Anda di halaman 1dari 9

Peran Generasi Milenial dalam Menanggulangi Masalah Kesehatan

Mental di Era New Normal

Subtema: Kesehatan Masyarakat

Oleh: Kevin Wisnumurthi Adhi Nugroho – Universitas Indonesia

Pendahuluan

Sejak awal kemunculannya, pandemi COVID-19 telah membawa dampak


yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagai akibat dari
masifnya persebaran virus COVID-19, pemerintah memberlakukan social and
physical distancing yang dimulai sejak pertengahan bulan Maret guna memutus rantai
penyebaran COVID-19. Oleh karena itu, interaksi fisik dan tatap muka mengalami
penurunan dan digantikan dengan interaksi yang dilakukan secara daring.
Bertransformasinya pola aktivitas masyarakat ini menandai dimulainya era baru yang
dinamakan new normal.

Era new normal ini berimbas besar bagi seluruh elemen masyarakat. Salah
satu imbasnya adalah gangguan kesehatan mental yang dapat menghantui siapa saja.
Hal ini tentunya sangatlah mengkhawatirkan. Melalui tulisan ini, penulis akan
mengupas tentang gangguan kesehatan mental yang terjadi di era new normal sebagai
akibat dari pandemi COVID-19. Selain itu, penulis juga akan membahas langkah
yang dapat dilakukan oleh generasi milenial selaku nakhoda bangsa dalam
menanggulangi masalah ini.
Kesehatan Mental sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat di Era New Normal

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu hal yang mungkin
menghantui kita di era new normal ini adalah gangguan kesehatan mental. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran karena kesehatan mental merupakan bagian penting dari
kesehatan secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan definisi kesehatan yang
diberikan oleh World Health Organization (WHO), yaitu “health as a state of
complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of
disease or infirmity.” Dari definisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kesehatan
mental tidak kalah pentingnya ketimbang kesehatan fisik.

Kesehatan mental sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan emosional dan


psikologis yang baik, di mana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan
emosi, berfungsi dalam komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari (Dewi, 2012). Melihat definisinya, kesehatan mental terdengar seperti masalah
personal tiap orang. Namun, untuk dapat memahami, menjaga, dan mengentaskan
masalah kesehatan mental di era new normal, kita perlu melihat isu ini dari kacamata
kesehatan masyarakat.

Melalui penelitiannya, Xiong et al. (2020) menunjukkan bahwa pandemi


COVID-19 sangatlah berbahaya bagi kesehatan mental secara global. Gangguan
terhadap kesehatan mental ini salah satunya disebabkan oleh ketiadaan interaksi fisik
dan tatap muka. Efek dari ketiadaan interaksi fisik dan tatap muka di antaranya
adalah timbulnya stres, depresi, ketakutan, kecemasan, insekuritas, perasaan terisolasi
secara emosional, dan perasaan-perasaan negatif lainnya (Pfefferbaum & North,
2020). Senada dengan Xiong et al., penelitian lain menunjukkan bahwa ada
peningkatan tekanan psikologis yang dirasakan oleh populasi secara umum (Wang et
al., 2020).

Dalam penelitiannya, Xiong et al. (2020) menemukan bahwa jumlah orang


yang mengalami gejala kecemasan berkisar antara 6,33-18,7%. Selain itu, Xiong et
al. (2020) juga menemukan bahwa jumlah orang dengan gejala depresi berkisar
antara 14,6-32,8%. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding setahun sebelum pandemi
yang berkisar antara 3,6-7,2% (Huang et al., 2019). Temuan lain dari Xiong et al.
(2020) menunjukkan bahwa prevalensi gejala stres sebesar 27,2%, sedangkan
prevalensi gejala PTSD (post-traumatic stress disorder) sebesar 7%.

Selain ketiadaan interaksi fisik dan tatap muka, faktor lain yang menyebabkan
gangguan kesehatan mental di era new normal adalah penggunaan media sosial.
Orang yang sering membuka media sosial, khususnya mengenai berita terkait
COVID-19, lebih rentan stres dan mengidap kecemasan (Gao et al., 2020). Hal ini
disebabkan oleh maraknya disinformasi dan berita bohong (hoaks) yang disebarkan di
media sosial (Erku et al., 2020). Selain itu, kesedihan dan kecemasan dapat muncul
saat kita melihat penderitaan orang lain melalui media sosial ataupun portal berita (Li
et al., 2020).

Melihat tingginya prevalensi gangguan kesehatan mental di era new normal,


tidak salah rasanya kalau masalah kesehatan mental dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat. Maka dari itu, perlu suatu gerakan kolektif yang dilakukan
untuk menanggulangi masalah ini. Sebagai generasi yang kelak akan menakhodai
negeri ini, wajar bagi kita, generasi milenial, untuk turut andil dalam menanggulangi
masalah kesehatan mental yang seolah menjamur di era new normal ini. Lantas, apa
yang dapat dilakukan oleh generasi milenial?

Pemanfaatan Media Sosial untuk Menjaga Kesehatan Mental Masyarakat

Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa gangguan kesehatan mental seakan


menjamur di era new normal. Sebagai pemegang tongkat estafet bangsa Indonesia,
generasi milenial haruslah bertindak untuk menanggulangi masalah kesehatan mental
ini. Menurut penulis, tindakan yang dapat dilakukan oleh generasi milenial adalah
dengan memanfaatkan media sosial. Memang, sebelumnya disebutkan bahwa media
sosial merupakan faktor pendorong gangguan kesehatan mental, tetapi pemanfaatan
media sosial yang tepat sasaran dapat menjadi solusi dari gangguan kesehatan mental
di era new normal.
Sebelum membahas mengenai bentuk pemanfaatan media sosial oleh generasi
milenial, penulis akan memaparkan data-data terkait penggunaan media sosial.
Berdasarkan laporan dari Hootsuite dan We Are Social, 4,14 miliar orang atau 53%
dari total penduduk di seluruh dunia menggunakan media sosial setiap bulannya pada
tahun 2020. Pengguna media sosial di seluruh dunia menghabiskan rata-rata 2 jam 29
menit setiap harinya untuk mengakses media sosial. Di Indonesia sendiri, jumlah
pengguna media sosial pada tahun 2020 adalah 160 juta atau 59% dari total penduduk
Indonesia. Angka ini meningkat 8,1% dari tahun sebelumnya. Hal yang patut menjadi
perhatian adalah masyarakat Indonesia mengakses media sosial selama 3 jam 26
menit setiap harinya. Angka ini hampir 1 jam lebih lama dibanding rata-rata seluruh
penduduk dunia.

Melihat sangat masifnya pengguna media sosial di dunia dan Indonesia, maka
tidak mengherankan jika disinformasi dan hoaks dapat dengan mudah menyebar.
Namun, dilihat dari sisi positifnya, media sosial dapat dimanfaatkan oleh generasi
milenial untuk melakukan penjagaan dan perlindungan kesehatan mental masyarakat.
Pemaparan berikutnya akan menjelaskan mengenai bentuk-bentuk penjagaan dan
perlindungan kesehatan mental masyarakat yang dapat dilakukan oleh generasi
milenial melalui media sosial.

Hal pertama yang dapat dilakukan oleh generasi milenial secara kolektif
adalah menahan diri untuk tidak mudah menyebarkan berita yang tidak diketahui
validitasnya. Hal ini sangat krusial karena disinformasi dan hoaks yang disebarkan
melalui media sosial dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental (Erku et al.,
2020). Selain menahan diri untuk tidak menyebarkan berita yang diragukan
validitasnya, generasi milenial juga harus mengampanyekan gerakan antihoaks.
Dengan mengampanyekan gerakan antihoaks, harapannya masyarakat dapat lebih
tercerdaskan sehingga mampu lebih bijak dalam menyikapi berita yang didengar.

Hal kedua yang generasi milenial dapat lakukan adalah secara kolektif
mengampanyekan perilaku 3M yang terdiri dari memakai masker, mencuci tangan,
serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Kunci dari suksesnya kampanye ini
terletak pada kolektivitasnya. Semakin banyak generasi milenial yang
mengampanyekan perilaku 3M, maka semakin banyak orang yang akan mengikuti.
Hal ini sesuai dengan konsep bandwagon effect yang menyatakan bahwa seseorang
lebih mungkin mengikuti sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang (Beck, 2015).
Perilaku 3M ini memang terdengar sederhana, tetapi dampaknya cukup signifikan.
Wang et al. (2020) menemukan bahwa orang yang aktif melakukan 3M lebih
terlindungi dari gangguan kesehatan mental.

Hal ketiga yang mampu dilakukan oleh generasi milenial adalah secara
kolektif menggalakkan pola hidup sehat. Pola hidup sehat yang dimaksud di sini
adalah olahraga secara rutin, makan dengan gizi seimbang, serta istirahat yang cukup.
Kegiatan-kegiatan tersebut memang terkesan simpel, tetapi ketiga kegiatan tersebut
terbukti efektif dalam mencegah dan mengurangi gejala stres atau depresi (Carek et
al., 2011; Molendijk, 2018; Zhang et al., 2020). Tentu, untuk memastikan bahwa
masyarakat menerapkan pola hidup sehat, generasi milenial harus melakukan
kampanye secara kolektif agar bandwagon effect dapat terjadi.

Hal berikutnya yang dapat generasi milenial lakukan adalah menyadarkan


masyarakat mengenai pentingnya menjalin interaksi dengan teman dan keluarga, baik
melalui panggilan telepon maupun video. Menurut Hwang et al. (2020), menjaga
interaksi dengan teman dan keluarga di era new normal dapat mengurangi stres akibat
isolasi sosial. Temuan Hwang ini diamini oleh Zhang et al. (2020) yang
mengemukakan bahwa orang dengan dukungan sosial yang memadai menunjukkan
tingkat stres yang lebih rendah.

Terakhir, generasi milenial dapat menanamkan kesadaran bahwa gangguan


kesehatan mental merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di era new normal. Tujuan
dari hal ini adalah menghapus stigma negatif mengenai gangguan kesehatan mental
karena banyak orang yang enggan mencari bantuan psikologis akibat stigma negatif
tersebut (Corrigan, 2004). Harapannya, masyarakat tidak lagi takut untuk mencari
bantuan profesional dalam menghadapi gangguan kesehatan mental yang dihadapi.
Penutup

Melalui tulisan ini, penulis telah menjelaskan bahwa gangguan kesehatan


mental merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menghantui kita semua di era
new normal ini. Generasi milenial, sebagai generasi yang kelak akan menakhodai
negeri ini, haruslah mengambil peran dalam pengentasan masalah kesehatan mental
masyarakat. Penulis telah memaparkan lima bentuk pemanfaatan media sosial yang
dapat dilakukan secara kolektif oleh generasi milenial untuk menanggulangi masalah
kesehatan mental di era new normal. Harapannya, masalah kesehatan mental tidak
lagi menghantui masyarakat agar kita semua bisa beraktivitas dengan “normal” di era
new normal.
Daftar Pustaka

Carek, P. J., Laibstain, S. E., & Carek, S. M. (2011). Exercise for the treatment of
depression and anxiety. The international journal of psychiatry in medicine,
41(1), 15-28.

Corrigan, P. (2004). How stigma interferes with mental health care. American
psychologist, 59(7), 614.

Dewi, K. S. (2012). Buku ajar kesehatan mental.

Erku, D. A., Belachew, S. A., Abrha, S., Sinnollareddy, M., Thomas, J., Steadman, K.
J., & Tesfaye, W. H. (2020). When fear and misinformation go viral:
Pharmacists' role in deterring medication misinformation during
the'infodemic'surrounding COVID-19. Research in Social and Administrative
Pharmacy, 17(1), 1954-1963.

Gao, J., Zheng, P., Jia, Y., Chen, H., Mao, Y., Chen, S., ... & Dai, J. (2020). Mental
health problems and social media exposure during COVID-19 outbreak. Plos
one, 15(4), e0231924.

Hootsuite & We Are Social. (2020). Digital 2020 Indonesia.

Huang, Y., Wang, Y., Wang, H., Liu, Z., Yu, X., Yan, J., ... & Wu, Y. (2019).
Prevalence of mental disorders in China: a cross-sectional epidemiological
study. The Lancet Psychiatry, 6(3), 211-224.

Hwang, T. J., Rabheru, K., Peisah, C., Reichman, W., & Ikeda, M. (2020). Loneliness
and social isolation during the COVID-19 pandemic. International
Psychogeriatrics, 32(10), 1217-1220.

Li, Z., Ge, J., Yang, M., Feng, J., Qiao, M., Jiang, R., ... & Yang, C. (2020).
Vicarious traumatization in the general public, members, and non-members of
medical teams aiding in COVID-19 control. Brain, behavior, and immunity,
88, 916-919.
Molendijk, M., Molero, P., Sánchez-Pedreño, F. O., Van der Does, W., & Martínez-
González, M. A. (2018). Diet quality and depression risk: a systematic review
and dose-response meta-analysis of prospective studies. Journal of affective
disorders, 226, 346-354.

Pfefferbaum, B., & North, C. S. (2020). Mental health and the Covid-19 pandemic.
New England Journal of Medicine.

Schmitt‐Beck, R. (2015). Bandwagon effect. The international encyclopedia of


political communication, 1-5.

Wang, C., Pan, R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., Ho, C. S., & Ho, R. C. (2020).
Immediate psychological responses and associated factors during the initial
stage of the 2019 coronavirus disease (COVID-19) epidemic among the
general population in China. International journal of environmental research
and public health, 17(5), 1729.

WHO. (2013). Mental Health Action Plan 2013-2020. Geneva: World Health
Organization.

Xiong, J., Lipsitz, O., Nasri, F., Lui, L. M., Gill, H., Phan, L., ... & McIntyre, R. S.
(2020). Impact of COVID-19 pandemic on mental health in the general
population: A systematic review. Journal of affective disorders.

Zhang, Y., & Ma, Z. F. (2020). Impact of the COVID-19 pandemic on mental health
and quality of life among local residents in Liaoning Province, China: A
cross-sectional study. International journal of environmental research and
public health, 17(7), 2381.

Anda mungkin juga menyukai