskan stafbaarfeit sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan l l l l l l l l l l l l

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan


l l l l l l l l l l l

dilakukan dengan kesalahan. Artinya memasukan dalam tindak pidana


l l l l l l l l l l l l l l l

adanya kesalahan, dimana suatu perbuatan dinyatakan tindak pidana


l l l l l l l l l l l l l l l l l

jika di dalamnya dirumuskan bahwa dalam perbuatan itu ada


l l l l l l l l l l l l l

kesalahan. l l l

Oleh karena hal tersebut pendapat dari Sarjana Belanda ini l l l l l l l l l l l

kemudian diikuti oleh Sarjana Indonesia salah satunya seperti l l l l l l l l l

Indriyanto Seno Adji, mengartikan tindak pidana adalah perbuatan l l l l l l l l l l l l

seseorang yang diancam pidana, pebuatnnya bersifat melawan hukum, l l l l l l l l l l l

terdapat l l suatu l kesalahan l l l dan l bagi l pelakunya l l dapat l l

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. l l l l l l l l l

Bila diperhatikan definisi dari van Hamel dan Moeljatno ada


l l l l l l l l l l

perbedaan pandangan. Van Hamel mengartikan tindak pidana secara l l l l l l l l l l l l l l

bulat artinya tidak ada pemisahan antara perbuatan dan akibatnya di


l l l l l l l l l l l l l l l l l

satupihak dan pertanggung jawaban di lain pihak dalam hal ini dikenal
l l l l l l l l l l l l l

dengan aliran monisme. Berbeda dengan Moeljatno, sarjana Indonesia


l l l l l l l l l l

yang memisahkan antara perbuatan pidana/kriminal atau actus reus


l l l l l l l l l l l l l l

dan pertanggungjawaban pidana atau mens rea yang dikenal dengan


l l l l l l l l l l l l l

Dualistis seperti yang telah uraikan diatas.


l l l l l l l

H. Unsur-Unsur Tindak Pidana l l l

Unsur-unsur tindak pidana ini guna menentukan apakah si pelaku l l l l l l l l l

kejahatan dapat dinyatakan pelaku maka kita harus melihat apakah isi
l l l l l l l l l l l l l l l l l

Pasal tersebut yang diancam kepada dia terpenuhi inilah yang disebut
l l l l l l l l l l

dengan unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana bisa


l l l l l l l l

dikenal dalam dua yaitu elemen delik yang artinya unsur tindak pidana
l l l l l l l l l l l

yang selalu ada dalam tindak kejahatan, atau besttandelem yang


l l l l l l l l l l l l l l

artinya unsure yang dibuktikan yang tertera dalam Pasal yang


l l l l l l l l l l l
36

didakwakan. Sebagai contoh seperti Pasal 359 kuhp maka unsur-unsur


l l l l l l l l l

yang harus dibuktikan sebagai besttandelem isi Pasal 359 kuhp.


l l l l l l l l

Pasal 359
l l

Barang siapa karena kesalahannya(kealpaannya) menyebabkan


l l l l l l l l l l l l l l l l

oranglain mati, diancam dengan pidanapenjara paling lama lima


l l l l l l l l l l l l l l

tahun ataupidana kurungan paling lama satu tahun.


l l l l l l l l l l l

Unsur-unsurnya yaitu: l l

a. Barang siapa l l l l

b. Melakukan/bertindakalpa/lalai l l l l l l l

c. Menyebabkan orang lain Mati l l l l l

d. Ancaman Pidana 5 tahun


l l l l l l

Penjelasan dari Pasal 359 KUHP l l l l l

(1) Barang siapa merupakan subjekhukum dapat berupa orang l l l l l l l l l l

maupunbadan hukum baik sediri maupun secarabersama- l l l l l l l l l

sama. l l

(2) Tidakan lalai. Tindakan lalai adalahsuatu tindakan tanpa l l l l l l l l l l l l l l l l

maksud (deikCulpa). kealpaan pada dasarnya l l l l l l l l l l

adalahkekuranghati-hatian atau lalai, kurangwaspada,


l l l l l l l l l l l l l l l

semberono, teledor, kurangmenggunakan ingatan, khilaf. l l l l l l

Sekiranyadia hati-hati, waspada, tertib atau ingat,peristiwa l l l l l l l l l l l l

kecelakaan itu tidak akanterjadi atau bisa dicegah. l l l l l l l l l l l

(3) Akibat dari tindakan subjek hukumyang membuat seseorang


l l l l l l l l

atau lebih meninggal. l l l

(4) Cukup jelas l

Pasal 55 KUHP
l l

“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: l l l l l l l l

a) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan l l l l l l l l

yang turut serta melakukan perbuatan; l l l l l l

b) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu l l l l l l l l

dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, l l l l l l l l l l l l l

dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan l l l l l l l l l l l l l

memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja l l l l l l l l l l l

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.” l l l l l l l l l l


37

Simon mengatakan Hukum Pidana adalah keseluruhan larangan l l l l l l l l l l l l

atau perintah yang ole negara diancam dengan nestapa yaitu suatu
l l l l l l l l l l l l l

pidana abila tida ditaati akan menetepkan penjatuhan pidana.40


l l l l l l l l l l l l l l

Moeljatno berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana haruslah l l l l l l l l l l

terdiri dari unsure lahiriah (fakta oleh perbuatan). Mengandung l l l l l l l l

kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Jadi menurut


l l l l l l l l l l l

Moeljatno, yang merupakan unsur-unsur perbuatan pidana yaitu:


l l l l l l l l l

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan). l l l l l l l

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan


l l l l l l l l l l l

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana l l l l l l l l l l l

4. Unsur melawan hukum subjektif. l l

5. Unsur melawan hukum objektif. 41 l l

Suatu unsur atau rumusan delik itu mempunyai dua fungsi:


l l l l l l

1. Rumusan delik sebagai perwujudan asas legalitas. l l l l l l l l

2. Rumusan delik berfungsi sebagai unjuk bukti dalam konteks hukum l l l l l

acara pidana.42
l l l l l

Bahwa dengan adanya suatu “straaftbaar feit” harus memenuhi


l l l l l l l l l l l l

unsur sebagai berikut: l l

1. “Perbuatan manusia (positif atau negatif)”. l l l l l l l

2. Diancam dengan pidana oleh hukum (straaftbaar gesteld).


l l l l l l l l l

3. Bertentangan dengan hukum (onrechtmatig). l l l l

4. Dilakukan oleh orang yang bersalah (met schuld in verdband stand).


l l l l l l l l

5. Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Orang itu


l l l l l l l l l

dipandang l l bertanggung l jawab l l atas l l perbuatannya l l l

(torekeningsvatbaar person).43 l l l

40
Sudarto,2013,Hukum Pidana I, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
h.11.
41
Hiariej O.S Eddy,2016,Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta,Cahaya Atma
Pustaka,h.125.
42
Ibid., h.130.
43
Sudarto,Op.Cit., h.52.
38

Dalam unsur-unsur tindak pidana, adapun menurut pandangan


l l l l l l l l l l

Simons yang membagi unsur pidana tersebut menjadi dua golongan l l l l l l l

yaitu terbagi atas unsur subjektif dan unsur objektif44. Terhadap unsur-
l l l l l l l

unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: l l l l l l

1. Unsur Subjektif
Dimana dalam hal ini “unsur subjektif adalah unsur yang berasal
l l l l l l l l l l l

dari l dalam l l diri sipelaku l atau l l yang l berhubungan l maupun l

berkesinambungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya l l l l l l l l l

yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya”. 45


l l l l l l l l l l

Adapun unsur-unsur subjektif yang terkandung dalam suatu tindak


l l l l l l l l

pidana yaitu: l l l

a. Kemampuan bertanggung jawab l l l l l

Menurut Simons, kemampuan bertanggung jawab dapat l l l l l l l

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang


l l l l l l l l l l

membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, l l l l l l l l l l l l l

baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya, sehingga


l l l l l l l l

dapat disimpulkan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab,


l l l l l l l l l l

jika jiwanya sehat , yaitu apabila:


l l l l l l l l

1) Ia mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya


l l l l l l l l l l l l

bertentangan dengan hukum. l l l

2) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran


l l l l l l l l l l l

tersebut.46
Menurut pandangan l l l Van l Hamel l mengatakan l l l bahwa l l

kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas


l l l l l l l l l l l l l l

psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) l l l l l l l l l l

kemampuan: l l

44
Ibid.
45
Ibid.
46
Sudarto, Loc.Cit .h.119
39

1) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya


l l l l l l l l l l

sendiri.
2) Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut l l l l l l l l

pandangan masyarakat tidak dibolehkan. l l l l l l l l l

3) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan- l l l l l l l l

perbuatannya itu.47 l l l

Adapun dalam Memorie van Teolichting (memori penjelasan)


l l l l l l l

secara negative menyebutkan mengenai pengertian kemampuan


l l l l l l l l

bertanggung jawab, yaitu: l l l l

1) Dalam hal ini tidak ada kebebasan untuk memilih antara,


l l l l l l l l l l l

berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau l l l l l l l l l l l l

diperintahkan oleh undang-undang l l l l

2) Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa,


l l l l l l l l l l l l l l l

sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu, l l l l l l l l l l

bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan l l l l l l l l

akibat perbuatannya. 48
l l l l l

Sebagai dasar dapatlah dikatakan bahwa orang yang normal l l l l l l l l l l l l l l l

jiwanya itu mampu bertanggungjawab,mampu untuk menilai


l l l l l l l l

dengan fikiran bahwa perbuatannya itu dilarang, artinya perbuatan l l l l l l l l l l l l l

tersebut tidak dikehendaki oleh undang-undang dan berbuat l l l l l l

sesuai dengan fikiran atau peralatannya itu. l l l l l l l l l

Dalam l l persoalan l l kemampuan l l bertanggung l jawab l l itu


ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “normadressat”
l l l l l l l l l l l

(sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya


l l l l l l l l l l l l l l

dianggapl l (supposed) mampu l bertanggungjawab, l l l kecuali l

dinyatakan sebabnya. l l l l l

Dalam KUHP tidak memuat perumusan mengenai kapan l l l l l l l l

seseorang mampu bertanggung jawab. Tetapi dalam ketentuan l l l l l l l l l

Pasal 44 KUHP memuat suatu alasan yang terdapat pada diri


l l l l l l l l l l l l

47
Ibid., h.120.
48
Ibid.
40

pembuat atau diri pelaku, yang menjadi alasan sehingga yang


l l l l l l l l l l l

dilakukan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.49


l l l l l l l l l

Adapun isi dari Pasal 44 KUHP, yakni:


l l l l l l

“Barangsiapa l l l l melakukan l l perbuatan l l yang l tidak l dapat l l

dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam


l l l l l l l l l l l l l

pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. l l l l l l l l l l

Jika Pasal 44 KUHP itu diteliti, maka terlihat dua hal yakni:
l l l l l l l l l

a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa sipembuat l l l l l l l l l l

b. Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa


l l l l l l l l l l l l l l

dipembuat dengan perbuatannya l l l l l

Ad.a l l Penentuan l bagaimana l l l l keadaan l l l jiwa l dipembuat l

persaksian (konstatasi) keadaan pribadi sipembuat l l l l l l l l l

yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat


l l l l l l l l l l l l l

pertumbuhannya atau terganggu karna penyakit, yang l l l l l l l l l

dilakukan l l oleh seorang l dokter penyakit l jiwa l

(psychiater). Psychiater ini menyelidiki bagaimana l l l l l l

keadaan jiwa dipembuat pada saat perbuatan di


l l l l l l l l l l l

lakukan. l l

Ad.b. l Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan


l l l l l l l l l l l l l

jiwa sipembuat dengan perbuatannya adapun yang l l l l l l l l l

menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan l l l l l l l l l l l l l l

jiwa yang demikian itu dengan perbuatan tersangka


l l l l l l l l

adalah
l l l hakim. l Hakimlah l l yang l menilai l apakah l l l

tersangka l l dapat l l dipertanggungjawabkan l l l l atas l l

perbuatannya itu. 50 l l l

Dari kedua hal yang tadi dapat dikatakan bahwa system


l l l l l l l l l l l l

yang l dipakaiKUHP l l dalam l l menentukan l tidak l dapat l l

49
Ibid.,h.120.
50
Ibid., h.122.
41

dipertanggungjawabkannya l l l l l sipembuat l adalah l l l deksiptif-


normatif. l

“Deskriptif” karena keadaan jiwa itu digambarkan menurut l l l l l l l l l

apa adanya oleh psychiater, dan “normatif” karena hakimlah


l l l l l l l l l l l l

yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, sehingga


l l l l l l l l l l

dapat menyimpulkan mampu dan tidaknya tersangka untuk


l l l l l l l l l

bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan51


l l l l l l l l l l

b. Adanya Kesalahan (dolus atau culpa)


l l l l l l l l l

1) Kesengajaan (dolus) l l l

Wet van Strafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan l l l l l l l l

sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan


l l l l l l l l l l

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh l l l l l l l l l l l

undang-undang. Sedangkan menurut Memorie van Toelichting


l l l l l

kesengajaan sama dengan “willens en wetens” atau diketahui l l l l l l l l l

atau dikehendaki. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa


l l l l l l l l l l l l

yang dimaksud “willens en wetens’ adalah seseorang yang


l l l l l l l

melakukan l l suatu l perbuatan l l dengan l sengaja l l harus l

menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus mengisyafi atau l l l l l l l l

mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu. 52 l l l l l l l

Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan l l l l l l l l l

perbuatannya yang berisi mengetahui dan menghendaki, maka l l l l l l l l l

di dalam ilmu hukum pidana terdapat dua teori yaitu:


l l l l l l l l

a) Teori kehendak, yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam l l l l l l

“Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeil” 1903 l l l

Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat l l l l l l l l

suatu tindakan dan menimbulkan suatu akibat karena


l l l l l l l l l l

tindakan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila l l l l l l l l l l l l

51
Sudarto, Loc.Cit. h.122.
52
Ali Mahrus,2017, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, h.174.
42

akibat suatu tindakan dikehendaki, dan itu menjadi maksud


l l l l l l l l l

benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.


l l l l l l l l

b) Teori membayangkan, yang dikemukakan oleh Frank dalam l l l l l l l l l

“Festchrift Gieszen” 1907


Teori membayangkan adalah manusia hanya dapat l l l l l l l l l l l l

menghendaki suatu tindakan, dimana manusia tidak mungkin l l l l l l l l l

menghendaki suatu akibat, sehinggab manusia hanya dapat l l l l l l l l l l l

menginginkan, l mengharapkan l l l atau l l membayangkan l l l

kemungkinan terjadinya suatu akibat. 53 l l l l l l

Kesengajaan dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: l l l l l l l

a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) l l l l l l l

Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur Willes l l l l l l l

en wetens, yaitu l bahwa l l pelaku l mengetahui l dan l

menghendaki akibat dari perbuatannya. Artinya adalah l l l l l l l l l l l l

maksud untuk menimbulkan akibat tertentu.


l l l l

b) Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids) l l l l l l l l

Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari l l l l l l l l l l l l l

perbuatan l l yang l sudah l dimengerti dan l telah l diduga l

bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti


l l l l l l l l l l l l l l l l

akanl l turut serta l mempengaruhi l akibat l l perbuatannya. l l l

pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia


l l l l l l l l l l l

melakukan suatu perbuatan pidana.


l l l l l l l

c) Kesengajaan l l l sebagai l l kemungkinan l (opzet bij


mogelijkheidswustzijn)
Kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku l l l l l l l l l l l

memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak


l l l l l l l l l l l l l l

sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai


l l l l l l l l l l l l

suatu kemungkinan yang pasti.54


l l l l

53
Ibid.
54
Ibid., h.175.
43

Secara Teoritis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus),


l l l l l l l l

yaitu dolus malus dan dolus eventualis.


l l l l

(1) Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari gabungan l l l l l l l l l

dari teori pengetahuan (voorstelling theorie) dan teori


l l l l

kehendak (wilshteorie). Menurut teori pengetahuan l l l

seseorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan l l l l l l l l l l l

perbuatan pidana jika saat berbuat orang tersebut l l l l l l l l l

mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu l l l l l l l l l l

merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum. Teori l l l l l l l

ini menitikberatkan pada apa yang dikehendaki atau l l l l l l l l l l

yang dibayangkan oleh pelaku pada saat melakukan


l l l l l l l l l l l

perbuatan l l pidana. l l Sedangkan l l teori kehendak l

menyatakan l l l bahwa l l seseorang l dianggap l l sengaja l l

melakukan suatu perbuatan pidana apabila orang itu


l l l l l l l l l l l

menghendaki l dilakukannya l l l perbuatan l l itu, dalam l l

konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak yang l l l l l l l

diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang


l l l l l l l l l

dirumuskan dalam undang-undang ini.55 l l l l l

(2) Dolus eventualis l adalah l l l sengaja l l yang l bersifat l

kemungkinan. Dikatakan demikian karena pelaku yang l l l l l l l l l

bersangkutan l l pada l l waktu l ia l akan l l melakukan l l

perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang l l l l l l l

dilarang l l oleh undang-undang l l telah l menyadari l l

kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari l l l l l l l l l

akibat yang memang ia kehendaki. Jika kemungkinan


l l l l l l l l

yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan,


l l l l l l l l l

terhadap kenyataan tersebut dapat dikatakan suatu


l l l l l l l l l l l

kesengajaan. 56 l l l

55
Ibid.
56
Ibid.
44

Berdasarkan uraian diatas mengenai dolus eventualis l l l l l l l l l

maka dapat disimpulkan bahwa pelaku perbuatan pidana


l l l l l l l l l l l l

menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan l l l l l l l l l l l

menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang l l l l l l l l

hukum.57

2) Kealpaan (culpa) l l l l

Menurut Moeljatno bahwa kealpaan adalah suatu struktur l l l l l l l l l l

yang sangat gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada


l l l l l l l l l

kekeliruan dalam perbuatan seseorang secara lahiriah, dan l l l l l l l l l l l

disisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. Dengan l l l l l l l l l l l

pengertian l demikian, l maka l l didalam l l kealpaan l l l (culpa) l

terkandung makna kesalahan dalam arti luas yang bukan


l l l l l l l l l l l l

berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara kesengajaan


l l l l l l l l l l l l l l

dan kealpaan, dimana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat


l l l l l l l l l l l l l l l

positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk l l l l l l l l

melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan dalam


l l l l l l l l l l l l

kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan58.


l l l l l l

Berdasarkan pengertian kealpaan diatas dapat disimpulkan l l l l l l l l l l l l

bahwa dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan


l l l l l l l l l l l l l l

pidana bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga


l l l l l l l l l

perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi. Jadi


l l l l l l l l l l

dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekalitidak ada niat
l l l l l l l l l l l l l l l

kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan l l l l l l l l

pidana yang dilarang hukum. Meskipun demikian, ia tetap patut


l l l l l l l l l

dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang


l l l l l l l l l l l l l

dilarang hukum itu karena sikapnya yang ceroboh tersebut.59


l l l l l l l

57
Ibid., h.176.
58
Ibid., h.177.
59
Ibid., h.178.
45

Dilihat dari bentuknya, Modderman mengatakan bahwa l l l l l l l l l

terdapat dua bentuk kealpaan (culpa): l l l l l l l

a) Kealpaan yang disadari (bewuste culpa) l l l l l l l

Dalam kealpaan yang disadari (bewuste culpa) pelaku dapat


l l l l l l l l l l l l

menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, l l l l l l l l l l l l

tetapi ia percaya dan berharap bahwa akibat buruk itu tidak l l l l l l l l l l l l

akan l l terjadi l lagi. l Pelaku l telah l membayangkan l l l atau l l

menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia l l l l l l l l l l l

berusaha untuk mencegahakibat tersebut terjadi juga. l l l l l l l

b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa) l l l l l l l l

Dalam hal ini pelaku tidak membayangkan atau menduga


l l l l l l l l l l l

akan timbulnya suatu akibat yang diancam pidana dan


l l l l l l l l l l l l

dilarang oleh undang-undang, padahal ia seharusnya dapat


l l l l l l l l l l l l

memperhitungkan akan timbulnya akibat itu.60. l l l l l l

2. Unsur Objektif
Unsur objektif dapat dikatakan sebagai unsur dari luar diri pelaku, l l l l l l l l l l

dimana unsur ini terdiri atas:


l l l l

a. Perbuatan Orang l l l

Pengertian perbuatan yang dimaksudkan bukan hanya yang l l l l l l l l l l

berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu l l l l l l l l l

yang dilarang dan berbentuk negatif, artinya tidak berbuat sesuatu


l l l l l l l l l l

yang diharuskan. Menurut Pompe, perbuatan itu dapat ditetapkan


l l l l l l l l l

sebagai suatu kejadian yang berasal dari manusia, yang dapat


l l l l l l l l l l l l l l

dilihat dari luar dan diarahkan kepada tujuan yang menjadi


l l l l l l l l l l l l

sasaran norma.
l l l l

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu


l l l l l l l l

Akibat perbuatan manusia merupakan “suatu unsur yang


l l l l l l l l l l

terdapat dalam suatu tindak pidana. Tidak semua tindak pidana


l l l l l l l l l l l l l

mensyaratkan akibatnya, tetapi dalam hal tindak pidana materil l l l l l l l l l l l l l l

60
Ibid.
46

harus ada akibat yang dilarang sehingga dapat dikatakan suatu


l l l l l l l l l l l l l l l

tindak pidana”.61 l l l

I. Teori Pertanggungjawaban Pidana l l l l l l

Pertanggungajwaban pidana dapat dikatakan dilihat dari diri si


l l l l l l l l l l l l l

pelaku, apakah hasil dari diri si pelaku bisa dipertanggungjawabkan


l l l l l l l l l l l l

atau tidak,
l l l hal ini sebagai konsekuensi dari dualsime sehingga
l l l l l l

membedakan l l antara l l l pertanggungajwaban l l l l pidana l l pelaku l dan l

pertabuatan pelaku. Pertanggungjawaban pidana pelaku dikenal


l l l l l l l l l l l l

dengan dari asas kesalahan dan pelaku, maka pelaku pidana harus
l l l l l l l l l l l l l l l

dilhat dari apakah pelaku itu memenuhi Pasal 44 kuhp atau tidak.
l l l l l l l l l l l

Adapun Pasal 44 kuhp pengertiannya tidak bertanggungjawab itu tidak


l l l l l l l l l l l

ada tetapi adanya didalam penjelasan Mvt, sedangkan dalam Pasal 44


l l l l l l l l l l l l l l l l

hanya orang yang tidak mampu bertanggungjawab, jadi dari Pasal 44


l l l l l l l l l l l l l

orang l bisa l dipertanggungjawabkan l l l l terhadap l l dia l atau l l pelaku l

memperhatikan yaitu: 1) perbuatannya, 2) akal sehat, dimana harus l l l l l l l l l l l l

ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kepribadiannya dia.62


l l l l l l l l l l l l l l l l

Sehingga untuk jelasnya mengetahui apa yang dimaksud dengan l l l l l l l l l

kemampuan l l pertanggungjawaban l l l l pelaku l menurut Van l Hamel l

berpendapat, bahwa kemampuan bertanggungajwab adalah suatu l l l l l l l l l l l l l

keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga


l l l l l l l l l l l l

macam kemampuan: l l l l

1. Untuk memhami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri. l l l l l l l

2. Untuk menyadari l l perbuatanya l l l sebagai l l suatu l yang l tidak l

diperbolehkan oleh masyarakat dan l l l l l l

3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya. l l l l l l l l l l

61
Hamzah Andi, 2012,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangan,
Jakarta, PT Softmedia, h.229.
62
Hiariej O.S Eddy,2016,Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta,Cahaya Atma
Pustaka,h.120
47

Adapun Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing dengan


l l l l l l l l l l l l l

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada l l l l l l l l

pemindanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah l l l l l l l l l l

seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu l l l l l l l l l l l l l l

tindakan pidana yang terjadi atau tidak. l l l l l l l l l

Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana yang l l l l l l l l l l l l

dilakukannya itu memenuhi unsure-unsur delik yang telah ditentukan


l l l l l l

dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang


l l l l l l l l l l l

dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-


l l l l l l l l l l l l l

tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawab hukum serta tidak


l l l l l l l l l l l

ada alas an pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk


l l l l l l l l l l l l l l

pidana l l yang l dilakukannya. l l l Dan l dilihat l dari l sudut kemmpuan l

bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung


l l l l l l l l l l l

jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.


l l l l l l l l l l l l l l

Oleh karena l l itu dapat l l dilihat l pemahaman l l l kemampuan l l

bertanggungjawab menurut beberapa pandangan adalah sebagaimana


l l l l l l l l l l l l l l l

diuraikan di bawah ini: l l l l

Syarat-syarat orang dapat dipertanggungajwabkan menurut G.A Van


l l l l l l l l l l l l l

Hamel adlaah sebagai berikut:


l l l l l l

1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau l l l l l l l l l

menginsyafi nilai dari perbuatannya. l l l l l l

2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurjt tatacara l l l l l l l l l l l l

kemasyarakatan adalah dilarang. l l l l l l l l l l

3. Orang l harus l dapat l l menentukan l kehendaknya l l terhadap l l

perbuatannya. l l l

Pertanggungajawaban pidana menjurus pemidanaan petindak, jika l l l l l l l l l l l l

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsure-unsurnya


l l l l l l l l l

yang telah di tentukan oleh undang-undang. Dilihat daru sudut terjadi


l l l l l l l l

suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan di


l l l l l l l l l l l

pertanggungjawabpidanakan l l l l l l atas tindak-tindakan tersebut apabila


l l l l l l l l

tindak tersebut bersifat melawan hukum untuk itu.


l l l l
48

Pertanggungjawaban Pidana menjurus kepada pemindanaan, jika l l l l l l l l l l l l

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsure-unsurnya


l l l l l l l l l

yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dapat dilihat dari sudut


l l l l l l l l l l l

terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan


l l l l l l l l l l l l l

dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila


l l l l l l l l l l l l l l l

tindakan tersebut bersifat melawan hukum, untuk itu dapat di lihat dari
l l l l l l l l l

sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu l l l l l l l l l l l

bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawab-pidanakan.


l l l l l l l l l l l l

Dikatakan l l l seseorang l mampu l bertanggung l jawab l l

(toerekeningvatbaar), bilamana pada umumnya : l l l l l l l l l

1. Keadaan jiwanya: l l l l l

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. l l l l l l l

b. Tidak cacat dalam pertumbuhan. l l l l l l

c. Tidak terganggu karena terkejut, amarah yang meluap, pengaruh l l l l l l l l l l

bawah sadar, dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.


l l l l l l l l l l l l l l l l l

2. Kemampuan jiwa: l l l

a. Dapat menginsafi hakekat dari tindakannya. l l l l l l l l l

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah l l l l l l l l l l l l

akan dilaksanakan atau tidak63.


l l l l l l l l l

J. Teori Pemidanaan l l l

Arti pidana menurut Van Hamel ialah “merupakan penderitaan yang


l l l l l l l l l l l l

bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang


l l l l l l l l l

sebagai l l penanggungjawab l l l ketertiban l umum terhadap l l seorang l

pelanggar karena telah melanggar peraturan hukum yang harus


l l l l l l l l l l l

ditegakkan oleh negara. Sedangkan menurut Sudarto, pidana ialah


l l l l l l l l l l l

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan l l l l l l l l l l l l l

perbuatan dan memenuhi syarat tertentu. 64Dalam menjatuhkan pidana


l l l l l l l l l l l

63
Dr.Amir illyas,S.H.,M.H., Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktek
Medic Dirumah Sakit, (Yogyakarta: Rangkang Education), 2014, h.73
64
Dr. Vince ratna multiwijaya, sh.mh. Hukum Pidana Dan Pembangunan Hukum,
Universitas Trisakti, Vol. 2 No. 1, September 2019. H. 50.
49

pada pelaku maka perlu memperhatikan tujuan dari pemidanaan


l l l l l l l l l l l l

tersebut hal itu harus dikaitkan dengan stelsel pemidanaan yaitu: l l l l l l l l l

1. Teori Absolut l

Teori ini dikenal dengan teori pembalasan. Oleh karenanya l l l l l l l l

negara l l berhak l menjatuhkan l l pidana l l karena l l penjahat l l telah l

melakukan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum yang


l l l l l l l l l l

dilindungi. Teori ini dibagi dua yaitu pembalasan terhadap subyektif l l l l l l l l

mengenai kesalahan yang dilakukan pelaku dan pembalasan l l l l l l l l l l l l

obyektif terhadap perbuatan-perbuatan apa yang telah dilakukan l l l l l l l l l l l l

pelaku. l

2. Teori Relative l

Tujuan teori ini adalah penegakan ketertiban masyarakat dan l l l l l l l l l l l l

tujuan pidana untuk mencegah kejahatan. Teori ini dibagi dua yaitu
l l l l l l l l l l

pencegahan umum berguna untuk memberikan rasa takut pada l l l l l l l l l

orang lain untuk tidak berbuat jahat sedangkan pencegahan khusus


l l l l l l l l l l

(Von Feuerbach) menurut Van Hamel ditujukan pada pelaku l l l l l l l

kejahatan yang telah dijatuhi pidana agar tidak menggulangi lagi.


l l l l l l l l l l l l l

3. Teori Gabungan l l

Teori pemindanaan gabungan Grotius menyatakan penderitaan l l l l l l l l l l

memang l sesuatu l yang l sewajarnya l l l ditanggung l oleh pelaku l

kejahatan, namun harus memperhatikan kemanfaatan social dalam


l l l l l l l l l l l l l l

menetapkan berat ringannya derita yang layak diberikan. Menurut l l l l l l l l l l

Vos teori ini menyatakan titik berat yang sama antara pembalasan l l l l l l l l l l l l l

dan perlindungan masyarakat. Sedangkan Zevenbergen menyatakan


l l l l l l l l l l l

dalam teori ini pembalasan yang diberikan untuk melindungi


l l l l l l l

masyarakat. l l l l

4. Teori Kontemporer
Teori kontemporer pada dasarnya gabungan dari ketiga teori l l l l l l l l l

sebelumnya dengan beberapa modifikasi. Wayne R. Lafave l l l l l l l l

menyebutkan adapun tujuan utama dalam teori kontemporer ialah l l l l l l l l l l

adanya efek jera agar pelaku tidak menggulangi lagi, edukasi pada
l l l l l l l l l l l l l
50

masyarakat, pengendalian social dengan mengisolasi pelaku agar


l l l l l l l l l l l l

tindak berbahaya yang dilakukan tidak merugikan masyarakat, dana


l l l l l l l l l l l l l l l

keadilan restorative justice dimana bentuk penyelesaian perkara


l l l l l l l l l

dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban kejahatan atau pelaku


l l l l l l l l l l l l l l

dan pihak lainnya yang terkait guna mencari penyelesaian yang adil
l l l l l l l l l l l l

dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula dan bukan


l l l l l l l l l l l l

pembalasan. Selain itu Lafave menyatakan tujuan lainnya dari teori


l l l l l l l l l l l l l

ini adalah rehabilitasi artinya pelaku kejahatan harus diperbaiki kea


l l l l l l l l l l l l l l

rah yang lebih baik agar kembali kemasyarakat ia dapat diterima


l l l l l l l l l l l l l l

oleh masyarakat dan tidak menggulangi lagi kejahatannya.65 l l l l l l l l l l l l

Adapun pengertian teori pemindanaan lainnya yaitu:


l l l l l l l l l

a. Teori Absolut l

Dasar pijak dari pijakan ini ialah pembalasan . inilah dasar


l l l l l l l l l l l l l l

pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada l l l l l l l l l l l

penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat l l l l l l l l l l l l l

tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak l l l l l l l l l l l

dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau Negara) yang


l l l l l l l l l l l l

telah dilindungi. l

Penjatuhan l l pidana l l yang l pada l l dasarnya l l l penderitaan l l

dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi l l l l l l l l l l l

oranglain. l l Menjatuhkan l l pidana l l tidak l dimaksudkan l l untuk


mencapai l l sesuatu l yang l praktis, l tetapi l bermaksud l untuk
menciptakan penderitaan bagi orang lain66. l l l l l l l

Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai l l l l l l l l l l l l

dua arah, yaitu : l l l l

1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan) l l l l l l l l l l

65
Eddy O. S Hiarije.2014. h 31-32
66
Ibid.
51

2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di l l l l l l l l

kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan) 67


l l l l l l l l l l l

Ada beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang


l l l l l l l l l l l l l l l l

adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu


l l l l l l l l l l l l l

sebagai berikut : l l

1) Pertimbangan sudut ketuhanan l l l l

Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum


l l l l l l l l l l l l l

adalah suatu aturan dasar yang bersumber pada aturan Tuhan


l l l l l l l l l l l l l l

yang diturunkan melalui Pemerintahan Negara sebagai abdi


l l l l l l l l l l

atau wakil Tuhan didunia ini. Oleh karena itu, Negara wajib
l l l l l l l l l l

memelihara dan melaksanakan hukumm dengan cara setiap l l l l l l l l l l l

pelanggaran l l l terhadap l l hukum wajib l memelihara l l dan l

melaksanakan l l l l hukum dengan l cara l l setiap l pelanggaran l l l

terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana l l l l l l l l l

terhadap pelanggarnya. l l l l l

2) Pandangan dari sudut etika


l l l l l

Pandangan ini berasal dari Emmanuel Kant .pendangan


l l l l l l l l l l

Kant menyatakan bahwa rasio, tiap kejahatan itu haruslah


l l l l l l l l l l l l l

diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana sebagai sesuatu l l l l l l l l l l

yang dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika.


l l l l l l l l

Pemetintahan Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan dan l l l l l l l l l

menjalankan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang l l l l l l l l l l l l

dituntut oleh etika tersebut. Pembalasana melalui penjatuhan l l l l l l l l

pidana ini harus dilakukan pada setiap pelanggar hukum


l l l l l l l l l l

walaupun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang


l l l l l l l l l l l l l l l

bersangkutan. 68 l l

3) Pandangan Alam Pikiran Dialektika


l l l l l l l l

67
Ibid., h.158
68
Ibid., h.159
52

Pandangan ini berasal dari Hegel . Hegel ini dikenal dengan


l l l l l l l l

teori dialektikanya dalam segala gejala yang ada didalam dunia l l l l l l l l l l l l l l l

ini. Atas dasar pikiran yang demikian, pidana mutlak harus ada
l l l l l l l l l l l l l

sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan


l l l l l l l l l l l l

merupakan suatu kenyataan (sebagai these) . jika seseorang l l l l l l l l l l

melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan,


l l l l l l l l l l l l l

berarti dia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these).


l l l l l l l l l l

Oleh karena itulah, harus diikuti oleh suatu pidana berupa l l l l l l l l

ketidakadilan l l l terhadap l l pelakunya l l (synthese) untuk


mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya l l l l l l l l l l l

hukum (these) .
4) Pandangan Aesthetica dari Herbart
l l l l l l l

Pandanga l l l yang berasal dari HERBART ini berpokok


l l l l l

pangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas,


l l l l l l l l l l l l l l l l

maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan pada masyarakat


l l l l l l l l l l l l l l l l

agar
l l dapat l l kepuasan l l masyarakat l l l l dapat l l dicapai l l atau l l

dipulihkan, maka dari sudut aesthetica harus diblas dengan l l l l l l l l l

penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.


l l l l l l l l l l l l

Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan l l l l l l l l l l l l l

yang l sama l l berat l atau l l besarnya l l dengan l penderitaan l l

korban/masyarakat yang di akibatkan oleh kejahatan itu. l l l l l l l l l l l l

5) Pandangan dari Heymans


l l l l l

Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan


l l l l l l l l l l l l l

menurut HEYMANS l didasarkan l l l pada l l niat l pelaku. l Ia l

menyatakan bahwa “setiap niat yang tidak bertentangan l l l l l l l l l l l

dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasan, tetapi l l l l l l l l l l l l

niat yang bertantengan dengan kesusilaan tidak perlu diberikan


l l l l l l l l l

kepuasan. Tidak diberi kepuasaaan ini berupa penderitaan l l l l l l l l l l

yang adil . segala sesuatu yang bertentangan dengan


l l l l l l l l l

kesusilaan tidak boleh dicapai orang , dan atas dasar inilah l l l l l l l l l l l l


53

Heymans menerangkan unsur pembalasan didalam pidana l l l l l l l l l l

memberi penderitaan kepada penjahat. 69 l l l l l l

6) Pandangan dari Kranenburg


l l l l l

Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia l l l l l l l l l l l l

mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk l l l l l l l l l

mendapatkan keuntungan dan kerugian,maka terhadap hukum l l l l l l l l l l

tiap-tiap masyakarat mempunyai suatu kedudukan yang sama


l l l l l l l l l l l l

dan sederajat . akan tetapi, meraka yang sanggup mengadakan


l l l l l l l l l l l l l

syarat istimewa akan mendapat keuntungan dan kerugian


l l l l l l l l l l

istimewa. Tiap orang akan mendapat keuntungan atau kerugian l l l l l l l l l l l

sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih dahulu diadakannya


l l l l l l l l l l l l

untuk mendapatkan kauntungan atau kerugian tersebut. l l l l l l l l

Berdasarkan l l l pemikiran l yang l semacam l l inilah l , bila l

seseorang berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu l l l l l l l l l l

penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah seimbang l l l l l l l l l l l

bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya


l l l l l l l l l l

sama dengan besarnya penderitaan yang telah dilakukannya


l l l l l l l l l l l l

terhadap orang lain70. l l l l

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan l l l l

Teori relative atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa l l l l l l l l l l l l

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam


l l l l l l l l l l l l l

masyakat. 71
l l l

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana itu l l l l l l l l l l l l

mempunyai tiga macam sifat , yaitu : l l l l l l

1) Bersifat menak-nakuti (afschrikking) l l l l

2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering) l l l

3) Bersifat membianaskan (onschadelijk maken) l l l l l l

69
Ibid., h.160
70
Ibid., h.161
71
Ibid.
54

Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada dua l l l l l l l l l l

macam, yaitu :
l l l

1) Pencegahan umum (general preventie) l l l

2) Pencegahan khusus (special preventie)72 l l l

3) Pencegahan umum (general preventie) l l l

Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan l l l l l l l

pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi


l l l l l l l l l l

takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu


l l l l l l l l l l l

dijadikan contoh masyarakat agar masyakat tidak meniru dan


l l l l l l l l l l l l l

melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Jadi,


l l l l l l l l l l

menurut teori pencegahan umum ini, untuk mencapi dan l l l l

mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan , l l l l l l l l l l l l l

pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka


l l l l l l l l l l l l l l

umum.73
Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan l l l l l l

umum yang l disebut dengan l “psychologische zwang” l ,


menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan l l l l l l l l l l l l

pada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman


l l l l l l l l l l l l

pidana yang ditentukan dalam Undang-undang. Ancaman


l l l l l l l l l l l

Pidana harus ditetapkan terlebih dulu dan harus diketahui oleh


l l l l l l l l

khalayak umum. Ketentuan tentang ancaman pidana dan


l l l l l l l l l l l

diketahui oleh umum inilah yang dapat membuat setiap orang


l l l l l l l l

menjadi takut untuk melakukan kejahatan74. l l l l l l l

Walaupun teori ini sifatnya menentang teori menakut-nakuti


l l l l l l l

dengan melalui eksekusi yang kejam seperti penyiksaan- l l l l l l

penyiksaan l l yang l dilakukan l l dimuka l umum, sehingga l

melampaui batas perikemanusiaan, namun Teori Feuerbach ini


l l l l l l l l l

mempunyai beberapa kelemahan, yaitu : l l l l l l

72
Ibid., h 162
73
Ibid.
74
Ibid., h.163
55

a) Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan l l l l l l l l l l l

kejahatan dan dipidana dan menjalaninya, perasaan takut


l l l l l l l l l l l l l l

terhadap l l ancaman l l l pidana l l itu menjadi l tipis bahkan l l

perasaaan takut dapat menjadi hilang l l l l l l l l l

b) Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat


l l l l l l l l l l l

tidak l sesuai l dengan l kejahatan l l l yang l dilakukan. l l

Sebagaimana diketahui bahwa ancaman pidana bersifat l l l l l l l l l l l l l

abstrak. Sedangkan pidana yang dijatuhkan adalah bersifat


l l l l l l l l l l l l l

konkret. Untuk lebih dulu menentukan batas-batas beratnya l l l l l l l

pidana yang diancamkan itu agar sesuai dengan perbuatan


l l l l l l l l l l l l

yang dilarang yang diancam dengan pidana tertentu itu


l l l l l l l l l

merupakan sesuatu hal yang sukar. l l l l l l

c) Orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau juga


l l l l l l l l l l

yang tidak mengetahui perihal ancaman pidana, sifat


l l l l l l l l l l

menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama l l l l l l l l l l l l

sekali. l

Karena adanya kelemahan teori Feuerbach ini, timbullah


l l l l l l l l l

teori pencegaham umum yang menitikberatkan sifat menakut- l l l l l l l

nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam Undang-Undang


l l l l l l l l l l l l l

maupun tidak pada eksekusi yang kejam ditentang oleh


l l l l l l l

Feuerbach, melainkan pada penjatuhan pidana secara konkret l l l l l l l l l l l

oleh hakim pada penjahat. Teori pencegahan umum pada l l l l l l l l l

penjatuhan pidana ini dipelopori oleh Muller.


l l l l

Menurut Muller, pencegahan kejahatan bukan terletak pada l l l l l l l l l

eksekusi yang kejam maupun pada ancaman pidana, tetapi l l l l l l l l l l l

pada penjatuhan pidana inkonkriro oleh hakim. Dengan tujuan


l l l l l l l l l

memberi rasa l l takut l kepada l l penjahat l l tertentu. Hakim l

diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi l l l l l l l l l

dari beratnya ancaman pidananya agar para penjahat serupa


l l l l l l l l l l l l l l l l

lainnya menjadi schook, terkejut, kemudian menjadi sadar


l l l l l l l
56

bahwa perbuatan seperti itu dapat dijatuhi pidana yang berat


l l l l l l l l l l l

dan ia menjadi takut untuk melakukan perbuatan yang serupa.75


l l l l l l l l l l

1) Pencegahan khusus (special preventie) l l l

Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku l l l l l l l

kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi


l l l l l l l l l l l l l

melakukan kejahatan , dan mencegah agar orang yang telah


l l l l l l l l l l l l

berniat burut untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam


l l l l l l l

bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan l l l l l l l l l l l l

menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu :


l l l l l l l l l l l l l

a) Menakut-nakutinya l l l

b) Memperbaikinya l l

c) Membuat menjadi tidak berdaya. 76 l l l l l

Maksud menakut-nakutinya ialah bahwa pidana harus dapat


l l l l l l l l l l l l l

memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada l l l l l l l l l l

rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang


l l l l l l l l l l l l l

dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang


l l l l l l l l l l l l

tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang


l l l l l l l l l l

pernah dilakukannya, pidana yang dijatuhkan terhadap orang


l l l l l l l l l l l l

seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, l l l l l l l

orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki , pidana


l l l l l l l l l l l l

yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya


l l l l l l l l l l l

menjadi tidak berdaya atau bersifat membinasakan. l l l l l l l l l l

Van Hamel membuat suatu gambaran berikut ini tentang


l l l l l l l l

pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini . l l l l l l l

a) Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni l l l l l l l l

untuk menakut-nakuti l l orang-orang l l yang l cukup dapat l l

dicegah dengan cara menakuti-nakutinya melalui penjatuhan l l l l l l l l l l

pidana itu agar dia tidak melakukan niat jahatnya


l l l l l l l l l l l l

75
Ibid., h.164
76
Ibid., h.165
57

b) Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara


l l l l l l l l l l l l l l

menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat l l l l l l l l l l

memperbaiki dirinya (reclasring) l l l

c) Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki,


l l l l l l l l l l l

penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau l l l l l l l l l l l

membuat mereka tidak berdaya l l l l l

d) Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahakan tata l l l l l l l l l l l l l l l

tertib hukum didalam masyarakat. 77 l l l l l l

c. Teori Gabungan l l

Teori gabungan l l ini mendasarkan l l l pidana l l pada l l asas l l

pembalasan dan asas perthanan tata tertib masyakat, dengan


l l l l l l l l l l l l l l

kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana .
l l l l l l l l l l l l l l l

teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar ,


l l l l l l l l l l

yakni :
l

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi l l l l l l l l l l

pembalasan tidak bolah melampaui batas dari apa yang perlu l l l l l l l l l l l l l

dan l cukup unuk dapatnya l l l dipertahakannya l l l l tata l l tertib


masyarakat
l l l l

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib l l l l l l l l l

masyatakat , tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak


l l l l l l l l l l l l l l

bolah lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana


l l l l l l l l l l l l

(Schravendijk,1955:218)78 l

1) Teori Gabungan yang pertama l l l l l

Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada l l l l l l l

pembalasan ini didukung oleh Pompe, yang berpandangan l l l l l l l

bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat,


l l l l l l l l l l l l l l l l l

tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum


l l l l l l l l

77
Ibid., h.166
78
Ibid.
58

agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari


l l l l l l l l l l l

kejahatan. l l l Pidana l l yang l bersifat l pembalasan l l l itu dapat l l

dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertibl l l l l l l l l l l l l l

(hukum) masyakat.79 l l l

2) Teori Gabungan yang kedua l l l l

Menurut Tomas Aquino, dasar pidana itu ialah kesejahteraan l l l l l l l l l l l

umum. Untuk adanya pidana harus ada kesalahan pada pelaku l l l l l l l l l l l l l l

perbuatan, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada l l l l l l l l l l l l

perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana l l l l l l l l l l l l

yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang


l l l l l l l l l l l l

dilakukan dengan sukarela inilah yang bersifat pembalasan,


l l l l l l l l l l l

sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana,


l l l l l l l l l l l l

tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada


l l l l l l l l l l l l

hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib


l l l l l l l l l l l l l

masyarakat. 80
l l l l

d. Teori Kontemporer
Teori Kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut diatas l l l l l l

dengan beberapa kodifikasi. 81


l l l l

1) Teori Efek Jera l

Menurut Wayne R.Lafave menyebutkan salah satu tujuan l l l l l l l l

pidana adalah sebagai deterrence effect atau efek jera agar


l l l l l l l l l l l l

pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Tujuan


l l l l l l l l l l l

pidana sebagai deterrence effect pada hakikatnya sama


l l l l l l l l l l l

dengan teori relative terkait dengan prevensi khusus. Jika


l l l l l

prevensi umum bertujuan agar orang lain tidak melakukan l l l l l l l l

kejahatan, maka prevensi khusus ditujukan kepada pelaku


l l l l l l l l l

79
Ibid., h.167
80
Ibid.
81
Hiariej O.S Eddy, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta,Cahaya Atma
Pustaka, h.42
59

yang telah djatuhi hukuman agar tidak mengulangi melakukan


l l l l l l l l l l

kejahatan lagi. 82 l l l l

2) Teori Edukasi l

Pada dasarnya teori edukasi menyatakan bahwa pidana


l l l l l l l l l l l l l

bertujuan sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana l l l l l l l l l l l l l

perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Seneca l l l l l l l l l l l

yang merujuk pada filsuf Yunani , Plato, menyatakan nemo


l l l l l l l l

prudens punit,quia pecatum, sed ne peccetur. Artinya , seorang l l l l l

bijak tidak menghukum karena melakukan dosa, melainkan


l l l l l l l l l

agar tidak lagi terjadi dosa. Seorang pelaku kejahatan harus


l l l l l l l l l l l l

mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang l l l l l l l l l l l

dilakukannya untuk memberi pelajaran kepada orang lain agar


l l l l l l l l l l l l

tidak melakukan perbuatan sama.


l l l l l l l

3) Teori Rehabilitasi l l

Tujuan pidana yang lain adalah rahabilitasi artinya bahwa l l l l l l l l l l l l l l l

pelaku harus diperbaiki kearah yang lebih baik , agar ketika


l l l l l l l l l l

kembali ke masyakat ia dapat diterima oleh komunitasnya dan


l l l l l l l l l l l

tidak lagi mengulangi perbuatan jahat. Sebenarnya tujuan


l l l l l l l l l l

pidana sebagai rahabilitasi bukanlah hal baru. Thomas Aquinas


l l l l l l l l l l l l l l

dari sudut pandang Katolik sudah memisahkan antara poenae


l l l l l l l l l l l

ut poenae l (pisana l l sebagai l l pidana) l l dengan l poena l ut


medicine(pidana sebagai obat) l l l l l

Menurut Aqiunas, manakala Negara menjatuhkan pidana l l l l l l l l l l l l

dengan daya kerja pengobatan, maka perlu diberikan perhatian


l l l l l l l l l l l

tehadap pevensi umum dan prevensi khusus . sehingga dapat


l l l l l l

disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan oleh Aquinas l l l l l l l l l l

adalah dalam rangka memperbaiki terpidana agar ketika


l l l l l l l l l l l l l

82
Ibid.
60

kemabali ke masyarakat tidak lagi mengulangi perbuatannya


l l l l l l l l l l l l

sebagaimana tujuan khusus. l l l l l

4) Teori Pengendali sosial l l

Menurut Lafave salah satu tujuan pidana adalah sebagai l l l l l l l l l l l l l

pengendali sosial artinya pelaku kejahatan diisolasi agar l l l l l l l l l l l

tindakan l l berbahaya l l l yang l dilakukannya l l l tidak l merugikan l

masyakarat . tegasnya, masyarakat harus dilindungi dari


l l l l l l l l l l l l

tindakan jahat pelaku . terkait fungsi pengendali sosial pada


l l l l l l l l l l

abad ke 20 telah dikemukakan oleh Aldphe Prins seorang ahli


l l l l l l l l

pidana l l Belgia. l Menurut Prins, pidana l l dalam l l konteks


pembelaan masyarakat harus sebanding dengan seberapa jauh l l l l l l l l l l l l

pelaku mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat.83


l l l l l l l l l l l l

5) Teori Keadilan Restoratif l l l

Tujuan pidan juga untuk memulihkan keadilan yang dikenal l l l l l l l l

dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif.


l l l l l l l l

restorative l justice dipahami l l sebagai l l bentuk pendekatan l l

penyelesaian l l perkara l l dengan l mempertemukan l pelaku l

kejahatan dan korban beserta keluarga kedua belah pihak.


l l l l l l l l l l l

Istilah keadilan restorative berasal dari Albert Eglash pada


l l l l l l l l l l l

tahun 1977, yang mencoba untuk membedakan tiga bentuk


l l l l l l

peradilan pidana, masing-masing adalah retributive justice,


l l l l l l l l l

distributive justice, dan restorative justice. Menurut Englash, l l l

focus retributive justice adalah menghukum pelaku atas l l l l l l

kejahatan yang telah dilakukan olehnya. Sementara restorative


l l l l l l l l l l l

justice pada dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara l l l l l l l l l l l

melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan


l l l l l l l l l

83
Ibid., h.43
61

untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi l l l l l l l l l l

pelaku. 84 l

Ada beberapa hal terkait konsep pemikiran keadilan


l l l l l l l l l

restoratif : l

a) Ketika l sebuah l kejahatan l l l terjadi, l kita l diharuskan l l

mengutamakan kepentingan korban karena merekalah yang l l l l l l l l l l

secara langsung terkena dampak kejahatan tersebut.


l l l l l l l l l

Bahkan mungkin keluarga korban, keluarga pelaku serta


l l l l l l l l l

anggota masyarakat luas juga kena dampaknya .


l l l l l l l l l l l l

b) Proses restorative harus memaksimalkan masukan dan l l l l l l l l

partisipasi pihak yang bersangkutan dalam upaya untuk


l l l l l l l l l l

mendapatkan pemulihan, restorative, pengertian, empati, l l l l l l l

pertanggungjawban dan pencegahan. l l l l l l

c) Jika proses keadilan restoratif dimiliki oleh komunitas , maka


l l l l l l l

anggota komunitas yang terkena dampak harus dilibatkan


l l l l l l l l l l

dalam proses keadilan restoratif dan proses ini harus


l l l l l l l

bergerak melampaui individu yang terlibat dan memberikan l l l l l l l

kontribusi untuk membangun dan memperkuat komunitas l l l l

tersebut. Proses restorative juga seharusnya tidak hanya l l l l l l l

sebatas memenuhi kepentingan para pihak yang mengakami


l l l l l l l l l

kerugian, tetapi diharuskan untuk mementingkan kondisi l l l l l

sosial serta keamanan dan kedamaian dalam komunitasnya.


l l l l l l l l l l l l l

d) Masih berkaitan dengan komunitas tersebut, melalui proses


l l l l l l

restorative ini, komunitas memiliki tanggung jawab akan l l l l l l l

informasi , validasi, pembenaran, restitusi, keamanan dan l l l l l l l l l

pemberdayaan, serta menawarkan korban kesempatan l l l l l l l l l l

untuk bertemu berhadapan dengan orang yang telah l l l l l l l

merugikannya dan berkolaborasi dalam dialog dengannya l l l l l l l l l l

84
Ibid., h.44
62

untuk memutuskan tindakan apa yang harus diambil untuk l l l l l l l l

memenuhi kebutuhan para pihak. 85 l l l l

Keadilan restotarif dapat ditempuh dengan lima pendekatan :


l l l l l l l l l

a) Court-based restitutive and reparative measures , melibatkan


l l l l l l l

pelaku yang dituntut untuk memberikan restitusi keuangan


l l l l l

atau bentuk lain sebagai bagaian dari reparasi terhadap


l l l l l l l l l l l l l

korban86. l

b) Victim-offender mediation programmes atau mediasi korban- l l l l l l

pelaku. l

Adapun tujuan dari victim-offender mediation adakah :


l l l l l l l l

a) Mendukung proses pemulihan dengan cara memberikan l l l l l

korban kesempatan untuk bertemu dengan pelaku dan


l l l l l l

membicarakan dengannya mengenai cara untuk mengatasi l l l l l l l l l l

pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku.


l l l l l l l l

b) Mendukung para pelaku untuk bertanggungjawab secara l l l l l l l l

langsung l dengan l cara l l mengharuskan l l mereka l untuk


mendengarkan penjelasan korban mengenai bagaimana l l l l l l l l l l

dampak l l terhadap l l korban l sebagai l l akibat


l l tindakan l l

pelanggran pelaku dan memebrikan pelaku kesempakatan


l l l l l l l l l

untuk membicarakan l l l bagaimana l l l l cara l l mengatasi l l

pelanggaran yang telah dilakukannya.


l l l l l l l l

c) Memfasilitasi l l dan l mendorong sebuah l proses yang l

memberdayakan secara emosional dan memuaskan bagi l l l l l l l l l l

kedua belah pihak. l l l

d) Mengimbangi antara kepentingan public (yang menjadi inti l l l l l l l

dari system peradilan pidana biasa), dan kepenyingan


l l l l l l l l l

pribadi l dari l mereka l yang l paling l berdampak l l oleh


pelanggaran yang telah dilakukan
l l l l l l l

85
Ibid., h.45
86
Ibid., h.46
63

e) Memungkinkan para pihak agar mereka dapat menyetujui l l l l l l l l l

jalan keluar dari pelanggaran yang telah terjadi87


l l l l l l l l l l

Restorative conferencing initiatives, diaplikasikan sebagai l l l l l l l

bentuk ketiga l pendekatan l l keadilan l l restorative l . dalam l l

beberapa l l literature, l istilah l tersebut digunakan l l untuk


menggambarkan seluruh proses dari keadilan restorative. l l l l l l l

Berkaitan l l dengan l pendekatan l l restorative l conferencing


intiatives , Mc Cold membedakan menjadi dua macam bentuk :
l l l l l l l

a) Child welfare l conferencing yang l dilakukan l l untuk


memberikan l respon terhadap l l kasus l tertentu seperti
penganiayaan anak atau penelantaran dalam keluarga . l l l l l l l l l l l l l l l

tujuan l dari l child welfare l conferencing terletak l pada l l

pencegahan di masa depan dan bukan pada kerugian yang l l l l l l l l l l l

ada dimasa lampau


l l l l l l

b) Youth justice conferencing , bentuk kedua ini diaplikasikan l l l l

pada pelaku yang sudah dewasa.


l l l l l l l

Community reparation boards and citizens’ panel. l l l l l

Panel warga (citizens’ panel) dan dewan masyarakat


l l l l l l l l l l

(community boards) memiliki sejarah yang mendahului gerakan l l l l l l l

keadilan restorative . beberapa institusi ini diperkenalkan


l l l l l l l

dinegara-negara bagian Amerika pada tahun 19-20an dengan l l l l l l l l l l l l l

tujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyakarat dalam


l l l l l l l l l l l

menghukum orang –orang muda atas pelanggaran ringan. l l l l l l l l l

Alternatif lain yang juga memberikan konteks berbeda adalah


l l l l l l l l l l

Childeren’s Hearing System di Skotlandia yang berbasis l l l l l

keselamatan bagi pelaku dibawah umum . panel disini terdiri


l l l l l l l l

atas orang-orang yang berasal dari komunitas setempat dan


l l l l l l l l l l l

mereka l yang l ditugaskan l l untuk memutus bagaimana l l l l

menangani anak-anak yang melanggar hukum dan meraka


l l l l l l l l l l l l

87
Ibid., h.47
64

yang membutuhkan perawatan dan perlindungan sebagai


l l l l l l l l l

alternatif dari pengambilan keputusan pengadilan.88


l l l l l l l l

Healing and sentencing circles.


l l

Pendekatan ini sering digunakan oleh masyarakat asli l l l l l l l l l

Canada. Healing ini bertujuan untuk memulihkan pihak yang


l l l l l l l l

menjadi korban dari suatu kejahatan atau pelanggaran.


l l l l l l l l l l l l

Adapaun
l l l tujua l utamanya l l l yaitu l menegakkan l l nilai-nilai l l

komunitas setempat untuk mengintegrasikan ulang mereka l l l l l l

yang telah melanggar nilai tersebut.


l l l l l

Menurut Griffiths dan Hamilton sentencing circle adalah l l l l l

proses atas inisiatif masyakat yang bekerja sama dengan l l l l l l l l l l l

system peradilan pidana untuk mencapai consensus mengenai l l l l l l l

rancana pemidanaan.89
l l l l l l

a) Tujuan Pemidanaan l l l l

Tujuan pemidanaan menurut Alf Rose sebagaimana yang l l l l l l l l l l

dikutip oleh Arief bahwa concept of punishment bertolak l l l l

pada dua syarat atau tujuan, yaitu:90


l l l l l l l l l

(1) Pidana l l ditujukan l pada l l pengenaan l l penderitaan l l

terhadap orang yang bersangkutan (punishment is l l l l l l

aimed at inflicting suffering upon the person upon


l l

whom it is imposed);
(2) Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan l l l l l l l l l l

terhadap perbuatan si pelaku (the punishmet is an l l l l l l

expression of the action for which it is imposed). l

88
Ibid., h.48
89
Ibid., h.49
90
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung (Citra Aditya Bakti, 1998), h. 4
65

H.L. Packer berpendapat bahwa pidana (punishment) l l l l l l l

didasarkan pada dua tujuan, yaitu:91


l l l l l l l l

(1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan l l l l l l l l l l

yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the


l l l l l l l l l l

prevention of crime or undesired conduct or effending


cunduct);
(2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang l l l l l l l l l l

layak kepada si pelanggar (the deserved infliction of


l l l l l l

suffering on evildoers/retribution for perceived wrong


doing). Sehubungan l dengan l pentingnya l

dicantumkannya tujuan pemidanaan dan pedoman


l l l l l l l l l

pemidanaan, maka dalam Konsep KUHP Tahun 2008 l l l l l l l l

diatur mengenai kedua hal tersebut.


l l l l

Nawawi l l Arief, l diadakannya l l l l tujuan l dan l pedoman l

pemidanaan di dalam konsep, bertolak dari pokok-pokok


l l l l l l l

pemikiran sebagai berikut:92 l l l

(1) Pada hakikatnya undang-undang merupakan suatu


l l l l l l l l l l

sistem (hukum) yang bertujuan (“purposive system”). l l

Dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam l l l l l l l l l l l l

undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan l l l l l l l l l l l

sarana untuk mencapai tujuan.


l l l l l l

(2) Dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan l l l l l l l l l l

merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang l l l l l l l l l l

konkretisasinya l l sengaja l l direncanakan l l l melalui l

beberapa tahap. Dimulai dari tahap “formulasi” oleh l l l l l l l l l

pembuat undang-undang (tahap kebijakan legislatif), l l l l l l l l

kemudian tahap “aplikasi” oleh badan yang berwenang l l l l l l l l l

(tahap l l kebijakan l l yudikatif) l dan l akhirnya


l l tahap
l l

91
Ibid, h. 6
92
Indung Wijayanto, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Qistie: “Disparitas Pidana Dalam
Perkara Tindak Pidana Pencurian Biasa Di Pengadilan Negeri Kota Semarang”, Vol. 7
No. 1, Mei 2014, h. 12
66

“eksekusi” oleh aparat/instansi pelaksana pidaba (tahap l l l l l l l l l l l

kebijakan eksekutif/administratif). Agar ada keterjalinan


l l l l l l l l l l

dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu


l l l l l l l l l l l l

kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan


l l l l l l l

tujuan dan pedomaan pemidanaan. l l l l l l l

(3) Sistem pemidanaan l l l yang l bertolak l dari l paham l l

individualisasi pidana, tidak berarti memberi kebebasan l l l l l l l l

sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya l l l l l l l l l l l l l

tanpa pedoman atau kendali/kontrol.


l l l l l l

Tujuan Pemidanaan diatur dalam Pasal 54 Konsep l l l l l l l l l

KUHP Tahun 2012 sebagai berikut: l l l

(1) Mencegah l dilakukannya l l l tindak l pidana l l dengan l

menegakkan l l norma l hukum demi pengayoman l l

masyarakat. l l l l memasyarakatkan l l l l l terpidana l l dengan l

mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang l l l l l l l l l

yang baik dan berguna.


l l l l

(2) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak l l l l l

pidana, l l memulihkan l keseimbangan, l l dan l

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan l l l l l l l l l l l l l l

(3) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. l l l l l l l l l l

Tujuan pemidanaan tersebut menganut pokok pemikiran


l l l l l l

monodualistis, yaitu bertolak dari dua sasaran pokok


l l l l l l l l

“perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/ pembinaan l l l l l l l l l

individu pelaku tindak pidana”; antara faktor objektif dan l l l l l l l l l

faktor subjektif; juga bertolak dari dua pilar yang sangat


l l l l l l l l l

fundamental di dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas”


l l l l l l l l l l l

(yang l merupakan l l “asas l l kemasyarakatan”) l l l l l dan l “asas l l

kesalahan/asas culpabilitas.93
l l l l l l l

93
Ibid, h. 16
67

Di indonesia l sendiri, hukum positif belum pernah l

merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang l l l l l l l l l l l

tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang


l l l l l l l l l l l

bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan


l l l l l l l l l l l

KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada l l l l l l l l l l l

Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul l l l l l l

Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan


l l l l l l l l l l l l

menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:94 l

(1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan l l l l l l l l l

kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak


l l l l l l l l l l l

(generals preventif) maupun menakut-nakuti orang l l l l l

tertentu yang l sudah l melakukan l l kejahatan l l l agarl l

dikemudian l hari l tidak l melakukan l l kejahatan l l l lagi l

(speciale preventif), atau l l l

(2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang l l l l l l

melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang


l l l l l l l l l l l

baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.


l l l l l l l l l l l l l

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat l l l l l l l l l

menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan


l l l l l l l l l l l l

resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta


l l l l l l l l l

aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi


l l l l l l l l

yang bersangkutan.
l l l

Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak l l l l l l l l l

dimaksudkan l l untuk menderitakan l l dan l merendahkan l l

95
martabat manusia. P.A.F. Lamintang menyatakan:
l l l l l l l l l l l “Pada l l

dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang


l l l l l l l l l l

ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: l l l l l l l l

94
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit. h. 1
95
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988, h. 23.
68

(1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, l l l l l

(2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan l l l l l l l l

kejahatankejahatan, dan l l l l l l l

(3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi l l l l l l

tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan l l l l l l l l l l

yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang


l l l l l l l l l l l l

lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi”.


l l l l l l l

K. Peninjauan Kembali l l l

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan l l l l l l l l l l

terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun


l l l l l l l l

bukan l berarti l pengajuan l l Peninjauan l l kembali l oleh terpidana l l

menyimpangi asas praduga tak bersalah. Karena walaupun telah ada l l l l l l l l l l l l l l l

putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap namun selama


l l l l l l l l l

masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membela dirinya
l l l l l l l l l l l l

maka selama itu pula seorang terpidana berhak atas asas praduga tak
l l l l l l l l l l l l l l l l

bersalah. Selain karena alasan menjunjung asas praduga tak bersalah,


l l l l l l l l l l l l l l l

menurut Martiman Prodjokamidjojo dalam bukunya “komentar atas l l l l l l l l l

KUHAP”, adanya upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening


l l l l l l l l l

oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh guna menghindari l l l l l l l l l

terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum, karena hakim


l l l l l l l l l l l

hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.


l l l l l l l l l l l l l

Peninjauan kembali (PK) adalah suatu upaya hukum yang dipakai l l l l l l l l l l l l

untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap l l l l l l l l l

putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebelum


l l l l l l l

berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


l l l l l l l l l

(KUHAP) berlaku, dalam sistem tata cara peradilan di Indonesia, suatu


l l l l l l l l l l l l

kasus yang berakhir dengan putusan yang memperoleh kekuatan


l l l l l l l l

hukum tetap, guna kepastian hukum maka tidak dapat dibuka kembali. l l l l l l l l l l l

Kekecualian dimungkinkan apabila terjadi ketidakadilan. l l l l l l l l l l


69

Batasan permohonan Peninjauan Kembali ini dapat dilihat dalam


l l l l l l l l l l l l

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang merumuskan: “Terhadap putusan


l l l l l l l l l l

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali


l l l l l l l l

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
l l l l l l l l l l l l l

ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali


l l l l l l l l l l l l

kepada Mahkamah Agung.” l l l l l l

Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, asas l l l l l l l l l l l l l l

pokok Peninjauan Kembali terdiri dari tiga fondasi/landasan kokoh l l l l l l l l l

dalam suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tiga landasan tersebut


l l l l l l l l l l l l l

adalah :
l l l

1. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap l l l l l l l l l l l l

putusan pemidanaan saja. l l l l l l

2. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap l l l l l l l l l l l l

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. l l l l l l

3. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh l l l l l l l l l l

terpidana atau ahli warisnya saja.96 l l l l l l l l l

Ketentuan dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP sangat jelas bahwa l l l l l l l l l l l l l

Peninjauan Kembali semata-mata hanya ditujukan bagi kepentingan l l l l l l l l l l l l

terpidana atau ahli warisnya, sehingga bila ada penyimpangan l l l l l l l l l l l l l

terhadap ketentuan tersebut akan membawa persoalan karena putusan


l l l l l l l l l l l l

yang melanggar asas peninjauan kembali merupakan putusan yang


l l l l l l l l l l l l

dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu


l l l l l l l l l l l

kekeliruan yang nyata sebagimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) l l l l l l l l l l l l l l

huruf c KUHAP.97 l

Syarat-Syarat Formil Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali


l l l l l l l l l l

Terdapat 3 (tiga) syarat formil secara kumulatif untuk mengajukan


l l l l l l l l l l

permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Pasal 263 Ayat l l l l l l l l l l l l

(1) KUHAP yaitu : l l

96
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan
Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h 4.
97
Ibid,. h 4
70

1) “Dapat dimintakan pemeriksaan di tingkat Peninjauan Kembalil l l l l l l l l l

hanya terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum


l l l l l l l l l

tetap (in kracht van gewijsde). l l l

2) Hanya terpidana atau ahli warisnya yang boleh mengajukan


l l l l l l l l l l l l

upaya hukum Peninjauan Kembali. l l l l l

3) Boleh diajukan Peninjauan Kembali hanya terhadap putusan yang l l l l l l l l l l l

menghukum/mempidana saja.” l l l l

Lebih lanjut Adami Chazawi mengatakan, bahwa : tiga syarat formil l l l l l l l l l l l l l

tersebut bersifat limitatif dan sangat tegas. Ketentuan isi rumusan Pasal l l l l l l l l l l

tersebut juga bersifat tertutup, tidak dapat ditambah oleh hakim melalui l l l l l l l l l

penafsiran, meskipun dengan alasan mencari untuk menemukan


l l l l l l l l

hukum.98
1. Syarat - Syarat Formil Mengajukan Permohonan Peninjauan
l l l l l l l l l

Kembali l

Terdapat 3 (tiga) syarat formil secara kumulatif untuk mengajukan l l l l l l l l l l

permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Pasal 263 l l l l l l l l l l

Ayat (1) KUHAP yaitu :


l l l l

“Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (in l l l l l l

kracht van gewijsde) Putusan yang dimaksud adalah putusan


l l l l l l l l l

mengenai pokok perkara, yakni putusan terhadap tindak pidana l l l l l l l l l l

yang didakwakan dalam surat dakwaan. Putusan yang demikian


l l l l l l l l l l l l l

disebut putusan akhir yang dilawankan dengan putusan yang l l l l l l l l l

bukan putusan akhir.” l l l

Oleh Utrecht disebutnya l dengan l putusan l tentang l zaak l l

(perbuatan, feit) yang setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, l l l l l l l

tunduk dan terikat pada asas ne bis in idem seba gaimana dimaksud l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 76 KUHP.


l l l l

Putusan tetap yang dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP l l l l l l l l l l l

adalah sama dengan putusan tetap yang dimaksud dalam Pasal 76


l l l l l l l l l l l l l l

KUHP. Putusan mengenai perbuatan yang didakwakan sama artinya l l l l l l l l l l l l

dengan putusan terhadap tindak pidana yang didakwakan. Putusan


l l l l l l l l l l l l

98
Ibid,. h 26
71

yang demikian pada saatnya menjadi in kracht van jewijsde, bersifat


l l l l l l l l l l l

tetap, yang menurut Pasal 76 KUHP tidak dapat dituntut kembali


l l l l l l l l

oleh Negara dengan cara apapun, tapi dapat diangkat oleh terpidana l l l l l l l l l l l l l l

untuk diperiksa l kembali l melalui l upaya l l Peninjauan l l Kembali l

(herziening).
Putusan yang bersifat tetap atau mempunyai kekuatan hukum l l l l l l l l l

tetap sudah mempunyai kekuatan eksekutorial yang sudah dapat


l l l l l l l l l l

dijalankan. Menurut Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, putusan yang dapat
l l l l l l l l l l l l

diajukan Peninjauan Kembali adalah putusan yang amarnya


l l l l l l l l l l l l l

mempidana terdakwa saja. Pengertian yang demikian didasarkan l l l l l l l l l l l l

pada kalimat “kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum”
l l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Putusan mengenai tindak pidana
l l l l l l l l l l l l

yang didakwakan, menurut pakar hukum ada 3 (tiga) macam, yaitu :


l l l l l l l l l l l l

a. Putusan bebas (vrijspraak). l l l l

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechts l l l l l l l l l

vervolging).
c. Putusan pemidanaan (veroordeling). l l l l

Terhadap jenis putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan


l l l l l l l l l l

hukum, upaya hukum Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan l l l l l l l l l l

karena
l l dapat l l diketahui l tujuan l upaya l l peninjauan l l kembali, l

dimaksudkan sebagai upaya yang memberi kesempatan kepada


l l l l l l l l l l l

terpidana untuk membela kepentingannya, agar dia terlepas dari


l l l l l l l l l l

kekeliruan pemidanaan ataupun telah dilepaskan dari segala l l l l l l l l l l l l

tuntutan hukum, sehingga tidak ada lagi alasan dan urgensi untuk
l l l l l l l l l l

99
meninjau kembali putusan yang telah menguntungkan dirinya. l l l l l l l

Terpidana atau Ahli Waris Yang Dapat Mengajukan Permohonan l l l l l l l l l l l l

Peninjauan Kembali Orang yang disebut terpidana, ialah orang


l l l l l l l l l l

(subjek hukum) yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan l l l l l l l l

99
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h 616.
72

putusan l yang l telah l mempunyai l kekuatan l l hukum tetap. l

100
Penyebutan istilah “terpidana” dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) l l l l l l l l l l l

KUHAP mengandung dua pengertian sebagai berikut : - Bahwa


l l l l l l l l

pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali perkara pidana


l l l l l l l l l l l l l

hanyalah terpidana atau ahli warisnya.


l l l l l l l l l l

Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan oleh terpidana


l l l l l l l l l l l

hanya terhadap putusan pemidanaan saja. Sesuai dengan landasan


l l l l l l l l l l l l l l l

dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali, maka terpidana berhak l l l l l l l l l l l

mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah l l l l l l l l l l l

Agung. Berdasarkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang berhak


l l l l l l l l l l l

mengajukan permohonan peninjauan kembali ialah terpidana atau l l l l l l l l l l l l

ahli warisnya. Dengan demikian, pihak lain diluar terpidana atau ahli
l l l l l l l l l l l l l

waris, sekalipun pihak tersebut merasa dirugikan oleh adanya


l l l l l l l l l

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak


l l l l l l l l l

dibenarkan hukum untuk mengajukan permohonan Peninjauan l l l l l l l

Kembali. l

Peninjauan Kembali Dapat Diajukan Hanya Terhadap Putusan l l l l l l l l l l l l

Yang Menghukum/Mempidana Saja Pembentuk undang-undang


l l l l l l l

secara tegas mengemukakan kehendaknya dalam Pasal 263 Ayat


l l l l l l l l l l l l l

(1) KUHAP, hanya terhadap putusan pemidanaan yang telah l l l l l l l l l l l

mempunyai kekuatan hukum tetap saja yang boleh mengajukan l l l l l l l l l

permohonan Peninjauan Kembali.101 l l l l

Putusan Pemidanaan dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhinya l l l l l l l l l l l l l

syarat objektif dan subjektif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.
l l l l l l l l l l l

Syarat-syarat yang dimaksud ialah sebagai berikut :


l l l l l l l l l l

a. Syarat objektif, yaitu hakim dalam memutus telah menggunakan


l l l l l l l l l

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. l l l l l l l l

b. Syarat subjektif, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut, hakim
l l l l l l l l l l

mendapat keyakinan bahwa : l l l l l l

100
Pasal 1 angka 32 KUHAP
101
Adami Chazawi, Op. Cit., h 52.
73

c. Benar telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan). -


l l l l l l l l l l l

Benar terdakwa yang melakukannya. l l l l l l l

d. Benar terdakwa bersalah (dapat dipersalahkan).


l l l l l l l l l l

Mengenai syarat formil permohonan PK diatur pada Pasal 70 dan l l l l l l l l l l

Pasal 71 UU MA seperti yang dijelaskan dibawah ini:


l l l l l l l l

a. Diajukan kepada MA melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama


l l l l l l l l l l l l

Menurut Pasal 70 ayat (1) UU MA, permohonan PK : l l l l l l

1) Diajukan pemohon kepada MA. l l l l l

2) Tetapi mekanismenya harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat. l l l l l l l l l

Pertama yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. l l l l l l l l l l

Bertitik tolak dari ketentuan ini, pengajuan permohonan PK l l l l l l

yang langsung disampaikan kepada MA, dianggap salah alamat.


l l l l l l l l l l l l l l l

Karena undang-undang sendiri dengan tegas mengatakan harus


l l l l l l l l l l

melalui l Ketua l Pengadilan l l Tingkat l Pertama. l l S ekiranya l l

permohonan langsung disampaikan kepada MA, permohonan itu l l l l l l l l l

akanl l dikembalikan l l ke Pengadilan l l Tingkat l Pertama l l yang l

bersangkutan, agar menyelesaikan administrasi yustisial yang


l l l l l l l l l l

berkenaan dengan permohonan itu. Jadi selain tindakan itu l l l l l l l l

melanggar mekanisme yang ditentukan, juga akan memperlambat


l l l l l l l l l l

proses penyelesaian administrative yustisial yang diperlukan. l l l l l l l

Sehubungan dengan itu, mekanisme pengajuan permohonan l l l l l l

PK yang tepat menurut Pasal 71 ayat (1) UU MA, ialah l l l l l l l l l

memasukkan permohonan itu di paniteraan Pengadilan yang l l l l l l l l l

memutus perkara itu pada tingkat pertama. Bukan dimasukkan di l l l l l l l l l l

kepaniteraan MA. l l l l

b. Membayar Biaya Perkara l l l l l l

Syarat formil selanjutnya, membayar biaya yang diperlukan di


l l l l l l l l l l

kepaniteraan l l l Pengadailan l l l Tingkat l Pertama. l l Mengenai l

pembayaran biaya perkara, merupakan syarat formil yang melekat l l l l l l l l l l l l l

pada setiap pengajuan permohonan berperkara. Pada saat


l l l l l l l l l l l l

pengajuan gugatan, juga diikuti dengan pembayaran panjar biaya


l l l l l l l l l l l l l
74

perkara agar gugatan itu didaftarkan. Begitu juga pada permintaan


l l l l l l l l l l l l l l

banding dan kasasi, keabsahan formilnya digantungkan pada


l l l l l l l l l l l l

pembayaran biaya banding dan kasasi. Demikian halnya pada


l l l l l l l l l l l l l l

permohonan PK, Pasal 70 ayat (1) UU MA, mensyaratkan agar l l l l l l l l l l l

permohonan PK dibarengi dengan membayar biaya perkara yang l l l l l l l l l l

diperlukan. Selama biaya perkara PK belum dibayar, permohonan l l l l l l l l l l

PK belum dapat didaftarkan. l l l l l

c. Permohonan Diajukan Secara Tertulis l l l l l

Menurut Pasal 71 ayat (1) UU MA, permohonan PK diajukan l l l l l l l l

pemohon.
1) Secara tertulis (schriftelijk,in writing) l l

2) Tidak dibenarkan secara lisan (mondeling, orally)


l l l l l l l

Akan tetapi, Pasal 71 ayat (2) UU MA member pengecualian


l l l l l l l l l l

kepada pemohonan yang tidak dapat menulis. Bagi mereka diberi


l l l l l l l l l

kelonggaran untuk menguraikan permohonan PK secara lisan di l l l l l l l l

hadapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau dihadapan


l l l l l l l l l l l l l l

hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan tersebut. Ketua


l l l l l l

pengadilan atau hakim yang menerima uraian atau dasar


l l l l l l l l l l l l l

permohonan secara lisan itu membuat catatan tertulis atas l l l l l l l l l l

permohonan dimaksud. l l

Pengecualian kebolehan menyampaikan uraian permohonan l l l l l l l l l

secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan atau hakim, menurut


l l l l l l l l l l l l

pasa 71 ayat (2) diberikan kepada pemohonan yang tidak dapat


l l l l l l l l l l l l

menulis. Bagaimana halnya, kalau pemohon dapat membaca dan l l l l l l l l l l l l l

menulis, tetapi tidak dapat menulis secara teknis dan yuridis l l l l l l l

permohonan PK. Yang dimaksud tidak dapat menulis pada Pasal l l l l l l l l l l

71 ayat (2) itu, bukan dalam arti pemohon buta huruf. Akan tetapi,
l l l l l l l l l l

harus ditafsirkan meliputi mereka yang pandai menulis dan


l l l l l l l l

membaca, namun tidak dapat menulis permohonan PK yang l l l l l l l l

memuat aspek teknis dan yuridis. l l l


75

Selanjutnya, Pasal 71 UU MA mengatur hal-hal yang mesti


l l l l l l l l l

disebut dalam surat permohonan. Minimal surat permohonan itu l l l l l l l

harus menyebutkan sejelas jelasnya alsan yang dijadikan dasar


l l l l l l l l l l l l

permohonan PK. Surat permohonan yang tidak menyebut alas an l l l l l l l l

yang menjadi dasar pemohon PK, dianggap tidak memenuhi


l l l l l l l

syarat. l l

Surat permohonan dianggap juga tidak memenuhi syarat l l l l l l l l

apabila alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan PK, tidak


l l l l l l l l l l l l l l l l

sesuai dengan salah satu alas an yang disebut Pasal 67 UU MA.l l l l l l l l l l l l

Surat permohonan berisi berbagai macam alas an, namun dari


l l l l l l l l l l l

sekian banyak alas an itu, tidak satupun yang sesuai dengan alas
l l l l l l l l l l l l l

an limitative yang disebut pada Pasal 67 UU MA. Surat


l l l l l l l l l

permohonan yang demikian, dianggap tidak memenuhi syarat l l l l l l l l

yang ditentukan Pasal 71 ayat (1) UU MA. Permohonan yang


l l l l l l l l l

demikian harus ditolak. l l l

Dalam praktik, surat permohonan PK disebut Risalah Pk. Jadi,


l l l l l l l l

didalam risalah PK, sekaligus termuat permohonan PK dan alas


l l l l l l l l l l

an PK. Tidak dipisah antar surat permohonan dengan alas an atau


l l l l l l l l l l l l l

risalah PK. Hal ini agak berbeda dengan permohonan kasasi.


l l l l l l l l l l

Antara permohonan dengan kasasi dipisah dalam dua surat yang


l l l l l l l l l l l l l

berbeda. Lain permohonan kasasi, lain pula memori kasasi. Akan l l l l l l l l l l l

tetapi, hai ini tidak mengurangi kebolehan memisahkannya dalam


l l l l l l l l l l

dua surat. Suatu permohonan PK saja dan yang kedua risalah PK


l l l l l l l l l l l

yang berisi alas an yang menjadi dasar permohonan PK.


l l l l l l l l l

Permohonan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan yang l l l l l l l l l

memutus perkara itu pada tingkat pertama. l l l l l l l


76

Memberikan Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan Pemohon l l l l l l l l l

Proses selanjutnya mengiringi permohonan PK, diatur pada Pasal l l l l l l l l

72 UU MA, seperti yang dijelaskan dibawah ini .


l l l l l l

a. Panitera
l l Wajib l Memberikan l atau l l Mengirimkan l Salinan l l

Permohonan kepada Pihak Lawan l l l l l l

Tindakan hukum yang pertama yang mesti dilakukan panitera


l l l l l l l l l l

setelah menerima permohonan PK :


l l l

1) Panitera l l Pengadilan l l Tingkat l Pertama l l tersebut wajib l

memberikan atau mengirimkan salinan permohonan kepada l l l l l l l l l

pihak lawan, l l l

2) Mengenai pelaksanaan kewajiban ini bersifat alternative : l l l l l l l l l l

a) Boleh diberikan secara langsung kepada pihak lawan melalui l l l l l l l l l l

juru sita, atau l l l

b) Dapat mengirimkan salinan permohonan itu melalui surat


l l l l l l l l

tercatat oleh Kantor pos atau badan lain yang bergerak di l l l l l l l l l l

bidang itu. l

Cara mana yang ditempuh panitera apakah menyerahkan


l l l l l l l l l l l l

langsung l atau l l mengirimkannya, l l sama-sama l l l l dibenarkan l l

hukum.
b. Tenggang Waktu Pemberian Salinan, Selambat-lambatnya dalam
l l l l l l l l l l l l

Waktu 14 Hari.
l l

Menurut Pasal 72 ayat (1) UU MA, kewajiban panitera l l l l l l l l l

memberikan atau mengirimkan salinan permohonan PK kepada l l l l l l l l l

pihak lawan :
l l l

1) Selambat-lambatnya l l l l l dalam l l waktu l 14 hari l dari l tanggal l l

penerimaan permohonan PK. l l l

2) Tenggang waktu ini bersifat imperative, tidak boleh dilampaui, l l l l l l l

oleh karena itu betul-betul harus dilaksanakan dalam tenggang l l l l l l l l l l

waktu 14 hari oleh panitera yang bersangkutan.


l l l l l l l
77

Kepada panitera yang tidak melaksanakan kewajiban ini tepat l l l l l l l l l l l l l

waktu, perlu dilaksanakan hukum administrative yang setimpal,


l l l l l l l l l

karena dianggap melakukan tindakan yang tidak professional


l l l l l l l l l l l

(unprofessional conduct) l

2. Pihak Lawan Berhak Mengajukan Jawaban


l l l l l l l l l

Pasal 72 ayat (1) UU MA, member hak kepada pihak lawan


l l l l l l l l l l l

mengajukan dan menyampaikan jawaban atau Kontra Risalah PK


l l l l l l l l l l l l l l

terhadap Risalah PK yang menyampaikan diajukan pemohon.


l l l l l l l l l l

Bahkan menurut Pasal 72 ayat (1) tersebut, maksud tujuan


l l l l l l l l

memberikan salinan permohonan kepada pihak lawan adalah dalam l l l l l l l l l l l l l l

rangka agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan


l l l l l l l l l l l l

jawaban atau Kontra Risalah PK.


l l l l l l l l

a. Kebolehan Mengajukan Jawaban,Terbatas pada Alasan Pasal 67 l l l l l l l l l l l l l l l

Huruf a atau b UU MA l l l l

Tidak terhadap semua permohonan PK dapat diajukan jawaban l l l l l l l l l l l l

oleh pihak lawan. Menurut Pasal 72 ayat (1) UU MA, posisi pihak l l l l l l l l l

lawan
l l mwnghadapi l l permohonan l PK, terpecah l pada l l dua l

klasifikasi: l l

1) Dalam hal permohonan PK didasarkan atas alas an Pasal 67 l l l l l l l l l l l l l l

huruf a atau b UU MA, pihak lawan mempunyai hak l l l l l l l l l

mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK. l l l l l l l l l l

Jadi, kalau alasan yang mendasari permohonan PK adalah


l l l l l l l l l l l l l

kebohongan atau tipu muslihat atau didasarkan pada bukti- l l l l l l l l l l l

bukti yang dinyatakan palsu oleh hakim pidana (Pasal 67 huruf l l l l l l l l l l

a) maupun atas alasan ditemukan surat-surat bukti yang


l l l l l l l l l l l

bersifat menentukan atau novum (Pasal 67 huruf b), maka l l l l l l l l

pihak l lawan l l berhak l atau l l dapat l l mengajukan l l jawaban l l l

permohonan PK. l
78

2) Dalam hal permohonan PK didasarkan atas salah satu alasan


l l l l l l l l l l l l l l l

yang disebut Pasal 67 huruf c dengan huruf f, pihak lawan tidak


l l l l l l l l

mempunyai hak mengajukan jawaban. l l l l l l l

Diluar alasan permohonan PK yang disebut Pasal 67 huruf a l l l l l l l l l

atau b, pihak lawan tidak berhak mengajukan jawaban. Menurut


l l l l l l l l l l l l

Pasal 72 ayat (1) huruf b, kalau alasan permohonan PK terdiri


l l l l l l l l l l

dari Pasal 67 huruf c,d,e,dan f :


l l l l

a) Pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban. l l l l l l l l l l l

b) Maksud dan tujuan pemberian atau pengiriman salinan l l l l l l l l l

permohonan PK kepada pihak lawan jika alasan-alasan l l l l l l l l l l l l l

permohonan PK terdiri dari Pasal 67 huruf c,d,e,atau f, l l l l l l

bukan untuk menyusun jawaban, tetapi hanya dalam rangka l l l l l l l l l l l

agar pihak lawan dapat mengetahui adanya permohonan


l l l l l l l l l l l l

PK.
Demikian l patokan l l yang l digariskan l l undang-undang l l

sehubungan dengan hak pihak lawan mengajukan jawaban. l l l l l l l l l l l

Hanya terbatas terhadap permohonan yang berisi alasan Pasal


l l l l l l l l l l l l l

67 huruf a atau b. Terhadap alasan selebihnya, pihak lawan l l l l l l l l l l l l

mempunyai hak mengajukan jawaban. l l l l l l l

b. Tenggang Waktu Mengajukan Jawaban l l l l l l l

Tentang tenggang waktu untuk mengajukan jawaban oleh pihak l l l l l l l l l

lawan diatur pada Pasal 79 ayat (2) UU MA, yakni 30 hari setelah
l l l l l l l l l l l l l

pihak lawan menerima salinan permohonan PK.


l l l l l l l

Kalau jawaban atau Kontra Risalah PK itu diajukan dalam


l l l l l l l l l l l l l l

tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan


l l l l l l l l l l

permohonan l PK, menurut hukum Majelis l PK harus l

memperhatikan dan menilai jawaban tersebut. Sebaliknya, apabila l l l l l l l l l l l l

pengajuan jawaban itu melampaui batas tenggang waktu yang


l l l l l l l l l l l l

ditentukan Pasal 72 ayat (2) UU MA, tidak ada kewajiban hukum l l l l l l l l l l l

bagi Majelis PK untuk memperhatikan dan menilainya.


l l l l l l l
79

c. Jawaban Diserahkan atau Dikirimkan kepada Pengadilan yang


l l l l l l l l l l l l l

Memutuskan Perkara Itu dalam Tingkat Pertama. Menurut Pasal l l l l l l l l l l

72 ayat (1) UU MA, surat jawaban pihak lawan diserahkan atau


l l l l l l l l l l l l l l

dikirimkan kepada kepada Pengadilan yang memutus perkara itu l l l l l l l l l l

pada tingkat pertama. Boleh diserahkan langsung atau dikirimkan


l l l l l l l l l l l

melalui surat tercatat kepada Pengadilan yang memutus perkara


l l l l l l l l l l l

itu pada tingkat pertama. Tidak dibenarkan langsung diberikan l l l l l l l l l l

atau
l l dikirimkan l kepada l l MA. l Demikian l mekanisme l cara l l

penyampaian jawaban yang harus ditaati pihak lawan agar l l l l l l l l l l l l l l l

jawaban itu memenuhi syarat formil.


l l l l l

d. Panitera Membubuhi Cap, Hari, serta Tanggal Penerimaan


l l l l l l l l l

Jawaban. l l l

Pasal 72 ayat (3) UU MA, mengatakan Panitera Pengadilan


l l l l l l l l l l l l

yang menerima jawaban itu untuk melakukan tindakan hukum,


l l l l l l l l l

berupa : l

1) Membubuhi cap, hari, dan tanggal dimaksud menjadi landasan l l l l l l l l l l

fakta memperhitungkan apakah pengajuan jawaban itu masih


l l l l l l l l l l l l

dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan


l l l l l l l l l l l l

permohonan PK. l

2) Menyampaikan atau mengirimkan salinan jawaban kepada l l l l l l l l l l l l l

pihak pemohon PK. l

Tugas selanjutnya Panitera setelah membubuhi cap, hari, dan l l l l l l l l l

tanggap l l atas l l penerimaan l l jawaban, l l l menyampaikan l l l atau l l

mengirimkan salinan jawaban itu kepada pihak pemohon PK. l l l l l l l l l

Tujuannya menurut Pasal 72 ayat (3) UU MA, agar pemohon l l l l l l l l l

mengetahui adanya jawaban dari pihak lawan. Bukan untuk l l l l l l l l l l l l

ditanggapi atau dibantahi, tetapi sebatas untuk diketahui saja.


l l l l l l l l l l l l

Diajukan gambaran proses dan mekanisme yang berkaitan


l l l l l l l l l l

dengan jawaban yang diajukan pihak lawan sesuai dengan yang l l l l l l l l l l l l l

digariskan Pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) UU MA. Harus diajukan
l l l l l l l l l l l

paling l lambat l l 30 hari l dari l tanggal l l penerimaan l l salinan l l


80

permohonan, dan selanjutnya diserahkan atau dikirimkan kepada l l l l l l l l l l l

Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. l l l l l l l l l l

3. Pengiriman Berkas Perkara PK ke MA l l l l l

Pasal 72 ayat (4) UU MA, mengatur pengiriman berkas perkara


l l l l l l l l l l

PK kepada MA. Yang penting diperhatikan mengenai pengiriman l l l l l l l l

berkas perkara tersebut, antara lain sebagai berikut.


l l l l l l l l l

a. Panitera Melakukan Pengiriman


l l l l l

Panitera yang dibebani tugas mngirimkan berkas perkara PK


l l l l l l l l l

kepada MA, dalam hal ini, Panitera Pengadilan yang memutus


l l l l l l l l l l l

perkara itu pada tingkat pertama. l l l l l l l

b. Yang Dikirim ke MA
l l

Yang harus dikirimkan Panitera ke MA,meliputi :


l l l l l l

1) Berkas perkara yang lengkap l l l l l

Berkas perkara yang lengkap dalam permohonan PK meliputi l l l l l l l l

semua dokumen, berita acara, memori dua kontra memori l l l l l l l

banding dan kasasi serta putusan tingkat pertama, tingkat


l l l l l l l l l l

banding, dan kasasi. Itulah yang harus dikirimkan Panitera ke


l l l l l l l l l l

MA. l

2) Biaya Perkara PK l l l l

Yang kedua yang mesti dikirimkan panitera ke MA adalah biaya


l l l l l l l l l l l l

perkara PK. Tanpa pengiriman biaya perkara, permohonan PK l l l l l l l l l l

tidak dapat didaftarkan di MA. l l l l l l l

c. Tenggang Waktu Pengiriman Berkas Perkara PK l l l l l l

Mengenai tenggang waktu pengiriman berkas perkara PK dan l l l l l l l l

biaya perkara diatur pada Pasal 72 ayat (2) UU MA, selambat-


l l l l l l l l l l l l l l

lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.


l l l l l l l l l

Akan tetapi Pasal ini tidak menentukan patokan darimana


l l l l l l l l l l l l

dihitung jangka waktu 30 hari tersebut. Pasal itu hanya memuat l l l l l l l l l

rumusan dalam kalimat yang berbunyi : l l l l l l


81

“…dikirim kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya l l l l l l l l l l l

dalam jangka waktu 30 hari.”


l l l l l l

Rumusan itu tidak jelas (unclear outline) dan bisa menimbulkan l l l l l l l

multitafsir. Bisa ditafsirkan dalam jangka waktu 30 hari tanggal


l l l l l l l l l l l l

penerimaan permohonan. Boleh juga dikonstruksi paling lambat l l l l l l l

dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau


l l l l l l l l l l l l

pengiriman salinan permohonan kepada pihak lawan. Yang paling l l l l l l l l l l l

rasional dan objektif, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30


l l l l l l l l l l l l l

hari dari tanggal penerimaan jawabandari pihak lawan. Akan


l l l l l l l l l l l l l l l

tetapi, patokan ini tidak selamanya valid. Sebab patokan ini tidak
l l l l l l l l l l l l

selamanya melekat pada permohonan PK. Jika


l l l l l l l l alas an l l l

permohonan PK berdasarkan Pasal 67 huruf c,d,e,atau f, tidak l l l l l l l l l

ada hak pihak lawan mengajukan jawaban, sehingga pada kasus


l l l l l l l l l l l l l l l

permohonan PK yang demikian, tidak adapat diterapkan patokan l l l l l l l l l l l

dalam jangka waktu 30 hari tanggal penerimaan jawaban, karena


l l l l l l l l l l l l l l l

memang tidak ada jawaban. Sehubungan dengan itu, perhitungan


l l l l l l l l l l

dengan yang rasional dan objektif menentukan jangka waktu


l l l l l l l l l

pengiriman dapat diklasifikasikan sebagai berikut: l l l l l l l l

1) Dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan jawaban


l l l l l l l l l l l l l l

apabila alasan PK berdasarkan Pasal 67 huruf a atau b,


l l l l l l l l l l l l l l

2) Dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau


l l l l l l l l l l l l

pengiriman l salinan l l permohonan l PK, apabila l l l alas l l an l

permohonan PK berdasarkan Pasal 67 huruf c,d,e atau f. l l l l l l l l

Demikian alternative patokan memperhitungkan jangka waktu l l l l l l l l l

pengiriman berkas perkara PK ke MA yang dianggap realistik l l l l l l l l l

objektif. Bertitik tolak dari patokan ini, Ketua Pengadilan yang l l l l l l l l

bersangkutan mempunyai pegangan yang jelas untuk melakukan


l l l l l l l l l

pengawasan terhadap proses pengiriman berkas perkara PK ke


l l l l l l l l l

MA. l
82

4. Syarat-Syarat Materiil Mengajukan Permohonan Peninjauan


l l l l l l l l l l

Kembali l

Syarat-syarat materiil mengajukan permohonan upaya hukum


l l l l l l l l l l

Peninjauan Kembali secara limitatif dicantumkan dalam Pasal 263 l l l l l l l l l l l l

Ayat (2) KUHAP sebagai berikut :


l l l l l

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,


l l l l l l l l l l l l l l

bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
l l l l l l l l l l l l l

berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan l l l l l l l l l l l

lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum


l l l l l l l l

tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan


l l l l l l l l l l l l

ketentuan pidana yang lebih ringan. l l l l l

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa


l l l l l l l l l l l l l l l

sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar l l l l l l l l l l l l l l l

dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata


l l l l l l l l l l l l

telah bertentangan satu dengan yang lain.


l l l l l l l

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan


l l l l l l l l l l l

Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.


l l l l l l l l

Dengan kata lain, syarat materiil agar permohonan Peninjauan l l l l l l l l l l l l

Kembali dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, l l l l l l l l l l l

yaitu:
l

a. Adanya keadaan baru (novum),


l l l l l l l

b. Ada beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van


l l l l l l l l l l

rechtspraak) dan l l l

c. Putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau l l l l l l l l l l

kekeliruan nyata. l l l

d. Apabila Terdapat Keadaan Baru (novum) Alasan pertama yang


l l l l l l l l l l l l l l l

dijadikan landasan mendasari permohonan Peninjauan Kembali


l l l l l l l l l l l

adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat


l l l l l l l l l l l l l l l l

dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan


l l l l l l l l l l l l l l l l

baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan


l l l l l l l l l l

kuat”: l
83

1) Jika seandainya keadaan baru diketahui atau ditemukan dan


l l l l l l l l l l l l l

dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi l l l l l l l l l l

faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau


l l l l l l l l l l l

putusan lepas dari segala tuntutan hukum. l l l l l l

2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu


l l l l l l l l l l l

sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk


l l l l l l l l l l

menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut l l l l l l l l

umum tidak dapat diterima l l l l

3) Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan


l l l l l l l l l l l l

dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. l l l l l l l l

Keadaan baru dalam praktik sering disebut dengan novum,


l l l l l l l l

tidak sama artinya dengan alat bukti baru. Harus dibedakan


l l l l l l l l l l l l

antara “alat bukti baru” dan “bukti baru” atau keadaan baru
l l l l l l l l l l l l l l

(novum). Sesungguhnya novum itu bukan alat bukti baru, tetapi isi l l l l l l

dari alat bukti yang baru diajukan atau ditemukan yang di dalam
l l l l l l l l l l l l l

KUHAP menyebutnya dengan keadaan baru. Karena keadaan


l l l l l l l l l l l l

baru tidak terpisahkan dengan alat bukti baru, dengan demikian


l l l l l l l l l l

alat bukti tersebutlah yang baru ditemukan. Baru bukan berarti


l l l l l l l l l

keberadaan alat bukti yang memuat keadaan tersebut baru. Hal l l l l l l l l l l l l

itulah l yang l membedakan l l dengan l suatu l alat l l bukti yang l

ditimbulkan atau dibuat setelah putusan bersifat tetap, seperti l l l l l l l l

halnya putusan pengadilan lain atau dibuatnya suatu akta setelah


l l l l l l l l l l l l l l

putusan bersifat tetap.102 l l l

Secara umum, novum harus mempunyai peran atau pengaruh l l l l l l l l

yang sangat kuat, atau menentukan untuk dapat menjatuhkan


l l l l l l l l l l l

amar putusan pembebasan, lepas dari segala tuntutan hukum,


l l l l l l l l l l

tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ataupun diterapkan l l l l l l l l l

ketentuan pidana yang lebih ringan. Apabila Terdapat Putusan l l l l l l l l l l l

Yang Saling Bertentangan (conflict van rechtspraak) Alasan kedua


l l l l l l l l l l l

102
Adami Chazawi, Op. Cit., h 62-63.
84

yang dapat dipergunakan sebagai dasar permohonan Peninjauan


l l l l l l l l l l l l

Kembali, yakni apabila dalam berbagai putusan terdapat : l l l l l l l l l l l l

1) Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti. l l l l l l l

Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu l l l l l l l l l l l l

dijadikan sebagai dasar dan alas an putusan dalam suatu


l l l l l l l l l l l l l l

perkara. l l

2) Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang
l l l l l l l l l l l l l l l l

dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang l l l l l l l l l l l

satu dengan yang lainnya.103


l l l l l

Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan Alasan


l l l l l l l l l l l l l l l l

ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permohonan Peninjauan


l l l l l l l l l l l

Kembali, apabila dalam putusan terdapat dengan jelas ataupun l l l l l l l l l l l l l

terlihat dengan nyata : l l l l

1) Kekhilafan hakim. l l l

2) Kekeliruan hakim. l l

Kekhilafan berasal dari kata khilaf, yang artinya keliru atau l l l l l l l l l l l l l

salah (yang tidak disengaja). Kekhilafan artinya kekeliruan atau


l l l l l l l l l l l l l

kesalahan yang tidak disengaja. Sesuai dengan ketentuan Pasal


l l l l l l l l l l l l

197 Ayat (1) KUHAP, bahwa isi dalam sebuah putusan pengadilan
l l l l l l l l l l l

perkara pidana harus memuat 12 bagian. Di antara 12 bagian


l l l l l l l l l l l l l

tersebut terdapat 10 bagian yang sifatnya imperatif, yang bila tidak l l l l l l l l l l l

dimuat, putusan terancam batal demi hukum. Oleh sebab itu,


l l l l l l l

tanpa memuat salah satu di antara 10 bagian tersebut,


l l l l l l l l l l l

merupakan kekhilafan hakim. Namun bila hanya tidak memuat 2 l l l l l l l l l l l

bagian, tidak terancam batal demi hukum.104


l l l l l l l

Dalam hal yang berhubungan dengan alasan mengajukan


l l l l l l l l l l l

permohonan l Peninjauan l l Kembali, l yang l terpenting adalah l l l

kekhilafan pada bagian pertimbangan hukum dan pada amar l l l l l l l l l l l l l

putusan sebagaimana dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf d dan huruf l l l l l l l l l l l l

103
M. Yahya Harahap, Op. Cit., h 621.
104
Adami Chazawi, Op. Cit., h 84
85

h KUHAP. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata yang


l l l l l l l l l l l

menyangkut pertimbangan hukum dan amar putusan, dapat


l l l l l l l l l

disebabkan oleh beberapa hal atau keadaan, diantaranya sebagai


l l l l l l l l l l l l l l l l

berikut :
1) Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya yang secara l l l l l l l l l l

nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma


l l l l l l l l l l l

hukum.
2) Amar l l putusan l yang l sama l l sekali l tidak l didukung oleh
pertimbangan hukum. Tiap bunyi amar harus mempunyai dasar l l l l l l l l l

pertimbangan dalam putusan. Apabila pertimbangan hukumnya l l l l l l l l l l l

tidak mendukung amar yang ditarik dalam putusan, putusan itu


l l l l l l l l l

merupakan putusan memperlihatkan kekhilafan hakim atau l l l l l l l l l l

kekeliruan nyata. l l l

3) Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta


l l l l l l l l l l l l

(feitelijke dwaling) maupun kesesatan hal hukumnya (dwaling l l l l l l l

omtrent het recht). Maksud kesesatan fakta, ialah putusan l l l l l l l l

keliru disebabkan hakim mempertimbangkan segala sesuatu l l l l l l l l

keadaan yang bukan merupakan kebenaran sejati melainkan


l l l l l l l l l l l l

merupakan l l suatu l keadaan l l l semu yang l diciptakan l l dan l

direkayasa menjadi seolah-olah kebenaran sejati meskipun


l l l l l l l l l

segala sesuatu tersebut diperoleh dalam sidang pengadilan.


l l l l l l l l

5. Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali l l l l

a. Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada l l l l l l l l l

Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang


l l l l l l l l l

memutus perkara dalam tingkat pertama. l l l l l l l

b. Membayar biaya perkara. l l l l l l

c. Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan l l l l l l l l l l l

maupun tertulis.
l

d. Bila permohonan diajukan secara tertulis maka harus disebutkan


l l l l l l l l l l

dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan


l l l l l l l l l l l l
86

dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus


l l l l l l l l

perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No.


l l l l l l l l l l l

14/1985)
e. Bila l diajukan l l secara l l lisan l maka l l ia l dapat l l menguraikan l l

permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri l l l l l l l l l l l

yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua


l l l l l l l l l l l

Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang l l l l l l l l l l

permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985) l l l l l

f. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara l l l l l l l l l

lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan l l l l l l l l l l l l

sekali. l

g. Setelah l Ketua l Pengadilan l l Negeri menerima l permohonan l

peninjauan l l kembali l maka l l panitera l l berkewajiban l l untuk


memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut l l l l l l l

kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan


l l l l l l l l l l l

agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (Pasal 72 ayat (1)
l l l l l l l l l l l l l l

UU No. 14/1985)
h. Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima
l l l l l l l l l l l l

salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka


l l l l l l l l l l l

jawaban tidak akan dipertimbangkan (Pasal 72 ayat (2) UU No.


l l l l l l l l l l l l

14/1985).
i. Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh
l l l l l l l l l l l

panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk


l l l l l l l l l

selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk


l l l l l l l l l l l l

diketahui (Pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985). l l l l l

j. Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara l l l l l l l l l

beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling l l l l l l l l l l l l

lambat 30 hari (Pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).


l l l l l l l

k. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan l l l l l l l l l l

sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan l l l l l l


87

kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 UU No.


l l l l l l l l l l l

14/1985).
6. Prosedur Permohonan dan Pengiriman Berkas Perkara ke l l l l l l

Mahkamah Agung
l l l l

Mengenai tata cara Permohonan Peninjauan Kembali dan l l l l l l l l l l

pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali ke MA dapat


l l l l l l l l l l

dijelaskan sebagai berikut :


l l l l

1. Yang Berhak Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)


l l l l l l l l

Tentang siapa saja yang berhak atau yang dapat mengajukan


l l l l l l l l l l l l l l

permohonan PK, diatur pad Pasal 68 ayat (1) UU MA, l l l l l l l l

berdasarkan urutan prioritas berikut:


l l l l l

a. Para Pihak yang Berperkara


l l l l l l

Ketentuan ini sesuai dengan system yang dianut hukum l l l l l

acara yang tidak menentukan kewajiban secara mutlak mesti


l l l l l l l l l l l

diwakili oleh pengacara atau kuasa di depan pengadilan. Yang


l l l l l l l l l l l l

dianut adalah system bebas diwakili oleh kuasa


l l l l l l l l ataul l

pengacara. Dengan demikian, Pasal 68 ayat (1) UU MA, yang l l l l l l l l l l l

menempatkan pihak materiil berada pada kedududkan prioritas l l l l l l l l l l

pertama untuk mengajikan permohonan PK, sudah tepat dan l l l l l l l l

benar. l

Jadi berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU MA, permohonan PK


l l l l l l l l l l

dapat diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara secara


l l l l l l l l l l l l

pribadi (in person). l

b. Oleh Ahli waris l l

Urutan berikutnya adalah ahli waris. Apabila pihak yang l l l l l l l l l l l l

berperkara telah meninggal dunia, terbuka hak ahli waris untuk l l l l l l l l l

mengajukan permohonan PK. Selama para pihak yang l l l l l l l l l

berperkara masih hidup, tertutup hak ahli waris untuk l l l l l l

mengajukan permohon PK. Hal ini sesuai dengan asas umum, l l l l l l l

bahwa hak ahli waris baru terbuka menggantikan hak pewaris


l l l l l l l l l l l
88

setelah warisan itu terbuka terhitung sejak pewaris meninggal l l l l l l l

dunia. l

c. Oleh Seorang Wakil l l

Urutan selanjutnya, adalah wakil yang bertindak sebagai l l l l l l l l l l l

kuasa berdasarkan Pasal 1795 KUH Perdata jo. Pasal 123 HIR,
l l l l l l l l l l l

yakni seseorang yang diberi kuasa oleh pihak yang berperkara


l l l l l l l l l

atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK untuk dan atas


l l l l l l l l l l l

nama pemberi kuasa.


l l l l

Dalam keadaan seperti ini, pihak yang berperkara atau ahli


l l l l l l l l l l l l

warisnya bertindak sebagai sebagai pihak materiil yang biasa


l l l l l l l l l l l l

disebut principal, sedang kuasa atau wakil bertindak sebagai l l l l l l l l l l

pihak formil untuk kepentingan principal.


l l l

Jadi, syarat formil yang mendukung validitas permohonan


l l l l l l l

PK oleh seseorang wakil mesti dituangkan dalam bentuk surat l l l l l l l

kuasa khusus yang dibuat secara khusus untuk itu, terpisah


l l l l l l l

dan berdiri sendiri dari pemberian kuasa untuk tingkat pertama,


l l l l l l l l

banding atau kasasi. Bentuknya boleh aktaautentik atau


l l l l l l l l l l l

dibawah tangan. l l l l

d. Ahli Waris Dapat Melanjutkan Permohonan


l l l l l l l

Pasal 68 ayat (2) UU MA mengatur kebolehan melanjutkan


l l l l l l l l l

permohonana PK oleh ahli waris pemohon dengan syarat, l l l l l l l

apabila selama proses permintaan PK, pemohon meninggal


l l l l l l l l

dunia. Dengan kata lain, apabila pemohon meninggal dunia


l l l l l l l l l l

sebelum putusan PK dijatuhkan : l l l

1) Ahli waris pemohon dapat melanjutkan permohonan PK


l l l l l l l

tersebut,
2) Untuk itu, ahli waris harus menyampaikan surat pernyataan l l l l l l l l l l

melanjutkan permohonan PK yang diajukan pewaris. l l l l l l l

L. Pengertian Kesehatan
l l l
89

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan social l l l l l l l l l l l l l l l l

yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial


l l l l l l l

danekonomi. Sedangkan istilah sehat dalam kehidupan sehari-hari


l l l l l l l l l l

seringdipakai untuk menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara l l l l l l l l l l l l l

normal.Bahkan benda mati pun seperti kendaraan bermotor atau


l l l l l l l l l l

mesin, jikadapat berfungsi secara normal, maka seringkali oleh l l l l l l l l l

pemiliknya l dikatakanbahwa l l l l l kendaraannya l l l l dalam l l kondisi sehat. l

Kebanyakan orangmengatakan sehat jika badannya merasa segar dan


l l l l l l l l l l l l l l l l

nyaman. Bahkanseorang dokterpun akan menyatakan pasiennya sehat


l l l l l l l l l l l l l

manakala menuruthasil pemeriksaan yang dilakukannya mendapatkan


l l l l l l l l l l l l l l

seluruh tubuh pasienberfungsi secara normal. Namun demikian, l l l l l l

pengertian sehat yangsebenarnya tidaklah demikian. Pengertian sehat l l l l l l l l l l

menurut UU PokokKesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah l l l l l l l l l

keadaan yang meliputikesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan


l l l l l l l l l l l l l

sosial, serta bukanhanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan


l l l l l l l l l l l l l l

kelemahan. l l

Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan


l l l l l l l l l l l l l

meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau l l l l l l l l l l l

masyarakat. Tenaga
l l l l l l Kesehatan l l adalah l l l setiap l orang l yang l

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan


l l l l l l l l l l

dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang


l l l l l l l l l l l

untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya l l l l l l l

kesehatan. Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk l l l l l l l l l l l l l l

menyelenggarakan upaya kesehatan.Dan Kesehatan adalah sesuatu l l l l l l l l l l l l l l

yang sangat berguna bagi kita semua, karena kesehatan adalah modal
l l l l l l l l l l l l l l l

dasar bagi setiap orang untuk melakukan segala aktivitas dengan baik
l l l l l l l l l l l l l

dan maksimal.
l l l

Pendekatan yang digunakan pada abad ke-21, sehat dipandang l l l l l l l l l l l l

dengan perspektif yang lebih luas.Luasnya aspek itu meliputi rasa


l l l l l l l l

memiliki kekuasaan, hubungan kasih sayang, semangat hidup, jaringan l l l l l l l l l l l

dukungan sosial yang kuat, rasa berarti dalam hidup, atau tingkat l l l l l l l l l l l l
90

kemandirian tertentu (Haber, 1994). Sehat merupakan sebuah keadaan


l l l l l l l l l l

yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi
l l l l l l l l l l l

seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, l l l l l l

sosial dan spiritual. l l l

Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu l l l l l l l l

keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak
l l l l l l l l l l l l l

hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (WHO, 1947). Definisi WHO
l l l l l l l l l

tentang l sehat l mempunyai l karakteristik l l berikut yang l dapat l l

meningkatkan konsep sehat yang positif (Edelman dan Mandle. 1994): l l l l l l l

1.Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh. l l l l l l

2.Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan


l l l l l l l l

eksternal. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam l l l l l l l l l l

hidup.
Sedangkan, sehat menurut DEPKES RI. Konsep sehat dan sakit
l l l l l l

sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor - l l l l l l l l l l l

faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama


l l l l l l l l l l l

faktor sosial budaya. Setiap pengertian saling mempengaruhi dan


l l l l l l l l l

pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian l l l l l l l l l l l l

yang l lain. l Banyak l l ahli l filsafat, l l biologi, antropologi,


l sosiologi,
kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba l l l l l l l l l

memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari l l l l l l l l

masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan


l l l l l l l l l l

proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan l l l l l l l l l l l

manusia l l beradaptasi l l l dengan l lingkungan l baik l secara l l biologis,


psikologis maupun sosio budaya. UU No.23,1992 tentang Kesehatan l l l l l l

menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,


l l l l l l l l l l l l l l l l l l

jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan
l l l l l l l l l

ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai l l l l l l l l l l l

satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial
l l l l l l l l
91

dan l di dalamnya l l l kesehatan l l jiwa l merupakan l l bagian l l integral l

kesehatan.105 l l

M.Pengertian Praktik Kedokteran l l l

Adapun pengertian praktik kedokteran menurut Pasal 1 Angka 1


l l l l l l l l l

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


l l l l l l

yang selanjutnya disebut Undang-Undang Praktik Kedokteran, “Praktik


l l l l l l l l

kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan l l l l l l l l l l l l l

dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. l l l l l l l l l l l l l

Praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat pemberian


l l l l l l l l l l

pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien l l l l l l l l l l l l l

terhadap dokter dan bukan merupakan hubungan bisnis semata yang


l l l l l l l l l l

berorientasi pada keuntungan sepenuhnya.” 106 l l l l l

1. Asas l l

Praktik l kedokteran l dilaksanakan l l l l berasaskan l l l Pancasila l l l dan l

didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,


l l l l l l l l l l l l l l l

keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien l l l l l l l l l

2. Tujuan l

Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk : l l l l l

a. Memberikan perlindungan kepada pasien; l l l l l

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang l l l l l l l l l l

diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan l l l

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan l l l l l l l l l l

dokter gigi.

3. Legalitas l l

a. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap l l l l l l l l l l l

kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan l l l l l l l l

105
https://www.academia.edu/9789388/
Makalah_Pengertian_Kesehatan_Hukum_Kesehatan_Tenaga_Kesehatan_dan_Sarana_
Kesehatan
106
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
92

praktik kedokteran di seluruh Indonesia


l l l setelah lulus uji l

kompetensi.
b. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter l l l l l l l l l l

gigi yang l telah l memiliki sertifikat l kompetensi dan l telah l

mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum l l l l l l l l l

untuk melakukan tindakan profesinya. 107 l l l l l

c. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan l l l l l l l l l l l l

dokter gigi yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan l l l l l l l

yang berlaku.
l l

d. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah


l l l l l l l l

kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik


l l l l l l l l l l

kedokteran setelah memenuhi persyaratan. l l l l l

e. Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis
l l l l l l l l

yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter


l l l l l l

dan dokter gigi yang telah diregistrasi.


l l l l

4. Wadah l l

a. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter


l l l l l l l l

dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.


l l l l

b. Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi l l l l

Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi l l l l l l l l l

untuk masing-masing l l cabang l l disiplin ilmu yang l bertugas l

mengampu cabang disiplin ilmu tersebut. l l l

c. Majelis l Kehormatan l l Disiplin Kedokteran l Indonesia l adalah


l l l

lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya


l l l l l l l l l

kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan


l l l l l l l l l l l

disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan l l l l l l

sanksi.
l

5. Wewenang Dalam Praktik Kedokteran l l l l l

107
https://berandahukum.com/a/Praktik-Kedokteran
93

Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi l l l l l l l l

mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan l l l l l l l l

pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas :


l l l l l l

a. Mewawancarai pasien; l l l l l

b. Memeriksa fisik dan mental pasien; l l l l

c. Menentukan pemeriksaan penunjang; l l l l

d. Menegakkan diagnosis; l l l

e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien; l l l l l l l l l l l

f.Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;


l l l l l l l l

g. Menulis resep obat dan alat kesehatan; l l l l l l

h. Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi; l l l l l l

i. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan l l l l l l l l l

j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di


l l l l l l l l l l l

daerah terpencil yang tidak ada apotek.


l l l l l l l

6. Pelaksanaan Praktik
l l l l l

a. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran


l l l l l l l

di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik l l l l

b. Praktik l kedokteran l diselenggarakan l l l berdasarkan l l l pada l l

kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam


l l l l l l l l l l l l

upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,


l l l l l l l l l l

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan l l l l l l l l l

kesehatan l l

c. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan l l l l l l l l l

praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk


l l l l l l l l

dokter atau dokter gigi pengganti. (Dokter atau dokter gigi l l l l l

penggantiharus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat


l l l l l l l

izin
praktik.) l
94

d. Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik l l l l l l l

dan l menyelenggarakan praktik kedokteran wajib memasang l l l l l l l l

papan nama praktik kedokteran.


l l l l l l

e. Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan


l l l l l l l l l l l l

kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat l l l l l l l l l l l l l

daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran


l l l l l l l l l

dan Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan


l l l l l l l l l l l l l

dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk l l l l l l

melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan


l l l l l l l l l l l l

tersebut.

7. Standar Pelayanan Kedokteran


l l l l l l

a. Standar Pelayanan Kedokteran adalah pedoman yang harus


l l l l l l l l l l l l

diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan l l l l l l l

praktik kedokteran.
l l

b. Standar Pelayanan Kedokteran meliputi Pedoman Nasional


l l l l l l l l l

Pelayanan Kedokteran (PNPK) Standar Prosedur Operasional


l l l l l l l l

(SPO).
c. Standar Prosedur Operasional, selanjutnya disingkat SPO adalah
l l l l l l l l l l

suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk


l l l l l l l l l l

menyelesaikan proses kerja rutin tertentu, atau langkah yang l l l l l l l l

benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama dalam


l l l l l l l l l l

melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang


l l l l l l l l l l l l l

dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan standar


l l l l l l l l l l l l l

profesi.

8. Persetujuan Tindakan l l l

a. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan


l l l l l l l l l l

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus


l l l l l l l l

mendapat persetujuan. l l l
95

b. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi diberikan l l l l l l l l

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.


l l l l l l l l l

c. Penjelasan l l untuk persetujuan l tindakan l l kedokteran l atau l l

kedokteran gigi sekurang-kurangnya mencakup : l l l l l

1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


l l l l l l l l

2) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; l l l l l l

3) Alternatif tindakan lain dan risikonya;


l l l l l l l

4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan l l l l l

5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. l l l l l l l

d. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi dapat l l l l l l l l l

diberikan baik secara tertulis maupun lisan. l l l l l l

e. Setiap l tindakan l l kedokteran l atau l l kedokteran l gigi yang l

mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan


l l l l l

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan l l l l l l l l

persetujuan. l

f.Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran l l l l l l l l l l

atau kedokteran gigi diatur dengan Peraturan Menteri.


l l l l l l l

Menurut Pasal 3 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 l l l l l

tahun 2004 tentang Praktik kedokteran Bab II, Pengaturan praktik


l l l l l l l l

kedokteran bertujuan untuk: l l

a. Memberikan perlindungan kepada pasien l l l l l

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang l l l l l l l l l l

diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan l l l

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dokter l l l l l l l l l

gigi.
Praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan
l l l l l l l l l l l l l l

antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya


l l l l l l l l l l l

pemeliharaan l l l kesehatan, l l pencegahan l l penyakit, l peningkatan l l

kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dokter


l l l l l l l l l

atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik


l l l l l l l l l l

kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjukn dokter l l l l l l l


96

atau dokter gigi pengganti. Dokter atau dokter gigi pengganti harus
l l l l l l l

dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik. Dokter
l l l l l l

atau dokter gigi yang telah 2 mempunyai surat izin praktik dan
l l l l l l l l

menyelenggarakan praktik kedokteran wajib memasang papan nama l l l l l l l l l l l l

kedokteran (Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun


l l l l l

2004 tentang Praktik Kedokteran). l l l

Sesuai Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun


l l l l l

2004 Pasal 38 tentang Praktik Kedokteran:


l l l l l

a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi l l l l l l l l l l

dokter gigi yang masih berlaku; l l l

b. Mempunyai tempat praktik; dan l l l l

c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. l l l l

a. Definisi Dokter
Menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 29 Tahun l l l l l l l

2004 tentang Praktik Kedokteran, Definisi dokter adalah suatu l l l l l l l

pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,


l l l l l l l l l l l l

kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, l l l l l

dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.


l l l l l l l l l

Menurut Pakar bahasa KBBI berpendapat bahwa pengertian l l l l l l l l l l

Dokter adalah seseorang yang ahli dalam hal penyakit dan l l l l l l l l l l l

pengobatan serta dapat memberikan pelayanan kesehatan l l l l l l l l l l l

kepada pasien.108
l l l

Pengertian Dokter adalah setiap orang yang memiliki ijazah l l l l l l l l l

dokter, dokter spesialis, l doktersuperspesialis l ataul l dokter


subspesialis atau spesialis konsultan yang diakui oleh Pemerintah l l l l l l l l

Republik Indonesia l sesuai l dengan l peraturan l l perundang- l

undanganyang berlaku.109
l l l l

108
https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/2019/10/dokter-dan-macam-
macamnya.html
109
Agus Purwadianto, 2008,Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran, cet-1, Jakarta, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, h
9.
97

Secara Umum, Apabila melihat dari persepsi para pakar atau


l l l l l l l l l l l l l

ahli diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum apa yang


l l l l l l l l l l l l l

dimaksud l dengan l profesi dokter adalah l l l seorang l tenaga l l

kesehatan (dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien l l l l l l l l l

dengan l dokternya l untuk menyelesaikan l l semua l masalah l l l

kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, l l l l l l l l l l

golongan usia, organologi, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat l l l l l l l l

mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan l l l l l l

dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan


l l l l l l l l l l

lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan


l l l l l l l l l l

efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, l l l l l

hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya l l l l l l l l l l l

adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya.


l l l l l l l l l l

N. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi


l l l l l l

Pasal 50
l l

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran l l l l l l l l l l

mempunyai hak : l l

1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas l l l l l l l l

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;


l l l l l l l l l

b. memberikan l

2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan l l l l l l l

standar prosedur operasional;


l l l l

3) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau l l l l l l l l

keluarganya; dan d. menerima imbalan jasa.” l l l l l l l l l

Pasal 51
l l

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran l l l l l l l l l l

mempunyai kewajiban : l l l

1) “Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi l l l l l l l l

dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis


l l l l l l l

pasien; l

2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai l l l l l l

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak l l l l l l l l l l l l

mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; l l l l l l l l l l


98

3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang


l l l l l l l l l l l

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;


l l l l l l l l

4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,


l l l l l l l l l l l l

kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu l l l l l l l l l l l l

melakukannya; dan l l l l

5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan l l l l l l l

ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.”110 l l l l

1. Kode Etik Kedokteran Dan Asas-Asas Etika Kedokteran l l l l l l l l

Dimana l l setiap l tindakan l l medis harus l dapat l l

dipertanggungjawabkan, baik secara etik maupun secara hukum,


l l l l l l l l l l

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) memberikan pedoman l l l l

kepada dokter di dalam memutuskan untuk melakukan tindakan


l l l l l l l l l

medisnya tidak boleh bertentangan dengan: l l l l l

a. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) l l

Disusun pertama kali tahun 1969 dalam musyawarah kerja l l l l l l l l l l

susila kedokteran (sebagai rujukan utama adalah kode etik


l l l l l l l l l l

kedokteran internasional yang telah disempurnakan pada tahun l l l l l l l l l l

1968). Dasar kodeki adalah pancasila sebgai asas berkehidupan l l l l l l l l l l l l

dan bermasyarakat di Indonesia.


l l l l l l

b. Kewajiban Umum l l

Pasal 1 l l

“Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan l l l l l

mengamalkan sumpah dan atau janji dokter.” l l l l l l l l

Pasal 2 l l

“Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan l l l l l l l

keputusan profesional secara independen, dan l l l l l

mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang l l l l l l l l l

tertinggi.”

Pasal 3 l l

110
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
99

“Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter


l l l l l l l l l

tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan


l l l l l l l

hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.”


l l l l l l l

Pasal 4
l l

“Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan l l l l l l l

yang bersifat memuji diri”


l l

Pasal 5
l l

“Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin


l l l l l l l l

melemahkan daya tahan psikis maupun sik, wajib l l l l l l l l

memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya l l l l l l l l

diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut” l l l l l l

Pasal 6
l l

“Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam


l l l l l l l l l

mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik l l l l l l l

atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan


l l l l l l l l l l

terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan


l l l l l l l l l l

masyarakat” l l l l

Pasal 7
l l

Seorang dokter waajib hanya memberi surat keterangan dan


l l l l l l l l l

pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. l l l l l l l l

Pasal 8
l l

“Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, l l l l l l l

memberikan pelayanan secara kompeten dengan l l l l l l l

kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa l l l l l l l l

kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas


l l l l l l l l l

martabat manusia”
l l l l l

Pasal 9
l l

“Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan l l l l l l

dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk l l l l l l l l l


100

mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia l l l l l l l l l l l l l

ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau


l l l l l l l l l

kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau l l l l l l l l

penggelapan” l l

Pasal 10
l l

“Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, temanl l l l l l l

sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib


l l l l l l l l l l l l

menjaga kepercayaan pasien” l l l l l l

Pasal 11
l l

“Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya


l l l l l l l l l

melindungi hidup makhluk insani” l l

Pasal 12
l l

“Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib


l l l l l l l l l

memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan kesehatan l l l l l l l l l

(promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik sik maupun l l l l l l

psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi l l l l l l l l

pendidik dan pengabdi sejati masyarakat” l l l l l l l

Pasal 13
l l

“Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat


l l l l l l l l l l l

lintas sektoral di bidang kesehatan,


l l l l l bidang lainnya dan l l l l

masyarakat, wajib saling menghormati”


l l l l l l l

c. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien


l l l l l

Pasal 14
l l

“Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan l l l l l

mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya l l l l l l l

untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu l l l l l l l

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas


l l l l l l l l l l l

persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien l l l l l l l l

kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu”


l l l l l l
101

Pasal 15
l l

“Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennyal l l l l l l

agar senantiasa dapat berinteraksi


l l l l l l l l dengan keluarga dan l l l l

penasihatnya, l l l termasuk l dalam l l beribadat l l dan l ataul l

penyelesaian masalah pribadi lainnya” l l l l l l l l

Pasal 16
l l

“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang


l l l l l l l l l l

diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelahl l l l l l l l l

pasien itu meninggal dunia”


l l l

Pasal 17
l l

“Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai


l l l l l l l l l

suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada


l l l l l l l l l l l

orang lain bersedia dan mampu memberikannya”


l l l l l l l

d. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


l l l l l l l

Pasal 18
l l

“Setiap l dokter memperlakukan l l teman l sejawatnya l l l

sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan”


l l l l l l l

Pasal 19
l l

“Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman


l l l l l l l

sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya


l l l l l l l atau l l

berdasarkan prosedur yang etis” l l l l

e. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri


l l l l

Pasal 20
l l

“Setiap dokter wajib l l selalu memelihara kesehatannya, l l l l l l

supaya dapatbekerja dengan baik” l l l l l l l


102

Pasal 21 l l

“Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan l l l l l l l

ilmupengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan”111 l l l l l l

f. Asas-asas Etika kedokteran Indonesia yaitu :


l l l l l l l l

1) Tidak merugikan ( Non – Maleficence )


l l l

2) Membawa kebaikan ( Benevicence ) l l l l

3) Menjaga kerahasiaan (Confidencsialitas ) l l l l l l l l

4) Otonomi pasien ( Informed Consent ) l

5) Berkata benar ( Veracity ) l l l l

6) Berlaku adil ( Justice ) l l

7) Menghormati ( privacy) l l

Tujuan dari etika profesi dokter adalah untuk mengantisipasi


l l l l l l l l

atau mencegah terjadinya perkembangan yang buruk terhadap


l l l l l l l l l l

profesi dokter dan mencegah agar dokter dalam menjalani l l l l l l l l

profesinya dapat bersikap professional maka perlu kiranya l l l l l l l l l

membentuk kode etik profesi kedokteran.112 l

O. Hubungan Dokter dan Pasien l l l

Hubungan dokter dan pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi


l l l l l l l

kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi


l l l l l l l l

yang memberikan batasan atau ramabu-rambu-rambu hubungan


l l l l l l l l l l l l

tersebut. Dimana kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip l l l l l l l

moral profesi, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence, dan


l l l l l

111
Kode etik kedokteran indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran
Indonesia, Fakultas Kedokteran USU: Kode Etik Kedokteran, 2004,
http://www.luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf
112
https://www.slideshare.net/hadi922186/kode-etik-kedokteran-indonesia-kodekipptx
103

justice yang disebut sebagai prinsip utama dan veracity , fidelity, l l l l l l l

privacy dan confidentiality sebagai prinsip turunannya.


l l l l l l l

Hubungan antara dokter dan pasien juga mengikuti alternatif l l l l l l l l l

hubungan, dimana pada awalnya hubungan dokter dan pasien adalah l l l l l l l l l l l l l l

hubungan yang bersifat paternalistik dengan prinsip moral utama l l l l l l l l l

beneficence. Walaupun hubungan dokter dan pasien ini bersifat l l l l l l

kontraktual, l l namun l mengingat l sifat l praktek l kedokteran l yang l

berdasarkan ilmu empiris, sehingga dengan menganggap bahwa teori


l l l l l l l l l

kontrak telah terlalu menyedrehanakan nilai hubungan dokter dengn


l l l l l l l l

pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang
l l l l l l

berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi


l l l l l l l l l l

hubungan dokter dan pasien. 113 l l l

Adapun pendapat dari Munir fuady, yang terdapat dalam tulisannya


l l l l l l l l l l l l l

yang berjudul “Sumpah Hipocrates” menggambarkan hubungan dokter


l l l l l l l

dengan pasien terjalin didasarkan pada adanya kepercayaan (trust)


l l l l l l l l l l l l l l

seorang pasien kepada seorang dokter yang mewajibkan dokter


l l l l l l l l

tersebut untuk mengobatinya dengan sungguh-sungguh atau beriktikad l l l l l l

baik serta menyimpan segala rahasia asien (secret trust) yang


l l l l l l l l l l

diketahuinya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dalam hubungan ini


l l l l l l l l l l l l

karena ada kewajiban menjaga kerahasiaan pasien, maka hubungan


l l l l l l l l l l l l l l l l

dokter dengan pasien disebutnya juga sebagai suatu hubungan l l l l l l l l

fiduciary.114 l

Dokter dan pasien merupakan 2 subjek hukum yang keduanya l l l l l l l

membentuk hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan l l l l l l l

keduanya diatur dalam peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan


l l l l l l l l l l l l

dalam pelaksanaannya.
l l l l l l l

Hubungan hukum antara dokter dan pasien ada 2 macam, yaitu:6 l l l l l l l l l l l

1. Hubungan karena kontrak (transaksi terapeutik) l l l l l l l

113
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija Siswaja,, 2008, Ibid, h 8-9
114
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2005, h 29
104

2. Hubungan karena Undang-Undang l l l l l

Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini


l l l l l l l l l l l

bertumpu pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam l l l l l l l l l l l l l l

dokumen maupun konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut l l l l l l l

adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self


l l l l l l

determination) dan hak atas informasi (the right to information). l l l l l l l

Kedua hak dasar tersebut bertolak dari hak atas


l l l l l l l l l keperawatan l l l

kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak asasi


l l l l l l l l l l

individu (individual human rights). Dokumen internasional yang l l l l l

menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of


l l l l l l l l l

Human l Right tahun 1948, dan The United Nations International


l l l l l

Covenant on Civil and Political right tahun 1966. l l l l

Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


l l l l l l l l

756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan l l l l l l l l

dan Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang


l l l l l l l l

Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang l l l l l l l l l

kesehatan. l l

Untuk mengetahui apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen l l l l l l l l l

dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha, kita


l l l l l l l l l l l l

harusl mengetahui l pengertian l konsumen dan l pelaku l usaha l l

berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang


l l l l l l l l l l l l

dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
l l l l l l l l l l l l l l l l

diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak l l l l l l l l l

untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu l l l l l l l

konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, l l l l l l l l l

suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa l l l l l l l l l l l l l

Dalam UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)


l l l l

mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu : l l l l l


105

1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku l l l l l l l l l

usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa;


l l l l l l l l l l l l

2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung l l l l l l l l l

jawab115 l l

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa


l l l l l l l l l

asuransi kesehatan. Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi


l l l l l l l l

pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan


l l l l l l l l l l l l l

maka kita harus melihat UU No. 2 /1992 tentang Kesehatan, Black Law
l l l l l l l l l l

Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan. Tenaga kesehatan l l l l l l l l l l

adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan


l l l l l l l l l l l l l

serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di


l l l l l l l l l l

bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan


l l l l l l l

untuk melakukan upaya Kesehatan.Sedangkan dalam Black Law l l l l l l l l l l l l

Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai l l l l l l l l l l l l

bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, profession, atau


l l l l

commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan l l l l l l l l

untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian). Selain itu, posisi l l l l l l l l l l

bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara lain


l l l l l l l l l l l

bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector
l l l l l l l l

jasa bisnis, seperti tampak berikut :


l l l l

1. Sektor Kesehatan : l l

a. Hospital Services l

b. Other Human Health Services l l

c. Social Services l

d. Other
2. Sektor Jasa Bisnis : l l

a. Profesional services: l

b. Medical and dental services l l l

115
https://lawofficeindonesia.com/2021/07/19/hubungan-dokter-dan-pasien/
106

c. Physiotherapis l

d. Nurse and midwife l

Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar


l l l l l l l l

dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen


l l l l l l l l l l l

merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan


l l l l l l l l l l l l

pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban,


l l l l l l l l l l l l

sebagai berikut:
l l

a. Hak konsumen kesehatan


l l l

b. Berdasarkan UU No.8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen:


l l l l l

1) Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan l l l l l l l l l l

2) Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur l l l l l

3) Didengar pendapat dan keluhannya l l l l l l

4) Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen l l l l l l l

5) Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif


l l l l l l l

6) Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian l l l l l l l

Berdasarkan UU No.23/1992 tentang Kesehatan


l l l l l l

1) Informasi l

2) Memberikan persetujuan l l

3) Rahasia kedokteran l l l l

4) Pendapat kedua (second opinion) l l l

5) Kewajiban konsumen l l

6) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur l l l l l l

7) Beritikad baik l l

8) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati l l l l l l l l l

9) Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan l l l l l l

konsumen secara patut. l l l

Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan Berdasarkan UU NO.


l l l l l l l l l l l

23/1992 tentang kesehatan l l l

1) Hak: l

Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas l l l l l l l l

sesuai dengan profesinya l l l


107

2) Kewajiban l l

Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien l l l l l l l

1. Definisi Pasien l

Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan


l l l l l l l l l l l l l

medis. Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata l l l l l l l l l l l l l

patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa Latin


l l l l l l l l l l l l

yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati
l l l l l l l l l l l l

yang artinya "menderita". Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa


l l l l l l l l l l l

Indonesia, pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter), penderita l l l l l l l l l l l

(sakit). 116 l

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004


l l l l

tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa pasien adalah


l l l l l l l l l l

setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya


l l l l l l l l l l l l

untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik l l l l l l l l

117
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter.
l l l l l l l l Pasien l

adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik


l l l l l l l l l l l l l l

dalam keadaan sakit maupun sehat. Tjiptono dan Diana (2011)


l l l l l l l l l l l

secara tradisional pasien diartikan sebagai pelanggan, yaitu orang


l l l l l l l l l l l l l

yang membeli, menggunakan ataupun memanfaatkan suatu produk


l l l l l l l l l l

atau jasa. Istilah dalam perusahaan yang bergerak dibidang jasa,


l l l l l l l l l l l l l l l

pelanggan adalah orang yang menggunakan jasa pelayanan.118


l l l l l l l l l l l l l l

116
Farih Aminuddin, Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan,
Surabaya,2018.
117
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
118
Farih Aminuddin, Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan, Surabaya,
2018.
108

P. Hak dan Kewajiban Pasien


l l l l l

Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik


l l l l l l l l l l l l

kedokteran, mempunyai hak : l l l

a. “Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis l l l l l l l l l l l

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); l l l l l l l l l l l

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; l l l l l l

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; l l l l l l l l l

d. Menolak tindakan medis; dan l l l l

e. Mendapatkan isi rekam medis.” l l l l

Pasal 53 l l

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, l l l l l l l l l l l

mempunyai kewajiban: l l l

1) “Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang l l l l l l

masalah kesehatannya; l l l l l l

2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; l l l l l l

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan l l l l l l l l l l

kesehatan; dan l l l

4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.” l l l l l l l l l l l l

Q. Perjanjian Terapeutik l l l

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan


l l l l l l l l l l l l l l l

pencegahan l l dan l pengobatan l l penyakit, l termasuk l di dalamnya l l l

pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual


l l l l l l l l l l l l l l

antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan. Dalam


l l l l l l l l l l

hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi l l l l l l l l l

terapeutik, l artinya l l masing-masing l l pihak l mempunyai l hak l dan l

kewajiban. Doker berkewajiban memberikan pelayanan medis yang


l l l l l l l l l

sebaik-baik bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa penegakkan


l l l l l l l l l l l l

diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan


l l l l l l l l

tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan


l l l l l l l l l l

tidak wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.


l l l l l l l l l

Adanya upaya, maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan


l l l l l l l l l l l l l l
109

agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari


l l l l l l l l l l l l

transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.


l l l l l l l l l l

Kontrak trapeutik antara dokter dan pasien bukan termasuk l l l l l l l l l

perjanjian resultaat atau perjanjian yang ditunjukan pada hasil


l l l l l l l l l l l l l

perbuatan , karena objek perjanjian bukan hasil pelayanan medis oleh


l l l l l l l l l l l

dokter, tapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis sesuai. l l l l l l l l l l l

Dokter tidak mampu menjamin hasil akhir, hubungan hukuman yang l l l l l l l l

demikian dilandasi pada kepercayaan (saling percaya) antara kedua l l l l l l l l l l l l l l l

belah pihak. Hubungan saling percaya (vertrouwen) ini disebutkan


l l l l l l l

dalam Mukadimah Kode Kedokteran Indonesia. Walaupun bagi kedua


l l l l l l l l l l

belah pihak kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak trapeutik


l l l l l l l l l l

atau perjanjian penyembuhan.119


l l l l l

Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan


l l l l l l l l l l l l l l l l

masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien,


l l l l l l l

adakalanya pasien menderita cacat bahkan sampai terjadi kematian


l l l l l l l l l l l l l l l l

dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian


l l l l l l l l l l l

tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah, dokter l l l l l l l l

seringkali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap l l l l l l l l l l l l

sebagai malapraktik . l l l l l

Hubungan dokter tidak semata-mata merupakan pemberian jasa l l l l l l l l l l l

pada umumnya, karena kedua belah pihak tidak dalam kondisi yang
l l l l l l l l l l l l

sama. l l Pasien l dalam l l keadaaan l l l l sakit, l memerlukan l pelayanan l l l

seseorang dokter yang baik dan bijaksana yang memberikan rasa l l l l l l l l l l l

aman, nyaman bagi pasien. Oleh karena itu diharapkan dokter


l l l l l l l l l l l

mempunyai sikat mendasar yang melekat secara mutlak yang berupa l l l l l l l l l l l

suatu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati, serta


l l l l l l l l l

intigritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Sikap dokter yang l l l l l l l l l l

terlalu lugas dan kaku akan membuat pasien menimbulkan ketidak


l l l l l l l l l l

puasan pasien terhadap pelayanan medik yang diberikannya. Sehingga


l l l l l l l l l l l l

119
Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), H. 38.
110

ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan medis yang diberikan dokter


l l l l l l l l l l l

untuk menolong atau menyelamatkan pasien yang dideritaannya atau l l l l l l l l l l l l

akibatnya yang dapat menyebabkan kematian yang sebelumnya tidak


l l l l l l l l l l l l l

diberitahukan kepadanya, dapat dijadikan dasar untuk menuntut ganti


l l l l l l l l l l l l

rugi kepada dokter. Meskipun upaya medis itu, berhasil menyelamatkan l l l l l l l l

pasien dari akibat yang lebih parah atau yang dapat menyebabkan
l l l l l l l l l l l l l l

kematian. l l

Oleh karena itu pada prinsipnya hubungan pelayanan kesehatan l l l l l l l l l l l

antara dokter dan pasien di rumah sakit diikat dalam sebuah perjanjian,
l l l l l l l l l l l l l

yaitu perjanjian penyembuhan atau kontrak terapeutik. Adapun yang


l l l l l l l l l l l

dimaksud dengan perjanjian penyembuhan adalah suatu perjanjian


l l l l l l l l l l l

yang obyeknya adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan.


l l l l l l l l l l l l l

120
sedangkan Hermien Hadiati Koeswadji menyebutkan yang dimaksud
l l l l l l l l

dengan transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dengan


l l l l l l l l l l l l l

pasien untuk mencari atau menemukan terapi sebagai upaya


l l l l l l l l l l

121
penyembuhan penyakit pasien oleh dokter. l l l Prestasi dari kontrak l l l

terapeutik l bukanlah l l hasil l yang l dicapai l l (resultaatsverbinterniis), l l

melainkan l l upaya l l yang l sungguh - sungguh/ ikhtiar l

(inspaningsverbinternnis). l

1. Pola Hubungan Perjanjian Terapeutik l l l l l

Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola l l l l l l l l l l

hubungan vertical paternalistic seperti antara bapak dan anak yang l l l l l l l l l l l l l

bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan hubungan l l l l l l l

yang bersifat paternalistic (Hermien Hadiati. K, 1998:36).


l l l l l l

Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak


l l l l l l l

sederajat (Talcott Parsons, 1969:336), yaitu kedudukan dokter lebih l l l l l l

tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang l l l l l l l l l l

segala l l sesuatu l yang l berhubungan l dengan l penyakit l dan l

120
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter. Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 84.
121
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
1998, h. 99.
111

penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal l l l l l l l l l l l l l

itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan l l l l l l l l l

dokter.
Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena l l l l l

ia l merasa l l ada l l sesuatu l yang l dirasakannya l l l l membahayakan l l l l

kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan l l l l l l l l l l

bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang


l l l l l l l l l l l l

dianggapnya mampu menolongnnya dan memberikan bantuan


l l l l l l l l l

pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih l l l l l

tinggi oleh pasien dan peranannya lebih tinggi daripada pasien. l l l l l l l l l

Pola hubungan vertical yang melahirkan sifat paternalistic dokter


l l l l l l l l l

terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun


l l l l l l l l

dampak negatif. Dampak positif pola vertical yang melahirkan


l l l l l l l l l l

konsep hubungan paternalistic ini sangat membantu pasien, dalam l l l l l l l l l

hal pasien awam terhadap penyakitnya. Namun, dapat juga


l l l l l l l l l l l l

menimbulkan dampak negatif jika tindakan dokter yang berupa l l l l l l l l l

langkah-langkah dalam upaya penyembuhan pasien itu merupakan


l l l l l l l l l l l l

tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang


l l l l l l l l l

dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar telah ada


l l l l l l l l l l l l l l l l

sejak lahirnya. l l l

Szasz dan Hollender mengemukakan (Benyamin Lumenta,


l l l l l l

1987:73), beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang l l l l l l l l l

masing-masing didasarkan atas suatu prototype hubungan orang tua


l l l l l l l l l l l

dan anak, hubungan orantua dan remaja, hubungan antar orang


l l l l l l l l l l l l l

dewasa. l l

a. Pola hubungan Aktif – Pasif l l l l

Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan l l l l l l l l

pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik.


l l l l l l

Secara social, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang l l l l l l l l l l

sempurna karena hubungan ini berdasarkan atas kegiatan l l l l l l l l l l l

seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa l l l l l l l l


112

sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran l l l l l l l l l

secara aktif. l l l

Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekadar menjadi


l l l l l l l

penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak l l l l l l l l l l

dapat menjalankan suatu peran. dapat menjalankan suatu peran.


l l l l l l l l l l l l l l

Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan l l l l l l l l l

peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Pola


l l l l l l l l l l

hubungan aktif-pasif ini menempatkan dokter pada pihak yang l l l l l l l l l

sepenuhnya berkuasa. l l l

b. Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sama


l l l l l l

Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan l l l l l l l l l l

pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak


l l l l l l l l l l

terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap sadar dan memiliki


l l l l l l l l l l l

perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita


l l l l l l l l l l

penyakit dan disertai kecemasan dan perasaan tidak enak, ia


l l l l l l l l l l l l

mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama


l l l l l l l l l

dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter


l l l l l l l l

mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan l l l l l l l

pasien. Namun, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan,


l l l l l l l l l l l l l l

namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang


l l l l l l l l l l l l

diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, malaksanakan diet, l l l l l l l l l

melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu.


l l l l l l l l l l

Dalam hubungan membimbing dan bekerja sama, dokter


l l l l l l l

berperan memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasien dan l l l l l l l l l l

peran l pasien l dalam l l bentuk kerja l sama l l tersebut adalah


l l l

melaksanakan apa yang diharapkan oleh dokter. Dokter tidak


l l l l l l l l l l l

menganggap pasien sebagai benda biomedis belaka, namun l l l l l l l l l

pasien itu mempunyai potensi yang dapat diajak untuk bekerja


l l l l l l l l

sama dalam upaya penyembuhan penyakitnya.


l l l l l l l l l
113

c. Pola hubungan saling berperan serta l l l l l

Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa l l l l l l l l l l l l

semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan l l l l l l l l l l l l

ini lebih berdasarkan pada struktur social yang demokratis. l l l l l l l l

Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa


l l l l l l l l l l l

puas di antara kedua belah pihak, baik dari dokter maupun


l l l l l l l l l l

pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya


l l l l l l l l l l l l

menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas l l l l l l l l l l

nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya.


l l l l l l l l l l

2. Asas Hukum Dalam Perjanjian Terpaeutik


l l l l l l l

Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum l l l l l l l l

antara dokter dengan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum


l l l l l l l l l l l l

yang mendasari atau terkandung di dalam berbaga peraturan yang


l l l l l l l l l l l l l

mendasarinya, (Veronica Komalawati, 1999:126-130) l l l l l l l

a. Asas Legalitas l l l l

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009, asas ini l l l l l l l

tersirat dari ketentuan Pasal 50, yang menyatakan bahwa tenagal l l l l l l l l l l l l

kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan l l l l l l l l l l l l

kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan l l l l l l l l l l l l

tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa


l l l l l l l l l l l

pelayanan l l l medis hanya l l dapat l l terselenggara l l jika l tenaga l l

kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan l l l l l l l l l l

perizinan yang diatur dalam perundang-undangan. l l l l l l l l

Asas l l ini memberikan l kapasitas l l l dan l diperlindungi bagi l

terlaksananya l l l l otonomi professional l seorang l dokter dalam l l

memberikan l pelayanan l l l medis. Otonomi professional l yang l

dimaksud adalah suatu bentuk kebebasan bertindak selaku


l l l l l l l l l

profesional l di bidang l kedokteran, l yaitu l untuk mengambil l

keputusan sesuai dengan rencana upaya yang ditentuka sendiri l l l l l l l l l

yang didasarkan keahlian, keterlampilan dan ketelitian yang


l l l l l l l l l l l

dimiliki guna l memberikan l bantuan l l kepada l l pasien l yang l


114

membutuhkannya. Otonomi dalam hal ini memiliki 2 unsur, l l l l l

pertama, kemampuan untuk mengambil keputusan tentang


l l l l l l l

rencana bertindak, yang berarti dokter tersebut harus mampu


l l l l l l l

memeriksa alternative yang ada dan membedakannya karena l l l l l l l l l l l l

harus dapat menjelaskannya kepada pasien yang bersangkutan.


l l l l l l l l l l l l

Kedua, kemampuan untuk mewujudkan rencana itu menjadi l l l l l l l

kenyataan karena cara melaksanakan rencana itu sepenuhnyal l l l l l l l l l l l l l

menjadi tanggung jawab dokter selaku professional. l l l l l l

b. Asas Keseimbangan
l l l l

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, asas ini l l l l l l l

terkandung dalam Pasal 2, yaitu asas perikehidupan dalam


l l l l l l l l l l l

keseimbanngan. Menurut asas ini, penyelenggaraan kesehatan l l l l l l l l l

harus diselenggarakan seccara seimbang antara kepentingan


l l l l l l l l l l l

individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara l l l l l l l l l l l l l l

material dan spiritual. Di dalam pelayanan medis, dapat diartikan


l l l l l l l l l l l l l

sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana


l l l l l l l l l l l l l l l l l l

dan hasil, serta antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari
l l l l l l l l l l l l l

upaya medis yang dilakukan. Asas ini erat kaitannya dengan


l l l l l l l l l l l l

masalah keadilan dan telah terkandung pula dalam Pasal 2 (d),


l l l l l l l l l l l l l

yaitu asas adil dan merata. Merumuskan isi atau norma keadilan
l l l l l l l l l l l l l

tidak semudah merumuskan hakikat keadilan, yang berartikan


l l l l l l l l l l

pernilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan seseorang l l l l l l l l l l l l

terhafap orang laindengan menggunaka suatu norma yang


l l l l l l l l l l

menurut pandangan subjjektif melebihi norma lainnya. Dalam l l l l l l l l

pelayanan medis, keadilan yang dimaksud adalah keadlian yang


l l l l l l l l l l l l l

bersifat kasuitis karena menyangkut pula alokasi sumber daya l l l l l l l l l l

dalam palayanan kesehatan, dimana terdapat pembagi rataan


l l l l l l l l l l l l l l l l

yang adil mencangkup, manfaat dan beban; serta penggunan


l l l l l l l l l l

sarana dan jasa. Namun, menentukan standar yang adil ini yang
l l l l l l l l l l l l l

menjadi permasalahan sepanjang masa. l l l l l l l l l


115

c. Asas Tepat Waktu


l l l l

Asas ini sangat diperlukan karena akibat kelalaian memberikan


l l l l l l l l l l l l l

pertolongan tepat pada saat diperlukan, dapat menimbulkan l l l l l l l l l l

kerugian pada pasien. Dalam Pasal 58 Undang- Undang Nomor l l l l l l l l l l

36 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas l l l l l l l l l l

ganti kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan


l l l l l l l l l l l l l l l

oleh tenaga kesehatan. Dokter selaku professional di bidang l l l l l l l

medis, seharusnya dapat bertindak tepat pada saat dibutuhkan. l l l l l l l l l l l

Berdasarkan asas ini, suatu tindakan yang harus segera dilakukan


l l l l l l l l l l l l l

dalam rangka pelayanan medis, demi kepentingan pasien tidak


l l l l l l l l l l

dapat ditunda-tunda semata-mata demi kepentingan pribadi


l l l l l l l l l l

dokter.
d. Asas Itikad Baik
l l l l

Perdata disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan l l l l l l l l l l l l

dengan itikad baik (geode trouw), namun Pasal ini tidak dijelaskan
l l l l l l l l l

arti dari itikad baik itu sendiri. Namu, jika itikad baik dilihat dari
l l l l l l l l l l

terjemahan bona fides (bona = saleh; fides = percaya) dalam l l l l l l l l l

hukum Romawi, berbuat sesuai itikad baik berarti berbuat l l l l l l l

berdasarkan pengertian yang baik, jujur, dan lurus. Dalam Pasal


l l l l l l l l l l l

diatas, maka penataan kewajiban yang timbul dalam suatu


l l l l l l l l l l l l l

perjanjian ditentukan oleh kelayakan dan kepatutan menurut


l l l l l l l l l

norma subyektif yang berlaku di dalam masyarakat, yaitu norma l l l l l l l l l l l

yang berdasarkan penalaran dapat dipertanggungjawabkan.


l l l l l l l l l l l l l

R. Pengertian Informed consent l

Informed consent / persertujuan tindakan medis adalah persetujuan l l l l l l l

yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan


l l l l l l l l l l l l l l

mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien


l l l l l l l l l l l

tersebut. Definisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan l l l l l l l

Republik Indonesia l Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang l

Persetujuan Tindakan Medis. l l l


116

Untuk dapat dilakukan tindakan medis tertentu, berupa diagnostic l l l l l l l l

maupun terapeutik, maka diperlukan adanya informed consent yang


l l l l l l l l l

dalam hal ini merupakan kosntruksi dan persesuaian kehendak yang


l l l l l l l l l l

harus dinyatakan, baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-


l l l l l l l l l

masing menyatakan infomasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu,


l l l l l l l l l l l

informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi. l l l l l l l

(Endang Kusuma, 2009:129) l l

Persetujuan dari pasien, dalam hal ini mempunyai arti yang cukup l l l l l l l l l

luas sebab dengan sekali pasien membubuhkan tanda tangannya di


l l l l l l l l l l l

formulir persetujuan tindakan medis, maka diangaap pasien telah l l l l l l l l l l

informed dan telah menyerahkan nasibnya kepada dokter, serta dokter l l l l l l l l l

boleh melaksanakan apa yang menurut dokter baik. Penandatanganan l l l l l l l l l l l l l

ini mempunyai konsekuensi telah tercapai apa yang dinamakan l l l l l l l l l l

sepakat para pihak yang mengikatkan diri, untuk sebagai syarat


l l l l l l l l l l l l

tahunya perjanjian untuk melaksanakan tindakan medis. Persetujuan ini


l l l l l l l l l l l

mempunyai kekuatan mengikat, dalam arti mempunyai kekuatan l l l l l l l l l l

hukum, berarti dokter telah menjalankan kewajibannya memberikan l l l l l l l l l

informasi untuk melakukan tindakan medis. l l l l l

1. Formasi yang Harus Disampaikan Kepada Pasien l l l l l l l l l

Informasi yang diberikan kepada pasien merupakan informasi l l l l l l l l l

yang rinci serta mengenai persetujuan tindakan dokter, yang diatur


l l l l l l l l

dalam Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 29 Ta hun 2004 tentang Praktik


l l l l l l l l l

Kedokteran, yaitu: persetujuan dapat dimintakan kepada pasien, l l l l l l l l l l

apabila pasien sudah menerima informasi mengenai:


l l l l l l l l

a. Diagnosi dan tata cara tindakan medis; l l l l l l l l

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan; l l l l l l

c. Alternative tindakan lain dan resikonya;


l l l l l l l

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi , dan l l l l l

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. l l l l l l l


117

Informasi yang harus diberikan kepada pasien adalah informasi l l l l l l l l l l l

yang selangkap-lengkapnya, yaitu informasi yang adekuat tentang


l l l l l l l l l l l

perlunya medis yang bersangkutan dan risiko yang ditimbulkannya.


l l l l l l l l

Informasi yang disampaikan berisikan tentang keuntungan dan


l l l l l l l l l

kerugian dari tindakan medis yang dilaksanakan, baik diagnostic


l l l l l l l l l l l

maupun terapeutik.
l l

Hakikat informed consent merupakan sarana legitimasi bagi


l l l l l l l l l

dokter untuk melakukan intervensi medis yang mengandung resiko l l l l

serta akibat yang tak menyenangkan, oleh karenanya hanya dapat


l l l l l l l l l l l l l l

membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum atas terjadinya l l l l l l l l l l

risiko serta akibat yang tak menyenangkan saja. l l l l l l l l l

Hakikatnya, informed consent mengandung dua unsur esensial,


l l l l l l

yaitu: (Hermien Hadiati Koeswadji, 1998:74)


l l l l

a. Informasi yang diberikan oleh dokter (information for consent) dan l l l l l

b. Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed l l l l l

consent).
Ada dua sandaran yang dikenal untuk menetapkan cukup
l l l l l l l l l l

tidaknya informasi yang diberikan kepada pasien oleh dokter agar


l l l l l l l l l l

dapat mencapai persetujuan pasien, yaitu: (Jr. Roach, 1985:162-


l l l l l l l l

163)
a. Standar professional atau standar yang layak dari dokter. Standar
l l l l l l l l l l l l l

materiil atau standar yang layak dari pasien.


l l l l l l l l l l

b. Standar professional digunakan oleh beberapa Negara maju


l l l l l l l l l l

sedangkan standar materiil digunakan oleh beberapa Negara


l l l l l l l l l l l

berkembang. Didasarkan pada standar materiil, luas dari tugas l l l l l l l l l l l l

seorang dokter untuk memberikan informasi ditentukan oleh


l l l l

informasi yang dibutuhkan oleh pasien. l l l l


118

Oleh karena individu itu otonom, diperlukan informasi untuk l l l l

mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan


l l l l l l l l l l l l

pertimbangannya tersebut. Prinsip inilah yang oleh para ahli etik


l l l l l l l l

disebut dengan doktrin informed consent. l

1. Bentuk Informed Consent


a. Informed Consent yang Dinyatakan secara Tegas l l l l l l l

b. Informed Consent yang dinyatakan secara lisan l l l l l l l

Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan l l l l l l l l l l

medis itu tidak berisiko, misalnya, pada pemberian terapi obat dan l l l l l l l l l

pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis l l l l l l l

yan mengandung risiko, misalnya pembedahan, informed consent


l l l l l l

dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.


l l l l l l l l l l

c. Informed Consent yang dinyatakan secara tertulis l l l l l l

Informed consent secara tertulis ialah bentuk yang paling tidak l l l l l l l

diragukan namun, jika dilakukan secara lisan juga sah, kecuali


l l l l l l l l l l l l

ada syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent


l l l l l

tertulis untuk prosedur tertentu. Ja di, informed consent dapat l l l

dinyatakan secara lisan, bahkan dinyatakan dengan sikap


l l l l l l l l l l l l l

menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan. l l l l l l l

d. Informed Consent yang Dinyatakan secara Diam-Diam/Tersirat l l l l l l l l l

Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada l l l l l l l l l l l

gerakan pasien yang diyakini oleh dokter. Dengan anggukan


l l l l l l l l

kepala, maka dokter dapat menangkap isyarat tersebut sebagai


l l l l l l l l l l l l

tanda setuju. Atau pasien membiarkan dokter untuk memeriksa


l l l l l l l l

bagian tubuhnya, dengan pasien menerima atau membiarkan atau


l l l l l l l l l l l l

tidak menolak, maka dokter menganggap hal ini sebgai suatu


l l l l l l l l l

persetujuan l untuk dilakukan l l suatu l pemeriksaan l l guna l

mendapatkan terapi dari penyakitnya. Demikian pula dalam hal l l l l l l l l l l l l

persetujuan tindakan medis yang dilakukan oleh pasien jika l l l l l l l l

pasien telah menyetujui ataupun tidak bertanya lebih lanjut


l l l l l l l l
119

tentang infomasi dari dokter, dianggap telah mengerti penjelasan


l l l l l l l l

dokter.
Pada dasarnya, persetujuan lisan yang diberikan oleh orang
l l l l l l l l l l

yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk dijadikan dasar bagi
l l l l l l l l l

intervensi medis. Bahkan, dapat pula diberikan dalam bentuk l l l l l l l l

siratan, yaitu dengan menunujukan sikap-sikap yang memberikan


l l l l l l l l l

kesan seyuju. Namun, kedua cara ini dapat merepotkan dokter


l l l l l l l l

jika dibelakang hari diingkari, kecuali ada saksi yang ikut


l l l l l l l l l l

menyaksikan. l l Hanya l l saja, l l keberadaan l l l saksi l non tenaga l l

kesehatan saat dokter memberikan penjelasan sampai pasien l l l l l l l l l l

menyatakan persetujuannya dapat dipersoalkan dari aspek l l l l l l l l l l l

konvidensialitas medis. l l

e. Dasar Hukum Informed Consent


l l

Di Indonesia terdapat ketentuan tentang informed Consent, l l l l l

yaitu: l

1) Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981


l l l l l l

2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor l l l l l

585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan l l l l

Medis pada Bab I Pasal 1 Huruf a. l l l l l l

“Persetujuan tindakan medis / informed consent adalah l l l l l l

persetujuan yang diberikan oleh pasien atau l l l l l l

keluarganya atas dasar penjelasan mengenai l l l l l l l l l l

tindakanmedis yang akan dilakukan terhadap pasien l l l l l l l l l l

tersebut.”

S. Pengertian Malpraktek l l l

Malapraktik, berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak


l l l l l l l l l l l l l l l l l

semestinya, sedangkan “praktik” adalah proses penanganan kasus l l l l l l l l l l l

(pasien) dari seseorang pasien yang profesional yang sesuai dengan


l l l l l l l l l

prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya, dapat l l l l l l l

diartikan melakukan tindakan atau praktik salah atau yang menyimpang


l l l l l l l l l l l l l l l

dari ketentuan atau prosedur baku (benar). Dalam bidang kesehatan,


l l l l l l l l l l l
120

malapraktik adalah penyimpangan dalam penanganan kasus atau


l l l l l l l l l l l l l l l l

penanganan kesehatan (termasuk penyakit) oleh tugas kesehatan


l l l l l l l l l l

sehingga menyebapkan dampak buruk bagi penderita atau pasien. l l l l l l l l l l

Dalam praktik kedokteran kelalaian juga diartikan dengan melakukan


l l l l l l l l l l l l l

tindakan medis di bawah standar layanan medis atau standar profesi


l l l l l l l l l l l l l

kedokteran.122 l

Malapraktik adalah suatu jenis kelalaian dalam standar profesional


l l l l l l l l l l l l l l l

yang berlaku umum, dan pelanggaran atas tugas yang menyebabkan


l l l l l l l l l l l l

seseorang menderita kerugian. Hal ini dilakukan oleh seorang l l l l l l l

profesional ataupun bawahannya, agen atas nama klien atau pasien l l l l l l l l l l l l l l l

yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien 123.


l l l l l l l l

Dari beberapa pengertian tentang malapraktik medik di atas semua


l l l l l l l l l l l

sarjana sepakat untuk mengartikan malapraktik medik sebagai


l l l l l l l l l l l l

kesalahan dokter yang karena tidak mempergunakan ilmu pengatahuan


l l l l l l l l l l l l

dan keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya


l l l l l l l l l l l

mengakibatkan pasien terluka atau cacat bahkan meninggal. l l l l l l l l l l l l

Adapun beberapa pengertian malpraktik Menurut para sarjana / ahli


l l l l l l l l l l l l l

sebagai berikut: l l

1. Menurut Fuady (2005), malpraktik adalah kelalaian seorang dokter l l l l l l l l l l

untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim l l l l l l l l

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka l l l l l l l l l l l

menurut ukuran di lingkungan yang sama, yang dimaksud kelalaian l l l l l l l l l l

di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang l l l l l l l l l l l l l l

seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi l l l l l l l l l l l l

sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati


l l l l l l l l l l l l

tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.124


l l l l l l l l l

122
Sukidjo Notoatmojo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rinika Cipta, 2010),
h.166
123
https://id.wikipedia.org/wiki/Malapraktik, diakses pada tanggal 25 november 2022,
jam 22:00 wib.
124
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2005, h 34.
121

2. Menurut Ninik Mariyanti l l bahwa l l malpractice l l itu sebenarnya l l

mempunyai suatu pengertian yang luas yang dapat dibagi dua yaitu, l l l l l l l l l l l

dalam arti umum: suatu praktik khususnya praktik dokter yang buruk,
l l l l l l l l

yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi dan
l l l l l l l l

dalam arti khusus Malapraktik dapat terjadi dalam menentukan


l l l l l l l l l l l l

diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan,


l l l l l l l l l l l l l

dan sesudah perawatan dalam batas waktu tertentu.


l l l l l l l l l l

3. Kemudian Malapraktik di dalam kasus valentin v. Society se l l l l l l l l

bienfaisance di Los Angeles, California tahun 1956 di definisikan


l l l l l l l

sebagai l l kelalaian l l l dari l seorang l dokter atau l l perawat l l untuk


menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam l l l l l l l l l l l

memberikan l pelayanan l l l pengobatan l l dan l perawatan l l l terhadap l l

seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan


l l l l l l l l l l l

merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.


l l l l l l l l l l l l l

“Malpractice is the neglet of physicia n or to apply that degree of skill


l l l l l

and learning on treating and nursing a patient which iscustomary


l l l l l l l

applied in treating and caring for the sick or wounded similary in gthe
l l l l l

same community.125
l

4. Menurut Ngesti Lestari (2001) mengartikan malpraktek secara l l l l l l l

harfiah sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah. Dari


l l l l l l l l l l l l l l l l

beberapa pengertian tentang malpraktik medik di atas semua sarjana


l l l l l l l l l l l l

sepakat untuk mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan


l l l l l l l l l l l

dokter yang karena tidak menggunakan ilmu pengetahuan dan l l l l l l l l l

tingkat ketrampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya


l l l l l l l l l l l

mengakibatkan pasien terluka atau cacat bahkan meninggal.126


l l l l l l l l l l l l

125
J. Guwandi, Hukum Medik (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007),h. 23.
126
Ngesti Lestari, Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter, Kumpulan Makalah
Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful
Anwar, Malang, 2001.
122

Jadi dilihat dari arti istilah “Malpraktik” itu sendiri, Malpraktik tidak
l l l l l l l l l l

merujuk hanya kepada suatu profesi tertentu, namun juga meliputi l l l l l l l

beberapa profesi yang ada, misalnya : Dokter dan dokter gigi l l l l l l l l

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004


l l l l l l l l l l

tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”); Advokat


l l l l l l l

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003


l l l l l l l l l l

tentang Advokat (“UU Advokat”); Notaris sebagaimana diatur dalam


l l l l l l l l l l l l l

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU


l l l l l l l l

Jabatan Notaris”); Akuntan Publik sebagaimana diatur dalam Undang-


l l l l l l l l l l l l l l

undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (“UU Akuntan


l l l l l l l

Publik”). Dimana setiap profesi tersebut memiliki kode etik masing- l l l l

masing sebagai pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain


l l l l l l l l l l l

peraturaan perundang-undangan, kode etik biasanya juga dijadikan


l l l l l l l l l l l l

dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah ada


l l l l l l l l l l l

pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.


l l l l l l l l l l

Dalam hal ini Khusus mengenai praktik kedokteran, dalam Pasal 66


l l l l l l l l l l

ayat 3 UU Praktik Kedokteran dikatakan bahwa masyarakat yang


l l l l l l l l l l l l l l

merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan


l l l l l l l l l l l

kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDKI”)


l l l l l l l

dan laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor


l l l l l l l l l l l l l

secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.


l l l l l l l l l l l

Namun dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga


l l l l l l l l l l l l l

mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk l l l l l l l l l l l

melaporkannya ke MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 Undang-


l l l l l l l l l

undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan bahwa


l l l l l l l l l l

dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam


l l l l l l l l l l l l l l l

menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih


l l l l l l l l l l

dahulu melalui mediasi.


l l l
123

Beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian l l l l l l l l l l l l l l

dokter dalam melakukan praktik kedokteran adalah : l l l l l l l l l

1. Melaporkan kepada MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran


l l l l l l l l

Indonesia); l

2. Melayangkan teguran baik secara lisan maupun tertulis (somasi);


l l l l l l l l l l

3. Melakukan mediasi; l l l

4. Menggugat l secara l l perdata l l pada l l peradilan l l umum (wilayah l l

Pengadilan Negeri tempat kejadian perkara); l l l l l l l

5. Jika ternyata terbukti secara hukum ada kesengajaan dalam


l l l l l l l l l l l l

tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya


l l l l l l l l l l l l l l

pelaporan secara pidana.


l l l l l l

Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan l l l l l l l l l l l

profesinya itu merupakan suatu malpraktek atau bukan, Leenen l l l l l l l l l

menyebutkan lima criteria, seperti dikutip oleh Fred Ameln 127yaitu: l l l l l

1. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan kelalaian l l l l l l l l l l l l l

(culpa). Bila seorang dokter bertindak onvoorzichteg, tidak teliti, tidak


l l l l l l

berhati-hati, maka ia memenuhi unsure kelalaian; bila ia sangat tidak


l l l l l l l l l l l l l

berhati-hati, ia memenuhi unsur culpa lata;


l l l l l l

2. Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medic (volgens de


l l l l l

medische standard); l l

3. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medis yang sama


l l l l l l l l l l l l l

(gemiddekde bewaamheid van gelike medische categorie); l l l l

4. Dalam situasi dan kondisi yang sama


l l l l l l l

5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proporsional (asas


l l l l l l l l l l l l

proposionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan atau perbuatan l l l l l l l l l l

medis tersebut.
Adami chazawi menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi jika
l l l l l l l l l l l

dokter atau orang yang di bawah perintahnya dengan sengaja atau


l l l l l l l l l l l l l

karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik


l l l l l l l l l l l l l l l l

medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar l l l l l l l l l l l l l

127
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, h.87.
124

standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau


l l l l l l l l l

dengan melanggar hukum tanpa wewenang, dengan menimbulkan


l l l l l l l l

akibat kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau
l l l l l l l l l l l

nyawa pasien dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawabn


l l l l l l l l

hukum bagi dokter. l

Menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolongan l l l l l l l l l

sebagai tindakan malpraktik haruslah memenuhi elemen-lemen yuridis


l l l l l l l l

sebagai berikut: l l

1. Adanya l l l tindakan, l l dalam l l arti l “berbuat” l atau l l “tidak l bebuat” l

(pengabaian) l l l

2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang dibawah l l l l l l l l l

pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyedia l l l l l l l l l l

fasilitas kesehatab, seperti rumah sakit, klinik, apotek dan lain-lain.


l l l l l l l l l l

3. Tindakan tersebut berupa tindakan medic, baik berupa tindakan l l l l l l l l l

diagnostik, terapi, atau manajemen kesehatan;


l l l l l l l l

4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya; l l l l l l l l

5. Tindakan tersebut dilakukan secara: l l l l l l

a. Melanggar hukum, dan atau; l l l l l

b. Melanggar kepatutan, dan atau; l l l l l l l

c. Melanggar kesusilaan, dan atau; l l l l l l l

d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas. l l l l

6. Dilakukan dengan Kesengajaan atau ketidakhati-hatian (kelalaian,


l l l l l l l l l l l l l l l

kecerobohan); l

7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami: l l l l l l l l l

3. Salah tindak, dan atau; l l l l l l

4. Rasa sakit, dan atau; l l l l l l

5. Luka, dan atau; l l l l

6. Cacat, dan atau; l l l l l

7. Kematian, dan atau; l l l l l

8. Kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau; l l l l l l l l l l l

9. Kerugian lainnya terhadap pasien; l l l l l l


125

Sehingga dalam hal ini menyebabkan dokter harus bertanggung l l l l l l l l

jawab secara administrasi, perdata, maupun pidana.128


l l l l l l l l l l l

Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek medis dalam


l l l l l l l l l l l

hukum di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 l l l l l l

Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang


l l l l l l l

Praktik Kedokteran.
l l

1. KUHP Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur l l l l l l l l l l

dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada


l l l l l l l l l l

akibat dari perbuatan malpraktek tersebut. Pengaturan Dalam Kitab


l l l l l l l l l l l l

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat dari ketentuan


l l l l l l l l l

Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan percobaan melakukan kejahatan


l l l l l l l l l l l l

Pasal ini hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar


l l l l l l l l l l l l l

seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan


l l l l l l l l l l l

suatu percobaan. Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan Surat,


l l l l l l l l l

Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP ya ng berkaitan dengan upaya


l l l l l l l l

abortus criminalis (pengguguran kandungan) karena di dalamnya


l l l l l l l l l l

terdapat unsur adanya upaya menggugurkan kandungan tanpa


l l l l l l l l l l l l

adanya indikasi medis. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan


l l l l l l l l l l l

sebagaimana l l l l penjelasan l l Menteri Kehakiman l l bahwa l l setiap l

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan l l l l l l l l l

penderitaanbadan kepada orang lain atau dengan sengaja untuk l l l l l l l l l l l l l

merugikan kesehatan badan orang lain.129 l l l l l l l

Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka l l l l l l l l l l l l l

dapat dilihat dari ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait
l l l l l l l l l l

dengan penanggulangan tindak pidana malpraktek kedokteran dapat


l l l l l l l l l l l l

didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena


l l l l l l l l l l l l l

kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan


l l l l l l l l l

128
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2005, h 2
129
Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta,
h. 134
126

130
perlindungan hukum bagi pasien l l l sebagai upaya preventif l l l l

mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana malpraktek l l l l l l l l l l l

kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari l l l l l l

rasa takut yang berlebihan dengan adanya Pasal ini. Pasal 360
l l l l l l l l l l l l l

KUHP, rumusan l dalam l l Pasal l l 359 dan l Pasal l l 360 KUHP


menyebutkan tentang cacat, luka – luka berat maupun kematian l l l l l l l l l l

yang merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga


l l l l l l l l l l

dari sudut pandang subjektif sikap batin petindak disini termasuk


l l l l l l l

dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya.


l l l l l l l l l l

Pasal 361 KUHP yang merupakan Pasal pemberatan pidana bagi


l l l l l l l l l l l l

pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam


l l l l l l l l l l l l l l l l l

hal ini jabatan profesi sebagai dokter, bidan dan juga ahli obat-
l l l l l l l l l l l

obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya


l l l l l l l l l l l l l

karena apabila mereka lalai sehinga mengakibatkan kematian bagi


l l l l l l l l l l l l l l l

orang lain atau orang tersebut menderita cacat maka hukumannya


l l l l l l l l l l l l

dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Pasal 304
l l l l l l l l l l l

KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP “kalau salah satu perbuatan yang l l l l l l l l l l l l

diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah


l l l l l l l l l l l l l

itu dihukum penjara paling lama sembilan tahun”. Terkait dengan l l l l l l l l l

kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat dilihat dari ketentuan


l l l l l l l l l l l l l

Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP ya ng dapat dikaitkan dengan
l l l l l l l l

euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai


l l l l l l l l l l l l l

upaya penanggulangan tindak pidana malpraktek di Indonesia


l l l l l l l l l l l

menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa l l l l l l l l l l l l l

permintaan adalah dilarang. Termasuk juga dengan euthanasia aktif l l l l l l l l l l l l l l

dengan permintaan. l l l

a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan l l l l l l

Adapun kebijakan formulasi hukum pidana terkait dengan


l l l l l l l l l

penanggulangan tindak pidana malpraktek medis dapat dilihat dari l l l l l l l l l l l l

130
Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 125
127

ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan yang berkaitan dengan dengan l l l l l l l l l l

kelalaian, disebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga


l l l l l l l l l l l l l l

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian


l l l l l l l l l l l l l l

tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.” l l l l l l

Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat dilihat dari ketentuan


l l l l l l l l l l

Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan. Terkait dengan


l l l l l l l l l l

transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal


l l l l l l l l l l l l l

65, Pasal 66, apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan Pasal l l l l l l l l l l l l l l

tersebut maka dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai ketentuan l l l l l l l l l l

Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan : “Setiap orang yang


l l l l l l l l l l l

dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh l l l l l l l l l l

dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 l l l l l l l l l l l l l

ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)


l l l l l l l l l l l l

tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar


l l l l l l l l

rupiah)” Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam


l l l l l l l l l l l

Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 UU Kesehatan bagi yang melakukan


l l l l l l l l l l l l

pelanggaran dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan


l l l l l l l l l l l l l l

dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa “Setiap orang


l l l l l l l l l l l

yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan


l l l l l l l l l l

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) l l l l l l l l l l l l

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun l l l l l l l l l l l

dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar


l l l l l l l

rupiah).” l

b. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


l l l l l l

Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan tindak


l l l l l l l l l l l

pidana malpraktek kedokteran pada Undang – Undang No. 29


l l l l l l l l l

Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dapat dilihat dalam Pasal


l l l l l l l l l l l

51 UU Praktik Kedokteran mengenai kewajiban dari dokter dan l l l l l l l

dokter gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU Praktik Kedokteran yang l l l l l l l

berlaku bagi orang yang bukan dokter yang dengan sengaja


l l l l l l l l l

menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang l l l l l l l l l


128

menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah – olah dokter yang l l l l l l l l l l

telah memiliki SIP atau STR ( Surat izin praktik atau Surat Tanda
l l l l l l l l l l

Registrasi ), Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80 UU Praktik Kedokteran. l l l l l l l l l

T. Unsur-unsur Malpraktek Medis l l

Malpraktik merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga


l l l l l l l l l l l l

kesehatan dalam menjalankan yang tidak sesuai dengan standar


l l l l l l l l l l l l l

pelayanan medik, sehingga pasien menderita luka, cacat, atau


l l l l l l l l l l l

meninggal dunia. M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir memberikan l l l l l l l l l

beberapa unsur-unsur malpraktek yaitu: l l l l l

1. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga


l l l l l l l l l l l l l l l l

kesehatan dalam menjalankan profesinya; l l l l l l l l

2. Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur


l l l l l l l l l l l

oprasional; l l

3. Adanya luka berat atau mati yang mengakibatkan pasien cacat atau
l l l l l l l l l l l l l l l l l

meninggal l

4. Adanya hubungan klasual dimana luka berat yang dialami pasien


l l l l l l l l l l l l l l

merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan l l l l l l l l l l l

standar pelayanan medik.131


l l l l l

Terdapat unsur-unsur malpraktek lain yang ada dalam buku Veronikal l l l l l l l l l l

yaitu:l

1. Kewajiban l l (duty): saat l l terjadinya l l cedera l terkait l dengan l

kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan


l l l l l l l l l l l

kepandaiannya untuk menyembuhkan atau meringankan beban


l l l l l l l l l l

penderita pasiennya berdasarkan standar profesi. l l l l l l l l

2. Tidak melaksanakan kewajiban (breach of the duty): pelanggaran


l l l l l l l l l l l

terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari


l l l l l l l l l l

apa ang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.


l l l l l l l l l l

131
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2009, Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Cet. Pertama, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h.9.
129

3. Sebab-akibat l l l (proximate l caused): l pelanggaran l l l terhadap l l

kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami


l l l l l l l l l l l l l

pasien. l

4. Cedera (injury): seseorang mengalami cedera atau kerusakan yang


l l l l l l l l l l

dapat dituntut secara hukum.


l l l l

Adapun Pasal-Pasal yang berkaitan dengan malpraktek terutama


l l l l l l l l l l l l l l

dalam kasus ini yaitu:


l l l l

1. Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


l l l l l l l

(1) “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: l l l l l l l l

(a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan


l l l l l l l l l

yang turut serta melakukan perbuatan; l l l l l l

(b) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu l l l l l l l l

dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, l l l l l l l l l l l l l

dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau l l l l l l l l l l l l

dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, l l l l l l l l l l

sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan l l l l l l l l l l

perbuatan.” l l

2. Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


l l l l l l l

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan


l l l l l l l l l l l l l l l l

orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
l l l l l l l l l l l l l l

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”


l l l l l l l l l l l

3. Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


l l l l l l l

(1) “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat l l l l l l l l l l l l

yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau l l l l l l l l l l

pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti l l l l l l l l l

suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh rang l l l l l l l l l

lain memakai surat tersebut selah-lah isinya benar dan tidak


l l l l l l l l l l

palsu, diancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan l l l l l l l l l l

kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara l l l l l l l l l l l

paling lama enam tahun. l l l l l

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan l l l l l l l l l l l l l

sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan selah-lah l l l l l l l l l l l l l

asli, bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”


l l l l l l l l l l
130

Pasal 264 KUHP


l l

(1) “Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling l l l l l l l l l l l

lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: l l l l l l l l l l

a) Akta-akta otentik; l l l l

b) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara l l l l l l l l l l

atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; l l l l l l l l l l l

c) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari l l l l l l l l l l l

suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: l l l l l l l l l l l

d) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat l l l l l l l l l l l

yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang l l l l l l l l l l l

dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; l l l l l l l

e) surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk l l l l l l l l

diedarkan. l l

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan l l l l l l l l l l l l l

sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang l l l l l l l l l l l l

isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan l l l l l l l l l l l l

tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan l l l l l l l l l

kerugian.” l

4. Pasal 76 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004


l l l l l

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan


l l l l l l l l l

praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana


l l l l l l l l l l

dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling


l l l l l l l l l l l l l

lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00


l l l l l l l l l l

(seratus juta rupiah).” l l l

U. Bentuk-bentuk Malpraktik l l

Bentuk-bentuk malpraktek itu terbagi tiga yaitu: l l l l l

1. Kesengajaan l l l

Bentuk kesengajaan dalam malpraktek itu yaitu: misalnya terjadi l l l l l l l l l l l

apabila pasien membutuhkan pertolongan tetapi dokter dalam hal ini


l l l l l l l l l l

hanya membiarkan pasien sehingga ini bisa juga dikatakan


l l l l l l l l l l l

malpraktek. Adapun contoh lain seperti dikter sengaja meninggalkan


l l l l l l l l l

alat bedah didalam tubuh pasien pada saat di sedang dioperasi


l l l l l l l l l l l l

sehingga mengakibatkan pasien menderita eksakitan atau cacat atau l l l l l l l l l l l l l l

pun meninggal dunia. Kesengjaan dapat dilihat sebagai berikut: l l l l l l l l l


131

a. Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), tenaga


l l l l l l l l l l l l

medis tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal l l l l l l l l l l l l

diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta l l l l l l l l l l l

memberikan surat keterangan yang tidak benar. Contoh : l l l l l l l

melakukan aborsi tanpa tindakan medis. l l l l l l l

b. Malpraktik l l pidana l l karena l l kecerobohan l (recklessness),


misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak
l l l l l l l l l l l l

sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa l l l l l l l l l l l

disertai persetujuan tindakan medis. Contoh: Kurang hati-hatinya l l l l l l l l

perawat dalam memasang infus yang menyebabkan tangan


l l l l l l l l l l l

pasien membengkak karena terinfeksi.


l l l l

c. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya


l l l l l l l l l l l

terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan


l l l l l l l l l l l l l l l l

tenaga kesehatan yang kurang hati-hati. Contoh: seorang bayi


l l l l l l l l l l

berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan l l l l l l l l l l l l

melepas bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus. l l l l l l

2. Kelalaian l l l

Kelalaian (neglected) adalah sikap individu dalam melakukan


l l l l l l l l l l l

sesuatu yang sebenarnya dapat dia lakukan atau melakukan sesuatu


l l l l l l l l l l l l l l

yang dihindari orang lain (Creighton, 1986). Menurut Hanafiah dan


l l l l l l l l

Amir (1999) mengatakan bahwa kelalaian (neglected) adalah sikap


l l l l l l l l l l l l l

yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang


l l l l l l l l l l l l

dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya


l l l l l l l l l l l l l l

melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan


l l l l l l l l l l l l l

melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian lebih bersifat


l l l l l l l l l l

ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, tidak


l l l l l l l l l l l l

peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang l l l l l l l l l

ditimbulkan l memang l bukanlah l l menjadi l tujuannya. l l Kelalaian l l l

bukanlah pelanggaran hukum atau kejahatan apabila kelalaian itu


l l l l l l l l l l l l l l l l

tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan
l l l l l l l l l l l l l l
132

orang l itu dapat l l menerimanya. l l Tetapi l jika l kelalaian l l l itu


mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
l l l l l l l l l l

nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat


l l l l l l l l l l l l l l l

(culpa lata), serius, dan kriminal. l l l l l

Kelalaian/Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk


l l l l l l l l l

melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan) atau Commission


l l l l l l l l l l

(melakukan sesuatu secara tidak hati-hati) (Tonia, 1994). Dapat


l l l l l l l l l l l

disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang l l l l l l l l l l l l l

harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak


l l l l l l l l l l l l

dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah


l l l l l l l l l l l l l l

ditentukan. Kelalaian praktek kedokteran adalah seorang dokter tidak l l l l l l l l l l l

mempergunakan l l tingkat l keterampilan l l dan l ilmu pengetahuan l l

kedokteran yang lazim dipergunakan dalam melakukan tindakan l l l l l l l l l l l

menolong pasien. l

Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran tingkat l l l l l l l l l l

yaitu:
l

a. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) – (Culpa


l l l l l l l

levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang l l l l l l l l l l l l

biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan, atau justru


l l l l l l l l l l l l l

melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan l l l l l l l l l l l l l l

didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut. l l l l l l l

b. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) – (Culpa lata), yaitu


l l l l l l l l l

apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak


l l l l l l l l l l l l

melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak l l l l l l l l l l l

dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which


l l l l l l

wold be proper to prived or the doing of tha t which would be l

improper to do).
Penilaian atas kelalaian sangat penting untuk dilakukan, karena l l l l l l l l l l l l l

merupakan salah satu unsur utama dari malpraktek. Seorang penulis l l l l l l l l l l l

merumuskan bahwa ukuran untuk seorang dokter yaitu “… that he l l l l l l l

should show a fair, reasonable and competent degree of skill”. Jika l l l l l l


133

norma ini tidak dapat dicapai maka pada dasarnya dokter harusl l l l l l l l l l l l l l

bertanggung l jawab l l terhadap l l kerugian l yang l timbul akibat l l

tindakannya (the carrying out of treatment can be contra legem artis,


l l l l l l l l

if it done without a proper and reasonable standard of skill, care and l l l l l l l l

competence of the medical profession). l

Perlu ditekankan bahwa unsur-unsur tersebut berlaku secara l l l l l l l

kumulatif, yang artinya harus terpenuhi seluruhnya karena satu dan l l l l l l l l l l

lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi. Ukuran yang


l l l l l l l l l l

digunakan untuk culpa (kelalaian) ini bukanlah orang/dokter yang l l l l l l l l l l

paling l hati-hati, l l melainkan culpa l l l lata itu l l sendiri. Hal l ini


mengharuskan kita untuk kembali mengacu pada SPM. Culpa l l l l l l l l

lata tidaklah tergolong pada tindakan perdata, tetapi tergolong


l l l l l l l l l l l

pidana. Perkara yang hanya memenuhi culpa levis dan tidak dikenai
l l l l l l l l l l l

hukuman pidana, akan ditampung dalam hukum perdata dan hukum l l l l l l l l l l l

disiplin tenaga kesehatan. l l l l

Secara l l yuridis penilaian l l atas l l tindakan l l dokter bukanlah l l

berdasarkan hasil (resultaatverbitenis), melainkan berdasarkan


l l l l l l l l l l l

usaha ataupun upaya yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis).


l l l l l l l l l l l

Jadi, jika dokter telah bekerja sebaik-baiknya berdasarkan standar


l l l l l l l l l l l l

profesinya dan mendapatkan informed consent dari pasien maka l l l l l l l l l

secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum maupun hak


l l l l l l l l l l l

asasi manusia. Dengan kata lain, dokter tersebut bebas dari


l l l l l l l l l l

hukuman baik pidana maupun perdata, tetapi semuanya itu tentu l l l l l l l l l l

saja harus melewati proses peradilan terlebih dahulu. Sehingga, dari


l l l l l l l l l

sebuah kepustakaan dinyatakan bahwa hanya beberapa kasus saja


l l l l l l l l l l l l l l l l

yang dapat digolongkan pada malpraktik, lainnya dapat berupa


l l l l l l l l l l l l l

kelalaian ataupun berupa kecelakaan medik (ataupun memang risiko


l l l l l l l l l l l l

dari proses pembedahan).


l l l
134

3. Resiko medik atau keadaan darurat l l l l l l l

Ada istilah lain yang masyarakat belum memahami, atau bahkan


l l l l l l l l l l l l l l l

tenaga medis sendiri pun belum paham apa istilah yang terjadi
l l l l l l l l l

dalam pelayanannya. Ada yang dikenal dengan risiko tindakan medis


l l l l l l l l l l l l l

yang memiliki makna sangat luas. Risiko medis terbangun dari kata
l l l l l l l l l l

“risiko” dan “medis”. Risiko sendiri berasal dari kata “risk” yang dalam l l l l l l l l l

bahasa Inggris berarti ada kemungkinan terjadinya sesuatu yang


l l l l l l l l l l l

tidak baik di kemudian hari, situasi yang dapat membahayakan, atau


l l l l l l l l l l l l l l

mempunyai hasil yang tidak baik. l l l l l

Sedangkan pengertian tindakan medis, mengutip Permenkes


l l l l l

290/Menkes/Per/III/2008, pengertiannya tindakan kedokteran adalah l l l l l l l l

suatu tindakan medis, berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau


l l l l l l l l

rehabilitatif yang dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap pasien.


l l l l l l l l l l

Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses l l l l l l l l l l l

pengobatan, seperti penegakan diagnosis, operasi, penentuan obat l l l l l l l l

dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medis juga
l l l l l l l l l l l

dapat terjadi di semia tempat fasilitas pengobatan misalnya rumah


l l l l l l l l l l l l

sakit, klinik, praktik dokter, apotik, dirumah pasien, di tempat umum


l l l l l l

(pada kegiatan imunisasi, bakti sosial misalnya), dan lain-lain.


l l l l l l l l l l l l

Mengacu beberapa literatur yang berkenaan dengan “medical l l l l l l l l l

risk” diketahui ada perbedaaan antara risiko relatif dan risiko mutlak. l l l l l l l l l l l l

Risiko relatif tindakan medis artinya risiko itu bersifat individual dan l l l l l l l l

tidak diperkirakan sebelumnya, sedangkan risiko multak bersifat


l l l l l l l l

umum. Artinya, semua orang yang mendapatkan tindakan medis itu l l l l l l l l l l

akan mendapatkan risiko yang sama dan sudah diperkirakan


l l l l l l l l l l l l

sebelumnya. Risiko relatif dicontohkan dengan orang yang tanpa l l l l l l l l

diketahui l sebelumnya l ternyata l l tidak l tahan l l dengan l suntikan l

antibiolotik penciline sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik.


l l l l l l l l

Risiko mutlak, misalnya, rontoknya rambut setelah sering menjalani l l l l l l l l

kemoterapi kanker. l l
135

Kategori risiko yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban


l l l l l l l l l l l

atau risiko yang bukan menjadi tanggung jawab dokter ;


l l l l l l l l

a. Telah melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi,


l l l l l l l l l

standar medis dan standar operasional prosedur. Sebagaimana


l l l l l l l l l l l

juga pernyataan di dalam Pasal 50 huruf a UUPK, apabila


l l l l l l l l l l l l

seorang dokter telah melaksanakan pelayanan medis atau praktik


l l l l l l l l l l l l

kedokteran l sesuai l dengan l standar l l profesi dan l standar l l

operasional maka ia (dokter dan dokter gigi) tersebut tidak dapat


l l l l l l l l l

dituntut hukum baik secara perdata, pidana dan administrasi l l l l l l l l l l

b. keberadaan informed consent atau persetujuan tindakan medis. l l l l l l l l

Sebelum melakukan l l tindakan l l medis, dokter berkewajiban l l

memberikan penjelasan terhadap pasien dan atau keluarganya l l l l l l l l l l l l

yaitu tentang diagnosis dan juga tata cara tindakan medis, tujuan
l l l l l l l l l l l l

untuk tindakan medis yang dilakukan, serta alternatif tindakan lain l l l l l l l l l l l

berikut risikonya yang akan terjadi. Adapun pengaturan mengenai l l l l l l l l l l

persetujuan tindakan medis diatur dalam Pasal 39 dan 45 UUPK. l l l l l l l l l

Selain itu persetujuan tindakan medis juga diatur secara khusus


l l l l l l l l

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 290/MENKES/PER/III/2008


l l l l l

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. l l l l l

c. Contribution Negligence. Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila l l l l l l l l l

dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan pasiennya l l l l l l l l l l l l l

apabila pasien tidak mau bekerjasama, atau pasien tidak


l l l l l l l l l l l l l

kooperatif, tidak berkenan menjelaskan dengan jujur tentang l l l l l l l

suatu riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan


l l l l l l l l l l l l

yang dikonsumsi sebelum pasien berobat kepada dokter yang


l l l l l l

bersangkutan. Atau bahkan pasien tidak melaksanakan apa yang


l l l l l l l l l l l l l l l

telah dinasehatkan dokter kepada pasien. Hal ini pada dasarnya


l l l l l l l l l l l l l

telah diatur dalam Pasal 50 UUPK mengenai hak dokter, yang


l l l l l l l l l

mana pada huruf c dinyatakan, dokter dan atau dokter gigi dalam
l l l l l l l l l l l l

melaksanakan praktiknya berhak mendapat informasi atau


l l l l l l l l l l l l

penjelasan yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya l l l l l l l l l l l l


136

mengenai latar belakang kesehatan pasien Pada suatu kegagalan l l l l l l l l l l l l l l

medis yang disebabkan karena pasien tidak melaksanakan l l l l l l l l l l l

kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 52 UUPK adalah tidak


l l l l l l l l l l l l l l l

dapat dipersalahkan kepada dokter.


l l l l l l l

d. Keempat, Error l of Judgment (kesalahan l l l penilaian). l l Bidang l

kedokteran merupakan satu bidang yang amat komplek, seperti l l l l l l l l

dalam suatu pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan atau


l l l l l l l l l l l l

pendapat yang berlainan mengenai satu terapi penyembuhan l l l l l l l l l

penyakit. Menurut Munir Fuadi, ilmu medis adalah suatu


l l l l l l

gabungan dari suatu seni dan arts, di samping gabungan


l l l l l l l l l

teknologi dan kematangan atau pengalaman dokter tersebut. l l l l l l l l l

Antara dokter yang satu dengan dokter yang lain cenderung


l l l l l l l l

terdapat perbedaan penanganan, namun hal demikian adalah


l l l l l l l l l l l l l

dapat diperbolehkan sepanjang masih sesuai dengan standar


l l l l l l l l l l

medis maupun standar profesional dan operasional. Berdasarkan l l l l l l l l l l

keadaan di atas muncul satu teori yang disebut dengan


l l l l l l l l

(respectable minority rule), yaitu seseorang dokter tidak dianggap l l l l l l

berbuat lalai apabila ia memilih salah satu dari sekian banyak cara l l l l l l l l l l l l l l l l

pengobatan yang diakui l l l l

e. Kelima, Volenti non fit injuria. Volenti non fit iniura adalah satu
l l l l l l l

doktrin hukum yang dikenali juga sebagai Asumption of risk atau l l l l l l l l

suatu anggapan bahwa pasien telah mengetahui adanya risiko


l l l l l l l l l l l l

yang akan terjadi. Apabila seseorang pasien telah mengetahui


l l l l l l l l l l l

ada satu risiko dalam tindakan medis atas dirinya, tetapi ia tetap
l l l l l l l l l l l l l

menyetujui tindakan tersebut, dan apabila nanti akan terjadi risiko l l l l l l l l l l

sebagaimana telah dia ketahui sebelumnya, maka terhadap risiko


l l l l l l l l l l l l

itu tidak dapat dipersalahkan kepada dokter. Oleh itu, informasi l l l l l l l l l

atas penyakit dan risiko mesti diinformasikan kepada pasien


l l l l l l l l l

sebelum dokter melakukan tindakan medis ke atas pesakit. l l l l l l l


137

Pada dasarnya terhadap risiko medis dokter tidak dapat dimintai


l l l l l l l l l l l

suatu pertanggungjawaban hukum sepanjang telah melakukan


l l l l l l l l l l

tindakan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun ada juga


l l l l l l l l l l l l l l l

risiko medis yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban l l l l l l l l l l

kepada dokter manakala risiko medis itu bermula dari praktik yang
l l l l l l l l l l

salah. Misalnya pada perbuatan pengguguran bayi atau yang biasa


l l l l l l l l l l l l l l l

dikenali sebagai tindakan aborsi. Risiko medis akibat aborsi juga


l l l l l l l l l l

dapat l l menyebabkan l l kematian. l l Akibat l l timbul dari l tindakan l l

sedemikian adalah salah satu contoh risiko medis yang dapat l l l l l l l l l l

dimintakan l l suatu l pertanggungjawaban l l l l kepada l l dokter yang l

bersangkutan. l l

Adapun bentuk-bentuk malpratik menurut para ahli yaitu:


l l l l l l l l

Menurut pendapat Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan l l l l l l l

malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical


l l l l l l l l

malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridicalmalpractice), ditinjau


l l l l l l l l l

dari segi etika profesi dan segi hukum yaitu : Malpraktek Etik,
l l l l l l

Malpraktek Yuridis Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini


l l l l l l l

menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice),


l l l l l l l l l

malpraktek l l pidana l l (criminal l malpractice) l l dan l malpraktek l l

administratif (administrative). Adapun penjelasannya sebagai berikut:


l l l l l l l l l l l

a. Malpraktik Etik l l

Malpraktik etik yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan


l l l l l l l l l l l

yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga


l l l l l l l l l l

kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan l l l l l l l l l l l

yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang


l l l l l l l l l l l

dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat l l l l l l l l l

standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk


l l l l l l l l l

seluruh bidan. Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan l l l l l l l l l l

yang bertentangan dengan etika kedokteran, sedangkan etika


l l l l l l l l l

kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan l l l l l l l l


138

seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku


l l l l l l l l l l l

untuk dokter.
b. Malpraktik Yuridis
l l

Malpraktik yuridis dibagi menjadi menjadi tiga bentuk, yaitu


l l l l l l l

malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal


l l l l l l l l l l l

malpractice)
l l dan l malpraktik l l administratif l l (administrative l l

malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:


l l l l l l l l l l l l

1) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)


l l l l l l

Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang


l l l l l l l l l l l l l

menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) l l l l l l l l

didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau


l l l l l l l l l l l

terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),


l l l l l l l l l

sehingga l menimbulkan l kerugian l kepada l l pasien. l Dalam l l

malpraktik perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktik


l l l l l l l l l l l

yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat


l l l l l l l l l l l l l l

ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah


l l l l l l l l l l l l

kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan


l l l l l l l l l l l l l

tersebut termasuk dalam malpraktik pidana. Contoh dari l l l l l l l l

malpraktik perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan


l l l l l l l l l l

operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si


l l l l l l l l l

pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal


l l l l l l l l l l

kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban l l l l l l l

yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang


l l l l l l l l l

dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan


l l l l l l l l

akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.


l l l l l l l l l l

2) Malpraktik Pidana
l l l l

Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia


l l l l l l l l l l l

atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-


l l l l l l l l l l l l l l

hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan


l l l l l l l l l l l l l l

terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.


l l l l l l l l l l

Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu:


l l l l l l l l
139

a) Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), tenaga


l l l l l l l l l l l l

medis tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat l l l l l l l l l

padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa


l l l l l l l l l l l l l

menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak l l l l l l l

benar. Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan medis. l l l l l l l l

b) Malpraktik l l pidana l l karena l l kecerobohan l (recklessness),


misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak l l l l l l l l l l l l

sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan l l l l l l l l l

tanpa disertai persetujuan tindakan medis. Contoh: Kurang


l l l l l l l

hati-hatinya l l l perawat l l dalam l l memasang l l infus yang l

menyebabkan tangan pasien membengkak karena terinfeksi. l l l l l l l l

Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya


l l l l l l l l l l l

terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat l l l l l l l l l l l l l l

tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati. Contoh: l l l l l l l l l l

seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada l l l l l l l l

saat perawat akan melepas bidai yang dipergunakan untuk


l l l l l l l l l l l

memfiksasi infus. l

3) Malpraktik Administratif
l l l l

Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan


l l l l l l l l l l l l

melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara


l l l l l l l l l l l

yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi


l l l l l l l l l l l

atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai


l l l l l l l l l l

dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin


l l l l l l l l l

yang sudah kadaluwarsa, dan menjalankan praktek tanpa


l l l l l l l l l l l l l

membuat catatan medik. l l l l

Adapun
l l Malpraktek l l yang l menjadi l penyebab l dokter
bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai
l l l l l l l l l

berikut:
a) Malpractice l l

Kelalaian karena tindakan kurang hati-hati seseorang l l l l l l l l l l l

yangdianggap profesional. l l l l
140

b) Maltreatment l l

Cara perlakuan perawatan yang tidak tepat atau tidak


l l l l l l l l l l l l l

terampil dalam bertindak. l l l l

c) Non feasance l l

Kegagalan dalam bertindak dimana disitu terdapat suatu l l l l l l l l l l l

tindakan yang harus dilakukan. l l l l l l

d) Misfeasance l l

Melakukan l l tindakan l l yang l tidak l tepat l yang l

seharusnyadilakukan dengan tepat. l l l l l l

e) Malfeasance l l l

Melakukan l l hal l yang l bertentangan l l dengan l hukum


atautindakan yang dapat dikategorikan tidak tepat.
l l l l l l l l l l l

f) Criminal negligence l

Melakukan tindakan dengan mengabaikan keselamatan l l l l l l l l l l l

orang l lainwalaupun l l l sebenarnya l l mengetahui l bahwa l l

tindakannya dapat mencelakakan orang lain. l l l l l l l l l l

V. Penanganan malpraktek medis indonesia


l l l l l l

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah l l l l l l l l l

hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan l l l l l l l l l l

hukum administrasi l l tidak l mengenal l bangunan l l hukum


“malpraktek”.Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai
l l l l l l l l l l l

peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam


l l l l l l l l l l l l

menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari


l l l l l l l l

pelanggaran etika kedokteran. Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang


l l l l l l l l l l l l l l l

mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu


l l l l l l l l

hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. l l l l l l l l

Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum


l l l l l l l l l l l l

positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila
l l l l l l l l l

diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum


l l l l l l l l l l l

baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum


l l l l l l l
141

Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah l l l l l l l l l l l

Hukum Kesehatan.Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan l l l l l l l l

sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health
l l l l l l l l l l l

Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum


l l l l l l l l

kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan


l l l l l l l l l

sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum


l l l l l l l l l

medik sebagai terjemahan dari medic law.Sejak World Congress ke VI l l l l l l l

pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di


l l l l l l l l

Indonesia. l

Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1


l l l l l l l l l l l l l l

Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedoktera n di l

Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya l l l l l l l l l

Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih
l l l l l l l l l l l

belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri.Setiap ada persoalan l l l l l l l l

yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada


l l l l l l l l l l l l

Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 l l l l l l l

Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Kalau


l l l l l l l l l

ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu


l l l l l l l l l l

yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan


l l l l l l l l l l l l l

dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam
l l l l l l l l l l l

pemikiran barat. l l l

Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna l l l l l l l l

memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek l l l l l l l l l l

medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni l l l l l l l l

sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan


l l l l l l l l l l

budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum


l l l l l l l l l l l l l

(legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.


l l l l l l l l

Dari l penjelasan l l ini maka l l kita l bisa l menyimpulkan l bahwa l l

permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur,


l l l l l l l l l l l

yaitu
l jalur l litigasi l (peradilan) l l dan l jalur l non litigasi l (diluar l

peradilan).Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan


l l l l l l l l l
142

atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya


l l l l l l l l l l l l l l l l l

dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam


l l l l l l l l l l l l l l

pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait l l l l l l l l l l l l l

dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orangl l l l l l l l l l l l l l l l

pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung


l l l l l l l l l l l l l l

jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi.
l l l l l l l l l l

Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka l l l l l l l l

metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi l l l l l l l l l l l l

masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik


l l l l l l l l l l l l l l l l

melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung


l l l l l l l l l l l

Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus l l l l l l l l l

yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya


l l l l l l l l l l l l

tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan


l l l l l l l

pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran


l l l l l l l l l l

(MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di
l l l l l l l l l l

dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK


l l l l l l l

ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika


l l l l l l l l l l l l

ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No.


l l l l l l l l l l

23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada l l l l l l l l l l

atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin


l l l l l l l l l l l l l l

Tenaga Kesehatan (Pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi


l l l l l l l l l l l

melalui Keputusan Presiden (Pasal 54 ayat 3).


l l l l l l

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden


l l l l l l l l l

No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang l l l l l l l

bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian l l l l l l l l l l l l l l l l

dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini l l l l l l l l l l l

bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya l l l l l l l l l

terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili l l l l l l l l l

organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli


l l l l l l l l l l l

Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan l l l l l l l l


143

oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK l l l l l l l l l l

hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya
l l l l l l l l l l l l l l

sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman l l l l l l

sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas


l l l l l l l l l l l l l l

karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang


l l l l l l l l l

memikirkan kepentingan pasien. l l l

Terlepas dari jeratan hukum yang dapat dikenakan terhadap dokter l l l l l l l l l l l

atau dokter gigi, bekerjanya hukum dalam penanganan kasus


l l l l l l l l l l

malpraktik membutuhkan pembuktikan unsur-unsur sebagai berikut:


l l l l l l

1. Duty of care, yakni seorang dokter berkewajiban memberikan l l l l l l

pelayanan yang professional kepada pasien yang landasannya l l l l l l l l l l l l l

adalah kausalitas;
l l l l l l

2. Breach of duty, yakni seorang dokter melakukan baik culpa lata l l l l l l l l l

maupun culpa levis terhadap standar pelayanan yang harus


l l l l l l l l l l l

dilakukan; l l

3. Harm and damages, perlu dibuktikan hubungan kausalitas baik yang


l l l l l l l l l l l

merupakan cause in fact maupun proximate couse guna menentukan l l l l l l l l

sifat melawan hukum; l l l

4. Pengecualian penjatuhan pidana yang dikenal juga dengan alasan l l l l l l l l l l l l l

pembenar dapat dimungkinkan terjadi karena: suatu perbuatan l l l l l l l l l l

sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu akan tetapi kemudian l l l l l l l l

perbuatan tersebut dipandangan tidak bersifat melawan hukum dan l l l l l l l l l l

suatu perbuatan telah sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu,


l l l l l l l l

akan tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada pelaku delik


l l l l l l l l l l l l

tersebut maka dipandang orang tersebut tidak mempunyai kesalahan l l l l l l l l l l

atau dengan kata lain terdapat adanya alasan-alasan pemaaf.


l l l l l l l l l l l l l l l l l l l

Yang Membebaskan Dokter dari Jeratan Hukum Di lain sisi, dalam


l l l l l l l l l

menjalankan profesinya, dokter atau dokter gigi dapat terhindar dari


l l l l l l l l l l

dugaan tindakan malpraktik, apabila memenuhi unsur sebagai berikut:


l l l l l l l l l l l

1. Informed consent;
2. Contribution negligence;
144

3. Respectable minority rules and error of injudgement; l l

4. Volenti non fit injura atau assumption of risk; l l l l

5. Repondeat superior atau vicarious liability (hospital liabilitycorporate l l l l l l l l

liability); l

6. Res ipso loguitar’ l

7. Telah melakukan pelayanan medis seusai dengan standar profesi, l l l l l l l l l l

standar medis dan standar operasional prosedur.


l l l l l l l

Dalam Judicial review mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur


l l l l l l l l l l l

pembatasan ijin praktik kedokteran, surat izin pratik, surat tanda


l l l l l l l l l l

registrasi, pemasangan papan nama dan keharusan untuk menambah l l l l l l l l l l l l l

dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang jika tidak


l l l l l l l l

dilaksanakan oleh dokter atau dokter gigi adalah semata-mata sebagai


l l l l l l l l l l l l l l l

upaya perlindungan baik terhadap pasien maupun dokter atau dokter


l l l l l l l l l l

gigi itu sendiri, hanya dapat dihukum melalui pidana denda bukan
l l l l l l l l l

pidana penjara lagi. Tetapi bukan berarti dokter sama sekali tidak bisa
l l l l l l l l l l l l l

masuk penjara , dimana jika dokter memalsukan ijazah dalam proses


l l l l l l l l l l l l

SIP dokter tersebut dapat dituduh melakukan kejahatan yang bersifat l l l l l l l l l

administratif , yakni pemalsuan yang bisa dijerat dengan KUHP.


l l l l l l l l l

Pembatasan tiga tempat praktik yang ada dalam UU Praktik l l l l l l l l l l l l

Kedokteran l tanpa l l melihat l sistem kesehatan l l nasional l l secara l l

keseluruhan, dalam implementasinya akan menimbulkan berbagai l l l l l l l l l l

dampak. Dampak tersebut dapat positif maupun negatif. Dampak positif


l l l l l l l l l l

yang mungkin terjadi, diharapkan semakin banyaknya luang waktu


l l l l l l l l l l l

komunikasi antara dokter dan pasien sehingga dokter jadi lebih teliti l l l l l l l l

dalam melakukan pemeriksaan, dokter menjadi tepat waktu dalarn


l l l l l l l l l l l

melayani pasien, juga terjadinya pemerataan tempat praktik dokter.


l l l l l l l l l l l

Dampak negatif yang mungkin terjadi adalah karena masih sedikitnya


l l l l l l l l l l l l

jumlah dokter dengan keahlian tertentu, banyak daerah/rumah sakit


l l l l l l l l l l

yang tidak ada dokternya untuk spesialis tertentu, banyak rumah sakit
l l l l l l l l l l

yang berpotensi terancam tutup karena tidak adanya dokter (akibatnya


l l l l l l l l l l l l
145

pelayanan kesehatan di beberapa daerah tertentu akan menjadi tidak


l l l l l l l l l l l l l

optimal. l

Prinsip dasar lain yang secara umum diterapkan adalah bahwa l l l l l l l l l l l l l

penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium, menegaskan l l l l l l l l

bahwa jika satu tujuan dapat dicapai dengan sanksi yang bukan hukum
l l l l l l l l l l l l l

pidana, maka sanksi demikian yang akan dipakai dan bukan hukum
l l l l l l l l l l l l l

pidana. Penggunaan hukum pidana juga harus dielakkan jikalau side


l l l l l l l l l l l l

effect-nya lebih besar dan penegakannya tidak efektif. l l l l l l l

Terhadap ketentuan di atas, Mahkamah akan lebih dahulu


l l l l l l l l l l l

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: l l l l l l

1. Apakah ketentuan pidana terhadap praktik kedokteran yang tidak


l l l l l l l l l l l l

mempunyai l

Surat Izin Registrasi (SIR) dan/atau Surat Izin Praktik (SIP) l l l l l l l

sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, serta Pasal
l l l l l l l l l l l l l l l l

79 huruf a dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran dapat l l l l l l l l

dibenarkan (gerechtvaardigd, justified) dari sudut teori hukum l l l l l

pidana. l l

2. Apakah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 75 Ayat (1), Pasal
l l l l l l l l l l l l l l l l l l

76, serta Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c UU Praktik l l l l l l l l

Kedokteran telah cukup proporsional dengan pelanggaran terhadap l l l l l l l l l

ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1), Pasal 36, Pasal 41 l l l l l l l l l l l l l

Ayat (1), dan Pasal 51 huruf e UU Praktik Kedokteran.


l l l l l l l

Peninjauan dari dua sudut pandang di atas diperlukan karena hal l l l l l l l l l l l l

tersebut akan menentukan konstitusional-tidaknya Pasal-Pasal yang l l l l l l l l l l l

dimohonkan pengujian sebagaimana tersebut di atas. l l l l l l l l

Dalam ilmu hukum suatu sanksi (ancaman pidana) dibuat sebagai


l l l l l l l l l l l l

konsekuensi dari l suatu l perbuatan l l yang l dianggap l l merugikan l

masyarakat dan yang harus dihindari menurut maksud dari tatanan


l l l l l l l l l l l l l

hukum. Perbuatan yang merugikan ini disebut delik (khusus dalam l l l l l l

hukum pidana). Delik adalah suatu kondisi atau syarat bagi l l l l l l l l l l l

diberlakukannya sanksi oleh norma hukum. Perbuatan manusia tertentu


l l l l l l l l l
146

dinyatakan sebagai delik karena tatanan hukum melekatkan suatu


l l l l l l l l l l l l l

sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang merupakan kondisi


l l l l l l l l l

itu. Dengan demikian suatu perbuatan tertentu merupakan delik karena l l l l l l l l l

perbuatan tersebut membawa suatu sanksi. l l l l l l

Selanjutnya yang perlu dipertanyakan bagaimana konsep delik itu


l l l l l l l l l l

dihubungkan dengan pembuat undang-undang yang akan menilai l l l l l l l l l

apakah suatu jenis perbuatan tertentu merupakan perbuatan yang


l l l l l l l l l l l

membahayakan masyarakat yakni suatu malum. Dalam hal ini, l l l l l l l l l l l l l l

perbuatan tersebut adalah perbuatan mala prohibita, karena suatu l l l l l l l l l l l l l

perbuatan baru dinyatakan sebagai malum atau delik jika perbuatan itu
l l l l l l l l l l l l l l

prohibitum(dilarang). l l

Dalam Terhadap masalah ini, Mahkamah berpendapat bahwa


l l l l l l l l l l l l l l

ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana kurungan adalah


l l l l l l l l l l l l l l l l l

tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana


l l l l l l l l l l l

harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan


l l l l l l l l

terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut Mahkamah: (i)
l l l l l l l l

ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang
l l l l l l l l l l l l l

pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya
l l l l l l l l l l l l l l l l l

dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman


l l l l l l l l l

pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect)


l l l l l l l l l l l

yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang


l l l l l l l l

akan dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv) ancaman


l l l l l l l l l l l l l l l

pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan


l l l l l l l l l l l l l

hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) l l l l

ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan


l l l l l l l l l l l l l l l

masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social


l l l l l l l l l l l

defence, fairness, procedural and substantive justice). l l l l


BAB III l

OBJEK PENELITIAN l

A. Kasus Posisi
l

Identitas Terdakwa sebagai berikut :


l l l l l

1. Nama lengkap : dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI ;


l l l l l l l l l

Tempat lahir l l : Denpasar; l l

Umur/tanggal lahir l l l : 35 tahun/23 April 1975; l l

Jenis kelamin l : Perempuan; l

Kebangsaan l l l : Indonesia; l

Tempat tinggal l l : Jalan Parigi VII No.10 Kecamatan Malalayang


l l l l l l l l l l

Kota Manado; l l l

Agama
l l l : Hindu;
Pekerjaan l l : dokter;
Pendidikan l : dokter spesialis kebidanan dan l l l l kandungan;
l l

2. Nama lengkap
l l l : dr.HENDRY SIMANJUNTAK ; l l

Tempat lahir l l : Riau; l

Umur/tanggal lahir l l l : 35 tahun/14 Juli 1975; l

Jenis kelamin l : laki-laki;


l l

Kebangsaan l l l : Indonesia; l

Tempat tinggal l l :Kelurahan Malalayang Satu Barat lingkungan I l l l l l l l l l l

Kecamatan Malalayang Kota Manado;


l l l l l l l l l l

Agama
l l l : Kristen Protestan; l

Pekerjaan l l : dokter
Pendidikan l : dokter spesialis kebidanan dan kandungan; l l l l l l

3. Nama lengkap
l l l : dr. HENDY SIAGIAN; l l

Tempat lahir l l : Sorong;


Umur tanggal lahir l l l : 28 tahun/14 Januari 1983; l l l

Jenis kelamin l : laki-laki;


l l

147
148

Kebangsaan l l l : Indonesia; l

Tempat tinggal l l : Kelurahan Bahu lingkungan I Kecamatan l l l l l l l

Malalayang Kota Manado; l l l l l l l

Agama l l l : Kristen Protestan; l

Pekerjaan l l : dokter;
Pendidikan l : dokter spesialis kebidanan dan kandungan; l l l l l l

Objek penelitian yang saya ambil berupa kasus malpraktek yang l l l l l l l l l l

dialami oleh tim dokter yang terdiri atas dr. Ayu, dr. Hendi Siagian, dan
l l l l l l l l l

dr. Henry Simanjuntak di RS Dr.Kandau Manado terhadap korban, Julia l l l l l l l l l l

Fransiska Makatey. Dimana kasus ini bermula pada saat korban


l l l l l l l l l l l l l

dibawah ke puskesmas bahu pada hari jumat tanggal 9 april 2010 pihak
l l l l l l l l l l l l

puskesmas bahu melakukan pemeriksaan yang hasilnya pukul 24.00 l l l l l l l l l

pembukaan 3 sampai 4 cm dan kepada bayi masih normal, lalu l l l l l l l l l l l

dilakukannya lagi pemeriksaan sekitar pukul 04.00 yang dimana sudah


l l l l l l l l l l l

pembukan 7 sampai cm tetapi kepala bayi masih tinggi. kemudian l l l l l l l l l

keesokan harinya pagi hari dirujuk di RS Dr.Kandau Manado karena l l l l l l l l l l l

puskesmas bahu belum mampu menangani korban untuk melahirkan, l l l l l l l l

pada saat korban sampai di rumah sakit tersebut korban langsung


l l l l l l l l l l l

dibawah ke unit gawat darurat untuk dilakukan pemeriksaan yang


l l l l l l l l l l l

hasilnya kondisi umum korban lemah,dan status penyakit korban berat


l l l l l l l l l

serta status rahim tinggi tetapi secara keseluruhan baik selanjutnya


l l l l l l l l l l

korban dipindahkan ke kamar persalinan dan pihak rumah sakit juga


l l l l l l l l l l l l

mengatakan bahwa korban dapat melahirkan secara normal tetapi pada


l l l l l l l l l l l l l l l l

pukul 17.30 atau sore hari belum juga melahirkan dan akhirnya l l l l l l l l l

diputuskan untuk dilakukan operasi cito secsio sasaria atau operasi l l l l l l l l l l

cesar. Dimana sebelum dilakukannya operasi cito secsio sasaria pihak


l l l l l l l l l l l

bagian anestesi mengatakan bahwa menyetujui dengan dilaksanakan


l l l l l l l l l l l l l

anastesi resiko tinggi sehingga mohon untuk dikatakan kepada pihak


l l l l l l l l l

keluarga segala kemungkinan yang akan terjadi, tetapi pada saat


l l l l l l l l l l l l l l

sebelum dilakukannya operasi cito secsio sasaria terhadap korban l l l l l l l l l l


149

pihak l Terdakwa l l tidak l menyampaikan l l l kepada l l pihak l keluarga l l

kemungkinan-kemungkinan terburuk atau kematian dan juga pihak l l l l l l l l l

Terdakwa sebelumnya tidak melakukan pemeriksaan jantung, foto


l l l l l l l l l

rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya dalam hal l l l l l l l l l l l

melakukan operasi tersebu sedangkan tekanan darah pada saat


l l l l l l l l l l l l l

sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu l l l l l l

menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan l l l l l l

pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA. Lalu dalam hal
l l l l l l l l l untuk
pemeriksaaan jantung dilaksanakan setelah operasi selesai kemudian l l l l l l l l l l l l

pemeriksaan jantung tersebut dilakukan oleh t(erdakwa 1) dr. Ayu l l l l l l l l

bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit atau dapat
l l l l l l l l l l l

dikatakan ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat) untuk


l l l l l l l l l

diberitahukan kepada pihak jaga bagian kebidanan dan penyakit l l l l l l l l l l l l l

kandungan yang kemudian pihak tersebut


l l l l l membantah bahwa itu l l l l

bukan ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi fibrilasi
l l l l l l l l l

yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut


l l l l l l l l l l l l l l

(kelainan irama jantung) yang artinya kondisi pasien tidak baik dan
l l l l l l l l l l l l

pasti akan meninggal.


l l l l

Pada saat dilakukannya operasi cito secsio sasaria para terdakwa


l l l l l l l l l l l l l l l

melakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan


l l l l l l l l l

sekitarnya, kemudian mulai mengiris dinding perut lapis demi lapis


l l l l l l

dimana pada saat itu sudah mengeluarkan darah berwarna hitam


l l l l l l l l l l l l l l

setelah itu mengangkat bayi dari rahim korban lalu rahim korban dijahit
l l l l l l l l l l l

agar tidak terdapat pendarahan lagi. Selanjutnya, korban dikabarkan


l l l l l l l l l l l l l l l

pada waktu pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal


l l l l l l l l l l

dunia oleh bagian penyakit dalam. Dimana korban meninggal dunia


l l l l l l l l l l l

karena terjadinya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan


l l l l l l l l l l l l

jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi


l l l l l l l l l l l

kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan


l l l l l l l l l l l l l

fungsi jantung pada diri korban, berdasarkan Surat Keterangan dari l l l l l l l l l l l

Rumah l Sakit l Umum Prof. Dr. R. D. Kandou l Manado l l No.


150

61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani l l l l l l l l

oleh dr. JOHANNIS F. MALLO, SH, Sp.F., DFM. (VER terla mpir dalam l l l l l

berkas perkara). Oleh sebab dalam kasus diatas para terdakwa dr.
l l l l l l l l l l l l l

Dewa ayu sasiary prawani (terdakwa i), dr. Hendry simanjuntak


l l l l l l l l l l

(terdakwa ii) dan dr. Hendy siagian (terdakwa iii) didakwakan oleh
l l l l l l l l l l

jakwa penuntut umum sebagai berikut:


l l l l

1. Dakwaan Kesatu : l l l l

Primair l : Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal \ 55 l l l l l l

ayat (1) ke-1 KUHP


l l

Subsidair l : Pasal 359 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP l l l l l l

2. Dakwaan Kedua : l l l l

Pasal 76 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik


l l l l l l l

Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP l l l l l

3. Dakwaan Ketiga: l l l l

Primair: Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
l l l l l l l l l

Subsidair: Pasal 264 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 l l l l l l l l l

KUHP

B. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO


l l l l l

Memperhatikan, Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 36 tahun 2009, l l l l l l l l l l

tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang praktek


l l l l l l l l

Kedokteran, Undang-undang No. 8 tahun1981, Pasal 359, KUHP, Pasal l l l l l l l l

55 ayat (1) KUHP, Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP,
l l l l l l l l l

PeraturanMenteri Kesehatan No.512/MenKes/ PER/IV/2007 tentang isin


l l l l l

praktek dan pelaksanaan kedokteran, serta Pasal-Pasal lain dari


l l l l l l l l l l l l l l

perundang-undangan yang bersangkutan. l l l l l l


151

Bahwa dengan didasarkan hal-hal tersebut di atas, sehingga kami


l l l l l l l l l l l l

Jaksa/ Penuntut dalam perkara ini berpendapat bahwa Para


l l l l l l l l l l l l

Terdakwa turut terbukti sebagaimana dimaksud dalam dakwaan dari


l l l l l l l l l l l l l

kami Jaksa Penuntut Umum, dan karena itu, Para Terdakwa harus
l l l l l l l l l l l

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatan


l l l l l l l l l l l l l

yang telah dilakukan.


l l l l

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dr. l l l l l l l l l l

HELMY, ANITA LENGKONG, dr. HERMANUS J. LALENAH,Sp.An l l l l l l

dan dihubungkan dengan keterangan Terdakwa I, Terdakwa II dan


l l l l l l l l l l

Terdakwa III sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut


l l l l l l l l l l l l

Majelis Hakim adalah bersesuaian satu dengan yang lainnya tentang


l l l l l l l l l l l l l

hal bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio


l l l l l l l l l l

Sesaria terhadap korban (SISKA M) ada menyampaikan kepada


l l l l l l l l l l l l l

pihak l keluarga l l tentang l kemungkinan-kemungkinan l l terburuk


termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika
l l l l l l l l l l l

operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban


l l l l l l l l

walaupun l l hal l tersebut dibantah l l oleh ibu korban l JULIEN


MAHENGKENG dan ayah korban ANSELMUS MAKATEY ;
l l l l l l l l

Menimbang, bahwa menjadi pertanyaan selanjutnya bagi Majelis l l l l l l l l l l l

Hakim apakah keterangan saksi JULIEN MAHENGKENG (ibu


l l l l l l l l

korban) dan saksi ANSELMUS MAKATEY (ayah korban) yang


l l l l l l l l l l

dipersidangan l l telah l menyatakan l l l para l l Terdakwa l l dalam l l

melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (SISKA


l l l l l l l l l l l

M) tidak menjelaskan kepada keluarga korban (SISKA M) tentang l l l l l l l l l l

resiko operasi dapat dijadikan ukuran untuk dikatakan sebagai suatu l l l l l l l l l l l l

kelalaian dari para Terdakwa ; Menimbang, bahwa untuk menjawab


l l l l l l l l l l l l l

hal tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai


l l l l l l l l l l

berikut :
a. Bahwa keinginan untuk operasi tersebut mulanya berasal dari
l l l l l l l l l

korban (SISKA MAKATEY) dan JULIEN MAHENGKENG ; l l l l l l


152

b. Bahwa sebelum dioperasi saksi JULIEN MAHENGKENG ada


l l l l l l l

menandatangani surat persetujuan dan saksi meminta untuk l l l l l l l l l

korban (SISKA MAKATEY) supaya dioperasi ; l l l l l l l

c. Bahwa saksi JULIEN MAHENGKENG membenarkan surat


l l l l l l l

persetujuan operasi yang dimaksud (surat persetujuan tindakan l l l l l l l l

khusus dan surat persetujuan pembedahan dan ansetesi l l l l l l l

tertanggal 10 April 2010) ; l l l

d. Bahwa l l saksi l ANSELMUS l MAKATEY l l (ayah l l korban) l

membenarkan dan melihat tandatangan JULIEN MAHENGKENG l l l l l l l l l

ada dalam surat persetujuan operasi ;


l l l l l l l

Menimbang, bahwa oleh karena JULIEN MAHENGKENG (ibu l l l l l l

korban) l dan l ANSELMUS l MAKATEY l l (ayah l l korban) l telah l

menyatakan surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010 l l l l l l l l l

tersebut adalah benar, berarti pula menurut Majelis Hakim l l l l l l l l

pernyataan JULIEN MAHENGKENG (ibu korban) dan ANSELMUS l l l l l l l

MAKATEY (ayah korban) yang mengatakan para Terdakwa dalam


l l l l l l l l l l l l l l l

melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (SISKA


l l l l l l l l l l l

MAKATEY) tidak menjelaskan tentang resiko operasi tidak cukup


l l l l l l l l

beralasan ; l l l

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan l l l l l l l l l l

tersebut diatas menurut Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum tidak l l l l l l l

dapat membuktikan kebenaran dalil dakwaannya tentang hal para


l l l l l l l l l l l l l l

Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga


l l l l l l l l l l l l

tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian


l l l l l l

yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio
l l l l l l l l l

Sesaria dilakukan terhadap diri korban (SISKA MAKATEY) ;


l l l l l l l l l l

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi yang diajukan l l l l l l l l l l l l

oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu saksi Prof.dr. NAJOAN NAN l l l l l l l

WAROUW, keterangan ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut


l l l l l l l l l

Umum dr. ERWIN GIDION KRISTANTO,SH,SPF, dr. JOHANIS F. l l

MALLO,SH,Spt,DFM dan dihubungkan oleh keterangan ahli yang


l l l l l l l
153

diajukan oleh Terdakwa/ Penasihat Hukumnya dr. NURHADI


l l l l l l l l

SALEH, Sp.OG, Prof. Dr.REGGY LEFRANT dan JERRY G.


l l l

TAMBUN,SH,MH
l sebagaimana l l l l keterangannya l l l tersebut diatas l l

Majelis Hakim dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam operasi


l l l l l l l l l l l

cito secsio sesaria (darurat) tidak diperlukan pemeriksaan penunjang l l l l l l l l l

terhadap pasien in casu korban (SISKA MAKATEY) sehingga


l l l l l l l l l

dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan para


l l l l l l l l l

Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito


l l l l l l l l l l l l

secsio sesaria terhadap diri korban (SISKA MMAKATEY) yang tidak l l l l l l l l l l

melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung,


l l l l l l l l

foto rontgen, dada dan pemeriksaan penunjang lainnya bukanlah l l l l l l l l l l

merupakan suatu kelalaian ; l l l l l l

Menimbang, bahwa saksi Prof.dr.NAYOAN NAN WAROUW telah l l l l l l l l l

memberikan keterangannya dibawah janji telah menerangkan dalam l l l l l l l l l l l l

persidangan ini antara lain mengatakan : l l l l l l l l l

b. Bahwa operasi Cito Secsio Sesaria tidak perlu pemeriksaan


l l l l l l l l

pendukung, tapi pemeriksaan darah tetap dilakukan ; l l l l l l l l

Menimbang, bahwa ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut l l l l l l l l l

Umum dr. ERWIN GIDION KRISTANTO,SH,SpF telah memberikan l l l

keterangannya dibawah janji dalam persidangan ini antara lain


l l l l l l l l l l l l l l

mengatakan : l l l

a. Bahwa operasi ada 2 (dua) jenis yaitu operasi terencana dan


l l l l l l l l l l l

operasi segera (Cito) ; l l

b. Bahwa bedanya antara operasi terencana dan operasi segera


l l l l l l l l l l l l l

(Cito) adalah dari sisi kepentingan operasi terencana itu apakah l l l l l l l l l l l

benar harus dilakukan, dan harus ada persetujuan pasien atau


l l l l l l l l l l l l

keluarganya sedangkan operasi cito sifatnya segera untukl l l l l l l l l

menyelamatkan jiwa dan tidak harus ada persetujuan; l l l l l l l l l l


154

Menimbang, bahwa ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut l l l l l l l l l

Umum dr. JOHANIS F. MALLO,SH,Spt,DFM telah memberikan l l l l

keterangannya dibawah janji dalam persidangan ini antara lain


l l l l l l l l l l l l l l

mengatakan : l l l

a. Bahwa pada operasi Cito (Darurat) tidak harus dilakukan


l l l l l l l l l l l

pemeriksaan pendukung ; l l

b. Bahwa operasi cito (Darurat) tidak perlu persetujuan pasien atau


l l l l l l l l l l

keluarga, kecuali operasi terencana wajib persetujuan pasien dan l l l l l l l l l l

keluarga dan penjelasan resiko operasi ; l l l l l l

c. Bahwa pengertian kata segera tidak ada batasan;


l l l l l l l l l l l l

Menimbang, bahwa ahli yang diajukan oleh para Terdakwa dan l l l l l l l l l l l l

Penasihat l l Hukumnya l dr. NURHADI l SALEH, l Sp.OG telah l

memberikan keterangannya dibawah sumpah dalam persidangan ini l l l l l l l l l l l

antara lain mengatakan :


l l l l l l l

a. Bahwa operasi cito adalah operasi darurat/emergency sedangkan


l l l l l l l l l l l

operasi elektif adalah operasi yang terencana ; l l l l l l l l

b. Bahwa menurut ini praktek kedokteran operasi cito tidak multak


l l l l l l l

ada penjelasan kepada pasien karena sifatnya segera ;


l l l l l l l l l l l l

c. Bahwa untuk operasi cito tidak perlu pemeriksaan penunjang


l l l l l l l

karena sifatnya segera dioperasi ;


l l l l l l

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi yang diajukan l l l l l l l l l l l l

oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu saksi Prof.dr. NAJOAN NAN l l l l l l l

WAROUW, keterangan ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut


l l l l l l l l l

Umum dr. ERWIN GIDION KRISTANTO,SH,SPF, dr. JOHANIS F. l l

MALLO,SH,Spt,DFM dan dihubungkan oleh keterangan ahli yang


l l l l l l l

diajukan oleh Terdakwa/ Penasihat Hukumnya dr. NURHADI


l l l l l l l l

SALEH, Sp.OG, Prof. Dr.REGGY LEFRANT dan JERRY G.


l l l

TAMBUN,SH,MH
l sebagaimana l l l l keterangannya l l l tersebut diatas l l

Majelis Hakim dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam operasi


l l l l l l l l l l l

cito secsio sesaria (darurat) tidak diperlukan pemeriksaan penunjang l l l l l l l l l

terhadap pasien in casu korban (SISKA MAKATEY) sehingga


l l l l l l l l l
155

dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan para


l l l l l l l l l

Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito


l l l l l l l l l l l l

secsio sesaria terhadap diri korban (SISKA MMAKATEY) yang tidak l l l l l l l l l l

melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung,


l l l l l l l l

foto rontgen, dada dan pemeriksaan penunjang lainnya bukanlah l l l l l l l l l l

merupakan suatu kelalaian ; l l l l l l

Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tersebut diatas menurut l l l l l l l l l l

Majelis Hakim untuk dijadikan sebagai ukuran bahwa para Terdakwa


l l l l l l l l l l l l l

telah melakukan kelalaian didalam melakukan operasi cito secsio


l l l l l l l l l l l

seaseria terhadap korban (SISKA M) sehingga terhadap diri korban


l l l l l l l l l l

(SISKA M) terjadi emboli udara yang masuk dalam bilik kanan


l l l l l l l l l l

jantung yang menghambat darah masuk kedalam paru-paru


l l l l l l l l l l l

sehingga l terjadi l kegagalan l l l fungsi paru l dan l selanjutnya l l

mengakibatkan kegagalan fungsi jantung adalah apabila dalam


l l l l l l l l l l l l l l l

penanganan operasi tersebut tidak sesuai dengan SOP (Standard


l l l l l l l l l

Operasional Prosedur) dan yang menilai telah terjadi kesalahan


l l l l l l l l l l

dalam penanganan operasi tersebut adalah Majelis Kehormatan


l l l l l l l l l l l l

Disiplin Kedokteran Indonesia (MKEK) ; l l

Menimbang, l bahwa l l Majelis l Hakim l telah l membaca l l dan l

mempelajari Hasil Sidang Majelis Kehormatan Etika Kedokteran l l l l l l l l l

Ikatan l l Dokter Indonesia l (IDI) Wilayah l l Sulawesi l Utara l l

No.006/IDIWIL/SULUT/MKEK/II/2011 tanggal 24 Pebruari 2011 yang l l l l

ditanda tangani oleh Prof.Dr.R.L. LEFRANDT,SpJP-(K) sebagai


l l l l l l l

ketua, Prof.Dr.MAX MANTIK,SpA(K) sebagai sekertaris ;


l l l l l l l

Menimbang, l bahwa l l dari l uraian-uraian l l l l keterangan l l saksi, l

keterangan ahli sebagaimana dikemukakan diatas Majelis Hakim


l l l l l l l l l l l l l

tidak melihat adanya bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut


l l l l l l l l l l

Umum maupun oleh para Terdakwa/ Penasehat Hukumnya, untuk l l l l l l l l

dapat dijadikan ukuran bahwa para Terdakwa didalam menangani


l l l l l l l l l l l l l l l

operasi cito section caeseria tidak sesuai dengan SOP sehingga


l l l l l l l

menyebabkan kematian korban (SISKA MAKATEY) dan hal tersebut l l l l l l l l l l


156

dikuatkan pula oleh hasil sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


l l l l l l l l l

IDI Wilayah Sulawesi Utara No.006/IDI-WIL/ SULUT/MKEK/II/2011 l l l l l

tanggal 24 Februari 2011 ; Menimbang, bahwa berdasarkan


l l l l l l l l l

keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas menurut l l l l l l l

Majelis Hakim oleh karena Jaksa Penuntut Umum tidak dapat


l l l l l l l l l

membuktikan akan adanya kelalaian dari para Terdakwa didalam l l l l l l l l l l l l l l l l

menangani operasi cito section caesaria kepada korban (SISKA M)


l l l l l l l l l l

sehingga mengakibatkan adanya kematian terhadap korban (SISKA l l l l l l l l l l l l l

M), menurut Majelis Hakim unsur selanjutnya dari dakwaan kesatu l l l l l l l l l

primer tidak perlu dipertimbangkan lagi ; l l l l

Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari dakwaan l l l l l l l l l l l l

kesatu primer tidak terbukti menurut hukum maka dengan sendirinya


l l l l l l

pula para Terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari dakwaan


l l l l l l l l l l l l l l l l

kesatu primer tersebut yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal
l l l l l l l l

361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ; l l l l

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan kesatu primer yang l l l l l l l l l l

didakwakan kepada para Terdakwa yaitu melanggar Pasal 359


l l l l l l l l l l l l l l

KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang l l l l l l l

adalah merupakan Pasal pemberatan dari Pasal yang didakwakan


l l l l l l l l l l l l l l l l

dalam dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP


l l l l l l l l l l l

Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka dengan dibebaskannya para


l l l l l l l l l l l l

Terdakwa dari dakwaan kesatu primer yaitu melanggar Pasal 359


l l l l l l l l l l l l

KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka l l l l l l l l

kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan pula dari dakwaan


l l l l l l l l l l l l l l l

kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat


l l l l l l l l l l

(1) ke 1 KUHP ;
Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa oleh Majelis l l l l l l l l l l

Hakim telah dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana


l l l l l l l l l l l

sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan


l l l l l l l l l l l l l l

alternative kesatu primer yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal
l l l l l l l l l l

361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dan dakwaan kesatu l l l l l l l l l


157

subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 l l l l l l l l l

KUHP dan dibebaskan dari dakwaan kesatu primer dan subsider l l l l l l l l l

tersebut, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan l l l l l l l l l l l

alternative kedua sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum


l l l l l l l l l l l l

yaitu perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam


l l l l l l l l l l l l l l l

pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004


l l l l l l l l l

tentang Prakter Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP;


l l l l l l l

Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan diatas l l l l l l l l l l l l

dalam dakwaan alternatifketiga primer menurut Majelis Hakim surat


l l l l l l l l l l l

persetujuan tindakan khusus, surat persetujuan pembedahan dan l l l l l l l l

anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut tidak dapat dikatakan


l l l l l l l l l l l

surat tersebut adalah palsu menurut Majelis Hakim para Terdakwa


l l l l l l l l l l l

haruslah dinyatakan tidak terbuti telah melakukan tindak pidana


l l l l l l l l l l l l

sebagaimana dakwaan alternative ketiga subsidair yaitu melanggar


l l l l l l l l l l l l l l

Pasal 263 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan kepada para
l l l l l l l l l l l l l

Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga


l l l l l l l l l l l l l

subsidair tersebut ; l

Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan- l l l l l l l l l

pertimbangan tersebut diatas maka menurut Majelis Hakim kepada l l l l l l l l l l

para Terdakwa haruslah dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa


l l l l l l l l l l l l l l l

Penuntut Umum yaitu : Dakwaan kesatu Primair melanggar Pasal l l l l l l l l l l

359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, l l l l l l

subsidair melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 l l l l l l l l l

KUHP, Dakwaan Kedua Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun l l l l l l l l l

2004 tentang praktek Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, l l l l l l l

Dakwaan Ketiga Primair melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo


l l l l l l l l l l l

Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsida ir melanggar Pasal 263 ayat


l l l l l l l l l l l

(2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut ; l l l l


158

Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa dinyatakan l l l l l l l l l l l l

dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut


l l l l l l l l l

diatas, maka nama baik para Terdakwa haruslah dipulihkan dalam


l l l l l l l l l l l l l l l l

kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya ; l l l l l l l l l l

Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa dinyatakan l l l l l l l l l l l l

dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut


l l l l l l l l l

diatas maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan
l l l l l l l l l l l l l l

kepada Negara ; l l l l

Memperhatikan, Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 36 tahun l l l l l l l l l l

2009, tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 29 tahun 2004 l l l l l l

Tentang praktek Kedokteran, Undang-undang No. 8 tahun 1981,


l l l l l l

Pasal 359, KUHP, Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 263 ayat (1) dan
l l l l l l l l l l l

ayat (2) KUHP, Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MenKes/


l l l l l l

PER/IV/2007 tentang isin praktek dan pelaksanaan kedokteran, serta l l l l l l l l l

Pasal-Pasal lain dari perundang


l l l l l l l

MENGADILI l

1. Menyatakan Terdakwa I dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI,


l l l l l l l l l l l

Terdakwa II dr. HENDRYSIMANJUNTAK dan Terdakwa III dr.


l l l l l l l

HENDY SIAGIAN, tidak terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah l l l l l l l l l l l

melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan


l l l l l l l l l l l l

subsidair,dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer dan subsidair; l l l l l l l l l l l l

2. Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh l l l l l l l l l

karena itu dari semua dakwaan(Vrijspraak);


l l l l l l l l l

3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan l l l l l l l l l l l l

harkat serta martabatnya;


l l l l l l l

4. Menetapkan barang bukti berupa :Tetap terlampir dalam berkasl l l l l l l l l l

perkara; l l

5. Membebakan biaya perkara ini kepada Negara. l l l l l l l l l l


159

C. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 l l l l l l l

Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor 37/Akta l l l l l l l l l l l

Pid/2011/ PN.MDO jo. Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Mdo yang dibuat oleh l l

Panitera pada Pengadilan Negeri Manado yang menerangkan, bahwa


l l l l l l l l l l l l l

pada tanggal 27 September 2011 Jaksa Penuntut Umum mengajukan


l l l l l l l l

permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut; l l l l l l l l

Memperhatikan memori kasasi tanggal 23 Agustus 2011 dari Jaksa l l l l l l l l l l

Penuntut Umum sebagai l l Pemohon Kasasi l l yang l diterima l di


Kepaniteraan Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 10 Oktober
l l l l l l l l l l l

2011; Membaca surat-surat yang bersangkutan ; l l l l l l l

Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut telah l l l l l l l

dijatuhkan dengan hadirnya Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum


l l l l l l l l l

pada Kejaksaan Negeri Manado pada tanggal 22 September 2011 dan


l l l l l l l l l l l l

Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan l l l l l l l

kasasi pada tanggal 27 September 2011 serta memori kasasinya telah


l l l l l l l l l l l

diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 10 l l l l l l l l l l l l

Oktober 2011 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan l l l l l l l

alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan


l l l l l l l l l l l l l l l l

cara menurut Undang-Undang ;


l l l l

Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena


l l l l l l l l l l

seharusnya Majelis Hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif


l l l l l l l l

maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam


l l l l l l l l l l l l

perkara ini yaitu keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk serta


l l l l l l l l l

keterangan Terdakwa, diperoleh fakta bahwa : l l l l l l l l

1. Berdasarkan keterangan dari saksi dr. HERMANUS JAKOBUS l l l l l l l l l

LALENOH, Sp. An. bahwa jawaban konsul terhadap surat konsul


l l l l l l l l l l

yang dikirim oleh bagian kebidanan kepada bagian anestesi tersebut


l l l l l l l l l l

yang menyatakan : pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan


l l l l l l l l l l l l

pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah l l l l l l l l l

operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang l l l l l l l l l l l l

bisa terjadi "darut"/ sebelum operasi atau "post"/ usai operasi. Bahwa
l l l l l l l l l l
160

penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang l l l l l l l l l l

terbuka yaitu dari infus atau dari suntikan obat tetapi dalam l l l l l l l l l l l

kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari pembuluh darah balik l l l l l l l l l l l l l l

ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting yang kalau dia di


l l l l l l l l l l l l

atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan menyebabkan apa-apa,


l l l l l l l l l l l l l l l l

kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus tidak pernah l l l l l l l l l l l

masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara,


l l l l l l l l l

selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam
l l l l l l l l l l l l l l l l

pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama l l l l l l l l l l l l

dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa


l l l l l l l l l l l l l l l l

udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan
l l l l l l l l l l l l

posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka l l l l l l l l l l

itu udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa sering l l l l l l l l l l l l

terjadi bukan saja pada SECTIO CESARIA tetapi juga pada kuretase
l l l l l l l l l l l l l

bahkan dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana


l l l l l l l l l l l

suami memakai oral itu bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang
l l l l l l l l l l l

jarang tetapi bisa saja terjadi, jadi pada waktu bayi lahir plasenta
l l l l l l l l l l l l l l l

terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu pembuluh darah arteri/


l l l l l l l l l

pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan pembuluh darah l l l l l l l l l l

balik/ arteri yang warna hitam, jadi kemungkinan udara yang masuk
l l l l l l l l l l l l

berdasarkan hasil visum bisa saja terjadi dari beberapa hal tadi,
l l l l l l l l l l l l l

selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/
l l l l l l l l l l l l

korban sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika


l l l l l l l l l l l

saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal maka


l l l l l l l l l l

masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan


l l l l l l l l l l l

kebidanan. l l

2. Berdasarkan keterangan dari saksi Prof. Dr. NAJOAN NAN l l l l l l l l l l

WAROUW, Sp.OG. bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan : operasi


l l l l l l l l l l

terhadap pasien/ korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat


l l l l l l l l l l l l l l l

operasi dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah


l l l l l l l l l l l

mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan l l l l l l l l l l l l l l


161

nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh) x per menit , saturasi
l l l l l l

oksigen hanya berkisar 85 % (delapan puluh lima persen) sampai l l l l l l l l

dengan 87 % (delapan puluh tujuh persen), setelah operasi selesai


l l l l l l

dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah 180 (seratus


l l l l l l l l l l l

delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru


l l l l l l l

dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung yang dilakukan oleh


l l l l l l l l l

bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah


l l l l l l l l l l l l l l

dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini


l l l l l l l l l l l

penyebabnya dari jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (satu) l l l l l l l l l l

sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu l l l l l l l l l l l l l

bahwa pada penderita terjadi "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi


l l l l l l l l l

yang cepat) tetapi saksi mengatakan bahwa itu bukan "Ventrikel


l l l l l l l l l l

Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat) jika denyut nadi sudah di atas
l l l l l l l l l l

160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda bahwa pada jantung l l l l l l l l l l

terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal karena
l l l l l l l l l l l l l l

biasanya l l l kegagalan l l l akut l itu karena l l "emboli" (penyumbatan l l

pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, l l l l l l l l l l l

lemak, trombus dan komponenkomponen lain) serta pasien/ korban


l l l l l l

pasti meninggal, selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang


l l l l l l l l l l l l l

lebih pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal dunia l l l l l l l l

oleh bagian penyakit dalam. l l l l l

3. Berdasarkan keterangan dari Ahli dr. ROBBY WILLAR, Sp.A. bahwa


l l l l l l l l l l l

pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan


l l l l l l l l l l l

dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi
l l l l l l l l l l l l l

tidak l berpengaruh l terhadap l l bayi l karena l l sebelum plasenta l l

dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali l l l l l l l l

pusat/ plasenta dipotong. l l l

4. Berdasarkan keterangan dari Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH. Sp.F.


l l l l l l l l l

DFM. bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil l l l l l l l l l

kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, l l l l l l l l

kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia l l l l l l l l


162

pukul 22.20 WITA, infus 20 tetes = 100 cc/ menit, operasi dilakukan l l l l

pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara l l l l l l l l l l

sudah masuk terlebih dulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30


l l l l l l l l l l

menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara. l l l l l l l l l l

Bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan para ahli tersebut di


l l l l l l l l l l l l l l

atas maka Para Terdakwa telah melakukan tindakan kedokteran dan


l l l l l l l l l l l l l l l

telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal


l l l l l l l l l

dunia, sehingga dengan demikian maka unsurunsur sebagaimana yang


l l l l l l l l l l l

telah didakwakan oleh kami Jaksa/ Penuntut Umum dalam Surat


l l l l l l l l l l

Dakwaan tersebut telah terpenuhi menurut hukum.


l l l l

Bahwa unsur "kelalaian" yaitu : Bahwa keterangan dari saksi Prof.


l l l l l l l l l l l l

Dr. NAJOAN NAN WAROUW, Sp.OG., Terdakwa I (satu) melaporkan


l l l l l l l l l

ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika


l l l l l l l l l

ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua,


l l l l l l l l l

selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul


l l l l l l l l l l l

09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan l l l l l l l l l l

oleh Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG l l l l l l l l l l l

(Ultrasonografi)" dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan


l l l l l l l l l l l

tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai


l l l l l l l l l l l l

ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh
l l l l l l l l

tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak


l l l l l l l l l

mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap l l l l l l l l l l l

korban, Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat


l l l l l l l l l l l

kemajuan persalinan pada korban, Terdakwa I (satu) melakukan konsul


l l l l l l l l l l l l

dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, Terdakwa I


l l l l l l l l l l l

(satu) mengambil tindakan untuk dilakukan CITO SECSIO SESARIA,


l l l l l l l l

kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. HELMI l l l l l l l l

untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan l l l l l l l l

penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan l l l l l l l l l l l l l

setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. HERMANUS


l l l l l l l l l

JAKOBUS
l LALENOH, l Sp.An. l yang l menyatakan l l l bahwa l l pada l l
163

prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi l l l l l l l l l

resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon l l l l l l l l l l

dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi


l l l l l l l l l l

atau usai operasi, Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. HENDY


l l l l l l l l l l l

SIAGIAN (Terdakwa Ill) untuk memberitahukan kepada keluarga


l l l l l l l l l l

pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh


l l l l l l l l l

Terdakwa III (tiga) melainkan Terdakwa III (tiga) menyerahkan


l l l l l l l l l l

"informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut l l l l l

kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri da n dalam
l l l l l l l l l l

keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. DEWA AYU SASIARY


l l l l l l l l l l l

PRAWANI (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr.


l l l l l l l l

HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) l l l l l l l l l

meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat l l l l l l l l

oleh saksi dr. HELMI tetapi temyata tanda tangan yang tertera di dalam
l l l l l l l l l l l l

lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai


l l l l l l l l l l l l l

dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09


l l l l l l l l l l l

Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing- l l l l l

masing lelaki Drs. SAMIR, S.St. Mk., lelaki ARDANI ADHIS, S. A.Md.
l l l l l l l l

dan lelaki MARENDRA YUDI L. SE., menyatakan bahwa tanda tangan


l l l l l l l l l l l l l

atas nama SISKA MAKATEY alias JULIA FRANSISKA MAKATEY pada


l l l l l l l l l l l l l l l l

dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "Spurious Signature", l l l l l l l l l l l

selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih


l l l l l l l l l l l l

pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada l l l l l l l l l l l l

pukul 20.55 WITA dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) l l l l l l l l l

sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan


l l l l l l l l l l l l l

dibantu oleh dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) sebagai


l l l l l l l

asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III)


l l l l l l l l

sebagai asisten operator II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi


l l l l l l l l l l l l l l

kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat l l l l l l l

sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai


l l l l l l l l l l l l l l

pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah


l l l l l l l l l l
164

operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan


l l l l l l l l l l l

puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan l l l l l l l

pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, l l l l l l l l l

selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH.


l l l l l l l l l l

Sp.F. DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah l l l l l l l l

terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa pada saat


l l l l l l l l l l l l l

pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari


l l l l l l l l l l l l l l l

kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat l l l l l l l l l l l

pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, l l l l l l l l l l

plasenta l l keluar/ l terangkat l l sehingga l pembuluh darah l l yang l

berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan l l l l l l l l l

pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta, l l l l l l l l l l l l

kemudian berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa l l l l l l l l

udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui
l l l l l l l l l l l l

pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. l l l l l l l l l l l

Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada l l l l l l l l l l l

pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat l l l l l l l l l l l l l l

komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah l l l l l l l l l l l

akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat


l l l l l l l l l l l l l l

darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan


l l l l l l l l l l l l

selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, dengan demikian


l l l l l l l l l l l

Para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
l l l l l l l l l l l l l l

melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada


l l l l l l l l l l

situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terdakwa telah melakukan


l l l l l l l l l l

penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah menimbulkan kerugian l l l l l l l l l l l

dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terdakwa l l l l l l l l l l l l

terhadap korban, Para Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan


l l l l l l l l l l l

sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari


l l l l l l l l l l l l l l

Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat


l l l l l l l l l l l l l l l l

sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi
l l l l l l l l l l l l

yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari


l l l l l l l l l l l
165

Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik l l l l l l l l l l

keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, kemudian sejak


l l l l l l l l l l l l l l

diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di


l l l l l l l l l

Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap l l l l l l l l l

tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat


l l l l l l l l l l

yang l tidak l diketahui l oleh Para l l Terdakwa l l sampai l l dengan l

dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh


l l l l l l l l l l

pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim


l l l l l l l l l l l

melakukan tindakan medis, terdapatnya "25 informed consent"/ lembar


l l l l l l l l

persetujuan l tindakan l l kedokteran l sedangkan l l Para l l Terdakwa l l

berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah l l l l l l l l l l l l l

tindakan CITO/ darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban


l l l l l l l l l l l l l l

secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/ pemeriksaan


l l l l l l l l l l l l l

jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi


l l l l l l l l l

gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan


l l l l l l l l l l

kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya l l l l l l l l l

telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau


l l l l l l l l l l l l l

kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki


l l l l l l l l l l l l

oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) l l l l l l l l l l l

sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para l l l l l l l l l

Terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu


l l l l l l l l l

korban meninggal dunia. l l l

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah l l l l l l l l l l l l l l

Agung berpendapat : Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/ Penuntut


l l l l l l l l l l l l l l l

Umum dapat dibenarkan karena dengan pertimbangan sebagai berikut: l l l l l l l l l l l

1. Judex Facti l salah l l menerapkan l l hukum, karena l l tidak l

mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara l l l l l l l l l l

yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. No. 041969 yang l l l l l l l

telah dibaca oleh saksi ahli dr. ERWIN GIDION KRISTA NTO, SH.
l l l l l l

Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) l l l l l l l l l l
166

Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah l l l l l l l l l l l

dan status penyakit korban adalah berat;


l l l l l l l l

2. Para Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria


l l l l l l l l l

terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tanpa menyampaikan


l l l l l l l l l l l l l l

kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat


l l l l l l l l l l l

terjadi terhadap diri korban; l l l l

3. Perbuatan Para Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska l l l l l l l l l l l l l

Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam


l l l l l l l l l l l

bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru l l l l l l l l l l l

kemudian l terjadi l kegagalan l l l fungsi paru l dan l selanjutnya l l

mengakibatkan kegagalan fungsi jantung; l l l l l l l

4. Perbuatan Para Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan l l l l l l l l l l l

meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari l l l l l l l l l l l

Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. l l l l l

61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010; l l l

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung l l l l l l l l l l l

akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang


l l l l l l l l l l l

meringankan ; Hal-hal yang memberatkan : l l l l l l l

1. Sifat dari perbuatan Para Terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan


l l l l l l l l l l l l

korban meninggal dunia; l l l

Hal-hal yang meringankan :


l l l l l

1. Para Terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program


l l l l l l l l l

Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado l l l l l l l l

2. Para Terdakwa belum pernah dihukum;


l l l l l

Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di l l l l l l l l l l l l l l l

atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan


l l l l l l l l l l l l l

Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/ PN.MDO tanggal 22 September l l l l

2011 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan l l l l l l l l l l l l l

dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti


l l l l l l l l l l

tertera di bawah ini ; l l l


167

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa Penuntut l l l l l l l l l l

Umum dikabulkan dan Para Terdakwa dinyatakan bersalah serta l l l l l l l l l l l l l

dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan


l l l l l l l l l l l l l l l

dibebankan kepada Para Terdakwa ;


l l l l l l l l

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 359 l l l l l l l

KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP , Unda ng-Undang Nomor 8 l l l l l l

Tahun 1981 dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana


l l l l l l l l l

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan


l l l l l l l

perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta


l l l l l l l l

peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;


l l l l l l l l l

MENGADILI l

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ l l l l l l l l l l

PenuntutUmum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut; l l l l l l l

Membatalkan l l l putusan l Pengadilan l l Negeri Manado l l Nomor


90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011; l l

MENGADILI SENDIRI l

1. Menyatakan l l l Para l l Terdakwa l l : dr. DEWA l AYU l SASIARY l l

PRAWANI(Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II)


l l l l l l l l

dan dr. HENDYSIAGIAN (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan
l l l l l l l l l l

meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “perbuatan yang


l l l l l l l l l l l l

karena kealpaannya menyebabkanmatinya orang lain”;


l l l l l l l l l l l l

2. Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa : dr. DEWA AYU


l l l l l l l l l l l l

SASIARYPRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK


l l l l l l l l

(Terdakwa II) dandr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dengan pidana


l l l l l l l l l l

penjara masing-masingselama 10 (sepuluh) bulan;


l l l l l l l

3. Menetapkan barang bukti berupa : Tetap dilampirkan dalam berkas l l l l l l l l l l l

perkara; l l

4. Membebankan Para Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut l l l l l l l l l l

untuk membayarbiaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan l l l l l l l l l l l l l


168

dalam tingkat kasasi ini ditetapkanmasing-masing sebesar


l l l l l l l l l l

Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah); l l l l

D. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No.79 PK/ l l l l l l l l

Pid.2013
Memperhatikan memori kasasi tanggal 23 Agustus 2011 dari Jaksa l l l l l l l l l l

Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi dan kemudian diajukan oleh l l l l l l l l

Terdakwa pada permohonan Peninjauan Kembali; Membaca surat-


l l l l l l l l l l l

surat yang bersangkutan ;


l l l l

Menimbang, dalam dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum masing- l l l l l l l l l

masing dalam Pasal 359 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP harus
l l l l l l l l l l

dinyatakan “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”, karena


l l l l l l l l l l l l

unsur “karena salahnya menyebabkan matinya orang”, tidak terbukti l l l l l l l l l l l

karena Para Pemohon telah melakukan secara benar dan sesuai


l l l l l l l l l l l l

dengan SOP serta sesuai dengan aturan Majelis Kehormatan Etika


l l l l l l l l l l

Kedokteran (MKEK). l

Menimbang, oleh karena tuduhan Jaksa/Penuntut Umum prematur, l l l l l l l

serta Judex Juris Mahkamah Agung telah menerima, mengadili, dan


l l l l l l l l l

memutus perkara a quo dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada l l l l l l l l l l l

Para Terpidana juga prematur, maka dakwaan dalam perkara a


l l l l l l l l l l l l l l l l

quo harus ditolak dan Para Terpidana harus dibebaskan. l l l l l l l l l l

Berdasarkan putusan bebas oleh Judex Facti Pengadilan Negeri l l l l l l l l

Manado, adalah BEBAS MURNI dan sudah tepat sehingga Putusan


l l l l l l l l l l l

Judex Juris Mahkamah Agung harus dibatalkan dengan pertimbangan l l l l l l l l l l l

Pasal 244 KUHAP: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan


l l l l l l l l l l l l

pada tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada
l l l l l l l l l l l l l l

Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan


l l l l l l l l l l l l

pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap l l l l l l l l l l l l l

putusan bebas. l l
169

Berdasarkan Ketentuan sebagaimana diatas diabaikan baik oleh l l l l l l l l l l l l l l

Jaksa/Penuntut Umum maupun oleh Judex Juris Mahkamah Agung,


l l l l l l l

oleh karenanya telah salah menerapkan hukum, maka putusan Judex l l l l l l l l l l l

Juris Mahkamah Agung a quo harus dibatalkan. l l l l l l l l l

Menimbang, terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata yang l l l l l l l l l l l

terjadi karena pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung


l l l l l l l l l l l

tidak l secara l l jelas, l tidak l cermat l mempertimbangkan l l dakwaan l l l

Jaksa/Penuntut Umum, bahkan tidak mempertimbangkan bukti-bukti


l l l l l l l

yang telah terungkap di persidangan termasuk saksi-saksi yang


l l l l l l l l l

merupakan keterangan saksi fakta maupun saksi ahli, tetapi langsung l l l l l l l l l l l l

saja menyatakan dakwaan Subsidair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat
l l l l l l l l l l l l l l l

(1) KUHP terbukti secara sah dan meyakinkan. l l l l l l

Menimbang, putusan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim l l l l l l l

Kasasi sangat membingungkan dan sama sekali tidak berdasarkan


l l l l l l l l l l l l l

hukum karena dalam amar putusannya menyatakan bahwa Para l l l l l l l l l l l l l l l

Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak l l l l l l l l l l l

pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya


l l l l l l l l l l l l l l l

orang lain” dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10


l l l l l l l l l l l l l

(sepuluh) bulan. Akan tetapi dalam amar putusan Majelis Hakim l l l l l l l l l l l

Kasasi tidak dinyatakan atau memerintahkan supaya Terdakwa ditahan


l l l l l l l l l l l l l l l l

atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Vide Pasal 197 ayat (1)
l l l l l l l l l l l l l l l l

huruf k), oleh karenanya putusan Judex Juris Majelis Hakim Kasasi l l l l l l l l

tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. l l l l l l

Menimbang, “Memerintahkan agar para terpidana dikeluarkan dari l l l l l l l l l l l l

lembaga pemasyarakatan dan memulihkan nama baik para terpidana,”


l l l l l l l l l l l l l l l l

Menimbang, tindakan yang dilakukan oleh Para Terpidana sudah l l l l l l l l l l l

sesuai dengan tujuan dari SOP, yang berdasarkan bunyi Pasal 1 dan
l l l l l l l l l l l

Pasal 11 ayat (1) dan (2) Permenkes RI No. 521/ MenKes/PER/IV/2007


l l l l l

tentang Izin Praktek dalam Melaksanakan Praktek Kedokteran. Selain


l l l l l l l l l l l

itu, Majelis Kasasi juga tidak mempertimbangkan niat baik dari Para
l l l l l l l l l l l l

Terpidana dan Rumah Sakit dengan memberikan biaya duka cita l l l l l l l l l l l


170

sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Para Terpidana juga
l l l l l l l l l

merupakan dokter-dokter muda dan masih menjalani pendidikan Dokter l l l l l l l l

Spesialis Kebidanan, dengan adanya putusan tersebut mengakibatkan


l l l l l l l l l l l

masa depan Para Terpidana sirna. Oleh karenanya, putusan Majelis


l l l l l l l l l l l l l

Kasasi harus dibatalkan demi hukum dan demi kepentingan umum.


l l l l l l l l

Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah l l l l l l l l l l l l l l

diuraikan diatas, maka dapat dilihat bahwa tidak dapat menunjukkan


l l l l l l l l l l l l l l l

bahwa adanya novum atau bukti baru. Kalaupun SOP yang dikeluarkan
l l l l l l l l l l l l l

oleh Majelis Kehormatan dan Etika Kedokteran (MKEK) dianggap l l l l l l l l

sebagai “novum”, hal ini juga tidak dapat dibenarkan. Putusan MKEK
l l l l l l l l l l

bisa saja dikesampingkan karena sifatnya pendapat (bukan fakta),


l l l l l l l l l l l l l l

karena itu tidak mengandung kebenaran absolut.


l l l l l l l

MENGADILI l

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon l l l l l l l l l

Peninjauan l l Kembali/Para l l l Terpidana l l : I. dr. DEWA l AYU l

SASIARYPRAWANI, II.dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan III. dr.


l l l l l l l

HENDY SIAGIAN tersebut; l l

Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 l l l l l l l l

tanggal18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan


l l l l l l l l l

Negeri ManadoNo. 90/PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September l l l l

2011;

MENGADILI SENDIRI l

1. Menyatakan l l l Terpidana l l I. dr. DEWA l AYU l SASIARY l l

PRAWANI,Terpidana l l l l II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, l l dan l

Terpidana III. dr.HENDY SIAGIAN tidak terbukti secara sah dan l l l l l l l l l

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang l l l l l l l l l l l l l l

didakwakanoleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu


l l l l l l l l l l l

Primair, KesatuSubsidair, atau dakwaan Kedua atau dakwaan Ketiga l l l l l l l l l l l l l l l

Primair,Ketiga Subsidair; l l l
171

2. Membebaskan l l Terpidana l l I. dr. DEWA l AYU l SASIARY l l

PRAWANI,Terpidana l l l l II. dr. HENDRY SIMANJUNTAK, l l dan l

Terpidana III. dr.HENDY SIAGIAN oleh karena itu dari semua l l l l l l l l

dakwaan tersebut;
l l l

3. Memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan, kedudukandan l l l l l l l l l l l l

harkat serta martabatnya;


l l l l l l l

4. Memerintahkan l l agar l l Para l l Terpidana l l dikeluarkan l l dari l

LembagaPemasyarakatan; l l l l l l l

5. Menetapkan barang bukti berupa berkas catatan medis No. l l l l l l l l l

cm.041969 atas nama SISKA MAKATEYTetap dilampirkan dalam l l l l l l l l l l l l

berkas perkara; l l l

6. Membebankan biaya perkara pada semua tingkat peradilan dan l l l l l l l l l l l l l

padapemeriksaan peninjauan kembali kepada Negara ;


l l l l l l l l l l l

E. Hasil Wawancara
l l l l l

Dalam kasus diatas saya juga melakukan penelitian dengan cara


l l l l l l l l l l l l l l

wawancara kepada beberapa narsumber yakni Dokter dan Penegak


l l l l l l l l l l l l

Hukum.
1. Pertanyaan bagi Dokter l l l l

Hari/Tanggal
l l l : Selasa/ 29/11/2022 Jam 16.00 Wib l l l

Sumber Informasi l : dr. Fauzy Masjhur, S.H, M.Kes l l

Pekerjaan l l : Dokter Umum dan Dosen Fakultas Hukum l l l

Universitas Trisakti l l

Peran l : Sebagai Dokter dan Dosen l l l

a. Apa yang dimaksud dengan malpraktek?


l l l l l l l

Jawaban l l l : Malpraktek adalah suatu perbuatan yang dilakukan l l l l l l l l l l l

oleh seorang dokter yang merupakan kelalaian. l l l l l l l

Maksudnya l l seorang l dokter melakukan l l suatu l

perbuatan itu dengan sengaja atau karena kelalaian l l l l l l l l l l l l

terhadap pasiennya dalam segala tingkatan baik l l l l l l l l l l l


172

melanggar standar profesi, standar prosedur, atau


l l l l l l l l

prinsip-prinsip kedokteran. l Pada l l intinya l telah l

memenuhi 4 unsur dalam malpraktek, akan tetapi l l l l l l l

tidak l semua l tindakan l l dokter itu merupakan l l

malpraktek. contoh dari tindakan malpraktek yaitu


l l l l l l l l

aborsi dan mengambil organ pasien secara sengaja,


l l l l l l l l l

Namun malpraktek itu tidak merujuk hanya kepada


l l l l l l l l

suatu profesi tertentu, namun juga meliputi beberapa


l l l l l

profesi yang ada, misalnya: dokter, advokat, notaris l l l l l l l l

dan akuntan publik. l l l

b. Apa saja unsur-unsur malpraktek?


l l l l l l

Jawaban:
l l l

1) Adanya kelalaian artinya kesalahan yang terjadi karena


l l l l l l l l l l l l l l l

kurangnya hati-hati, kurangnya pemahaman, serta kurangnya


l l l l l l l l l l l l

pengetahuan tenaga kesehatan akan profesinya. l l l l l l l l l

2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan. l l l l l l

3) Tidak sesuai standar pelayanan medik. Artinya adalah standar


l l l l l l l l l l l l l l

profesi dan standar prosedur operasional. l l l l l

4) Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia. Sehingga


l l l l l l l l l l

menimbulkan adanya hubungan kausal bahwa kerugian yang l l l l l l l l l l l

dialami pasien merupakan akibat kelalaian tenaga kesehatan


l l l l l l l l l l l l l l

atau dokter.
l l

c. Apa saja bentuk-bentuk malpraktek?


l l l l l l

Jawaban
l l l : Bentuk malpraktik itu ada terbagi menjadi dua yaitu: l l l l l l l l

malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek


l l l l l l l l

yuridis (yuridicalmalpractice), ditinjau dari segi etika l l l l l l

profesi dan segi hukum yaitu : Malpraktek Etik, l l l l

Malpraktek dimana dapat dibedakan malpraktek


l l l l l l l l l l

yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek l l l l l

perdata l l (civil malpractice), l l malpraktek l l pidana l l


173

(criminal malpractice) dan malpraktek administratif l l l l l l l l

(administrative).
l l

d. Kapan tindakan dokter dalam pelayanan kesehatan dapat


l l l l l l l l l l l l l

dikatakan malpraktek?
l l l l l

Jawaban
l l l : Dokter dapat l l dikatakan l l l melakukan l l malpraktek l l

apabila kurang memahami atau menguasi ilmu


l l l l l l l l l

kedokteran yang berlaku sehingga menyebabkan l l l l l l

terjadinya kelalaian dan juga telah melakukan


l l l l l l l l l l

tindakan medik yang tidak sesuai dengan aturan l l l l l l l l

yang berlaku. l l

e. Bagaimana
l l l l penyelesaian l l perkara l l malpraktek l l dibidang l

kedokteran? l

Jawaban
l l l : Penyelesaian perkara lebih kearah alternatif atau l l l l l l l l l l

dapat dikatakan mediasi karena dianjurkan seperti


l l l l l l l l l l

itu
f. Apakah kasus malpraktek sering atau jarang terjadi sampai saat
l l l l l l l l l l l l l l l

ini?
Jawaban : Kasus malpraktek yang saya tahu itu jarang terjadi
l l l l l l l l l l l l l

apalagi sampai ke persidangan karena dokter itu


l l l l l l l l l

disumpah untuk menyembuhkan orang dimana tidak l l l l l l

ada mens rea sehingga tidak ada dokter yang mau


l l l l l l l l l

menyakiti atau mencelakakan pasiennya. Kecuali l l l l l l l l l

dokter melakukan aborsi, membuat keterangan palsu l l l l l l l

maka dapat dipidana. l l l l l l

g. Bagaimana pendapat bapak mengenai kasus dalam putusan


l l l l l l l l l l l l l

peninjauan kembali nomor 79 PK/PID/2013?


l l l

Jawaban
l l l : Menurut saya jika dilihat dari permasalahan didalam l l l l l l l l l l l

putusan tersebut belum tentu dokter itu bersalah l l l

karena bisa saja terjadinya emboli udara itu tanpa


l l l l l l l l l l l

sepegentahuan dari dokter atau dapat dikatakan l l l l l l l l l l

resiko medik yang belum tentu itu kelalain. Namun, l l l l


174

jika di kasus tersebut memenuhi salah satu unsur


l l l l l

malpraktek l l dan l dapat l l dibuktikan l di dalam l l

persidangan maka dapat dikatakan telah terjadi l l l l l l l l l l l

malpraktek, tetapi pada prinsipnya semua tergantung


l l l l l l l l

dari keyakinan hakim itu sendiri dan pembuktian


l l l l l l

dalam persidangan. l l l l

Oleh sebab itu jika dilihat dalam kasus tersebut para terdakwa l l l l l l l l l l

tidak langsung melakukan penanganan darurat pada saat korban


l l l l l l l l l l l l l l

dirujuk dan tidak memiliki surat ijin praktek maka dapat dikatakan l l l l l l l l l l l

telah melakukan malpraktek karena tidak sesuai dengan prosedur


l l l l l l l l l l

kedokteran karena itu merupakan salah satu syarat. l l l l l l l l l l

2. Pertanyaan bagi dokterl l l l

Hari/Tanggal
l l l : Rabu/ 30/11/2022 Jam 09.30 Wibl l

Sumber Informasi : Dr. dr. M.M Joice Sondakh, SpOG (K) l l

Pekerjaan l l : Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, l l l l l l

Spesialis Obstetri dan Ginekologi l l

Peran l : Sebagai Dokter Kandungan di Rumah Sakit l l l l l l

Kandou Manado l l l

a. Apa yang dimaksud dengan malpraktek?


l l l l l l l

Jawaban l l l : Malpraktek adalah suatu kelalaian atau kealpaan


l l l l l l l l l l l l l l

yang dilakukan oleh seorang dokter.


l l l l

b. Apa saja unsur-unsur malpraktek?


l l l l l l

Jawaban l l l : Kurang memahami l l l

c. Apa saja bentuk-bentuk malpraktek?


l l l l l l

Jawaban l l l : Yang saya ketahui bentuk malpraktek itu ada


l l l l l l l l

kelalaian l l l
175

d. Kapan tindakan dokter dalam pelayanan kesehatan dapat


l l l l l l l l l l l l l

dikatakan malpraktek?
l l l l l

Jawaban
l l l : Dapat dikatakan malpraktek pada saat seorang
l l l l l l l l l l l l

dokter itu telah melakukan perbuatan yang tidak l l l l l l l

sesuai prosedur yang ada. l l l l

e. Bagaimana
l l l l penyelesaian l l perkara l l malpraktek l l dibidang l

kedokteran? l

Jawaban
l l l : Penyelesaiannya biasanya melalui jalur pidana dan l l l l l l l l l l l

perdata tapi biasanya lebih kepada mediasi antara l l l l l l l l l l l l

korban dan dokter atau pelaku l l l l l

f. Apakah kasus malpraktek sering atau jarang terjadi sampai saat


l l l l l l l l l l l l l l l

ini?
Jawaban : Sampai sekarang ini kasus malpraktek itu jarang
l l l l l l l l l l l l

terjadi l karena l l tidak l ada l l dokter yang l ingin


mencelakakan pasienya. l l l l l

g. Bagaimana pendapat bapak/ibu mengenai kasus dalam putusan


l l l l l l l l l l l l l

peninjauan kembali nomor 79 PK/PID/2013?


l l l

Jawaban : Menurut saya kasus yang melimpah dokter Ayu itu


l l l l l l l l l

merupakan bukan malpraktek karena kembali lagi l l l l l l l l l

tidak ada dokter yang ingin mencelakakan pasiennya


l l l l l l l l l

dimana dokter hanya ingin membantu melakukan l l l l l l l

penyembuhan terhadap pasien, jika terjadi saat l l l l l l l l

operasi misalnya pasien meninggal atau cacat itu l l l l l l l l l

bukan kesalahan dokter karena kejadian tersebut l l l l l l l l

diluar kendali dokter atau dapat dikatakan itu terjadi


l l l l l l l l l l

karena l l resiko medik atau l l keadaan l l l darurat l l

dikarenakan pada saat sebelum melakukan operasi


l l l l l l l l l l

dokter pasti akan memberikan informed consent l l l l

kepada l l pasien l dan l keluarganya, l l l perihal l soal l

tekanan darah 160/70 itu bisa dilakukan oprasi, serta


l l l l l l l l l

para dokter tersebut memiliki SIP sehingga dalam


l l l l l
176

kasus diatas menurut saya dokter ayu dan teman-


l l l l l l l l

teman nya itu tidak melakukan malpraktek. l l l l l l l

3. Pertanyaan bagi dokter l l l l

Hari/Tanggal
l l l : Kamis/ 01/12/2022 Jam 08.30 Wib l l

Sumber Informasi : dr. Ester N. L. l

Pekerjaan l l : Dokter PNS (Dokter Umum)


Peran l : Dokter PNS di Balai Laboratorium Kesehatan l l l l l l

Daerah Prov. Sulut l l

a. Apa yang dimaksud dengan malpraktek?


l l l l l l l

Jawaban l l l : Malpraktek adalah kegiatan yang dilakukan oleh


l l l l l l l l l l

seorang dokter yang tidak sesuai dengan aturan l l l l l l l

b. Apa saja unsur-unsur malpraktek?


l l l l l l

Jawaban l l l : Kurang mengetahui l l

c. Apa saja bentuk-bentuk malpraktek?


l l l l l l

Jawaban : Kurang mengetahui


l l l l l

d. Kapan tindakan dokter dalam pelayanan kesehatan dapat


l l l l l l l l l l l l l

dikatakan malpraktek? l l l l l

Jawaban : Ketika tidak sesuai sop maka itu dapat dikatakan


l l l l l l l l l l l l l

malpraktek l l

e. Bagaimana l l l l penyelesaian l l perkara l l malpraktek l l dibidang l

kedokteran? l

Jawaban : Untuk menyelesaikan permasalah dalam malpraktik


l l l l l l l l l l l l

dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi


l l l l l l l l l l

(peradilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan).


l l l l l l l l

Jalur penyelesaian mana yang akan ditempuh


l l l l l l l l

bergantung pada akibat dari malpraktik tersebut dan l l l l l l l l l

keputusan para pihak yang terkait. l l l l l l


177

f. Apakah kasus malpraktek sering atau jarang terjadi sampai saat


l l l l l l l l l l l l l l l

ini?
Jawaban : l l l Menurut saya kasus malpraktek diindonesia itu l l l l l l

jarang terjadi
l l l

g. Bagaimana pendapat bapak/ibu mengenai kasus dalam putusan


l l l l l l l l l l l l l

peninjauan kembali nomor 79 PK/PID/2013? l l l

Jawaban : l l l Menurut saya l l kasus l dokter ayu l pasti l

memberitahukan kepada keluarga pasien terhadap l l l l l l l l l

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kasus yang l l l l l l

dialami dokter ayu ini keadaan darurat dimana


l l l l l l l l l l

sebagai seorang dokter dalam hal menolong nyawa l l l l l l l l

walaupun tanpa keluarga bisa pasien sendiri yang


l l l l l l l l l

melakukan tanda-tangan akan tetapi jika pasien tidak l l l l l l l l l l l l

sadarkan diri dokter dapat melakukan penyelamatan


l l l l l l l l l l

karena apa yang menjadi harapan dokter itu untuk


l l l l l l l l l

menyelamatkan. Kalaupun keluarga korban ada saat l l l l l l l l l l l l

itu dan dokter tidak menyampaikan maka dapat l l l l l l l l l

disalahkan. l l l

Jika dalam keadaan darurat dikatakan didalam putusan tidak bisa


l l l l l l l l l l l l l l l l

melakukan l l operasi l dikarenakan l l l tekanan l l darah l l 160/70 itu


sebenarnya bisa dilakukan dengan keadaan darurat tetapi jika
l l l l l l l l l l l l l

keadaan pasien menujukan keadaan darurat dan tidak dilakukannya


l l l l l l l l l l l l l l l

penanganan l l l darurat l l maka l l dokter tesebut dapat l l

dipersalahkan ,dalam kasus ini dokter ayu tidak meberitahukan


l l l l l l l l l l

kepada keluarga korban dan tidak melakukan keadaan darurat


l l l l l l l l l l l l l l

secara cepat ini merupakan kelalaian dokter ayu sehingga


l l l l l l l l l l

menyebabkan meninggalnya korban pada saat operasi. Dan juga l l l l l l l l l l l l

melanggar prosedur tetapi hanya dapat dipidana denda bukan


l l l l l l l l l l l

pidana penjara.
l l l l
178

4. Pertanyaan bagi penegak hukum


l l l l l

Hari/Tanggal
l l l : Senin/ 05/12/2022 Jam 08.00 Wib l

Sumber Informasi l : Pultoni S.H, M.H


Pekerjaan l l : PNS Mahkamah Agung l l l l

Peran l : Hakim Pengadilan Negeri Manado l l l l l

a. Apa yang dimaksud dengan malpraktek?


l l l l l l l

Jawaban : l l l Malpraktek itu artinya penyimpangan terhadap suatu


l l l l l l l l l

kode etik perilaku l standar l l operasional l l yang l

seharusnya dipenuhi, dimana setiap profesi dalam


l l l l l l l

menjalankan tugas bukan hanya dokter tetapi semua l l l l l l l l l

profesi itu terikat dengan kode etik dan sop misalnya, l l l l l

lawyer, hakim, jaksa dan lain-lain. Jadi malpraktek itu


l l l l l l l l l l

dapat diartikan l l l l adalah satu kondisi dimana suatu


l l l l l l l

kegiatan ada aktivitas yang tidak sesuai dengan sop l l l l l l l l l l

atau prosedurnya.
l l l

b. Apa saja unsur-unsur malpraktek?


l l l l l l

Jawaban : Kurang memahi pada intinya dapat dikatakan


l l l l l l l l l l l l l

memenuhi unsure-unsur dalam malpraktek jika l l l l l

perbuatan tersebut dapat dibuktikan alam Pasal- l l l l l l l l l

Pasal yang diajukan oleh penuntut umum didalam


l l l l l l l

persidangan. l l

c. Apa saja bentuk-bentuk malpraktek?


l l l l l l

Jawaban : l l l Bentuk malpraktek saya kurang tahu tetapi biasanya l l l l l l l l l l

ada ahli pada bidangnya untuk mengatakan didalam


l l l l l l l l l l l l

suatu persidangan dimana pendapat atau jawaban


l l l l l l l l l l l l

ahli itu dipakai hakim sebagai referensi dalam


l l l l l l l l

memutuskan perkara aquo tapi itu bukan merupakan l l l l l l l l

referensi utama, pada intinya untuk dapat menilai l l l l l l l l

perbuatan itu malpraktek atau tidak itu seharusnya l l l l l l l l l


179

orang yang memiliki keahlian apakah itu sesuai


l l l l l l l l

praktik yang lazim atau tidak.


l l l l l l

d. Kapan tindakan dokter dalam pelayanan kesehatan dapat


l l l l l l l l l l l l l

dikatakan malpraktek?l l l l l

Jawaban :
l l l Seseorang atau dokter dianggap telah melakukan l l l l l l l l

malpraktek itu jika dalam suatu tindakan-tindakannya


l l l l l l l l l l l

merupakan pelanggaran terhadap sop atau tidak l l l l l l l l l l

memenuhi standar yang dilalui, misalnya seorang l l l l l l l

dokter melakukan l l operasi l pengambilan l l organ l

manusia untuk diperjual belikan.


l l l l

e. Bagaimana penanganan perkara malpraktek diindonesia?


l l l l l l l l l l l l

Jawaban :
l l l Penanganan atau penyelesaian perkara malpraktek l l l l l l l l l l l

diindonesia itu dapat melalui mekanisme dibidang l l l l l l

profesi seperti sidang etik contohnya jika ada l l l l l

seseorang l yang l melakukan l l malpraktek l l itu


diserahkan kepada profesinya atau asosiasi terkait l l l l l l l l l l

profesinya. l

Sedangkan malpraktek dari sisi hukum sebagai proses yang


l l l l l l l l

bisa ditempuh dalam suatu proses pidana dikaitkan dengan


l l l l l l l l l

kelalaian atau luka atau hilangnya jiwa seseorang, sehingga dapat


l l l l l l l l l l l l l l l

dikatakan proses mekanisme melalui jalur pidana atau perdata.


l l l l l l l l l l l l

Pada intinya pertama yaitu prosesnya menjadi tanggungjawab


l l l l l l l l l l l

dari asosiasi profesi tersebut. Jika dikaitkan dengan kasus


l l l l l l l l

seharusnya permasalahan ini diserahkan kepada IDI atau asosiasi


l l l l l l l l l l l l l l

kedokterannya. l l

f. Apakah kasus malpraktek sering atau jarang terjadi sampai saat


l l l l l l l l l l l l l l l

ini?
Jawaban :
l l l Malpraktek sangat jarang terjadi dimanado sampai
l l l l l l l l l l l

ke pengadilan secara prosentasi lebih banyak l l l l l l l

disampaikan melalui mediasi l l l l l antara korban dan l l l l l

pelaku l maka l l malpraktek l l yang l menimbulkan l


180

kerugian bisa melalui kode etik mediasi yang l l l l l

memungkinkan dengan l l kesepakatan-kesepakatan l l l l l l

oleh para pihak. Jika itu sudah masuk ke ranah l l l l l l l l

pengadilan maka itu upaya yang terakhir yang l l l l l l l l l

dimungkinkan jika proses yang lain tidak bisa dilalui. l l l l l l l

g. Apa syarat-syarat pengajuan peninjauan kembali?


l l l l l l l l l l l

Jawaban :
l l l Sarart-syarat pengajuan peninjauan kembali itu
l l l l l l l l l

salah satunya harus ada novum baru yang terdapat


l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 263 KUHAP dimana para terdakwa


l l l l l l l l l l l

dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali


l l l l l l l l

sesuai Pasal tersebut. l l l

h. Bagaimana pendapat bapak mengenai kasus dalam putusan


l l l l l l l l l l l l l

peninjauan kembali nomor 79 PK/PID/2013?


l l l

Jawaban :
l l l Terkait substansi ketika diputuskan seperti itu berarti l l l l l

sudah final sehingga semuanya diserahkan kepada l l l l l l l l l

masyarakat dimana pengadilan negeri mempunyai


l l l l l l l l l

argumentasi-argumentas menurut fakta persidangan


l l l l l l l l

tidak melakukan kelalaian, kemudian pengadilan


l l l l l l l l l

negeri ada beberapa hal yang diangkat pertama l l l l l l l l l l

terkait kelalaian, apakah kasus tersebut kelalain l l l l l l l l l l

menurut hakim pengadilan negeri itu tidak, kedua l l l l l

menurut hakim tentang adanya tindakan yang tidak l l l l l l l l l

sesuai sop seperti tidak memberitahukan kepada l l l l l l

keluraga l l pasien l mengenai l kemungkinan- l

kemungkinan yang akan terjadi itu tidak terbukti, l l l l l l

ketiga menurut majelis hakim belum ada satu fakta l l l l l l l l

yang dianggap adanya pemalsuan dimana mungkin


l l l l l l l l l l

hakim mempertimbangan dengan proses operasi


l l l l l

atau
l l mungkin memiliki logika l bahwa l l korban l

merupakan pasien rujukan, yang keempat belum ada l l l l l l l l

fakta yang menyatakan itu tidak ada surat ijin


l l l l l l l l l l
181

praktek. l Sehingga ini merupakan pertimbangan- l l l l l

pertimbangan yang disampaikan hakim berdasarkan l l l l l l l l l l

fakta yang terungkap.


l l l l

Kemudian l menurut saya l l kacamata l l l l pembuktian l itu


memungkinkan saat melihat hakim pengadilan negeri terdakwa l l l l l l l l l

cukup memberikan hasil pemeriksaan bahwa ia tidak bersalah l l l l l l l l l l

sehingga itu dikutip sebagai referensi hakim kemudian secara


l l l l l l l

prosedural l dikoreksi ditingkat l kasasi l l yang l mempunyai l

pertimbangan dan penilaian yang berbeda, lalu dikoreksi lagi


l l l l l l l l l

ditingkat Peninjauan Kembali terkait ada novum baru atau tidak


l l l l l l l l l l l

dimana l l saya l l memandang l l atau l l menduga l argumenatsi-


l l

argumentasinya bisa jadi sama dengan di pengadilan negeri.


l l l l l l l l l l

Sehingga l dapat l l saya l l katakan l l l bahwa l l semua l keputusan- l

keputusan baik hakim pengadilan negeri , kasasi, dan peninjau


l l l l l l l l l

kembali semua saya hormati. Oleh karena itu perihal pengujian


l l l l l l l l l

atas kelalaian bisa dilihat dari proses awal dan akhir dalam
l l l l l l l l l l l l l l

konteks malpraktek yang harus diuji ataun tidak. l l l l l l l


182

BAB IV l

PEMBAHASAN DAN ANALISIS l l l l l l

A. Apakah putusan peninjauan kembali nomor 79 PK/PID/2013 yang


l l l l l l l l

mengatakan bahwa terpidana dinyatakan tidak bersalah sudah


l l l l l l l l l l l l l l

tepat. l

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan l l l l l l l l l l

terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun


l l l l l l l l

bukan l berarti l pengajuan l l Peninjauan l l kembali l oleh terpidana l l

menyimpangi asas praduga tak bersalah. Karena walaupun telah ada l l l l l l l l l l l l l l l

putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap namun selama


l l l l l l l l l

masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membela dirinya
l l l l l l l l l l l l

maka selama itu pula seorang terpidana berhak atas asas praduga tak
l l l l l l l l l l l l l l l l

bersalah. l l

Adapun syara-syarat Permohonan PK harus didasarkan pada


l l l l l l l l l l l l l

beberapa alasan yang diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2)
l l l l l l l l l l l l l l l

sebagai berikut: yang telah penulis uraikan sebelumnya


l l l l l l l

“Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar: l l l l l l l l l l l

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat


l l l l l l l l l l l l l l

bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
l l l l l l l l l l l l l

berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan l l l l l l l l l l l

lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum l l l l l l l l

tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan l l l l l l l l l l l l

ketentuan pidana yang lebih ringan; l l l l l

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa


l l l l l l l l l l l l l l l

sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau sebagai keadaan dasar l l l l l l l l l l l l l l l

dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah l l l l l l l l l l

bertentangan satu dengan yang lain; l l l l l l

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan


l l l l l l l l l l l

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. l l l l l l l l


183

Dengan kata lain, syarat materiil agar permohonan Peninjauan l l l l l l l l l l l l

Kembali dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, l l l l l l l l l l l

yaitu: l 182
1) Adanya keadaan baru (novum), l l l l l l l

2) Ada beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van


l l l l l l l l l l

rechtspraak) dan l l l

3) Putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau l l l l l l l l l l

kekeliruan nyata. l l l

Dalam bab ini penulis menganalisis mengenai putusan peninjauan


l l l l l l l l l

kembali nomor 79 PK/PID/2013 tentang malpraktek yang dilakukan dr.


l l l l l l l

DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY l l l l l l l l

SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III).


l l l l l l l l l

Dimana telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana malpraktek di


l l l l l l l l l l l l l

wilayah hukum Pengadilan Negeri Manado.


l l l l l l

Dalam kasus malpraktek yang dialami oleh tim dokter yang terdiri
l l l l l l l l l

atas dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY
l l l l l l l l l l

SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III)


l l l l l l l l l

di RS Dr.Kandau Manado terhadap korban, Julia Fransiska Makatey. l l l l l l l l l l l l

Dimana kasus ini bermula pada saat korban dibawah ke puskesmas


l l l l l l l l l l l l

bahu pada hari jumat tanggal 9 april 2010 pihak puskesmas bahu
l l l l l l l l l l l

melakukan pemeriksaan yang hasilnya pukul 24.00 pembukaan 3


l l l l l l l l l

sampai 4 cm dan kepada bayi masih normal, lalu dilakukannya lagi


l l l l l l l l l l l l l

pemeriksaan sekitar pukul 04.00 yang dimana sudah pembukan 7 l l l l l l l l

sampai 8 cm tetapi kepala bayi masih tinggi. kemudian keesokan


l l l l l l l l l

harinya pagi hari dirujuk di RS Dr.Kandau Manado karena puskesmas


l l l l l l l l l l l

bahu belum mampu menangani korban untuk melahirkan, pada saat


l l l l l l l l l l l

korban sampai di rumah sakit tersebut korban langsung dibawah ke unit


l l l l l l l l l

gawat darurat untuk dilakukan pemeriksaan yang hasilnya kondisi


l l l l l l l l l l l

umum korban lemah,dan status penyakit korban berat serta status l l l l l l l l l

rahim tinggi tetapi secara keseluruhan baik selanjutnya korban


l l l l l l l l l
184

dipindahkan ke kamar persalinan dan pihak rumah sakit juga l l l l l l l l l l l

mengatakan bahwa korban dapat melahirkan secara normal tetapi pada


l l l l l l l l l l l l l l l l

pukul 17.30 atau sore hari belum juga melahirkan dan akhirnya l l l l l l l l l

diputuskan untuk dilakukan operasi cito secsio sasaria atau operasi l l l l l l l l l l

cesar. Dimana sebelum dilakukannya operasi cito secsio sasaria pihak


l l l l l l l l l l l

bagian anestesi mengatakan bahwa menyetujui dengan dilaksanakan


l l l l l l l l l l l l l

anastesi resiko tinggi sehingga mohon untuk dikatakan kepada pihak


l l l l l l l l l

keluarga segala kemungkinan yang akan terjadi, tetapi pada saat


l l l l l l l l l l l l l l

sebelum dilakukannya operasi cito secsio sasaria terhadap korban para l l l l l l l l l l l l

Terdakwa dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr.


l l l l l l l l l l

HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN l l l l l l l

(Terdakwa l l III) tidak l menyampaikan l l l kepada l l pihak l keluarga l l

kemungkinan-kemungkinan terburuk atau kematian dan juga pihak l l l l l l l l l

Terdakwa sebelumnya tidak melakukan pemeriksaan jantung, foto


l l l l l l l l l

rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya dalam hal l l l l l l l l l l l

melakukan operasi tersebut sedangkan tekanan darah pada saat


l l l l l l l l l l l l l

sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu l l l l l l

menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan l l l l l l

pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA. Lalu dalam hal
l l l l l l l l l untuk
pemeriksaaan jantung dilaksanakan setelah operasi selesai kemudian l l l l l l l l l l l l

pemeriksaan jantung tersebut dilakukan oleh (Terdakwa 1) dr. Ayu l l l l l l l l

bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit atau dapat
l l l l l l l l l l l

dikatakan ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat) untuk


l l l l l l l l l

diberitahukan kepada pihak jaga bagian kebidanan dan penyakit l l l l l l l l l l l l l

kandungan yang kemudian pihak tersebut membantah bahwa itu


l l l l l l l l l

bukan ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi fibrilasi
l l l l l l l l l

yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut


l l l l l l l l l l l l l l

(kelainan irama jantung) yang artinya kondisi pasien tidak baik dan
l l l l l l l l l l l l

pasti akan meninggal.


l l l l
185

Pada saat dilakukannya operasi cito secsio sasaria para Terdakwa


l l l l l l l l l l l l l l l

melakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan


l l l l l l l l l

sekitarnya, kemudian mulai mengiris dinding perut lapis demi lapis


l l l l l l

dimana pada saat itu sudah mengeluarkan darah berwarna hitam


l l l l l l l l l l l l l l

setelah itu mengangkat bayi dari rahim korban lalu rahim korban dijahit l l l l l l l l l l l

agar tidak terdapat pendarahan lagi. Selanjutnya, korban dikabarkan


l l l l l l l l l l l l l l l

pada waktu pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal


l l l l l l l l l l

dunia oleh bagian penyakit dalam. Dimana korban meninggal dunia


l l l l l l l l l l l

karena terjadinya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan


l l l l l l l l l l l l

jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi


l l l l l l l l l l l

kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan


l l l l l l l l l l l l l

fungsi jantung pada diri korban, berdasarkan Surat Keterangan dari l l l l l l l l l l l

Rumah l Sakit l Umum Prof. Dr. R. D. Kandou l Manado l l No.


61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani l l l l l l l l

oleh dr. JOHANNIS F. MALLO, SH, Sp.F., DFM. (VER terla mpir dalam l l l l l

berkas perkara). Oleh sebab dalam kasus diatas para Terdakwa dr.
l l l l l l l l l l l l l

Dewa ayu sasiary prawani (terdakwa i), dr. Hendry simanjuntakl l l l l l l l l l

(terdakwa ii) dan dr. Hendy siagian (terdakwa iii) didakwakan oleh
l l l l l l l l l l

jakwa penuntut umum yaitu Primair : Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55


l l l l l l l l

ayat (1) ke-1 KUHP.


l l

Oleh sebab itu Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Manado dengan l l l l l l l l

nomor register perkara No.90/Pid.B/2011/PN.MDO dengan amar l l l l l

putusan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan l l l l l l l l l l l l

tindak pidana yang didakwakan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum


l l l l l l l l l l

mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dengan nomor register l l l l l l l l l l l

perkara No.365K/Pid/2012 dengan amar putusan bahwa para terdakwa


l l l l l l l l l l l l

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak


l l l l l l l l l l l l

pidana yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP. Atas dasar putusan
l l l l l l l l l l l l l

kasasi tersebut, Para pemohon / para terpidana mengajukan upaya


l l l l l l l l l l l l

hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan nomor l l l l l l l l l l

register perkara No.79PK/Pid/2013 dengan amar putusan berbunyi l l l l l l


186

membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 l l l l l l l l

tanggal18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan


l l l l l l l l l

Negeri Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MDO dan menyatakan bahwa l l l l l l l l

para pemohon / para terpidana tidak terbukti secara sah dan


l l l l l l l l l l l

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang


l l l l l l l l l l l l l l

didakwakan. l l l

Untuk Membuktikan Bahwa Terdakwa Ayu, dr. Hendi Siagian, dan l l l l l l l l l

dr. Henry Simanjuntak telah melakukan tindak pidana malpraktek l l l l l l l l l l

dilihat dalam Pasal 359 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang


l l l l l l l l l

Hukum Pidana (KUHP) dengan fakta hukum yang terungkap dimuka l l l l l l l l

sidang bahwa para Terdakwa telah melakukan tindak pidana


l l l l l l l l l l l l l

“perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang l l l l l l l l l l l l l l

lain”.
l

Tentang Alasan Permohonan Peninjauan Kembali l l l l l l l l

Adapun yang menjadi alasan Permohonan Para Pemohon PK yakni


l l l l l l l l l l l

sebagai berikut: l l

1. Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum masing-masing dalam Pasal


l l l l l l l l l l l

359 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP harus dinyatakan “tidak terbukti l l l l l l l l l

secara sah dan meyakinkan”, karena unsur “karena salahnyal l l l l l l l l l l l l

menyebabkan l l matinya l l orang”, l tidak l terbukti karena Para l l l l

Pemohon telah melakukan secara benar dan sesuai dengan SOP l l l l l l l l l

serta sesuai dengan aturan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran l l l l l l l l l l

(MKEK).
Oleh karena tuduhan Jaksa/Penuntut Umum prematur, serta l l l l l l l

Judex Juris Mahkamah Agung telah menerima, mengadili, dan l l l l l l l l

memutus perkara a quo dengan menjatuhkan hukuman penjara l l l l l l l l l

kepada Para Terpidana juga prematur, maka dakwaan dalam l l l l l l l l l l l l l l l

perkara a quo harus ditolak dan Para Terpidana harus dibebaskan. l l l l l l l l l l l l l

Putusan bebas oleh Judex Facti Pengadilan Negeri Manado, l l l l l l l

adalah BEBAS MURNI dan sudah tepat sehingga Putusan Judex


l l l l l l l l l

Juris Mahkamah Agung harus dibatalkan dengan pertimbangan l l l l l l l l l l l


187

Pasal 244 KUHAP: “Terhadap putusan perkara pidana yang


l l l l l l l l l l l

diberikan pada tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan lain l l l l l l l l l l l

selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum


l l l l l l l l l l l l

dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung


l l l l l l l l l l l l l l

kecuali terhadap putusan bebas”. l l l l l

Ketentuan l sebagaimana l l l l diatas l l diabaikan l l l baik l oleh


Jaksa/Penuntut Umum maupun oleh Judex Juris Mahkamah Agung,
l l l l l l l

oleh karenanya telah salah menerapkan hukum, maka putusan l l l l l l l l l l l

Judex Juris Mahkamah Agung a quo harus dibatalkan. l l l l l l l l l

2. Terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata yang terjadi karena


l l l l l l l l l l l l l

pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak secara l l l l l l l l l l l

jelas, tidak cermat mempertimbangkan dakwaan Jaksa/Penuntut


l l l l l l l l l l

Umum, bahkan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah l l l l l l l

terungkap di persidangan termasuk saksi-saksi yang merupakan l l l l l l l l l

keterangan saksi fakta maupun saksi ahli, tetapi langsung sajal l l l l l l l l l l l

menyatakan dakwaan Subsidair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat l l l l l l l l l l l l l

(1) KUHP terbukti secara sah dan meyakinkan. l l l l l l

Putusan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi sangat l l l l l l l l l l

membingungkan dan sama sekali tidak berdasarkan hukum karena l l l l l l l l l l l

dalam amar putusannya menyatakan bahwa Para Terpidana terbukti


l l l l l l l l l l l l l l l

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “perbuatan


l l l l l l l l l l l l l

yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” dan


l l l l l l l l l l l l l l

menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh)


l l l l l l l l l l

bulan. Akan tetapi dalam amar putusan Majelis Hakim Kasasi tidak
l l l l l l l l l l l l l l

dinyatakan atau memerintahkan supaya Terdakwa ditahan atau


l l l l l l l l l l l l l l l

tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Vide Pasal 197 ayat (1)
l l l l l l l l l l l l l l

huruf k), oleh karenanya putusan Judex Juris Majelis Hakim Kasasi l l l l l l l l

tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. l l l l l l

Tindakan yang dilakukan oleh Para Terpidana sudah sesuai l l l l l l l l l l l

dengan tujuan dari SOP, yang berdasarkan bunyi Pasal 1 dan Pasal l l l l l l l l l l l l

11 ayat (1) dan (2) Permenkes RI No. 521/ MenKes/PER/IV/2007


l l l
188

tentang Izin Praktek dalam Melaksanakan Praktek Kedokteran.


l l l l l l l l l l

Selain itu, Majelis Kasasi juga tidak mempertimbangkan niat baik dari
l l l l l l l l l l l

Para Terpidana dan Rumah Sakit dengan memberikan biaya duka


l l l l l l l l l l l l

cita sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Para


l l l l l l l

Terpidana juga merupakan dokter-dokter muda dan masih menjalani l l l l l l l l l l

pendidikan Dokter Spesialis Kebidanan, dengan adanya putusan l l l l l l l l l

tersebut mengakibatkan masa depan Para Terpidana sirna. Oleh l l l l l l l l l l l

karenanya, putusan Majelis Kasasi harus dibatalkan demi hukum


l l l l l l l l l l l

dan demi kepentingan umum.


l l

Selanjutnya, Judex Juris juga salah dalam menerapkan hukum l l l l l l l l l

acara (misbruik van proses recht) juga tidak cermat dalam membuat
l l l l l l l l l l

pertimbangan hukum terhadap dalil-dalil dan fakta-fakta yang l l l l l l l l l l l l

terungkap dalam persidangan. l l l l l

Berdasarkan alasan-alasan terdakwa penulis juga melakukan l l l l l l l l l l l l l l

wawancara kepada beberapa narasumber dimana menurut pendapat


l l l l l l l l l l l l l l

Dr. dr. M.M Joice Sondakh, SpOG (K) Dokter Spesialis Kebidanan l l l l

dan Kandungan, Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang merupakan


l l l l l l l l

salah dokter di Rumah Sakit Kandou Manado mengatakan bahwa


l l l l l l l l l l l l

kasus ini bukan malpraktek karena kembali lagi tidak ada dokter
l l l l l l l l l l l

yang ingin mencelakakan pasiennya dimana dokter hanya ingin


l l l l l l l l l l

membantu melakukan penyembuhan terhadap pasien, jika terjadi l l l l l l l l l

saat operasi misalnya pasien meninggal atau cacat itu bukan


l l l l l l l l l l l l

kesalahan dokter karena kejadian tersebut diluar kendali dokter atau


l l l l l l l l l l l

dapat dikatakan itu terjadi karena resiko medik atau keadaan darurat
l l l l l l l l l l l l l l l

dikarenakan pada saat sebelum melakukan operasi dokter pasti


l l l l l l l l l l l

akan memberikan informed consent kepada pasien dan keluarganya,


l l l l l l l l l l

perihal soal tekanan darah 160/70 itu bisa dilakukan operasi, serta l l l l l l l l l l l

para dokter tersebut memiliki SOP sehingga dalam kasus diatas


l l l l l l l l

menurut saya dokter ayu dan teman-teman nya itu tidak melakukan l l l l l l l l l l

malpraktek. l l
189

Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK a quo, maka dapat


l l l l l l l l l l l l l l

penulis melakukan analisis sebagai berikut: l l l l l l

a. Tentang syarat sah diterimanya Permohonan Peninjauan


l l l l l l l l l

Kembali l

Permohonan PK harus didasarkan pada beberapa alasan yang l l l l l l l l l l l l l

diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2) yang telah
l l l l l l l l l l l

penulis uraikan sebelumnya l l l

Dengan demikian, menurut M. Yahya Harahap alasan pertama l l l l l l l l l l l l

yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan


l l l l l l l l l l l l l l

Kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang l l l l l l l l l l l l l l l

dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan ialah


l l l l l l l l l l l l l l

keadaan l l l baru l yang l telah l mempunyai l sifat l dan l kualitas l l

“menimbulkan dugaan kuat.”132 l l l l

Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah l l l l l l l l l l l l l l

diuraikan l l diatas, l l maka l l dapat l l dilihat l bahwa l l tidak l dapat l l

menunjukkan bahwa adanya novum atau bukti baru. Kalaupun l l l l l l l l l l l

SOP yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan dan Etika l l l l l l l l

Kedokteran (MKEK) dianggap sebagai “novum”, hal ini juga tidak l l l l l l l l

dapat dibenarkan. Putusan MKEK bisa saja dikesampingkan


l l l l l l l l l l

karena sifatnya pendapat (bukan fakta), karena itu tidak


l l l l l l l l l l l l

mengandung kebenaran absolut. Hal ini sebagaimana dinyatakan


l l l l l l l l l l l l

oleh hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) Prof. Dr. l l l l l

Surya Jaya, S.H.,M.Hum, yang menyatakan bahwa: “Hakim boleh


l l l l l l l l l l

saja menolak atau tidak dapat menerima pendapat ahli yang


l l l l l l l l l l l l l

berada pada MKEK, apabila menurut pendapat dan keyakinan


l l l l l l l l l l l l

hakim l yang l bisa l diterima l dan l dipertanggungjawabkan l l l l

kebenarannya secara teori dan akal sehat (common sesnce) serta l l l l l l l l l l

keyakinan. Hakim bisa saja menggunakan pendapat ahli lain yang


l l l l l l l l l l l l l

berbeda (second opinion) sebagai pendapat sendiri.” l l l l l

132
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali¸ Edisi ke-2,
Cetakan ke-10, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 619)
190

Selain itu, prosedur pemeriksaan standar profesi yang harus l l l l l l l

diputus melalui MKEK, tidak sejalan dan bertentangan dengan l l l l l l l l

putusan MK No. 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 yang l l l l

bermaksud untuk mengapuskan atau menghilangkan segala l l l l l l l l l

bentuk proteksi terhadap anggota profesi dalam menjalankan l l l l l l l l l

tugasnya. Perlindungan terhadap profesi sangat mencederai


l l l l l l l l

prinsip Equality Before the Law yang dinjunjung tinggi oleh negera l l l l

hukum Indonesia. Dengan demikian, sehingga menurut saya l l l l l l

Putusan PK yang mengambulkan itu adalah tidak sesuai karena l l l l l l l l l l l

tidak ada novum baru atau bukti baru yang dapat menimbulkan
l l l l l l l l l l l

dugaan kuat, sehingga permohonan Para Pemohon PK tidak


l l l l l l l l

dapat diterima atau harus ditolak.


l l l l l l l

Alasan yang kedua adalah “adanya suatu putusan yang saling


l l l l l l l l l l l l l l l

bertentangan”. l l Berdasarkan l l l fakta-fakta l l l l yang l terungkap l di


persidangan, dimana dalam hal ini tidak ditemukan adanya l l l l l l l l l l l l

berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya.


l l l l l l l l l l l

Sehingga, l alasan l l l Permohonan l Peninjauan l l Kembali l Para l l

Pemohon seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim PK; l l l l l

Alasan ketiga adalah “terdapat kekeliruan yang nyata atau


l l l l l l l l l l l l l l l

kekhilafan hakim”. Bahwa alasan PK Para Pemohon tentang l l l l l l l l l l l

Putusan Judex Juris yang tidak mencantumkan perintah “supaya l l l l l l l l

Para Terpidana tetap ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau


l l l l l l l l l l l l l l l l l

dibebaskan” dianggap sebagai suatu kekhilafan atau kekeliruan l l l l l l l l l l l l

yang nyata, juga harus ditolak. Sebagaimana diketahui bahwa


l l l l l l l l l l l l l

putusan Judex Juris adalah putusan yang berkekuatan hukum l l l l l l l l

tetap, tidak memerintahkan Terdakwa untuk ditahan atau tetap


l l l l l l l l l l l

berada dalam tahanan, serta bersifat eksekutorial terhadap pidana


l l l l l l l l l l l l l l

yang dijatuhkan. Oleh karena itu alasan Pemohon PK tentang


l l l l l l l l l

adanya kekeliruan atau kehilafan hakim yang nyata juga harus


l l l l l l l l l l l l l l

ditolak. l
191

Dalam hal tentang kelalaian para terpidana berbagai literatur


l l l l l l l l l l l l l l

hukum pidana Indonesia, kelalaian disebut juga sebagai Kealpaan l l l l l l l l l l l l

(delik culpoos/kulpa). Menurut Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam l l l l l

bukunya l yang l berjudul: Perbuatan l l Pidana l l dan l

Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam


l l l l l l l l l l l l

Hukum Pidana, beliau menyatakan bahwa: kealpaan adalah suatu l l l l l l l l l l l l l l l

bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. l l l l l l l l l l l

Karena itulah maka dalam KUHP ada delik-delik, disamping delik


l l l l l l l l l l

dolus sebagai jenisnya yang lebih berat, ada delik culpoos l l l l l l l

sebagai jenisnya yang lebih ringan.133


l l l l l

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan perkara a quo, maka l l l l l l l l l l l

perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut


l l l l l l l l l l l l

Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair kepada para l l l l l l l l l l l l l

Terpidana adalah “perbuatan yang dilarang karena kealpaan


l l l l l l l l l l l l l l l

pembuatnya”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Chairul


l l l l l l l l l l

Huda dalam bukunya: Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan


l l l l l l l l l l l l l l

Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa l l l l l l l l l l l l

Kesalahan, beliau menyatakan sebagai berikut:


l l l l l l l l l

“Demikian pula halnya dengan perbuatan-perbuatan yang l l l l l l l l l l

dilarang karena kealpaan pembuatnya. Dalam hal ini sifat


l l l l l l l l l l l l l

melawan hukum akan ada jika individu diwajibkan berbuat lain.


l l l l l l l l l l l

Berbuat lain disini, termasuk berbuat untuk memperkecil l l l l

timbulnya atau bahkan menghindarkan resiko tersebut. Dengan l l l l l l l l

demikian, kesalahan, apakah bentuknya kesalahan ataupun l l l l l l l l l l l l l

kealpaan pembuatnya, selalu ditujukan kepada sifat melawan


l l l l l l l l l l l l

hukumnya perbuatan.”134 l l l

133
Prof. Mr. Roeslan Saleh “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, cetakan ke-3 tahun 1983”, h. 109
134
Dr. Chairul Huda dalam bukunya: Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan ke 6 tahun 2015,
haman 57
192

Kemudian, l dalam l l berbagai l l literatur l hukum kedokteran l

dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan


l l l l l l l l l l l l l

digugat menurut hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat,


l l l l l l l l

yakni:
l

(1) Duty (kewajiban); l l

(2) Derelictios of duty (penyimpangan kewajiban); l l l l

(3) Demage (kerugian); dan l l l

(4) Direct causal relationship (berkaitan langsung). l l l l l l

Duty (kewajiban), maksudnya ialah kewajiban dokter untuk l l l l l l l l

bekerja menurut standar profesi. Kewajiban dokter pula untuk


l l l l l l

memperoleh informed consent/persetujuan tindakan kedokteran, l l l l

dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti


l l l l l l l l

sebelum mengambil tindakannya. Sehingga untuk membuktikan l l l l l l

adanya kelalaian seorang dokter, harus dibuktikan terlebih dahulu


l l l l l l l l l l

dokter itu telah l melakukan “breach l l l of duty”.


Kemudian Demage (kerugian), berarti kerugian yang diderita oleh l l l l l l l

pasien itu, baik berbentuk fisik, finansial, emosional, atau berbagai


l l l l l l l l l

kategori
l kerugian l lainnya. l l Sedangkan Direct l l causal l l

relationship/causality (kausalitas/actus
l l l l l l l reus), yakni l suatu l

perbuatan yang menjadi sebab terjadinya suatu akibat.


l l l l l l l l l l

Berdasarkan l l l uraian l l diatas l l menurut penulis, yang l

menjadi duty (kewajiban) para Terpidana adalah mengadakan


l l l l l l l l l l l l l

pemeriksaan lanjutan, mengingat waktu yang cukup panjang sejak l l l l l l l l l l

pasien/korban Siska Maketay masuk ke RSU Prof. Dr. Kandow.


l l l l l l l

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Majelis


l l l l l l l l l l l l l

Hakim pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012 pada halaman 22


l l l l l l l l l l l

menyatakan bahwa: l l l l l

“.....sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul l l l l l l l l l

09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang l l l l l l l l

dilakukan Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan


l l l l l l l l l l l l

dengan “USG (Ultrasonografi)” dan sebagian tindakan medis l l l l l l l l


193

yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis


l l l l l l l l l l

dan l Terdakwa l l I (satu) l sebagai l l ketua l residen yang l

bertanggungjawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan l l l l l l l l

medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak l l l l l l l

mengetahui pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap l l l l l l l l l l

korban.” l

Dengan demikian, maka penulis berpendapat bahwa Para l l l l l l l l l l

Terpidana telah melakukan Derelictios of duty (penyimpangan l l l l l l l

kewajiban), yakni tidak melakukan pemeriksaan penunjang


l l l l l l l l l

(seperti pemeriksaan l l jantung, l foto rontgen dada, l l dan l

pemeriksaan penunjang lainnya) karena tekanan darah sebelum l l l l l l l l l l l

korban dianestesi sedikit tinggi, yaitu 160/70. Selain itu,


l l l l

dimungkinkan pula untuk melakukan pemeriksaan penunjang l l l l l l l

karena waktu yang cukup lama sejak korban masuk RSU Prof. Dr.
l l l l l l l l l

Kandow, yakni pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00


l l l l l l

WITA. Dengan demikian, sekali lagi para Terpidana telah lalai


l l l l l l l l l l l l

yang l kemudian l menyebabkan l l penyimpangan l l terhadap l l

kewajibannya (breach of duty) oleh karena Para Terpidana


l l l l l l l l l l

mampu berbuat lain, namun Para Terpidana tidak berbuat lain


l l l l l l l l l l l

untuk menghindari terjadinya resiko. Sehingga Para Terpidana l l l l l l l l

dapat dikatakan lalai karena tidak berbuat lain sebagaimana


l l l l l l l l l l l l l l l l

dimaksud diatas. l l l

Selain l itu, perlu penulis uraikan l l juga l

mengenai demage (kerugian) yang diderita oleh pasien itu, yaitu l l l l l l l

akibat
l l dari l perbuatan l l Para l l Terpidana l l yang l lalai/karena l l l l

kealpaannya menyebabkan matinya korban Siska Maketay. Hal ini


l l l l l l l l l l l l l

berhubungan l dengan l syarat l l keempat, l yakni Direct l causal l l

relationship/causality (kausalitas/actus
l l l l l l l reus), perbuatan l l Para l l

Terpidana yang menjadi sebab meninggalnya korban Siska l l l l l l l l l

Maketay. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam Putusan pada


l l l l l l l l l l l l l l
194

tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012 pada halaman 23, yang


l l l l l l l l l

menyatakan bahwa: l l l l l

“....berdasarkan keterangan Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH. l l l l l l l l

Sp.F.DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi l l l l l l l

sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa


l l l l l l l l l l

pada l l saat l l pelaksanaan l l l l operasi, l Terdakwa l l I (satu) l

melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan
l l l l l l l l l l

pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang


l l l l l l l l l l l

sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta


l l l l l l l l l

keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan l l l l l l l l

dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh l l l l l l l l

darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta.


l l l l l l l l l l l l

Berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara l l l l l l l l l

yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk


l l l l l l l l l

melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban


l l l l l l l l l l l

masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada


l l l l l l l l

korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, l l l l l l l l l l l l

dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.


l l l l l l l l l l

Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara l l l l l l l l l l l l l

ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk l l l l l l l l l l l

ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan l l l l l l l l l

selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.....”


l l l l l l l l l

Dengan demikian Para Terpidana lalai untuk melakukan l l l l l l l l l l

sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan


l l l l l l l l l l l

tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang l l l l l l l l

tertentu, Para l l Terpidana l l telah l melakukan l l penyimpangan l l

kewajiban (breach of duty), Para Terpidana telah menimbulkan


l l l l l l l l l

kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh


l l l l l l l l l

Para Terpidana terhadap korban.


l l l l l l l
195

Selain itu, Para Terpidana telah menimbulkan suatu hubungan l l l l l l l l l

sebab akibat (kausalitas/actus reus) yang nyata yaitu terdapatnya


l l l l l l l l l l l l l l

tindakan kedokteran dari Para Terpidana dengan suatu keadaan


l l l l l l l l l l l l l

korban yang dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya


l l l l l l l l l l l

ketuban l dari l korban l yang l telah l pecah l sejak l di


Puskesmas, medical records yang tidak dibuat sepenuhnya dalam l l l l l l l l

setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan


l l l l l l l l l l

jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terpidana sampai l l l l l l l l l l

dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga


l l l l l l l l l l

ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di


l l l l l l l l l l

dalam tim melakukan tindakan medis.


l l l l l l

Selanjutnya terdapatnya "25 informed consent". Sedangkan l l l l l l l

Para Terpidana berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang


l l l l l l l l l l l l

dilakukan adalah tindakan CITO/ darurat, tidak adanya tindakan


l l l l l l l l l l l l l l l

persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat


l l l l l l l l l l l l l l l

seperti EKG/pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban l l l l l l l l

selesai dioperasi dengan kondisi gawat, sehingga seluruh l l l l l l

tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terpidana tersebut


l l l l l l l l l l

telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban


l l l l l l l l

meninggal dunia. l l

Berdasarakan kasus diatas untuk menguatkan pendapat l l l l l l l l l l l

penulis dimana penulis juga melakukan wawancara kepada dr. l l l l l l l l l l l

Fauzy l Masjhur, l S.H, M.Kes yang l mengatakan l l l bahwa l l

permasalahan didalam putusan tersebut belum tentu dokter itu l l l l l l l

bersalah karena bisa saja terjadinya emboli udara itu tanpa


l l l l l l l l l l l l l

sepegentahuan dari dokter atau dapat dikatakan resiko medik l l l l l l l l l l

yang belum tentu itu kelalain. Namun, jika di kasus tersebut


l l l l l l

memenuhi salah satu unsur malpraktek dan dapat dibuktikan di l l l l l l l l l

dalam persidangan maka dapat dikatakan telah terjadi malpraktek,


l l l l l l l l l l l l l l l

tetapi pada prinsipnya semua tergantung dari keyakinan hakim itu


l l l l l l l l l l

sendiri dan pembuktian dalam persidangan. Oleh sebab itu jika l l l l l l l l


196

dilihat dalam kasus tersebut para terdakwa tidak langsung


l l l l l l l l l l

melakukan penanganan darurat pada saat korban dirujuk dan


l l l l l l l l l l l l l

tidak l memiliki surat ijin praktek maka dapat dikatakan telah l l l l l l l l l l

melakukan malpraktek karena tidak sesuai dengan prosedur


l l l l l l l l l

kedokteran karena itu merupakan salah satu syarat. l l l l l l l l l l

Dan juga penulis melakukan wawancara kepada salah satu


l l l l l l l l l l l l l

penegak hukum yaitu hakim pengadilan negeri manado dimana


l l l l l l l l l

menurut pendapat l l beliau l bahwa l l terkait l substansi l ketika l

diputuskan seperti itu berarti sudah final sehingga semuanya l l l l l l l

diserahkan l l kepada l l masyarakat l l l l dimana l l pengadilan l l negeri


mempunyai argumentasi-argumentas menurut fakta persidangan l l l l l l l l l

tidak melakukan kelalaian, kemudian pengadilan negeri ada


l l l l l l l l l l l

beberapa hal yang diangkat pertama terkait kelalaian, apakah


l l l l l l l l l l l l l l l

kasus tersebut kelalain menurut hakim pengadilan negeri itu tidak,


l l l l l l l

kedua menurut hakim tentang adanya tindakan yang tidak sesuai


l l l l l l l l l l l

sop seperti tidak memberitahukan kepada keluraga pasien l l l l l l l l

mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi itu tidak l l l l l l l l

terbukti, ketiga menurut majelis hakim belum ada satu fakta yang l l l l l l l l l

dianggap
l l adanya l l l pemalsuan l l dimana l l mungkin hakim l

mempertimbangan dengan proses operasi atau mungkin memiliki l l l l l l

logika bahwa korban merupakan pasien rujukan, yang keempat


l l l l l l l l l l

belum ada fakta yang menyatakan itu tidak ada surat ijin praktek.
l l l l l l l l l l l l l

Sehingga l ini merupakan l l pertimbangan-pertimbangan l l l l yang l

disampaikan hakim berdasarkan fakta yang terungkap.


l l l l l l l l l l l

Kemudian l menurut saya l l kacamata l l l l pembuktian l itu


memungkinkan saat melihat Hakim Pengadilan Negeri terdakwa l l l l l l l l l

cukup memberikan hasil pemeriksaan bahwa ia tidak bersalah l l l l l l l l l l

sehingga itu dikutip sebagai referensi hakim kemudian secara l l l l l l l

prosedural l dikoreksi ditingkat l kasasi l l yang l mempunyai l

pertimbangan dan penilaian yang berbeda, lalu dikoreksi lagi l l l l l l l l l

ditingkat Peninjauan Kembali terkait ada novum baru atau tidak


l l l l l l l l l l l
197

dimana l l saya l l memandang l l atau l l menduga l argumenatsi- l l

argumentasinya bisa jadi sama dengan di pengadilan negeri.


l l l l l l l l l l

Sehingga l dapat l l saya l l katakan l l l bahwa l l semua l keputusan- l

keputusan baik hakim pengadilan negeri , kasasi, dan peninjau l l l l l l l l l

kembali semua saya hormati. Oleh karena itu perihal pengujian l l l l l l l l l

atas kelalaian bisa dilihat dari proses awal dan akhir dalam
l l l l l l l l l l l l l l

konteks malpraktek yang harus diuji ataun tidak, dimana pada l l l l l l l l l l l

intinya semua kembali lagi pada keyakinan hakim itu sendiri. l l l l l l l l l

B. Bagaiaman l l l l Proses Penanganan l l l terhadap l l Tindak l Pidana l l

Malpraktek. l l

Dalam hal proses penangangan terhadap tindak pidana malpraktek


l l l l l l l l l l l l l

itu biasanya mealalu beberapa mekanisme, mekanismanya itu terdiri l l l l l l l l l l l

dari Secara asosisasi profesi masing-masin, Secara perdata maupun


l l l l l l l l l l l l

pidana. l l

Secara filosofis, upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan l l l l l l l l l

upaya hukum luar biasa yang ditujukan untuk kepentingan Terpidana,


l l l l l l l l l l

bukan untuk kepentingan negara atau korban. Peninjauan Kembali


l l l l l l l l l l

secara sosiologis berdasar bahwa negara telah salah dengan


l l l l l l l l l l l l

menjatuhkan pidana kepada warga negara yang tidak bersalah


l l l l l l l l l l l l l l

(miscarriage of justice) yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya l l l l l l l l l l l

hukum biasa. l l

Dari l penjelasan l l ini maka l l kita l bisa l menyimpulkan l bahwa l l

permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur,


l l l l l l l l l l l

yaitul jalur l litigasi l (peradilan) l l dan l jalur


l non litigasi l (diluar l

peradilan).Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan


l l l l l l l l l

atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya


l l l l l l l l l l l l l l l l l

dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam


l l l l l l l l l l l l l l

pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait l l l l l l l l l l l l l

dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang


l l l l l l l l l l l l l l l l

pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung


l l l l l l l l l l l l l l
198

jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi.
l l l l l l l l l l

Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka l l l l l l l l

metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi l l l l l l l l l l l l

masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik


l l l l l l l l l l l l l l l l

melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung


l l l l l l l l l l l

Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus l l l l l l l l l

yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya


l l l l l l l l l l l l

tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan


l l l l l l l

pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran l l l l l l l l l l

(MKEK).
Dalam hal ini Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan
l l l l l l l l l l

sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter l l l l l l l l l

Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi l l l l l l l

merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga l l l l l l l l l l l l l l

diperkuat l dengan l UU No. 23/1992 tentang l kesehatan l l yang l

menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya l l l l l l l l l l kesalahan atau l l l l l

kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (Pasal 54


l l l l l l l l l l l

ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (Pasal


l l l l l l l l l

54 ayat 3). l l

Di sana dikatakan bahwa setiap kasus dalam hal kesalahan dokter l l l l l l l l l l l l l l l

yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia


l l l l l l l l l l l

selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) di


l l l l l l l

bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), baik di tingkat pusat


l l l l l l l l l l

maupun di tingkat cabang. Sehingga dapat dikatakan bahwa MKEK


l l l l l l l l l l l l

adalah lembaga penegak KODEKI di samping MKDKI (Majelis


l l l l l l l l

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Berdasarkan Pasal 1 l l l l l l l l l

angka 14 UU Praktik Kedokteran, Majelis Kehormatan Disiplin


l l l l l l l

Kedokteran l Indonesia l adalah l l l lembaga l l yang l berwenang l untuk


menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter l l l l l l l l l l l l

gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan l l l l l l l l

menetapkan sanksi. l l l
199

Jadi, yang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh


l l l l l l l l l l l l l

dokter adalah lembaga khusus bernama MKDKI tersebut, Penentuan l l l l l l l l

ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi ini
l l l l l l l l l l l

dituangkan dalam bentuk keputusan yang dibuat oleh MKDKI.


l l l l l l l

Keputusan ini dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian l l l l l l l l l l l l l

sanksi disiplin dapat dilihat dalam Pasal 69 UU Praktik Kedokteran.


l l l l l l l l l l

Berdasarkan Pasal 69 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, seorang l l l l l l l l l l

dokter dapat dijatuhi sanksi, sanksi disiplin yang dimaksud dapat l l l l l l l l l

berupa : l

1. Pemberian peringatan tertulis; l l l

2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin l l l l l l l l l l

praktik dan/atau l l l l

3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan l l l l l l l l

kedokteran atau kedokteran gigi. l l l l

Namun, jika pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut,


l l l l l l l l l l

berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, pasien dapat


l l l l l l l l l l l l

mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin


l l l l l l l l l l

Kedokteran l Indonesia l (MKDKI) dan l pengaduannya l l l itu tidak l

menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan l l l l l l l l l l l l

tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat


l l l l l l l l l l l l

kerugian perdata ke pengadilan. l l l l l

Berdasarkan kasus diatas penulis juga melakukan wawancara l l l l l l l l l l l l l

kepada beberapa narasumber yaitu pendapat dari dr. Fauzy Masjhur,


l l l l l l l l l l l l

S.H, M.Kes yang mengatakan bahwa jika di kasus tersebut memenuhi l l l l l l l l

salah satu unsur malpraktek dan dapat dibuktikan di dalam persidangan


l l l l l l l l l l l l l

maka dapat dikatakan telah terjadi malpraktek, tetapi pada prinsipnya


l l l l l l l l l l l l l l l

semua tergantung dari keyakinan hakim itu sendiri dan pembuktian


l l l l l l l l

dalam persidangan.
l l l l

Oleh sebab itu jika dilihat dalam kasus tersebut para terdakwa tidak l l l l l l l l l l l

langsung melakukan penanganan darurat pada saat korban dirujuk dan


l l l l l l l l l l l l l l

tidak memiliki surat ijin praktek maka dapat dikatakan telah melakukan
l l l l l l l l l l l l l
200

malpraktek karena tidak sesuai dengan prosedur kedokteran karena itu


l l l l l l l l l l

merupakan salah satu syarat. l l l l l l l

Sedangkan menurut pendapat dr. Ester N. L. l l l l dari jika dalam l l l l

keadaan darurat dikatakan didalam putusan tidak bisa melakukan


l l l l l l l l l l l l l l l

operasi dikarenakan tekanan darah 160/70 itu sebenarnya bisa


l l l l l l l l l l l

dilakukan dengan keadaan darurat tetapi jika keadaan pasien


l l l l l l l l l l l l l l

menujukan keadaan darurat dan tidak dilakukannya penanganan l l l l l l l l l l l l l l

darurat maka dokter tesebut dapat dipersalahkan ,dalam kasus ini


l l l l l l l l l l l l

dokter ayu tidak meberitahukan kepada keluarga korban dan tidak l l l l l l l l l l l

melakukan keadaan darurat secara cepat ini merupakan kelalaian


l l l l l l l l l l l l l l l

dokter ayu sehingga menyebabkan meninggalnya korban pada saat l l l l l l l l l l l

operasi. Dan juga melanggar prosedur dalam hal SIP tetapi hanya
l l l l l l l l l l l

dapat dipidana denda bukan pidana penjara sesuai.


l l l l l l l l l l l

Berdasarakan kasus yang menimpah dr. DEWA AYU SASIARY l l l l l l l l l l l

PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II)


l l l l l l l l

dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) yang didakwakan oleh jaksa
l l l l l l l l l l l

penuntut umum dengan Pasal 359 kuhp jo Pasal 55 ayat ke (1) KUHP l l l l l l l

sehingga Pasal ini belum bisa dikatakan malpraktek karena ini hanya l l l l l l l l l l l l l

merupakan tindak pidana biasa, dimana menurut keterangan IDI bahwa l l l l l l l l l l l l l

kasus ini belum diajukan kepada IDI tetapi kasus ini sudah terlanjur
l l l l l l l l l

dibawah l l ke pengadilan l l oleh pihak l korban l yang l kemudian l

memunculkan beberapa protes dari pihak-pihak dokter yang tidak l l l l l l l l

menerima bahwa rekannya dikatakan telah melakukan malpraktek l l l l l l l l l l l l l

apalagi sudah diputuskan didalam putusan pengadilan negeri manado


l l l l l l l l l l l l

bahwa para terdakwa tidak terbukti telah melakukan tindak tersebut dan
l l l l l l l l l l l l

dinyatakan l l l bebas l tetapi l jaksa l l penuntut umum mengajukan l l

permohonan kasasi lalu majelis hakim kasasi memutuskan para l l l l l l l l l l l

terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan


l l l l l l l l l l l l

yang karena perbuatannya menyebabkan matinya orang lain, sehingga


l l l l l l l l l l l l l

menurut hemat penulis perkara-perkara malpaktek yang pernah terjadi l l l l l l l l l l

harusnya korban mengajukan permohonan kepada IDI terlebih dahulu


l l l l l l l l l
201

dikarenakan l l l organisasi l l IDI merupakan l l organisasi l l yang l akan l l

menentukan bahwa seorang orang dokter itu melakukan kesalahan l l l l l l l l l l

atau tidak, sebab hal ini bila sudah terbukti melakukan kesalahan atau
l l l l l l l l l l l l l l

dapat disebutkan malpraktek maka baru dapat diajukan ke pengadilan.


l l l l l l l l l l l l l l

Hak atas kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia,


l l l l l l l l l l l l l l l

sebagai unsur kesejahteraan masyarakat yang merupakan kepentingan


l l l l l l l l l l l l l

umum, sehingga oleh karenanya sebagai hak asasi manusia, dia wajib l l l l l l l l l l l l l

dihormati, dimajukan, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Dalam l l l l l l l l

upaya pemenuhan hak tersebut, maka penyelenggaraan praktik


l l l l l l l l l l

kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam l l l l l l l l l l l

penyelengaraan upaya kesehatan, harus dilakukan oleh dokter dan l l l l l l l l l l l

dokter gigi dengan etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kompetensi l l l l l l l

yang terus menerus ditingkatkan. Untuk memberikan perlindungan dan


l l l l l l

kepastian l l hukum yang l seimbang l kepada l l penerima l pelayanan l l l

kesehatan, dokter dan dokter gigi, wewenang pengaturan (regelende


l l l l l l

functie) dari pembuat undang-undang perlu diterapkan secara rasional l l l l l l l l l l

dalam keseimbangan kedudukan kepentingan hukum yang adil dan


l l l l l l l l l

proporsional. l

Dalam Judicial review mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur


l l l l l l l l l l l

pembatasan ijin praktik kedokteran, surat izin pratik, surat tanda


l l l l l l l l l l

registrasi, pemasangan papan nama dan keharusan untuk menambah l l l l l l l l l l l l l

dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang jika tidak


l l l l l l l l

dilaksanakan oleh dokter atau dokter gigi adalah semata-mata sebagai


l l l l l l l l l l l l l l l

upaya perlindungan baik terhadap pasien maupun dokter atau dokter


l l l l l l l l l l

gigi itu sendiri, hanya dapat dihukum melalui pidana denda bukan l l l l l l l l l

pidana penjara lagi. Tetapi bukan berarti dokter sama sekali tidak bisa
l l l l l l l l l l l l l

masuk penjara, dimana jika dokter memalsukan ijazah dalam proses


l l l l l l l l l l l l

SIP dokter tersebut dapat dituduh melakukan kejahatan yang bersifat l l l l l l l l l

administratif, yakni pemalsuan yang bisa dijerat dengan KUHP.


l l l l l l l l l
202

Pembatasan tiga tempat praktik yang ada dalam UU Praktik l l l l l l l l l l l l

Kedokteran l tanpa l l melihat l sistem kesehatan l l nasional l l secara l l

keseluruhan, dalam implementasinya akan menimbulkan berbagai l l l l l l l l l l

dampak. Dampak tersebut dapat positif maupun negatif. Dampak positif


l l l l l l l l l l

yang mungkin terjadi, diharapkan semakin banyaknya luang waktu


l l l l l l l l l l l

komunikasi antara dokter dan pasien sehingga dokter jadi lebih teliti l l l l l l l l

dalam melakukan pemeriksaan, dokter menjadi tepat waktu dalarn


l l l l l l l l l l l

melayani pasien, juga terjadinya pemerataan tempat praktik dokter.


l l l l l l l l l l l

Dampak negatif yang mungkin terjadi adalah karena masih sedikitnya


l l l l l l l l l l l l

jumlah dokter dengan keahlian tertentu, banyak daerah/rumah sakit


l l l l l l l l l l

yang tidak ada dokternya untuk spesialis tertentu, banyak rumah sakit
l l l l l l l l l l

yang berpotensi terancam tutup karena tidak adanya dokter (akibatnya


l l l l l l l l l l l l

pelayanan kesehatan di beberapa daerah tertentu akan menjadi tidak


l l l l l l l l l l l l l

optimal. l

Prinsip dasar lain yang secara umum diterapkan adalah bahwa l l l l l l l l l l l l l

penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium, menegaskan l l l l l l l l

bahwa jika satu tujuan dapat dicapai dengan sanksi yang bukan hukum
l l l l l l l l l l l l l

pidana, maka sanksi demikian yang akan dipakai dan bukan hukum
l l l l l l l l l l l l l

pidana. Penggunaan hukum pidana juga harus dielakkan jikalau side


l l l l l l l l l l l l

effect-nya lebih besar dan penegakannya tidak efektif. l l l l l l l

Akibat dari putusan PK No. 79 PK/PID/2013, selain membebaskan


l l l l l l l

Para l l Terpidana dr. l l Dewa l Ayu l Sasiary l l Prawani, l l dr. Hendry


Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian, juga memulihkan hak Para
l l l l l l l l l l

Terpidana l l dalam l l kemampuan, l l kedudukan, l serta l harkat l l dan l

martabatnya. Yang dimaksud dengan “memulihkan hak Para Terpidana


l l l l l l l l l l l l l

dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya” adalah


l l l l l l l l l l l l l l l l

Para Terpidana dapat menjalankan profesi sehari-harinya, yakni


l l l l l l l l l l l l l

sebagai dokter di RSU Prof. Dr. R.D. Kandow Manado.


l l l l l

Selain Para Terpidana dibebaskan dari putusan pidana pada tingkat


l l l l l l l l l l l l l l

Kasasi, akibat hukum lain dari putusan PK ialah Para Terpidana juga
l l l l l l l l l l l l l l
203

dapat dan berhak untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan


l l l l l l l l l

ketentuan Pasal 95 ayat (1) dan ayatb (3) KUHAP: l l l l l l l l l

“(1) Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti l l l l l l l l l l

kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau l l l l l l l l l l l

dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan l l l l l l l l l l l l l l

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya l l l l l l l l l l

atau hukum yang diterapkan. l l l l l

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) l l l l l l l l l l l l

diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya l l l l l l l l l l l l l

kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang l l l l l l l l l l

bersangkutan.” l l

Dalam hal kasus diatas penulis juga menemukan yang tidak kalah
l l l l l l l l l l l l

pentingnya bahwa putusan PK No. 79 PK/PID/2013 ialah mengenai l l l l l l l

Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Kandow Manado (secara kelembagaan)


l l l l l l l l l l

yang memberikan izin kepada dokter yang notabene adalah mahasiswa


l l l l l l l l l l l l

Dokter Spesialis Kebidanan tanpa pengawasan dan tanggungjawab l l l l l l l l l l l l

dari pembimbing. Menurut penulis, Pembimbing harus hadir dan


l l l l

mendampingi Para Terpidana pada saat operasi dilakukan. Dimana


l l l l l l l l l l l l l l

berdasarkan keterangan para saksi dan ahli dalam persidangan pada


l l l l l l l l l l l l l l l l

tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado, penulis dapat


l l l l l l l l l

menghimpun bahwa para Terpidana belum diusulkan oleh Dekan l l l l l l l l

Fakultas Kedokteran Unsrat kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota


l l l l l l l l l l l l

Manado untuk mendapatkan Surat Izin Praktek secara kolektif bagi


l l l l l l l l l l

dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Selanjutnya l l l l l

dokter boleh melakukan tindakan kedokteran setelah memiliki Surat l l l l l l l

Tanda Registrasi (STR) dan wajib memiliki Surat Izin Praktek (SIP).
l l l l l l l

Dalam hal ini Terpidana I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani sudah
l l l l l l l l l l l l

mengurus SIP sebagai dokter umum pada tahun 2010, namun dokter l l l l l l

PPDS tidak bisa mendapat izin sebagai dokter umum, namun hanya l l l l l l l l l

melaksanakan tugas delegasi dari dokter yang melakukan praktek.


l l l l l l l l l l l
204

Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa Rumah Sakit


l l l l l l l l l l l l l

Prof. Dr. Kandow Manado secara kelembagaan juga telah lalai, dalam
l l l l l l l l l l l l l l

hal ini melakukan pembiaran terhadap tindakan kedokteran yang


l l l l l l l l l l l

dilakukan oleh Para Terpidana yang notabene adalah mahasiswa


l l l l l l l l l l l l l l

PPDS dalam melakukan operasi Cito kepada korban tanpa didampingi


l l l l l l l l l l l

oleh dokter senior, sehingga menurut penulis Rumah Sakit secara l l l l l

kelembagaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam hal


l l l l l l l l l l l l l l l

ini, penulis melihat bahwa kesalahan Jaksa adalah dalam menentukan l l l l l l l l l l l l l l

Terdakwa. Sekali lagi, seharusnya Rumah Sakit secara kelembagaan


l l l l l l l l l l l l l

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.


l l l l l l l l l
205

BAB V l

PENUTUP
A. Kesimpulan: l

1. Putusan peninjauan kembali dalam hal ini dinyatakan tidak bersalah l l l l l l l l l l l l l

tetapi dapat dikatakan tidak tepat berdasarkan Pasal 359 KUHP,


l l l l l l l l l l l l l

karena tidak sesuai dengan syarat-syarat salah satunya tidak ada


l l l l l l l l l l l l l l l l

novum baru dalam peninjauan kembali, dan juga dalam hal ini telah l l l l l l l l l l l l

memenuhi unsur-unsur tindak pidana malpraktek sesuai dengan l l l l l l l

Pasal tersebut. l l

2. Proses penanganan tindak pidana malpraktek tidak sesuai dnegan l l l l l l l l l l l

aturannya karena tidak adanya pernyataan bahwa perbuatannya ini


l l l l l l l l l l l l l l l l l

oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang dimana l l l l l l l l

memiliki peran sebagai badan pengawas dan penegak disiplin dokter l l l l l l l l l

dan dokter gigi di Indonesia. Dalam kasus ini, apabila dalam


l l l l l l l l l l

penanganan operasi tersebut tidak sesuai denganSOP (Standard


l l l l l l l l l

Operasional Prosedur) dan yang menilai telah terjadi kesalahan l l l l l l l l l l

dalam penanganan operasi tersebut adalah Majelis Kehormatan


l l l l l l l l l l l l

Disiplin Kedokteran Indonesia. Kewenangan tersebut merupakan l l l l l l

kewenangan delegasi dari Pasal 1 angka 14 dan Pasal 55 Undang- l l l l l l l l l l l l

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. l l l l l

B. Saran
l l

1. Dalam hal ini penulis menyarankan hakim peninjauan kembali


l l l l l l l l l l

karena dalam pengajuan proses peninjauan kembali ada syarat yang


l l l l l l l l l l l l l l

tidak terpenuhi yaitu tidak ada novum baru, tidak ditemukan adanya
l l l l l l l l l l l

berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya dan


l l l l l l l l l l l l

adanya kekeliruan atau kehilafan hakim yang nyata, serta semua ini
l l l l l l l l l l l l l l

yang dilakukan sudah dijadikan bukti, sehingga saran saya


l l l l l l l l l l l

205
206

seharusnya dengan dasar putusan ini tidak dapat diterima atau


l l l l l l l l l l l l

ditolak atau dapat dikatakan tidak menguatkan putusan kasasi.


l l l l l l l l l l l l l l

2. Dalam hal ini penulis mengatakan bahwa Tindak pidana ini tidak
l l l l l l l l l l l l

boleh dinyatakan sebagai malpraktek karena tidak ada pernyataan l l l l l l l l l l l l l l l

lebih dahulu dari putusan majelis kehormatan dokter Indonesia l l l l l l l

“MKDI” ini hanya merupakan tindak pidana biasa. tetapi dalam l l l l l l l l l l l l

menjatuhkan putusan hakim harus memperhatikan tujuan dari


l l l l l l l l l

pemidanaan yaitu menimbulkan efek jera, jadi hanya dijatuhkan efek


l l l l l l l l l l l

jera hanya sanksi pidana yang semula dalam hal ini lebih lagi
l l l l l l l l l l l l

menunjukkan adanya kemanfaatan jika dibolehkan tidak dijatuhkan l l l l l l l l l l l l l

didalam l l lembaga l l kemasyarakatan, l l l l l tetapi l menurut penulis


disarankan agar diberikan pidana percobaan 3 tahun tidak boleh
l l l l l l l l l l l l

melakukan kejahatan. Kemudian penulis juga ingin menyarankan


l l l l l l l l l l

bahwa setiap rumah sakit dalam hal menerima dokter sebagai


l l l l l l l l l l l

tenaga l l medis yang l akan l l bekerja l untuk mengobati l dan l

menyelamatkan pasien, terlebih dahulu diperiksa surat izin dan l l l l l l l l

kebenaran setiap dokumen yang diserahkan seperti ijazah kelulusan


l l l l l l l l l

dari kedokteran dan dokumen lain, supaya bagi pasien merasa aman
l l l l l l l l l l l l

dan nyaman.
l l l

Anda mungkin juga menyukai