Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN RESUMETUTORIAL

BLOK 23: ETIKA DAN HUKUM


SKENARIO 1: Etika Kedokteran
SKENARIO 2: Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
SKENARIO 3: Malpraktek Medis

Pembimbing Tutorial:
drg. Pudji Astuti M.Kes.

Kelompok I
Anggota:
Afifah Firda Amalia (171610101078)
Yuriza Adelita Yolanda (171610101079)
Nabela Dhea Ulhaq (171610101080)
Usykuri Naila Iflachiana (171610101081)
Farah Rachmah Aulia Wardani (171610101082)
Rahmat Agung (171610101083)
Riris Aria Dewanti (171610101084)
Zhafirah Alifia Putri (171610101085)
Johan Al Falah (171610101086)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2021
RESUME TUTORIAL
BLOK 23: ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN GIGI

Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia yang telah diatur dan
dilindungi oleh berbagai aspek peraturan perundang-undangan dan didukung oleh
negara melalui penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan praktik
kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan, dimana dokter merupakan pihak yang mempunyai keahlian di
bidang medis atau kedokteran yang dianggap memiliki kemampuan dan keahlian
untuk melakukan tindakan medis, sedangkan pasien merupakan orang sakit yang
awam akan penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati
dan disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien (Erdiansyah, 2011; Hengki,
2007).
Dalam memberikan pelayanan medis seorang dokter harus memperhatikan
etika dan moral yang ada. Yang dimaksud etika secara umum merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk, dengan kata lain aturan atau
pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Etika bersifat relatif yakni
dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Secara khusus etika dalam dunia
kedokteran disebut sebagai bioetika. Ringkasnya bioetika adalah bidang kajian
multidisiplin yang dinamis berkembang dari etika kedokteran menjadi etika
bioteknologi, dan terakhir menjadi etika dari ilmu-ilmu kehidupan, ethics of life
sciences dimana life sciences meliputi praktek kedokteran, biologi serta
pengambilan keputusan yang terkait dengannya baik secara organisasi maupun
ekonomi (Adistha, 2020). Selain memperhatikan etika kita juga harus
memperhatikan moral yang ada, makna moral ini sebenarnya hampir sama dengan
etika, namun jika dicermati ternyata makna moral lebih tertuju pada ajaran-ajaran
dan kondisi mental seseorang yang membuatnya untuk bersikap dan berperilaku
baik atau buruk. Jadi, makna moral lebih aplikatif jika dibandingkan dengan makna
etika yang lebih normatif. Etika merupakan kajian atau filsafat tentang moral, dan
moral merupakan perwujudan etika dalam sikap dan perilaku nyata sehari-hari
(Marzuki, 2013).
Mannas (2018) mengutip pernyataan menurut Bahder Johan Nasution
(2005), bahwa hubungan antara dokter dengan pasien dalam praktik kedokteran
merupakan transaksi terapeutik yaitu hubungan hukum yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak guna terbentuknya perawatan dan pengobatan
yang tepat. Jadi antara dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan
pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis harus
saling menghormati hak dan kewajibannya masing-masing, agar tercapainya upaya
terapi yang paling tepat bagi pasien tersebut (Mannas, 2018). Hak dan kewajiban
pasien dan dokter timbul sebagai akibat dari dari transaksi terapeutik yang
dilakukan oleh dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dengan seorang pasien
yang tertuang dalam perjanjian terapeutik yang menimbulkan adanya hak dan
kewajiban bagi keduanya (Kusumaningrum, 2016).
Sebagai manusia biasa, dokter mempunyai tanggung jawab terhadap pribadi
dan keluarga, disamping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat. Karena
itu dokter juga mempunyai hak-hak yang harus dihormati dan dipahami oleh
masyarakat sekitarnya (Hanafiah dan Amir, 2009). Hak dan kewajiban dokter
dijelaskan lebih lanjut dalam Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Kewajiban dokter dituliskan dalam Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia (KODEKGI) yang digunakan sebagai pedoman seorang dokter gigi
dalam bertindak dan bersikap sesuai profesinya. Kewajiban dokter gigi yang
tertuang dalam KODEKGI terbagi dalam tiga jenis kewajiban, yaitu kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan
kewajiban terhadap diri sendiri.
Pada BAB I KODEKGI, dibahas mengenai kewajiban umum dokter gigi,
dimana dibahas mengenai kewajiban dalam mengamalkan lafal sumpah/janji dokter
gigi indonesia, menjunjung tinggi norma kehidupan dalam menjalankan profesinya,
larangan untuk dipengaruhi oleh pertimbangan mencari keuntungan pribadi,
memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak
menjaring pasien secara pribadi melalui pasien atau agen, mencegah infeksi silang
dalam perawatan, menjalin kerjasama yang baik antar tenaga kesehatan, serta
berkewajiban dalam upaya peningkatan kesehatan gigi masyarakat di bidang
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (PB PDGI, 2014).
Pada BAB II KODEKGI, dijelaskan mengenai kewajiban dokter gigi
terhadap pasien. Dokter gigi Indonesia wajib menghormati hak pasien untuk
menentukan pilihan perawatan dan rahasianya, melindungi pasien dari kerugian,
mengutamakan kepentingan pasien, memperlakukan pasien secara adil, serta wajib
menyimpan, menjaga, dan merahasiakan rekam medik pasien. Dokter Gigi di
Indonesia wajib menyampaikan informasi mengenai rencana perawatan dan
pengobatan serta alternatif yang sesuai dan memperoleh persetujuan pasien dalam
mengambil keputusan. Dokter gigi juga wajib menghormati hak pasien bila
menolak perawatan dan pengobatan yang diusulkan dan dapat mempersilahkan
pasien untuk mencari pendapat dari profesional lain (second opinion) (PB PDGI,
2014). Dokter gigi wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien serta
merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan (UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 51).
Pada BAB III KODEKGI, dijelaskan mengenai kewajiban dokter gigi
terhadap teman sejawat, dimana dokter gigi Indonesia harus memperlakukan teman
sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan, tidak mengambil alih pasien
tersebut tanpa persetujuan dokter gigi lain tersebut kecuali pasien menyatakan
pilihan lain, melakukan rujukan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
berlaku, dan memberi nasihat kepada teman sejawat yang diketahui berpraktik di
bawah pengaruh alkohol atau obat terlarang. Dokter gigi juga wajib memelihara
hubungan baik antar sesama teman sejawat serta membagi/ menginformasikan
pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh kepada teman sejawat yang lain (PB
PDGI, 2014).
Pada BAB IV KODEKGI, dijelaskan mengenai kewajiban dokter gigi
terhadap dirinya sendiri, dimana dokter Gigi di Indonesia wajib mempertahankan
dan meningkatkan martabat dirinya, mengikuti secara aktif perkembangan etika,
ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang kedokteran gigi, tidak boleh
menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan kedokteran gigi tanpa Izin
dari Organisasi Profesi, dan wajib menjaga kesehatannya supaya dapat bekerja
dengan optimal (PB PDGI, 2014).
Berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004, pada pasal 51, dan menurut Mannas
(2018), disebutkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai beberapa hak, yaitu:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
2. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh surat izin praktek (SIP)
dan memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga
tentang penyakit pasien, meliputi riwayat penyakit dan penanganan
medis yang terdahulu, serta keadaan pasien kini akan sangat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosis;
4. Dimana informasi yang lengkap dan benar akan sangat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosis yang tepat, sehingga membantu
dalam menentukan rencana perawatan pasien secara efektif dan efisien;
5. Menerima imbalan atas jasa yang telah diberikan.Pengeluaran dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti alat-alat, bahan-bahan
medis dan non-medis, biaya jasa dan pengetahuan, dan juga fasilitas
pelayanan kesehatan menjadi dasar dalam menentukan imbalan jasa
yang perlu didapatkan oleh seorang dokter/dokter gigi;
6. Menolak pasien apabila dokter/dokter gigi tidak memiliki spesialisasi
atau kemampuan khusus untuk menangani penyakit pasien, termasuk
tidak memiliki alat, sarana maupun pengobatan yang memadai untuk
memberikan pelayanan yang diperlukan. Penolakan disini perlu diikuti
dengan adanya rujukan.
Sedangkan hak pasien, diatur di dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No. 69 tahun 2014 tentang Kewajiban
Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, hak pasien sebagai berikut:
1. Mendapatkan penjelasan lengkap tentang rencana tindakan medis yang
akan dilakukan dokter, termasuk mendapatkan informasi yang meliputi
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
2. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
3. Bisa meminta konsultasi atau pendapat lain (second opinion) tentang
penyakit yang dideritanya kepada Dokter dan Dokter Gigi lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit;
4. Mendapat pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional, pelayanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi, dan pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan;
5. Bisa menolak tindakan medis yang akan dilakukan dokter bila ada
keraguan;
6. Mendapatkan akses terhadap isi/informasi rekam medis, memberikan
persetujuan atau menolak untuk menjadi bagian dalam suatu penelitian
kesehatan, menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang
diterima;
7. Menggugat dan/atau menuntut apabila diduga memberikan pelayanan
yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata maupun pidana.
Kewajiban pasien diatur menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 69 tahun
2014 Pasal 28 tentang kewajiban rumah sakit dan kewajiban pasien, dan Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yaitu:
1. Mematuhi peraturan yang berlaku di rumah sakit/sarana pelayanan
kesehatan
2. Menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggung
3. Menghormati hak-hak pasien lain, pengunjung dan hak tenaga
kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit
4. Memberikan informasi yang jujur, lengkap, dan akurat sesuai
kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatan pasien
tersebut
5. Memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan
kesehatan yang dimilikinya
6. Mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan
di rumah sakit dan disetujui oleh pasien yang bersangkutan setelah
mendapatkan penjelasan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan
7. Menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak
rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan dan/ atau
tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam
rangka penyembuhan penyakit atau masalah kesehatan pasien tersebut
8. Memberikan imbalan jasa atau pelayanan yang diterima.
Berbagai aturan di atas menunjukan bahwa hak-hak pasien telah
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum positif Indonesia, meskipun masih diatur
di dalam beberapa pasal saja dalam Undang- Undang dan belum terperinci
(Siringoringo dkk., 2017).
Berkaitan dengan hubungan dokter-pasien diatas, keterkaitan antara hak dan
kewajiban baik dari pihak dokter maupun dari pihak pasien harus dijunjung tinggi.
Kedua Belah pihak harus saling memahami adanya hak dan kewajiban yang perlu
dipenuhi oleh masing-masing pihak. Bukan hanya tuntutan untuk terpenuhinya hak
masing-masing (Siahaan, 2015).
Apabila seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang tersedia maka terjadi hubungan hukum antara dokter dan pasien
yang disebut transaksi terapeutik, dimana hasil yang didapatkan dari pelayanan
kesehatan merupakan hasil yang tidak pasti tetapi dapat diperkirakan risiko medis
yang mungkin dapat terjadi sehingga hal tersebut harus diinformasikan kepada
pasien atau keluarga pasien terlebih dahulu, sehingga keputusan ada di tangan
pasien atau keluarga pasien untuk setuju atau tidak menyetujui tindakan medis yang
akan dilakukan oleh dokter. Dokter memiliki kewajiban untuk menginformasikan
risiko medis sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang pada intinya sebelum dilakukan tindakan
kedokteran terhadap pasien, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap yang sekurang-kurangnya mencakup
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan,
alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi,
dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Malpraktek medis adalah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh
dilakukan oleh seorang tenaga medis, tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan atau melalaikan kewajiban dan melanggar suatu ketentuan menurut atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan kedokteran. Sedangkan risiko medis
menurut World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang telah
diadopsi dari World Medical Assembly Marbella Spain, September 1992, yang
dikutip oleh Herkutanto, menyebutkan bahwa risiko medis atau lazim disebut
sebagai untoward result adalah satu kejadian luka atau risiko yang terjadi akibat
dari tindakan medis yang oleh karena suatu hal yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan dan ketidaktahuan
(Kurniawan, 2013).
Hal yang menjadi faktor pembeda antara risiko medis dengan kelalaian
medis atau malpraktik medis adalah ditemukan adanya unsur kelalaian pada
malpraktik medis, sedangkan pada risiko medis tidak ada unsur kelalaian, selain itu
risiko medis terjadi setelah pelayanan medis dilakukan dengan telah memenuhi
standar pelayanan medis, sedangkan malpraktik medis terjadi apabila pelayanan
medis tidak dilakukan sesuai dengan standar pelayanan medis (Kholib, 2020).
Berikut adalah unsur-unsur malpraktek medik:
1. Adanya kelalaian
Kelalaian dapat diartikan sebagai kesalahan yang terjadi karena
kekurang hati-hatian, kurangnya pemahaman, serta kurangnya
pengetahuan tenaga kesehatan akan profesinya,
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan
Yang termasuk Tenaga kesehatan yaitu dokter atau dokter spesialis,
tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan tenaga keteknisian medis.
3. Tidak sesuai standar pelayanan medik
Standar pelayanan medik yang dimaksud adalah standar pelayanan
dalam arti luas, yang meliputi standar profesi dan standar prosedur
operasional.
4. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia.
Berdasarkan segi etika profesi dan segi hukum, malpraktek dibedakan
menjadi dua yaitu malpraktek medik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis
(yuridical malpractice). Malpraktek etik yaitu tindakan yang bertentangan dengan
etika profesi tenaga kesehatan. Sedangkan malpraktek Yuridis dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata, malpraktek pidana dan malpraktek administratif.
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) dalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Malpraktek pidana terjadi apabila
pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-
hati. Malpraktek administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku.
Ketentuan pidana malpraktik sudah dijelaskan dan dijabarkan dalam
berbagai dasar hukum, seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Nomor: Skep/035/Pb
Pdgi/V/2008 tentang Pedoman Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi
Indonesia Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, dll. Sehingga,
diharapkan sebagai seorang dokter/dokter gigi hendaknya sungguh-sungguh
mengamalkan dan mematuhi peraturan yang berlaku agar terhindar dari
malpraktek.
Berdasarkan segi etika profesi dan segi hukum, malpraktek dibedakan
menjadi dua yaitu malpraktek medik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis
(yuridical malpractice). Malpraktek etik yaitu tindakan yang bertentangan dengan
etika profesi tenaga kesehatan. Sedangkan malpraktek Yuridis dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata, malpraktek pidana dan malpraktek administratif.
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) dalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Malpraktek pidana terjadi apabila
pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-
hati. Malpraktek administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku.
Ketentuan pidana malpraktik sudah dijelaskan dan dijabarkan dalam
berbagai dasar hukum, seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Nomor: Skep/035/Pb
Pdgi/V/2008 tentang Pedoman Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi
Indonesia Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, dll. Sehingga,
diharapkan sebagai seorang dokter/dokter gigi hendaknya sungguh-sungguh
mengamalkan dan mematuhi peraturan yang berlaku agar terhindar dari
malpraktek.
Terkait dengan perlindungan dokter gigi terhadap jeratan hukum atas
tuduhan yang kurang benar, maka dokter gigi perlu menerapkan ketelitian dan
kehati-hatian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional. Rekam medis memiliki fungsi dan peranan yang sangat
penting dalam bidang kesehatan termasuk upaya penegakan hukum terutama di
dalam rangka pembuktian dugaan malpraktek medis. Rekam medis di dalam hukum
acara pidana mempunyai kedudukan sebagai alat bukti surat dan/atau sebagai
keterangan ahli karena pembuatan rekam medis telah memenuhi ketentuan
sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 184 dan pasal 187 KUHAP. Hal ini juga
sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Kesehatan No.
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis yang menyatakan:
“Pemanfaatan Rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses
penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika
kedokteran dan kedokteran gigi”. Informed consent merupakan salah satu
kewajiban menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, yaitu
persetujuan pasien untuk menerima tindakan kedokteran. Dalam aspek hukum
perdata, informed consent dapat melindungi dokter apabila dokter melakukan
segala sesuatu berdasarkan standar profesi dan standar operasional prosedur yang
berlaku, dan apabila hal-hal tersebut terbukti. Dalam aspek hukum pidana, selama
dokter tersebut telah membuat informed consent, dan terbukti melakukan tugas
sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional, maka dokter tersebut dapat
memiliki imunitas/perlindungan terhadap jeratan hukum dari pasal-pasal tersebut.
Informed consent sebagai bukti bahwa pasien telah setuju untuk segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter yang berdasarkan standar profesi dan SOP, dan apabila
terjadi suatu hal yang tidak diinginkan namun dokter tersebut terbukti telah
mengikuti berbagai standar yang ada, akan masuk kepada risiko medis (dan telah
tersampaikan sebelum tindakan).
DAFTAR PUSTAKA
Erdiansyah. 2011. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Dokter atas Kesalahan dan
Kelalaian dalam Memberikan Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Jurnal
Ilmu Hukum. 3(2): 297-300.
Hengky. 2007. Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran dan Kedokteran Gigi
berdasarkan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Thesis. Jakarta Barat: Universitas Esa Unggul.
Adistha E.N. 2020. Bioethics in Health Care Service. Jember: Fakultas Kedokteran
Universitas Jember
Kholib, A. 2020. Analisis Yuridis Perbandingan Risiko Medis dengan Kelalaian
Medis. Al Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. 2(2): 238-254.
Kurniawan, R.A. 2013. Risiko Medis dan Kelalaian terhadap Dugaan Malpraktik
Medis di Indonesia. PERSPEKTIF. 18(3): 148-156.
Kusumaningrum, A. E. 2016. Penerapan Hak dan Kewajiban Pasien sebagai
Konsumen dalam Pelayanan Medis. Prosiding Semnas Hasil Penelitian
Hukum Kesehatan. 23 Mei 2016. Denpasar: Universitas Mahasaraswati
Press.
Mannas, Y. A. 2018. Hubungan Dokter dan Pasien serta Tanggung Jawab Dokter
dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan. JURNAL CITA HUKUM
(Indonesian Law Journal). 6(1): 172-173.
Marzuki. 2013. Etika dan Moral dalam Pembelajaran. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia. 2014. Lafal Sumpah Dokter Gigi
Indonesia dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia. Jakarta Timur: Huwa
Karya, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Siahaan, H. E. 2015. Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah
dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Thesis. Medan:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Siringoringo, Valeri M.P.; Hendrawati, Dewi; R.Suharto. 2017. Pengaturan
Perlindungan Hukum Hak Hak Pasien dalam Peraturan Perundang-
Undangan tentang Kesehatan di Indonesia. Diponegoro Law Journal. 6(2):
1-13.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004. Praktik Kedokteran
Gigi. 6 Oktober 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431.
Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. Rumah Sakit. 28
Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai