Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS GUNADARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

KESEHATAN MENTAL REMAJA DI MASA PANDEMIC COVID-19

Disusun Oleh:
Alya Asjad Atiqah (14519210)
Asyila Indriana Karina (11519122)
Davina Claranindya Putri (11519594)
Ida Ayu Sawitri Pradnyadewi (12519888)
Muhammad Fadhlullah (14519115)

Dosen Pembimbing : Dr. Quroyzhin Kartika Rini, S.Psi., M.Si

DEPOK
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….i
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………....5
C. Manfaat Penelitian………………………………………………………..5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………...1


A. Kesehatan Mental………………………………………………………..1
1. Definisi Kesehatan Mental………………………………………..1
2. Dimensi Kesehatan Mental……………………………………....2
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental…………..3
B. Pandemic COVID-19…………………………………………………...4
1. Definisi Pandemic………………………………………………..4
2. Dampak Pandemic COVID-19 di Indonesia……………………..5
C. Remaja…………………………………………………………………...6
1. Definisi Remaja…………………………………………………..6
2. Tugas Remaja…………………………………………………….7
D. Kesehatan Mental Remaja di Masa Pandemic COVID-19…………..8
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………..1
A. Pendekatan Penelitian…………………………………………………..1
B. Identifikasi Variabel Penelitian………………………………………...1
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………………...1
D. Populasi dan Sampel Penelitian……………………………………….2
E. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….2
1. Skala Kesehatan Mental………………………………………….3
F. Validitas, Daya Diskriminasi Aitem, dan Reliabilitas………………….3
1. Validitas…………………………………………………………….3
2. Daya Diskriminasi Aitem…………………………………………...4
3. Reliabilitas…………………………………………………………..4
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
5

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada Desember 2019, kasus Pneumonia misterius pertama kali dilaporkan di


Wuhan, Provinsi Hubei. China melaporkan kepada World Health Organization
(WHO) terdapat 44 pasien Pneumonia yang berat di suatu wilayah Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, China, tepatnya di hari terakhir tahun 2019. Dugaan awal hal ini
terkait dengan pasar basah yang menjual ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain.

Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi Coronavirus baru. Awalnya,


penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV),
kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu
Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkan
dari manusia ke manusia dan telah menyebar secara luas di China dan lebih dari
190 negara dan teritori lainnya. Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan
COVID-19 sebagai pandemik.

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020


sejumlah dua kasus. Hingga 14 April 2021 data menunjukkan kasus yang
terkonfirmasi berjumlah 1.583.182 kasus positif dan 42.906 kasus kematian.
Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan
yang tertinggi di Asia Tenggara.

Pandemi COVID-19 memiliki dampak secara global kesehatan mental seperti stres,
kecemasan, gejala depresi, insomnia, penolakan, kemarahan dan ketakutan secara
global (Torales, O’Higgins, Castaldelli-Maia, & Ventriglio, 2020).

Selain itu, adanya pembatasan sosial akibat COVID-19 berdampak besar pada
masyarakat secara keseluruhan, dan tentunya juga pada anak-anak dan remaja.

1
Selama pandemi COVID-19, anak-anak dan remaja mengalami isolasi fisik dari
teman, guru, dan keluarga terdekat mereka.

Berdasarkan penelitian Sieberer dan Anne (2021) dampak pandemi yang


dirasakan oleh remaja di Jerman yaitu mereka merasa terbebani dengan adanya
pandemi COVID-19. Beban yang mereka alami seperti kesulitan belajar, lebih
sedikit kontak sosial selama pandemi dan hubungan sosial dengan teman-temannya
terganggu. Selain itu tingkat kecemasan meningkat dan muncul keluhan
psikosomatis. Hal ini tentu berdampak besar pada kehidupan sehari-hari mereka,
termasuk kesehatan mental dan sosial mereka.

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia,


menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Pada
periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan
fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 1995).
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin
Adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa
remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap
sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).

Menurut Erikson (dalam Yusuf, 2007), masa remaja merupakan tahapan


penting dalam siklus kehidupan. Masa remaja berkaitan erat dengan perkembangan
“sense of identity vs role confusion”, yaitu perasaan atau kesadaran akan jati
dirinya. Sedangkan World Health Organization (WHO, 2001), menyatakan bahwa
kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu,
yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres
kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta
berperan serta di komunitasnya (Dewi, 2012).

2
Kesehatan mental sendiri menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster,
merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu
dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi, berfungsi dalam
komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Inti dari kesehatan
mental sendiri adalah lebih pada keberadaan dan pemeliharaan mental yang sehat.
Akan tetapi, dalam praktiknya seringkali kita temui bahwa tidak sedikit praktisi di
bidang kesehatan mental lebih banyak menekankan perhatiannya pada gangguan
mental daripada mengupayakan usaha-usaha mempertahankan kesehatan mental
itu sendiri (Dewi, 2012).

Pribadi yang normal atau bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan
tingkah laku yang adekuat & bisa diterima masyarakat pada umumnya, sikap
hidupnya sesuai norma & pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi
interpersonal & intersosial yang memuaskan (Kartono, 1989). Sedangkan menurut
Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki
kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan
menenggang perasaan orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia. Saat
ini, individu yang sehat mental dapat dapat didefinisikan dalam dua sisi, secara
negatif dengan absennya gangguan mental dan secara positif yaitu ketika hadirnya
karakteristik individu sehat mental.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sieberer dan Anne (2021)
menyatakan dalam laporan perwakilan orang tua, anak-anak dan remaja berusia 7
hingga 17 tahun (n=1586) menderita lebih banyak masalah kesehatan mental
dibandingkan sebelum pandemi. Prevalensi masalah kesehatan mental yang terlihat
adalah 9,9% sebelum pandemi dan meningkat menjadi 17,8% selama pandemi.
Peningkatan ini secara signifikan lebih tinggi pada anak usia 7 hingga 10 tahun
(dari 7,4% menjadi 26,8%) dibandingkan dengan usia 11 hingga 13 tahun (dari
12,8% menjadi 14,5%). Tarif yang cukup tinggi untuk hiperaktif yang dilaporkan
orang tua [ n = 233 (14,6%)], masalah emosional [ n = 210 (13,3%)], masalah teman

3
sebaya [ n = 183 (11,5%)] dan melakukan masalah [ n = 159 (10,0%)] ditemukan
selama pandemi. Dalam analisis yang dikelompokkan berdasarkan gender, pola
masalah kesehatan mental yang spesifik gender ditemukan sebelum dan selama
pandemi. Berdasarkan data yang dilaporkan sendiri dari anak usia 11 hingga 17
tahun, anak-anak dan remaja mengalami tingkat kecemasan umum yang lebih
tinggi selama pandemi dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Duan, Shao, Wang, Huang, Miao, Yang, & Zhu (2020) melakukan survei
terhadap 3613 siswa Tiongkok, berusia 7 hingga 18 tahun, yang diambil selama
pandemi menunjukkan bahwa 22,28% melaporkan tingkat depresi klinis, tingkat
yang lebih tinggi daripada yang biasanya ditemukan sebelum pandemi.

Penelitian yang dilakukan oleh Zhou et al. (2020) menemukan bahwa siswa
sekolah menengah Cina menunjukkan 43,7% gejala depresi , 37,4% gejala
kecemasan, dan 31,3% menunjukkan kombinasi gejala kecemasan dan depresi. Ini
lebih tinggi daripada tingkat gejala kecemasan dan depresi yang ditemukan dalam
penelitian lain yang dilakukan sebelum pandemi, meskipun tidak diketahui apakah
peningkatan tersebut signifikan.

Berdasarkan pemaparan beberapa hasil penelitian sebelumnya dapat


disimpulkan bahwa kesehatan mental remaja mengalami perubahan selama masa
pandemi COVID-19 ini berlangsung. Beberapa remaja mengalami masalah
emosional sampai gangguan kecemasan.

Pada usia remaja mereka sedang aktif bersosialisasi dan melakukan banyak
kegiatan namun dengan adanya pandemi COVID-19 kegiatan yang biasanya
mereka lakukan kini menjadi terbatas, akses sosial kepada individu dan komunitas
juga tidak dapat mereka lakukan seperti biasanya, hal inilah yang dapat menjadi
tekanan-tekanan baru kepada kelompok remaja ini selama menghadapi pandemi
COVID-19. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Kesehatan
Mental Remaja di Masa Pandemi Covid-19.

4
B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Kesehatan Mental Remaja di


Masa Pandemi Covid-19.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara
teoritis mengenai Kesehatan Mental Remaja di Masa Pandemic Covid-19
sehingga dapat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Subjek Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
serta pemahaman mengenai bagaimana Kesehatan Mental Remaja di
Masa Pandemi Covid-19.
b. Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan
dan memberikan informasi bagi Orang Tua mengenai pentingnya
menjaga Kesehatan Mental Remaja.
c. Konselor
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan bagi para konselor ketika melakukan bimbingan mengenai
Kesehatan Mental Remaja akibat Pandemic Covid-19.
d. Peneliti Selanjutnya

5
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dan dapat
dikembangkan bagi peneliti yang melakukan penelitian sejenis.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesehatan Mental

1. Definisi Kesehatan Mental


Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu
keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya
sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat
menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-
masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta
memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.
Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental. Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari
sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005),
menyatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the presence of
successful adjustment or the absence of psychopathology”
Frank (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) mengemukakan
pengertian dari kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat
kesehatan mental secara ”positif”. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental
adalah orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam
hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa
membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam
berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.
Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental
Health) memberikan rumusan pengertian dari kesehatan mental yakni sebagai
kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secara
fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang
lain. Sebuah masyarakat yang sehat secara mental adalah masyarakat yang

1
membolehkan anggota masyarakatnya berkembang sesuai kemampuannya.
Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan
mental itu tidak cukup dalam pandangan individual tetapi sekaligus
mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara
optimal. Berdasarkan dari sekian pemaparan tokoh diatas dapat disimpulkan
bahwa kesehatan mental adalah kesesuaian diri dengan lingkungannya serta
tumbuh dan berkembang secara positif serta matang dalam hidupnya, menerima
tanggung jawab dan memelihara aturan sosial di dalam lingkungannya.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kesehatan
mental adalah kondisi dimana seseorang memiliki perkembangan yang optimal
baik secara fisik maupun emosional, dapat menerima tanggung jawab dan
kekurangan serta kelebihan terhadap dirinya sendiri.
2. Dimensi Kesehatan Mental

Dimensi kesehatan mental dalam Mental Health Continium - Short


Form (MHC-SF; Keyes, 2005) terdiri dari 14 item, yang ditanggapi pada skala
Likert enam poin, yakni berkisar dari "tidak pernah" (1) menjadi “setiap hari”
(6). Instrumen ini mencakup tiga subskala yang menilai kesejahteraan subjektif
atau emosional (tiga item), kesejahteraan psikologis (enam item) dan
kesejahteraan sosial (lima item). Berikut tiga sub skala yang diukur :

1. Subjective or Emotional Well-Being (Kesejahteraan Subjektif atau


Emosional). Kesejahteraan subjektif adalah sebuah kebahagiaan, kepuasan
hidup, keseimbangan hedonis dan stres yang terpusat pada evaluasi secara
afektif dan kognitif individu terhadap kehidupannya (Kim, Diener, Tamir,
Scollon, & Diener, 2005).

2. Psychological Well-Being (Kesejahteraan Psikologis). Kesejahteraan


subjektif adalah sebuah kebahagiaan, kepuasan hidup, keseimbangan hedonis

2
dan stres yang terpusat pada evaluasi secara afektif dan kognitif individu
terhadap kehidupannya (Kim, Diener, Tamir, Scollon, & Diener, 2005).

3. Social Well-Being (Kesejahteraan Sosial). Kesejahteraan sosial menurut


Rukminto (2005) merupakan suatu ilmu terapan yang mengkaji dan
mengembangkan kerangka pemikiran serta metodologi yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas (kondisi) masyarakat antara lain
melalui pengelolaan masalah sosial; pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat,
dan pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental


Menurut Daradjat (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan
mental itu secara garis besar ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal ini antara lain meliputi: kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan
kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problema
hidup, kebermaknaan hidup, dan keseimbangan dalam berpikir. Adapun yang
termasuk faktor eksternal antara lain: keadaan sosial, ekonomi, politik, adat
kebiasaan, lingkungan, dan sebagainya.
Notosoedirdjo dan Latipun (2005) menyatakan kesehatan mental
merupakan entitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun
eksternal. Kesehatan mental sangat dipengaruhi faktor-faktor tersebut, karena
secara substantif faktor-faktor tersebut memainkan peran yang signifikan dalam
terciptanya kesehatan mental. Yang termasuk faktor internal adalah faktor
biologis dan psikologis, sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah sosial
budaya.
Faktor internal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
kesehatan mental, terutamanya adalah faktor biologis. Beberapa faktor biologis
yang secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan mental, diantaranya:
otak, sistem endokrin, genetika, sensori, dan kondisi ibu selama hamil.
Sedangkan faktor psikologis merupakan aspek psikis manusia yang pada

3
dasarnya adalah satu-kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai sub sistem dari
eksistensi manusia, aspek psikis senantiasa terlibat dalam dinamika
kemanusiaan yang multi aspek sehingga aspek psikis juga erat kaitannya
dengan pengaruh kesehatan mental terlebih spiritualitas yang kuat pada jiwa
seseorang dan dalam hal ini faktor ketaatan beribadah atau ketaatan beragama
berkaitan erat dengan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005).
Faktor eksternal juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam
mempengaruhi kesehatan mental seseorang, diantaranya adalah stratifikasi
sosial, interaksi sosial, lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat yang didalamnya juga terkandung lingkungan tempat tinggal yang
ia diami atau tempati (Muhyani, 2012). Jadi kesehatan mental itu dipengaruhi
oleh faktor dalam dan luar diri seseorang sehingga keduanya mempunyai posisi
yang sangat kuat dalam kehidupan manusia

B. Pandemic COVID-19

1. Definisi Pandemic
Pandemic adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana,
meliputi daerah geografis yang luas. Pandemi merupakan epidemi yang
menyebar hampir di seluruh negara atau benua, biasanya mengenai banyak
orang. Contoh penyakit yang menjadi pandemi adalah Coronavirus
disease 2019 (Covid-19). Pandemi sendiri merupakan sebuah epidemi yang
telah menyebar ke berbagai benua dan negara, umumnya menyerang banyak
orang. Sementara epidemi sendiri adalah sebuah istilah yang telah digunakan
untuk mengetahui peningkatan jumlah kasus penyakit secara tiba-tiba pada
suatu populasi area tertentu.
WHO sendiri mendefinisikan pandemi sebagai situasi ketika populasi
seluruh dunia ada kemungkinan akan terkena infeksi ini dan berpotensi
sebagian dari mereka jatuh sakit. Pasalnya, istilah pandemi tidak digunakan

4
untuk menunjukkan tingginya tingkat suatu penyakit, melainkan hanya
memperlihatkan tingkat penyebarannya saja. Perlu diketahui, dalam kasus
pandemi COVID-19 ini menjadi yang pertama dan disebabkan oleh virus
corona yang telah ada sejak akhir tahun lalu.
Dari beberapa definisi diatas, dapat simpulkan bahwa pandemi
merupakan situasi dimana seluruh negara dan benua berpotensi terkena infeksi
suatu penyakit.

2. Dampak Pandemic di Indonesia


Dampak Virus COVID-19 di Indonesia

Tak hanya merugikan dari sisi kesehatan saja, Presiden Joko Widodo
juga mengatakan bahwa virus corona sangat berdampak pada perekonomian di
Indonesia. Bukan hanya karena produksi barang saja yang terganggu, tetapi
investasi pun juga terhambat. Berikut beberapa dampak virus COVID-19 di
Indonesia:

a. Beberapa barang menjadi mahal dan langka untuk ditemukan.


b. Jemaah Indonesia batal berangkat umrah.
c. Kunjungan para wisatawan mancanegara di Indonesia menurun.
d. Merusak tatanan ekonomi di Indonesia.
e. Impor barang menjadi terhambat.

COVID-19

Menurut WHO (World Health Organization) Pandemi adalah


penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia (World Health Organization, 2020).
Namun, tidak ada definisi yang dapat diterima tentang istilah pandemi secara
rinci dan lengkap, beberapa pakar mempertimbangkan definisi berdasarkan
penyakit yang secara umum dikatakan pandemi dan mencoba mempelajari

5
penyakit dengan memeriksa kesamaan dan perbedaannya. Penyakit dipilih
secara empiris untuk mencerminkan spektrum etiologi, mekanisme
penyebaran, dan era kegawatdaruratannya, beberapa penyakit yang pernah
menjadi pandemi antara lain: acute hemorrhagic conjunctivitis (AHC), AIDS,
kolera, demam berdarah, influenza dan SARS (Morens, Folkers and Fauci,
2009).

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020


sejumlah dua kasus. Hingga 14 April 2021 data menunjukkan kasus yang
terkonfirmasi berjumlah 1.583.182 kasus positif dan 42.906 kasus kematian.
Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan
yang tertinggi di Asia Tenggara. Pembatasan sosial akibat COVID-19
berdampak besar pada masyarakat secara keseluruhan, dan tentunya juga pada
anak-anak dan remaja. Selama pandemi COVID-19, anak-anak dan remaja
mengalami isolasi fisik dari teman, guru, dan keluarga mereka seperti kakek-
nenek . Selain itu, anak-anak dan remaja dapat mengalami gangguan kesehatan
mental akibat pandemi COVID-19 itu sendiri, seperti kecemasan yang
meningkat. Hal ini berdampak besar pada kehidupan sehari-hari mereka,
termasuk kesehatan mental dan sosial mereka.

C. Remaja
1. Definisi Remaja
Menurut Ayani dan Astuti (2018) masa remaja adalah suatu tahap antara
masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa dari awal
pubertas sampai tercapainya kematangan; biasanya mulai dari usia 14 pada pria
dan usia 12 pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari satu budaya
ke kebudayaan lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana
individu mulai bertindak terlepas dari orang tua mereka.
Papalia dan Feldman (2017) mengemukakan masa remaja merupakan
perkembangan transisi yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional,

6
dan sosial dengan beragam bentuk di latar belakang sosial, budaya, dan
ekonomi yang berbeda. Sedangkan Hurlock (dalam Jahja, 2011) membagi masa
remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa
remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 20 tahun). Masa remaja awal dan akhir
dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah
mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
periode perkembangan dari masa transisi anak-anak menuju masa dewasa yang
melibatkan perubahan fisik, emosional, sosial dimulai dari sekitar usia 12 tahun
sampai pada usia 18 hingga 20 tahun.

2. Tugas Remaja
Menurut Kay (dalam Jahja, 2011) tugas-tugas masa remaja sebagai
berikut:
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas.
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul
dengan teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok.
4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitas pribadinya.
5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.
6. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala
nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup (weltanschauung).
7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)
kekanak-kanakan.

7
D. Kesehatan Mental Remaja di Masa Pandemic COVID-19

Pada masa sekarang pandemi COVID-19 tidak hanya berefek pada kesehatan fisik,
tetapi juga berpengaruh kepada kesehatan mental remaja. Remaja yang sejatinya
merupakan kelompok usia paling rentan akan stress dan kecemasan kini dihadapkan
kepada sebuah polemik baru akibat wabah COVID-19 yang akan semakin
meningkatkan resiko terjadinya stress dan kecemasan. Kegiatan yang biasanya dapat
mereka lakukan dengan wajar kini menjadi terbatas, akses sosial kepada individu dan
komunitas juga tidak dapat mereka lakukan seperti biasanya, hal inilah yang dapat
menjadi tekanan-tekanan baru kepada kelompok remaja ini selama menghadapi
pandemi COVID-19.

Sieberer dan Anne (2021) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa anak-anak


dan remaja berusia 7 hingga 17 tahun menderita lebih banyak masalah kesehatan
mental dibandingkan sebelum pandemi. Masalah kesehatan mental yang terlihat
sebelum pandemi adalah 9,9% dan meningkat menjadi 17,8%.

Anak-anak dan remaja mengalami tingkat kecemasan umum yang lebih tinggi selama
pandemi COVID-19 sebesar (24,1%) dibandingkan dengan sebelum pandemi (14,9%).
Anak anak dan remaja juga melaporkan gejala depresi 62,1% ( n = 646) sulit
berkonsentrasi, 58,4% ( n = 607) memiliki sedikit minat atau kegembiraan dalam
kegiatan, dan 33,7% ( n = 351) merasa sedih.

Keluhan psikosomatis juga dirasakan selama pandemi, sampel sebanyak [ n= 554


(53,2%)] merasa mudah tersinggung dan sebagian besar sampel memiliki masalah tidur
[ n = 449 (43,3%)], sakit kepala [ n = 421 (40,5%)], melaporkan nyeri perut [ n =
317(30,5%)].

Selain itu, hasil dari penelitian Purwanto et.al (2020) menjelaskan bahwa dalam
menjalani masa pandemik, anak atau remaja mengalami beberapa kesulitan,
diantaranya yaitu selama proses pembelajaran. Hal ini tentunya dirasakan anak-anak

8
saat menempuh pendidikan secara online (daring). Hal tersebut disebabkan karena
kurangnya penguasaan teknologi, tambahan biaya internet komunikasi dan sosialisasi
antar remaja atau anak- anak maupun komunikasi dan interaksi dengan guru. Adanya
pembelajaran jarak jauh yang diterapkan dalam masa pandemik ini membutuhkan
adaptasi dari anak- anak atau remaja karena selama ini mereka bertemu dengan tatap
muka di sekolah dan dapat berinteraksi dengan lebih leluasa, namun saat pembelajaran
jarak jauh ini anak- anak atau remaja memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan
perubahan baru yang juga berpengaruh pada kemampuan memahami materi serta
pembelajaran. Selain itu, di masa pandemi remaja memiliki jangka waktu libur yang
belum dapat ditentukan kapan berakhir, sehingga hal tersebut juga memberikan
kejenuhan. Hal-hal ini tentunya menimbulkan stres tersendiri bagi remaja.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan mental remaja meningkat
selama pandemi. Remaja mengalami kecemasan, kesulitan dalam proses pembelajaran
dan beberapa remaja mengalami depresi. Keluhan psikosomatis juga mereka rasakan.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan metode deskriptif


(descriptive research). Menurut Sudjana dan Ibrahim (1989) Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terjadi pada saat sekarang. Menurut Priyono (2008) Penelitian deskriptif
dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau
fenomena. Menurut Kountur (2003), penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :

1. Berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu.

2. Menguraikan satu variabel saja atau beberapa variabel namun diuraikan satu persatu.

3. Variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan (treatment).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang akan dikaji adalah kesehatan mental

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional kesehatan mental dalam penelitian ini adalah :

Kesehatan mental adalah kondisi mental dimana terhindarnya seseorang dari


gejala gangguan atau penyakit mental, juga terwujudnya keharmonisan yang sungguh-
sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi

1
masalah-masalah biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan
kemampuan dirinya, adanya kemampuan yang dimiliki untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan,
serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia
di akhirat. Kesehatan mental remaja dalam penelitian ini diukur menggunakan Mental
Health Continuum - Short Form (MHC-SF) yang disusun oleh Keyes (2002).

D. Populasi dan Sampel Penelitian.

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari satuan-satuan atau individu-individu


yang karakteristiknya hendak diteliti, dan satuan-satuan tersebut dinamakan unit
analisis, dapat berupa orang-orang, institusi-institusi, benda-benda, dst (Djarwanto,
1994). Populasi dalam penelitian ini adalah 240 remaja daerah Jabodetabek dan Bali.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diteliti.
Sampel yang baik, yang kesimpulannya dapat dikenakan pada populasi, adalah sampel
yang bersifat representatif atau yang dapat menggambarkan karakteristik populasi
(Djarwanto, 1994). Sampel dalam penelitian ini adalah 80 responden remaja awal, 80
responden remaja madya, dan 80 responden remaja akhir.
Teknik pengambilan sampel bertujuan memudahkan peneliti dalam menentukan
sampel yang akan diteliti. Teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu probability sampling dan non-probability sampling. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability
sampling yakni insidental sampling. Alasan pemilihan sampel dengan menggunakan
teknik insidental sampling karena sampel diambil secara kebetulan. Kriteria sampel
pada penelitian ini yaitu remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.
E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data serta keterangan


lainnya dalam penelitian yang dilakukan. Dalam proses mengumpulkan data penelitian,

2
peneliti mengumpulkan dari berbagai data serta sumber yang berkaitan dengan
penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini perlu diperhatikan agar data yang diperoleh
dapat terjaga baik dari tingkat validitas, daya diskriminasi aitem, dan reliabilitas.
Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Skala Kesehatan Mental

Skala kesehatan mental pada penelitian ini diukur menggunakan Mental Health
Continuum - Short Form (MHC-SF) yang disusun oleh Keyes (2002).

Mental Health Continuum-Short Form menggunakan skala Likert untuk menilai


kesehatan mental yang ingin diukur. Instrumen ini mencakup tiga sub skala yang
menilai kesejahteraan subjektif atau emosional, kesejahteraan psikologis dan
kesejahteraan sosial.

F. Validitas, Daya Diskriminasi Aitem, dan Reliabilitas


Sebelum penelitian dilakukan, instrumen yang akan digunakan untuk mengambil
data, harus melalui tahapan uji coba instrumen untuk mengetahui tingkat validitas, daya
diskriminasi aitem dan reliabilitas instrumen.

1. Validitas
Validitas menurut Sugiyono (2016) merupakan derajat ketepatan antara data yang
sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti. Untuk
mencari validitas sebuah item, kita mengkorelasikan skor item dengan total item-item
tersebut.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Menurut Azwar
(2012) validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap
kelayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten
atau melalui expert judgement.

3
2. Daya Diskriminasi Aitem
Menurut Azwar (2012) daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak
memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan dengan cara
menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala
itu sendiri. Selanjutnya, Azwar (2012), menjelaskan bahwa validitas aitem harus
disebut dengan nama daya diskriminasi aitem atau seleksi aitem.
Dalam Azwar (2012), Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasarkan
korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0.30. Semua aitem
yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya bedanya dianggap
memuaskan. Aitem yang koefisien korelasinya kurang dari 0,30 dapat
diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar,
2012).

3. Reliabilitas
Azwar (2012) menjelaskan bahwa reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata
reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki
reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Konsep reliabilitas dalam
arti reliabilitas hasil ukur erat berkaitan dengan error pengambilan sampel ( sampling
error ) yang mengacu kepada inkonsistensi hasil ukur apabila pengukuran dilakukan
ulang pada kelompok subjek yang berbeda. Untuk menguji reliabilitas alat pengumpul
data pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach.

G. Teknik Analisis Data


Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis Statistik Deskriptif, meliputi
mean, median, dan standar deviasi dengan bantuan program SPSS for windows release
22.0.

4
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
FISIP UI PRESS.

Ahyani, Latifah Nur dan Dwi Astuti. (2018). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Kudus: Badan Penerbit Universitas Muria Kudus.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewi, Kartika Sari. 2012. Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIP Press.

Djarwanto. 1994. Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penulisan

Skripsi. Yogyakarta : Liberty.

Duan, L., Shao, X., Wang, Y., Huang, Y., Miao, J., Yang, X., & Zhu, G. (2020). An

investigation of mental health status of children and adolescents in china

during the outbreak of COVID-19. Journal of Affective Disorders, 275, 112-

118. doi: 10.1016/j.jad.2020.06.029

Fathiyah Isbaniah, Erlina Burhan, Heidy Agustin, D. H. D. R. H. (2020). Corona Virus


Disease. Jurnal Respirologi Indonesia, Vol.40, 119–129.
Gunarsa, S.G. dan Gunarsa. (2003). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja.Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Kartono, Kartini. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.


Bandung: PT. Mandar Maju

Kim-Prieto, C., Diener, E., Tamir, M., Scollon, C., & Diener, M. (2005). Integrating
The Diverse Definitions of Happiness: A Time-Sequential Framework of Subjective
Well-Being. Journal of Happiness Studies, 6(3), 261–300. doi:10.1007/s10902-005-
7226-8

KOMITE PENANGANAN COVID 19 DAN PEMULIHAN EKONOMI


NASIONAL. DATA SEBARAN COVID-19 di Indonesia.
Https://Covid19.Go.Id/. Retrieved April 14, 2021, from https://covid19.go.id/
Kountur, Ronny. 2003. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta
: Teruna Grafika.
Machado, W. D. L., & Bandeira, D. R. (2015). Positive Mental Health Scale:

Validation of the Mental Health Continuum - Short Form. Psico-USF, 20(2),

259–274. https://doi.org/10.1590/1413-8271201520020

Morens, D. M., Folkers, G. K. and Fauci, A. S. (2009) „What Is a


Pandemic?‟, The Journal of Infectious Diseases, 200(7), pp. 1018–1021. doi:
10.1086/644537.

Muhyani, 2012, Kesadaran Religius dan Kesehatan Mental. Jakarta Pusat:


Kementerian Agama Republika Indonesia.

Notosoedirjo & Latipun.,2005, Kesehatan Mental,Konsep dan Penerapan.


Malang: UMM Presc.

Papalia, D.E, Feldman, R.D. (2017). Menyelami Perkembangan Manusia.


Jakarta: Salemba Humanika.

Pieper, J. & Uden, M. V.,2006, Religion in Coping and Mental Health Care.
New York: Yord University Press.

Priyono.2008.Metode Penelitian Kuantitatif. Sidoarjo : Zifatama


Ravens-Sieberer, U., Kaman, A., Erhart, M., Devine, J., Schlack, R., & Otto, C. (2021).

Impact of the COVID-19 pandemic on quality of life and mental health in children and
adolescents in Germany. European Child & Adolescent Psychiatry. Published.

https://doi.org/10.1007/s00787-021-01726-5

Torales, J., O’Higgins, M., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020). The
Outbreak of COVID-19 Coronavirus and its Impact on Global Mental Health.
International Journal of Social Psychiatry, 002076402091521.
https://doi.org/10.1177/0020764020915212
Saputro, Khamim Zakarsih. (2017). Memahami Ciri dan Tugas
Perkembangan Masa Remaja. Jurnal Aplikasi ilmu-ilmu Agama. 17(1), 25-
30.

Sudjana, Nana, dan Ibrahim. 1989.Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.Bandung:


Sinar Baru
Zakiah Daradjat, 2001, Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung

Zhou, S. J., Zhang, L. G., Wang, L. L., Guo, Z. C., Wang, J. Q., Chen, J. C.,
... & Chen, J. X. (2020). Prevalence and socio-demographic correlates of
psychological health problems in Chinese adolescents during the outbreak of
COVID-19. European Child & Adolescent Psychiatry, 29, 749-758. doi:
10.1007/s00787-020-01541-4

Anda mungkin juga menyukai