Anda di halaman 1dari 9

Mahasiswa Kurang Terampil Berpikir Kritis

Oleh Veronika Cinda

Tantangan pendidikan saat ini terfokus pada menciptakan sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi abad ke-21. Salah satu tuntutan abad ke-21 ini adalah keterampilan
berpikir kritis.

Berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan tingkat tinggi yang harus dimiliki setiap
individu dan mulai ditanamkan pada cara berpikir mahasiswa di perguruan tinggi.

Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tradisi suatu bangsa sering diubah secara
mendasar oleh para mahasiswa. Seperti perubahan tradisi berpikir masyarakat Perancis yang
mengalami perubahan sangat mendasar setelah ada revolusi mahasiswa pada tahun 1968
(Zanuba Wahid-Membangun (Kembali) Kesadaran Kritis Mahasiswa-2008).

Sebagai generasi muda terpelajar, mahasiswa menyandang peran penting sebagai regenerasi
yang bertanggung jawab terhadap perubahan kondisi yang dianggap tidak ideal. Peran ini
tidak terlepas dari cara berpikir kritis. Robert Ennis menyimpulkan, berpikir kritis adalah
penalaran tentang keyakinan dan tindakan yang masuk akal, yang memutuskan apa yang
dipercaya atau dilakukan.

Mahasiswa di perguruan tinggi akan banyak menemui masalah-masalah yang harus dihadapi
dengan kemampuan berpikir kritis. Kurang terampilnya mahasiswa berpikir kritis
disebabkan oleh kesulitan dalam problem solving. Problem solving mampu menumbuhkan
pemikiran kritis dan kreatif mahasiswa melalui kegiatan menganalisis argument,
mempertimbangkan alternative penyelesaian, mengevaluasi, dan menyimpulkan
permasalahan.

Kemampuan problem solving secara umum dipandang sebagai keterampilan untuk bepikir
secara kritis, alasan analitis, yang mana hal tersebut melibatkan kuantitatif, komunikasi,
petunjuk, dan keterampilan respon secara kritis (Chang, Barufaldi, Lin, & Chen, 2007). Hasil
penelitian (2020) terhadap 64 mahasiswa PGSD menunjukkan bahwa 64,06% mahasiswa
kesulitan dalam problem solving (pemecahan masalah). Meskipun penelitian yang dilakukan
terbatas, namun hasil dari penelitian ini tetap dapat dijadikan dasar bahwa kompetensi
problem solving yang dimiliki oleh mahasiswa masih tergolong rendah.
Keterampilan berpikir kritis dan problem solving merupakan hal yang sangat perlu dimiliki
oleh setiap individu, meskipun keduanya sudah dikembangkan telah lama (Belecina & Jose
M. Ocampo, 2018).

Rendahnya keterampilan mahasiswa dalam berpikir kritis berkaitan erat dengan kemampuan
problem solving sehingga kesulitan ini tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Bagaimana
menghadapi kondisi ini?

Ubah Pola Pikir

Perkembangan teknologi yang semakin maju dan instan memberikan banyak pengaruh positif
bagi kehidupan. Namun juga menjadi sebuah tanggung jawab yang besar untuk kehidupan
masyarakat terutama mahasiswa generasi era digital.

Era digital harus dihadapi dengan sikap bijak dan pola pikir yang baik agar mampu
mengendalikan peran teknologi. Mengenali pemanfaatan berbagai teknologi perlu dilakukan
agar dapat membantu pekerjaan dan terhindar dari dampak negatif penggunaan teknologi
secara berlebihan.

Kasdin Sihotang mengatakan bahwa generasi digital memiliki pola pikir yang buruk yaitu
berpikir teknofil atau dalam kata lain mendewakan teknologi. Dimana dewasa ini
menyerahkan segala sesuatu pada teknologi sehingga muncul sikap ketergantungan mutlak
atasnya.

Mahasiswa masih banyak yang terjebak dan fokus pada manfaat egosentris teknologi
sehingga tidak melihat potensi masalah terkait penggunaan dan ketergantungan pada
teknologi. Para teknofil menelan mentah-mentah informasi yang diterima dari berbagai media
sehingga mengakibatkan mahasiswa termakan oleh hoax.

Seperti pada Oktober 2020 lalu terjadi perusakan dan penyerangan di Pejompongan, Jakarta
Pusat oleh 87 mahasiswa yang termakan berita hoax terkait omnibus law UU Cipta Kerja.
Kericuhan yang terjadi dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Mahasiswa yang termakan berita hoax secara tidak langsung menjelaskan bahwa pemikiran
kritis yang dimilikinya masih tergolong sangat rendah.

Begitu juga dalam hal pembelajaran. Kaum teknofil selalu bertumpu pada informasi yang
diberikan media. Tidak ada keinginan untuk menemukan atau menciptakan suatu hal yang
baru, hanya terfokus pada informasi yang pertama dilihat dan tidak mencari informasi yang
lain lagi. Teknologi yang diciptakan memang untuk mempermudah segala aspek kehidupan.
Namun pengembangan kemampuan diri jauh lebih penting. Teknologi yang ada seharusnya
dipandang sebagai fasilitas kita dalam mengembangkan diri terutama kemampuan berpikir.

Memiliki pola pikir teknofil menjadi penghambat dalam berpikir kritis dan problem solving.
Mahasiswa perlu mengubah pola pikir menjadi skeptis.

Kaum skeptis memiliki sikap kecenderungan untuk meragukan informasi atau pendapat orang
lain. Bukan dalam artian tidak percaya terhadap orang lain, namun lebih pada
mempertimbangkan keputusan dalam memberikan penilaian terhadap informasi baru.

Jika dibandingkan dengan berpikir teknofil, berpikir skeptis masih jauh lebih baik. Kaum
skeptis memiliki rasa keingintahuan yang besar yang akan memicu diri untuk mencari
informasi yang lebih banyak. Berpikir skeptis dapat membangun penalaran seseorang dengan
baik. Penalaran ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan problem solving.

Pola pikir yang baik dalam berpikir kritis akan akan sangat berpengaruh dalam problem
solving. Jika cara berpikir sudah tepat, maka akan mendapatkan solusi yang tepat dan begitu
juga sebaliknya.

Tingkatkan Pengetahuan

Sejumlah studi menemukan bahwa memang dalam banyak hal berpikir kritis telah menjadi
identik dengan pendidikan tinggi. Namun belum ditemukan bukti bahwa perguruan tinggi
atau universitas mengajarkan keterampilan berpikir kritis dengan sukses (Samuel S. Lusi,
2021).

Dalam meningkatkan pengetahuan ini tidak akan terlepas dari membaca, walaupun
pengetahuan tidak selalu dalam bentuk tulisan namun sebagian besar pengetahuan konkrit
berupa tulisan. Menurut Marschall & Davis, membaca kritis cukup esensial dalam
kesuksesan belajar sehingga ada baiknya agar membaca kritis dijadikan sebagai bahan ajar
untuk menggambarkan kemampuan dalam berpikir kritis yang dimiliki.

Pada hakikatnya, membaca adalah gudang ilmu atau jendela dunia. Diyakini bahwa dengan
rajin membaca, kita dapat mengetahui banyak hal baru. Jika seseorang memiliki banyak
pengetahuan, maka pengetahuan itu secara tidak langsung akan berguna untuk banyak hal
yang sebelumnya belum pernah dikuasai.
Dari data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia
terhitung rendah, baru mencapai 0,001%. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga
yang tertarik untuk membaca. Menumbuhkan minat baca memang tidak dapat terjadi secara
instan, begitu pula berpikir kritis. Namun dalam menumbuhkan minat, kita perlu usaha dan
mulai membiasakan diri.

Seringkali mahasiswa mengatakan bahwa menumbuhkan minat baca tidaklah seperti


membalikkan telapak tangan. Tanpa disadari minat baca dapat tumbuh dengan sendirinya jika
seorang mahasiswa memiliki kemauan untuk mengerjakan tugas-tugas. Tindakan kecil ini
jika dilakukan secara terus-menerus dapat memicu minat baca dan kemampuan berpikir
kritis.

Sayangnya, sebagian mahasiswa sangat tidak tertarik untuk membaca. Salah satu contoh
nyata yang sering terjadi adalah tidak membaca keseluruhan informasi yang disampaikan
dalam bentuk tulisan. Banyak mahasiswa yang menanyakan informasi seperti, kapan waktu
pelaksanaan, sementara sudah tertulis jelas pada informasi yang dibagikan. Kondisi ini
menjadi perhatian kita bersama.

Mahasiswa harus membangun pengetahuannya sendiri dengan mendayagunakan otaknya


untuk berpikir dan menumbuhkan minat. Dosen dapat membantu proses ini dengan cara
mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan mahasiswa.
Caranya dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mencari dan menerapkan
ide-ide sendiri, serta mengajak mahasiswa untuk secara sadar menggunakan strategi sendiri
dalam belajar.
Mengases Karya Tulis Sendiri
Elemen-elemen Penalaran

Judul/Tema : Mahasiswa Kurang Terampil Berpikir Kritis


Konsep-konsep Kunci : Berpikir kritis, Problem solving, Pola pikir

ELEMEN-1: PURPOSE --Apakah TUJUAN tulisan saya?


 Menjelaskan mengapa mahasiswa kurang terampil berpikir kritis dan bagaimana
cara menghadapinya.

Apakah tujuan itu:


CLEAR? □ LOGICALNESS? □ NOVELTY? Bisakah diformulasikan
dengan cara lain/ dianalogikan?)
 Menjelaskan penyebab mahasiswa kurang terampil dalam berpikir kritis dan cara
mengatasinya.

ELEMEN-2: QUESTIONS -- Pertanyaan Kunci yang ingin SAYA JAWAB


dalam tulisan ini:

1. Mengapa mahasiswa kurang terampil dalam berpikir kritis?


2. Bagaimana cara mengatasi kurang terampilnya mahasiswa dalam berpikir
kritis?

Apakah pertanyaan kunci itu:


CLEAR? RELEVAN? □ Menjawab sebuah Problem? □ Bisakah
diformulasikan dengan cara lain?

ELEMEN-3: INFORMATION -- INFORMASI yang saya gunakan untuk


mendukung argumentasi saya dalam menjawab elemen Purpose dan Question:
1. Hasil penelitian (2020) terhadap 64 mahasiswa PGSD menunjukkan bahwa
64,06% mahasiswa kesulitan dalam pemecahan masalah.
https://j-cup.org/index.php/cendekia/article/view/197

2. Seperti pada Oktober 2020 lalu terjadi perusakan dan penyerangan di


Pejompongan, Jakarta Pusat oleh 87 mahasiswa yang termakan berita hoax
terkait omnibus law UU Cipta Kerja.
https://news.detik.com/berita/d-5208555/cerita-mahasiswa-peserta-demo-
omnibus-law-bus-polisi-saya-balikkan

3. Dari data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan bahwa indeks minat
baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya
satu warga yang tertarik untuk membaca.
Apakah Informasi yang digunaan itu:
RELEVAN? MEMADAI? □ AKURAT? □ SUMBER KREDIBEL? □ Hasil
Penelitian/Pengamatan sendiri?

Catatan:

ELEMEN-4: CONCEPTS -- KONSEP-KONSEP KUNCI / Ide-ide Pokok yang


SAYA GUNAKAN dalam tulisan ini
1. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tradisi suatu bangsa sering diubah
secara mendasar oleh para mahasiswa. Seperti perubahan tradisi berpikir
masyarakat Perancis yang mengalami perubahan sangat mendasar setelah ada
revolusi mahasiswa pada tahun 1968 (Zanuba Wahid-Membangun (Kembali)
Kesadaran Kritis Mahasiswa-2008).

2. Robert Ennis menyimpulkan, berpikir kritis adalah penalaran tentang keyakinan


dan tindakan yang masuk akal, yang memutuskan apa yang dipercaya atau
dilakukan.

3. Kemampuan problem solving secara umum dipandang sebagai keterampilan


untuk bepikir secara kritis, alasan analitis, yang mana hal tersebut melibatkan
kuantitatif, komunikasi, petunjuk, dan keterampilan respon secara kritis (Chang,
Barufaldi, Lin, & Chen, 2007).

4. Keterampilan berpikir kritis dan problem solving merupakan hal yang sangat
perlu dimiliki oleh setiap individu, meskipun keduanya sudah dikembangkan
telah lama (Belecina & Jose M. Ocampo, 2018).

5. Kasdin Sihotang mengatakan bahwa generasi digital memiliki pola pikir yang
buruk yaitu berpikir teknofil atau dalam kata lain mendewakan teknologi.
Dimana dewasa ini menyerahkan segala sesuatu pada teknologi sehingga
muncul sikap ketergantungan mutlak atasnya.

6. Menurut Marschall & Davis, membaca kritis cukup esensial dalam kesuksesan
belajar sehingga ada baiknya agar membaca kritis dijadikan sebagai bahan ajar
untuk menggambarkan kemampuan dalam berpikir kritis yang dimiliki.

Apakah Konsep-konsep /Ide-ide itu:


RELEVAN dengan TUJUAN? □ AKURAT/TIDAK BIAS? □ TERDEFINISIKAN?

Catatan: ...............
ELEMEN-5: ASSUMPTIONS—Asumsi-asumsiyang SAYA gunakan:
1. Mahasiswa harus berpikir kritis.
2. Masih banyak mahasiswa yang mengabaikan pentingnya berpikir kritis.

Apakah Asumsi itu:


RELEVAN dengan TUJUAN? □ FAIRNES? □ LOGIS? □ Menjembatani
kesimpulan dan alasannya?

Catatan: .......................................................................................................................
...

ELEMEN-6: INFERENCE—Kesimpulan & Inferensi Saya:

1. Tuntutan pendidikan yang mengharuskan adanya peningkatan terhadap sumber


daya manusia yang tertuju pada kemampuan berpikir kritis mahasiswa mengalami
kendala dalam prosesnya. Banyak mahasiswa kesulitan dalam problem solving.
Berpikir kritis dan problem solving merupakan suatu komponen penting yang
saling berkaitan terhadap kualitas kemampuan mahasiswa dalam berpikir. Dalam
hal ini berpikir kritis dan problem solving harus dikembangkan secara bersama-
sama agar dapat berjalan secara seimbang.

2. Mahasiswa era digital tidak dapat dihindarkan dari berbagai teknologi yang ada
karena hal ini menandakan perubahan zaman yang semakin maju. Namun di sisi
lain, ketergantungan terhadap teknologi dan berbagai media semakin tidak
terkendali. Ketergantungan ini membuat mahasiswa bermalas-malasan
mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih baik. Kondisi ini perlu dihadapi
dengan mengubah pola pikir dan meningkatkan pengetahuan agar dapat
membentuk keterampilan berpikir kritis dan problem solving yang baik.

Apakah INFERENSI itu:


✘ RELEVAN dengan TUJUAN? □ FAIRNESS? □ LOGICALNESS? □ DEEPT
□ BREATDH/KELUASAN □ Didukung Informasi memadai (Lihat: elemen 3)?
Catatan: .......................................................................................................................
... ..............
ELEMEN-7: IMPLICATIONS—Apa implikasi dan Konsekuensi dari
Kesimpulan saya?

1. Kesulitan dalam problem solving akan berpengaruh buruk terhadap


perkembangan berpikir kritis. Mahasiswa seringkali hanya terfokus pada
masalah. Mulailah untuk lebih fokus memikirkan solusi dan jangan mengambil
solusi dalam waktu yang singkat. Seringlah untuk melakukan penalaran agar
merangsang otak untuk berpikir kritis sehingga mendapat solusi yang tepat.

2. Tumbuh kembangnya berpikir kritis di perguruan tinggi menjadi tanggung jawab


bersama bagi para dosen dan mahasiswanya. Mahasiswa perlu melihat teknologi
yang semakin maju sebagai alat untuk mempraktikkan sikap berpikir kritis
dalam menghadapi perubahan zaman, tidak menjadikan teknologi sebagai alasan
untuk bermalas-malasan. Para dosen perlu merancang pembelajaran
menggunakan isu-isu yang bermanfaat sebagai bentuk meningkatkan
pengetahuan mahasiswanya serta dapat melakukan refleksi tentang cara
mengajar dalam mempersiapkan mahasiswa untuk dapat mempertahankan
eksistensinya. Perguruan tinggi atau universitas perlu memastikan telah
mengajarkan keterampilan berpikir kritis dengan sukses pada mahasiswanya.
Mengingat saat ini merupakan era digital, para dosen dapat melatih mahasiswa
menyampaikan gagasan dan kritisnya melalui tulisan-tulisan di berbagai media.

Apakah Implikasi & Konsekuensi:


□ FAIRNESS? □ Aplikatif?
Catatan:

ELEMEN-8: POINT OF VIEW—dari sudut pandang mana (posisi apa) masalah


ini saya bahas:
Mahasiswa FKIP Universitas Kristen Satya Wacana

Apakah POV pembicara:


RELEVAN? □ FAIRNES? □ Fleksibel?

Catatan: …...

Critical Speaking
Video Presentasi artikel “Mahasiswa Kurang Terampil Berpikir Kritis”
https://youtu.be/pqGfRAGg1Bs

Anda mungkin juga menyukai