Anda di halaman 1dari 3

Dimasa kini kesehatan menjadi isu yang sering dibicarakan, terutama kesehatan

mental, oleh generasi Z. Menurut WHO (World Health Organization), sehat adalah kondisi
lengkap baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosial. Kesehatan mental adalah kondisi
sejahtera karena seseorang/ individu menyadari potensi yang ada dalam dirinya, dapat
mengatasi tekanan, bekerja dengan baik dan produktif, serta mampu memberi kontribus bagi
kelompoknya. Siapakah generasi Z? Generasi Z Indonesia adalah orang yang lahir dari 1995-
2010. Sejauh ini, generasi Z dikenal sebagai karaker yang lebih tidak focus dari generasi
milenial tapi lebih serba bisa, lebih individual, lebih global, berpikiran terbuka, dan lebih
ramah teknologi.

Ada sebuah istilah yang terkenal di kalangan generasi muda yaitu “live while we’re
young!”. Namun, istilah ini sekarang kurang memiliki makna. Nyatanya kondisi kesehatan
mental anak muda tidak lagi sebaik paradigma orang. Menurut penelitin American
Psychological Association (APA) di tahun 2018 berjudul “Stress in America: Generation Z”,
Generasi Z atau anak muda adalah kelompok manusia dengan kondisi kesehatan mental
terburuk dibandungkan dengan generasi- generasi lainnya. Stress yang dialami oleh anak
generasi Z disebabkan oleh berbagai hal diantaranya tingginya aksesibilitas informasi bagi
generasi Z, pengetahuan yang mudah diakses yang berubah menjadi tekanan bagi diri
sendiri  dan masih banyak lagi.

DAMPAK MEDSOS

Komunikasi yang semula terbatas jarak, kini bisa dilakukan dengan mudah melalui medsos dan
beragam fiturnya. Tak ada lagi halangan jarak dan waktu dalam berkomunikasi berkat adanya
medsos. Hasil riset APA menunjukkan bahwa media sosial memang memainkan peran yang amat
besar dalam kehidupan generasi Z, tapi bukan hanya peran yang berdampak positif. Sebanyak 55
persen dari generasi Z merasakan medsos memberikan dapak positif untuk diri mereka. Di sisi
lain, 45 persen generasi Z mengaku medsos membuat mereka merasa dihakimi dan sebagian lain
merasa buruk tentang dirinya sendiri akibat medsos.

Kebebasan berpendapat di media sosial adalah penyebabnya. Berbeda dengan media massa yang
mempunyai sosok gatekeeper untuk menjaga arus keluar-masuk informasi, siapa saja bisa
mengatakan dan menyebarkan apa saja melalui medsos. Perkataan atau komentar berbau
kebencian juga termasuk hal yang secara bebas bisa tersebar di medsos.

Perilaku menekan, mempermalukan, mengancam dan melecehkan seseorang melalui pesan di


internet dan medsos disebut dengan perundungan siber (cyberbullying). Generasi Z adalah
generasi yang sering berhadapan dengan perundungan siber (cyberbullying), baik sebagai korban
maupun sebagai pelaku (Steyer, 2012). Selain karena kedekatannya dengan teknologi,
kecenderungan generasi Z dalam memanfaatkan teknologi sebagai pelampiasan kekosongan
emosional dan kondisi kehidupan nyata yang tak sesuai harapan menjadi penyebab hal itu terjadi.

Tingkat stress di rumah-rumah tempat generasi Z tinggal juga turut terpengaruh oleh kesenjangan
pendapatan dan ekonomi. Hal itu berpengaruh terhadap pandangan generasi Z terhadap keuangan.

KONDISI KESEHATAN MENTAL GENERASI  Z  PERLU MENJADI PERHATIAN


BANYAK PIHAK
 Di Indonesia sendiri, isu kesehatan mental masih menjadi topik yang kurang popular.
Stigma terhadap orang yang menderita penyakit mental justru menyebabkan sulitnya
penanganan dan membuat penderita terisolasi. Data dari riset kesehatan dasar menyebutkan
bahwa pada tahun 2013, terdapat 56000 penderita yang dipasung karena stigma negative serta
kurannya informasi dan pemahaman terkait kesehatan mental. Menurut data dari Riset
Kesehtan Mental tahun 2007, di Indonesia terdapat sekitar 1 juta orang yang mengalami
gangguan jiwa berat dan sekitar 19 juta orang mengalami gangguan jiwa sedang dan ringan.
Angka tersebut terus bertambah seiring bertambahnya tahun.

 Isu kesehatan mental apabila terus menerus terpinggirkan akan berpengaruh buruk
bagi Indonesia. Penurunan produktifitas terbukti berdampak nyata pada perekonomian.
DALY (Disability-Adjusted Life Year) atau waktu yang hilang selama setahun dari penderita
gangguan mental ternyata 12,5% lebih besar daripada penderita penyakit jantung sistemik
dan TBC . Bahkan menurut WHO dan WEF (World Economic Forum) gangguan mental
menjadi beban ekonomi terbesar di seluruh dunia dibanding isu kesehatan lain dengan
menghabiskan $2,5 triliun pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi $6 triliun dolar pada
tahun 2030 karena 2/3 dari hilangnya dana terpakai akibat disabilitas dan kehilangan
pekerjaan. WHO pun dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan kesehatan fisik dan
mental secara berimbang merupakan sebuah kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh
pemerintah dan segenap masyarakat.

Menurut Annelia Sani sari, Psikolog Anak di Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia,
data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, deteksi sejak dini bukan hanyalh tanggung
jawab keluarga tapi seluruh elemen yang berkepentingan terhadap adanya generasi yang
sehat secara fisik dan mental.

“Setelah mendeteksi adanya gangguan mental, lakukan intervensi yang sifatnya menyeluruh,
focus pada kegiatan promotif dan preventif, serta peningkatan factor protektif atau
pendukuung kesehatan mental pada anak dan remaja.”

 Berikut adalah cara yang bisa diterapkan untuk menjaga kesehatan mental kita.

Buku Harian

Buku harian adalah salah satu cara yang bisa dipakai untukmerawat kesehatan mental. Buku
harian bisa diisi dengan ungkapan perasaan kita hari itu, ide dan pendapatnya mengenai aktivitas
yang dijalani, dan lain-lain.

Fokus Pada Diri Sendiri

Cara menjaga kesehatan mental selanjutnya yang bisa diterapkan adalah dengan berkta pada diri
sendiri bahwa kita adalah orang yang berharga. Hal ini penting dilakukan, apalagi bagi anak yang
menginjak usia remaja.

Kejujuran

Sebagai orang dewasa, Anda pasti sudah terbiasa dengan pahit-manis kehidupan. Namun untuk
mempertahankan kesehatan mental, kita harus berkata jujur dan memilki sifat yang terbuka.

Anda mungkin juga menyukai