Gen Z: Dekadensi Moral Berdalih Menjaga Kesehatan Mental
Oleh: Baqiatus Sholihah / 20381012014
Di era digital yang semakin berkembang, isu dekadensi atau penurunan
moral generasi bangsa tengah marak dibicarakan. Mereka dinilai tidak memiliki etika dan sopan santun dalam berperilaku serta cenderung mengedepankan ego. Di sisi lain, mental health atau kesehatan mental belakangan ini menjadi isu yang tengah hangat dan tidak habis diperbincangkan. Beberapa penelitian menyatakan, generasi zaman sekarang atau dikenal dengan julukan gen Z rentan alami masalah mental atau mental illness. Oleh karena itu, edukasi mengenai kesehatan mental menjadi agenda yang cukup penting dalam rangka menekan dan mengurangi jumlah penderita masalah mental atau mental illness serta mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan tidak menganggap penderita gangguan mental sebagai “orang aneh” atau bahkan menilainya sebagai “orang gila”. Namun, apakah benar masalah mental yang dialami oleh gen Z adalah hal yang murni dan tergolong wajar? Gen Z sendiri merupakan sebutan bagi generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012. Mereka disebut pula sebagai generasi post millennial sebagai penerus sebelumnya, yakni generasi millennial yang lahir dalam rentang tahun 1980 hingga 1996. Pada tahun 2023 ini, gen Z tentu telah memasuki usia remaja hingga dewasa awal, yakni kisaran 11 sampai 26 tahun. Gen Z lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi yang pesat dan aksesnya yang semakin cepat serta mudah. Mereka memiliki kemudahan dalam mengakses segala informasi seluas-luasnya, kapanpun dan dimanapun sesuai dengan keinginan. Hal itu menyebabkan gen Z mudah dalam mengeksplor atau mengembangkan diri dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Namun, seiring pesatnya perkembangan teknologi dengan segala kemudahannya, seringkali berakibat buruk pada penggunanya. Sudah merupakan hal yang umum bagi masyarakat, bahwa gen Z memiliki stereotype yang cukup buruk. Mulai dari persoalan moral, hingga kerentanan mereka akan masalah mental yang dinilai terlalu sensitif. Mereka sering dinilai kurang memiliki etika serta kerap menyalahi norma yang ada dalam tatanan masyarakat. Pengaruh budaya barat yang kuat akibat tidak terkontrolnya informasi yang bersumber dari teknologi, menjadikan mereka lupa atau bahkan menganggap rendah nilai-nilai moral yang sudah membudaya di bangsa Indonesia. Di sisi lain, mereka tidak begitu welcome dengan kritikan, saran, dan teguran orang lain dengan mengatas namakan orang tersebut terlalu ikut campur dengan urusannya dan ikut andil dalam kehancuran mentalnya. Pada generasi zaman dahulu, orang tua dan guru begitu dihormati, apapun kondisi dan perlakuannya selama bermaksud pada kebaikan. Namun, sebagian besar gen Z begitu ringan mengatakan orang tua dan guru sebagai orang yang dicap “toxic” jika perintah dan tegurannya dirasa mengganggu kenyamanan hidupnya. Di sisi lain, mereka menjadikan budaya barat sebagai kiblat dalam menjalankan hidup. Budaya barat yang cenderung mengesampingkan moral dan etika dianggap sebagai kehidupan ideal karena penuh dengan kebebasan, tidak terikat norma-norma tertentu selayaknya budaya timur. Dengan demikian, tidak heran apabila budaya sopan santun sudah sangat langka saat ini. Banyak dijumpai kasus seorang anak melawan orang tua atau seorang siswa yang bertindak semena-mena kepada guru. Kebebasan pergaulan yang melewati batas juga kerapkali dilakukan dengan menjadikan kebebasan berekspresi sebagai dalih utama. Secara tidak sadar, mereka sendiri yang memancing cemoohan masyarakat sebagai sanksi sosial. Kemudian, ketika sanksi sosial tersebut mereka terima, mereka asumsikan bahwa masyarakat memiliki pemikiran tertinggal dan tidak open mind. Mereka merasa masyarakat tidak bisa menghargai kebebasan dan tidak peduli akan kesehatan mental orang lain. Fenomena di atas pada akhirnya menimbulkan permasalahan dan dilema bagi masyarakat secara luas. Tentunya, hal ini kembali kepada tanggung jawab individu itu sendiri, orang tua, dan para tenaga profesional untuk mengatasi hal yang demikian. Perlunya pembatasan dan pendampingan akan akses informasi yang tersebar secara bebas di jejaring sosial, karena seringkali penyimpangan moral dan kerentanan mereka terhadap kesehatan mental terjadi akibat kesalahpahaman akan informasi yang gen Z terima melalui sosial media. Seperti yang telah dikatakan di awal, bahwa belakangan ini sangat banyak media yang memuat informasi terkait edukasi kesehatan mental. Pada faktanya, tidak semua gen Z yang merasa mengalami mental illness benar-benar mengalami. Sebagian besar dari mereka hanya merasa relate dengan informasi yang dibaca, kemudian melakukan self diagnosis tanpa didampingi oleh orang yang ahli dibidangnya. Self diagnosis tentu dapat berakibat fatal jika tidak sembari didampingi oleh seorang profesional. Diagnosa yang salah akan menimbulkan beragam permasalahan, bahkan mampu menjadikan orang tersebut benar-benar mengalami hal yang demikian akibat kekhawatiran berlebih. Kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan contohnya. Hal ini adalah hal yang normal, khususnya bagi mereka yang sudah menginjak usia 18 tahun ke atas. Seiring adanya usaha dan tujuan hidup yang pasti, maka setiap orang akan berhasil melewati kekhawatirannya. Namun, hal yang demikian tidak berlaku pada gen Z. Stres atau rasa tertekan terkadang mereka manfaatkan. Dibandingkan dengan fokus mengatasi masalah dengan menggencarkan usaha dan memastikan tujuan yang hendak dicapai, sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk mencari cara instan yang akhirnya menjadi pelarian, bukan solusi. Seperti travelling berkedok healing tanpa maksud dan tujuan yang jelas, serta tidak jarang kewajiban mereka terabaikan. Ditambah lagi, sering ditemukan gen Z yang mudah sekali merasa rendah diri atau dikenal dengan istilah insecure pada hal-hal yang tidak begitu penting. Hal ini tentu semakin menambah kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak perlu bagi individu mereka yang dapat mengakibatkan mereka rentan terkena mental illness. Sebagai generasi post millennial atau gen Z, sudah selayaknya kita menjalani hidup sesuai dengan norma moral yang berlaku di tempat dimana kita tinggal, Indonesia yang menjunjung tinggi etika dan kesopanan. Alangkah baiknya kita lebih bijak dalam mengakses teknologi yang kini berada di genggaman tangan. Di sisi lain, kita juga harus lebih bijak dalam memahami informasi yang kita dapat, supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung mencemari nama baik kita sendiri sebagai generasi post millennial atau gen Z. Di sisi lain, kita memang dituntut untuk peduli terhadap kesehatan mental, namun kita tidak diperkenankan untuk melakukan self diagnosis serta menyalahgunakannya sebagai pelindung terhadap penyimpangan yang kita lakukan.
Intelijen: Pengantar psikologi kecerdasan: apa itu kecerdasan, bagaimana cara kerjanya, bagaimana kecerdasan berkembang, dan bagaimana kecerdasan dapat memengaruhi kehidupan kita