Pada tahun 2020 Indonesia mengalami fenomena bonus demografi dengan persentase
penduduk pre boomer(sebelum 1946) sebanyak 1,87%, baby boomer(1946-1964) sebanyak 11,56%,
gen x (1965-1980) sebanyak 21,88%, milenial (1981-1996) sebanyak 25,87%, gen zoomer (1997-
2012) sebanyak 27,94%, dan penduduk post gen Z (setelah 2013) sebanyak 10,88% (Badan Pusat
Statistik, 2021). Data ini menunjukkan generasi yang akan lebih banyak menguasai dan berperan
dalam segala bidang kehidupan adalah individu yang saat ini masih berusia 10-25 tahun. Individu
tersebut lahir pada tahun 1997-2012 atau yang dikenal dengan generasi Zoomer (Z).
Tapscott (2009) mengemukakan bahwa teori generasi (generation theory) pertama kali
muncul di Amerika Serikat yang dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu the baby boom, the
baby bust, the millennial, dan net generation. The baby boom merupakan generasi yang terlahir di
antara tahun 1946- 1964. The baby bust merupakan generasi yang terlahir di antara tahun 1965-
1976. The millennial merupakan generasi yang terlahir di antara tahun 1977-1997.
Generation net atau biasa disebut generasi Z merupakan kelompok generasi yang terlahir di
antara tahun 1998 hingga saat ini dan disebut juga sebagai generasi teknologi. Generasi Z tumbuh
dan berkembang dalam era teknologi sejak mereka lahir. Generasi Z adalah kelompok individu yang
mengalami dan menyaksikan kecanggihan era digital. Hal ini membuat generasi Z dapat mengakses
informasi dengan mudah dan cepat. Generasi Z juga lebih sering berkomunikasi secara intens
dengan kelompoknya melalui teknologi yaitu sosial media, seperti WhatsApp, Instagram, Facebook,
Twitter, dan berbagai sosial media lainnya.
Kelebihan yang dirasakan generasi Z adalah cenderung memiliki sikap ingin tahu yang sangat
tinggi. Generasi Z juga sangat mahir dalam penggunaan teknologi sehingga tidak membutuhkan
bantuan orang lain, ketika menyelesaikan permasalahan umum terkait teknologi. Generasi Z
cenderung melakukan upaya sendiri agar mampu memenuhi kebutuhannya dan menentukan
langkah dalam menyelesaikan sesuatu melalui teknologi.
Selain itu, generasi Z terbilang multitasking dalam mengerjakan sesuatu. Generasi Z dapat
mengerjakan beberapa aktivitas secara cepat dan dalam waktu yang bersamaan, seperti menonton
sambil membaca pesan melalui sosial media. Generasi Z adalah kelompok individu yang kelak dapat
menjadi pemimpin dan sangat bermanfaat dalam lingkungan apabila memperoleh pendidikan yang
layak. Generasi Z juga diyakini dapat melahirkan dan menciptakan generasi-generasi lain dengan
daya saing yang semakin tinggi.
Generasi Z menjadi kelompok individu yang paling muda pada masa ini dan memiliki
pengetahuan tinggi, namun mereka cenderung ketergantungan dengan aktivitas di internet dan
media sosial. Dengan kondisi demikian, maka perlu untuk memperkuat para Generasi Z termasuk
dalam aspek kesehatan mental. Namun dibalik keunggulan yang tampak. Generasi Z menghadapi
tantangan zaman yang juga rumit. Kesulitan yang dihadapi generasi Z saat ini adalah rentan terhadap
penyakit mental dan selalu ingin instan dalam menyelesaikan sesuatu (Handayani, 2019).
Hal ini terjadi karena sebagian besar kehidupan generasi Z sangat bergantung dengan
teknologi sehingga cenderung mengabaikan keadaan yang terjadi dalam lingkungan sebenarnya.
Permasalahan terkait kesehatan mental yang dihadapi generasi Z dipengaruhi oleh intensitas
terpapar internet dan sosial media yang tinggi. Generasi z merupakan generasi yang produktif
namun sangat kecanduan dengan gadget sehingga dampak yang dirasakan adalah mudah mengalami
gangguan mental (Surat et al, 2021).
WHO mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah keadaaan sehat ketika individu
menyadari potensi diri yang dimiliki, mampu melakukan coping stress dengan baik, produktif apabila
bekerja, dan mampu memberikan kontribusi positif terhadap lingkungannya. Era digital telah
membawa perkembangan dan perubahan besar dalam banyak aspek, namun juga menyebabkan
pengidap penyakit mental semakin tinggi. Penyakit mental adalah kondisi yang dapat mengubah
cara berpikir, merasa, dan perilaku individu serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Penelitian yang
dilakukan pada 260 mahasiswa di India menunjukkan bahwa 241 siswa (92,7%) setuju bahwa
depresi, kecemasan, self harm, dan gangguan makan merupakan masalah kesehatan mental yang
paling sering dialami oleh generasi Z (Veluchamy, Agrawal, & Krishnan, 2016).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia
lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia
lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selain itu berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang
dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang
atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia
10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif. Direktur Pencegahan dan
Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr.Celestinus Eigya Munthe menjelaskan masalah
kesehatan jiwa di Indonesia terkait dengan masalah tingginya prevalensi orang dengan gangguan
jiwa. Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5
penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah
gangguan jiwa.
Salah satu penyebab penyakit mental yang dialami generasi Z adalah media sosial. Laporan
dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa meningkatnya resiko gangguan mental
pada remaja generasi Z berusia 18-25 tahun disebabkan oleh intensitas penggunaan media sosial
yang tinggi (Rudianto, 2022). Perkembangan era digital yang pesat juga berdampak pada kesehatan
mental generasi Z. Data pada Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) menunjukkan
bahwa hampir semua provinsi di Indonesia memiliki remaja berusia dibawah 15 tahun yang
mengalami penyakit mental seperti depresi dan hanya 9% dari mereka memutuskan untuk berobat
kepada psikiater dan psikolog (Phangadi, 2019).
Selain itu ganguan mental yang terjadi merupakan salah satu faktor pendorong tindakan
bunuh diri. Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan (6-9-2022), penyebab utama bunuh diri
adalah kondisi depresi pada individu. Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang
cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor empat penyakit di dunia
dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama.
Sebuah studi pada 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat
kali lebih besar daripada data resmi. Menurut sejumlah pakar, kurangnya data telah
menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia. WHO sendiri menyatakan
bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15—29 tahun
di seluruh dunia pada 2019.
Sementara itu, bunuh diri menjadi isu kesehatan masyarakat serius saat ini. Menurut WHO
(2019), sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun, di dunia. Angka bunuh diri
lebih tinggi pada usia muda. Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi terdapat di Thailand yaitu
12,9 (per 100.000 populasi), disusul Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7),
dan Filipina (3,7). Perilaku bunuh diri (ide bunuh diri, rencana bunuh diri, dan tindakan bunuh diri)
dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, misalnya gangguan depresi.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo pada Rabu (29-6-2022) menyebutkan ada tiga ancaman
utama terhadap generasi muda Indonesia saat ini, yaitu stunting, mental emotional disorders, serta
narkotika. Berdasarkan riset, gangguan emosi mental terus meningkat, yakni dari 6,1% (2021)
menjadi 9,8% (2022).
Sejak 1992, World Federation of Mental Health (WFMH) dibentuk untuk memberi perhatian
khusus mengenai isu kesehatan mental dunia. Para pendiri WFMH awalnya memahami perlu adanya
tindakan global untuk menanggulangi kerusakan mental. Program yang dilaksanakan berupa
sosialisasi ke negara-negara dunia mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan mendorong
agar memfasilitasi dan melakukan perbaikan penanganan seputar kesehatan mental.
Namun, semua itu sejatinya bukan solusi mengatasi masalah kesehatan mental. Solusi
tersebut sebatas solusi parsial yang tidak menyelesaikan masalah hingga akarnya. Buktinya, sudah
lebih dari 20 tahun melakukan edukasi, angka gangguan mental tetap saja bertambah.
Akibat Sekularisme
Penyebab masalah kesehatan mental sangatlah kompleks, tidak hanya dipengaruhi faktor mikro
(internal), melainkan juga makro (eksternal). Faktor makro meliputi pola asuh yang toxic, disharmoni
keluarga, serta dampak ekonomi, budaya, dan media sosial. Faktor-faktor makro tersebut tercipta
dan terpelihara di dalam lingkungan sekuler kapitalistik.
Saat ini, kita hidup di bawah ideologi sekuler kapitalisme yang berorientasi materi dan
menciptakan gap lebar antara si kaya dan miskin. Budaya hedonisme—dengan flexing dan
konsumerismenya—juga menciptakan kebahagiaan palsu. Kondisi ini memberikan banyak tekanan
terhadap mental yang kosong secara spiritual akibat prinsip sekuler yang menjauhkan agama dari
kehidupan.
Selain itu, pendidikan yang berorientasi capaian nilai/skill yang an sich, tetapi mengabaikan
pembentukan kepribadian Islam, tidak dapat memberikan bekal cukup bagi pemuda untuk
menghadapi berbagai masalah hidup. Hilangnya peran orang tua karena sibuk dalam laju kapitalisasi
akhirnya menciptakan generasi pemuda stroberi bermental lemah.
Oleh karenanya, sudah seharusnya upaya penuntasan masalah kesehatan mental dimulai dari
mencermati sekularisme-kapitalisme sebagai akar masalah yang membuat sisi kejiwaan seseorang
makin rapuh. Tidak hanya pada subjek pemuda, melainkan semua elemen masyarakat.
Khatimah
Demikianlah gambaran solusi komprehensif dari Islam dalam mencegah dan mengatasi masalah
mental pemuda muslim hingga akhirnya lahirlah generasi tangguh secara massal. Semua dilandasi
kecintaan pemimpin kepada rakyatnya untuk menjalankan fungsi negara sebagai pelindung atas
rakyatnya.
Solusi tersebut hanya dapat terwujud apabila sistem sekuler kapitalisme—yang berjalan saat ini di
seluruh dunia—dicabut dari akarnya, lalu menggantinya dengan sistem Islam. Semua itu perlu usaha
dan peran dari seluruh kaum muslim untuk mewujudkannya.