Anda di halaman 1dari 46

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE

PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR


KREATIF MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI ADVERSITY
QUOTIENT (AQ)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:

Daffa Ivan Aritama


D04218002

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING PROPOSAL SKRIPSI

Skripsi oleh:
Nama : Daffa Ivan Aritama
NIM : D04218002
Judul : Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Siswa Ditinjau Dari Adversity Quotient (AQ)
Ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Suparto, M.Pd.I Ahmad Lubab, M.Si.


NIP. 196904021995031002 NIP.198111182009121003
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian dari upaya kepada setiap manusia agar

dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, agar dapat tumbuh

menjadi manusia yang berguna. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 dijelaskan bahwa

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab” 1

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 di atas, salah satu kemampuan atau

potensi yang dikembangkan adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif yang

dimaksud dalam matematika adalah berpikir kreatif matematis.

Pehkonen menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Siswono,

berpikir kreatif bisa diartikan sebagai kombinasi berpikir logis dan berpikir

secara divergen, yang didasarkan pada intuisi namun masih dalam kesadaran. 2

Munandar memberikan definisi berpikir kreatif, menurutnya berpikir kreatif

adalah kemampuan untuk melihat atau memikirkan beberapa hal yang luar

biasa, yang tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak

1
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
2
Tatag Yuli Eko Siswono, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan
Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika”, diakses dari paper07_kreatifpsolving_posing-with-
cover-page-v2.pdf (d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net), diakses pada 18 Agustus 2022.
berhubungan dan mencetuskan solusi atau beberapa gagasan yang

menunjukkan kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), Orisinalitas

(originality), dan elaboration”.3 Pada tahun 2015 The Global Creativity Index

(GCI) melakukan penelitian pada aspek teknologi, bakat, dan daya tahan,

Indonesia berada di peringkat 115 dari 139 negara yang menjadi sampel

penelitian. 4

Kemampuan berpikir kreatif di Indonesia masih jauh berada di bawah

negara lain. Selain itu, rendahnya tingkat kemampuan berpikir kreatif

matematis siswa tampak dari Program for International Students Assessment

(PISA) di tahun 2015. Dari hasil tersebut, negara Indonesia berada di peringkat

ke 69 dari 76 negara dengan rerata skor 403.5 Rendahnya kreativitas siswa

dalam menyelesaikan masalah matematika perlu disoroti, mengingat

pentingnya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam

pemecahan masalah matematika ialah hal yang paling penting. Kreativitas

tidak hanya dibutuhkan pada matematika saja, karena kreativitas ini

dibutuhkan dalam berbagai segi kehidupan, mulai dari bermasyarakat, dunia

kerja, perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam konteks dunia kerja pada saat

ini, berpikir kreatif merupakan masalah yang sangat utama. Lulusan sekolah

harus mampu berpikir kreatif dalam menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja,

tidak hanya mengandalkan kemampuannya saat itu saja.

3
U Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), 31.
4
Dataoks, “Di Tingkat Global, Kreativitas Indonesia Termasuk Paling Rendah”, diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/08/17/di-tingkat-global-kreativitas-indonesia-
termasuk-paling-rendah, diakses pada 18 Agustus 2022.
5
Programme for International Student Assessment (PISA). 2016. PISA 2015 Result in Focus.
Tersedia di https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa2015results-overview.pdf.
Setiap siswa pastinya memiliki tingkat kreativitas atau kemampuan

dalam berpikir kreatif matematis yang berbeda antara satu dengan lainnya. Hal

ini selaras dengan pendapat Solso dalam Siswono yang menjelaskan bahwa

kebanyakan orang di asumsikan kreatif, namun kreativitas nya berbeda-beda. 6

Prianggono menyatakan bahwa untuk saat ini secara umum siswa berada pada

tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis 0 atau dapat dikatakan tidak

kreatif dalam pemecahan masalah matematika, sehingga hasil belajar siswa

dikatakan belum optimal. 7 Di sini para siswa selalu merasa puas dengan apa

yang dimiliki dan selalu meniru pekerjaan guru tanpa adanya kreativitas dalam

diri mereka. Namun, pada dasarnya pembelajaran matematika memiliki potensi

yang besar dalam pembentukan kreativitas siswa. Masalah matematika yang

memiliki banyak metode penyelesaian mampu melatih kreativitas berpikir

siswa dalam rangka mencari teknik penyelesaian masalah matematika yang

tepat.

Situasi pengajaran saat ini di Indonesia lebih menekankan pada hafalan

dan mencari satu jawaban yang benar terhadap persoalan yang diberikan.

Menurut Hidayat saat ini siswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara

menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh gurunya. Jika pada saat ulangan

siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka siswa akan

merasa kesulitan karena tidak tahu harus mulai dari mana langkah dalam

menyelesaikan soal tersebut. Sehingga siswa lebih memilih untuk menyerah

6
Tatag Yuli Eko Siswono, Loc. Cit.
7
Agus Prianggono, Thesis Magister, “Analisis Proses Berpikir Kreatif Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (Smk) Dalam Pemecahan Dan Pengajuan Masalah Matematika Pada Materi Persamaan
Kuadrat” (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2013).
terhadap kesulitan yang dihadapi. Dalam proses berpikir tentu saja siswa harus

memerlukan kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang

ada.8

Creative Problem Solving (CPS) merupakan pendekatan pembelajaran

yang melakukan pemusatan pada pengajaran serta keterampilan pemecahan

masalah yang diikuti oleh penguatan keterampilan. Ketika dihadapkan dengan

suatu pertanyaan maka siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan

masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. 9

CPS juga merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami.

Bukan suatu usaha yang dipaksakan dan juga merupakan pendekatan yang

dinamis, di sini siswa menjadi terampil sebab siswa mempunyai prosedur

secara internal yang telah disusun dari awal. Dengan CPS, para siswa dapat

memilih dan mengembangkan ide dan pemikirannya. Tentunya dengan

pembelajaran CPS ini siswa akan dituntut untuk lebih kreatif mengingat CPS

sendiri ialah model pembelajaran yang difokuskan melatih keterampilan siswa

dalam memecahkan masalah matematika, siswa dapat mengembangkan

berbagai macam solusi pemecahan masalah yang paling tepat untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Menurut Stoltz (2007) kemampuan bertahan dan mengatasi kesulitan

dalam menghadapi tantangan atau kemampuan merespons kesulitan yang

8
Wahyu Hidayat, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswwa
SMA Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW), Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, (2012).
9
K.L. Pepkin, “Creative Problem Solving in Math”, dalam Diakses di http://www.ah.edu /hti/cu/
2008/v02/04.htm, h.1, diakses pada 19 Agustus 2022.
dihadapi dengan baik ialah adversity, sedangkan hasil pengukuran kemampuan

bertahan dan mengatasi kesulitan terhadap masalah yang dihadapi disebut

dengan Adversity Quotient (AQ). AQ menunjukkan tingkat kemampuan anak

untuk mampu atau tidaknya dalam bertahan menghadapi kesulitan dan

kemampuan dari diri anak dalam mengatasi kesulitan tersebut. AQ juga dapat

meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang tidak dapat

mengatasinya, siapa yang melampaui harapan-harapan atas kinerja dan

potensinya, dan siapa yang menyerah. Soltz menggolongkan AQ seseorang

menjadi tiga tipe, yakni AQ rendah (Quitters), AQ sedang (Campers), dan AQ

tinggi (Climbers).

Di sini penulis mendapati kemampuan berpikir kreatif matematis belum

sepenuhnya membudaya di MTsN 3 Kota Surabaya. Data hasil analisis yang

dilakukan di MTsN 3 Kota Surabaya menunjukkan fakta bahwa kemampuan

berpikir kreatif matematis dari siswa masih belum optimal. Siswa kurang

kreatif dalam menyelesaikan permasalahan matematika dan mereka cenderung

menggunakan cara atau beberapa langkah yang telah diajarkan oleh guru.

Siswa lebih suka bertanya dengan teman kelasnya ketimbang bertanya dengan

guru. Selain itu juga, siswa juga memilih menyerah ketimbang bertahan ketika

mendapatkan persoalan yang sulit. Siswa juga sering mengalami kebuntuan

dalam berpikir dan memiliki kelemahan dalam menghadapi kesulitan. Hal ini

menyebabkan tingkat AQ siswa tergolong rendah.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif

matematis siswa yang telah dijabarkan di MTsN 3 Kota Surabaya masih


dikatakan rendah, maka dari itu penulis rasa ada inovasi model pembelajaran

yang baik agar dapat mengatasi hal tersebut. Model pembelajaran tersebut ialah

model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), yang telah penulis

uraikan di paragraf enam dan tujuh. Model pembelajaran CPS ini diharapkan

dapat melatih siswa dalam berpikir dan bertindak kreatif, dan juga dapat

melatih siswa untuk aktif dalam pembelajaran.

Berdasarkan uraian yang telah penulis tulis di paragraf-paragraf

sebelumnya, maka peneliti memiliki keinginan untuk melakukan penelitian

dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Siswa Ditinjau dari Adversity Quotient (AQ”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang akan penulis

teliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis kelas VII MTsN 3

Kota Surabaya?

2. Bagaimana pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis bila ditinjau

dengan Adversity Quotient (AQ)


C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dirumuskan penulis, maka tujuan dari

adanya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis kelas VII

MTsN 3 Kota Surabaya?

2. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis bila

ditinjau dengan Adversity Quotient (AQ)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti

a. Memperoleh pengalaman dan pelajaran dalam mengamati dan

melakukan analisis terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis

dari siswa apabila dalam pembelajaran matematika menggunakan

model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

b. Menambah pengalaman dalam melaksanakan tugas pembelajaran di

sekolah dan akan memiliki beberapa dasar kemampuan mengajar dan

mengembangkan pembelajaran.

2. Bagi siswa

a. Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis kreatif saat pembelajaran

matematika pada siswa.


b. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk aktif dalam

mengemukakan pendapat.

3. Bagi pendidik

a. Memperoleh pengetahuan yang menunjang pembelajaran siswa

melalui model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

b. Sebagai bahan rujukan atau masukan terkait pendekatan yang dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

4. Bagi sekolah

Pembelajaran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

positif untuk sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas siswa dan guru

di dunia pendidikan.

E. Batasan Penelitian

Pembatasan suatu masalah digunakan agar dapat menghindari

penyimpangan ataupun peluasan pokok masalah, hal ini dilakukan agar

penelitian ini lebih terstruktur dan terarah, dan memudahkan dalam

pembahasan. Hal ini akan berdampak pada tujuan penelitian yang dapat

tercapai dengan baik dan maksimal. Batasan masalah yang penulis ambil

adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap

kemampuan berpikir kreatif matematis kelas VII MTsN 3 Kota Surabaya.


2. Pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap

kemampuan berpikir kreatif matematis bila ditinjau dengan Adversity

Quotient (AQ).

3. Materi yang digunakan dalam mengembangkan instrumen penelitian

adalah sistem persamaan linier dua variabel

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahan penafsiran yang berbeda

terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian, maka ada beberapa

istilah yang perlu didefinisikan. Istilah tersebut sebagaimana di bawah ini:

1. Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah

model pembelajaran yang berfokus dalam pengajaran dan keterampilan

dalam pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan.

Maksud dari penguatan keterampilan ini adalah siswa dapat melakukan

keterampilan dalam memecahkan masalah dengan mengembangkan

berbagai macam solusi pemecahan masalah yang paling tepat untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi.

2. Berpikir kreatif matematis

Kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan

matematis yang dapat ditandai ketika seseorang memiliki gagasan atau ide

baru melalui cara berpikir divergen, yakni dapat menghasilkan sejumlah

kemungkinan jawaban dalam menyelesaikan suatu permasalahan.


3. Adversity Quotient (AQ)

Adversity Quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki

seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan bila

sedang mengalami kesulitan, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam

menghadapi setiap kesulitan


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Model pembelajaran creative problem solving (CPS)

a. Pengertian

Creative problem solving (CPS) ialah sebuah program yang

dihasilkan melalui hasil diskusi untuk bertukar metode dan teknik

dalam rangka mengembangkan kreativitas kursus yang bermanfaat bagi

masyarakat umum, hal ini dilakukan oleh Osborn di dalam suatu

pertemuan pada pertengahan tahun 1950 masehi. 10 Pada saat itu para

pengusaha dan pendidik berkumpul bersama di Annual Creative

Problem-Solving Institute yang disinkronisasi oleh Osborn di Buffalo.

Osborn merupakan orang yang pertama kali mengenalkan

struktur creative problem solving sebagai metode untuk menyelesaikan

masalah dengan kreatif. 11 Creative problem solving ialah sebuah

program yang selanjutnya diadopsi dalam bidang pendidikan sebagai

model pembelajaran aktif dan merangsang siswa untuk menunjukkan

kreativitas nya dalam hal memecahkan sebuah masalah. 12

b. Karakteristik

10
Isok’atun dan Amelia Rosmala, Model-Model Pembelajaran Matematika (Bandung: PT. Bumi
Aksara, 2018), 147-148.
11
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran (Malang: Pustaka Pelajar, 2013),
298.
12
Isok’atun dan Amelia Rosmala, Op. Cit., hal. 176-183.
Karakteristik yang dimiliki creative problem-solving yang

membedakan dengan model pembelajaran yang lain adalah:

1) Proses menyelesaikan suatu masalah dimulai dari proses

pengulangan (recursive), peninjauan kembali (revised), dan

pendefinisian ulang (redefined);

2) Memerlukan proses berpikir divergen dan konvergen;

3) Mengagas suatu pemikiran yang bersifat prediktif serta dapat

merangsang ke tahap berpikir logis selanjutnya.13

Menurut Treffinger, CPS memiliki karakteristik sebagai

berikut:

1) Terbukti sudah digunakan 50 tahun oleh berbagai macam

organisasi di dunia dan didukung oleh penelitian dengan ratusan

studi yang telah dipublikasikan mengenai efektivitas dan

dampaknya;

2) Mudah diterapkan dengan menghubungkan kreativitas alamiah

siswa melalui pendekatan pemecahan masalah sehingga mudah

dipelajari dan dapat diaplikasikan oleh individu ataupun kelompok;

3) Berdaya sehingga dapat diintegrasi di berbagai macam aktivitas

yang terstruktur, menyediakan hal baru dan menambah perangkat

untuk perubahan yang nyata;

13
Creative Education Foundation, Creative Problem Solving Resource Guide (Massachusetts:
Creative Education Foundation, 2014), 8.
4) Praktis digunakan dalam menyelesaikan masalah sehari-hari

ataupun tantangan jangka panjang;

5) Membantu mengenali bakat kreatif dan memfokuskan pikiran

secara konstruktif agar dapat memecahkan masalah yang

kompleks. 14

Salah satu prinsip utama CPS ialah adanya keseimbangan

dinamis antara proses berpikir divergen dan konvergen. 15 Berpikir

divergen juga disebut dengan berpikir kreatif, adalah dengan

memberikan berbagai macam kemungkinan jawaban berdasarkan

informasi yang diberikan dengan menekankan pada keragaman jumlah

kesesuaian sehingga bersifat bebas dan terbuka. Sedangkan pemikiran

konvergen adalah pemberian jawaban atau penarikan kesimpulan yang

logis dan informatif dengan menekankan pencapaian jawaban tunggal

yang tepat dan benar sehingga membutuhkan keterampilan untuk

menguji, mempertimbangkan, dan mengevaluasi untuk memilih satu

atau dua pilihan terbaik dari jumlah pilihan yang tersedia. 16

c. Langkah-langkah

Adapun beberapa langkah dari model pembelajaran creative

problem solving adalah sebagai berikut:

14
Scott G. Issaken, “On the Conceptual Foundation of Creative Problem Solving: A Response to
Magyari-Beck”, Journal Oxford of Creativity and Innovation Management, Vol4, No. 1, (1995),
52-53.
15
Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat (Jakarta: Rinneka Cipta, 2004),
126.
16
Victor Valqui Vidal Rene, Creative and Participative Problem Soling – The Art and The
Science (Albertslund: Albertslund Technical University of Denmark, 2006), 17.
1) Klarifikasi masalah, adalah pemberian penjelasan tentang masalah

yang diajukan kepada siswa, agar siswa dapat memahami model

penyelesaian seperti yang diinginkan

2) Pengungkapan pendapat berbagai macam strategi penyelesaian

masalah, siswa dibebaskan dalam mengungkapkan pendapatnya

3) Evaluasi dan pemilihan pada tahap evaluasi dan pemilihan, setiap

kelompok mendiskusikan beberapa pendapat atau beberapa strategi

mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah

4) Implementasi, pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang

dapat diambil untuk menyelesaikan masalah. Lalu menerapkannya

sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.

Berdasarkan beberapa langkah yang telah dipaparkan di atas

bisa disimpulkan bahwa proses model pembelajaran creative problem

solving hal yang paling dituntut ialah kreativitas dalam memecahkan

masalah yang diberikan oleh guru. Tugas guru pada model

pembelajaran creative problem solving adalah sebagai fasilitator dan

motivator belajar bagi peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan model

pembelajaran creative problem solving, yang menuntut pembelajaran

untuk siswa dengan mengemukakan ide atau pendapatnya, dan juga

berpikir dan mencari solusi agar dapat menyelesaikan sebuah masalah.

d. Kelebihan dan kelemahan


Adapun kelebihan dari model pembelajaran creative problem

solving menurut Saefullah dikutip dari Isrok’atun dan Amelia adalah

sebagai berikut:17

1) Siswa berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran

2) Dapat menanamkan rasa sikap ingin tahu

3) Melatih kemampuan berpikir siswa dalam memecahkan masalah

4) Menumbuhkan kerja sama dan interaksi antar siswa

Sedangkan menurut Aris adalah sebagai berikut:18

1) Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan

2) Berpikir dan bertindak kreatif

3) Memecahkan masalah yang dihadapi

4) Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan

5) Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan

6) Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat

Selain kelebihan, model pembelajaran creative problem

solving memiliki kelemahan, menurut Saefullah dikutip Isrok’atun dan

Amelia kelemahan model pembelajaran creative problem solving

adalah:19

1) Selama pembelajaran berlangsung maka waktu belajar lebih lama

17
Isrok’atun Dan Amelia Rosmala, Op. Cit., hal. 151-152
18
Aris Shoimin, Model Pembelajaran Inovatif Dalam Kurikulum 2013 (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media), 57-58.
19
Isok’atun dan Amelia Rosmala, Op. Cit., hal. 152-153.
2) Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan model

pembelajaran creative problem solving

2. Kemampuan berpikir kreatif matematis

a. Pengertian

Kemampuan berpikir kreatif matematis didefinisikan sebagai

kemampuan menemukan dan menyelesaikan masalah matematika

yang meliputi komponen-komponen: keaslian (orisinalitas),

kelancaran, fleksibilitas, dan elaborasi. Penilaian terhadap

kemampuan kreatif peserta didik dalam matematika penting untuk

dilakukan. Pengajuan masalah yang menuntut peserta didik dalam

memecahkan permasalahan sering digunakan dalam penilaian

kreativitas matematis. Tugas-tugas yang diberikan pada peserta didik

yang bersifat penghadapan peserta didik dalam masalah dan

pemecahannya digunakan untuk mengidentifikasi individu-individu

yang kreatif.

Berpikir terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah

berpikir kreatif matematis. Menurut Pehkonen, sebagaimana dikutip

Noer,20 para ahli mengatakan bahwa berpikir kreatif matematis dalam

matematika merupakan kombinasi dari berpikir logis dan divergen

yang didasarkan pada intuisi namun masih dalam kesadaran. Bahar

dan Maker (2011), “defined mathematical creative thinking as the

Noer, “Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Pembelajaran Matematika Berbasis


20

Masalah Open-Ended”, Jurnal Pendidikan Matematika, 5, (2011), 1-8.


ability to produce novel solutions to problems and to apply

mathematical principles in many different ways to produce

mathematically correct solutions”. Kutipan tersebut dapat diartikan

bahwa, berpikir kreatif matematis dalam matematika sebagai

kemampuan untuk menghasilkan solusi baru dari masalah dan

menerapkan prinsip-prinsip matematika dalam banyak cara yang

berbeda untuk menghasilkan solusi yang benar. Ada beberapa aspek

untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dalam

memecahkan permasalahan matematika.

b. Ciri-ciri

Kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan kebaruan

(novelty) merupakan 3 aspek yang sangat penting dalam kemampuan

berpikir kreatif matematis. Tingkat berpikir kreatif matematis ini

menekankan pada pemikiran divergen dengan urutan tertinggi (aspek

yang paling penting) adalah kebaruan, kemudian fleksibilitas dan

yang terendah adalah kefasihan. Kebaruan ditempatkan pada posisi

tertinggi karena merupakan ciri utama dalam menilai suatu produk

pemikiran kreatif, yaitu harus berbeda dengan sebelumnya dan sesuai

dengan permintaan tugas. Fleksibilitas ditempatkan sebagai posisi

penting berikutnya karena menunjukkan pada produktifitas ide

(banyaknya ideide) yang digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas.

Kefasihan lebih menunjukkan pada kelancaran siswa memproduksi

ide yang berbeda dan sesuai permintaan tugas.


Kriteria aspek kreativitas yang digunakan pada penelitian ini

mengacu pada kriteria aspek kreativitas dari Silver (1997), sebagai

berikut:

Nomor Aspek Indikator


1 Kefasihan Kelancaran siswa dalam
menghasilkan ide dengan
memberikan jawaban secara
benar
2 Fleksibilitas Kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah dengan
beragam ide dan pendekatan
yang berbeda
3 Kebaruan Kemampuan siswa untuk
memberi jawaban yang tidak
lazim atau satu jawaban yang
benar-benar baru dan berbeda

c. Tingkatan

Menurut Siswono, kemampuan berpikir kreatif matematis

seseorang memiliki tingkatan. Tingkatan yang dimaksud sesuai

dengan karya yang dihasilkan. Tingkat kemampuan berpikir kreatif

matematis adalah sebagai berikut:21

Tingkatan Indikator
Sangat kreatif Siswa mampu menunjukkan
kefasihan, fleksibilitas, dan
kebaruan, dan fleksibilitas dalam
pemecahan masalah
Kreatif Siswa mampu menunjukkan
kefasihan dan kebaruan atau
kefasihan dan fleksibilitas dalam
memecahkan masalah
Cukup kreatif Siswa mampu menunjukkan
kebaruan atau fleksibilitas
memecahkan masalah

21
Siswono, “Level of Student’s Creative Thinking in Classroom Mathematics”, Journal
Educational Research and Review, Vol. 6, No. 7, (2011), 548-553.
Kurang kreatif Siswa mampu menunjukkan
kefasihan dalam memecahkan
masalah
Tidak kreatif Siswa tidak mampu
menunjukkan kefasihan,
fleksibilitas, dan kebaruan.

3. Adversity quotient (AQ)

a. Pengertian

Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki

seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan

hidup, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap

kesulitan hidup. Adversity quotient (AQ) pertama kali dikembangkan

oleh Paul G. Stoltz. Seorang konsultan yang sangat terkenal dalam

topik-topik kepemimpinan di dunia kerja dan dunia pendidikan

berbasis skill. Paul G. Stoltz menganggap bahwa IQ dan EQ yang

sudah lebih terkenal sebelum AQ itu tidaklah cukup dalam

meramalkan kesuksesan seseorang. AQ dianggap mampu untuk

mengukur tingkat kesuksesan seseorang, selain daripada IQ, EQ

maupun SQ yang sudah lebih terkenal sebelumnya.

Di dalam bukunya, Stoltz mengungkapkan bahwa

berdasakan hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10

tahun, AQ dianggap menjadi terobosan penting dalam menunjang

kesuksesan. Suksesnya seseorang dapat ditentukan dengan Adversity


Quotient (AQ), yang kemudian dijabarkan oleh Stoltz sebagai

berikut.22

1) AQ memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan

menghadapi kesulitan dan kemampuan mengatasi kesulitan

tersebut

2) AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan

siapa yang akan hancur

3) AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan atas kinerja

dan potensi diri seseorang dan siapa yang akan gagal

4) AQ meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan

bertahan

b. Bentuk-bentuk

Menurut Stoltz (2007), AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama,

AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk

memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. AQ

berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting, yang menawarkan

suatu gabungan yang praktis dan baru, yang merumuskan kembali apa

yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu

ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan. Selama ini pola-

pola bawah sadar ini sebetulnya sudah dimiliki. Saat ini untuk pertama

kalinya polapola diukur, dipahami, dan diubah. Ketiga, AQ adalah

22
P. G. Stoltz, Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Translated by
Hermaya, T (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007).
serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki

respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat

memperbaiki efektivitas pribadi dan professional seseorang secara

keseluruhan. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz

berpendapat bahwa modifikasi dari ketiga unsur tersebut yaitu,

pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan

sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki

komponen dasar dalam meraih sukses.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Adversity

Quotient (AQ) adalah kecerdasan individu dalam berpikir

mengontrol, mengelola, dan mengambil tindakan dalam menghadapi

kesulitan, hambatan atau tantangan hidup, serta mengubah kesulitan

maupun hambatan tersebut menjadi peluang untuk meraih

kesuksesan.

c. Tingkatan

Menurut Cano et. al., ada tiga kategori orang berdasarkan

bagaimana mereka menanggapi tantangan: Quitters (orang yang

langsung menyerah karena beranggapan terlalu sulit), Campers (orang

yang telah mencoba tetapi memilih berhenti di tempat yang nyaman

untuk bersembunyi) dan Climbers (orang yang tidak pernah menyerah


untuk mendapatkan apa yang diinginkan, percaya kekuatan perjalanan

untuk mencapai tujuan dan menghadapi tantangan).23

Sedangkan Stoltz (2007) mengkatagorikan AQ menjadi 3

antara lain:

1) AQ rendah (Quitters), yakni orang yang kurang memiliki

kemampuan untuk menerima tantangan

2) AQ sedang (Campers), yakni orang yang sudah memiliki

kemampuan untuk menerima tantangan namun kemudian

berhenti karena merasa sudah tak mampu lagi

3) AQ tinggi (Climbers), yakni orang yang selalu maju berusaha

menghadapi hambatan dan tantangan yang membentang.

Sedangkan yang dimaksud AQ dalam penelitian ini adalah

kecerdasan siswa dalam mengatasi kesulitan belajarnya. Siswa

digolongkan menjadi 3 tipe, sebagai berikut:

1) Tipe rendah (Quitters)

Siswa yang memiliki AQ rendah akan menyerah dari

awal dalam menghadapi kesulitan belajar. Ketika menghadapi

kesulitan belajar, siswa AQ tidak melakukan usaha apapun dan

cenderung banyak mengeluh. Menurut Sudarman (2012: 58)

siswa dengan tipe quitters adalah mereka yang beranggapan

bahwa matematika itu rumit, membingungkan, dan sulit.

23
J. M. Cando et. Al., “The Relationship Between Adversity Quotient (AQ) and Emotional
Quotient (EQ) and Teaching Performance of College PE Faculty Members of CIT University”,
International Journal of Science: Basic and Applied Research, 18, (2014), 354-357.
Motivasi mereka sangat sedikit, sehingga mereka mudah

menyerah dan bahkan berhenti tanpa dibarengi usaha sedikitpun

di saat menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal

matematika. Menurut Stoltz (2007), quitters menjalani kehidupan

yang tidak terlalu menyenangkan dan meninggalkan impian-

impian untuk menjalani kehidupan yang dianggap lebih mudah.

Jika sudah parah, quitters akan sering sinis, murung dan mati

perasaannya. quitters mengerjakan tugasnya hanya untuk

menggugurkan kewajibannya. Siswa dengan kategori seperti itu

cenderung tidak kreatif, tak bersemangat dan memiliki ambisi

yang sedikit untuk maju. Mereka memiliki banyak teman yang

mempunyai tipe yang sama seperti mereka, tetapi mereka jarang

yang memiliki sahabat sejati. quitters cenderung menolak

perubahan dan menghindari setiap peluang keberhasilannya,

bahkan secara aktif menjauhinya. Mereka sering menggunakan

bahasa keputusasaan seperti “ tidak dapat”, “mustahil”, siapa

yang peduli”, “ kami selalu mengerjakan dengan cara seperti ini”,

dan sebagainya.

2) AQ sedang (Campers)

Siswa yang memiliki AQ sedang (campers) awalnya

bersemangat untuk menghadapi kesulitan belajar yang dialami,

namun di tengah perjalanan siswa cukup puas dengan

jawabannya dan mengakhiri solusinya. Pada proses belajar, siswa


tersebut merasa sudah cukup mempelajari materi yang ada dalam

buku pelajaran tanpa berusaha lagi untuk lebih mendalaminya

dengan mencari referensi lain untuk menambah ilmunya.

Menurut Sudarman (2012: 58), siswa Campers berusaha

sekadarnya saja dan tidak berusaha dengan semaksimal mungkin

memanfaatkan potensi-potensi yang ia miliki. Mereka

beranggapan bahwa tidak perlu mendapatkan peringkat yang

penting naik kelas, tidak perlu nilai yang tinggi yang penting

lulus. Menurut Stoltz (2007), Campers merasa cukup senang

dengan apa yang sudah ada sekarang dan mengabaikan apa yang

masih mungkin terjadi. Mereka melepaskan kesempatan untuk

maju, yang pada kenyataannya dapat dicapai jika diarahkan

dengan semestinya. Campers memiliki usaha untuk maju, lebih

banyak semangat dibanding dengan Quitters, dan masih memiliki

sejumlah inisiatif. Karena mereka hanya ingin di zona aman maka

mereka mengerjakan tugas yang diberikan hanya ingin agar

mereka tidak mendapatkan kesulitan selanjutnya seperti dimarahi

guru, diberikan nilai yang jelek, ataupun dihukum. Mereka akan

berusaha dengan keras untuk tetap berada di zona aman. Mereka

bisa kreatif namun masih dalam zona yang aman. Campers

mempunyai kemampuan terbatas dalam perubahan, terutama

perubahan yang besar. Mereka menerima perubahan dan bahkan

mengusulkan beberapa ide yang bagus namun hanya sebatas


selama pada zona aman mereka. Mereka tidak mau mengambil

resiko dan keluar dari zona aman. Campers sering menggunakan

bahasa-bahasa yang membatasi diri mereka seperti “ini cukup

bagus”, “apa syarat minimumnya untuk melakukan pekerjaan

ini?”, “kita hanya perlu sampai disini saja”, dan sebagainya.

Siswa seperti itu tidak mencapai prestasi dan tidak memberikan

kontribusi yang paling tinggi. Walaupun mereka mungkin

berhasil mendapatkan penghargaan dan prestasi di kelas atau di

sekolahnya namun mereka tidak memanfaatkan potensi mereka

sepenuhnya.

3) AQ tinggi (Climbers)

Siswa dengan AQ tinggi (climbers) selalu berusaha

dengan giat untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

Kesulitan yang ada dijadikan semangat untuk menjadi lebih bisa

dibandingkan yang lain. Mereka pantang menyerah dalam

menghadapi kesulitan, selalu mencari ilmu baru untuk menambah

wawasannya, mampu melampaui zona aman dan selalu ingin

mengabdikan diri dalam perjuangan untuk berprestasi.

Sudarman24 berpendapat bahwa siswa dengan tipe Climbers

adalah mereka menyelesaikan tugas yang diberikan guru dengan

baik dan tepat waktu. Jika mereka menemukan masalah yang sulit

Sudarman, “Adversity Quotient: Kajian Kemungkinan Pengintegrasiannya dalam Pembelajaran


24

Matematika”, Aksioma, 1, (2012), 55-62.


untuk dikerjakan, maka mereka berusaha dengan maksimal

sampai mereka dapat mengerjakannya. Mereka menggunakan

berbagai cara dan metode . Walaupun harus mencari referensi lain

selain buku yang ia punya atau dengan bertanya kepada orang

yang lebih pandai atau ahli. Biasanya mereka merupakan siswa

yang mempuyai prestasi cukup tinggi dan mampu mewakili

sekolah untuk merebut gelar kejuaraan dalam olimpiade dan

sebagainya.

Soltz25 menyatakan bahwa merasakan kegembiraan

yang sesungguhnya dan yakin bahwa segalanya pasti akan bisa

terlaksana. Mereka berani untuk menempuh kesulitan belajar.

Siswa seperti itu menyambut suatu tantangan dengan baik dan

mempunyai pemahaman bahwa hal yang mendesak harus segera

dibereskan. Mereka memiliki semangat tinggi, penuh inspirasi,

dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dalam belajar.

Tantangan yang ditawarkan oleh perubahan membuat mereka

berkembang pesat. Mereka menyambut baik setiap kesempatan

untuk maju. Climbers selalu menggunakan bahasa-bahasa yang

penuh dengan kemungkinan dan peluang. Mereka berbicara

tentang apa yang bisa dikerjakan dan bagaimana

mengerjakannya. Mereka biasanya berkata “ apa yang bisa kita

lakukan untuk mewujudkannya?”, “selalu ada jalan”,

25
Ibid.
“masalahnya bukan andaikan, melainkan bagaimana”, “hanya

karena ini belum pernah dilakukan bukan berarti tidak bisa

dikerjakan”, “ayo, kita kerjakan!”, dan sebagainya. Climbers

mewujudkan hampir semua potensi yang mereka miliki, yang

terus berkembang. Mereka bersedia mengambil resiko,

menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut, mempertahankan

visi, memimpin, dan bekerja keras sampai pekerjaannya selesai.

Siswa pada tipe tersebut percaya bahwa kesulitan merupakan

bagian dari belajar. Jika menghindari kesulitan berarti mereka

menghindari untuk belajar.

d. Faktor pembentuk AQ

Paul G. Stolz dalam bukunya menggambarkan potensi dan

daya tahan individu dalam sebuah pohon yang disebut kesuksesan.

Aspek-aspek yang ada didalam pohon tersebut dapat mempengaruhi

AQ seseorang, diantaranya: 26

1) Faktor internal

a) Genetika

Warisan genetis sangat mungkin mempengaruhi

untuk menentukan nasib seseorang karena saat diewasa

ditemukan beberapa kemiripan dalam perilaku.

b) Keyakinan

26
P. G. Stoltz, Op. Cit., 78-80
Keyakinan sangat mempengaruhi seseorang dalam

menghadapi masalah serta membantu seseorang dalam

mencapai tujuan hidup.

c) Bakat

Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam

menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan

baginya itu sangat dipengaruhi oleh bakat, karena bakat

adalah gabungan dari pengetahuan, kompetensi,

pengalaman, dan keterampilan

d) Hasrat atau kemauan

Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup

diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau

disebut hasrat yang menggambarkan motivasi, antusias,

gairah, dorongan, ambisi, dan semangat.

e) Karakter

Seseorang yang berkarakter baik, semangat,

Tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan untuk

mencapai sukses, karena karakter merupakan kunci dalam

meraih kesuksesan dan hidup berdampingan dengan damai

f) Kinerja

Salah satu keberhasilan seseorang dalam

menghadapi masalah adalah dilihat dari kinerjanya dalam

melakukan sebuah proses meraih tujuan hidup.


g) Kecerdasan

Kecerdasan adalah yang paling utama dan dominan

dalam mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi

sehingga dapat memiliki multiple intelligence

h) Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi

seseorang dalam menggapai kesuksesan karena jika dalam

keadaan sakit secara fisik ataupun psikis akan menghalangi

seseorang dalam menyelesaikan masalah

2) Faktor eksternal

a) Pendidikan

Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan

kebiasaan, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan

kinerja yang dihasilkan sehingga secara tidak langsung

pendidikan juga mempengaruhi terbentuknya AQ.

b) Lingkungan

Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan

kebiasaan, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan

kinerja yang dihasilkan sehingga secara tidak langsung

pendidikan juga mempengaruhi terbentuknya AQ.


B. Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian dahulu yang relevan dengan penelitian ini

ialah sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Dzul Aqilah Utomo dari UIN Sumatra Utara pada tahun

2019 dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran CPS (Creative

Problem Solving) Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Klas IV DI MTs

Istiqomah Desa Sampali Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang”.

Perbedaan dari penelitian ini dan penelitian terdahulu yakni terletak pada

penelitian terdahulu penerapan CPS hanya pada hasil belajar siswa, namun

penelitian ini pada keterampilan berpikir kritis matematis dan juga ditinjau

dari Adversity Quetient. Persamaan penelitian ini dan penelitian terdahulu

yakni sama sama menggunakan model pembelajaran Creative Problem

Solving.

2. Penelitian oleh Refika Nurul Afifa dari UIN Syarif Hidayatullah pada

tahun 2017 dengan Judul “Pengaruh Model Pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Pada Konsep Jamur”. Perbedaan dari penelitian ini dan penelitian

terdahulu yakni terletak pada penelitian terdahulu hanya pada

keterampilan berpikir kritis sedangkan penelitian ini pada keterampilan

berpikir kritis matematis dan juga ditinjau dari Adversity Quetient.

Persamaan penelitian ini dan penelitian terdahulu yakni sama sama

menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving.


3. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayah Jainuddin dari Universitas

Muhammadiyah Makasar pada tahun 2019 dengan judul “Pengaruh Model

Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Kterempailan Berpikir

Kritis dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Inpres

Sogaya”. Perbedaan dari penelitian ini dan penelitian terdahulu yakni

terletak pada penelitian terdahulu hanya pada keterampilan berpikir kritis

dan hasil belajar sedangkan penelitian ini pada keterampilan berpikir kritis

matematis dan juga ditinjau dari Adversity Quetient. Persamaan penelitian

ini dan penelitian terdahulu yakni sama sama menggunakan model

pembelajaran Creative Problem Solving.

C. Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui adanya berbedaan yang

signifikan antara kelompok siswa yang diberi perlakukan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran CPS dengan kelompok siswa yang tidak

menggunakan model pembelajaran CPS. Statistik parametris yang digunakan

untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata dua sampel bila datanya

berbentuk interval atau rasio adalah menggunakan uji T. 27

Uji hipotses dalam penelitian ini menggunakan uji two-way anova

berbasis program SPSS 16.00 for windows. Kriteria pengambilan keputusan uji

two-way anova dengan taraf sebagai berikut:

27
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2008), 119.
1. Jika nilai sig. < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi terdapat pengaruh yang

signifikan secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel

terikat.

2. Jika nilai sig. ≥ α (0,05) maka Ho diterima maka tidak terdapat pengaruh

yang signifikan secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap

variabel terikat.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian eksperimen

semu (quasi exsperimental). Penelitian eksperimen semu adalah penelitian

yang bertujuan untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara

dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau

mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu. Penelitian

eksperimen semu bertujuan untuk mengetahui pengaruh percobaan atau

perlakuan terhadap karakteristik subyek yang diinginkan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini diambil 2 kelas sebagai sampel yang terdiri 1 kelas

eksperimen dan 1 kelas kontrol. Di sini peneliti akan memberikan perlakuan

berbeda pada kelas eksperimen terhadap kelas kontrol. Kelas eksperimen

merupakan siswa yang menggunakan pembelajaran model CPS (Creative

Problem Solving) sedangkan kelas kontrol merupakan siswa yang tidak

menggunakan pembelajaran model CPS (Creative Problem Solving). Dengan

penelitian ini peneliti ingin melihat seberapa tinggi pengaruh model

pembelajaran CPS (Creative Problem Solving) terhadap kreativitas dan hasil

belajar matematika siswa pada siswa yang diberi perlakuan dengan siswa yang

tidak diberi perlakuan.


B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di MTsN 3 Kota Surabaya, yang beralamat di

Jl. Medokan Asri, Rungkut Asri, Kota Surabaya, Jawa Timur. Peneliti

melakukan penelitian sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh peneliti.

Jadwal penelitian yakni pada bulan September tahun pelajaran 2022/2023.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan dari suatu objek penelitian. Populasi

dari penelitian ini adalah peserta didik MTsN 3 Kota Surabaya. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana

dalam teknik ini pengambilan sampel dilakukan berdasarkan suatu

pertimbangan tertentu seperti sifat- sifat populasi yang diketahui sebelumnya.

Sehingga dalam penelitian ini peneliti langsung menentukan dua sampel yang

dinilai memiliki karakteristik dan kemampuan yang hampir sama. Kelas yang

dijadikan sampel penelitian adalah Kelas VII A dan VII D. Karena penelitian

ini menggunakan desain penelitian Nonequivalent control group design, maka

Kelas pertama, Kelas VII A menjadi kelompok eksperimen dan kelas yang

kedua, kelas VII D menjadi kelompok kontrol.

D. Variabel Penelitian

Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain

maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi:


1. Variabel bebas (variable independent). Variabel bebas yaitu variabel yang

menjadi sebab atau yang mempengaruhi timbulnya atau berubahnya

dependent variabel (variabel terikat). Variabel bebas dalam penelitian ini

pengaruh penerapan model pembelajaran creative problem solving (CPS)

dinamakan variabel (X).

2. Variabel terikat (variable dependen). Variabel terikat yaitu variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya independent

variabel (variabel bebas). Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian

ini adalah kemampuan berpikir kreatif matematis dinamakan variabel (Y)

3. Variabel moderator. Variabel Moderator adalah hubungan antara variabel

Independen (bebas) dengan variabel dependen (terkait), pada penelitian ini

yang menjadi variable moderator ialah adversity quotient.

E. Instumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini digunakan untuk mengukur dan

mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik lagi

sehingga lebih mudah diolah. Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalam instrumen tes (tes kemampuan berpikir kreatif ). Instrumen yang

baik harus memenuhi dua syarat penting yaitu valid dan reliabel.

Nomor Instrumen Tujuan Sumber Waktu


Instrumen data
1 Dokumentasi Mendeskripsikan Peserta Selama
aktivitas peserta didik pembelajaran
didik saat berlangsung
kegiatan
pembelajaran
berlangsung
2 Angket Mendeskripsikan Peserta Pada awal
dan menganalisis didik pembelajaran
self regulation
peserta didik dan
respon
penerapan model
pembelajaran
Creative
Problem Solving
peserta didik
3 Tes Mendeskripsikan Peserta Pada akhir
dan menganalisis didik pembelajaran
kemampuan
peserta didik
sesudah
penerapan
Creative
Problem Solving

F. Prosedur Penelitian

Agar penelitian ini dapat terstruktur dengan jelas dan rapi, peneliti

merancang penelitian dengan menempuh beberapa tahapan, sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan pada penelitian ini meliputi:

a. Peneliti meminta izin kepada kepala sekolah MTsN 3 Kota Surabaya

untuk melakukan tes awal subjek penelitian, yakni peserta didik pada

kelas VII A dan VII D.

b. Peneliti Menyusun instrument yang meliputi kisi-kisi soal, soal tes

dan alternatif penyelesaiannya

c. Peneliti melakukan validasi instrument

2. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan pada penelitian ini meliputi:


a. Peneliti memberikan apersepsi kepada peserta didik yang

menjadi sumbjek penelitian, yakni siswa kelas VII A dan VII

b. Peneliti memberikan soal tes yang sudah melalui uji validitas

pada tahap persiapan kepada 10 peserta didik yang menjadi

subjek penelitian

c. Peneliti melakukan wawancara kepada subjek penelitian

d. Tahap analisis data dengan proses pengorganisasian,

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sedemikian sehingga dapat

ditemukan sebuah tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja

berdasarkan data yang akhirnya diangkat menjadi sebuah

teori.28

G. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang benar

dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun tahap analisis data yang dapat

dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas masalah penelitian ini antara lain

1. Analisis statistic deskriptif

Analisis yang dimaksud disini adalah menganalisis data yang

sudah terkumpul untuk ditarik sebuah kesimpulan yang nantinya disebut

28
Asep Saepul Hamdani, “Pengembangan Karakteristik Respon Mahasiswa Pada perjenjangan
Taksonomi SOLO Terhadap MAsalah MAtematika yang Disusun Berdasarkan Taksonomi Bloom
(Surabaya: UNESA, 2012).
sebagai statistik deskriptif. Teknik analisis ini digunakan untuk

menjabarkan keadaan di lapangan tentang penerapan model pembelajaran

creative problem solving, kemampuan berpikir kreatif matematis ditinjau

dari adversity quotient peserta didik kelas VII di MTsN 3 Kota Surabaya.

2. Uji validitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

keabsahan suatu instrumen. Instrumen yang valid atau sah memiliki nilai

validitas yang tinggi, sedangkan instrumen yang kurang valid memiliki

validitas yang rendah. Tinggi rendahnya tingkat validitas suatu instrumen

menujukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari

gambaran tentang validitas yang dimaksud. Berikut merupakan kriteria

validitas butir soal. 29

Nilai Validitas Butir Soal Kriteria


0,800-1,00 Sangat valid
0,600-0,799 Valid
0,400-0,599 Cukup valid
0,200-0,399 Kurang valid
0,000-0,199 Tidak valid

Uji validitas pada penelitian ini menggunakan teknik korelasi

Product Moment menggunakan aplikasi SPSS 16 from windows. Adapun

cara yang dapat digunakan untuk menentukan valid atau tidaknya sebuah

instrumen yaitu:

a. Jika rhitung > rtabel dengan taraf signifikansi 0,05, maka instrumen

tersebut dapat dinyatakan valid.

29
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar (Surakarta: Pustaka Belajar, 2009), 70.
b. Jika rhitung < rtabel dengan taraf signifikansi 0,05, maka instrumen

tersebut dapat dinyatakan tidak valid.

3. Uji reliabilitas

Reliabilitas ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu

instrumen dapat digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen

itu sudah baik. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur

gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten,

maka alat pengukur tersebut reliabel. Adapaun kriteria reliabilitas adalah

sebagai berikut.

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00 – 0,20 Sangat rendah
0,21-0,40 Rendah
0,41-0,60 Cukup
0,61-0,80 Tinggi
0,81-1,00 Sangat tinggi

Adapun cara yang dapat digunakan untuk menentukan reliabel

atau tidaknya sebuah instrument adalah:

a. Jika nilai reliabilitas suatu instrument > 0,6 atau 60%, maka

instrument tersebut dinyatakan reliabel

b. Jika nilai reliabilitas suatu instrument < 0,6 atau 60%, maka

instrument tersebut dinyatakan tidak reliabel

4. Uji asumsi klasik

Ada beberapa uji asumsi klasik yang dilakukan di dalam

penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Uji normalitas
Uji normalitas ini digunakan untuk mengetahui apakah data

yang dihasilkan berdistribusi normal atau tidak. Penelitian ini

menggunakan uji Saphiro- Wilk pada uji normalitasnya. Signifikan

atau tidaknya hasil uji normalitas dapat dilakukan dengan mencermati

bilangan yang terdapat dalam kolom. Sedangkan cara yang dapat

digunakan untuk menetapkan kenormalan yaitu:

1) Menetapkan taraf signifikan uji, misalnya α = 0.05.

2) Membandingkan p dengan taraf signifikansi yang sudah

didapatkan.

3) Apabila signifikansi yang diperoleh > α , maka sampel yang

didapatkan dari populasi tersebut dinyatakan berdistribusi

normal.

4) Apabila signifikansi yang diperoleh < α , maka sampel tidak

didapatkan dari populasi yang berdisribusi normal.

b. Uji linearitas

Uji linearitas dimaksudkan untuk mengetahui bahwa rata-

rata yang diperoleh dari kelompok data sampel terletak dalam garis-

garis lurus. Kriteria pengujiannya adalah kelinieran oleh data jika

Fhitung < Ftabel, atau angka signifikansi yang lebih besar dari 0,05

menunjukkan kelinieran tidak terpenuhi.

c. Uji multikolineritas

Uji multikolineritas digunakan untuk mengetahui ada atau

tidaknya korelasi antar variabel dalam suatu penelitian. Untuk


menentukan ada tidaknya multikolineritas dapat diketahui dengan

beberapa cara yakni:

1) Tingginya nilai R2 yang berasal dari suatu estimasi model regresi

empiris;

2) Analisis terhadap korelasi diantara variabel bebas;

3) Menggunakan nilai Variance Inflation Factor; dan

4) Menggunakan nilai eigen value satu atau lebih variabel bebas

yang mendekati nol.

d. Uji homogenitas

Uji homogenitas adalah proses pengujian yang dilakukan

untuk mengetahui tergolong homogen atau tidaknya data yang

diambil. Data yang terkumpul dalam penelitian ini terdiri dari data

kuantitatif yang diperoleh dari hasil pre test dan post test yang

berfungsi sebagai alat untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya

perbedaan kemampuan berpikir kritis dari pemberian perlakuan yang

berbeda. Data yang diuji dalam penelitian ini adalah gain score yang

merupakan selisih antara nilai pre test dan post test. Gain score

dianggap sebagai ukuran perubahan kemampuan berpikir kritis siswa

yang telah mendapatkan perlakuan. Analisis data yang digunakan

adalah uji prasyarat yang meliputi uji normalitas, linearitas, uji

multikolinearitas dan uji homogenitas serta uji hpotesis yaitu uji two

way Anova.
Nilai yang diperoleh dapat dihitung dengan menggunakan

rumus

Keterangan:

Np = Nilai persen yang dicari atau diharapkan

R = Skor mentah yang diperoleh peserta didik

SM = Skor maksimum ideal dari tes kemampuan yang

bersangkutan

100 = Bilangan tetap

Untuk menentukan kategori berpikir kreatif baik, cukup,

kurang ataupun tidak, maka skor diubah dalam bentuk presentase

dengan rumus di bawah ini:

Nilai Kategori

85-100 Sangat baik

75-84 Baik

56-74 Cukup

40-55 Kurang

0-39 Tidak baik


DAFTAR PUSTAKA

Cando, J. M. et. Al. “The Relationship Between Adversity Quotient (AQ) and
Emotional Quotient (EQ) and Teaching Performance of College PE Faculty
Members of CIT University”. International Journal of Science: Basic and
Applied Research, 18, (2014).
Creative Education Foundation. Creative Problem Solving Resource Guide.
Massachusetts: Creative Education Foundation, 2014.
Dataoks. “Di Tingkat Global, Kreativitas Indonesia Termasuk Paling Rendah”.
diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/08/17/di-
tingkat-global-kreativitas-indonesia-termasuk-paling-rendah. diakses pada
18 Agustus 2022.
Hamdani, Asep Saepul. “Pengembangan Karakteristik Respon Mahasiswa Pada
perjenjangan Taksonomi SOLO Terhadap MAsalah MAtematika yang
Disusun Berdasarkan Taksonomi Bloom. Surabaya: UNESA, 2012.
Hidayat, Wahyu. “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif
Matematik Siswwa SMA Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-
Write (TTW). Seminar Nasional Penelitian. Pendidikan dan Penerapan
MIPA, (2012).
Huda, Miftahul. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Malang: Pustaka
Pelajar, 2013.
Isok’atun dan Amelia Rosmala. Model-Model Pembelajaran Matematika.
Bandung: PT. Bumi Aksara, 2018.
Issaken, Scott G. “On the Conceptual Foundation of Creative Problem Solving: A
Response to Magyari-Beck”. Journal Oxford of Creativity and Innovation
Management, Vol4, No. 1, (1995).
Munandar, Utami. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rinneka
Cipta, 2004.
Noer. “Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Pembelajaran Matematika
Berbasis Masalah Open-Ended”. Jurnal Pendidikan Matematika, 5, (2011).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Pepkin, K.L. “Creative Problem Solving in Math”. dalam Diakses di
http://www.ah.edu /hti/cu/ 2008/v02/04.htm. diakses pada 19 Agustus 2022.
Prianggono, Agus. Thesis Magister. “Analisis Proses Berpikir Kreatif Siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (Smk) Dalam Pemecahan Dan Pengajuan
Masalah Matematika Pada Materi Persamaan Kuadrat”. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 2013.
Programme for International Student Assessment (PISA). 2016. PISA 2015 Result
in Focus. Tersedia di
https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa2015results-overview.pdf.
Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta: Pustaka Belajar, 2009.
Rene, Victor Valqui Vidal. Creative and Participative Problem Soling – The Art
and The Science. Albertslund: Albertslund Technical University of
Denmark, 2006.
Shoimin, Aris. Model Pembelajaran Inovatif Dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Siswono, Tatag Yuli Eko. “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
Melalui Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika”. diakses
dari paper07_kreatifpsolving_posing-with-cover-page-v2.pdf
(d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net). diakses pada 18 Agustus 2022.
Siswono. “Level of Student’s Creative Thinking in Classroom Mathematics”.
Journal Educational Research and Review, Vol. 6, No. 7, (2011).
Stoltz, P. G. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Translated
by Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007.
Sudarman. “Adversity Quotient: Kajian Kemungkinan Pengintegrasiannya dalam
Pembelajaran Matematika”. Aksioma, 1, (2012).
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai