Anda di halaman 1dari 39

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DAN GRATITUDE DENGAN

TINGKAT KECEMASAN PADA PENYINTAS COVID 19


DI DESA GUWO KECAMATAN TLOGOWUNGU
KABUPATEN PATI

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh
Annisa Putri Yulia Audina
NIM 112019030156

PEMBIMBING :
1. Heny Siswanti, S.Kep., Ns. M.Kep
2. Sri Karyati, M.Kep., Ns., Sp.Kep.Mat

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru
ditemukan. Virus baru dan penyakit yang disebabkannya ini tidak
dikenal sebelum mulainya wabah pada bulan Desember 2019 di
Wuhan, Tiongkok. Sejak 11 Maret 2020, World Health Organization
(2020a) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang terjadi di
banyak negara di seluruh dunia. Siapa pun dapat terinfeksi Covid-
19. Sebagian besar (sekitar 80%) orang yang terinfeksi berhasil
pulih tanpa perlu perawatan khusus. Sekitar 1 dari 5 orang yang
terinfeksi Covid-19 menderita sakit parah dan kesulitan bernapas.
Orang-orang lanjut usia dan orang-orang dengan kondisi medis
penyerta seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru-
paru, diabetes, atau kanker memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami sakit lebih serius (World Health Organization, 2020).
Data terupdate pada tahun 2022 terdapat 532.003.931
jumlah total kasus Covid-19 di dunia dengan jumlah kasus aktif
22.454.189 orang dan jumlah kematian akibat Covid-19 sebanyak
6.311.945 jiwa serta jumlah kesembuhan 503.237.797 orang
(World Meter, 2022). Di Indonesia pada tahun 2022 terdapat bahwa
yang terkonfirmasi positif 6.051.532 orang dengan pasien sembuh
5.891.190 orang dan jumlah kematian akibat Covid19 sebanyak
156.586 jiwa (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan
Nasional (KPCPEN) , 2022 ).
Data terupdate pada tahun 2022 terdapat 627.607 kasus
terkonfirmasi positif dengan jumlah kematian sebanyak 33.181 jiwa
dan jumlah yang sembuh 594.286 orang serta yang masih positif
aktif adalah 140 pasien ( Dinkes Provinsi JATENG , 2022 ). Data
dari Dinkes Kabupaten Pati pada tahun 2022 terdapat kasus yang
terkonfirmasi positif 14.068 dengan pasien sembuh 12.560 orang
dan yang meninggal dunia 1.474 jiwa serta yang masih
terkonfirmasi positif aktif 2 paien ( Dinke Kabupaten Pati , 2022 ).
Dari data terupdate pada 9 Mei 2022 dari Satgas Covid19
Desa Guwo total terkonfirmasi positif 174 orang dengan total
meninggal dunia 3 jiwa dan total yang sembuh / penyintas 171
orang.
Banyak sekali para pasien positif Covid-19 yang imunitas
dan mentalnya turun setelah mengetahui dirinya positif. Hal
tersebut dikarenakan apabila seseorang yang didiagnosa penyakit
kronis biasanya akan mengalami stress yang berat sehingga akan
menimbulkan kecemasan yang berlebih, ketika pasien menyadari
bahwa aktivitasnya akan dibatasi seperti dalam hal hilangnya
pendapatan akibat pembatasan atas pekerjaannya, interaksi sosial
maupun bantuan yang biasa didapatkan baik dari lingkungan
keluarganya dan teman sekitarnya. Dukungan sosial merupakan
kebutuhan bagi para penyintas Covid-19 agar kembali mampu
untuk mengembangkan diri dan menjalankan keberfungsian
sosialnya dengan baik di tengah masyarakat (Humaedi, Azizah, &
Taftazani, 2020).
Akan tetapi pada kenyataannya banyak pasien Covid-19
yang mendapatkan stigma negatif di masyarakat sesuai survey dari
BPS yang dilakukan pada 7 s.d. 14 September 2020 mengenai
perilaku masyarakat selama masa pandemi 19 yang salah satunya
menyurvei mengenai respon terhadap orang yang terinfeksi
Covid19 di lingkungan sekitarnya mengatakan bahwa sebanyak 7
% masyarakat akan merespon dengan cara melakukan pengucilan
bagi mereka yang terinfeksi Covid19 (Larasaty. dkk, 2020).
Hal tersebut, terjadi kepada orang–orang yang telah
dinyatakan sembuh dari virus Covid-19 atau disebut dengan
penyintas Covid-19. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia mengatakan bahwa : Dari survei ini
ditemukan, lebih dari separuh responden (55%) mengaku dijadikan
buah bibir (diperbincangkan) oleh orang-orang di sekitar mereka
karena status mereka terkait Covid-19. Sepertiga (33%) dijauhi
atau mengalami pengucilan, dan seperempatnya (25%) mendapat
julukan penyebar atau pembawa virus. Hampir 10% pernah
mengalami perundungan (bully) di media sosial. (laporcovid19.org,
2020).
Dari pernyataan di atas akan memunculkan masalah
kesehatan mental yang dialami oleh seluruh lapisan masyarakat
selama masa pandemi ini, salah satu kelompok yang dapat
dikatakan memiliki risiko yang lebih tinggi terpapar kesehatan
mental ialah penyintas Covid19 ,terutama penyintas Covid19
yang sempat bergejala sedang/berat/kritis dan dirawat di rumah
sakit.Gejala fisik yang dirasakan, tuntutan menjalani isolasi diri,
perolehan informasi tentang keluhan fisik yang serius usai
sembuh, serta stigmatisasi dari masyarakat terbukti
menimbulkan permasalahan kesehatan mental tersendiri bagi
para penyintas Covid19. National Health Service di Inggris
menunjukkan bukti bahwa banyak dari individu yang selamat
melalui covid-19 tidak hanya memiliki masalah kesehatan secara
fisik, tetapi juga secara psikis seperti gangguan stress pasca
trauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan
dan depresi (Mahase, 2020).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Davis, dkk.,
kecemasan merupakan masalah psikis yang paling banyak dialami
oleh penyintas Covid19. Sebanyak 70% dari 3762 partisipan dalam
penelitian mengalami kecemasan (Davis et al., 2020).
Dalam artikel science the wire kecemasan penyintas covid19
dikaitkan dengan kata-kata, objek atau situasi yang
mengingatkannya pada peristiwa individu dirawat dan melewati hal-
hal yang cukup buruk (Kulkarni, 2021). Beberapa penyintas covid19
yang pernah dirawat inap di rumah sakit melaporkan kecemasan
karena mengingat bagaimana situasi ICU tempat individu dirawat.
Selain itu, beberapa pasien diaggap sebagai wabah yang
menyebabkan pasien takut menularkan kepada orang lain bahkan
setelah keluar dari rumah sakit. Selain itu, mengingat bagaimana
resiko kematian, sosial isolation, keparahan penyakit,dan masalah
tidur dapat meningkatkan resiko gangguan mental seperti
kecemasan (Landi et al., 2020)
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa akibat yang
timbul pada penyintas covid19 akan menyebabkan munculnya
pikiran-pikiran negatif , ditandai dengan tindakan yang tidak
diinginkan seperti terus-menerus menangis atau melakukan hal
yang dapat merugikan dirinya sendiri (Ayudahlya &
Kusumaningrum, 2019 ).
Ketika pandemi virus covid19 melanda, bersyukur dapat
menjadi satu dari banyak hal penting untuk dilakukan demi tetap
menjaga sikap positif, menyembuhkan, memberikan energi, dan
membawa harapan. Gratitude merupakan perasaan yang
menyenangkan dan penuh terima kasih sebagai respons dari
penerimaan kebaikan. Robert Emmons sebagai psikolog dan pakar
tentang rasa syukur, mendefinisikan syukur sebagai bentuk
pengakuan atas suatu kebaikan yang terjadi dalam kehidupan
seseorang (yang mungkin beberapa orang anggap remeh) atau
seringkali disebabkan oleh tindakan baik orang lain (McCullough et
al., 2002). Bersyukur adalah latihan mindfulness gratis yang
membantu seseorang mengatasi kecemasan dan ketidakpastian
dengan berfokus pada apa yang individu hargai,apa yang ada
dalam kendali individu, dan apa yang bisa individu berikan kembali
(Emmons & Stern, 2013).
Penyintas covid19 yang memiliki intensitas dan frequency
yang tinggi pada keadaan tersebut juga cenderung merasa
kesepian dan merasa diabaikan oleh lingkungan sekitar. Hal
tersebut tentu menjadikan keadaan menjadi lebih sulit untuk
kehidupan mantan pasien covid 19 karena pasien cenderung tidak
menyadari dukungan dari orang tua, keluarga atau teman yang
sebenarnya dapat membantu dirinya untuk menjalani kehidupan
normal kembali setelah sembuh dari virus tersebut.Sehingga
membuat gratitude penyintas Covid19 akan mengalami perubahan
yang awalnya kurang bersyukur menjadi harus bersyukur akibat
masih diberikan kesembuhan dari Covid19 yang sudah memakan
banyak korban jiwa. Sesuai aspek trait gratitude ada empat , yaitu:
pertama, Intensity, artinya sangat bersyukur ketika terjadi hal-hal
positif. Kedua, Frequency artinya individu sering mengungkapkan
rasa syukur setiap hari. Ketiga, Span artinya individu merasa
bersyukur dalam berbagai keadaan hidup (seperti bersyukur atas
pekerjaan, kesehatan dan keluarga yang dimiliki). Keempat,
Density artinya individu sering merasakan perasaan berterima
kasih terhadap lebih banyak orang (McCullough, Emmons, & Tsang
2002 dalam Ayudahlya & Kusumaningrum, 2019).
Penelitian menunjukkan bahwa kebersyukuran berkaitan
kuat dengan beberapa aspek kesejahteraan dan kesehatan mental
(Watkins, 2014). Beberapa studi empiris telah menetapkan
hubungan antara kebersyukuran dan rendahnya tingkat gejala
psikopatologis khususnya depresi dan kecemasan (Emmons &
Stern, 2013). Menurut Khorrami (2020), rasa syukur adalah cara
yang ampuh untuk mengurangi kecemasan (Khorrami, 2020).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Danielle Cripps (2019),
peneliti melibatkan partisipan siswa-siswa yang diminta untuk
menuliskan 3 hal yang paling disyukuri setiap hari. Secara
keseluruhan, ditemukan bahwa rasa syukur memiliki kemampuan
untuk mengurangi kecemasan (Cripps, 2019).
Rasa syukur erat berkaitan dengan kepuasan hidup,
kebahagiaan, optimisme, harapan, dan efek positif, dan cenderung
berhubungan negatif dengan kecemasan, depresi, dan efek
samping (Toussant & Friedman, 2009 dalam Andayati, 2016).
Selain gratitude atau kebersyukuran, religiusitas menjadi
komponen yang dihubungkan dengan tingkat kecemasan
seseorang. Aisyah (2018) setiap stressor merupakan penyebab
individu mengalami kecemasan, maka secara otomatis muncul
upaya untuk mengatasinya dengan berbagai mekanisme koping.
Menurut Narayanasamy (2012) religiusitas dapat menjadi
mekanisme koping dan faktor yang berkontribusi penting terhadap
proses pemulihan seseorang. Religiusitas adalah keyakinan,
praktek, serta ritual yang terkait dengan hubungan dengan Tuhan
yang terjadi dalam kontes suatu agama yang terorganisir ( Winny
Agata , Fransisca M.Sidabutar :2015). Religiusitas berdampak baik
bagi kesehatan. Seseorang dengan tingkat religiusitas yang tinggi
akan lebih mudah memahami bahwa sakit itu datang dari Tuhan
sebagai cobaan dan ujian (Najjini and Sudyasih, 2017).
Sesuai hasil wawancara kepada 10 penyintas Covid19 pada
20 Mei 2022 sebagai studi pendahuluan, dimana 8 penyintas
Covid19 menyatakan bahwa selama terkena covid19 sampai
dinyatakan sudah negatif merasa selalu bersyukur dan menerima
apa yang sudah terjadi karena lebih sering beribadah dan
mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kecemasan berkurang .
Sedangkan 2 penyintas Covid19 menyatakan bahwa selama
terkena Covid19 sampai dinyatakan sudah negatif merasa kurang
bersyukur dan tidak menerima apa yang sudah terjadi karena
kurangnya beribadah sehingga cenderung timbul kecemasan.
Dari uraian diatas maka peneliti bermaksud melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Religiusitas dan Gratitude
dengan Tingkat Kecemasan pada Penyintas Covid19 di Desa
Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati”
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “ Bagaimana
Hubungan Religiusitas dan Gratitude dengan Tingkat Kecemasan
pada Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati ? “

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan
Religiusitas dan Gratitude dengan Tingkat Kecemasan pada
Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Religiusitas Penyintas Covid19 di Desa
Guwo Kecamatan Tlogowungu
b. Untuk mengetahui Gratitude Penyintas Covid19 di Desa
Guwo Kecamatan Tlogowungu
c. Untuk mengetahui Tingkat Kecemasan Penyintas Covid19 di
Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
d. Untuk mengetahui Hubungan Religiusitas dan Gratitude
dengan Tingkat Kecemasan pada Penyintas Covid19 di
Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Mendapatkan informasi tentang Hubungan Religiusitas dan
Gratitude dengan Tingkat Kecemasan pada Penyintas Covid19
di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
2. Praktis
a. Peneliti
Merupakan suatu pengalaman dan pengetahuan baru
dalam menganalisis Hubungan Religiusitas dan Gratitude
dengan Tingkat Kecemasan pada Penyintas Covid19 di
Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
b. Institusi Pemerintahan Desa dan SATGAS Covid19
Bermanfaat sebagai tambahan referensi tentang
Hubungan Religiusitas dan Gratitude dengan Tingkat
Kecemasan pada Penyintas Covid19 di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
c. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
Hubungan Religiusitas dan Gratitude dengan Tingkat
Kecemasan pada Penyintas Covid19 di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
d. Responden
Memberikan pengetahuan kepada responden mengenai
Hubungan Religiusitas dan Gratitude dengan Tingkat
Kecemasan pada Penyintas Covid19 di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati sehingga Penyintas
Covid19 dapat lebih bersyukur atas kesembuhan yang
didapatkan dengan cara selalu beribadah sesuai keyakinan
masing-masing.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain di Desa
Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati, sedangkan
penelitian yang terkait seperti dibawah ini :
Tabel 1.1
Originalitas Penelitian
Peneliti/ Judul Metode Hasil Perbedaan

Tahun

Susilo Coronavirus Telaah Covid-19 1. Variabel


Disease 2019 : Studi merupakan dependen
(2020) Tinjauan Covid- penyakit baru penelitian yang
Literatur Terkini 19 yang telah sudah
menjadi pandemi. dilakukan
Penyakit ini harus coronavirus
diwaspadai disease
karena penularan sedangkan
yang relatif cepat, penelitian ini
memiliki tingkat gratitude
mortalitas yang penyintas covid
tidak dapat 19.
diabaikan, belum
adanya terapi 2. Metode
definitif. Masih penelitian yang
banyak sudah
knowledge gap dilakukan
dalam bidang ini menggunakan
sehingga telaah studi
diperlukan studi- covid19
studi lebih lanjut sedangkan
penelitian ini
menggunakan
metode analitik
korelasi

Dhian Gambaran Analitik Hasil penelitian ini 1. Variabel


Luluh R Stigma Korelasi menunjukkan dependent dan
Penyintas bahwa tingginya independent
(2020) Covid-19 Dan stigma eksternal pada penelitian
Faktor yang dirasakan ini yaitu
Sosiodemografi pada penyintas mengenai stigma
covid-19. Adanya penyintas
hubungan yang covid19 dan
signifikan antara faktor
usia dengan sosiodemografi
kekhawatiran sedangkan pada
pengungkapan penelitian yang
pada stigma akan dilakukan
penyintas covid- variabel
19. Kekhawatiran dependennya
pengungkapan yaitu tingkat
pada dewasa kecemasan
awal paling tinggi penyintas
rata-ratanya pada covid19 dan
penyintas covid- variabel
19. Selain itu independennya
kategori tingkat yaitu religiusitas
pendidikan dan gratitude
berhubungan
signifikan dengan 2. Tempat penelitian
stigma yang dan responden
terinternalisasi. yang berbeda
Penyintas covid
dengan
pendidikan
menengah ke
atas berhubungan
dengan stigma
yang
terinternalisasi.
Penyintas covid-
19 dengan
penyakit penyerta
memiliki
hubungan yang
signifikan dengan
stigma eksternal
yang dirasakan.

Wahyu,Ta Gratitude pada Analitik Hasil 1. Penelitian yang


tik, mantan pasien korelasi menunjukkan akan dilakukan
Covid19: bahwa percaya mengambil
Akta Bagaimana diri tidak memiliki variabel bebas
peran percaya korelasi yang (independent)me
(2021)
diri? signifikan dengan ngenai
gratitude. Setelah Religiusitas dan
didapatkan nilai gratitude,sedangk
dari dua variabel, an penelitian di
maka dilakukan atas mengambil
analisa dan variabel
didapatkan bahwa bebasnya
percaya diri tidak mengenai
berhubungan
dengan gratitude percaya diri.

2. Dalam
melakukan
penelitian yang
akan dilakukan
dengan penelitian
diatas tempat
penelitiannya
berbeda.
F. Ruang Lingkup
1. Ruang lingkup waktu
Penelitian ini rencana akan dilakukan sesuai dengan standar
pengumpulan data yaitu pada Juni – Agustus 2022
2. Ruang lingkup tempat
Penelitian ini dilakukan di Desa Guwo Kecamatan
Tlogowungu Kabupaten Pati
3. Ruang lingkup materi
Penelitian ini berkaitan dengan materi keperawatan
komunitas khususnya kesehatan psikologis yang berkaitan
dengan gangguan psikologis akibat efek dari covid19. Landasan
teori yang dimasukkan sesuai dengan judul penelitian yaitu
untuk mengetahui Hubungan Religiusitas dan Gratitude dengan
Tingkat Kecemasan pada Penyintas Covid19 di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
4. Ruang lingkup sasaran
Sasaran pada penelitian ini adalah penyintas covid19 yang
ada di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Covid-19
a. Pengertian
Covid19 adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh jenis coronavirus yang mulai menyebar sebagai wabah
di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019 (World
Health Organization, 2020).
Sejak 11 Maret 2020, World Health Organization
(2020a) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang terjadi
di banyak negara di seluruh dunia. Siapa pun dapat
terinfeksi Covid-19. Gejala-gejala yang sering dijumpai pada
orang-orang yang terinfeksi Covid-19 dapat berupa demam,
batuk kering, kelelahan, kehilangan rasa atau bau, hidung
tersumbat, konjungtivitis (mata merah), sakit tenggorokan,
sakit kepala, nyeri otot atau sendi, berbagai jenis ruam kulit,
mual atau muntah, diare, menggigil atau pusing. Pada
individu dengan gejala yang lebih parah, biasanya ditemui
gejala-gejala seperti sesak napas, kehilangan nafsu makan,
kebingungan, nyeri atau tekanan yang terus-menerus di
dada, demam tinggi (suhu di atas 38 °C) (World Health
Organization, 2021).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
menyampaikan melalui Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4641/2021
bahwa sampai saat ini situasi penularan COVID-19 di
tingkat global maupun nasional masih sangat tinggi, Oleh
karenanya diperlukan langkah-langkah strategis untuk
mempercepat pencegahan dan pengendalian COVID-19
dengan mempercepat dan meningkatkan kapasitas
pemeriksaan, pelacakan, karantina, dan isolasi kasus
Covid19.
b. Kriteria Kasus COVID-19 di Indonesia
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4641/2021, kasus
COVID-19 di Indonesia dibagi ke dalam tiga kelompok:
Kasus Suspek, Kasus Probable, dan Kasus Konfirmasi.
1) Yang dimaksud dengan Kasus Suspek adalah orang
yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
a) Orang yang memenuhi salah satu kriteria klinis:
(1) Demam akut dan batuk; atau
(2) Minimal 3 gejala berikut: demam, batuk, lemas,
sakit kepala, nyeri otot, nyeri tenggorokan,
pilek/hidung tersumbat, sesak napas,
anoreksia/mual/muntah, diare, atau penurunan
kesadaran; atau
(3) Pasien dengan ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut) berat dengan riwayat
demam/demam (> 38℃) dan batuk yang terjadi
dalam 10 hari terakhir, serta membutuhkan
perawatan rumah sakit; atau
(4) Anosmia (kehilangan penciuman) akut tanpa
penyebab lain yang teridentifikasi; atau
Ageusia (kehilangan pengecapan) akut tanpa
penyebab lain yang teridentifikasi.
b) Seseorang yang memiliki riwayat kontak dengan
kasus probable/konfirmasi COVID-19/kluster
COVID-19 dan memenuhi kriteria klinis pada (a).
c) Seseorang dengan hasil pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) positif sesuai
dengan penggunaan RDT-Ag pada kriteria wilayah
A dan B, dan tidak memiliki gejala serta bukan
merupakan kontak erat (Penggunaan RDT-Ag
mengikuti ketentuan yang berlaku).
2) Yang dimaksud dengan Kasus Probable adalah kasus
suspek yang meninggal dengan gambaran klinis
meyakinkan COVID-19 dan memiliki salah satu
kriteria sebagai berikut:
a) Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium Nucleic
Acid Amplification Test (NAAT) atau RDT-Ag; atau
b) Hasil pemeriksaan laboratorium NAAT/RDT-Ag
tidak memenuhi kriteria kasus konfirmasi maupun
bukan COVID-19 (discarded).
3) Yang dimaksud dengan Kasus Konfirmasi adalah
orang yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
a) Seseorang dengan pemeriksaan laboratorium
NAAT (seperti RT-PCR) positif.
b) Memenuhi kriteria kasus suspek atau kontak erat
dan hasil pemeriksaan RDT-Ag positif di wilayah
sesuai penggunaan RDTAg pada kriteria wilayah
B dan C.
c) Seseorang dengan hasil pemeriksaan RDT-Ag
positif sesuai dengan penggunaan RDT-Ag pada
kriteria wilayah C.
4) Penyintas Covid19
Penyintas adalah orang yang pernah terpapar
virus corona atau pasien positif Covid-19 yang telah
berhasil sembuh dari penyakitnya.
Cara Penyintas Covid19 dalam melawan Stigma
Negatif :
a) Gratitude di tingkatkan
b) Berpikir Positif
Dukunngan dari keluarga
2. Tingkat Kecemasan
a. Pengertian
Menurut Ghufron (2012), kecemasan berasal dari
Bahasa Latin (anxius) dan Bahasa Jerman (ansf), yang
merupakan kata yang menggambarkan efek negative.
Kecemasan dapat didefinisikan sebagai bentuk emosional
yang tidak memiliki objek khusus (Gail W. Stuart, 2016).
Kecemasan didefinisikan sebagai perasaan takut atau
gelisah tanpa diketahui alasan yang jelas dan dikaitkan
dengan perubahan pada fisiologis (berkeringat, detak
jantung meningkat, konstipasi, dll.) (Badrya, 2015).
Definisi kecemasan yang sebelumnya telah
dipaparkan dapat menjadi kesimpulan bahwa kecemasan
merupakan perasaan negatif atau respon individu terhadap
suatu masalah dalam bentuk ketegangan yang berdampak
pada perilaku, cara berpikir dan fisiologis individu.
b. Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2013) terdapat 4 tingkat kecemasan
pada seseorang, yaitu:
1) Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berupa ketegangan yang dialami
individu sehari-hari. Kecemasan ini memungkinkan
individu untuk lebih efisien dan kreatif dalam pemecahan
masalah (G. W Stuart, 2013).
2) Kecemasan Sedang
Individu berfokus dengan apa yang dipikirkannya,
tanpa memikirkan yang lainnya. Terjadi penyempitan
pada lahan persepsinya atau dapat dikatakan mengalami
perhatian yang selektif, tetapi hal ini masih dapat
diarahkan oleh orang lain. Individu cenderung focus pada
sumber kecemasannya.
3) Kecemasan Berat
Persepsinya menjadi sangat sempit. Individu hanya
berfokus pada pikirannya dan menjadi lebih detail dan
spesifik, selain itu individu tidak memikirkan yang lainnya.
Dibutuhkan lebih banyak arahan dari orang lain dan
perilaku yang ditunjukkan bertujuan untuk mengurangi
kecemasan pada dirinya.
4) Kecemasan Sangat Berat (panik)
Pada kecemasan ini individu cenderung kehilangan
kendali pada dirinya, berkurangnya berhubungan dengan
orang lain, persepsi yang terdistorsi, kehilangan pikiran
yang rasional dan individu tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari meski banyak menerima perintah dari
orang lain. Pikirannya menjadi tidak rasional dan
biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.
c. Aspek-Aspek Kecemasan
Menurut Fenn, K., & Byrne, M. (2013), terdapat 4 aspek
kecemasan:
1) Reaksi fisik (physical symptom), individu yang merasa
cemas cenderung mengalami reaksi fisik seperti otot
tegang, telapak tangan berkeringat, sulit bernapas,
jantung berdebar-debar dan pusing (Fenn, K., & Byrne,
2013).
2) Pikiran (thought), individu yang mengalami kecemasan
cenderung berpikir negatif dan irasional. Individu
menganggap dirinya tidak memiliki keahlian untuk
mengatasi masalahnya. Pemikiran ini akan cenderung
menetap apabila individu tidak merubah pemikirannya
menjadi lebih positif.
3) Perilaku (behavior), individu yang mengalami kecemasan
cenderung menghindari situasi yang membuatnya
cemas. Perilaku yang muncul seperti gangguan tidur
terjadi ketika ketidaknyamanan dan terganggunya karena
terus memikirkan sesuatu seperti belum sembuhnya
individu dari suatu penyakit.
4) Suasana Hati (feeling), individu yang mengalami
kecemasan cenderung terlihat panik, perasaan marah,
dan gugup. Perasaan seperti gugup dan panic dapat
menimbulkan kesulitannya individu dalam memutuskan
sesuatu.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Secara umum ada faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kecemasan, faktor internal meliputi
rendahnya tingkat keyakinan agama, kurangnya
kepercayaan diri, pengalaman negatif masa lalu dan
pemikiran irasional, dan faktor eksternal meliputi kurangnya
dukungan di lingkungan sosial.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
kecemasan pada penderita COVID19. Faktor internal berupa
gejala yang masih dirasakan penderita seperti batuk, sesak
nafas dan ketidaknyamanan fisik ataupun psikologis yang
lain. Faktor lainnya yaitu faktor eksternal yang dapat
muncul akibat perubahan lingkungan dan perubahan sosial
yang terjadi disekitar penderita (Jannah, 2020)
Anggunsari, 2015) menyebutkan Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kecemasan seperti, usia, status kesehatan
jiwa dan fisik, nilai budaya dan spiritual, pendidikan, respon
koping, dukungan sosial, tahap perkembangan, pengalaman
masa lalu, pengetahuan.
Rasa syukur merupakan salah faktor internal terhadap
kecemasan dan depresi (Sun et al., 2020). Menurut Emmons
& Stern (2013), Beberapa studi empiris menetapkan
kebersyukuran memiliki pengaruh signifikan dengan
rendahnya tingkat gejala psikopatologis individu, khususnya
depresi dan kecemasan (Emmons & Stern, 2013). Intervensi
klinis yang telah dikembangkan menyatakan dengan
meningkatkan kebersyukuran dapat digunakan untuk
mendorong fungsi positif, meningkatkan kesejahteraan dan
menurunkan gangguan psikologis (Emmons & McCullough,
2003).
Selain kebersyukuran, religiusitas merupakan salah satu
faktor yang mepengaruhi tingkat kecemasan individu Aisyah
(2018) setiap stressor merupakan penyebab individu
mengalami kecemasan, maka secara otomatis muncul upaya
untuk mengatasinya dengan berbagai mekanisme koping.
Menurut Narayanasamy (2012) religiusitas dapat menjadi
mekanisme koping dan faktor yang berkontribusi penting
terhadap proses pemulihan seseorang. Religiusitas
berdampak baik bagi kesehatan. Seseorang dengan tingkat
religiusitas yang tinggi akan lebih mudah memahami bahwa
sakit itu datang dari Tuhan sebagai cobaan dan ujian (Najjini
and Sudyasih, 2017).
Aler dan Rodman (dalam M.Nur Ghufron & Rini
Risnawita, S, 2019) mengemukakan bahwasannya terdapat
dua faktor yang dapat menyebabkan kecemasan, yakni :
1) Pengalaman negatif pada masa lalu
Penyebab terjadinya perasaan cemas yaitu adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa lalu
meliputi peristiwa yang bisa saja terulang kembali pada
masa yang akan datang, saat individu menghadapi
keadaan atau kejadian tidak menyenangkan yang dapat
membuat ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah
gagal dalam mengikuti mengikuti sebuah tes. Hal
tersebut tentunya dapat menimbulkan kecemasan pada
siswa dalam menghadapi tes berikutnya.
2) Pikiran yang Tidak Rasional
Kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian akan
tetapi keyakinan dan kepercayaan tentang suatu
peristiwatertentu sehingga menyebabkan kecemasan.
Pemikiran yang tidak rasional terbagi menjadi empat
yaitu :
a) Kegagalan katastropik, adalah asumsi individu
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Individu
mengalami kecemasan dan perasaan tidak
mampu dan tidak mampu mengatasi masalah
mereka.
b) Kesempurnaan, individu yang ingin berperilaku
sempurna dan tanpa cacat, individu yang
mengukur kesempurnaan sebagai tujuan dan
sumber inspirasi.
c) Penerimaan, ditandai dengan keyakinan yang
salah berdasarkan gagasan bahwa ada sesuatu
yang virtual untuk mencapai kesepakatan
lingkungan.
d) Generalisasi yang tidak tepat, generalisasi
Overfitting terjadi pada orang yang tidak memiliki
banyak pengalaman.
3. Gratitude
a. Pengertian
Bersyukur adalah latihan mindfulness gratis yang
membantu seseorang mengatasi kecemasan dan
ketidakpastian dengan berfokus pada apa yang individu
hargai,apa yang ada dalam kendali individu, dan apa yang
bisa individu berikan kembali (Emmons & Stern, 2013)
Menurut Watkins dkk, mendefinisikan gratitude
sebagai suatu sikap menghargai setiap kehidupan sebagai
karunia dan menyadari pentingnya mengungkapkan
penghargaan tersebut. Syukur adalah sebuah keadaan
yang dialami oleh individu dari kesadarannya dan secara
kognitif dapat memengaruhi emosi (Watkins, 2014).
Menurut Allen (2018) mendefinisikan rasa syukur
sebagai proses dua langkah: 1) “mengakui bahw seseorang
telah memperoleh hasil positif” dan 2) “mengaki bahwa ada
sumber eksternal untuk hasil positif ini”. Sementara
sebagian besar manfaat positif ini berasal dari orang lain,
karenanya reputasu rasa syukur sebagai emosi
“berorientasi pada orang lain”, namun orang juga dapat
mengalami rasa syukur terhadap Tuhan, nasib, alam ( Allen,
2018 ).
Menurut Rusdi (2016) mengatakan bahwa syukur
adalah memberikan balasan dengan cara yang baik. Hal ini
menunjukkan syukur tidak cukup dengan merasakan rida
atau kesenangan. Syukur memerlukan ekspresi dan
tindakan positif atas nikmat tersebu ( Rusdi, 2016 ).
Berdasarkan beberapa pengertian gratitude di atas
disimpulkan bahwa gratitude adalah perasaan emosi positif
yang menyenangkan yang merupakan bentuk penghargaan
yang berwujud rasa syukur atau rasa terimakasih terhadap
segala hal yang di peroleh dan muncul ketika individu
tersebut menerima keadaan berupa kebaikan atau bantuan
dari pihak lain.

b. Tingkat Gratitude
Secara konseptual, Prabowo (2017) menjelaskan
bahwa syukur memiliki dua tingkat, di antaranya keadaan
dan sifat :
1) Syukur sebagai suatu keadaan dimaknai sebagai
perasaan subjektif yang berkaitan dengan rasa kagum,
rasa terima kasih dan penghargaan terhadap sesuatu
yang diterima individu.
2) sebagai sifat, syukur dijelaskan sebagai kecenderungan
individu untuk merasa bersyukur atas segala hal yang
terjadi dalam hidupnya. Individu dengan syukur yang
tinggi akan jauh lebih sering mengapresiasi dan
berterima kasih atas segala situasi
c. Aspek Gratitude
Menurut McCullough, Emmons dan Tsang (2002)
dalam Prabowo (2017) , yang memaparkan bahwa terdapat
empat aspek dalam syukur :
1) Aspek intensitas (intensity) merupakan individu yang
sangat bersyukur ketika terjadi hal-hal positif.
2) Aspek frekuensi (frequency) dijelaskan sebagai individu
yang sering mengekspresikan rasa syukurnya setiap hari.
3) Aspek rentang (span), diartikan sebagai rasa syukur
individu di berbagai kondisi kehidupannya seperti rasa
syukur atas pekerjaan, kesehatan maupun keluarga.
4) Aspek kerapatan (density) artinya rasa syukur individu
terhadap lebih banyak orang
Kertamuda & Haryanto memaparkan aspek-aspek
rasa syukur menurut pandangan Islam (2016) :
1) Aspek Kehidupan yang Diinginkan : Situasi di mana
orang dapat menimbulkan rasa terima kasih terhadap
orang-orang yang memiliki hasil yang diinginkan untuk
tindakan mereka atau memberikan penguatan setelah
mencapai kesuksesan.
2) Sifat Bersyukur Timbal Balik: Ini adalah pertukaran emosi
positif. Seseorang melakukan tindakan bersyukur untuk
orang lain, dan pada gilirannya, orang itu mungkin
didorong untuk melakukan sesuatu yang baik untuk
orang itu, atau bertahan dalam kebaikan untuk orang
yang tidak dikenalnya.
3) Bersyukur kepada orang lain: Rasa syukur dapat
diungkapkan dengan mempromosikan aktivitas
kemanusiaan, dan melayani orang-orang yang
membutuhkan.
4) Pengalaman bersyukur: Seseorang mengalami rasa
syukur setelah mendapatkan pahala dan kesuksesan dan
juga menunjukkan rasa syukur kapada Tuhan setelah
membaca tulisan suci. Rasa syukur yang lebih tinggi dari
pengalaman yang lebih tinggi.
5) Kegiatan Terkait Syukur: Ini ditujukan untuk
pemeliharaan kebenaran dan ketertiban. Seseorang
dapat mengekspresikan rasa syukur unutk terlibat dalam
pemujaan iman religious mereka.
d. Faktor yang mempengaruhi Gratitude
Menurut Mc.Cullough dkk., (2002:113-114) terdapat
setidaknya tiga faktor yang berkontibusi dalam rasa
bersyukur individu. Faktor tersebut terdiri dari:
1) Emotionality
Suatu tingkatan atau kecenderungan pada
seseorang saat bereaksi secara emosional dan
merasakan sebuah kepuasan dalam hidup. Individu yang
puas pada kehidupan yang telah diraihnya memiliki
pandangan dimaan dunia dan segalanya yang mereka
miliki adalah hadiah. Individu yang bersyukur cenderung
memiliki emosi positif seperti lebih sering mengalami
kebahagian, optimis dan memiliki harapan atau orientasi
masa depan yang tinggi. Sebaliknya mereka tidak
mengalami emosi yang mengarah pada rasa sedih,
marah, kecemasan, iri hati dan depresi.
2) Prosociality
Sifat prossoisal dari rasa syukur menunjukan
bahwa bersyukur berakar pada sifat dasar individu yang
mempunyai kecenderungan individu dalam sensitivitas
dan kepedulian kepada orang lain. Individu yang
bersyukur memiliki keinginan untuk menolong, rasa
empati yang lebih, perilaku memaafkan dan
kecenderungan untuk mendukung orang lain. Bersyukur
juga meminimalisir terhadap emosi negative seperti iri
hati dan kecewa, dapat memicu sejenis perasaan
dendam dan penghinaan yang ditunjukan kepada orang
lain.
3) Spirituality atau Religiousness
Berkaitan dengan keimanan individu masing
masing, menyangkut nilai-niali trasendental serta terkait
hubungan langsung antara individu dengan Tuhan.
Indivdu dengan tingkat spiritualitas yang tinggi cenderung
lebih mudah untuk bersyukur. Hal tersebut ditandai
dengan setiap perilaku dalam keidupannya sehari hari
individu dimana kecenderungan untuk bersyukur
dirasakan karena hubungan kedekatan dengan Tuhan-
Nya.
3. Religiusitas
a. Pengertian
Religiusitas (religiosity) bermakna relgios feeling or
sentiment “perasaan agama” ( The world Book Dictonary,
1980). Religion kemudian diartikan sebagai hubungan yang
mengikat antra diri kemudian diartikan sebagai hubungan
yang mengikat antara diri manusia dengan hal-hal diluar diri
manusia, yaitu Tuhan. Dalam religi umumnya terdapat
aturan-aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan,
yang berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri
seseorang atau sekelompok orang dalam hubungan
dengan Tuhan, sesame dan alam sekktar. Rasa beragama
atau religiusitas adalah pengalaman batin dari seseorang
ketika dia merasakan adanya Tuhan khususny bila efek
pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku ketika dia
secara aktif berusaha untuk menyesuaikan atau
menyelaraskan hidupnya dengan Tuhan ( Yantiek, 2014 ).
Religiusitas adalah potensi beragama atau
berkeyakinan kepada tuhan dengan kata lain percaya
adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup dan
kehidupan alam semesta (Yulianto, 2014)
Religiusitas adalah hubungan batin antara manusia
dengan Tuhan yang dapat mempengaruhi kehidupannya.
Hubungan batin antara manusia dengan Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari seperti menjalankan ibadah (Alfiani,
2013).
Menurut Majid dalam Saifuddin 2019 memaknai
religiusits sebagai perilaku yang sepenuhnya dibentuk oleh
kepercayaan dan keyakinan kepada kegaiban atau alam
ghaib yaitu kenyataan yang bersifat supraempiris ia
melakukan setiap hal yang empiris sebagaimana layaknya
tetapi ia mendapatkan nilai sesuatu yang empiris tersebut
dibawa supraempiris.
b. Dimensi-dimensi Religiusitas
Religiusitas dapat terlihat dari setiap perbuatan dan
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari seorang individu.
Hal ini dapat terlihat dari berbagai hal yang menyangkut
dengan religiusitas salah satunya adalah dimensi
religiusitas Ghufron diantaranya( Aviyah, 2014 ) :
1) Dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana
seseorang menerima dan mengakui hal-hal yang
dogmatic dalam agamanya. Misalnya keyakinan
adanya sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surge,
para nabi dan sebagainya.
2) Dimensi peribadatan atau praktik agama (the
ritualistic dimension)
Dimensi ini adalah tingkatan sejauh mana seseorang
menunaikan kewajiban-kewaiban ritual dalam
agamanya. Misalnya menunaikan sholat, zakat,
puasa, haji dan sebagainya.
3) Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal
dimension)
Dimensi penghayatan adalah perasaan keagamaan
yang pernah dialami dan dirasakan seperti merasa
dekat dengan Tuhan, tenteram saat berdoa, tersentuh
mendengar ayat suci, merasa takut berbuat dosa,
merasa senang doanya dikabulkan dan sebagainya.
4) Dimensi pengetahuan agama (the intellectual
dimension)
Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang
mengetahui dan memahami ajaran-ajaran agamanya
terutama yang ada dalam kitab suci, hadits,
pengetahuan fiqih dan sebagainya.
5) Dimensi effect atau pengalaman (the consequential
dimension) Dimensi pengalaman adalah sejauh mana
implikasi ajaran agama memengaruhi perilaku
seseorang dalam kehidupan sisal. Misalnya
mendermakan harta untuk keagamaan dan social,
menjenguk orang sakit, mempererat silaturahmi, dan
sebagaiman.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Saifuddin 2019 faktor yang mempengaruhi
Religiusitas antara lain :
1) Faktor Internal
Perkembangan religiusitas selain ditentukan oleh
faktor internal seseorang. Seperti halnya aspek
kejiwaan lainnya, maka para ahli psikologi agama
mengemukakan brbagai teori berdasarkan
pendekatan masing-masing. Tetapi seara garis besar,
faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap
perkembangan religiusitas antara lain adalah faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi
kejiwaan seseorang.
a) Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung
sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara
turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai
unsur kejiwaan lainnya yang mencakp kognitif,
afektif dan konatif.
b) Tingkat Usia
Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan
adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran
beragama, meskipun tingkat usia bukan satu-
satunya faktor penentu dalam kesadaran
beragama seseorang. Kenyataan ini dapat dilihat
adanya perbedaan pemahaman agama ada
tingkat usia yang berbeda.
c) Kepribadian
Sebagai identitas diri (jati diri) seseorang yang
sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda
dari individu lain di luar dirinya. Dalam kondisi
normal, memang secara individu manusia memiliki
perbedaab dalam kepribadian. Perbedaan ini
diperkirakan berpengaruh terhadap aspek-aspek
kejiwaan termasuk kesadaran beragama.
d) Kondisi Kejiwaan
Banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti
schizophrenia, paranoia, maniac, dan infantike
autism.Tetapi yang penting dicermati adalah
hubungannya denan perkembangan kejiwaan
agama. Sebab bagaimanapun seseorang yang
mengidap schizophrenia akan mengisolasi diri dari
kehidupan social serta persepsinya tentang
agama akan dipengaruhi oleh halusinasi.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dinilai berpengaruh dalam
religiusitas dapat dilihat dari lingkingan dimana
seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan social yang paling
sederhana dalam kehidupan menusia. Keluarga
merupakan lingkungan social pertama kali yang
dikenal oleh setiap individu. Dengan demikian,
kehidupan keluarga merupakan fase sosialisasi
awal bagi pembentukan jiwa keagamaan pada
setiap individu.
b) Lingkungan Institusional
Melalui kurikulum, yang berisi materi pengajaran,
sikap dan keteladaan guru sebagai pendidik serta
pergaulan antar teman disekolah dinilai berperan
penting dalam menanamkan kebiasaan yang
baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian
dar pembentukan moral yang erat kaitannya
dengan perkembangan jiwa keagamaan
seseorang.
c) Linkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat bukan merupakan
lingkungan yang mengandung unsur tanggung
jawab, melainkan hanya merupakan unsur
pengarh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang
ada terkadang pengaruhnya lebih besar dalam
perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam
bentuk positif maupun negative.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas pada diri
individu baik dari faktor internal ( faktor hereditas, tingkat
usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan ), dan faktor eksternal
( lingkungan keluarga, lingkungan intitusional dan lingkungan
masyarakat ).
4. Hubungan Religiusitas Dengan Gratitude Penyintas Covid19
Masyarakat yang belum pernah terinfeksi Covid19
menstigmatisasi, menghindari, dan mendiskriminasi mereka
yang terinfeksi Covid-19 (Curșeu, Coman, Panchenko, Fodor, &
Rațiu, 2021). Respon lain yang muncul adalah penolakan
terhadap kenyataan mengenai Covid-19 (Pattee, 2020).
Sehingga pada penyintas Covid-19 juga ditemukan adanya
gejala-gejala kecemasan, depresi mayor, gangguan tidur, dan
PTSD juga muncul pada penyintas Covid19 (Canady, 2020;
Mazzaa, dkk., 2020).
Salah satu faktor penyebab individu mengalami gangguan
kecemasan karena adanya kecenderungan individu bersikap
melebih-lebihkan bahaya dan konsekuensi sumber masalah
yang membuat individu takut. Hal ini juga dapat disebut sebagai
pikiran yang tidak rasional, dimana individu berasumsi sesuatu
yang buruk akan terjadi, yang membuat individu cemas dan
merasa tidak mampu mengatasi masalah (Annisa & Ifdil, 2016).
Dikatakan kebersyukuran memiliki hubungan dengan tingkat
kecemasan, Studi 2020 menunjukkan bahwa kebersyukuran
memiliki hubungan dengan kesehatan mental yang lebih baik.
Seseorang yang ditimpa masalah atau tekanan dan individu
memandang itu sebagai sesuatu yang baik, maka secara sadar
atau tidak individu akan mendapatkan kemampuan coping yang
lebih baik, sehingga individu memiliki pemaknaan hidup yang
lebih positif. Emmons dan McCollough (2004) menjelaskan
bahwa individu yang bersyukur akan mengalami afek positif,
seperti lebih sering mengalami kebahagiaan, menikmati
kepuasan dalam hidup, lebih banyak berharap, dan cenderung
kurang mengalami depresi, kecemasan dan iri hati (Jans-beken,
2021).
Individu yang bersyukur menunjukkan kecemasan yang lebih
sedikit karena individu mampu meyakinkan diri individu sendiri
ketika hidup tidak sesuai dengan harapan individu (Petrocchi &
Couyoumdjian, 2016). Penelitian lain juga menunjukkan adanya
hubungan antara kebersyukuran dan kecemasan, artinya rasa
syukur dapat digunakan sebagai intervensi yang efektif untuk
mengatasi gejala depresi dan kecemasan (Cregg & Cheavens,
2020).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rosmarin (2010),


rasa syukur dan religiusitas akan mampu menurunkan tingkat
kecemasan dan depresi (Rosmarin, David H., 2010). Selain
kebersyukuran, religiusitas merupakan salah satu faktor yang
mepengaruhi tingkat kecemasan individu Aisyah (2018) setiap
stressor merupakan penyebab individu mengalami kecemasan,
maka secara otomatis muncul upaya untuk mengatasinya
dengan berbagai mekanisme koping. Menurut Narayanasamy
(2012) religiusitas dapat menjadi mekanisme koping dan faktor
yang berkontribusi penting terhadap proses pemulihan
seseorang. Religiusitas berdampak baik bagi kesehatan.
Seseorang dengan tingkat religiusitas yang tinggi akan lebih
mudah memahami bahwa sakit itu datang dari Tuhan sebagai
cobaan dan ujian (Najjini and Sudyasih, 2017).
5. Kerangka Teori

KECEMASAN PENYINTAS
COVID19

Tingkat Kecemasan:
a. Cemas ringan
b. Cemas sedang
c. Cemas berat Faktor Eksternal yang
d. Panik mempengaruhi:
Faktor Internal yang  Dukungan dari
mempengaruhi: orang lain
 Usia  Perubahan
 Status kesehatan lingkungan
jiwa dan fisik  Perubahan Sosial
 Nilai budaya
 Spiritual atau
Religiusitas
 Rasa syukur atau
Gratitude Religiusitas

Gratitude a. Keyakinan
b. Praktek Agama
a. Intensity
c. Penghayatan
b. Frequency
d. Pengetahuan
c. Span
e. Pengalaman
d. Density

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti
( Aviyah, 2014) (Prabowo, 2017)
(Jannah, 2020)
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Menurut Hermawan 2019 variabel penelitian adalah sesuatu


hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh penelitian untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan
kemudian ditarik kesimpulannya.

Variabel penelitian merupakan sesuatu yang menjadi objek


pengamatan penelitian, sering juga disebut sebagai faktor yang
berperan dalam penelitian atau gejala yang akan diteliti
(Hermawan, 2019). Pada penelitian ini, variable penelitian dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Variabel Bebas (Independent Variable)


Variabel Independent merupakan variable yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variable dependen/terikat (Sugiyono, 2013). Variabel
bebas pada penelitian ini adalah Religiusitas
2. Variabel Terikat (Dependent Varable)
Variabel dependent merupakan variable yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variable bebas
(Sugiyono, 2013). Variabel terikat dari penelitian ini adalah
Gratitude pada penyintas Covid19.
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap tujuan
penelitian yang diturunkan dari kerangka pemikiran yang telah
dibuat. Hipotesis merupakan pernyataan tentative tentang
hubungan antara dua variable atau lebih. Hipotesis merupakan
dugaan sementara dari jawaban rumusan masalah penelitian
(Carsel, 2018).
Hipotesis dalam penelitian ini mempunyai 2 kemungkinan yaitu :

1. Ha : ada Hubungan Religiusitas dengan Gratitude pada


Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati.
2. H0 : tidak ada Hubungan Religiusitas dengan Gratitude pada
Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati.

C. Kerangka Konsep Penelitian


Gambar
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen


X Y

Religiusitas Gratitude pada


Penyintas Covid19

D. Rancangan Penelitian
3. Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan yaitu untuk
mengetahui hubungan Religiusitas dengan Gratitude pada
Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati, maka peneliti menggunakan metode penelitian
analitik korelasi. Metode analitik korelasi merupakan penelitian
yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena
kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2015).
4. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan pendekatan cross sectional. Peneliti
menggunakan dengan pengukuran cross sectional dikarenakan
penelitian ini dilakukan dengan pengukuran variable
independen dan variable dependent hanya satu kali, pada satu
saat (Nursalam, 2016).
5. Metode Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari data
primer dan sekunder (Sujarweni, 2014) :
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari responden melalui kuisioner,
kelompok focus, dan panel, atau juga data hasil wawancara
peneliti dengan narasumber. Data yang diperoleh dari data
primer ini harus diolah lagi. Sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data.
Pengumpulan data primer pada penelitian ini
didapatkan secara langsung dengan cara mengisi kuisioner
yang diberikan pada penyintas Covid19 di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
b. Data Sekunder
Data yang didapat dari catatan, buku, majalah berupa
laporan, artikel, buku-buku sebagai teori, majalah, dan lain
sebagainya. Data yang diperoleh dari data sekunder ini tidak
perlu diolah lagi. Sumber yang tidak langsung memberikan
data pada pengumpul data.
Data sekunder pada penelitian ini diambil dari data
penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati, buku rujukan dan internet.

6. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas obyek
atau suyek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sujarweni, 2014).
Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati sebanyak 171 orang berdasarkan pengambilan
data awal pada 9 Mei 2022.
6. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah populasi dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi. Dengan kata lain, sampel adalah
elemen-elemen populasi yang dipilih atas dasar kemampuan
mewakilinya (Sugiyono, 2014). Sampel Penelitian inni adalah
populasi dengan kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan
Tlogowungu Kabupaten Pati
2) Penyintas Covid19 yang beragama islam di Desa Guwo
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati
3) Bersedia menjadi responden
b. Kriteria Ekslusi
1) Bukan Penyintas Covid19 di Desa Guwo Kecamatan
Tlogowungu Kabupaten Pati
2) Penyintas Covid19 yang beragama non islam di Desa
Guwo Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati
3) Responden yang menolak menjadi responden

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.


Jika jumlah populasinya kurang dari 100 orang maka jumlah
sample diambil secara keseluruhan, tetapi jika populasinya
lebih besar dari 100 orang, maka bisa diambil 10-15% atau 20-
25% dari jumlah populasinya (Arikunto, 2013).
Berpijak pada teori tersebut, maka pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah 25% dari populasi yang ada, karena
jumlah populasi dalam penelitia ini melebihi 100, yaitu 171
orang sehingga menghasilkan 25% x 171 = 43 orang. Maka
besarnya sampel pada penelitian ini adalah 43 responden.
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik consecutive sampling. Teknik
consecutive sampling yaitu jenis pengambilan sampel non
probability terbaik da merupakan cara yang paling mudah.
Pada consecutive sampling, setiap responden yang memenuhi
kriteria penelitian penelitin dimasukan dalam penelitian sampai
kurun waktu.

Anda mungkin juga menyukai