= ukuran populasi
e = nilai besaran kesalahan/margin of error
Analisis bivariat digunakan untuk uji hipotesis yaitu untuk Tabel 7 menunjukkan bahwa responden yang
mengetahui hubungan karakteristik demografi (usia, jenis mengalami gangguan mental emosional di Puskesmas Jetis
kelamin, pekerjaan dan status pernikahan) dengan 1 semua berjenis kelamin perempuan. Hasil ini sesuai
gangguan mental emosional tenaga kesehatan di dengan penelitian Boky et al (2013), yang menjelaskan
Puskesmas Jetis 1 pada masa pandemi covid-19. Analisis bahwa lebih besarnya perempuan yang mengalami
dalam penelitian ini menggunakan uji Chi-Square untuk gangguan mental emosional dipengaruhi karena pada
variabel usia, jenis kelamin, dan status pernikahan, umumnya secara fisik perempuan lebih lemah
sedangkan variabel pekerjaan menggunakan uji Spearman. dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu membuat
perempuan memberikan respon lebih terhadap suatu hal
Tabel 6. Hubungan Usia dengan yang dianggap berbahaya. Otak perempuan lebih kecil
Gangguan Mental Emosional daripada otak laki-laki secara fisiologis, namun otak
perempuan bekerja 7-8 kali lebih keras dibandingkan laki-
laki saat mengalami masalah. Perempuan selalu membuat
sebuah permasalahan menjadi kompleks (Sartika, 2014)
dan lebih rentan mengalami depresi yang dipicu stres
daripada laki-laki (Harista et al, 2015).
Berdasarkan tabel 7 di atas, hasil uji analisis
menggunakan uji Fisher’s Exact Test untuk mengetahui
hubungan jenis kelamin dengan gangguan mental
emosional didapatkan p-value (p>0,05) yaitu 0,572 yang
Tabel 6 menunjukkan bahwa responden yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
mengalami gangguan mental emosional di Puskesmas Jetis jenis kelamin dengan gangguan mental emosional. Hal ini
1 paling banyak berusia <36 tahun (dewasa awal). sesuai dengan penelitian Hidayah (2018) yang menyatakan
Penelitian sebelumnya (Tobing, 2007) menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang
bahwa mayoritas perawat yang mengalami stres kerja signifikan dengan status kesehatan mental emosional.
adalah kelompok dewasa awal. Hal ini tidak sesuai dengan Hasil penelitian juga sesuai dengan penelitian Wulandari
penelitian Sisi et al (2020) yang menyebutkan bahwa (2011) yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan
semakin tinggi usia, semakin meningkatkan risiko depresi. antara jenis kelamin dengan depresi jika dilihat dari sudut
Hal ini disebabkan karena makin bertambah usia maka pandang statistik. Hasil penelitian ini tidak bermakna,
seseorang akan mengalami perubahan baik fisik, karena gangguan mental emosional juga dipengaruhi oleh
psikologis, ekonomi dan spiritual yang dapat faktor lain yang tidak semua dianalisis dalam penelitian
mempengaruhi kualitas hidupnya. Penelitian lain ini. Salah satunya adalah faktor kemampuan mengatasi
menyebutkan bahwa semakin bertambahnya usia akan masalah. Cara mengatasi masalah setiap individu juga
meningkatkan juga kemampuan seseorang dalam membuat menyebabkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
keputusan, berpikir rasional, semakin bijaksana, jenis kelamin dengan kesehatan mental (Ovillia, 2015).
kemampuan mengendalikan emosi, lebih toleran, dan Selain itu, hal ini bisa disebabkan karena tenaga kesehatan
terbuka dengan pandangan atau pendapat orang lain di Puskesmas Jetis 1 lebih banyak perempuan dibanding
sehingga ketahanan dirinya terhadap stres akan meningkat laki-laki. Sehingga terdapat kecenderungan data yang
(Sugeng et al, 2015). menyebabkan tidak ada variasi data (Qonitah et al, 2015).
Berdasarkan hasil uji analisis menggunakan
Likelihood Ratio untuk mengetahui hubungan usia dengan Tabel 8. Hubungan Status Pernikahan dengan
kesehatan mental didapatkan p-value (p>0,05) yaitu 0,497 Gangguan Mental Emosional
artinya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan
gangguan mental emosional. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Wulandari (2011) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia dengan tingkat
depresi, dalam penelitian tersebut juga dijelaskan yang
mungkin menjadi faktor penyebab tidak signifikannya
hasil tersebut karena pemilihan jenis metode penelitian
yang berbeda. Selain itu penelitian Maraqa et al (2020)
Tabel 8 menunjukkan bahwa responden yang
mengalami gangguan mental emosional di Puskesmas Jetis Tabel 9 menunjukkan bahwa responden yang
1 paling banyak dengan status pernikahan sudah menikah. mengalami gangguan mental emosional di Puskesmas Jetis
Penelitian Pradita (2016) menunjukkan bagi sebagian 1 paling banyak dengan jenis pekerjaan dokter, bidan, dan
orang, pernikahan dapat dinilai sebagai suatu stresor bagian promosi kesehatan. Hasil ini berbeda dengan hasil
karena orang yang sudah menikah kemungkinan memiliki penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya
tanggungan hidup yang lebih besar dibandingkan yang dilakukan oleh Sugeng et al (2015) menyebutkan
seseorang yang belum menikah, misalnya mencari nafkah bahwa profesi perawat, umumnya memiliki beban kerja
untuk keluarga, mengurus anak dan rumah tangga. Selain berlebih, yaitu harus melakukan observasi, kontak
itu dalam pernikahan akan menimbulkan beberapa masalah langsung dengan pasien secara terus menerus, dan
yang bisa menyebabkan seseorang mengalami depresi beragam pekerjaan yang harus dilakukan yang
seperti pertikaian, perceraian, kematian salah satu menyebabkan stres berlebih dibandingkan profesi lain.
pasangan, perselingkuhan, dan lain sebagainya (Hawari, Penelitian sebelumnya juga mengatakan bahwa staf
2004). Pendapat yang berbeda dituliskan oleh Wirasto perawat memiliki lebih banyak kecemasan daripada dokter
(2007) yang mengatakan bahwa individu yang berstatus atau staf lain (Matilla et al, 2021). Penelitian Kuo et al
tidak menikah sering kehilangan dukungan sehingga (2020) juga menunjukkan bahwa perawat umumnya
menyebabkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan merasakan stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan
dan kesendirian. Hal itu membuat depresi terjadi 4 kali jenis staf rumah sakit lainnya.
lebih sering pada status belum menikah dibandingkan Berdasarkan tabel 9, hasil uji analisis
dengan status sudah menikah. menggunakan uji Spearman untuk mengetahui hubungan
Berdasarkan tabel 8 di atas, diketahui bahwa pekerjaan dengan gangguan mental emosional didapatkan
responden yang mengalami gangguan mental emosional p-value (p>0,05) yaitu 0,643 artinya tidak terdapat
paling banyak dengan status sudah menikah. Berdasarkan hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan
hasil uji analisis menggunakan uji Fisher’s Exact Test gangguan mental emosional. Hasil ini sesuai dengan
untuk mengetahui hubungan status pernikahan dengan penelitian Khanal et al. (2020) yang menemukan bahwa
gangguan mental emosional didapatkan p-value (p>0,05) pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan
yaitu 1,000 artinya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan mental emosional. Penelitian dilakukan di
tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik Puskesmas yang tidak memiliki fasilitas rawat inap.
antara status pernikahan dengan gangguan mental Tenaga Kesehatan memberikan layanan rawat jalan,
emosional. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sehingga tenaga Kesehatan memiliki beban kerja yang
Pradita (2016) juga didapatkan hasil yang tidak sama. Petugas kesehatan yang bekerja di lini pertama dan
berhubungan secara bermakna antara status pernikahan kedua mungkin merasa sama-sama rentan terhadap
dengan depresi. Selain itu pada penelitian Prinadyanty dampak kesehatan mental terkait COVID-19 selama
(2018) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan pandemic (Khanal et al, 2020). Hasil ini sesuai dengan
yang bermakna antara status pernikahan dengan tingkat penelitian Kuo et al (2020) pada 752 karyawan di RS
depresi. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang Taiwan saat pandemi menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara status pernikahan dengan gangguan hubungan antara jenis pekerjaan dengan gangguan
mental emosional mendapatkan hasil yang tidak konsisten. kesehatan mental. Partisipan lebih tertekan akibat
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara ketidaknyamanan pemakaian APD dalam jangka waktu
status pernikahan dengan gangguan depresi yaitu depresi yang lama karena untuk mencegah sumber infeksi masuk
lebih sering terjadi pada seseorang yang tidak menikah ke rumah sakit dan staf rumah sakit diharuskan memakai
karena risiko untuk hidup sendiri (Maryam, 2012). Hasil masker selama mereka berada di rumah sakit. Penelitian
yang sebaliknya juga ditemukan oleh penelitian lain yang lain yang dilakukan Marsasina (2016) menunjukkan
menyatakan bahwa seseorang yang sudah menikah dapat hubungan yang tidak bermakna antara depresi dengan jenis
menyebabkan dirinya terkena gangguan kesehatan mental, pekerjaan.
karena peningkatan stressor yang dialami (Hawari, 2004).