Anda di halaman 1dari 27

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN

PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA

DI KOTA BANDUNG

METODOLOGI RISET II

Oleh :

MUHAMAD PAUZI RAMADAN

200207149

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2023

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................9

1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................................9

1.4 Manfaat Penelitian................................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................11

A. Cyberbullying.........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................13
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Data Laporan Digital 2023.............................................................................2


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Pada era globalisasi perkembangan teknologi dan informasi sudah tidak

bisa dihindari lagi, banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari perkembangan

ini. Namun, disisi lain ternyata ada dampak negatif dari adanya perkembangan

teknologi dan informasi ini.

Kita mengenal istilah media sosial saat ini yang dimana banyak berbagai

jenis atau platform yang bisa di sebut sebagai media sosial yang menyajikan

berbagai informasi menarik yang bisa memberitahu kita hal apa yang sedang

terjadi di belahan dunia lainnya, ditambah lagi akses internet yang semakin

mudah didapatkan. Hal ini tentunya menjadi pengaruh pandangan manusia

terhadap sesuatu dan sedikit demi sedikit akan mempengaruhi pola pikir dan

budaya pada masyarakat. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar

dalam setiap lini kehidupan manusia, baik itu pengaruh positif maupun negatif

(Subarjo & Setianingsih, 2020).

Nasrullah (2015) menyatakan bahwa media sosial adalah platform media

yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam

beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu media sosial dapat dilihat sebagai

medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna

sekaligus sebuah ikatan sosial secara virtual.


Perkembangan penggunaan media sosial di Indonesia sangat

berkembang pesat. Berdasarkan laporan Digital 2022 yang dilansir We are Social

and Hootsuite oleh Kemp (2020), sekitar 175,4 juta jiwa penduduk Indonesia telah

menggunakan internet, dan 160 juta jiwa sebagai pengguna media sosial aktif.

Sebanyak 210,3 juta jiwa di antaranya berusia 13-17 tahun menduduki peringkat

pertama sebagai pengguna internet, dan menduduki peringkat ketiga dalam

menggunakan media sosial (Kemp, 2020). Hal ini tentunya harus menjadi

perhatian penting, terlebih kepada para remaja. Perlunya pengawasan supaya

dampak negatif dari penggunaan media sosial ini bisa dikendalikan.

Gambar 1 Data Laporan Digital 2023

Selanjutnya pada Laporan digital tahun 2023 menunjukan total populasi

masyarakat di indonesia sebesar 276,4 juta jiwa, pengguna perangkat mobile

yang terhubung 353,8 juta jiwa (128 % dari total populasi, kemudian pengguna

internet sebesar 212,9 juta (77% dari total populasi) dan pengguna media sosial

aktif 167 juta (60,4 & dari total populasi dan naik beberapa persen dari data di

tahun 2020).
Salah satu yang menjadi masalah di dunia media sosial yang sangat

sering terjadi adalah perundungan atau penghinaan terhadap seseorang yang

dilakukan oleh orang lain baik itu secara sengaja ataupun tidak sengaja atau

yang kita kenal dengan istilah cyberbullying.

Cyberbullying berasal dari cyber (Internet) dan bullying (ancaman).

Cyberbullying dapat dipahami sebagai perundungan online, perundungan yang

dilakukan di dunia digital atau di dunia maya atau media sosial. Pelecehan ini

dapat dilakukan melalui pesan teks, email, pesan instan, game online, situs

web , ruang chat, atau melalui jaringan sosial (Kowalski & Limber, 2013).

Dilansir dari Tribunnews.com berdasarkan hasil penelitian Center for

Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 bertajuk Teenager-Related Cyberbullying

Case in Indonesia yang dilakukan pada 3.077 siswa SMP dan SMA usia 13-18 di 34

provinsi di Indonesia. Menunjukan asil bahwa 1.895 siswa (45,35%) mengaku

pernah menjadi korban, sementara 1.182 siswa (38,41%) lainnya menjadi pelaku.

Pada data tersebut bisa kita amati bahwasannya masih banyak remaja yang

menjadi pelaku dan juga korban dari perilaku cyberbullying.

Remaja diartikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju

masa dewasa. Di masa ini juga setiap individu akan mengalami perkembangan

di berbagai aspek, seperti kognitif (pengetahuan), sosial, emosional serta moral.

(Tyas Mayasari, 2021)

Diusia remaja memang sangat rawan untuk melakukan perilaku

cyberbullying ini karena mereka belum memiliki kontrol diri yang baik, sebab

pengendalian emosi mereka belum matang. Kematangan emosi sangat

diperlukan sebagai pendewasaan diri. Individu dengan kematangan dalam hal

emosi dapat diidentifikasikan sebagai individu yang mampu menilai situasi

secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir

sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang (Hurlock, 1994:
213). Individu yang telah mencapai kematangan emosi mampu mengontrol dan

mengendalikan emosinya, dapat berpikir secara baik dengan melihat persoalan

secara obyektif dan mampu mengambil sikap dan keputusan akan suatu hal

yang tepat (Walgito, 1984: 42).

Sementara Bullying dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan atau perilaku

agresif yang sengaja dilakukan oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang

secara terus menerus dilakukan kepada korban dengan tujuan menjatuhkan

korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya. (Kathryn Gerald, 2013). Hal

kecil dari perilaku ini yaitu penghinaan seperti menghina bentuk badan, warna

kulit ataupun hal-hal yang berkaitan dengan fisik. Dengan kata lain adanya

penyalahgunaan kekuasaan dari satu pihak kepada pihak lain yang

mengakibatkan kerugian bagi korbannya.

Selain itu kasus cyberbullying yang saat ini marak terjadi adalah

penyebaran foto maupun video seseorang yang dirasa tidak senonoh atau

kontroversial, yang dimana mengarah kepada satu orang. Namun, keaslian dari

berita ini juga belum dapat di pastikan kebenarannya dan mengakibatkan

adanya korban perundungan di media sosial. Hal ini sejalan dengan penelitian

dari Terry Brequet, Cyberbullying adalah bentuk intimidasi yang pelaku lakukan

untuk melecehkan korbannya melalui perangkat teknologi. Pelaku ingin melihat

seseorang terluka, ada banyak cara yang mereka lakukan untuk menyerang

korban dengan pesan kejam dan gambar yang mengganggu dan disebarkan

untuk mempermalukan korban bagi orang lain yang melihatnya.

Salah satu kasus cyberbullying yang berujung tragis dan sempat

menggemparkan dunia adalah kasusnya Amanda Todd, seorang gadis berusia

15 tahun yang pernah viral di platform youtube pada tahun 2012. Amanda tidak

menyangka jika foto-foto fulgar dia tersebar di internet dan hal yang

mengejutkan adalah pelaku penyebar foto-fotonya itu adalah temannya sendiri


yang bernama Aydin Coban. Selain menyebarkan pelaku juga memeras amanda,

hingga akhirnya amanda menjadi bahan olok-olok atau menerima perilaku

bullying di dunia nyata dan dunia maya. Amanda yang tidak tahan dengan

semua itu memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Dalam kasusnya amanda kita bisa melihat jika orang-orang yang tidak

mengenal amanda saja bisa ikut serta melakukan perilaku bullying, hal ini bisa

terjadi karena kontrol diri mereka yang rendah. Di Indonesia sendiri banyak

kasus cyberbullying, salah satunya yang sempat viral dan berujung laporan ke

pihak kepolisian adalah bullying yang dilakukan warganet kepada Bilqis putri

dari pedangdut Ayu Ting-Ting. Kasus cyberbullying yang kita ketahui muncul di

publik mungkin hanya sebagian kecil saja, bisa jadi banyak diluar sana yang

menjadi korban cyberbullying namun mereka tidak berani untuk melapor atau

angkat bicara.

Self control atau kontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun,

membimbing, mengatur serta mengarahkan bentuk perilaku yang positif serta

merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan

individu selama proses proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi

kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. (Ramadona Dwi K & Supriatna

M, 2019). Papalia, Olds, dan Feldman (Setianingrum, Amalia, 2015) mengatakan

jika masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial.

Sedangkan menurut Hurlock (2011) mendeskripsikan masa remaja di gambarkan

sebagai masa kekacauan emosi. Keadaan yang ekstrim, pandangan tentang masa

“storm and stress” atau juga disebut masa badai dan tekanan karena di masa

remaja ini adalah saat dimana meningkatnya fluktuasi emosi yang kurang stabil

pada remaja disebabkan oleh perubahan hormon yang di alami remaja tersebut.

Demi mencapai kematangan emosi, remaja harus mengetahui tentang situasi

yang menimbulkan reaksi emosional, dapat berbagi untuk menyelesaikan

masalahnya dengan orang lain, atau dapat menggunakan katarsis emosi dalam
menyalurkan 6 emosinya, seperti melakukan latihan fisik, bekerja, menangis,

tertawa (Hurlock, 2011).

Kontrol diri juga berkaitan dengan cara individu mengendalikan emosi

serta dorongan dari dalam dirinya sehingga mampu membuat keputusan dan

mengambil tindakan yang efektif sesuai dengan standar ideal, nilai-nilai moral

dan harapan sosial (deRidder, dkk, dalam Malihah & Alfiasari, 2018).

Berdasarkan konsep Averill (Setianingrum, Amalia, 2015), terdapat tiga

aspek pada kontrol diri (self control), yaitu: Kontrol perilaku, kontrol kognitif dan

kontrol keputusan. Dilihat dariaspek kontrol keputusan merupakan kemampuan

seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu

yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan

berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan

pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Marsela & Supriatna (2019) mengungkapkan bahwa salah satu tugas

perkembangan remaja yaitu memperkuat self-control (kemampuan

mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.

Remaja yang memiliki kontrol diri, akan memungkinkan remaja dapat

mengendalikan diri dari perilaku-perilaku yang melanggar aturan dan norma-

norma yang ada di masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Muhammad Azief Fatwa (2021) terhadap 204

subjek, 36 % subjek memiliki kontrol diri sangat rendah, 56 % subjek memiliki

kontrol diri rendah, 8 % memiliki kontrol diri sedang. Selanjutnya pada 204

subjek, 29 % masuk kategori cyberbullying sangat rendah masuk kedalam skala

sangat rendah, 25 % masuk kategori cyberbullying rendah, 15 % masuk kategori

cyberbullying sedang, 19 % masuk kategori cyberbullying tinggi dan 11 % masuk

kategori cyberbullying sangat tinggi. Data tersebut membuktikan bahwa semakin

rendah kontrol diri pada remaja maka semakin tinggi perilaku cyberbullying
muncul pada remaja, dan berlaku juga sebaliknya semakin tinggi kontrol diri

maka semakin rendah juga perilaku cyberbullying dapat terjadi.

Banyak dampak yang korban cyberbullying rasakan, dampaknya antara

lain: fisik (seperti sakit kepala, sakit perut, gangguan tidur, kelelahan, dll),

psikologis dan emosional (takut, perasaan teror, kecemasan, penderitaan,

kesedihan, stres dan gejala depresi), aktivitas sekolah (kurangnya motivasi dan

penurunan nilai akademik) dan psikososial (merasa kesepian, dikucilkan)

(Navarro, Yubero & Larranaga (2016)). Selain itu dampak yang paling

mengerikan adalah keinginan untuk mengakhiri hidupnya.

Dalam penelitian Sukmawati & Kumala (2020) cyberbullying pada remaja

di media sosial memiliki dampak yang begitu besar yang mempengaruhi segala

aspek kehidupan mulai dari aspek psikologis, fisik, dan juga sosial. Dampak

cyberbullying yang dirasakan bukan hanya pada korban saja, melainkan pelaku,

pelaku dan korban juga akan berdampak. Pelaku pun bisa terjerat kasus hukum

bila mana pihak korban melaporkan pelaku ke pihak berwajib, selain itu pelaku

juga bisa mendapatkan kecaman dari masyarakat karena aksinya yang terlebih

lagi jika hal ini sudah masuk ke dunnia maya, pelaku bisa menjadi bulan-

bulanan warganet. Pada bulan juli lalu Polrestabes Bandung menerima laporan

dengan kasus perundungan dengan nomor registrasi

LP/B/554/VI/2023/POLRESTABES BANDUNG/POLDA JAWA BARAT. Dalam

laporannya orang tua korban melaporkan 11 pelajar SMP di wilayah Cicendo

Kota Bandung, bahkan aksi mereka di rekam dan tersebar di media sosial.

Dari hasil data awal yang peneliti lakukan secara random kepada 22

subjek di Kota Bandung pada bulan oktober 2023 mendapati bahwa mereka

mengetahui apa itu perilaku cyberbullying, kemudian 40 % dari mereka mengakui

mengalami atau menjadi korban dari perilaku cyberbullying, 86% dari mereka

mengakui menyaksikan atau melihat perilaku cyberbullying di media sosial yang


berupa komentar negatif yang melecehkan/menghina kepada seseorang pemilik

akun.

Salah satu dari subjek pernah bercerita jika dia menyaksikan sendiri

temannya menjadi korban cyberbullying oleh mantan pacar temannya sendiri

yakni berupa penghinaan, pencemaran nama baik sampai fitnah yang membuat

korban merasa takut dan trauma untuk bermain media sosial lagi. Selain itu ada

salah satu subjek yang mengakui jika dirinya pernah menjadi korban

cyberbullying, yakni berupa pemerasan. Jadi awalnya ada akun tidak dikenal

dan di privasi mengirim subjek pesan, salah satunya berupa foro yang di edit

menggunakan wajah subjek dengan penampilan yang tidak senonoh, kemudian

akun tidak di kenal ini mengancam akan menyebarkan foto ini jika subjek tidak

mengirimkan uang. Namun subjek tidak ambil pusing dan dia langsung

memblokir akun tidak di kernal tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah

penelitian tentang hubungan kontrol diri terhadap perilaku cyberbullying pada

remaja di Kota Bandung. Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang pembulian

atau perundungan remaja, khususnya pada media sosial. Hal ini harus jadi

perhatian penting dari semua pihak demi kesejahteraan remaja, terlebih lagi

kontrol diri pada usia remaja ini masih sangat labil. Maka dari itu pentingnya

memiliki kontrol diri yang baik supaya bisa menghindari perilaku cyberbullying.

Maka dari itu peneliti akan mengangkat penelitian yang berjudul “Hubungan

Kontrol Diri dengan Perilaku Cyberbullying Pada Remaja di Kota Bandung”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara kontrol diri dengan perilaku cyberbullying

pada remaja di Kota Bandung?


1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kontrol

diri dengan perilaku cyberbullying pada remaja di Kota Bandung.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Secara Teoritis

Diharapkan penelitian ini bisa menjadi sumbangsih untuk

pengembangan konsep dan teori pada ilmu psikologi khususnya terkait

kontrol diri (Self Control) dan Cyberbullying serta penelitian ini bisa di

gunakan sebagai referensi untuk peneliti lainnya dengan tema yang sama

dan menjelaskan mengapa remaja lebih cenderung terlibat dalam

perilaku cyberbullying.

b. Manfaat Secara Praktis

Harapannya semoga penelitian ini bisa menambah wawasan

untuk masyarakat umum, berkontribusi pada pendidikan remaja tentang

pentingnya perilaku online yang aman dan etis. Serta memberikan

pemahaman dari dampak tikdakan cyberbullying dan bagaimana kontrol

diri dapat membantu remaja menghindari perilaku tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Cyberbullying

1. Definisi

Cyberbullying berasal dari kata cyber (internet), dan bullying

(perundungan). Cyberbullying merupakan perilaku perundungan online,

perundungan ini dilakukan dalam dunia maya atau dunia digital atau juga

dalam media sosial. Perundungan ini dapat dilakukan melalui pesan teks, e-mail,

pesan instan, permainan online, situs web, chat rooms, atau melalui jejaring

sosial (Kowalski & Limber, 2013).

Cyberbullying adalah istilah yang digunakan pada saat seseorang atau

kelompok dengan sengaja melukai orang lain baik dalam bentuk tulisan, visual

atau gambar, dan/ komunikasi oral menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi (Nartgün & Cicioğlu, 2015; Nixon, 2014; Nordahl, Beran, & Dittrick,

2013; Süreci, 2016). Louisiana (dalam Patchin & Hinduja, 2015)

mendefinisikan cyberbullying sebagai transmisi dari pesan elektronik apapun

baik secara tulisan, visual atau gambar, video dan/ komunikasi oral dengan niat

yang disengajakan untuk menyakiti, menyiksa, atau mengintimidasi seseorang.

Menurut Chadwick (2014), cyberbullying dapat didefinisikan sebagai

penggunaan teknologi untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan, atau

menargetkan orang lain. Cyberbullying biasanya melibatkan komunikasi dalam

jangka waktu yang lama. Penindasan siber mirip dengan penindasan biasa,

hanya saja sebagian besar pelakunya tidak diketahui identitasnya.

Dari beberapa definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa

cyberbullying adalah perilaku perundungan yang disengaja dilakukan di dunia

digital atau media sosial dengan tujuan untuk melecehkan, mengancam,


menindas orang lain dengan cara pesan teks, gambar, video yang bisa menyakiti

korbannya dan pelakunya anonim.

2. Aspek-aspek Cyberbullying

Chadwick (2014) menjelaskan bahwa cyberbullying terbagi menjadi

delapan tipe berikut :

a. Harassment/Pelecehan, berulang kali mengirimkan pesan-pesan yang

menyinggung perasaan, kasar, dan menghina sering kali dikirimkan pada

siang dan malam. Ada yang bahkan menempelkan pesan mereka ke

forum publik, chat room atau papan pengumuman yang bisa dilihat

orang lain.

b. Denigration/Kritik, mendistribusikan informasi tentang orang lain yang

melecehkan dan tidak benar melalui postingan di halaman Web,

mengirimkannya kepada orang lain melalui surel atau pesan instan, atau

mengirim foto-foto yang diubah secara digital dari seseorang.

c. Flaming/Menyalahkan, "bertengkar" di internet atau beradu argumen

pesan elektronik di dalam chat, pesan instan atau via email dengan

bahasa pemarah dan vulgar. Penggunaan huruf besar, gambar dan

simbol menambah emosi pada argumen.

d. Impersonation/Menyalahkan, menyusup ke akun posnel atau jejaring

sosial dan menggunakan identitas daring orang itu untuk mengirim atau

memposting hal-hal yang keji atau memalukan kepada atau mengenai

orang lain.

e. Masquerading/Menyamar, berpura-pura menjadi orang lain dengan

membuat fake acccount nama pengirim pesan instan. Mereka juga

mungkin menggunakan fake acccount orang lain sehingga akan tampak

seolah-olah ancaman telah dikirim oleh orang lain.


f. Pseudonyms/Nama Samaran, menggunakan nama samaran atau nama

panggilan online untuk menjaga identitas rahasia mereka (anonim).

Orang lain secara online hanya mengenal mereka dengan nama samaran

ini yang mungkin berpikir bahwa mereka tidak berbahaya atau

merugikan.

g. Outing and Trickery/Tipuan, tampilan publik atau penerusan

komunikasi pribadi seperti pesan teks, email atau pesan instan. Berbagi

rahasia atau informasi yang memalukan, atau menipu seseorang untuk

mengungkapkan rahasia atau informasi yang memalukan dan

mengirimkannya kepada orang lain.

h. Cyber Stalking, ini adalah bentuk pelecehan. Pelaku akan berulang kali

mengirim pesan yang berisi ancaman bahaya dan mengintimidasi

korban, sehingga nantinya korban akan merasa takut dengan

keselamatan dia.

3. Dampak Cyberbullying

Dampak dari cyberbullying biasanya menimbulkan masalah

emosional & psikologis. Masalah ini menyebabkan korban bisa

mengalami depresi karena tidak sanggup menerima apa yang

dialaminya, menarik diri dari masyarakat, kehilangan kepercayaan diri,

stres dan bahkan ketika dirinya tidak mampu lagi menangani hal tersebut

dapat berakibat ke bunuh diri. Pengaruh dari cyberbullying berbeda-beda

pada setiap individunya. Hal ini tergantung dari cara individu tersebut

menyikapi permasalahan atau perundungan yang ia dapatkan di media

sosial (Azizah, 2016).

Menurut Navarro, Yubero & Larranaga (2016) dalam Agustin ,

dampak dari cyberbullying yaitu: 1) Fisik: remaja mengalami sakit kepala,


sakit perut, gangguan tidur, kelelahan, sakit punggung, kehilangan nafsu

makan dan masalah pencernaan. 2) Psikologis dan Emosional: remaja

merasakan takut, perasaan teror, kecemasan, penderitaan, kesedihan,

stres dan gejala depresi. 3) Sekolah terkait: remaja kurang termotivasi

untuk ke sekolah dan penurunannya tingkat konsentrasi atau nilai

akademik. 4) Psikososial: remaja memiliki perasaan isolasi dan

kesendirian, pengucilan dan bahkan penolakan sosial. Dampak negatif

dari perilaku bullying dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan

(psikologis, fisik maupun sosial) yang akan terus mempengaruhi

perkembangan selanjutnya.

4. Faktor yang mempengaruhi perilaku Cyberbullying

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dewi, H. A., Suryani, &

Sriati, A. (2020), mendapati bahwa faktor perilaku cyberbullying dari 15

artikel dan didapatkan lima faktor yang mempengaruhi cyberbullying

pada remaja yaitu faktor individu diantaranya pengalaman kekerasan,

persepsi, gander, usia, kontrol psikologis, dan penggunaan zat adiktif.

Faktor keluarga meliputi pola asuh, dukungan keluarga, dan stress orang

tua. Faktor teman berupa dukungan. Faktor sekolah yaitu jenis sekolah.

Faktor terakhir yaitu penggunaan internet berupa intensitas dan

kompetensi media etis.

Pandie & Weismann (2016) menambahkan jika faktor yang

mempengaruhi perilaku cyberbullying pada individu adalah faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti gagalnya individu

dalam mengontrol diri, artinya individu tidak bisa mengendalikan naluri

(instik)dan dorongan-dorongan primitifnya kepada perbuatan yang

bermanfaat dan lebih berbudaya.


B. Kontrol Diri

1. Definisi Kontrol Diri

Menurut Hortet, self control merupakan suatu sistem diri dalam

proses saling berhubungan, sistem ini meliputi berbagai komponen, salah

satu diantaranya adalah pengaturan diri (self regulation) yang

memusatkan perhatian dan pengontrolan diri, dimana proses tersebut

menjelaskan cara diri mengatur dan mengendalikan emosinya.

2. Aspek-Aspek Kontrol Diri

Menurut Averill terdapat tiga aspek kontrol diri, yaitu:

a. Kontrol Perilaku (Behavior Control)

Kontrol perilaku adalah kesiapan atau kemampuan seseorang

untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Kemampuan mengontrol perilaku ini berupa diperinci menjadi dua

komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration)

dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).

Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan

individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau

keadaan. Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan

menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu

akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur

stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan

kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada

beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi

stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus

yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktu

berakhir dan membatasi intensitasnya.


b. Kontrol Kognitif (Cognitive Control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu untuk

mengelola informasi yang tidak diinginkan dengan cara

menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian

dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk

mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu

memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian

(appraisal). Dengan infomasi yang dimiliki oleh individu dapat

mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.

Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan

menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara

memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

c. Kontrol dalam Mengambil Keputusan (Decession Making)

Kontrol dalam mengambil keputusan merupakan kemampuan

seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan

sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam

menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan ataukemungkinan pada diri individu untuk

memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Menurut Block dan Block ada tiga jenis kualitas kontrol diri

yaitu, Over Control, Under Control dan Appropriate Control. Over

Control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara

berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam

bereaksi terhadap stimulus. Under Control merupakan suatu

kecenderungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan

bebas tanpa perhitungan yang masak. Sementara Appropriate Control


merupakan kontrol individu dalam upaya mengendaikan impuls

secara tepat.

3. Faktor Faktor yang memperngaruhi Kontrol Diri

Kontrol diri tidak terjadi begitu saja, seperti halnya faktor

psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara

garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri ini terdiri

dari:

a. Faktor Internal (dari diri individu)

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia

dan kematangan. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik

kemampuan mengontrol diri seseorang itu. Kematangan merupakan

urutan perubahan yang dialami individu secara teratur yang ditentukan

oleh faktor genetik. Pada dasarnya individu berkembang dalam cara

yang terpola secara genetik, kecuali jika gangguan atau hambatan oleh

faktor lingkungan (pengalaman/sesuatu yang diperoleh dalam

kehidupan) yang bersifat merusak.

b. Faktor Ekstemal (lingkungan individu)

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga.

Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana

mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian Nasichah (2000)

menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap penerapan disiplin

orangtua yang semakin demokratis cenderung diikuti tingginya

kemampuan mengontrol dirinya. Oleh sebab itu, bila orangtua

menerapkan sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini, dan

orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan

anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap


kekonsistensian ini akan di internalisasi anak. Di kemudian akan menjadi

kontrol diri baginya.

C. Dinamika Interaksi Antar Variabel

Hadirnya internet termasuk media sosial seolah menjadi pembuka

gerbang antar negara di seluruh dunia (Saiful, 2019), memudahkan segalanya

karena pasalnya dengan internet yang kaitannya media sosial semua informasi

dan komunikasi bisa dengan sangat cepat merebak luas. Dalam sebuah

perubahan yang dilakukan tentu menginginkan dampak positif yang signifikan,

namun tak dapat disangkal ia akan diiringi oleh dampak negatif dan salah

satunya adalah cyberbullying (Agustina, 2019; Syah & Hermawati, 2018), sebagai

dampak penggunaan teknologi yang negatif (Rahayu, 2013).

Perkembangan media online dan gadget memang memberikan dampak

positif dan negatif terhadap penggunanya. Kasus tentang bullying sudah sering

terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dan sudah berlangsung kurang lebih dari

tiga puluh tahun lalu (Fadli, 2017). Bullying merupakan perilaku agresif yang di

tandai dengan tindakan berulang. Biasanya bullying melibatkan tindakkan

melecehkan dan mengancam seseorang secara verbal, mengejek, menyebarkan

rumor, menghasut, mnegucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), atau menyerang

secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Metode lain yang umum

dilakukan adalah dengan posting informasi memalukan atau memalukan

tentang seseorang dalam forum publik online. Oleh karena itu, Cyberbullying

melibatkan pelecehan atau penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku terhadap

korban yang jauh secara fisik. Dampak dari cyberbullying untuk para korban

tidak berhenti sampai pada tahap depresi saja, melainkan sudah sampai pada

tindakan yang lebih ekstrim, yaitu bunuh diri (Fadli & Gazi, 2017).
Masa remaja menjadi masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa. Masa remaja sering diidentikkan sebagai masa individu mulai berusaha

mengenal diri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri

sendiri sebagai upaya untuk dapat diterima sebagai bagian dari

lingkungan( Sukmawati & Kumala, 2020) . Sebagian remaja mampu melewati

masa peralihan ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami

kenakalan remaja mulai dari kenakalan ringan hingga kriminal, termasuk di

dalamnya kenakalan-kenakalan berbentuk cyberbullying (Malihah, 2018).

Cyberbullying yang terjadi pada remaja tidak muncul begitu saja. Namun,

cyberbullying juga memiliki faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku

cyberbullying, seperti faktor keluarga, kegagalan dalam mengontrol diri, dan

faktor lingkungan (Pandie & Weismann, 2016).

Stephen dan Wilcox (Prawira, 2013) mengemukakan bahwa individu

yang mempunyai kontrol diri yang rendah akan menyebabkan masalah-masalah

social seperti agresi dan melakukan tindakan kekerasan tanpa

mempertimbangkan konsekuensi yang dilakukannya. Penelitian yang dilakukan

oleh Zhang, dkk. (2021) pada karyawan di United States. Hasil penelitiannya

yaitu kontrol diri yang rendah pada karyawan memiliki kecenderungan yang

lebih besar untuk menjadi pelaku cyberbyllying. Pada hasil penelitian yang

dilakukan oleh Peker (2017) pada menunjukkan bahwa kontrol diri memberikan

pengaruh kuat terhadap perilaku cyberbullying. Pengaruh tersebut diberikan

melalui kecederungan kekerasan siber (cyber victimization) yang mengarah ke

perilaku cyberbullying.

Selanjutnya Bulan dan Wulandari (2021) mengemukakan bahwa kontrol

diri memiliki pengaruh negative terhadap cyberbullying yang artinya adalah

semakin tinggi kontrol diri yang dilakukan oleh individu tertentu, akan

menurunkan kecenderungan untuk melakukan tindakan cyberbullying. Maka


hubungan antara kontrol diri dan cyberbullying bersifat negatif, dimana apabila

kontrol diri rendah, maka perilaku cyberbullying akan meningkat.

D. Kerangka Pemikiran

s
E. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kontrol diri dengan perilaku

cyberbullying pada remaja di Kota Bandung

Ha : Terdapat hubungan antara kontrol diri dengan perilaku

cyberbullying pada remaja di Kota Bandung

(Putri, Supriatna, & Nadhirah, 2022)

(Dewi, Suryani, & Sriati, 2020)

DAFTAR PUSTAKA
Alhamidi, R. (2023, Juni 9). Ortu Korban Perundungan Bocah di Bandung Lapor

Polisi. Retrieved from Detik Jabar: https://www.detik.com/jabar/hukum-

dan-kriminal/d-6764120/ortu-korban-perundungan-bocah-di-bandung-

lapor-polisi

Anwarsyah, F. (2017, Oktober). PENGARUH LONELINESS, SELF-CONTROL,

DAN SELF ESTEEM TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA

MAHASISWA. TAZKIYA Journal of Psychology, Vol. 5 No. 2, 203 - 215.

Asmadi, E. (2018). PERAN PSIKIATER DALAM PEMBUKTIAN KEKERASAN

PSIKIS PADA KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA, Vol. 3 Nomor 1, 39-51.

Dewi, H. A., Suryani, & Sriati, A. (2020, Juni 2). Faktor faktor yang memengaruhi

cyberbullying pada remaja: A Systematic review. Fakultas Keperawatan,

Universitas Padjadjaran, Volume 3, 129 - 141.


Fazry, L., & Apsari, N. C. (2021). PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP

PERILAKU CYBERBULLYING DI KALANGAN REMAJA. Jurnal

Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM), Vol. 2 No.1, Hal : 28 -

36.

Marsela, R. D., & Supriatna, M. (2019). Kontrol Diri : Definisi dan Faktor. Journal

of Innovative Counseling, Vol.3, No.2( 2548-3226), 65-69.

Mayasari, A. T., Febriyanti, H., & Orimadevi, I. (2021). Kesehatan Reproduksi

Wanita di Sepanjang Daur Kehidupan. Aceh: Syiah Kuaka University Press.

Mulawarman, & Nurfitri, A. D. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta

Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Buletin

Psikologi, Vol. 25, No. 1, 36 - 44. doi:10.22146/buletinpsikologi.22759

Nasrullah, R. (2015). Media Sosial; Persfektif Komunikasi, Budaya, dan

Sosioteknologi. . Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

NINGRUM, F. S., & AMNA, Z. (2020, Juni 26). Cyberbullying Victimization dan

Kesehatan Mental pada Remaja. doi: e-ISSN 2528-5181

Pandie, M. M., & Weismann, I. T. (2016, April). PENGARUH CYBERBULLYING

DI MEDIA SOSIAL TERHADAP PERILAKU REAKTIF SEBAGAI PELAKU

MAUPUN SEBAGAI KORBAN CYBERBULLYING PADA SISWA

KRISTEN SMP NASIONAL MAKASSAR, Vol. 14, No. 1.

Pandie, M. M., & Weismann, I. T. (2016). PENGARUH CYBERBULLYING DI

MEDIA SOSIAL TERHADAP PERILAKU REAKTIF SEBAGAI PELAKU

MAUPUN SEBAGAI KORBAN CYBERBULLYING PADA SISWA

KRISTEN SMP NASIONAL MAKASSAR. JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No.

1, 44 - 62.
Projo, K. D., Nuqul, F. L., & Widodo, R. W. (2022, Oktober). Pengaruh kontrol

diri terhadap agresivitas mahasiswa dalam unjuk rasa (demonstrasi) di

Kota Malang. Jurnal Psikologi Tabularasa, Vol.17(2), 107-131. Retrieved from

https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jpt/index

Purbohastuti, A. W. (2017, Oktober). EFEKTIVITAS MEDIA SOSIAL SEBAGAI

MEDIA PROMOSI. Tirtayasa EKONOMIKA, Vol. 12, No. 2, 212 - 231.

Putri, M. A., Supriatna, M., & Nadhirah, N. A. (2022, Desember 2). Upaya Guru

Bimbingan dan Konseling Dalam Mencegah. Jurnal Konseling Gusjigang,

Vol. 8, No.2(Cyberbullying Bimbingan dan konseling Role playing

Bimbingan kelompok), hal. 141-149.

doi:https://doi.org/10.24176/jkg.v8i2.7700

Sukmawati, A., & Kumala, A. P. (2020, Oktober). DAMPAK CYBERBULLYING

PADA REMAJA DI MEDIA SOSIAL. Alauddin Scientific Journal of Nursing,

Vol 1, No. 1, 55-65. Retrieved from

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/asjn/issue/view/1328

Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological , Physical , and

Academic Correlates of Cyberbullying and Traditional Bullying. Journal

of Adolescent Health, 53(1), 513–520. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2012.

09.018

Nartgün, Ş. S., & Cicioğlu, M. (2015). Problematic Internet Use and Cyber

Bullying in Vocational Shool Students. International Online Journal of

Educational Sciences, 7(3), 10-26.


Nixon, C. L. (2014). Current Perspectives: The Impact of Cyberbullying on
Adolescent Health. Adolescent Health, Medicine, and Therapeutics, 143-158.

Nordahl, J., Beran, T., & Dittrick, C. J. (2013). Psychological Impact of Cyber-
Bullying Implications for School Counsellors. Canadian Journal of Counseling and
Psychotherapy, 47(3), 383-402.

Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2015). Measuring Cyberbullying: Implications for

Research. Aggression and Violent Behavior, 1-6.

Navarro, Raul., Yubero, Santiago., & Larranaga, Elisa (eds). 2016. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Juli Yanti Harahap, “HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN

KETERGANTUNGAN INTERNET DI PUSTAKA DIGITAL PERPUSTAKAAN

DAERAH MEDAN,” JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling 3, no. 2 (3

Juli 2017): hlmn, 139, https://doi.org/10.22373/je.v3i2.3091

M. Nur Gufron dan Rini Risnawita S. Teori-teori Psikologi (Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2016), 29-31.

30 Lazarus, R. S., Pattern of Adjusment (Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusta Ltd.,

1976) 31 M. Nur Gufron & Rini Risnawita S. Teori-teori Psikologi, 2016. 32.

Prawira, A. E. (2013). Jejaring sosial bikin orang kehilangan kontrol diri. Diunduh

dari http://health.liputan6.com pada tanggal 11 Februari 2020.

Zhang, S., Leidner,D., Coa,X. dan Liu, N. (2021). Workplace cyberbullying: A

criminological and routine activity perspective. Journal of Information

Technology. https://doi.org/10.1177/02683962211027888

Bulan & Wulandari. (2021). Pengaruh kontrol diri terhadap kecenderungan

perilaku cyberbullying pada remaja pengguna media sosial anonym. Buletin riset

psikologi dan kesehatan mental. Vol. 1 (1). 497-507.

Anda mungkin juga menyukai