Anda di halaman 1dari 3

Tantangan Revolusi Teknologi 4.

0 dan Bonus Demografi 2045: Indonesia Terancam Disrupsi Digital


dan Gangguan Kesehatan Mental

Era revolusi Industri 4.0 ditandai dengan adanya kemajuan teknologi digital. Berbagai kemajuan
teknologi digital saat ini terjadi dalam setiap aspek kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan, budaya
hingga pendidikan. Ditambah dengan adanya platform media internet menjadikan kemudahan dalam
menggunakan produk teknologi digital untuk memberikan manfaat yang kita kehendaki. Produk-
produk yang dihasilkan akibat kemajuan teknologi digital ini dapat kita lihat dampaknya seperti
penggunaan smartphone serta kemudahan dalam mengakses informasi yang tak terbatas oleh ruang
dan waktu dalam segala macam jenis interaksi manusia.

Tak hanya itu, adanya pandemi COVID-19 beberapa waktu silam menjadikan teknologi digital kian
cepat berkembang. Kemajuan teknologi digital ini ditandai dengan munculnya pasar online (e-
commerce), pendidikan bersasis sistem media luring (e-lerning), jasa layanan bank (e-banking),
bahkan berbagai macam sistem jejaring sosial media yang dapat menghubungkan kita berinteraksi
dengan mudah hingga kita dapat mengetahui apa, kapan, dan bagaimana kondisi seseorang secara
realtime.

Menjadi suatu aspirasi yang besar bagi negara jika revolusi industry 4.0 ini berhasil terlaksana dalam
visi Indonesia 2045. Pasalnya menurut Menteri Perindustrian dalam Jumpa Pers Akhir Tahun2022
dan Seminar Outlook Industri 2023 di Jakarta (27/12), Indonesia digadang-gadang akan masuk dalam
jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di tahun 2030. Bahkan, berdasarkan studi dari
PricewaterhouseCoopers (PwC), pada tahun 2045 Indonesia akan mampu menjadi negara
perekonomian terkuat nomor empat di dunia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil prediksi
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat direntang umur 30-60 tahun pada tahun 2045,
fakta inilah yang menjadi faktor adanya bonus demografi untuk menyongsong keberhasilan visi
Indonesia 2045.

Disisi lain adanya kemajuan teknologi digital tidak serta merta memberikan sebuah solusi dari segala
permasalahan. Dewasa ini kita tahu berbagai permasalahan sosial kian meningkat di kalangan
masyarakat. Permasalahan sosial tersebut disebabkan oleh berbagai factor baik eksternal maupun
internal. Seperti maraknya pergaulan bebas, kasus inces, LGBT, bunuh diri, penggunaan narkoba,
ketidakjujuran siswa dalam mengerjakan Ujian Nasional, dan masih banyak lagi jika disebutkan
runtutan kejadiannya.

Sebagai contoh, salah satu hal yang menjadi permasalahan di kalangan remaja dalam proses
pencarian jati diri adalah bahaya pergaulan bebas. Pergaulan bebas adalah salah satu bentuk perilaku
menyimpang. Istilah “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas norma yang ada. Masalah
pergaulan bebas ini sering muncul baik di lingkungan maupun di media sosial. Pada saat ini
kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa contoh dari
pergaulan bebas adalah seperti merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, tawuran,
mengonsumsi obat-obatan terlarang, hingga melakukan seks bebas. Tindakan-tindakan tersebut
muncul bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab pergaulan bebas di
kalangan remaja. Salah satu penyebab yang paling utama yakni adanya penyalahgunaan teknologi
digital. Peredaran arus informasi di internet sangatlah masif dan tak terhindarkan. Remaja bisa
mengakses apa pun yang ada di internet. Hal yang membuatnya berbahaya adalah risiko remaja
meniru konten yang tidak pantas di internet seperti maraknya video pornografi yang mengakibatkan
adanya seks bebas. Oleh karena itu, pengawasan dari orang tua ketika remaja sedang berselancar di
internet perlu dilakukan. Menurut pakar psikologi anak Elly Risman Musa pernah menjelaskan bahwa
memang kemajuan teknologi digital ini memang banyak memberikan manfaat, namun jika
penggunaannya tidak dilakukan dengan bijak maka hanya akan menjadi ancaman.

Belum lagi kita tahu digitalisasi melahirkan apa yang disebut budaya layar (screen culture) (John
Wiley & Sons, 2019). Budaya ini dapat dikatakan telah memudahkan dan memperluas interaksi
sosial. Dalam ruang digital perbedaan antara realitas maya dan realitas konkret menjadi samar. Hal
ini lantas membuat sebagian orang tidak mempedulikan lagi norma-norma budaya dan sosial yang
ada di dalam negeri. Di sini, kita tidak meragukan manfaat yang diberikan oleh budaya dari luar yang
bisa dilihat hanya melalui layar. Namun kita perlu menyadari tentang ekses negatif budaya tersebut
dalam mengubah perilaku terutama pada anak-anak dan remaja. Data terbaru menyebutkan bahwa
jumlah pengguna layanan internet di Indonesia sudah mencapai 210 juta. Dari jumlah itu, tingkat
penetrasi penggunaan internet pada rentang usia 13-35 tahun mencapai 99 persen (Bahia Guellai
dkk, 2022) Hal itu menunjukkan bahwa remaja dan anak muda merupakan aktor utama pembentuk
budaya layar di Indonesia.

Studi tentang perkembangan anak menjelaskan bahwa remaja memiliki kebutuhan untuk
mengekspresikan dirinya sebagai bagian dari pembentukan identitas (Laurence Steinberg and
Amanda Sheffield Morris, 2001). Di era digital kebutuhan ini sangat mudah terpenuhi dengan adanya
media sosial, seperti Instagram, TikTok, Twitter dan lain sebagainya. Budaya layar yang berkembang
di kalangan remaja ini memacu kemunculan tren-tren dan kluster-kluster style tersendiri. Biasanya
para remaja adalah pengguna media sosial yang paling antusias terhadap tren baru. Sesuatu yang
viral akan langsung diikuti dan mereka memupuk ikatan emosional yang kuat terhadapnya. Oleh
karana itu tidak mengherankan apabila sebagian remaja cenderung mengidap ketakutan yang
berlebihan ketika tidak up to date atau FOMO (Fear of Missing Out). Logikanya, tren atau informasi
terbaru adalah pengukuh atas identitas diri. Selain itu dalam pergaulan sesama remaja tren juga
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan memiliki arti khusus.

Namun yang menjadi persoalan tidak hanya terletak pada hal itu saja. Para remaja juga perlu belajar
menghadapi ketidakpastian masa depan, tertarik pada lawan jenis dan realitas kehidupan yang keras.
Namun, di era digital, waktu mereka untuk belajar mengolah mental dibajak oleh pelbagai jenis
kesenangan yang kerap membuat candu.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Maria Endang Sumiwi juga mengungkapkan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir presentase masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental
meningkat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2018
menunjukkan prevalensi Rumah Tangga dengan anggota menderita gangguan jiwa skizofrenia
meningkat dari 1,7 permil menjadi 7 permil di tahun 2018. Gangguan mental emosional pada
penduduk usia dibawah 15 tahun, juga naik dari 6,1% atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013)
menjadi 9,8% atau sekitar 20 juta penduduk.

Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki persentase depresi sebesar 6,2%. Depresi berat akan
mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri. Sebesar 80 –
90% kasus bunuh diri merupakan akibat dari depresi dan kecemasan. Kasus bunuh diri di Indonesia
bisa mencapai 10.000 atau setara dengan setiap satu jam terdapat kasus bunuh diri. Menurut ahli
suciodologist 4.2% siswa di Indonesia pernah berpikir bunuh diri. Pada kalangan mahasiswa sebesar
6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri sedangkan 3% lain pernah melakukan percobaan bunuh
diri. Depresi pada remaja bisa diakibatkan oleh beberapa hal seperti perlakuan dari orang lain yang
tidak sesuai ekspektasi juga tidak jarang membuat kondisi mental mereka down. Pada akhirnya
ketidaksiapan menghadapi persoalan akan mengarahkan mereka para perilaku yang menyimpang.
“Kondisi ini diperburuk dengan adanya COVID-19. Saat pandemi, masalah gangguan kesehatan jiwa
dilaporkan meningkat sebesar 64,3% baik karena menderita penyakit COVID-19 maupun masalah
sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi,” kata Dirjen Endang.

Kondisi kesehatan mental masyarakat yang semakin memprihatinkan akan berpengaruh pada
produktivitas nasional. Hal ini dapat menghambat Indonesia dalam transisi menjadi negara maju
pada tahun 2045. Layanan kesehatan mental menjadi krusial dan membutuhkan perhatian yang
sama dengan kesehatan fisik. Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) 2021-2022 menyebutkan,
pencapaian pembangunan manusia secara global mengalami kemunduran. Kondisi ini dipengaruhi
faktor akumulasi ketidakpastian sehingga menimbulkan gejolak pada kehidupan manusia dengan
cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja
mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari
jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Yanuar Nugroho mengatakan, kondisi
kesehatan mental kaum muda sekarang tergolong memprihatinkan. Padahal, mereka adalah kunci
Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) dan
pemanfaatan bonus demografi.

”Kalau kaum muda mengalami masalah (red: pergaulan bebas) atau gangguan mental akan
berpengaruh pada produktivitas nasional. Kondisi memprihatinkan ini dapat berubah menjadi
mengkhawatirkan apabila tidak ada tindakan dari pemerintah,” ujarnya dalam dialog kebijakan
bertema ”Renewed Challenges, Exploring Solutions”, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Sumber:

Kementrian Perindustrian Indonesia: Menperin: 100 Tahun RI Merdeka, Masuk Lima Besar Ekonomi
Terkuat Dunia, 2018

Kementrian Kesehatan Indonesia: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) - Katalog Data Mikro, 2022

Richard Butsch, Screen Culture: A Global History (John Wiley & Sons, 2019)

Bahia Guellai and others, ‘Effects of Screen Exposure on Young Children’s Cognitive Development: A
Review’, Frontiers in Psychology, 2022, 4779.

Laurence Steinberg and Amanda Sheffield Morris, ‘Adolescent Development’, Annual Review of
Psychology, 52.1 (2001), 83–110.

Anda mungkin juga menyukai