Anda di halaman 1dari 2

Nama : Achmad Dani Alfarizi

NIM : 0509128227033
Agronomi Indralaya

Kesehatan Mental Selama Pandemi Covid-19

Coronavirus disease 2019 atau yang sering disingkat COVID-19 merupakan virus yang telah
menyebabkan wabah di beberapa Negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data
statistik COVID-19 Indonesia, menunjukkan grafik peningkatan kasus yang terus melonjak di beberapa
bulan terakhir. Pada 30 Juni 2021, kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia mencapai 2,18 juta,
dimana 58,891 orang diantaranya meninggal dunia. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran di
kalangan masyarakat karena kasus COVID-19 merebak semakin cepat seperti tak terkendali.
Kekhawatiran tersebut jika terus dibiarkan akan menjadi lebih serius dan berdampak buruk bagi
kesehatan, lama-kelamaan tentunya akan mempengaruhi kesehatan mental setiap orang. Berbagai
permasalahan yang terjadi karena COVID-19 ini dinilai menjadi sumber stress baru untuk masyarakat.
Gangguan kesehatan mental yang kerap terjadi di masa pandemi COVID-19 ini mulai dari yang ringan
sampai yang berat, yakni seperti cemas berlebihan, stress, hingga depresi (Dr. Dr. Fidiansjah, Sp.KJ.,
2020).

Berbagai kondisi yang terjadi selama pandemi COVID-19 memberikan banyak efek psikologis kepada
masyarakat. Hal ini dikarenakan pandemi COVID-19 menjadi stressor yang berat. Salah satu efek
psikologis yang sering terjadi di masa pandemi COVID-19 adalah kecemasan. Kecemasan adalah kondisi
umum dari ketakutan atau perasaan tidak nyaman. Kecemasan ditandai dengan berbagai gejala, yang
mencakup gejala fisik, perilaku dan kognitif. Tingkat kecemasan setiap orang dapat berbeda-beda
tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai faktor termasuk faktor demografi dapat
mempengaruhi kecemasan mengenai pandemi. Selain itu kecemasan mengenai resiko terpapar COVID-19
juga mempengaruhi tingkat kecemasan individu. Apalagi di kondisi seperti ini dimana kasus COVID-19
semakin meningkat dan menyebabkan masyarakat semakin was-was dan khawatir serta meningkatkan
kecemasan (Rinaldi dan Yuniasanti, 2020).

WHO mencanangkan visi dari rencana aksi kesehatan mental 2013–2020 untuk dunia yaitu dimana
kesehatan mental harus lebih dihargai, dipromosikan dan dilindungi. Diharapkan gangguan mental dapat
dicegah dan orang yang terkena gangguan ini mendapatkan berbagai hak asasi manusia dan akses kualitas
tinggi, kesehatan sesuai budaya dan pelayanan sosial pada waktu yang tepat untuk mendorong pemulihan,
yang memungkinkan untuk mencapai kesehatan pada level tertinggi dan berpartisipasi sepenuhnya dalam
masyarakat dan di tempat kerja, bebas dari stigmatisasi dan diskriminasi (WHO,2013).

Upaya kesehatan mental di Indonesia dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mewujudkan derajat
kesehatan mental yang optimal bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (UU, 2014).

Saat ini, UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kesehatan
jiwa yang komprehensif. Penetapan pelayanan kesehatan jiwa dasar dan rujukan menjadi upaya kesehatan
jiwa yang dilaksanakan dengan membangun sistem pelayanan kesehatan jiwa berjenjang dan
komprehensif. Selain aspek pelayanan juga ditetapkan sebagai sumber daya dalam penyelenggaraan,
diantaranya sumber daya manusia, fasilitas pelayanan, perbekalan, teknologi dan produk teknologi, serta
pendanaan. Pelaksanaan upaya kesehatan jiwa harus berdasarkan pada asas keadilan, perikemanusiaan,
manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif, perlindungan, serta non diskriminasi (UU, 2014).
(Radiani Widya A. 2019).

Pandemi COVID-19 telah mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Hal ini diakibatkan dari perasaan
tidak nyaman dan kekhawatiran masyarakat akan terpapar COVID-19 sehingga tingkat kecemasan
masyarakat meningkat. Kecemasan yang berlebihan tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami
stress hingga depresi. Oleh sebab itu, disaat seperti ini sangat diperlukan adanya upaya perlindungan bagi
masyarakat yang memiliki masalah kesehatan mental untuk mencegah terjadinya stigmatisasi dan
diskriminasi dari masyarakat. Salah satu bentuk upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan mental yang
optimal di Indonesia tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam UU
tersebut dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan jiwa dilaksanakan secara komprehensif berdasarkan pada
asas keadilan, perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif, perlindungan, serta
non diskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai