Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan seseorang yang berada pada rentang usia 10

hingga 19 tahun (WHO, 2015). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI

nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk yang berada pada rentang usia

10-18 tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) menjelaskan rentang usia remaja adalah 10 hingga 24 tahun dan

belum menikah. Sedangkan menurut Kyle & Carman (2013) remaja

dikelompokkan menjadi 3 tahap berdasarkan usia, yaitu usia 11-14 tahun

disebut masa remaja awal, usia 14-16 tahun disebut masa remaja tengah dan

usia 17-20 tahun disebut juga masa remaja akhir.

Menurut WHO tahun 2018, dunia sekarang memiliki lebih banyak

orang muda daripada sebelumnya. Dari 7,2 miliar orang di seluruh dunia lebih

dari 3 miliar orang muda dari 25 tahun, yang merupakan 42% dari populasi

dunia. Sekitar 1,2 miliar dari kaum muda ini adalah remaja berusia antara 10

dan 19 tahun. Berdasarkan Badan Statistik Amerika Serikat jumlah penduduk

dunia pada Januari 2018 mencapai 7,53 miliar jiwa. Dari jumlah tersebut,

terbanyak merupakan remaja, yakni usia 10-14 tahun sebanyak 618 juta jiwa,

usia 15-19 603 juta jiwa dan 20-24 tahun sebanyak 603 juta jiwa. Sementara

yang berusia di atas 100 tahun mencapai 500 ribu jiwa atau sekitar 0,01% dari

populasi. ( iko kanai di umuanyo bg, yg diateh saratuih)


Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015, jumlah

penduduk Indonesia pada tahun 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta

jiwa. Menurut jenis kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-

dan 132,89 juta jiwa perempuan. Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk

usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif, yakni lebih dari 68%

dari total populasi. Dengan kelompok usia 0-14 tahun (usia anak-anak)

mencapai 66,17 juta jiwa atau sekitar 24,8% dari total populasi. Kemudian

penduduk usia 15-64 tahun (usia produktif) sebanyak 183,36 juta jiwa atau

sebesar 68,7% dan kelompok usia lebih dari 65 tahun (usia sudah tidak

produktif) berjumlah 17,37 juta jiwa atau sebesar 6,51 dari total populasi. (Iko

kanai kck ibuk tadi ndk usah bahas usia produktifnyo yg remaja nyo se)

Masa remaja merupakan proses tumbuh kembang individu dari masa

anak-anak menuju dewasa yang diikuti oleh perubahan biologis, psikologis

dan sosial (Kyle & Carman, 2013). Pada masa ini terjadi perkembangan dan

perubahan hormon yang belum matang pada remaja, dimana pada masa ini

remaja masih sensitif dengan hal hal yang baru yang dapat mempengaruhi

keadaan psikologis, kognitif, fisik, dan sosialnya (Santrock, 2012). Remaja

pada tahap tersebut mengalami banyak perubahan baik secara emosi, tubuh,

minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah pada masa

remaja. Pada masa ini sebagai usia yang bermasalah karena

ketidakmampuannya untuk mengatasi masalahnya sendiri menurut cara yang

(iko ganti kato” tpi ndk tau a do bg, wkwk. Kck ibuk tu ndk sadonyo usia iko

masalah do, jan tajaman bana ngck an iko bamasalah. Itu tdi bg) mereka
yakni, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak

selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock, 2012). Bentuk-bentuk emosi

yang sering tampak pada masa remaja awal, antara lain adalah marah, malu,

takut, cemas (anxiety), cemburu (jealoucy), iri hati (envy), sedih, gembira,

kasih-sayang dan ingin tahu. Dalam hal emosi negatif, umumnya remaja

belum dapat mengendalikannya dengan baik, sehingga emosi ini lebih

menguasai tingkah laku yang membawa mereka kedalam permasalahan

(Ahyani & Astuti dwi, 2018).

Permasalahan yang terjadi pada remaja antara lain, adanya

penyimpangan/ deviasi tugas perkembangan yang menyebabkan konflik pada

masa perkembangannya, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak sesuai

dengan tahap perkembangan remaja seperti bingung peran, kesulitan belajar,

kenakalan remaja, dan perilaku seksual yang menyimpang (Sumiati, Dinarti,

Nurhaeni, Aryani, 2009).

Berdasarkan jumlah pengaduan kasus anak yang dilaporkan ke Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2018 tercatat sebanyak

4.885 kasus. Kasus anak berhadapan dengan hukum menduduki urutan

pertama, yakni 1.434 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan

anak sebanyak 857 kasus. Kasus pornografi dan kejahatan siber di posisi

ketiga dengan 679 kasus. Di peringkat keempat, kasus pendidikan berjumlah

451 kasus. Sementara kasus kesehatan dan penyalahgunaan narkoba di posisi

kelima dengan 364 kasus.


KPAI merilis catatan akhir tahun atau Catahu pelanggaran hak anak,

khusus di bidang pendidikan. Hasilnya, dari data 2018 tercatat 445 kasus,

jumlah tersebut meningkat hampir 100 kasus dibanding tahun lalu 338 kasus,

dan dua tahun lalu yang hanya 327 kasus. Kekerasan fisik dan bully masih

menjadi kasus terbanyak diderita anak dalam bidang pendidikan. 51, 20%

pelanggaran terjadi pada anak dalam bidang pendidikan dikarenakan soal

kekerasan. Kemudian, sebanyak 32,35% kasus menyoal pada tawuran antar

pelajar. Urutan selanjutnya adalah kasus terhadap anak dalam pelanggaran

kebijakan dilakukan pihak sekolah 16,50%. Data pada bulan januari sampai

februari 2019 KPAI juga menerima laporan 24 kasus di sektor pendidikan

dengan korban dan pelaku anak. Tercatat jumlahnya sebanyak 17 kasus yang

terkait kekerasan. diantaranya: 3 kasus kekerasan fisik, 8 kekerasan psikis, 3

kekerasan seksual, 1 tawuran pelajar, 5 kasus korban kebijakan, dan 1 kasus

eksploitasi. (Iko gabuangan jo data kesehatan mentalnyo bg, ndk paham bana

acuh tdi do wkwk, ibuk tu tdi ngecek kasus ko skli jalan se lah ndk usah

kalehan duo kali, gtu bg aa)

Dengan adanya hambatan dalam tahapan perkembangan remaja yang

menyebabkan terjadinya penyimpangan seperti kasus- kasus kenakalan yang

banyak terjadi pada remaja jika tidak terselesaikan dengan baik dapat

menimbulkan masalah kesehatan mental pada remaja (Sumiati, Dinarti,

Nurhaeni, Aryani, 2009).

Kesehatan mental adalah suatu keadaan kesejahteraan yang mana tiap

individu mampu mengoptimalkan kemampuannya, dapat mengatasi stress


dalam hidupnya, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat serta dapat

berkontribusi terhadap komunitasnya. Dengan kesehatan mental yang baik,

individu akan dapat tampil optimal sesuai kapasitasnya serta produktif, yang

pada gilirannya akan menunjang pada terciptanya masyarakat yang maju.

Sebaliknya bila kesehatan mental seseorang rendah, orang akan sangat

menderita, kualitas hidupnya buruk, bahkan hingga menyebabkan kematian

(WHO, 2012). Dalam psikologi perkembangan remaja kesehatan mental lebih

sering dikenal sebagai proses sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh

dengan kesukaran dan persoalan (IDAI, 2014).

Menurut WHO (2018) di seluruh dunia 10-20% anak-anak dan remaja

mengalami masalah kesehaatan mental. Setengah dari semua penyakit

gangguan mental dimulai pada usia 14 dan tiga perempat pada pertengahan

20-an. Dalam hal beban penyakit di kalangan remaja, penggunaan alkohol dan

obat-obatan terlarang secara berbahaya di kalangan remaja adalah masalah

utama di banyak negara dan dapat menyebabkan perilaku berisiko seperti seks

yang tidak aman atau mengemudi yang berbahaya. Bunuh diri adalah

penyebab kematian nomor dua di antara anak-anak berusia 15-29 tahun. Dan

depresi adalah penyebab utama ketiga. Menurut Our Word In Data (2017)

populasi gangguan kesehatan mental tertinggi di Amerika Utara 17,16%

kemdian Eropa 15,31%, Afrika 15,25%, dan Asia 14%. Diperkirakan leboh

dari 1,1 miliar orang di seluruh dunia memiliki gangguan mental atau

penggunaan narkoba pada tahun 2016. Jumlah terbesar orang memiliki


gangguan kecemasan, diperkirakan sekitar 4% dari populasi. Kecemasan

3,76%, depresi 3,44%, pengggunaan alkohol 1,4%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukkan

prevalensi kesehatan mental di Indonesia adalah 6,7% atau sebanyak 282.654

jiwa. rumah tangga dengan anggota yang menderita skizofrenia/psikosis

sebesar 7,1 % dengan cakupan pengobatan 85%. Sementara itu prevalensi

gangguan mental emosional pada remaja berumur >15 tahun sebesar 9,8%.

Dengan persentase perempuan sebanyak 12,1% dan laki- laki 7,6%. Angka jni

meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%. Dan prevalensi pada

Sumatera Barat sendiri diurutan ke 5 se Indonesia yaitu sebesar 13% atau

sebanyak 13.682 jiwa. Menurut data GSHS (2015) mengalami gangguan

emosional pada pelajar SMP dan SMA di Indonesia sebesar 62,38 % atau

7.027 orang. Dengan jumlah pada laki-laki sebanyak 2.954 orang (57,73%),

dan perempuan 4.073 orang (66,82%).

Banyak faktor yang dapat memicu timbulnya masalah mental

emosional pada remaja yaitu lingkungan keluarga, lingkungan teman sebaya,

lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan sosial media (Santrock,

2012). Semakin banyak faktor risiko yang dihadapi remaja, maka semakin

besar potensi dampaknya terhadap kesehatan mental mereka (WHO, 2018).

Salah satu faktor pemicu kesehatan mental adalah media sosial.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih memiliki pengaruh terhadap

perkembangan remaja. Teknologi yang terus berinovasi membuat remaja

tertarik untuk mengikuti perkembangannya, seperti teknologi yang sekarang


ini banyak digandrungi oleh remaja adalah sosial media (Taylor, 2013). (Iko

jalehan dek aa faktor yh di ambiak tu media sosial bg, faktor lain ado lo mah

cek ibuk, jalehan fenomenanyo baa, dasar maambiak media sosial tu baa)

Media sosial adalah seperangkat alat komunikasi dan kolaborasi baru

yang memungkinkan berbagai jenis interaksi yang sebelumnya tidak tersedia

untuk orang awam (Chris Brogan, 2010). Menurut laporan global oleh Digital

Information Word (2018) mengungkapkan 81% pengguna internet di dunia

aktif di media sosial. Jumlah pengguna media sosial melalui ponsel adalah

3,356 juta orang. Sekitar 2,19 miliar orang aktif menggunakan Facebook, 1,9

miliar menggunakan Youtube, 1,5 miliar menggunakan Whatsapp, dan 1

miliar orang menggunakan Instagram. Hal ini di serupa dengan penelitian

Ogaji el al (2017) di Afrika yang menyatakan bentuk media sosial yang paling

sering di akses antara lain Whatsapp, Youtube, Facebook, Google, Instagram,

dan Twitter.

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan banyak

orang, menghubungkan mereka dengan teman, keluarga dan orang asing dari

seluruh dunia. Dengan terus bermunculannya situs-situs media sosial, para

pengguna (user) melalui aplikasi berbasis internet dapat berbagi,

berpartisipasi, dan menciptakan konten berupa blog, wiki, forum, jejaring

sosial, dan ruang dunia virtual yang didukung oleh teknologi multimedia yang

semakin canggih (Kementerian Perdagangan RI, 2014).

Media sosial memiliki manfaat bagi banyak orang dari berbagai

belahan dunia, akan tetapi penggunaan media sosial yang berlebihan juga
dapat menyebabkan dampak negatif seperti berkurangnya interaksi

interpersonal secara langsung atau tatap muka, munculnya kecanduan yang

melebihi dosis, serta persoalan etika dan hukum karena kontennya yang

melanggar moral, privasi serta peraturan (Kementrian Perdagangan RI, 2014).

Penggunaan media sosial dengan berlebihan dapat menyebabkan

kecanduan yang menimbulkan masalah psikis atau kesehatan mental pada

seseorang (Kumurotomo, 2010). Teori Sheldon (2019) mengatakan sisi gelap

dari media sosial dapat mempengaruhi kehidupan manusia secara negatif.

Sosial media dapat mempengaruhi kesehatan emosional dan mental, rentang

perhatian yang lebih pendek, persentasi diri dan narsisme selektif,

menurunnya kualitas hubungan interpersonal, privasi dan keamanan,

cyberstalking, cyberbullying, informasi yang keliru, penipuan online dan efek

negatif dari teman sebaya.

Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh The Royal

Society for Public Health (RSPH) dan charity Young Health Movement

(2017) di Inggris terhadap 1.500 anak muda (rentang usia 14-24 tahun)

tentang bagaimana media sosial mempengaruhi kesehatan mental dan

lingkungannya dengan 14 aspek kesehatan mental yg termasuk kecemasan,

depresi, kesepian, tidur, bullying, dan FoMo (Fear of Missing Out). Dari

persentasi tertinggi, instagram dinilai sebagai aplikasi yang memiliki efek

negatif yang paling banyak. Aplikasi untuk berbagi foto ini dianggap merusak

persepsi soal citra tubuh, meningkatkan tasa takut akan ketinggalan (FoMo),

sampai memberikan efek buruk pada tidur.


Penelitian yang dilakukan oleh Primark et al (2017) di Amerika

Serikat pada 1.787 dewasa awal yang berusia 19-32 tahun mengatakan mereka

yang menggunakan paling banyak situs media sosial memiliki peluang lebih

tinggi untuk meningkatkan gejala depresi dan tingkat kecemasan. Penelitian

lain yang dilakukakan oleh Wood dan Scott (2016) pada 467 remaja

Skotlandia juga mengatakan penggunaan media sosial yang tinggi

berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk, harga diri lebih rendah, serta

meningkatkan kecemasan dan gejala depresi.

Menurut Kelly et al (2018) penggunaan media sosial menimbulkan

gejala depresi lebih besar pada anak perempuan. Penelitian yang dilakukan

pada 10.904 orang rentang usia 14 tahun mengatakan penggunaan media

sosial dikaitkan dengan pelecehan online, kurang tidur, harga diri rendah dan

citra tubuh yang buruk, lebih besar menyebabkan gejala depresi bagi anak

perempuan karena anak perempuan lebih cendrung terlibat dalam pelecehan

online, cendrung memiliki harga diri rendah, ketidakpuasan berat badan atau

tidak bahagia dengan penampilan mereka sendiri.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai hubungan media sosial dengan kesehatan

mental remaja di X.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut: “apakah ada hubungan media sosial

dengan kesehatan mental remaja di X?”


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan media

sosial dengan kesehatan mental remaja di X.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan media sosial pada remaja x

b. Untuk mengetahui bagaimana kesehatan mental remaja x

c. Untuk mengetahui hubungan media sosial dengan kesehatan mental

remaja x

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

pembaca mengenai hubungan media sosial dengan kesehatan mental

remaja di X.

2. Manfaat praktis

a. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu keperawatan

untuk mengembangkan model promosi kesehatan jiwa.

b. Bagi dunia pendidikan dan sekolah

Dapat menjadi bahan masukan untuk lebih meningkatkan upaya

preventif dalam menanggulangi masalah kesehatan mental pada

remaja.

c. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan

kemampuan penelitian sehingga dapat mengamplikasikan ilmu yang

telah diperoleh selama di perkuliahan.

d. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi peneliti

selanjutnya dengan ruang lingkup yang sama ataupun merubah

variabel dan tempat penelitian.

Anda mungkin juga menyukai