Anda di halaman 1dari 61

BAB I

1. Penjelasan usia remaja adalah usia beresiko


Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang selalu menarik untuk dikaji.
Remaja dianggap sebagai generasi penerus bangsa dan merupakan aset terbesar yang dimiliki
oleh suatu negara untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi masa depan negara. Oleh
karena itu banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap remaja untuk dapat mengasah
kemampuan yang nantinya akan sangat berguna saat dewasa. Pada masa remaja terjadi tahap
perkembangan yang sangat penting, baik itu perkembangan biologis maupun fisiologis yang
menentukan kualitas seseorang untuk menjadi individu dewasa.
Santrock (2012) mendefinisikan masa remaja sebagai suatu periode transisi dalam
rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaannya dari mulai usia 12-20 tahun (Yusuf,
2011). Rousseau dalam Sarwono (2013) juga mengatakan bahwa usia 15-20 tahun
dinamakan masa kesempurnaan remaja (adolescence proper) dan merupakan puncak
perkembangan emosi.
Oleh karena itu setiap bangsa membutuhkan remaja yang produktif, kreatif, serta kritis
demi kemajuan bangsa itu sendiri, dan remaja dapat memaksimalkan produktivitas,
kreativitas, serta mempunyai pemikiran yang kritis dapat dicapai bila mereka sehat. Remaja
sehat bukan hanya dilihat dari fisik, tetapi juga kognitif, psikologis, dan sosial. Saat ini,
remaja yang sehat dan berkualitas sudah banyak menjadi pusat perhatian oleh orang tua dan
masyarakat luas.
Hal ini dikarenakan seiring dengan laju modernisasi dan perkembangan teknologi yang
sangat pesat, semakin luas pula pergaulan serta pengetahuan remaja tentang berbagai hal,
baik itu hal positif maupun negatif, sedangkan remaja sendiri memiliki karakteristik untuk
mudah terpengaruh dengan apa yang dilihat dan yang ada disekitarnya. Lingkungan yang
negatif dapat menjadi faktor risiko remaja untuk melakukan perilaku yang tidak sehat.
Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Sudibyo Alimoeso,
mengatakan bahwa hasil sensus penduduk tahun 2010 menginformasikan jumlah anak umur
remaja sekitar 43,6 juta atau sekitar 9 persen dari 237,6 juta total penduduk Indonesia (Anp,
2013). Jumlah tersebut tentu akan muncul berbagai masalah pada perkembangan remaja yang
kompleks dan sulit dipecahkan. Salah satu masalah krusial yang mulai terlihat saat ini adalah
banyaknya remaja yang melakukan perilaku berisiko, terutama berisiko terhadap kesehatan.
Perilaku berisiko didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meningkatkan kemungkinan
dampak yang buruk terhadap kesehatan (Ragin, 2011).
Remaja selalu merasa bahwa diri mereka sehat dan bebas melakukan berbagai hal karena
fisik mereka yang masih kuat dan perasaan bahwa usia mereka masih muda. Weinstein
(dalam Lapsley dkk, 2005) mengatakan, "Orangorang cenderung berpikir mereka kebal".
Anggapan seseorang bahwa peristiwa negatif lebih mungkin terjadi pada orang lain daripada
diri mereka seperti ini disebut dengan optimistic bias. Penelitian yang muncul menunjukkan
bahwa optimis bias memang kuat pada remaja dibandingkan pada orang dewasa (Lapsley
dkk, 2005).
Optimistic bias menyebabkan rasa kekebalan terhadap konsekuensi berbahaya dari
perilaku kesehatan yang berisiko sehingga sebagian remaja mengabaikan kesehatan mereka
pribadi padahal tanpa mereka sadari bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh remaja
akan berdampak pada kondisi individu di masa dewasa. Banyak perilaku remaja yang
muncul tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan dan keselamatan remaja itu sendiri
padahal perilaku-perilaku tersebut mungkin saja menjadi penyebab timbulnya berbagai
penyakit baik dalam jangka pendek maupun masa mendatang sehingga mereka menjadi salah
satu dari remaja berisiko.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan remaja berisiko sebagai
remaja yang pernah melakukan perilaku yang berisiko bagi kesehatan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lestary dan Sugiharti pada tahun 2007, sebanyak 55,2%
remaja pernah melakukan perilaku berisiko (Lestary dan Sugiharti, 2011). Hasil analisis
SKRRI (Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) 2007 juga menunjukkan
peningkatan perilaku berisiko baik di kalangan remaja laki-laki maupun remaja perempuan,
jika dibandingkan dengan hasil SKRRI 2002-2003. Secara berurutan perilaku berisiko
tersebut adalah merokok, minum alkohol, melakukan hubungan seksual pranikah, dan
penyalahgunaan narkoba (BPS, 2003, dalam Lestary dan Sugiharti, 2011).
Telah dicatat dan didokumentasikan dengan baik bahwa banyak perilaku berisiko
terhadap kesehatan sering dimulai saat usia remaja dan permulaan perilaku berisiko secara
bertahap terjadi pada usia muda. Sebuah penelitian dalam jumlah besar menunjukkan bahwa
tingkat merokok, minum alkohol dan penggunaan narkoba selama masa remaja mengalami
peningkatan sejak tahun 1980-an, dan banyak remaja mengalami perilaku berisiko terhadap
kesehatan di usia-usia awal (Kim, 2001, Youngblade, 2006, dalam Kim, 2011).
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika melaporkan bahwa siswa sekolah
dasar berusia 9 sampai 13 tahun sebanyak 36% pernah minum minuman beralkohol dan 12%
merokok. Untuk remaja berusia 14 sampai 18 tahun, mereka telah menunjukkan prevalensi
yang sangat tinggi dalam penggunaan alkohol. 77% remaja pernah minum minuman
beralkohol, dan 17% dari remaja tersebut melaporkan minum alkohol setiap hari atau 1
sampai 2 kali per minggu (Brener, 2005, dalam Kim, 2011).
Perilaku yang berisiko adalah perilaku yang menyebabkan kematian atau menimbulkan
penyakit pada remaja, yaitu penggunaan rokok, perilaku yang menyebabkan cedera dan
kekerasan, alkohol dan obat terlarang, diet yang dapat menyebabkan kematian, gaya hidup
bebas, serta perilaku seksual yang dapat menyebabkan kehamilan dan kematian (Centers for
Disease Control and Prevention (CDC), 2013).
Merokok adalah salah satu contoh perilaku berisiko yang banyak sekali muncul pada
masyarakat Indonesia, baik itu anak-anak, remaja, maupun dewasa. Padahal rokok adalah
salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut WHO, diduga hingga menjelang
2030 kematian akibat merokok akan mencapai 10 juta orang per tahun (Tim Penulis
Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012). Dalam sebuah media on-line dituliskan bahwa usia mulai
merokok pada remaja mengalami peningkatan. Menurut data hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 dan 2010, terjadi kecenderungan peningkatan usia mulai merokok
pada usia yang lebih muda. Menurut Riskesdas 2007, umur pertama kali merokok pada usia
15 sampai 19 tahun sebesar 33,1%, sedangkan menurut Riskesdas 2010, umur pertama kali
merokok pada usia 15 sampai 19 tahun sebesar 43,3%. Selama tahun 1995 sampai 2007,
terjadi peningkatan prevalensi perokok, pada laki-laki kelompok umur 15 sampai 19 tahun
meningkat sebesar hampir 3 kali lipat dan pada perempuan meningkat 5 kali lipat. Menurut
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2004, umur mulai merokok yang tertinggi pada
kelompok umur 15 sampai 19 tahun yaitu sebesar 63,7%, dan 30,5 % penduduk Indonesia
usia >15 tahun merupakan perokok pasif dirumah (Wijaya, 2011).
Merokok juga dapat menjadi awal remaja untuk menggunakan obat-obatan terlarang atau
NAPZA.SKRRI 2007 menunjukkan remaja yang merokok berpeluang 124 kali lebih besar
untuk penyalahgunaan narkoba (Lestary dan Sugiharti, 2011) Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perilaku berisiko pada remaja khususnya di kota cukup tinggi, yaitu 22,4% laki-laki
dan 2,3% perempuan menggunakan obat terlarang, serta 42,2% remaja laki-laki dan 3%
remaja perempuan melakukan perilaku mengkonsumsi minuman keras (Depkes RI, 2004
dalam Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012). Penelitian lain tentang perilaku
berisiko yang dilakukan remaja adalah tentang perilaku tidak mentaati peraturan berlalu
lintas. Kasat Lantas Polres Sidrap, AKP Pawe Judda, menyampaikan bahwa Data Korps
Lalulintas (Korlantas) Polri menyebutkan, kasus lakalantas pada tahun 2011 sebanyak 32.657
orang meninggal dunia. Sementara tahun 2012 turun menjadi 29.654 orang, namun yang
meninggal dunia ini dinilai masih tergolong cukup tinggi dan didominasi kaum remaja
(Ronalyw, 2013). Perilaku yang menyebabkan cedera dan kekerasan lain yang banyak terjadi
adalah tawuran pelajar. Ketua Umum Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan
bahwa sepanjang enam bulan pertama tahun 2012 lembaganya mencatat ada 139 kasus
tawuran pelajar, lebih banyak dibanding periode sama tahun 2011 yang jumlahnya 128 kasus
http://eprints.ums.ac.id/37880/3/04.%20BAB%20I.pdf

2. Batasan usia remaja menurut para ahli


Berdasarkan tahapan perkembangan individu dari masa bayi hingga masa tua akhir
menurut Erickson, masa remaja dibagi menjadi tiga tahapan yakni masa remaja awal, masa
remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Adapun kriteria usia masa remaja awal
pada perempuan yaitu 13-15 tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun. Kriteria usia masa
remaja pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada laki-laki yaitu 17-19 tahun.
Sedangkan kriteria masa remaja akhir pada perempuan yaitu 18-21 tahun dan pada laki-laki
19-21 tahun (Thalib, 2010).
Menurut Papalia & Olds (dalam Jahja, 2012), masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada
usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua
puluhan tahun.
Jahja (2012) menambahkan, karena laki-laki lebih lambat matang daripada anak
perempuan, maka laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat,
meskipun pada usia 18 tahun ia telah dianggap dewasa, seperti halnya anak
perempuan. Akibatnya, seringkali laki-laki tampak kurang untuk usianya dibandingkan
dengan perempuan. Namun adanya status yang lebih matang, sangat berbeda dengan perilaku
remaja yang lebih muda.
Menurut Mappiare masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21
tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia
remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan
17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun
adalah remaja akhir (Ali & Asrori, 2006).
Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila
telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti pada ketentuan sebelumnya.
Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah (Hurlock
dalam Ali & Asrori, 2006).
Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia dua
puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah
perkembangan (Papalia, dkk., 2008).
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes
RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN adalah 10 sampai
19 tahun (Widyastuti dkk., 2009). http://digilib.uinsby.ac.id/1883/5/Bab%202.pdf
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21
tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 –15 tahun
= masa remaja awal, 15 –18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 –21 tahun =
masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja
menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 –12 tahun, masa remaja awal 12 –15
tahun, masa remaja pertengahan 15 –18 tahun, dan masa remaja akhir18 –21 tahun (Deswita,
2006:192) https://core.ac.uk/download/pdf/16508756.pdf

3. Tumbuh kembang remaja, baik pertumbuhan fisik sampai pertumbuhan organ-organ


tubuh
Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak dengan dewasa, dimana pada
masa ituterjadi perubahan biologis, intelektual, psikososial dan ekonomi. Selama periode ini,
individumengalami kematangan fisik dan seksual, peningkatan kemampuan dan mampu
membuatkeputusan edukasi dan okupasi. Remaja dapat dibagi menjadi tiga sub fase yaitu :
1. Early adolescent (11 – 14 th)
2. Middle adolescent (15 – 17 th)
3. Late adolescent (18 – 20)
Peristiwa yang paling penting pada usia remaja adalah pubertas, karena pubertas muncul
danberkembang pada rentang usia kronologis yang lebar dan berbeda menurut jenis
kelaminnya.Sangat sulit untuk membuat kategori pubertas secara kronologis karena itu untuk
mendapat polaindividu yang konsisten digunakan istilah tingkat perkembangan pubertas
tanpa melihat usia.Tingkat perkembangan pubertas dibagi dalam tingkat awal, menengah dan
lanjut. Gambaranperkembangan remaja memperlihatkan hubungan yang lebih erat dengan
tingkat perkembanganpubertas atau tingkat maturitas kelamin (TMK). Tabel TMK yang
sering digunakan adalah table Tanner yaitu :
TABEL 1. KLASIFIKASI TINGKAT MATURITAS KELAMIN ANAK PEREMPUAN
TMK Rambut Pubis Buah Dada
1 Praremaja Praremaja
2 Jarang, berpigmen sedikit, lurus atas Menonjol seperti bukit kecil, areolamelebar
mediallabia
3 Lebih hitam, mulai ikal, jumlah Mammae dan areola membesar, tidakada
bertambah kontur pemisah
4 Kasar, keriting, banyak tapi belum Areola dan papila membentuk bukit kedua
sebanyakdewasa
5 Bentuk segitiga seperti pada Matang, papila menonjol, areola
perempuandewasa tersebar sampai sebagaibagian kontur buah dada
medial paha
TABEL 2. KLASIFIKASI TINGKAT MATURITAS KELAMIN ANAK LAKI-LAKI
TMK Rambut Pubis Penis Testis
1 Tidak ada Praremaja Praremaja
2 Sedikit, panjang, pigmen sedikit Sedikit membesar Skrotum membesar,
warnamerah muda
3 Sedikit lebih gelap, mulai ikal Lebih panjang Lebih besar
4 Seperti tipe dewasa tapilebih Lebih besar, ukuran Lebis besar, skrotum
sedikit, kasar, keriting glandsdan lebar penis lebih gelap
bertambah
5 Seperti dewasa, menyebar Ukuran dewasa Ukuran dewasa
sampai medial paha

Masa remaja awal (TMK 2) pada anak perempuan biasanya antara usia 10 – 13 tahun
berlangsungselama 6 bulan – 1 tahun. Pada anak laki-laki awal tumbuh usia 10,5 – 15 tahun
yang berlangsungantara 6 bulan – 2 tahun. Masa remaja menengah (TMK 3 – 4) anak
perempuan timbul pada usia 11 – 14 tahun berlangsung sampai 2 – 3 tahun. Pada anak laki-
laki usia 12 – 15,5 tahun berlangsungantara 6 bulan – 2 tahun. Masa remaja lanjut (TMK 5)
anak perempuan rata-rata usia 13 – 17 tahundan anak laki-laki usia 14 – 16 tahun.
Tumbuh Kembang Masa Remaja Awal (Tmk 2)
Fisik
Tingkat awal pubertas TMK 2 disebabkan oleh peningkatan sekresi gonadotropin
hipofisis danhormon pertumbuhan. Terdapat bukti bahwa fenomena ini terjadi akibat
penurunan kadar melatoninyang terjadi pada usia 7 tahun. Pada anak perempuan, bentuk
payudara mulai tampak sedangkanpada 30 – 35 % anak laki-laki gejala ginekomastia sangat
variabel dan tidak selalu berhubungandengan tingkat maturasi pubertas tertentu.
Perkembangan buah dada perempuan terjadi akibatrangsangan estrogen ovarium disekresi
akibat respon terhadap FSH. Efek predominan FSH adalahmerangsang pertumbuhan ovarium
dan ini bermula satu tahun sebelum perkembangan payudara(TMK 2). Akibat lain estrogen
ovarium menyebabkan penebalan mukosa vagina, peningkatanpigmentasi, vaskularisasi dan
erotisasi labia mayora serta sedikit pembesaran klitoris dan uterus.Endometrium menebal dan
mulai berdeferensiasi sedangkan miometrium mulai meningkatkankandungan seluler
aktomiosin, kretinin kinase dan adenosin triphosphat sebagai persiapanmenstruasi dan proses
kehamilan serta persalinan. Efek lain estrogen adalah peningkatan depositglikogen dalam sel
mukosa vagina yang akan memacu pertumbuhan bakteri doederlein yaitu sejenisbakteri
pembentuk asam laktat yang mengubah lingkungan pH menjadi asam dan mempermudahpula
kemungkinan infeksi jamur
Masa TMK 2 pada anak laki-laki ditandai dengan pembesaran testis akibat pembesaran
tubulusseminiferus serta bertambah banyaknya sel leydig dan sel sertoli. Perubahan akibat
sekresitestosteron mempengaruhi pula perubahan lain seperti pembesaran epididemis
vesikula seminalisdan prostat. Dinding skrotum akan menipis disertai oleh vaskularisasi.
Keadaan ini menampakkankonfigurasi dewasa dengan bagian proksimal yang lebih sempit
serta posisi testis kiri lebih rendahdari yang kanan. Tidak lama setelah periode ini maka penis
pun mulai membesar. Ukuran lebar penis tetap lebih kurus dari panjangnya sampai pada
masa pubertas lanjut ketika terjadi akselerasipertumbuhan korpus kavernosus penis melebihi
pertumbuhan uretra sehingga terlihat penis lebihbesar seperti bentuk dewasa. Selain sekresi
testosteron terjadi pula peningkatan konsentrasiandrogen adrenal baik laki-laki maupun
perempuan akan menimbulkan pertumbuhan rambut pubisdan ketiak. Konsistensi dan
distribusi rambut pubis akan mengikuti pola tertentu sesuai dengan jeniskelamin dan secara
berurutan menurut indeks pertumbuhan pubertas. Pada masa TMK 2 rambutkelamin lurus
dan halus terlihat pada bagian tengah labia mayora pada perempuan dan sekitar basis penis
pada laki-laki. Efek androgen lain adalah peningkatan ukuran dan sekresi folikelsebacea yang
dapat menimbulkan timbulnya jerawat dan dianggap merupakan tanda karakteristikseks
sekunder.
Selama masa pubertas laki-laki terjadi perubahan fungsional dan struktural yang
dramatis. Ejakulasiterjadi bermula sebagai respon masturbasi timbul sekitar satu tahun
setelah pertumbuhan testis,pada saat timbulnya rambut pubis. Gigi taring dan molar pertama
tanggal pada awal remaja dankemudian tumbuh gigi tetap. Pra molar dan molar tumbuh
selama masa remaja. Terdapat kolaborasiyang erat antara waktu tumbuhnya molar kedua
permanen dengan menarche.
Kognitif
Perkembangan kognitif sebagian besar biasanya diuraikan dalam hubungannya dengan
usiakronologis karena itu kaitan antara tingkat perkembangan pubertas dan perkembangan
kognitif belum jelas. Carey dalam study mengenai pengenalan wajah menimpulkan bahwa
awal timbulpubertas pada anak perempuan mempunyai efek yang mengganggu proses
kognitif sebaliknyaPetterson yang mempergunakan cara kognisi yang berbeda tidak berhasil
menemukan hipotesistentang gangguan itu. Karena TMK 2 pada anak perempuan mencakup
usia antara 10 – 13 tahundan pada lelaki lebih lebar lagi antara umur 10,5 – 14,5 tahun, maka
menurut sekuens Piagetsebagian anak tersebuta anak masuk dalam kelompok tingkatan
operasional konkrit dan sebagianlainnya dalam tingkatan operasional formal. Dalam tahap
berpikir operasional formal, individu yang bersangkutan sudah mampu membangun hipotesis
terlebih dahulu sebelum memulai suatu aksi,dapat berpikir abstrak, dapat melakukan
beberapa tindakan secara serentak, dan dapat mengambilgambaran umum serta
memperkirakan akibat suatu perbuatan atau peristiwa tanpa harusmengalami dahulu
peristiwa itu.
Psikososial
Masa remaja awal harus mempunyai fungsi pada tiga bidang utama yaitu keluarga,
kelompoksebaya dan sekolah. Pada setiap bidang ini terdapat kompleks berbagai determinan
yang salingmempengaruhi agar dapat berfungsi dengan berhasil. Fungsi utama masa remaja
awal adalahdimulainya kebebasan dari lingkungan keluarga dan pada masa inilah hubungan
dalam keluargamulai terlihat merenggang. Sering pula pada masa ini secara bersamaan
terlihat tandaperkembangan pubertas berupa keinginan untuk keleluasaan pribadi, dan tidak
jarang disertaikeengganan yang makin nyata serta menjaga jarak keakraban fisis dari orang
tua yang berbeda jenis kelamin dengan anak. Keinginan remaja yang tidak terucapkan pada
orang tua untuk membuatbatas tersebut sesuai dengan keinginan mereka untuk autonomi, dan
hal ini sering menimbulkankonflik dengan orangtua yang bila tidak terselesaikan akan
menimbulkan stress. Hasil akhirnyaremaja cenderung untuk berpaling pada kelompok sebaya
yang sejenis. Persahabatan pada masaremaja awal secara khas menumbuhkan kelompok yang
sama jenis kelaminnya dengankecenderungan lebih meningkatkan aktivitas bersama
ketimbang interaksinya sendiri.
Tumbuh Kembang Masa Remaja Menengah
Fisis
Masa remaja menengah, yang sesuai dengan TMK 3 dan 4, mencakup rentang umur
kronologisantara 12 – 14 tahun bagi perempuan dan antara 12,5 – 15 tahun pada laki-laki.
Pada masa initerlihat adanya pertambahan pertumbuhan yang sangat mencolok, terjadi
akselerasi pertumbuhantinggi dan berat badan serta perkembangan karakteristik seks
sekunder lebih lanjut. Masa inimerupakan puncak kurve kecepatan pertumbuhan berat badan,
yang mengikuti puncak kurvekecepatan tinggi badan kira-kira 6 bulan sebelumnya. Pada
masa inilah terjadi deposit besar jaringan lemak pada perempuan dan massa otot pada laki-
laki. Selama periode pertumbuhan cepatpada masa remaja menengah ini, golongan
perempuan mendapat pertambahan tinggi badan rata-rata 8 cm per tahun pada umur rata-rata
12 tahun, sedangkan laki-laki pada umur rata-rata 14 tahunmendapat penambahan tinggi
badan rata-rata 10 cm per tahun.
Terlihat pola teratur proses perkembangan/kemajuan tulang kerangka dari distal menuju
proksimal,dimulai dari perkembangan tulang kaki. Kira-kira 6 bulan kemudian akan diikuti
perkembangantungkai bawah, kemudian tungkai atas. Pola yang serupa terdapat pula pada
perkembangan alatgerak atas, sehingga secara keseluruhan anak remaja terlihat ganjil karena
bentuk tangan dan kakiyang besar dan tidak proporsional. Puncak akselerasi pertumbuhan
panjang tungkai bawah akandiikuti oleh perkembangan lebar dada dan paha 4 bulan
kemudian. Perpanjangan badan danpembesaran diameter anteroposterior dada merupakan
manifestasi terakhir pertumbuhan cepatpada pubertas. Selain terdapat perbedaan seks pada
pertumbuhan jaringan lemak masa remajamenengah, terdapat pula perbedaan pola
pertumbuhan kerangka menurut jenis kelamin. Lebar biakromial terbesar pada laki-laki
ditentukan oleh androgen, sedangkan estrogen menentukan lebar diameter bitrochanter yang
akan memebri bentuk kontur perempuan dewasa.
Pada masa remaja menengah terjadi pula perkembangan karakteristik seks sekunder
perempuanberupa pembesaran payudara dan areola, dan pada masa TMK 4 lebih kurang 75%
anak gadisakan memiliki batas areola dan payudara yang lebih tegas sebagai akibat
pembesaran areola.Rambut kelamin menjadi lebih gelap, kasar, ikal dan lebih menyebar ke
arah proksimal dan lateralmenutupi mons pubis. Pada lelaki terlihat penis lebih panjang dan
lebar, testis lebih besar, danskrotum lebih berpigmen. Peristiwa yang paling dinamik adalah
timbulnya menarche pada anakperempuan yang rata-rata terjadi pada umur 12,5 tahun (pada
kultur barat). Menars dapat terjadipada setiap tahap pubertas : 10% padaTMK 2, 20% pada
TMK 3, 60% pada TMK 4, dan 10% padaTMK 5. Tetapi sebagian besar anak gadis terlihat
matur pada masa remaja menengah. Peristiwamenarche sangat erat hubungannya dengan
masa puncak kurve kecepatan penambahan tinggibadan. Masa ini ditentukan oleh berbagai
faktor, tetapi yang terpenting adalah faktor genetik.Sangat erat hubungan antara umur
menarche ibu dengan putrinya, dan lebih erat lagi antar umur menarche perempuan
bersaudara. Faktor lain yang berperan penting adalah status gizi, gadis gemuk akan mendapat
menarche lebih awal daripada yang kurus. Semua penyakit kronik yangmenggangu status
gizi atau oksigenasi jaringan akan memperlambat pola maturasi pubertas,terutama waktu
menarche.
Yang lebih bervariasi lagi adalah waktu timbulnya pertumbuhan rambut sirkum anal,
dengankecenderungan rambut aksila dan wajah akan timbul lebih lambat, yaitu setelah
rambut pubismencapai TMK 4. Rambut wajah anak laki-laki timbul mula-mula di daerah
sudut bibir atas yangkemudian akan menyebar ke arah medial. Seiring dengan pertumbuhan
rambut aksila akan munculpula bau badan akibat stimulasi androgen pada kelenjar keringat
apokrin, dan hal ini seringmenimbulkan kesadaran bahwa pada anak tersebut bahwa ia telah
mulai dewasa. Sering pulaterjadi ginekomastia anak laki-laki pada masa remaja menengah
ini; dapat bi- atau unilateral, yangdapat menetap sampai 18 bulan. Walaupun sering terjadi
dan tidak spesifik hal ini dapat sangatmeresahkan.
Kognitif
Kecenderungan perkembangan kognitif seperti telah diuraikan pada pembahasan
terdahulu masihterus berlangsung
Psikososial
Hubungan antara remaja dengan keluarga, sekolah dan kelompok sebaya pada tahap ini
masihtetap serupa dengan tahap sebelumnya. Sekolah dan kelompok sebaya mendapat porsi
lebihpenting, dan perbedaan seks pada kelompk sebaya tampak lebih jelas. Tujuan
perkembanganselama masa remaja bagi anak laki-laki lebih diwarnai keinginan untuk
memperoleh penerimaandan kebebasan yang akan lebih mudah dicapai dalam suatu
kelompok, sedangkan bagi anakperempuan untuk menumbuhkan kemampuan interpersonal
dan cinta. Kesetiaan, keterlibatan, dankeakraban tentang suatu informasi lebih berharga bagi
lingkungan anak perempuan daripada anak laki-laki
Selama masa remaja menengah, kelompok sosial dapat meluas sampai mengikutsertakan
anggotayang berbeda jenis kelaminnya dan proses pacaran pun dapat mulai terjadi. Proses
pacaran dapatberkembang dalam berbagai tahap : tahap pertama biasanya dilakukan tanpa
kontak fisik, tahapkedua berciuman dan meraba buah dada yang masih tertutup pakaian,
tahap ketiga meraba buahdada telanjang atau kemaluan, tahap keempat melakukan hubungan
seksual dengan mitra tunggal,dan tahap kelima melakukan hubungan seksual dengan mitra
multipel. Walaupun terdapat sangatbanyak variasi berbagai jenis kelompok remaja,
tampaknya sebagian besar remaja pada masa initidak sampai melakukan pacaran tahap
keempat. Dan bagi mereka yang melakukannya makaresiko untuk kehamilan yang tidak
diinginkan atau penyakit kelamin cukup tinggi, sehingga perludilakukan penerangan dan
penyuluhan untuk mencegah hal tersebut.
Selama masa remaja menengah harus sering dilakukan tindakan untuk pendidikan dan
latihankerja. Seperti telah diterangkan hubungan dengan kelompok sebaya yang seiring
dengan maturasifisis dapat mempengaruhi prestasi di sekolah. Efek fisis perkembangan
pubertas sering menyatudengan imajinasi diri seseorang, dan tidak jarang disertai dengan
akibat yang mendalam.Peningkatan aktivitas pada perkembangan maturitas dapat dirasakan
negatif oleh seorang gadissampai mungkin memuncak menjadi anoreksia nervosa.
Perkembangan buah dada yang tidaksimetrik akan menimbulkan perasaan sebagai abnormal.
Imajinasi diri yang keliru seperti itumerupakan masalah yang sering terjadi terutama pada
anak perempuan dan para penderitapenyakit kronik. Perkembangan imajinasi diri ini
melibatkan pula berbagai pengalaman coba-cobaatau eksperimen dalam lingkup sosial yang
berbeda. Menurut kategori Erikson tentang krisiskehidupan, maka tahap ini merupakan
penentuan jati diri atau perkembangan identitas. Pada masaitu pula identitas seksual akan
lebih mengental dan akan terjadi perkembangan rasa seksual yangadekuat
Tumbuh Kembang Masa Remaja Lanjut
Fisis
Pada masa ini proporsi dan ukuran tubuh sudah menyerupai ukuran dewasa muda. Hanya
terjadisedikit peningkatan pertumbuhan linear setelah melewati masa pertumbuhan cepat
remajamenengah. Sisa epifisis seperti pada femur, humerus dan sterno kalvikula akan
menutup palinglambat pada masa awal umur dupuluhan. Perkembangan karakteristik seks
sekunder menjadituntas dengan pertumbuhan rambut kelamin yang menyebar sampai bagian
medial paha pada laki-laki dan perempuan, penampilan alat kelamin dewasa dan kapasitas
reproduktif penuh pada laki-laki, serta penampilan buah dada dewasa pada perempuan.
Rambut wajah laki-laki tumbuh sampaidaerah dagu, dan bulu dada akan muncul sebagai
bagian terakhir pertumbuhan rambut tubuh.Suara berat dan dalam akan muncul lengkap
akibat pengaruh testosteron merangsangpertumbuhan tulang rawan tiroid dan krikoid, serta
otot larings. Pada perempuan, uterus akanmencapai bentuk dewasa dengan fundus yang besar
dan serviks yang lebih kecil.
Psikososial
Pada periode ini seringkali masalah penentuan karir sudah harus dihadapi dengan berat,
bahkankadangkala sudah harus ditentukan. Perasaan ingin memberontak yang sering muncul
pada periodesebelumnya secara bertahap akan berubah kembali menjadi pendekatan pada
keluarga, tetapidengan sikap yang sudah berbeda dari sebelumnya. Walaupun masih sering
berpikir moralistis danabsolut, remaja pada tahap ini sudah mampu berdialog dengan orangtua.
Mulai timbul pulakemampuan untuk terlibat dalam hubungan interpersonal yang empatik;
seringkali hubunganseksual sebelumnya yang eksploitatif dan narsistik akan berubah.
https://www.scribd.com/document/51634258/Tumbuh-Kembang-Remaja

4. Berbagi hal yang dibutuhkan remaja


kebutuhan remaja dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu kebutuhan fisik dan psikologis.
Pertumbuhan fisik dan perkembangan sosial-psikologis di masa remaja pada dasarnya
merupakan kelanjutan, yang dapat diartikan penyempurnaan, proses pertumbuhan, dan
perkembangan dari proses sebelumnya. Seperti halnya pertumbuhan fisik yang ditandai
dengan munculnya tanda-tanda kelamin sekunder merupakan awal masa remaja sebagai
indikator menuju tingkat kematangan fungsi seksual seseorang. Sekalipun diakui bahwa
kebutuhan dalam pertumbuhan fisik dan kebutuhan sosial psikologis yang lebih menonjol.
Bahwa antara kebutuhan keduanya (fisik dan psikologis) saling terkait. Oleh karena itu,
pembagian yang memisahkan kebutuhan atas dasar kebutuhan fisik dan psikologis pada
dasarnya sulit dilakukan secara tegas. Sebagai contoh, “makan” adalah upaya untuk
memenuhi kebutuhan fisik, akan tetapi pada jenjang masa remaja “makan dilakukan bersama
dengan orang tertentu/orang lain”, “makan dengan mengikuti aturan atau norma” yang
berlaku didalam budaya kehidupan masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak hanya
dikelompokkan sebagai kebutuhan fisik semata. Kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam kebutuhan sosial emosional. (Fadullah, 2011)
Lima jenis kebutuhan menurut Maslow itu adalah sebagai berikut :
1) Kebutuhan“Fisiologis”
Kebutuhan yang mendapat prioritas utama yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
kondisi fisik, yang disebut “kebutuhan fisiologis”. Contoh dari kebutuhan ini adalah
makan, minum, tempat tinggal, pemuasan seksual, udara segar, istirahat dan
sebagainya.
2) Kebutuhan“Rasa Aman dan Tentram”
Kebutuhan rasa aman dan tentram (safety and security) ini tidak hanya bersifat
fisik, tetapi juga bersifat psikis misalnya terbebas dari gangguan dan ancaman serta
permasalahan yang dapat mengganggu ketenangan hidup seseorang.
3) Kebutuhan akan “Cinta dan rasa memiliki” Kebutuhan ini (love and belongingness)
diaktualisasikan dalam bentuk :
a. Perasaan diterima oleh orang lain,
b. Merasa bahwa dirinya penting,
c. Diikut sertakan dalam kehidupan kelompok.
4) Kebutuhan “harga diri”
Kebutuhan ini lebih sering dikaitkan dengan prilaku ataupun sifat seseorang yang
nantinya akan mencerminkan harga diri orang tersebut. Dalam beberapa kasus,
kebutuhan ini akan sangat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap orang tersebut
Menurut Elida Prayitno (2006:31) kebutuhan psikologis remaja dibagai atas:
1) Kebutuhan mendapat status
Remaja membutuhkan perasaan bahwa dirinya berguna, penting, dibutuhkan
orang lain atau memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Remaja butuh
kebanggaan untuk dikenal dan diterima sebagai individu yang berarti dalam
kelompok teman sebayanya. Penerimaan dan dibanggakan oleh kelompok sangat
penting bagi remaja dalam mencari kepercayaan diri dan kemandirian sebagai
persiapan awal untuk menempuh kehidupan pada periode dewasa. (Fadullah, 2011)
2) Kebutuhan kemandirian
Remaja ingin lepas dari pembatasan atau aturan orang tua dan mencoba
mengarahkan atau mendisiplinkan diri sendiri. Remaja ingin bebas dari tingkah laku
orang tuanya yang terlalu mencampuri kegiatannya. Remaja ingin mengatur
kehidupannya sendiri. (Fadullah, 2011)
3) Kebutuhan berprestasi
Remaja ingin dirinya dihargai dan dibanggakan atas usaha dan prestasinya dalam
belajar. (Fadullah, 2011)
4) Kebutuhan diakrabi
Remaja butuh ide atau pemikirannya, kebutuhan atau masalahnya didengarkan
dan ditanggapi secara akrab (penuh perhatian) oleh orang tua, guru, dan teman
sebayanya. (Fadullah, 2011)
5) Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup
Remaja butuh pegangan hidup mengenai kebenaran agar mereka memiliki
kepribadian yang stabil dan terintegrasi. (Fadullah, 2011)
https://www.scribd.com/document/339217010/KEBUTUHAN-REMAJA

5. Perilaku seksual beresiko


Berdasarkan Duvall& Miller (dalam Khairunisa, 2013) mengatakan bahwa bentuk perilaku
seksual beresiko mengalami peningkatan secara bertahap. Beberapa bentuk perilaku seksual
beresiko remaja meliputi:
a. Berpegangan Tangan
Berpegangan tangan tidak terlalu menimbulkan rangsangan seks yang kuat. Namun
biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga
kepuasan seksual dapat tercapai).
b. Ciuman Kering
Ciuman kering adalah aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan bibir.
Dampaknya adalah dapat menimbulkan imajinasi atau fantasi yang disertai
dengan meningkatnya keinginan untuk melakukan aktivitas seksual lain.
c. Ciuman Basah
Ciuman basah adalah aktivitas seksual yang berupa sentuhan bibir. Ciuman
basah dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat mengakibatkan dorongan
seksual sehingga tak terkendali. Orang akan mudah melakukan aktivitas seksual
selanjutnya tanpa disadari seperti petting bahkan senggama.
d. Berpelukan
Berpelukan dapat menimbulkan perasaan tegang, aman dan nyaman disertai
dengan rangsangan seksual terutama bila mengenai daerah sensitif.
e. Berfantasi atau Berimajinasi
Berfantasi atau berimajinasi adalah salah satu bentuk membayangkan
aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.
f. Meraba
Meraba merupakan aktivitas meraba bagian-bagian sensitif rangsangan
seksual, seperti payudara, leher, paha atas, vagina, penis, dan lain-lain. Aktivitas
meraba dapat melemahkan kontrol diri sehingga dapat berlanjut ke aktivitas
seksual lainnya seperti petting bahkan senggama.
g. Masturbasi
Masturbasi adalah suatu usaha merangsang bagian tubuh sendiri dengan tujuan
mencapai kepuasan seksual. Pada laki-laki biasanya merangsang alat genital,
sedang pada perempuan lebih beragam biasanya dengan merangsang alat
genital, payudara atau tubuh yang lainnya.
h. Petting
Istilah petting secara tradisional digunakan untuk menggambarkan usaha
merangsang bagaian tubuh tertentu yang saling dilakukan oleh pasangan, namun
tidak sampai pada hubungan seksual. Aktivitas yang termasuk di dalamnya
adalah ciuman bibir, rangsangan payudara, rangsangan alat genital manual
i. Oral Seks
Oral seks adalah masuknya penis ke mulut yang kemudian memberikan
rangsangan sehingga mencapai orgasme.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/13867/BAB%20II.pdf?seque
nce=5&isAllowed=y

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan
lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 1994)

Menurut Kinsey, dkk. (1965) dalam Hidayana (1997) dalam Sari (2011), tahapan perilaku
seksual terdiri dari empat tahap, yaitu:

1. Bersentuhan (touching), mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan;


2. Berciuman (kissing), mulai dari berciuman dengan mulut ditutup sampai dengan
bibir dan mulut terbuka dan menggunakan lidah disebut frenchkiss;
3. Bercumbu (petting), menyentuh bagian yang sensitif dari tubuh pasangan dan mengarah
pada pembangkitan gairah seksual antara lain dengan cara merasakan dan
mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki sampai daerah
kemaluan baik dari luar maupun di dalam pakaian;
4. Berhubungan intim/ hubungan seksual. Menurut damayanti (2007), perilaku seksual yang
berisiko adalah pola pacaran yang berisiko untuk melakukan hubungan seksual. Perilaku
seksual berisiko tersebut adalah meraba/merangsang.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S45748-Ahmad%20Robi

6. Data jumlah remaja dengan masalah kesehatan perilaku seksual beresiko di seluruh
Indonesia
Dari hasil penelitian, didapatkan angka bahwa perilaku meraba/merangsang, yaitu
perilaku seksual berisiko, dilakukan sebanyak 1664 remaja (10,2%) pada tahun 2010.
Pada tahun 2011, 1653 remaja (11,3%) mengaku melakukan perilaku meraba/merangsang
dan 1086 remaja (7,5%) melakukan perilaku serupa pada tahun 2012. Dari data di atas,
rata-rata 9,7% remaja yang pernah memiliki pacar di Indonesia melakukan perilaku
meraba/merangsang
Dari hasil penelitian, diperoleh pula gambaran karakteristik remaja bahwa sebagian
besar remaja berada pada kelompok umur 15-19 tahun yaitu 8977 remaja (54,9%) pada
tahun 2010, 8008 remaja (54,5%) pada tahun 2011, dan 8256 remaja (56,9%) pada
tahun 2012. Kelompok umur berhubungan dengan perilaku seksual berisiko pada remaja
pada tahun 2010 hingga 2012 dimana kelompok umur 20-24 tahun lebih berisiko
dibandingkan kelompok umur 15-19 tahun (OR: 1,80 pada tahun 2010; 1,71 pada
tahun 2011; 1,84 pada tahun 2012)
Gambaran jenis kelamin remaja didapatkan bahwa sebagian besar remaja berjenis
kelamin laki-laki yaitu 8520 remaja (52,1%) pada tahun 2010, 7506 remaja (51,1%) pada
tahun 2011, dan 7520 remaja (51,8%) pada tahun 2012. Jenis Kelamin berhubungan
dengan perilaku seksual berisiko pada remaja dari tahun 2010 hingga 2012 dimana
remaja laki-laki lebih berisiko ibandingkan remaja perempuan (OR: 2,1 pada tahun 2010;
1,72 pada tahun 2011; 2,47 pada tahun 2012).
Gambaran tingkat pendidikan remaja didapatkan bahwa sebagian besar remaja
berpendidikan SLTA yaitu 7526 remaja (46,1%) pada tahun 2010, 6734 remaja (45,9%)
pada tahun 2011, dan 6325 remaja (43,6%) pada tahun 2012. Tingkat pendidikan
berhubungan dengan perilaku seksual berisiko pada remaja pada tahun 2010 dan 2012
dimana tingkat risiko remaja tidak tamat SD hingga tamat SLTP cenderung menurun
dan tingkat risiko remaja tamat SLTA hingga tamat >SLTA cenderung meningkat. Remaja
yang tidak pernah sekolah menjadi kelompok pembanding bagi kelompok lainnya.
Gambaran sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah didapatkan
informasi bahwa sebagian besar remaja bersikap tidak setuju terhadap hubungan seksual
pranikah yaitu 14772 remaja (90,4%) pada tahun 2010, 13025 remaja (88,7%) pada tahun
2011, dan 13496 remaja (93,0%) pada tahun 2012. Sikap remaja ini berhubungan
dengan perilaku seksual berisiko pada remaja dari tahun 2010 hingga 2012 dimana
remaja yang setuju terhadap hubungan seksual pranikah lebih berisiko dibandingkan
remaja yang tidak setuju (OR: 7,44 pada tahun 2010; 8,22 pada tahun 2011; 9,34 pada tahun
2012)
Gambaran pengetahuan remaja tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro) dan
Keluarga Berencana (KB) didapatkan informasi bahwa sebagian besar remaja
bahwa sebagian besar remaja berpengetahuan Kespro dan KB kurang yaitu 9012
remaja (55,1%) pada tahun 2010, 7862 remaja (53,6%) pada tahun 2011, dan 7711
remaja (53,1%) pada tahun 2012. Pengetahuan Kespro dan KB ini berhubungan dengan
perilaku seksual berisiko pada remaja tahun 2010 dimana remaja yang berpengetahuan
Kespro dan KB kategori baik lebih berisiko dibandingkan remaja yang berpengetahuan
Kespro dan KB kategori cukup dan kurang (OR: 1,28dibandingkan pengetahuan
cukup dan 1,38 dibandingkan pengetahuan kurang).
Gambaran daerah tempat tinggal remaja didapatkan informasi bahwa sebagian besar
remaja tinggal di pedesaan yaitu 8644 remaja (52,9%) pada tahun 2010, 9029 remaja
(61,5%) pada tahun 2011, dan 7471 remaja (51,5%) pada tahun 2012. Daerah tempat
tinggal ini berhubungan dengan perilaku seksual berisiko pada remaja tahun 2010
dimana remaja yang tinggal di pedesaan lebih berisiko dibandingkan remaja yang
tinggal di perkotaan (OR: 1,24)
Gambaran status pernah mengkonsumsi NAPZ didapatkan informasi bahwa sebagian
besar remaja tidak pernah mengkonsumsi NAPZA yaitu 15349 remaja (93,9%) pada
tahun 2010, 13938 remaja (94,9%) pada tahun 2011, dan 14051 remaja (96,8%)
pada tahun 2012. Status pernah mengkonsumsi NAPZA ini berhubungan dengan
perilaku seksual berisiko pada remaja dari tahun 2010 hingga 2012 dimana remaja
yang pernah mengkonsumsi NAPZA lebih berisiko dibandingkan remaja yang tidak pernah
mengkonsumsi NAPZA (OR: 4,84 pada tahun 2010; 5,79 pada tahun 2011; 7,78 pada
tahun 2012)
Pada pemodelan perilaku seksual berisiko tahun 2010 hingga 2012, didapatkan
determinan perilaku tersebut adalah kelompok umur, sikap remaja terhadap
hubungan seksual pranikah, dan status pernah mengkonsumsi NAPZA. Determinan
yang lain pada tahun 2010 adalah jenis kelamin. Pada tahun 2011, tidak ditemukan
determinan selain kelompok umur, sikap remaja, dan status pernah mengkonsumsi
NAPZA. Pada tahun 2012, determinan lainnya adalah jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan pengetahuan Kespro dan KB. Pada ketiga model tersebut, determinan
yang paling dominan adalah sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah dengan
nilai OR=5,95 pada tahun 2010, OR=6,94 pada tahun 2011, dan OR=7,57 pada tahun
2012.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S45748-Ahmad%20Robi

7. Penyebab remaja mengalami perilaku seksual beresiko


Remaja merupakan kelompok potensial yang perlu mendapat perhatian serius. Proporsi
penduduk berusia remaja menunjukkan angka yang cukup besar. lebih dari seperempat
penduduk dunia adalah remaja berusia antara 10-24 tahun. Sebagian besar remaja tinggal di
Negara berkembang. Tahun 2007, jumlah remaja umur 10-24 tahun di Indonesia berdasarkan
Proyeksi Penduduk Remaja tahun 2000-2025 terdapat sekitar 64 juta atau 28,64% dari
jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta.1 Dengari adanya dorongan seksual, perilaku
remaja mulai diarahkan untuk menarik perhatian lawan jenisnya, dan dalam rangka mencari
pengetahuan mengenai seks, ada remaja yang melakukannya dengan cara terbuka bahkan
mulai mencoba bereksperimen dalam kehidupan seksual, misalnya melaiui pacaran.
Dengan berpacaran, mereka mengekspresikan perasaannya dalam bentukbentuk perilaku
yang menuntut keintiman secara fisik dengan pasangannya seperti berciuman, bercumbu dan
seterusnya. Banyak remaja mengalami maturity- gap yaitu perbedaan kematangan secara
fisik dan mental. Perbedaan kematangan ini dapat mendorong remaja untuk melakukan hal-
hal yang menyimpang Dengan demikian, remaja dianggap sebagai kelompok yang
mempunyai risiko secara seksual maupun kesehatan reproduksi, karena rasa
keingintahuannya yang besar dan ingin mencoba sesuatu yang baru. Dimana hal itu kadang
tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kedewasaan yang cukup serta pengalaman yang
terbatas. Kematangan seks yang lebih cepat dengan dibarengi ma kin lamanya usia untuk
menikah menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah remaja yang melakukan
hubungan seks pranikah. Sebagai dampaknya, aktifitas seksual yang mendekati hubungan
kelamin cukup tingg1 ' Hal ini tentu dapat menimbulkan beberapr konsekuensi seperti
kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi, terinfeksi penyaidt menular seksual bahkan
HIV/AIDS.
Seks pranikah bagi masyarakat Indonesia masih dipandang sebagai perbuatan yang tidak
bisa diterima, baik secara sosial maupun budaya. Meskipun saat ini kaummuda cenderung
lebih toleran terhadap hal ini. Dari semua golongan usia yang terlibat aktivitas seksual aktif,
yang paling menarik untuk dibicarakan adalah mahasiswa, yang berada dalam golongan
remaja akhir dan dewasa awal, yaitu sebagai usia dimana kematangan seks sudah memasuki
masamasa puncak. Dengan adanya dorongan seksual yang menggebu tersebut disertai adanya
tuntutan untuk menyelesaikan kuhah terlebih dahulu sebelum menikah, maka apabila tidak
dapat mengendalikan nafsu dan dorongan seksualnya, masa tenggat ini sangat rentan bagi
mereka untuk melakukan hubungan seks pranikah. Kasus tersebut saat ini semakin merebak
di kampus, yang dapal mengakibatkan generasi muda yang diharapkan bangsa menjadi
kehilangan arah. Beberapa penelitian mengenai perilaku seks mahasiswa sudah banyak
dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Hudi Winarso tahun 2002 pada 180
mahasiswa usia 19-23 tahun di beberapa perguruan tinggi negeri di Surabaya, dinyatakan
bahwa ada hubungan yang sigmfikan antara jenis kelamin dengan hubungan seksual
pranikah, dimana diperoleh hasil 40% mahasiswa laki-laki dan 7% mahasiswa perempuan
telah melakukan hubungan seksual pranikah.9 Hasil yang tidak jauh berbeda dnarjorkan oleh
penelitian yang dilaksanakan oleh Shaluhiyah (2006) terhadap mahasiswa di beberapa
universitas di tiga kota di Jawa Tengah, yaitu Semarang, Solo dan Purwokerio menunjukkan
bahwa 22% resnonden laki-laki dan 6% responded perempuan sudah melakukan hubungan
seksual.
Remaja juga merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh
arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Informasi yang paling cepat diterima
dan banyak mempengaruhi remaja antara lain melalui media, baik yang berupa majalah, surat
kabar, tabloid, maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan internet.11 Seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh "HEART" FKM UNHAS pada tahun 2008 terhadap 2.135
mahasiswa UNHAS mengenai akses media pornografi didapatkan hasil 314 (15%) melalui
CD/DVD, 283 (13%) handphone, 535 (25%) internet, 55 (3%) majalah dan sisanya melalui
media lainnya.9 Hasil survey Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12
kota besar pada tahun 2007 menyatakan bahwa alasan mereka menyaksikan materi
pornografi karena iseng (27%), terbawa teman (10%), takut diolokolok teman (4%). Melihat
materi pornografi di rumah/kamar mandi (36%), rumah teman (12%), waning internet (18%)
dan rental 3%.
Bagi remaja yang berstatus mahasiswa yang tergolong sebagai remaja akhir yang
pertumbuhan jasmaninya sudah matang, dengan menyaksikan materi pornografi tersebut
tentu akan menimbulkan dorongan seks yang cukup kuat. Dorongan seks yang kuat tersebut
akan membawa mahasiswa kepada bermacam-macam tindakan yang merugikan dirinya.
Untuk itulah remaja membutuhkan agama sebagai pengendali dirinya dalam memantapkan
kepribadian dan dapat mengontrol perilakunya. Hasil penelitian terhadap 79 mahasiswa
UNWAMA Yogyakarta tahun 2004 menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat
religiusitas dengan pengendalian dorongan seksual. Semakin tinggi tingkat religiusitas maka
pengendalian dorongan seksualnya juga semakin tinggi.
Penelitian tentang beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pada mahasiswa yang
ada di Kota Pekalongan ini difokuskan pada 2 hal, yaitu terhadap perilaku seks yang
melakukan dan tidak melakukan intercourse. Meskipun demikian pada penelitian ini juga
dilakukan pengambilan data tentang perilaku seks yang lain yaitu masturbasi/onani, kissing,
necking, petting, oral seks dan anal seks, namun yang menjadi fokus pada penelitian ini
hanya perilaku seks pranikah yang berisiko yaitu intercourse (hubungan seksual).
Website : https://media.neliti.com/media/publications/20162-ID-faktor-faktor-yang-
berhubungan-dengan-perilaku-berisiko-remaja-di-kota-makassar.pdf

8. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja


a. Umur
Menurut Depkes (2008) umur adalah masa hidup responden dalam tahun
dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun terakhir (Depkes,
2008). Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Musthofa dan Winarti pada mahasiswa
di Pekalongan, diketahui bahwa terhapat hubungan yang signifikan antara umur
dengan perilaku seksual (MusthofadanWinarti, 2010)
b. Tempat tinggal
Tempat tinggal menurut Depkes adalah lokasi rumah sesorang yang
dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan (Depkes, 2008). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Voeten, Egasah, dan Hebbema di Provinsi Nyanza,
Kenya diketahui bahwa perilaku seksual wanita di pedesaan lebih berisiko
dibandingkan di perkotaan. Sedangkan untuk pria, perilaku seksual sama tinggi
untuk daerah pedesaan dan perkotaan (Voeten et al., 2004).
Hasil riset Sabon menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara tempat tinggal dengan perilaku berisiko HIV/AIDS (perilaku seksual)
berdasarkan SKRRI 2002-2003, dimana perilaku berisiko remaja perkotaan lebih
tinggi daripada remaja pedesaan (Sabon, 2003)
c. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara
intelektual dan emosional. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah
dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan hasil studi di Remaja dengan tingkat pendidikan tinggi
kecenderungan berperilaku berisiko lebih besar dibandingkan remaja yang
berpendidikan rendah (Hidayangsih et al., 2011, Depkes, 2008). Demikian pula
hasil penelitian yang dilakukan da remaja di Pasir Gunung Selatan, Depok tahun
2012. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan perilaku
seksual, dimana remaja yang pendidikannya lebih tinggi memiliki peluang lebih besar
sebanyak 1,89 kali dibandingkan remaja dengan pendidikan lebih rendah (Dewi, 2012)
d. Pengetahuan
Menurut Bloom dan Skinner, pengetahuan merupakan kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban
baik lisan, atau tuliasan yang merupakan stimulasi dari pertanyaan. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain terpenting dalam membentuk tindakan seseorang
(overt behavior)
e. Sikap
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Widayatun,
2009)
Sikap tumbuh diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu
hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan ke
dalam dirinya. Dari apa yang diketahui tersebut akan berpengaruh pada perilakunya.
Kalau apa yang dipersepsikan tersebut bersifat positif, maka seseorang cenderung
berperilaku sesuai dengan persepsinya. Sebab ia merasa setuju dengan apa yang
diketahuinya. Namun sebaliknya, kalau ia mempersipkan secara negatif, maka
ia cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam perilakunya. Tetapi
seringkali dalam kehidupan realitasnya, ada banyak faktor lain yang emperngaruhi
seseorang, bukan hanya sikap dan pengetahuan seseorang, melainkan bisa juga
lingkungan sosial, situasi, atau kesempatan. Akibatnya perilakunya tidak konsisten
dengan pengetahuan dan sikapnya (AmaliyasaridanPuspitasari, 2008)
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31079/1/Nadra%20Ann
iswah-FKIK.pdf.
9. Pola asuh keluarga
A. Pola Asuh Orang Tua
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008:1088) bahwa “pola adalah model, sistem, atau cara kerja”, Asuh adalah “menjaga,
merawat, mendidik, membimbing, membantu, melatih, dan sebagainya” Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:96). Sedangkan arrti orang tua menurut Nasution dan Nurhalijah
(1986:1) “Orang tua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau
tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu.”
Gunarsa (2000:44) mengemukakan bahwa “Pola asuh tidak lain merupakan metode atau
cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang meliputi bagaimana pendidik
memperlakukan anak didiknya.” Jadi yang dimaksud pendidik adalah orang tua terutama
ayah dan ibu atau wali.
Casmini (dalam Palupi, 2007:3) menyebutkan bahwa: Pola asuh sendiri memiliki definisi
bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan
serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya
pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.
Menurut Thoha (1996:109) menyebutkan bahwa “Pola Asuh orang tua adalah merupakan
suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan
dari rasa tanggung jawab kepada anak.”
Sedangkan menurut Kohn (dalam Thoha, 1996:110) mengemukakan: Pola asuh
merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari
berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan pengaturan kepada anak, cara
memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua
memberikan perhatian, tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang
dimaksud dengan Pola Asuh Orang Tua adalah bagaimana cara mendidik anak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pola asuh orang tua adalah suatu proses interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi
kegiatan seperti memelihara, mendidik, membimbing serta mendisplinkan dalam mencapai
proses kedewasaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Jenis-Jenis Pola Asuh
Orang Tua Terdapat perbedaan yang berbeda-beda dalam mengelompokkan pola asuh orang
tua daam mendidik anak, yang antara satu dengan yang lainnya hampir mempunyai
persamaan. Diantaranya sebagai berikut:
Menurut Hourlock (dalam Thoha, 1996 : 111-112) mengemukakan ada tiga jenis pola
asuh orang tua terhadap anaknya, yakni :
1) Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan
aturanaturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti
dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.
2) Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan
orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu
tergantung pada orang tua.
3) Pola Asuh Permisif Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak
yang cenderung bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi
kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.

Menurut Baumrind (dalam Dariyo, 2004:98) membagi pola asuh orang tua menjadi 4
macam, yaitu:

1. Pola Asuh Otoriter (parent oriented) Ciri pola asuh ini menekankan segala aturan orang
tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh
anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan
oleh orang tua.
2. Pola Asuh Permisif Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan
ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang
tua, orang tua menuruti segala kemauan anak.
3. Pola Asuh demokratis Kedudukan antara anak dan orang tua sejajar. Suatu keputusan
diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan
yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus di bawah
pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral
4. Pola Asuh Situasional Orang tua yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada
pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.

Menurut Baumrind (dalam King, 2010:172) bahwa orang tua berinteraksi dengan
anaknya lewat salah satu dari empat cara:

1. Pola Asuh Authoritarian Pola asuh authoritarian merupakan pola asuh yang
membatasi dan menghukum. Orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan
mereka dan menghargai kerja keras serta usaha. Orang tua authoritarian secara jelas
membatasi dan mengendalikan anak dengan sedikit pertukaran verbal.
2. Pola asuh Authoritative Pola asuh authoritative mendorong anak untuk mandiri
namun tetap meletakkan batas-batas dan kendali atas tindakan mereka. Pertukaran
verbal masih diizinkan dan orang tua menunjukkan kehangatan serta mengasuh anak
mereka.
3. Pola Asuh Neglectful Pola asuh neglectful merupakan gaya pola asuh di mana mereka
tidak terlibat dalam kehidupan anak mereka. Anak-anak dengan orang tua neglectful
mungkin merasa bahwa ada hal lain dalam kehidupan orang tua dibandingkan dengan
diri mereka.
4. Pola Asuh Indulgent “ Pola asuh indulgent merupakan gaya pola asuh di mana orang
tua terlibat dengan anak mereka namun hanya memberikan hanya sedikit batasan
pada mereka. Orang tua yang demikian membiarkan anakanak mereka melakukan apa
yang diinginkan.
Menurut Yatim dan Irwanto (1991: 96-97). Ada tiga cara yang digunakan oleh orang tua
dalam mendidik anak-anaknya. Ketiga pola tersebut adalah:
1. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter ditandai dengan adanya aturan-aturan yang
kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi, orang tua memaksa anak untuk
berperilaku seperti yang diinginkannya. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua
akan menghukum anak, biasanya hukuman yang bersifat fisik.
2. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka
antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui
bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan, dan
keinginannya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain.
3. Pola Asuh Permisif Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan yang diberikan
pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak
pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan
kepada anak tanpa adanya pertimbangan orang tua.
Hardy dan Heyes (1986:131) mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan
orang tua dalam keluarga, yaitu :
1. Autokratis (Otoriter) Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua
dan kebebasan anak sangat di batasi.
2. Demokratis Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
3. Permisif Ditandai dengan adanya kebebasan pada anak untuk berprilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri.
4. Laissez faire Pola ini ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.
Dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas pada intinya hampir sama. Misalnya saja
antara pola asuh parent oriented, authoritarian, otoriter, semuanya menekankan pada
sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya
dengan pola asuh authoritative atau demokratis menekankan sikap terbuka dari orang
tua terhadap anak. Sedangkan pola asuh neglectful,indulgent, children centered,
permisif dan laissez faire orang tua cenderung membiarkan atau tanpa ikut campur,
bebas, acuh tak acuh, apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua, orang tua
menuruti segala kemauan anak.
10. Cara keluarga mengasuh dan merawat remaja yang telah membudaya di Indonesia
Dewasa ini masyarakat Indonesia sudah banyak yang sikapnya menyimpang dari nila-
nilai, moral, budaya dan agama. Bahkan mayoritas pelakunya adalah anak remaja yang masih
duduk di bangku sekolah yang seharusnya mereka bisa menempatkan pendidikan kepribadian
yang mereka peroleh untuk hal-hal yang baik dan menerapkan sebagaimana mestinya.
Pendidikan di Indonesia masih dapat dikatakan tertinggal dibandingkan pendidikan di
negara-negara maju. Oleh karena itu sikap, tanggung jawab, ilmu pengetahuan dan
perkembangan teknologi yang dimiliki juga masih tertinggal jauh. Dampak globalisasi yang
terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa.
Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu
ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa
yang apabila dididik dengan cara yang bijaksana akan menghasilkan produk anak bangsa
yang berkarakter dan berjiwa besar.
Untuk membentuk karakter anak yang baik, di sekolah telah diajarkan pendidikan
kepribadian yang tujuannya untuk mewujudkan perilaku yang mengedepankan keimanan dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan Kepribadian juga dapat diartikan
sebagai Pendidikan Karakter yang akan membentuk karakter baik pada diri anak. Landasan
untuk membentuk karakter baik tersebut tentu datang dari keyakinan yang dimiliki anak
didik itu sendiri. Pendidikan Agama yang diajarkan oleh orang tua dan guru di sekolah
merupakan pedoman anak untuk membentuk karakter pribadinya. Sedangkan yang menjadi
masalah saat ini adalah pemerintah Indonesia sedang kesulitan untuk menerapkan sistem
pendidikan karakter guna mendidik anak dan para generasi penerus bangsa menjadi manusia
yang berkarakter dan bermartabat.
Hakikat Pendidikan Karakter
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, dengan diberi
awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti “proses pengubahan sikap dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.” Sedangkan arti mendidik itu
sendiri adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti
“pendidikan” dan paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan orang
yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri
disebut paedagogos.
Berpijak dari istilah di atas, pendidikan bisa diartikan sebagai usaha yag dilakukan orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing/memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Atau dengan kata lain pendidikan
ialah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam
pertumbuhannya baik jasmani maupun rohani agar berguna bagi diri sendiri dan
masyarakatnya.
Sedangkan pendidikan menurut John Dewey dalam Muslich (2011) adalah proses
pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan
sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai penerus
generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma
tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.
Tujuan Pendidikan Karakter
Berdasarkan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Kepribadian mengarahkan perhatian pada moral yang
diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman
dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai
golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung
kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan
golongan sehingga perbedaan pemikiran, diarahkan pada perilaku yang mendukung upaya
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pendidikan diartikan
sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab yang harus dimiliki
seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam
bidang profesi tertentu. Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus
menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Menurut Kabul Budiyono (2007) Pendidikan Kepribadian atau Pendidikan Karakater
bertujuan untuk menghasilkan peserta didik dengan sikap dan perilaku, yaitu:
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Berperi- kemanusiaan yang adil dan beradap.
3. Mendukung persatuan bangsa.
4. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
individu dan golongan.
5. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dalam masyarakat. Melalui
Pendidikan Kepribadian, warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu
memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan
tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945.
Pembentukan Karakter
Karakter merupakan akar kata dari bahasa latin yang berarti dipahat (Mark Rutland:
2009, 3). Kehidupan seperti balok besi, bila dipahat dengan penuh kehati- hatian akan
menjadi sebuah karya besar yang mengagumkan. Sama halnya dengan karakter anak,
apabila kita mengarahkan dan menbentuk karakter pada anak dengan penuh kehati-hatian
dan dengan cara yang tepat maka akan dihasilkan karakter anak yang baik pula. Maka
dari itu, karakter merupakan kualitas atas kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi
pekerti seseorang yang menjadi kepribadian khusus sebagai pendorong dan penggerak
serta membedakannya dengan yang lain.
Dalam upaya mendidik karakter anak, maka harus disesuaikan dengan dunia anak
tersebut. Selain itu juga harus disesuaikan sengan pertumbuhan dan perkembangan anak
tersebut. Melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial anak bisa
mengetahui dan mengembangkan karakter yang ia miliki. Sehingga, dalam hal ini ketiga
lingkungan tersebut haruslah menjadi lingkungan yang baik dan positif, terutama
lingkungan keluarga. Keluarga merupakan dunia pertama yang akan ditemui dan di alami
anak. Maka dari itu, orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembentukan karakter anak. Pendidikan Agama merupakan pendidikan terpenting yang
harus diajarkan dan ditanamkan kepada anak sejak dini. Karena agama sebagai unsur
esensi dalam kepribadian manusia dapat memberikan peranan positif dalam perjalanan
kehidupan manusia, selain kebenarannya masih dapat diyakini secara mutlak. Pendidikan
agama berperan sebagai pengendali dan pengontrol tingkah laku atau perbuatan yang
terlahir dari sebuah keinginan yang berdasarkan emosi. Jika pendidikan agama sudah
terbiasa dijadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan sudah
ditanamkannya sejak dini, maka tingkah lakunya akan lebih terkendali dan terkontrol
Teori Pembentukan Karakter
Sebenarnya ada banyak teori tentang pembentukan karakter yang bisa dipelajari,
salah satunya adalah teori kode warna manusia yang dicetuskan oleh Taylor Hartman
yang membagi manusia berdasarkan motif dasarnya. Namun Stephen Covey melalui
bukunya “Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif” menyimpulkan bahwa sebenarnya
ada tiga teori utama yang mendasarinya, yaitu :
1. Determinisme Genetis
Pada dasarnya, mengatakan bahwa kakek nenek andalah yang berbuat begitu
kepada anda, itulah sebabnya anda memiliki tabiat seperti ini. Kakek nenek anda
mudah marah dan itu ada pada DNA anda. Sifat ini diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya dan anda mewarisinya.
2. Determinisme Psikis
Teori ini mengatakan bahwa, pada dasarnya orangtua andalah yang berbuat begitu
kepada anda. Pengasuhan anda, pengalaman masa anak-anak anda pada dasarnya
membentuk kecenderungan pribadi dan susunan karakter anda. Itulah sebabnya
anda takut berdiri di depan banyak orang. Begitulah cara orangtua anda
membesarkan anda. Anda merasa sangat bersalah jika anda membuat kesalahan
karena anda ”ingat jauh di dalam hati tentang peduli dan naskah emosional anda
ketika anda sangat rentan, lembek dan bergantung.
3. Determinisme Lingkungan
Pada dasarnya mengatakan bos anda berbuat begitu kepada anda atau pasangan
anda atau anak remaja yang berandal itu atau situasi ekonomi anda atau kebijakan
nasional. Seseorang atau sesuatu di lingkungan anda bertanggungjawab atas situasi
anda.
Proses Pembentukan Karakter
Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan dan sesuai usia,
yaitu:
1. Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan
ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang salah, mengenal antara
yang baik dan yang buruk serta mengenal mana yang diperintahkan, misalnya
dalam agama.
2. Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8 tahun.
Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat, melatih melakukan
hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi secara mandiri, serta dididik untuk
selalu tertib dan disiplin sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan
shalat mereka.
3. Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9sampai 10 tahun.
Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang lain terutama teman-
teman sebaya, dididik untuk menghargai dan menghormati hak orang lain, mampu
bekerjasama serta mau membantu orang lain.
4. Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun.
Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko sebagai bentuk
konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik untuk membedakan yang baik
dan yang buruk.
5. Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke atas.
Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat berbekal pada pengalaman
sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan dengan baik, maka pada usia yang
selanjutnya hanya diperlukan penyempurnaan dan pengembangan secukupnya.
(Miya Nur Andina dalam Chacha : 2013)
Peran Keluarga Dalam Perkembangan Anak
1. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Karakter Anak
Efektivitas peran keluarga dalam perkembangan karakter anak
dapat menjadi modal awal anak dalam pembentukan karakter anak agar
dapat berinteraksi, berkomunikasi dan berprilaku dengan yang lainnya.
Efektivitas dari keluarga dalam memberikan peran di titi beratkan pada
faktor proses, dimana anak belajar melalui apa yang di berikan oleh
keluarganya berupa faktor input, selanjutnya berproses dan pada akhirnya
akan memberikan suatu dampak yang berupa outcome dengan predikat baik
atau tidak, yang dihasilkan pada output prilaku dan sikap anak.
Karakter anak dapat di bentuk melalui system transformasi perilaku
orangtua dalam keluarga, bentuk hubungan sosial dengan teman sebaya
atau orang lain, komunikasi humanistic danlainnya, namun yang paling
penting dalam pembentukan karakteranak yang utama dan pertama adalah
pendidikan orang tua karena tumbuh kembangnya anak pertama kali adalah
dalam lingkungan keluarga, maka peran orangtua (Istri/suami) sangat di
butuhkan dalam pembinaan karakter anak kearah yang pribadi paripurna anak
Konsep pendidikan dalam keluarga adalah konsep pendidikan yang
menawarkan kepadaorang tua pentingnya karakteristik dan perilaku anak
usia dini. Hal ini menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan
dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini.
Sebagaimana ditegaskan para ahli psikologi perkembangan, periode ini
adalah periode sensitif untuk belajar sehingga usia dini sering disebut the
golden age (usia emas). Pada masa emas perkembangan ini terjadi
lonjakanluar biasa pada perkembangan kognitif, sosial dan fisik anak yang
tidak terjadi pada periode berikutnya.
Supaya pendidikan karakter anak menjadi lengkap dan efektif,
sistim pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual
dan fisikal tetapi juga harus mengajarkan nilai-nilai spiritual, moral dan
sosial.Sebaiknya efektivitas pendidikan keluarga kepada anak dapat di
lakukan melalui kolaborasidengan orang tua, guru dan komunitas sekitar,
dan melalui pendidikan rohani, pendidikan moral dan pendidikan akademis
yang saling melengkapi, dan dengan kepercayaan bahwa setiap anak adalah
unik, mereka berhak berkembang dalam semua aspek kehidupannya, dan
menjadi terbaik menurut talenta masing-masing, diharapkan dapat terbentuk
individu-individu yang utuh dan seimbang, siap untuk menghadapi berbagai
tantangan di kehidupan mereka di masa mendatang
2. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Kognitif Anak
Perkembangan kognitif anak dapat di berikan oleh keluarga dalam
bentuk pemahaman benda-benda dan gambar-gambar. Ketika anak mulai
mengkritisi dan bertanya tentang suasana dan keadaan ataupun apa yang di
lihatnya maka pada saat itu perkembangan Penanaman konsep pemikiran
pada anak dapat dilakukan ketika anak sudah mulai.
Anak pra-sekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Mereka
merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Sebagian
besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya
anak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebagian dari mereka perlu dilatih
menjadi pendengar yang baik.
3. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Sosial Anak
Peran keluarga yang dapat memberikan tingkat kepercayaan diri anak
adalah dalam memberikan ruang gerak kepada anaknya untuk dapat
beraktualisasi dengan teman sebayanya juga dengan orang lain. Peran
pendidikan social ini dapat di berikan oleh keluarga pada saat orang tua dapat
meluangkan waktunya dengan anaknya, juga dapat di fasilitasi atau
menyediakan tempat kepada anak untuk dapat bermain dengan
pengawasan orang tuanya yakni melalui tempat bermain danlainnya. Juga
perkembangan social anak dapat di lakukannya melalui peran keluarga dalam
memilihkan cara yang baik untuk ananknya dalam memberikan suatu pilihan
dengan siapa anak itu dapat berkomunikasi dan bersikap dengan baik. Hal ini
sebaiknya dalam pengawasan control anggota keluarga anak tersebut atau orang
yang di percayai oleh orang tua anak dalam hubungan perkembangan social
anaknya tersebut.
Salah satu unsur perkembangan sosial adalah perkembangan
kepribadian. Peran orang tua adalah menyediakan banyak peluang bagi
anak-anak untuk membangun kepercayaan, membuat berbagai macam
pilihan serta merasakan sukses dari pilihan yang mereka buat sendiri. Selain itu,
membantu anak-anak untuk mengenali kebutuhan
dan perasaan mereka sendiri merupakan hal yang penting di dalam
membangun kepercayaan anak. Anak harus merasakan bahwa
gagasannya adalah gagasan yang baik dan orang lain menghormati gagasan
itu.
4. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Moral Anak
Ketika pertumbuhan anak mencapai keinginan untuk mencari tahu
sesuatu maka disitulah peran orang tua dalam perkembangan pemikiran
anak. Rangsangan pemikiran anak untuk ingin mengetahui segala sesuatu yang
ada di seitarnya maka akan membuat anak untuk bebas melakukan, sesuai
yang di contohnya dan sesuai dengan eksplorasi pemikiran anak tersebut.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi moral
anak untuk perkembangan kepribadian anak. Keluarga yang gagal
membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh dengan
konflik atau tidak bahagia. Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan
fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman bagi anak-anak
mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi
cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya.
Untuk penanaman Nilai Moral kepada anak, peran orangtua dapat di
wujudkan melalui konsep nilai budi pekerti dan pembinaan akhlak,
tentunya di setiap orang tua menginginkan pertumbuhan anak yang berprilaku
baik dengan memiliki nilai budi pekerti yang luhur.
5. Peran Keluarga Dalam PerkembanganMendidik Anak
Keluarga bagi seorang anak merupakan lembaga pendidikan non
formal pertama, di mana mereka hidup, berkembang, dan matang. Di
dalam sebuah keluarga, seorang anak pertama kali diajarkan pada
pendidikannya. Dari pendidikan dalam keluarga tersebut anak
mendapatkan pengalaman, kebiasaan, ketrampilan berbagai sikap dan
bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Keluarga memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Pendidikan moral dalam keluarga perlu ditanamkan
pada sejak dini pada setiap individu. Walau bagaimana pun, selain
tingkat pendidikan, moral individu juga menjadi tolak ukur berhasil
tidaknya suatu pembangunan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan
penting serta sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan intelektualitas
generasi muda sebagai penerus bangsa. Keluarga memiliki peranan
penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
6. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Kreativitas Anak
Peran keluarga dalam kreativitas anak mempengaruhi
ketrampilan berpikir anak yakni melalui proses penalaran untuk mengatahui
bakat yang di miliki oleh anaknya.
Intervensi pola pembinaan kepada anak dapat meningkatkan daya
pikir dan perkembangan potensi, orangtua perlu mendeteksi melalui tes
bakat dan kemampuan anak, hal ini di maksudkan untuk melihat apakah anak
dapat tumbuh normal atau tidak. Menurut pendapatnya
Yuliani.N.S13Kreativitas anak sebaiknya ada Intervensi orangtua untuk
memberikan rangsangan sehingga dapat menumbuhkan potensi-potensi yang
tersembunyi (hiddenpotency), yaitu dimensi perkembangan anak (bahasa,
intelektual, emosi, sosial, motorik, konsep diri, minat dan bakat.
Dengan demikian peran keluarga sangat menentukan
perkembangan kreativitas anak dalam meningkatkan potensi dalam minat
dan bakat yang dimiliki anaknya.
https://media.neliti.com/media/publications/114008-ID-peran-lingkungan-keluarga-
terhadap-perke.pdf

11. Peran perawat komunitas dalam mengatasi masalah kesehatan remaja


Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dam unit social (Robbins, 2002). Peran
dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.
Banyak peranan yang dapat dilakukan oleh perawat kesehatan masyarakat oleh perawat
kesehatan masyarakat diantaranya adalah (Widyanto, 2014):
a. Pemberi Asuhan Keperawatan (Care provider ) Peran perawat sebagaicare
provider ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat berupa
asuhan keperawatan masyarakat yang utuh (holistic) serta berkesinambungan
(komprehensif). Asuhan keperawatan dapat diberikan secara langsung maupun
secara tidak langsung pada berbagai tatanan kesehatan meliputi puskesmas, ruang
rawat inap puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling sekolah, panti,
posyandu, dan keluarga
b. Peran Sebagai Pendidik ( Educator) Peran sebagi pendidik (educator)menuntut
perawat untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat baik di rumah, puskesmas dan di masyarakat secara
terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat, sehingga terjadi perubahan
perilaku seperti yang optimal. Perawat bertindak sebagai pendidik kesehatan
harus mampu mengkaji kebutuhan klien yaitu kepada individu, keluarga,
kelompok masyarakat, pemulihan kesehatan dari suatu penyakit, menyusun
program penyuluhan atau pendidikan kesehatan baik sehat maupun sakit.
Misalnya penyuluhan tentang nutrisi, senam lansia, manajemen stress, terapi
relaksasi, gaya hidup bahkan penyuluhan mengenai proses terjadinya suatu
penyakit. Membimbing pasien membaca Al-Quran. Membimbing pasien dengan
membaca Al-Quran terutama dengan ayat-ayat dengan orang sakit, rahmat allah
dan karunia Allah, dengan begitu pasien akan termotivasi untuk sembuh. Dan
memberikan pengertian bagi pasien supaya membaca Al-Quran daripada
mengeluh atas penyakit yang dideritanya
c. Peran sebagai konselor(Counselor) Peran sebagai konselor melakukan konseling
keperawatan sebagai usaha memecahkan masalah secara efektif. Pemberian
konseling dapat dilakukan dengan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
d. Peran sebagai panutan(Role Mode) Peran kesehatan masyarakat harus dapat
member contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat tentang bagaimana tatacara hidup sehat yang dapat
ditiru dan dicontoh oleh masyarakat.
e. Peran sebagai pembela(Advocate) Pembelaan dapat diberikan kepada individu,
kelompok atau tingkat komunitas. Pada tingkat keluarga, perawat dapat
menjalankan fungsinya melalui pelayanan social yang ada pada masyarakat.
Seorang pembela klien adalah pembela dari hak-hak klien. Pembelaan termasuk
didalamnya peningkatan apa yang terbaik untuk klien, memastikan kebutuhan
klien terpenuhi dan melindungi hak-hak klien
f. Peran sebagai manajer kasus(Case Manager)Perawat kesehatan masyarakat
diharapkan dapat mengelola berbagai kegiatan pelayanan kesehatan puskesmas
dan masyarakat sesuai dengan beban tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya.
g. Peran sebagai kolaborator Peran sebagai kolaborator dapat dilaksanakan dengan
cara bekerja sama dengan tim kesehatan lain, baik dengan dokter, ahli gizi, ahli
radiologi, dan lain-lain dalam kaitannya membantu mempercepat proses
penyembuhan klien. Tindakan kolaborasi atau kerjasama merupakan proses
pengambilan keputusan dengan orang lain pada tahap proses keperawatan.
Tindakan ini berperan sangat penting untuk merencanakan tindakan yang akan
dilaksanakan
h. Peran sebagai penemu kasus(Case Finder) Melaksanakan monitoring terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang menyangkut masalah-masalah kesehatan dan keperawatan yang
timbul serta berdampak terhadapat status kesehatan melalui kunjugan rumah,
pertemuan-pertemuan observasi dan pengumpulan data. (Widyanto, 2014)
i. Perawat kesehatan masyarakat sekolah Keperawatan sekolah adalah keperawatan
yang difokuskan pada anak ditatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak
dengan mengikut sertakan keluarga maupun masyarakat sekolah dalam
perencanaan pelayanan (Logan, BB, 1986). Fokus utama perawat kesehatan
sekolah adalah siswa dan lingkungannya dan sasaran penunjang adalah guru dan
kader.
j. Peran dalam bidang kesehatan kerja Perawatan kesehatan kerja adalah penerapan
prinsip-prinsip keperawatan dalam memelihara kelestarian kesehatan tenaga kerja
dalam segala bidang pekerjaan. Perawat kesehatan kerja mengaplikasikan praktik
keperawatan dalam upaya memenuhi kebutuhan unik individu, kelompok dan
masyarakat ditatanan industry, pabrik, tempat kerja, tempat konstruksi, universitas
dan lain-lain.
k. Perawatan kesehatan di rumah Perawatan kesehatan dirumah adalah bagian dari
rangkaian perawatan kesehatan umum yang disediakan pada individu dan
keluarga untuk meningkatkan, memelihara dan memulihkan kesehatan guna
memaksimalkan kesehatan dan meminimalkan penyakit. (Ilmi, 2011).
https://www.academia.edu/35186846/PERAN_PERAWAT_KOMUNITAS_klmp
_4
l.

BAB II
1. Definisi Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia,
menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa remaja
disebut pula sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial
mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual
(Kartono, 1995).
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin
adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa
primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak
berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).
Menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah masa peralihan, ketika
individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada
masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri.
Dua hal tersebut adalah, pertama, hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan
lingkungan, dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri
remaja yang membuat remaja relative lebih bergejolak dibandingkan dengan masa
perkembangan lainnya (storm and stress period).
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik,
emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu periode masa
pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja
adalah periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Widyastuti, Rahmawati,
Purnamaningrum; 2009).
http://digilib.uinsby.ac.id/1883/5/Bab%202.pdf
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian
besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun
dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007).
Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa peralihan antara
masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11
atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan
umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:
1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila seorang
anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak laki- laki.
2. Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja
adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
3. Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai
umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal.
4. Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah remaja
apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk
anak-anak laki-laki.
5. Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah berumur 18
tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
6. Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22771/?sequence=4
2. Proses Pertumbuhan Dan Perkembangan Remaja
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang dialami oleh remaja
secara kontinue. pertumbuhan dan perkembangan adalah proses yang saling berhubungan
tak bisa dilepaskan dari kehidupan remaja. Pertumbuhan merupakan proses yang
berkaitan dengan dengan perubahan kuantitatf yang mengacu pada jumlah besar serta
luas yang bersifat konkret yang biasanya menyangkut ukuran dan struktur biologis.
Pertumbuhan adalah proses perubahan dari segi fisik yang berlangsung normal dalam
perjalanan wakt tertentu. Dalam setiap pertumbuhan bagian – bagian tubuh memiliki
tempo kecepatan yang berbeda – beda. Misalnya pertumbuhan alama kelamin pria, pada
masa anak-anak alat kelamin tumbuh lambat namun setelah pubertas mengalami
percepatan. Sebaliknya pertumbuhan susunan saraf pusat mengalami percepatan saat
masa anak-anak namun setelah masa pubertas relatig lambat bahkan terhenti. Faktor –
Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan yang kurang normal pada organisme.
a. Faktor – faktor yang terjadi sebelum lahir. Misalnya Pada saat masa kehamilan
seorang ibu dan janin mengalami kekurangan nutrisi , Kercaunan, TBC dan
sebagainya
b. Faktor ketika lahir. Salah satunya yaitu pendarahan pada otak bayi intracranial
haemorage disebabkan oleh tekanan dinding rahim sewaktu ia dilahirkan dan oleh
efek susunan saraf pusat, karena proses kelahiran bayi dilakukakan dengan bantuan
tangver-lossing
c. Faktor yang dialami bayi setelah lahir antara lain oleh karena pengalaman traumatik
pada kepala, kepala bagian dalam terluka karena kepala bayi / Janin terpukul , atau
mengalami serangan sinar matahari dan sebagainyayayasan perawatan bayi dan lain-
lain
d. Faktor Psikologis antara lain oleh karena bayi ditinggalkan bibu, ayah atau kedua
orang tuanya .
Tahap Perkembangan Remaja
Tahap perkembangan remaja dimulai dari fase praremaja sampai dengan fase remaja
akhir berdasarkan pendapat Sullivan (2001). Pada fase-fase ini terdapat beragam ciri
khas pada masing-masing fase.
1. Fase Praremaja
Periode transisi antara masa kanak-kanak dan adolesens sering sikenal sebagai
praremaja oleh profesional dalam ilmu perilaku (Potter&Perry, 2005). Menurut Hall
seorang sarjana psikologi Amerika Serikat, masa muda (youth or preadolescence)
adalah masa perkembangan manusia yang terjadi pada umur 8-12 tahun.
Fase praremaja ini ditandai dengan kebutuhan menjalin hubungan dengan
teman sejenis, kebutuhan akan sahabat yang dapat dipercaya, bekerja sama dalam
melaksanakan tugas, dan memecahkan masalah kehidupan, dan kebutuhan dalam
membangun hubungan dengan teman sebaya yang memiliki persamaan, kerja sama,
tindakan timbal balik, sehingga tidak kesepian (Sunaryo,2004:56).
Tugas perkembangan terpenting dalam fase praremaja yaitu,belajar
melakukan hubungan dengan teman sebaya dengan cara berkompetisi, berkompromi
dan kerjasama.
2. Fase Remaja Awal (early adolescence)
Fase remaja awal merupakan fase yang lanjutan dari praremaja. pada fase ini
ketertarikan pada lawan jenis mulai nampak. Sehingga, remaja mencari suatu pola
untuk memuaskan dorongan genitalnya. Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002:
42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik
dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak.
Sunaryo (2004:56) berpendapat bahwa, hal terpenting pada fase ini, antara lain:
a. Tantangan utama adalah mengembangkan aktivitas heteroseksual.
b. Terjadi perubahan fisiologis.
c. Terdapat pemisahan antara hubungan erotik yang sasarannya adalah lawan jenis
dan keintiman dengan jenis kelamin yang sama.
d. Jika erotik dan keintiman tidak dipisahkan, maka akan terjadi hubungan
homoseksual.
e. Timbul banyak konflik akibat kebutuhan kepuasan seksual, keamanan dan
keakraban.
f. Tugas perkembangan yang penting adalah belajar mandiri dan melakukan
hubungan dengan jenis kelamin yang berbeda.
3. Fase Remaja Akhir
Fase remaja akhir merupakan fase dengan ciri khas aktivitas seksual yang
sudah terpolakan. Hal ini didapatkan melalui pendidikan hingga terbentuk pola
hubungan antarpribadi yang sungguh-sungguh matang. Fase ini merupakan inisiasi ke
arah hak, kewajiban, kepuasan, tanggung jawab kehidupan sebagai masyarakat dan
warga negara.
Sunaryo (2004:57) mengatakan bahwa tugas perkembangan fase remaja akhir
adalaheconomically, intelectually, dan emotionally self sufficient.

Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja

a. Perkembanang Biologis
Perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat pada saat masa pubertas yaitu
meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan
fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah
pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai
berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah
pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006: 52)
Potter & Perry (2005:535) juga mengatakan bahwa setelah pertumbuhan awal
jaringan payudara, puting dan areola ukurannya meningkat. Proses ini sebagian
dikontrol oleh hereditas, mulai pada paling muda usia 8 tahun dan mungkin tidak
komplet dalam usia 10 tahun. Kadar estrogen yang meningkat juga mulai
mempengaruhi genital. Uterus mulai membesar dan terjadi peningkatan lubrikasi
vaginal, hal tersebut bisa terjadi secara spontan atau akibat perangsangan seksual.
Vagina memanjang, dan rambut pubis dan aksila mulai tumbuh.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan
tulang-tulang, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal
perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting,
pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh
rambut-rambut halus diwajaah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan
suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Kadar testosteron yang meningkat sitandai dengan peningkatan ukuran penis, testis,
prostat dan vesikula seminalis.
Perry&Potter (2005:690) mengungkapkan bahwa empat fokus utama perubahan
fisik adalah :
1. Peningkatan kecepatan pertumbuhan skelet, otot dan visera
2. Perubahan spesifik-seks, seperti perubahan bahu dan lebah pinggul
3. Perubahan distribusi otot dan lemak
4. Perkembangan sistem reproduksi dan karakteristik seks sekunder.
Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan
kelenjarhypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan terjadinya
pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin
utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002:94).
b. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal
berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih
abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget
menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena
tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata
mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya
mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara
berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan
membuat pemahaman lebih mendalam.
c. Perkembangan Sosial
Potter&Perry (2005:535) mengatakan bahwa perubahan emosi selama pubertas
dan masa remaja sama dramatisnya seperti perubahan fisik. Masa ini adalah periode
yang ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi penghargaan masyarakat.
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja
mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam
emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan.
Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap
asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam
masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan
remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa
kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan
petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.
Pencarian identitas diri merupakan tugas utama dalam perkembangan psikososial
adelesens. Remaja arus membentuk hubungan sebaya yang dekat atau tetap terisolasi
secara sosial (Potter&Perry, 2005:693). Pencarian identitas diri ini meliputi identitas
seksual, identitas kelompok, identitas keluarga, identitas pekerjaan, identitas
kesehatan dan identitas moral
http://www.academia.edu/26635746/Pertumbuhan_dan_perkembangan_remaja
Tugas Perkembangan
a. Belajar makan makanan keras, bubur, nasi dsb
b. Belajar berbicara.
c. Belajar mengeluarkan buangan tubuh.
d. Belajar membedakan jenis kelamin
e. Mencapai kematangan untuk memasuki dunia formal khususnya sekolah
f. Belajar mengadakan hubungan emosional dg keluarga dan orang sekitar
g. Belajar membedakan perilaku benar dan salah serta mengembangkan kata hati
h. Usia Remaja Merupakan Kelompok Beresiko
i. Masalah-Masalah Yang Terjadi Pada Remaja
j. Pernjelasan Tentang Perilaku Sekseual Beresiko
k. Penjelasan Model Keperawatan Community As Partner
l. Penjelasan Model Keperawatan Health Promotion Model
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132313280/pendidikan/PERTUMBUHAN+dan+
perkembangan.pdf
3. Usia Remaja Merupakan Kelompok Beresiko
Usia remaja adalah usia “belajar”, yaitu usia ketika remaja berhadapan dengan halhal
baru tetapi sekaligus menghadapi dan harus mengambil berbagai risiko (Moeliono,
dalam Hidayana, dkk., 2004). Periode remaja ini membentuk pengaruh paling
besar terhadap fisik dan psikis manusia sepanjang hayatnya kelak (Hurlock,
2009, dalam Marthabi, 2010). Sebuah keuntungan bagi bangsa Indonesia karena
memiliki jumlah remaja yang sangat besar. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010
yang dikutip oleh Wahyuni dan Rahmadewi (2011), jumlah remaja Indonesia
adalah 26,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, sebagian remaja Indonesia
menghadapi berbagai masalah dari dalam maupun dari luar diri mereka. Dari sekian
banyak masalah tersebut, salah satu masalah yang paling menonjol adalah
seksualitas remaja (Wahyuni dan Rahmadewi, 2011)
Menurut Surbakti (2009), hal ini dapat dimaklumi mengingat pada fase remaja
terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan timbulnya dorongan seksual pada
sebagian remaja. Namun, dorongan seksual menjadi masalah karena seringkali
remaja tidak dapat mengendalikan dorongan seksual itu dengan baik (Surbakti, 2009)
Perilaku seksual terdiri dari beberapa tahap. Menurut Sarwono (1994), bentuk-bentuk
perilaku seksual ini bermacam-macam, yaitu mulai dari perasaan tertarik sampai
tingkah laku berkencan, bercumbu, sampai tahap seksual yang tertinggi yaitu
bersenggama (sexual intercourse)
Perilaku seksual di kalangan remaja telah merebak di Indonesia. Salah satu buktinya,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2002-2003 menyebutkan bahwa remaja
yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah
pada usia 14-19 tahun mencapai 34,7 persen untuk perempuan dan 30,9 persen
untuk laki-laki. Mereka yang berumur 20-24 tahun yang pernah melakukan hal
serupa ada 48,6 persen untuk perempuan dan 46,5 persen untuk laki-laki (BKKBN,
2012).
Berkembangnya perilaku seksual remaja berpotensi meningkatkan kehamilan
yang tak diinginkan. Ancaman bagi kesehatan masyarakat juga berkembang akibat
perilaku seksual remaja, yaitu berkembangnya penyakit kelamin di kalangan remaja
baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan (Sarwono, 1994). Dampak lain dari
hubungan seksual di kalangan remaja adalah meningkatnya angka laju
pertumbuhan penduduk di masa mendatang.
Mengatasi perilaku seksual remaja, terutama perilaku hubungan seksual,
perlu dilakukan sebelum perilaku tersebut terjadi. Perilaku seksual yang dianggap
berisiko untuk terjadinya hubungan seksual adalah meraba/diraba atau merangsang/
dirangsang (Damayanti, 2007). Oleh karena itu, perilaku seksual berisiko perlu
diperhatikan dalam upaya menurunkan angka perilaku hubungan seksual remaja.
Berlandaskan hal tersebut, penelitibermaksud untuk melakukan analisis mengenai
determinan perilaku seksual berisiko pada remaja di Indonesia tahun 2010-2012
dan mengetahui determinan yang paling dominan terhadap perilaku seksual berisiko
pada remaja di Indonesia tahun 2010 hingga 2012. http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-
09/S45748-Ahmad%20Robi

Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang selalu menarik untuk
dikaji. Remaja dianggap sebagai generasi penerus bangsa dan merupakan aset terbesar
yang dimiliki oleh suatu negara untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi masa
depan negara. Oleh karena itu banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap remaja
untuk dapat mengasah kemampuan yang nantinya akan sangat berguna saat dewasa. Pada
masa remaja terjadi tahap perkembangan yang sangat penting, baik itu perkembangan
biologis maupun fisiologis yang menentukan kualitas seseorang untuk menjadi individu
dewasa.
Santrock (2012) mendefinisikan masa remaja sebagai suatu periode transisi dalam
rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaannya dari mulai usia 12-20 tahun
(Yusuf, 2011). Rousseau dalam Sarwono (2013) juga mengatakan bahwa usia 15-20
tahun dinamakan masa kesempurnaan remaja (adolescence proper) dan merupakan
puncak perkembangan emosi.
Oleh karena itu setiap bangsa membutuhkan remaja yang produktif, kreatif, serta
kritis demi kemajuan bangsa itu sendiri, dan remaja dapat memaksimalkan produktivitas,
kreativitas, serta mempunyai pemikiran yang kritis dapat dicapai bila mereka sehat.
Remaja sehat bukan hanya dilihat dari fisik, tetapi juga kognitif, psikologis, dan sosial.
Saat ini, remaja yang sehat dan berkualitas sudah banyak menjadi pusat perhatian oleh
orang tua dan masyarakat luas.
Hal ini dikarenakan seiring dengan laju modernisasi dan perkembangan teknologi
yang sangat pesat, semakin luas pula pergaulan serta pengetahuan remaja tentang
berbagai hal, baik itu hal positif maupun negatif, sedangkan remaja sendiri memiliki
karakteristik untuk mudah terpengaruh dengan apa yang dilihat dan yang ada
disekitarnya. Lingkungan yang negatif dapat menjadi faktor risiko remaja untuk
melakukan perilaku yang tidak sehat.
Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Sudibyo
Alimoeso, mengatakan bahwa hasil sensus penduduk tahun 2010 menginformasikan
jumlah anak umur remaja sekitar 43,6 juta atau sekitar 9 persen dari 237,6 juta total
penduduk Indonesia (Anp, 2013). Jumlah tersebut tentu akan muncul berbagai masalah
pada perkembangan remaja yang kompleks dan sulit dipecahkan. Salah satu masalah
krusial yang mulai terlihat saat ini adalah banyaknya remaja yang melakukan perilaku
berisiko, terutama berisiko terhadap kesehatan. Perilaku berisiko didefinisikan sebagai
suatu tindakan yang meningkatkan kemungkinan dampak yang buruk terhadap kesehatan
(Ragin, 2011).
Remaja selalu merasa bahwa diri mereka sehat dan bebas melakukan berbagai hal
karena fisik mereka yang masih kuat dan perasaan bahwa usia mereka masih muda.
Weinstein (dalam Lapsley dkk, 2005) mengatakan, "Orangorang cenderung berpikir
mereka kebal". Anggapan seseorang bahwa peristiwa negatif lebih mungkin terjadi pada
orang lain daripada diri mereka seperti ini disebut dengan optimistic bias. Penelitian yang
muncul menunjukkan bahwa optimis bias memang kuat pada remaja dibandingkan pada
orang dewasa (Lapsley dkk, 2005).
Optimistic bias menyebabkan rasa kekebalan terhadap konsekuensi berbahaya
dari perilaku kesehatan yang berisiko sehingga sebagian remaja mengabaikan kesehatan
mereka pribadi padahal tanpa mereka sadari bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
oleh remaja akan berdampak pada kondisi individu di masa dewasa. Banyak perilaku
remaja yang muncul tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan dan keselamatan remaja
itu sendiri padahal perilaku-perilaku tersebut mungkin saja menjadi penyebab timbulnya
berbagai penyakit baik dalam jangka pendek maupun masa mendatang sehingga mereka
menjadi salah satu dari remaja berisiko.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan remaja berisiko
sebagai remaja yang pernah melakukan perilaku yang berisiko bagi kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestary dan Sugiharti pada tahun 2007,
sebanyak 55,2% remaja pernah melakukan perilaku berisiko (Lestary dan Sugiharti,
2011). Hasil analisis SKRRI (Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) 2007 juga
menunjukkan peningkatan perilaku berisiko baik di kalangan remaja laki-laki maupun
remaja perempuan, jika dibandingkan dengan hasil SKRRI 2002-2003. Secara berurutan
perilaku berisiko tersebut adalah merokok, minum alkohol, melakukan hubungan seksual
pranikah, dan penyalahgunaan narkoba (BPS, 2003, dalam Lestary dan Sugiharti, 2011).
Telah dicatat dan didokumentasikan dengan baik bahwa banyak perilaku berisiko
terhadap kesehatan sering dimulai saat usia remaja dan permulaan perilaku berisiko
secara bertahap terjadi pada usia muda. Sebuah penelitian dalam jumlah besar
menunjukkan bahwa tingkat merokok, minum alkohol dan penggunaan narkoba selama
masa remaja mengalami peningkatan sejak tahun 1980-an, dan banyak remaja mengalami
perilaku berisiko terhadap kesehatan di usia-usia awal (Kim, 2001, Youngblade, 2006,
dalam Kim, 2011).
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika melaporkan bahwa siswa
sekolah dasar berusia 9 sampai 13 tahun sebanyak 36% pernah minum minuman
beralkohol dan 12% merokok. Untuk remaja berusia 14 sampai 18 tahun, mereka telah
menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi dalam penggunaan alkohol. 77% remaja
pernah minum minuman beralkohol, dan 17% dari remaja tersebut melaporkan minum
alkohol setiap hari atau 1 sampai 2 kali per minggu (Brener, 2005, dalam Kim, 2011).
Perilaku yang berisiko adalah perilaku yang menyebabkan kematian atau
menimbulkan penyakit pada remaja, yaitu penggunaan rokok, perilaku yang
menyebabkan cedera dan kekerasan, alkohol dan obat terlarang, diet yang dapat
menyebabkan kematian, gaya hidup bebas, serta perilaku seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan dan kematian (Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), 2013).
Merokok adalah salah satu contoh perilaku berisiko yang banyak sekali muncul
pada masyarakat Indonesia, baik itu anak-anak, remaja, maupun dewasa. Padahal rokok
adalah salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut WHO, diduga hingga
menjelang 2030 kematian akibat merokok akan mencapai 10 juta orang per tahun (Tim
Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012). Dalam sebuah media on-line dituliskan bahwa
usia mulai merokok pada remaja mengalami peningkatan. Menurut data hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010, terjadi kecenderungan peningkatan
usia mulai merokok pada usia yang lebih muda. Menurut Riskesdas 2007, umur pertama
kali merokok pada usia 15 sampai 19 tahun sebesar 33,1%, sedangkan menurut Riskesdas
2010, umur pertama kali merokok pada usia 15 sampai 19 tahun sebesar 43,3%. Selama
tahun 1995 sampai 2007, terjadi peningkatan prevalensi perokok, pada laki-laki
kelompok umur 15 sampai 19 tahun meningkat sebesar hampir 3 kali lipat dan pada
perempuan meningkat 5 kali lipat. Menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional)
2004, umur mulai merokok yang tertinggi pada kelompok umur 15 sampai 19 tahun yaitu
sebesar 63,7%, dan 30,5 % penduduk Indonesia usia >15 tahun merupakan perokok pasif
dirumah (Wijaya, 2011).
Merokok juga dapat menjadi awal remaja untuk menggunakan obat-obatan
terlarang atau NAPZA.SKRRI 2007 menunjukkan remaja yang merokok berpeluang 124
kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba (Lestary dan Sugiharti, 2011) Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko pada remaja khususnya di kota cukup
tinggi, yaitu 22,4% laki-laki dan 2,3% perempuan menggunakan obat terlarang, serta
42,2% remaja laki-laki dan 3% remaja perempuan melakukan perilaku mengkonsumsi
minuman keras (Depkes RI, 2004 dalam Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012).
Penelitian lain tentang perilaku berisiko yang dilakukan remaja adalah tentang perilaku
tidak mentaati peraturan berlalu lintas. Kasat Lantas Polres Sidrap, AKP Pawe Judda,
menyampaikan bahwa Data Korps Lalulintas (Korlantas) Polri menyebutkan, kasus
lakalantas pada tahun 2011 sebanyak 32.657 orang meninggal dunia. Sementara tahun
2012 turun menjadi 29.654 orang, namun yang meninggal dunia ini dinilai masih
tergolong cukup tinggi dan didominasi kaum remaja (Ronalyw, 2013). Perilaku yang
menyebabkan cedera dan kekerasan lain yang banyak terjadi adalah tawuran pelajar.
Ketua Umum Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa sepanjang enam
bulan pertama tahun 2012 lembaganya mencatat ada 139 kasus tawuran pelajar, lebih
banyak dibanding periode sama tahun 2011 yang jumlahnya 128 kasus.
Menurut data yang diperoleh dari layanan pengaduan masyarakat Komnas Anak
tersebut, dari 139 kasus tawuran yang kebanyakan berupa kekerasan antarpelajar tingkat
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas itu 12 diantaranya menyebabkan
kematian (Maryati, 2012). Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, dalam
kurun waktu tiga tahun (2009 – 2012), sebanyak 301 peristiwa tawuran pelajar terjadi di
Jabodetabek. Asrorun mengungkapkan bahwa dari seluruh peristiwa tersebut, sebanyak
46 orang pelajar tewas sia-sia. Untuk tahun 2010 tercatat ada 102 kejadian tawuran
dengan korban meninggal 17 orang. Sementara tahun 2011 menurun hanya ada 96 kasus
dengan korban meninggal 12. Tahun 2012 ada 103 kasus tawuran dengan jumlah korban
tewas 17 orang (Setiawan dan Aquina, 2012). Perilaku berisiko pada remaja yang
terkadang tidak disadari adalah perilaku makan yang tidak sehat atau menyimpang,
seperti diet yang berlebihan, melewatkan waktu makan, atau makan makanan cepat saji.
Perilaku makan yang tidak sehat merupakan salah satu penyebab masalah gizi, bahkan
obesitas pada remaja. Dari hasil penelitian diketahui bahwa mereka yang mengalami
obesitas saat remaja 3 sampai 4 kali lebih berisiko mengalami penyakit jantung, serta
berisiko 2 sampai 3 kali terserang penyakit kanker kolon dan penyakit pernapasan (Tim
Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012).
Menurut SKRRI 2007, di Indonesia prevalensi hubungan seksual pranikah pada
remaja laki-laki meningkat sebanyak 1,8% dan perempuan 0,2%. Sedangkan prevalensi
penyalahgunaan narkoba pada remaja laki - laki meningkat sebanyak 1,4% dan
perempuan 1% (Lestary dan Sugiharti, 2011).
Hubungan seks pranikah menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan pada
remaja perempuan yang berisiko terhadap tindakan aborsi yang berbahaya bahkan
menyebabkan kematian. Berbagai hasil penelitian di atas telah menunjukkan bahwa dunia
kesehatan remaja sudah sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian khusus dari
berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, orang tua, terutama oleh individu remaja
sendiri. Remaja adalah pihak yang paling dapat mengontrol dan memilih perilaku yang
akan dilakukan maupun yang tidak akan dilakukan. Penelitian sebelumnya dilakukan
oleh Kim pada tahun 2011 pada remaja Korea Selatan. Penelitian ini berfokus pada
rentang interaksi yang luas antara perilaku kesehatan yang negatif dan atribut psikologis
pada remaja dan menunjukkan bahwa ketiga variabel psikologis yaitu, lokus kendali
kesehatan yang multidimensional, efikasi diri, dan harga diri secara signifikan berkorelasi
dengan perilaku berisiko terhadap kesehatan. Perilaku kesehatan negatif yang diteliti
antara lain, aktivitas fisik yang kurang, merokok, mengkonsumsi alkohol, masalah
kesehatan mental, penggunaan obat terlarang, masalah perilaku makan, dan menonton
pornografi.
Perilaku kesehatan yang negatif pada remaja mungkin disebabkan karena atribut
psikologis yang negatif pula, seperti harga diri dan efikasi diri yang rendah, serta
hilangnya kemampuan untuk mengontrol kesehatan (Kim, 2011). Efikasi diri
didefinisikan sebagai keyakinan seseorang bahwa tindakan yang dilakukan akan
menghasilkan hasil yang diharapkan. Menurut Bandura, keyakinan yang kuat terhadap
kemampuan untuk melakukan suatu perilaku akan meningkatkan kemungkinan
terwujudnya perilaku tersebut (Ragin, 2011).
Menurut Sherer (dalam Imam 2007), efikasi diri adalah sekumpulan keseluruhan
harapan-harap yang dibawa oleh individu kedalam situasi yang baru. Efikasi diri juga
mempengaruhi seberapa banyak usaha seseorang saat akan mencoba sesuatu hal yang
baru dan ketekunan seseorang dalam mengatasi hambatan yang muncul (Karren dkk,
2002). Jadi keyakinan remaja bahwa dia mampu untuk menghindari perilaku berisiko
yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan adalah efikasi diri terhadap perilaku
berisiko. Remaja yang memiliki efikasi diri tinggi akan memiliki peluang dan usaha yang
lebih besar untuk menghindari perilaku berisiko jika dibandingkan dengan remaja yang
memiliki efikasi diri rendah.
Menurut Bandura dkk (dalam Ridhoni, 2013), banyak penelitian menunjukkan
bahwa individu dengan efikasi diri yang tinggi cenderung menetapkan tujuan yang lebih
tinggi, memiliki aspirasi tinggi dan karena itu lebih berkomitmen dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya Walter dkk (1992,1993,1994 dalam Karren dkk, 2002)
menunjukkan bahwa efikasi diri sangat penting bagi remaja dalam upaya untuk
meningkatkan perilaku kesehatan. Hal ini didukung juga dengan penelitian lain yang
menunjukkan efikasi diri merupakan salah satu faktor kuat dari perilaku kesehatan, yaitu
penelitian terhadap lebih dari 800 perokok, subjek yang memiliki efikasi diri paling
tinggi terbukti melakukan tindakan nyata untuk berhenti merokok selama periode enam
bulan penelitian.
Hasil yang sama juga ditemukan di Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Nurhidayah dkk, pada 184 remaja pelajar SMA di Kota Bekasi, menunjukkan bahwa
efikasi diri berhubungan negatif dengan perilaku seks, yaitu semakin tinggi efikasi diri
remaja maka semakin rendah perilaku remaja untuk melakukan hubungan seks
(Nurhidayah dkk, 2012). Peneliti juga telah melakukan wawancara singkat kepada guru
bimbingan konseling salah satu SMA negeri di Ngawi. Wawancara dilakukan pada hari
Rabu, 29 Oktober 2014 dan dari wawancara tersebut diketahui bahwa banyak siswa yang
ketahuan sedang merokok di dalam lingkungan sekolah. Perilaku merokok tersebut
biasanya dilakukan siswa di kantin saat jam kosong atau setelah jam pelajaran berakhir.
http://eprints.ums.ac.id/37880/3/04.%20BAB%20I.pdf

4. Masalah –Masalah Yang Terjadi Pada Remaja


a. Masalah yang Mungkin Timbul Karena Perkembangan Fisik dan Psikomotorik
1) Kecanggungan bergaul antar remajabahkan dengan orang dewasa sekali pun.
2) Self rejectionkarena self imagetidak sesuai dengan self reality. Pada remaja
kadang –kadang self imageterlalu tinggi atau jauh dari self reality.
3) Gejala emosional seperti rasa malu ketika menstruasi.
4) Pemuasan biologis yang tidak tepat
5) Perkembangan fisik-hormonal & hormonal yang cepat menimbulkan goncangan :
“masa badai dan topan”.
b. Masalah-masalah yang Mungkin Timbul Berkaitan dengan Perkembangan
Bahasa dan Kognitif
1) Belajar bahasa asing yang tidak menyenangkan cenderung benci terhadap
pelajaran dan gurunya.
2) Ketidakselarasan antara bakat, minat, dan kemampuan.
3) Terutama pada remaja awal cenderung berpikir “di sini dan sekarang” dalam
mengambil keputusan hidup.
4) Sangat rentan dengan pemikiran-pemikiran “sesat” tetapi dasar logika
berpikirnya kuat.
5) Dengan berkembangnya kognitif pada masa remaja sangat kaya idealisme,
pencari idola, rasa ingin tahu, dan ingin diakui-dihargai. Jika potensi-potensi ini
tidak terfasilitasi dengan tepat sangat mungkin mengalami salah suai.
c. Masalah-masalah yang Mungkin Timbul Berkaitan dengan Perkembangan Perilaku
Sosial, Emosional, Moralitas, dan Keagamaan
1) Munculnya perilaku anti sosial pada remaja
2) Konflik dengan orang tua
3) Penyalahgunaan napza
4) Mudah digerakkan dalam perilaku destruktif 30
5) Mudah terlibat dalam kegiatan masa
6) Seks bebas
7) Ikatan solidaritas, nilai, dan tradisi sebaya sangat kuat jika melakukan
penyesuaian sosial sangat mungkin konformitas sosial mereka mengarah kepada
kelompok sebaya yang berisiko tinggi
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN
/197102191998021-
NANDANG_BUDIMAN/BAHAN_AJAR_PERKEMBANGAN_INDIVIDU_2.p
df
5. Penjelasan Tentang Perilaku Seksual Beresiko
Pengertian Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap gangguan dari luar
namun respon yang diberikan tergantung dari karakteristik atau faktor-faktor yang orang
tersebut (Luthviatin,dkk 2012).
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku manusia yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011).
Sedangkan perilaku seksual dikatakan berisiko apabila perilaku tersebut membawa akibat
yang tidak diinginkan seperti tindakan aborsi, hamil diluar nikah, penyakit menular
seksual (PMS), dan HIV/AIDS. Perilaku seksual berisiko menyebabkan timbulnya
dampak negatif bagi kehidupan remaja (Chandra, Rahmawati & Hardiani, 2014).
Berpacaran, ciuman bibir dan melakukan hubungan seksual merupakan contoh
perilaku seksual berisiko yang dapat membawa dampak negatif bagi pelakunya (Sarwono
dalam Indah 2016). Akibat dari perilaku seks berisiko tidak sedikit remaja laki-laki yang
mengidap penyakit kelamin dan bagi perempuan umumnya mengalami perasaan trauma
hingga depresi serta berbahaya bagi organ reproduksinya (Kasim, 2014).
Perilaku yang berisiko adalah perilaku yang menyebabkan kematian atau
menimbulkan penyakit pada remaja, yaitu penggunaan rokok, perilaku yang
menyebabkan cedera dan kekerasan, alkohol dan obat terlarang, diet yang dapat
menyebabkan kematian, gaya hidup bebas, serta perilaku seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan dan kematian (Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2013), http://eprints.ums.ac.id/37880/3/04.%20BAB%20I.pdf
Perilaku berisiko dapat menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
kalangan remaja.Youth Risk Behavior Surveillance System(YRBSS) yang
dilakukan di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa perilaku berisiko menjadi
salah satu penyebab utama kematian pada remaja umur 10-24tahun. Hasil YRBSS
pada siswa SMA menunjukkan 38,7% minum alkohol, 23,1% menggunakan
ganja,32,8% terlibat perkelahian,18,1%merokokdan47,4% siswa pernah melakukan
hubungan seksual.
Perilaku seksual pra nikah pada remaja laki-laki dan perempuan di
Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010
cenderung meningkat pada umur 10-24 tahun, meskipun angkanya masih dibawah
5.Selain ituditemukan jugaprevalensi perilaku merokok setiap hari pada penduduk
umur 15 tahunke atas sebesar 28,2%.2Kesehatan kelompok remaja menurut Survey
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menemukan bahwa10% perempuan
merokok dan 5% mengonsumsi minuman beralkohol sedangkan pada laki-laki
80% merokok dan 40% mengkonsumsi minuman beralkohol. Untuk penggunaan obat-
obatan terlarang kurang dari 1% untuk perempuan dan 4% untuk laki-laki.
Responden di kelompok usia tua, yang tinggal di daerah perkotaan dan
responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk
terlibat dalam perilaku ini dibandingkan responden lain
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, 26,67% penduduk Indonesia
adalah remaja (10-24 tahun). Besarnya jumlah remaja dapat mempengaruhi
sosial,ekonomi serta pembangunan. Remaja perlu mendapat perhatian serius karena
termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja, serta lebih rentan terhadap masalah-
masalah kesehatan reproduksi.Perilaku berisiko remaja dapat menimbulkan masalah
dalam berbagai aspek baik itu kesehatan, psikologis, sosial budaya dan keamanan,
seperti merosotnya prestasi belajar, rusaknya harmonisasi keluarga, perkelahian antar
pelajar, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Berbagai penelitian tentang remaja telah dilakukan dibeberapa wilayah
di Indonesia, salah satunya di Makassar terhadap remaja umur 10-24 tahun, hasilnya
menunjukanterdapat 6%kenakalan pada remaja,18% merokok,9% minum alkohol,
1% mengkonsumsi obatobatan,6%penyakit menular seksual (PMS), 2% seks pra
menikah dan 0,3% aborsi atau kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).5Persebaran
penduduk usia remaja umur 15-24 tahun dibeberapa wilayah tertentu lebih
besar, antara lain Jawa Barat sebesar 20%, Jawa Timur 15,56% dan Jawa Tengah
12,80%,hal ini perlu mendapat perhatian lebih. Penduduk Jawa Barat yang berusia
diatas 10 tahun yang mempunyai kebiasaan merokok, sebagian besar merokok
setiap hari pertama kali pada usia 15-19 tahun. Persentase perokok di Jawa
Barat (26,7%)
Perilaku berisiko remaja dapat menimbulkan masalah dalam berbagai
aspek baik itu kesehatan, psikologis, sosial budaya dan keamanan, seperti
merosotnya prestasi belajar, rusaknya harmonisasi keluarga, perkelahian antar
pelajar, dan kehamilan yang tidak Hasil penelitian
Yayasan Kusuma Buana dan BKKBNtahun 1993 mengenai kesehatan
reproduksi di 12 Kota di Indonesia mendapatkan bahwa remaja mencarisendiri
informasi seks melalui bacaan dan film porno.Dari 3954 responden sekitar 59%
remaja laki–laki dan28% remaja perempuan mengatakan pernah membacabuku
porno.12Penelitian lain yang dilakukan oleh BKKBN di 4(empat) kota di Provinsi Jawa
Barat tahun 2002menunjukkan hasil bahwa remaja usia 15-19 tahunhampir
60%diantaranya pernah melihat film porno dan18,4% remaja putri mengaku
pernah membaca buku porno diinginkan
. https://media.neliti.com/media/publications/106189-ID-faktor-pada-remaja-
muda-dan-tersedianya.pdf

6. Penjelasan Model Keperawatan Community As Partner


Model konseptual adalah sintesis seperangkat konsep dan pernyataan yang
mengintegrasikan konsep-konsep tersebut menjadi suatu kesatuan. Model
keperawatan dapat didefinisikan sebagai kerangka pikir, sebagai satu cara melihat
keperawatan, atau satu gambaran tentang lingkup keperawatan. Model ini sebagai
panduan proses keperawatan dalam pengkajian komunitas; analisa dan diagnosa;
perencanaan; implementasi komunitas yang terdiri dari tiga tingkatan pencegahan:
primer, sekunder, dan tersier, dan program evaluasi (Hitchcock,
Schubert,Thomas, 1999)
Konsep Community as Partner diperkenalkan Anderson dan Mc Farlane yang
merupakan pengembangan dari model Neuman yang menggunakan pendekatan
totalitas manusia untuk menggambarkan status kesehatan klien. Komunitas
sebagai klien/partner berarti bahwa kelompok masyarakat tersebut turut berperan serta
secara aktif dalam meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengatasi masalah
kesehatannya
Pendekatan Paradigma Keperawatan Community as Partner
Model komunitas sebagai mitra (community as partner) dikembangkan berdasarkan
model Neuman dengan pendekatan totalitas manusia untuk menggambarkan
masalah kesehatan yang ada. Model ini sekaligus menekankan bahwa primary health
care (PHC) sebagai filosofi yang mendasari komunitas untuk turut aktif meningkatkan
kesehatan, mencegah dan mengatasi masalah melalui upaya pemberdayaan komunitas
dan kemitraan. Ada tiga pendekatan utama primary health care (PHC) yaitu memberikan
pelayanan kesehatan dasar dengan teknologi tepat guna, menjalin kerja sama
lintas sektoral dan meningkatkan peran serta masyarakat. Oleh karenanya
model ini sangat menitikberatkan pada kemitraan, melalui kemitraan komunitas
akan merasa masalah kesehatannya juga menjadi tanggung jawabnya. Pada model
health care system menurut Neuman bahwa klien adalah sebagai sifat terbuka, dimana
klien dan lingkungannya berada dalam interaksi yang dinamis dan memiliki tiga garis
pertahanan, yaitu fleksible line of defense dan resistance defence. Dalam model
community as partner ada dua komponen penting yaitu roda pengkajian komunitas
dan proses keperawatan. Roda pengkajian komunitas terdiri dari dua bagian utama
yaitu inti (core) sebagai intrasistem terdiri dari demografi, riwayat, nilai dan
keyakinan komunitas. Ekstrasistemnya terdiri dari delapan subsistem yang
mengelilingi inti yaitulingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan transportasi,
politik dan pemerintahan, pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi dan
rekreasi. Sedangkan proses keperawatan yang dimaksud mulai dari pengkajian,
diagnosa,perencanaan, implementasi dan evaluasi (Hitchcock,Schubert, Thomas, 1999;
Anderson & McFarlane, 2000; Ervin, 2002).

7. Penjelasan Model Keperawatan Health Promotion Model


Sejarah
Nola J. Pender berkomitmen pertama kali pada profesi keperawatan ketika
berusia 7 tahun. Saat itu ia mengobservasi pemberian asuhan keperawatan pada
bibinya yang masuk rumah sakit. Keinginannya untuk memberikan perawatan kepada
orang lain dikembangkan melalui pengalaman dan pendidikan yang ia yakini sebagai
profesi yang menolong orang lain. Dr. Pender membuat terobosan baru pada ilmu
pengetahuan tentang promosi kesehatan melalui riset, pengajaran, presentasi dan tulisan
sederhana.

Konsep Mayor

1. Prior Related Behavior


Secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pada Likelihood of engaging in
health-promoting behaviors
2. Personal Factors
Kategorinya, biologis, psikologis, dan sosiokultur. Faktor ini memprediksikan
pemberian perilaku dan dibentuk secara alami dalam target perilaku menjadi
pertimbangan.
3. Personal Biological Factors
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah variabel seperti umur, jenis kelamin,
Masa indek tubuh, status pubertas, status menopouse,kekuatan, keseimbangan.
4. Personal Psycological Factors
Yang termasuk kedalam faktor ini adalah harga diri, motivasi diri,kemampuan diri,
definisi kesehatan, pemahaman status kesehatan.
5. Personal Sociocultural Factors
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah ras, etnik, pendidikan, dan status
sosioekonomi.
6. Perceived Benefits of Action
Perceived Benefits of Action di antisipasikan sebagai hasil akhir positif yang akan
terjadi dari perilaku kesehatan.
7. Perceived Barriers to Action
Perceived Barriers to Action di antisipasikan,di imajinasikan atau blok nyata dan
ganti rugi individu sebagai usaha pemberi perilaku.
8. Perceived Self-Efficacy
Perceived Self-Efficacy adalah pendapat dari kemampuan individu untuk
mengorganisasikan dan menjalankan sebuah promosi perilaku kesehatan.
9. Activity-Related Affect
Activity-Related Affect di gambarkan sebagai perasaan subjektif positif atau negatif
yang terjadi sebelum, atau sejak mengikuti perilaku dasar yang menstimulus diri dari
perilaku dirinya sendiri.
10. Interpersonal Influences
Pengaruh ini adalah perilaku yang berfokus pada pengetahuan, keyakinan
atau tata krama dan lainnya. Pengaruh interpersonal termasuk norma, sosial suport,
dan modeling. Sumber utama dari pengaruh interpersonal ini adalah keluarga,
kelompok, dan pemberi pelayanan kesehatan.
11. Situational Influences
Situational Influences adalah persepsi dan pengetahuan individu tentang
banyak pemberi situasi atau bahasannya dapat memfasilitasi atau mengganggu
perilaku. Pengaruh situasi mungkin mempunyai pengaruh secara langsung
maupun tidak langsung dalam perilaku kesehatan.
12. Commitment to a plan of action
Komitmen ini menggambarkan konsep dari tujuan dan identifikasi dari strategi
perencanaan yang berperan penting dalam mengimplementasi perilaku kesehatan.
13. Immediate Competing Demans and Preferences
Competing Demans adalah alternatif perilaku individu yang mempunyai
kontrol lemah, karena ada kemungkinan yang terjadi di lingkungan seperti
bekerja atau kepekaan atau kepekaan keluarga. Competing Preferences adalah
alternatif perilaku yang melibatkanindividu relatif kontrol tinggi, seperti memilih
ice cream atau apel untuk makanan ringan.
14. Health-Promoting Behavior
Health-Promoting Behavior adalah sebuah poin akhir atau hasil akhir dari aksi
yang secara langsung terhadap pencapaian hasil akhir kesehatan yang positif
seperti pencapaian yang optimal, pemenuhan kebutuhan individu, dan produktivitas
hidup. Contoh: memilih makanan sehat, manajemen stres, pertumbuhan spiritual,
dan membangun hubungan yang positif

Asumsi Dasar Health Promotion Model menurut Pender

1. Manusia mencoba menciptakan kondisi agar tetap hidup di mana mereka dapat
mengekspresikan keunikannya.
2. Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran dirinya, termasuk
penilaian terhadap kemampuannya.
3. Manusia menilai perkembangan sebagai suatu nilai yang positif dan mencoba
mencapai keseimbangan antara perubahan dan stabilitas.
4. Setiap individu secara aktif berusaha mengatur perilakunya.
5. Individu merupakan makhluk biopsikososial yang kompleks, berinteraksi dengan
lingkungannya secara terus menerus, menjelmakan lingkungan yang diubah secara
terus menerus.
6. Profesional kesehatan merupakan bagian dari lingkungan interpersonal yang
berpengaruh terhadap manusia sepanjang hidupnya.
7. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan lingkungan adalah penting untuk
perubahan perilaku
Aplikasi model teori Pender dalam Keperawatan
Nola J. Pender mengembangkan Health Promotion Model untuk
mendemontrasikan hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan interpersonalnya
dalam berbagai dimensi. Model ini menggabungkan dua teori yaitu teori Nilai Pengharapan
dan Teori Pembelajaran Sosial dalam perspekstif keperawatan manusia dilihat dari fungsi
holistik. Konsep dalam teorinya dengan menekankan bahwa sakit membutuhkan biaya yang
mahal dan perilaku promosi kesehatan adalah ekonomis. Pada beberapa bagian teorinya
memiliki kesamaan pola pandang dengan teori lain seperti memandang bahwa
fokus dari perawatan adalah individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
Teori Health Promotion Model dikembangkan berdasarkan atas riset kualitatif dan
kuantitatif, baik di Amerika maupun negara lain. Bahkan teori ini saat ini terlibat dalam
prakarsa kesehatan global dan telah diuji oleh para sarjana dari Jepang, China dan Taiwan
untuk mempromosikan gaya hidup secara kultural sesuai dengan negara mereka. Selama
perkembangan teori banyak studi yang behubungan dengan pengaplikasian teori yang
dapatdijadikan sebagai dasar riset
Model konseptual Pende
1. Health Promotion Model (HPM) HPM (Gambar 1) mengintegrasikan beberapa
gagasan. Pusat dari HPM adalah sosial learning theory dari Albert Bandura (1977
dalam Alligood, 2000) yang menyatakan pentingnya proses pengetahuan dalam
merubah perilaku. Social learning theory, sekarang diubah menjadi social cognitive
theory yang mencakup self beliefs: self-attribution, self evaluation, and self efficacy.
Self efficacy merupakan gagasan utama dalam HPM. HPM sama dalam
pengertiannya dengan Health belief Model tetapi HPM tidak terbatas hanya
dalam memaparkan tentang perilaku pencegahan penyakit. HPM berbeda dari health
belief model yang mana HPM tidak memasukkan ketakutan dan ancaman sebagai
sumber motivasi dalam perilaku kesehatan. Tetapi, HPM mengembangkan
cakupan perilaku untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan untuk
mengaplikasikannya sepanjang hidup.
2. Revised Health Promotion Model
Rasional merevisi Health Promotion Model adalah dari adanya analisis studi
penelitian. Proses menyempurnakan HPM mengalami beberapa perubahan (Lihat
gambar 1). Pertama, Importance of health, perceived control of health and cues for
action dihapus dari model. Kedua, definition of health, perceived health status and
demographic and biological characteristics telah di masukkan dalam kategori
personal factors pada tahun 1966 dalam revisi HPM terakhir,revisi HPM mengikuti
tiga variabel baru dimana variabel tersebut membawa pengaruh kepada
individu untuk tertarik dalam perilaku promosi kesehatan yang merupakan
outcome dari HPM. (Pender, 1966 dalam Tomey & Alligood, 2000) variabel tersebut
antara lain,
a. Activity-related affect
b. Commitment to a plan of action
c. Immediate competing demand and preferences

Anda mungkin juga menyukai