Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dewi Selviyana

NIM : 2001036125

Prodi : S1-Akuntansi

Mata kuliah : Bahasa Indonesia

Kelas : Gabungan F

Remaja dan Kesehatan Mental

Kalimat “Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” dapat mengubah pandangan
orang mengenai definisi sehat. Sehat sering kali dipersepsikan dari segi fisik saja, padahal
kesehatan mental juga termasuk dalam sehat. Kesehatan fisik masih dianggap lebih penting
dibanding kesehatan mental. Kesehatan mental sangat penting untuk menunjang produktivitas
dan kualitas kesehatan fisik. Kebanyakan orang beranggapan bahwa masalah mental adalah aib
yang harus disembunyikan sehingga mereka menganggap remeh dan mengesampingkan
masalah tersebut. Padahal di era globalisasi seperti ini, banyak penderita depresi yang nekat
membahayakan dirinya dan orang lain. Oleh karena itu masyarakat harus menyadari betapa
pentingnya kesehatan mental, karena jika seseorang hanya mengedepankan kesehatan fisik
saja dibandingkan kesehatan mentalnya, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sehat
seutuhnya.

Gangguan mental atau kejiwaan bisa dialami oleh siapa saja, termasuk pada remaja.
Menurut National Alliance for the Mentally III, setengah dari penyakit mental bermula sejak
remaja, yakni di usia 14 tahun. Hal ini terjadi karena masa remaja merupakan masa yang kritis
dalam siklus perkembangan seseorang. Di masa ini banyak terjadi perubahan dalam diri
seseorang sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Masa remaja merupakan masa di mana
banyak perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial.
Masa beranjak dewasa ini lah yang seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan
dirinya sendiri (konflik internal).

Sebagian besar masalah mental yang dialami remaja muncul karena faktor lingkungan. Misalnya
seorang anak yang mengalami trauma pelecehan seksual, trauma atas Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), trauma atas perundungan (bullying), dan lain-lain. Meski demikian, ada
kemungkinan bahwa gangguan mental juga muncul karena faktor genetik. Misalnya, anak yang
lahir dari orang tua penderita gangguan bipolar akan lebih rentan terkena bipolar.
Gangguan mental pada remaja biasanya ditandai dengan stres dan kecemasan berkepanjangan
yang menyebabkan terhambatnya aktivitas dan menurunya kualitas fisik. Gangguan mental
pada remaja yang paling umum adalah depresi. Remaja yang mengalami depresi biasanya akan
menyelesaikan masalah dengan solusi yang salah dan melarikan diri pada hal-hal negatif,
kemudian mereka akan mencari pembenaran atas apa yang sudah mereka lakukan. Tak jarang,
beberapa remaja yang mengalami depresi juga akan menjauhkan diri dari dunia luar dan mulai
menyakiti diri sendiri (self harm). Hal inilah yang menjadi awal dari banyaknya aksi nekat untuk
mengakhiri hidup sebagai solusi dari satu masalah.

Menurut WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi
penyebab kematian tertinggi pada remaja usia 15-29 tahun. Ini membuktikan bahwa stres yang
tidak tertangani dengan baik pada remaja dapat menyebabkan masalah yang lebih besar di
masa mendatang. Salah satu faktor yang menyebabkan ini terjadi adalah pandangan
masyarakat yang cenderung negatif terhadap orang dengan gangguan mental atau jiwa yaitu
dengan mencela dan menganggapnya sebagai aib, anggapan akan orang gila. Hal ini
menyebabkan  orang dengan kesehatan mental yang terganggu cenderung susah terbuka akan
pengobatan dan malah merasa lebih tertekan akan stigma masyarakat tersebut.

Banyak remaja dengan masalah kesehatan mental yang tak mendapat penanganan dengan
baik. Salah satu penyebab paling umum adalah karena tidak ada yang memahami indikasi
munculnya masalah. Maka dari itu diharapkan hendaknya masyarakat lebih terbuka dan peka
akan gangguan kesehatan mental disekitarnya. Masyarakat bisa menjadi pendengar bagi orang
yang mengalami depresi maupun stres sebagai upaya meringankan beban mental. Selain itu,
dalam hal ini peran keluarga sangat penting.
Jika muncul tanda-tanda gangguan mental, ada baiknya segera lakukan tindakan pencegahan.
Pencegahan depresi dapat dilakukan dengan pengelolaan stres. Pengelolaan stres masing-
masing individu berbeda, ada yang mengelola stres dengan melakukan kegiatan yang disukai
seperti hobi, melakukan kegiatan refreshing, mendekatkan diri dalam konteks spiritual
keagamaan, hingga bercerita kepada orang lain untuk mengurangi beban stres. 
Terlepas dari stigma masyarakat, keberanian diri untuk terbuka terhadap orang lain dan
berobat merupakan salah satu langkah yang tepat. Di era digital seperti sekarang
banyak platfrorm yang menyediakan layanan konsultasi secara daring dengan biaya maupun
gratis. Selain itu, beberapa puskesmas telah menyediakan layanan konsultasi psikologi dengan
biaya gratis maupun berbayar dengan harga terjangkau.

Anda mungkin juga menyukai