Anda di halaman 1dari 6

Laporan Kasus : Abses Gingiva pada Anak

drg. Zhafirah Alifia Putri

Puskesmas Kalianget

2023

Abstrak

Abses gingiva merupakan lesi inflamasi akut terlokalisasi yang disebabkan oleh berbagai
predisposisi, diantaranya infeksi plak mikroba, trauma, dan impaksi benda asing. Abses gingiva
ditandai dengan munculnya kemerahan pada gingiva dengan tekstur halus, berfluktuasi, dan
terkadang terasa nyeri. Umumnya terbatas pada margin gingiva dan interdental. Seorang anak
perempuan berusia 7 tahun datang dengan keluhan terdapat pembengkakan pada gingiva bagian
bukal gigi 74 dan sakit sejak 3 hari yang lalu, hal ini disertai dengan keluhan sakit gigi dan rasa
tidak nyaman saat mengunyah. Diagnosis akhir dalam kasus ini adalah abses gingiva.

Introduction
Abses gingiva adalah keadaan inflamasi akut pada gingiva yang tidak disertai dengan
kehilangan perlekatan. Umumnya terlokalisasi, terkadang menimbulkan rasa nyeri, meluas
dengan cepat, dan biasanya timbul secara tiba-tiba. Secara klinis akan tampak pembengkakan
pada margin gingiva atau interdental papil di bagian superfisial gingiva dan terlokalisir. Abses
gingiva yang berkembang lambat biasanya awalnya tidak disadari karena tidak menimbulkan
gejala apa pun hingga akhirnya menjadi parah dan mulai menimbulkan rasa sakit. Pada
permulaan dijumpai lesi yang berwarna merah dengan permukaan lesi yang mengkilat serta
adanya eksudat, dalam waktu 24-48 jam, kemudian lesi menjadi fluktuatif disertai mata lesi yang
berisi eksudat. Gigi yang berada dekat dengan lesi tersebut akan sensitif terhadap perkusi.

Etiologi dari abses gingiva adalah bakteri yang ikut masuk dalam jaringan ikat melalui
perantara benda asing seperti kulit jagung, bulu sikat, duri ikan yang menusuk jaringan gingiva.
Abses gingiva merupakan salah satu kegawatdaruratan oro-dental yang sering terjadi pada anak
salah satunya karena anak belum bisa mengontrol makanan yang ia makan terutama pada anak
yang baru belajar makan sendiri. Anak yang baru belajar makan sendiri, akan lebih rentan
menelan duri ikan maupun biji-bijian yang keras yang mana benda-benda asing tersebut bisa
melukai gusi dan menyebabkan terjadinya abses gingiva.
Selain itu, anak-anak yang biasa menyikat gigi dengan kasar juga rentan terkena abses
gingiva karena gesekan antara sikat gigi dan gusi bisa menyebabkan bulu sikat gigi menusuk
gusi. Salah satu penyebab lain yang sulit dikontrol dan sering terjadi pada anak adalah kebiasaan
buruk (oral habit) berupa menggigit kuku (nail biting). Anak dengan kebiasaan menggigit kuku
rentan menyebabkan fragmen-fragmen kuku menusuk gusi dan bisa menyebabkan inflamasi
pada gingiva sehat yang memicu terjadinya abses gingiva.
Kasus

Pasien anak berumur 7 tahun datang ke Puskesmas Kalianget dengan keluhan utama gigi
belakang kiri bawah terasa sakit dan terdapat benjolan sejak 3 hari yang lalu. Pada awalnya
pasien merasa ngilu pada gigi depan kemudian muncul bengkak lalu sembuh sendiri setelah dua
hari. Tiga hari yang lalu, pasien kembali mengeluhkan gigi terasa ngilu dan muncul benjolan
berwarna putih. Pasien belum mengobati keluhan tersebut dan segera pergi ke puskesmas karena
rasa sakit semakin bertambah bahkan mengganggu saat mengunyah makanan. Kondisi saat ini
terasa sakit.
Manajemen Kasus

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemas dan pucat,
tekanan darah 90/60 mmHg, pernafasan 20 x/menit, nadi 80 x/menit dan suhu tubuh 36 oC. Pada
pemeriksaan klinis ekstraoral, nampak pembengkakan pada daerah pipi bagian kiri, tidak
berbatas jelas, permukaan kulit tegang, fluktuatif (-), sakit (+), temperatur normal, warna normal.
Pada pemeriksaan intraoral, terdapat fistula berwarna putih pada permukaan bukal gingiva gigi
74 bagian margin gingiva tanpa melibatkan bagian mucobuccal fold. Gigi 74 gangren pulpa
dengan tes perkusi (-), tes tekan (+) dan tidak terdapat kegoyangan. Berdasarkan pemeriksaan
subyektif dan pemeriksaan obyektif, dan maka ditegakkan diagnosa dari kasus ini adalah abses
gingival.. Pasien diberikan terapi berupa obat amoxicillin 500 mg sebagai antibiotik dan
paracetamol 500 mg sebagai analgesik.

Pembahasan

Berdasarkan lokasi anatominya di jaringan periodontal, abses dibagi menjadi empat. (1)
Abses gingiva yang merupakan infeksi purulen lokal yang melibatkan marginal gingiva atau
papila interdental, (2) abses pericoronal yang merupakan infeksi purulen terlokalisasi di dalam
jaringan sekitar mahkota gigi yang erupsi sebagian, (3) gabungan abses periodontal dan
endodontik adalah abses terlokalisasi dan terbatas yang berasal dari pulpa gigi atau jaringan
periodontal di sekitar apeks akar gigi yang terlibat dan/atau periodonsium apikal dan (4) abses
periodontal yang merupakan infeksi purulen terlokalisasi di dalam jaringan yang berdekatan
dengan poket periodontal yang dapat menyebabkan kerusakan ligamen periodontal dan tulang
alveolar. Hal ini juga dikenal sebagai abses periodontal lateral atau abses parietal.

Abses gingiva merupakan kondisi inflamasi akut pada gingiva yang ditandai dengan
eksudat purulent tanpa kehilangan perlekatan sehingga tidak terdapat kegoyangan gigi pada gigi
sekitar. Abses gingiva juga didefinisikan sebagai infeksi purulen lokal yang melibatkan marginal
gingiva atau papila interdental. Etiologi abses gingiva belum diketahui secara pasti, namun
beberapa kejadian traumatis pada gingiva seperti cedera akibat tulang ikan dan bulu sikat gigi
dapat melukai gingiva dan menjadi port de entry bakteri. Implantasi bakteri virulen ke dalam
jaringan ikat gingiva menyebabkan reaksi inflamasi gingiva yang berlebihan.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa oral infection yang disertai dengan
purulensi disebabkan oleh berbagai macam bakteri bakteri endogen. Topoli et al., dan Newman
et al., melaporkan bahwa sekitar 60% bakteri yang ditemukan pada abses gingiva adalah bakteri
anaerob obligat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis bakteri yang paling sering ditemukan adalah
bakteri batang gram negatif anaerob dan bakteri kokus gram positif fakultatif. Secara umum,
gram negatif lebih mendominasi dibandingkan gram positif, dan bakteri batang lebih
mendominasi disbanding bakteri kokus dengan persentase berkisar antara 40% dan 60% untuk
setiap kelompok.

Dari aspek histopatologi, abses gingiva terdiri dari fokus purulen pada jaringan ikat yang
dikelilingi oleh infiltrasi difus leukosit polimorfonuklear, jaringan edema, dan pembengkakan
pembuluh darah. Epitel permukaan mempunyai derajat edema intraseluler dan ekstraseluler yang
bervariasi. Kadang-kadang, invasi oleh leukosit bersamaan dengan ulserasi juga dapat terjadi.

Abses gingiva dapat dengan mudah disalahartikan sebagai abses periodontal. Namun,
terdapat perbedaan yang jelas antara keduanya, khususnya dalam lokasi dan riwayatnya. Abses
gingiva terbatas pada marginal gingiva dan sering terlihat di daerah yang sebelumnya bebas
penyakit. Biasanya merupakan respon inflamasi akut terhadap trauma benda asing pada gingiva.
Abses gingiva dapat terjadi dengan maupun tanpa adanya abses periodontal. Abses periodontal
merupakan inflamasi lokal melibatkan struktur periodontal yang lebih dalam, termasuk poket
dalam, furkasi, dan defek tulang vertikal, dan biasanya terletak di luar garis mukogingiva seperti
pada kasus periodontitis destruktif kronis. Secara histologis, kedua lesi tersebut identik, namun
abses gingiva hanya mengenai jaringan lunak marginal pada jaringan yang sebelumnya sehat,
sedangkan abses periodontal terjadi pada poket periodontal yang berhubungan dengan lesi
periodontitis.

Abses gingiva digambarkan sebagai pembengkakan lokal yang menyakitkan, hanya


mempengaruhi gingiva marginal dan interdental. Faktor etiologi utama dalam perkembangannya
adalah dampak benda asing. Oleh karena itu, mereka mungkin terdapat pada gingiva yang
sebelumnya sehat (Ahl et al. 1986, Carranza 1990). Abses periodontal memiliki gejala serupa,
namun biasanya mempengaruhi struktur periodontal yang lebih dalam, termasuk poket dalam,
furkasi, dan defek tulang vertikal. Biasanya terletak di luar garis mukogingiva. Secara histologis
lesinya identik, namun abses periodontal terjadi pada poket periodontal yang berhubungan
dengan kerusakan akibat periodontitis (DeWitt dkk. 1985), dan abses gingiva hanya mengenai
jaringan lunak marginal dari tempat yang sebelumnya sehat (DeWitt dkk. 1985, Carranza 1990).

Pengobatan abses gingiva yang utama adalah menghilangkan benda asing yang
mengganggu dan/atau mengiritasi gingiva, dan dalam situasi akut, melakukan drainase abses.
Jika memungkinkan, scaling dan root planing juga dilakukan untuk recovery yang lebih baik dan
menghilangkan endapan mikroba dari gigi yang berdekatan dengan abses. Selain itu, instruksi
menjaga kebersihan mulut juga penting sehubungan dengan teknik yang tepat untuk
membersihkan gigi dengan benang gigi dan sikat gigi. Dengan menghilangkan etiologi, kondisi
gingiva akan berangsur-angsur membaik dalam 2 hingga 3 minggu.

Pengobatan abses gingiva dilakukan untuk membalikkan fase akut dan segera
menghilangkan penyebabnya. Karena sering terlihat bahwa lesi menjadi berfluktuasi, eksudat
keluar dan menjadi tidak bergejala dan siklus berulang, agen penyebab harus dihilangkan.
Anestesi topikal atau lokal melalui infiltrasi diberikan. Jika memungkinkan, scaling dan root
planing dilakukan untuk membangun drainase dan menghilangkan endapan mikroba. Dalam
situasi yang lebih akut, area yang berfluktuasi diiris dengan no. 15 pisau bedah, dan eksudat
dapat terlihat dengan tekanan digital yang lembut. Benda asing apa pun (zat penyebab misalnya
benang gigi, bahan cetak) dihilangkan. Area tersebut diirigasi dengan larutan garam normal dan
ditutup dengan kain kasa lembab dengan tekanan ringan. Setelah pendarahan terkontrol, pasien
diberhentikan dengan instruksi pasca perawatan. Area tersebut harus dinilai ulang setelah 24 jam
dan jika penyelesaiannya memadai, penskalaan yang belum diselesaikan sebelumnya akan
dilakukan. Jika sisa lesi besar atau sulit diakses, akses bedah mungkin diperlukan.

Peran antibiotik sistemik dalam pengobatan abses periodontal masih kontroversial. Baru-
baru ini, vaksin baru yang menargetkan Fusobacterium nucleatum yang menginduksi kekebalan
protektif memberikan pilihan alternatif terhadap pengobatan antibiotik konvensional untuk
halitosis kronis yang berhubungan dengan abses.

Untuk pengobatan abses gingiva, pengobatan harus mencakup hal berikut: eliminasi
benda asing, melalui debridemen yang hati-hati (Abrams & Kopczyk 1983), drainase melalui
sulkus dengan probe atau scaling ringan, pembilasan dengan larutan garam hangat dan tindak
lanjut setelahnya. 24–48 jam.
Daftar Pustaka

Singh, A. K., & Saxena, A. (2015). The periodontal abscess: A review. J Dent Med Sci, 14(11),
81-6.
Chandrasekaran, S. C., Gita, V. B., & Preethi, P. (2010). Gingival abscess revisited. Indian
Journal of Multidisciplinary Dentistry, 1(1).
Agarwal, N., Madan, G. K., Sharma, A., & Agarwal, T. (2019). Neonatal tooth associated with
gingival abscess-A case report. J Dent Spec, 7(1), 36-37.
Sousa, D., Pinto, D., Araujo, R., Rego, R. O., & Moreira-Neto, J. (2010). Gingival abscess due to
an unusual nail-biting habit: a case report. J Contemp Dent Pract, 11(2), 085-91.
Hirschfeld, I. (1934). Periodontal symptoms associated with diabetes. The Journal of
Periodontology, 5(1), 37-46.
Herrera, D., Alonso, B., de Arriba, L., Santa Cruz, I., Serrano, C., & Sanz, M. (2014). Acute
periodontal lesions. Periodontology 2000, 65(1), 149-177.
Herrera, D., Roldán, S., & Sanz, M. (2000). The periodontal abscess: a review. Journal of
Clinical Periodontology: Review article, 27(6), 377-386.
Prasad, S., Monaco Jr, E. A., & Andreana, S. (2011). Gingival abscess removal using a soft-
tissue laser. Dentistry Today.
Koller-Benz, G., Fritzsche, A., & Krapf, R. (1992). Nifedipine induced gingival abscesses. BMJ:
British Medical Journal, 304(6836), 1225.
Patel, P. V., Sheela Kumar, G., & Patel, A. (2011). Periodontal abscess: a review. Journal of
clinical and diagnostic research, 5(2), 404-409.
Karno, N. T. R., Muflikhah, D., & Yuwono, B. (2018). Laporan Kasus: Abses Gingiva Akibat
Traumatik Oklusi pada Pasien Pasca Kehamilan. STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran
Gigi, 15(1), 8-12.
Kamakura, N., Nakano, K., Nagayama, K., Kojima, A., Takashima, Y., Matsumoto, M., &
Ooshima, T. (2010). Gingival abscess occurring in maxillary primary central incisor fused
to supernumerary tooth. Pediatric Dental Journal, 20(1), 99-102.
Chandrasekaran, S. C., Gita, V. B., & Preethi, P. (2010). Gingival abscess revisited. Indian
Journal of Multidisciplinary Dentistry, 1(1).

Anda mungkin juga menyukai