Anda di halaman 1dari 5

Neokortikal Warfare dan Perubahan Medan Operasi Perang Gerilya

Bukan sebagai penulis, ini sebuah catatan biasa. Semoga dapat diterima untuk Buku IISC. Berisi
tentang Neocortical Warfare. Bagaimana perang senyap ini sedang melakukan operasinya di
lintasan media digital. Apa tujuan yang sedang dicapai oleh kepentingan-kepentingan besar
dalam memaksimalkan peluangnya dalam penguasaan sumberdaya demografi dan sumber
kekayaan alam bangsa Indonesia? Kepentingan di level negara, korporasi maupun ahli-ahli
strategi politik. Semua berkolaborasi untuk memenangkan perang senyap atau penulis
menyebutnya sebagai operasi senyap gerilya masa kini dengan memanfaatkan teknologi.
Keadaan ini terjadi lebih lama dari apa yang sudah kita kira. Sebelum ramai ahli telematika
seperti Roy Suryo, yang muncul dalam membeda video artis.

Setelah melakukan googling di search enggine, ada beberapa tulisan yang ditemukan. Salah
satunya adalah tulisan mantan Gubernur Lemhannas Bpk. Sayidiman Suryohadiprojo. Secara
ringkas menuliskan tentang sejarah mulanya perang neocortex dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menjadi sumberdaya baru dalam strategi perang kedepan. Biaya
dan dampak kerusakan yang lebih minim dan psikologi musuh menjadi dasar pertimbangan
utama. Perang neokortex memiliki keunggulan yang sulit terdeteksi secara langsung
dibandingkan perang konvensional dengan menggunakan kekuatan angkatan bersenjata.

Theorist Richard Szafranski, in his work “Neocortical Warfare? The Acme of Skill,” asks this very question.
He posits that militaries emphasize the brain’s left hemisphere, “where the enemy is a system, an assemblage
of production nodes controlled by an organic brain. The campaign applies physical force to these nodes, as
targets, using a presumed calculus that assesses effects on the whole system.”28 He then suggests employing
the brain’s right hemisphere to enable viewing “conflict as warfare against minds and envisioning weapons as
any means used to change the enemy’s will.” The merging of these two hemispheric approaches produces a
new mindset for fighting wars.
“Neocortical Warfare is warfare that strives to control or shape the behavior of enemy organisms, but
without destroying the organisms. It does this by influencing, even to the point of regulating, the
consciousness, perceptions and will of the adversary’s leadership: the enemy’s neocortical system (italics in
original).

Ahli teori Richard Szafranski, dalam karyanya “Neocortical Warfare? The Acme of Skill,”
menanyakan pertanyaan ini. Dia berpendapat bahwa militer menekankan belahan otak kiri, “di
mana musuh adalah sebuah sistem, kumpulan simpul produksi yang dikendalikan oleh otak
organik. Kampanye tersebut menerapkan kekuatan fisik ke simpul-simpul ini, sebagai target,
menggunakan perkiraan kalkulus yang menilai efek pada keseluruhan sistem.”28 Dia kemudian
menyarankan untuk menggunakan belahan otak kanan untuk memungkinkan melihat “konflik
sebagai perang melawan pikiran dan membayangkan senjata sebagai cara apa pun yang
digunakan untuk mengubah kehendak musuh.” Penggabungan dua pendekatan hemispheric ini
menghasilkan pola pikir baru untuk berperang.
“Neocortical Warfare adalah peperangan yang berusaha untuk mengendalikan atau membentuk
perilaku organisme musuh, tetapi tanpa menghancurkan organisme tersebut. Ia melakukan ini
dengan mempengaruhi, bahkan sampai pada titik mengatur, kesadaran, persepsi, dan kehendak
kepemimpinan musuh: sistem neokorteks musuh (cetak miring dalam aslinya).
Strategi ini menjadi lebih relevan dengan munculnya pola perlawanan dari basis negara atau
militer menjadi basis individu atau kelompok. Hal ini didukung dengan hadirnya dampak konflik
kawasan timur tengah yang bergeser dan masuk ke kawasan Asia terutama Indonesia.
Pergeseran ini disebabkan oleh kesamaan ideologi. Munculnya kelompok-kelompok
fundamentalis sebagai bentuk perlawanan baru terhadap paham –paham barat.

Mengawali tulisan ini, kita membaca dan mendengar tentang berita viral yang menghiasi jagad
dunia digital. Berita viral hadir dalam ruang baca kita seperti Kopi mirna, Nasi kuning Yusuf
Hamka, Sumbangan 2 Triliun Akidi Tio, Video mesum Nobu dan Gizel, Pernyataan Joe Biden akan
tenggelamnya Jakarta. Citarum sungai terkotor di dunia. Banyak Ular berbisa di Depok.
Judul berita viral diatas, pembaca dapat menarik kesimpulannya sendiri. Apakah berita tersebut
merupakan bagian dari strategi perang neokorteks atau memang merupakan sebuah berita
lazimnya sebuah media. Bandingkan saja berita viral kopi mirna dan bom sarinah. Kedua
kejadian ini sama-sama di awal tahun 2016. Pilihan berita headline Kopi Sianida selama
berminggu-minggu dan bahkan bulan, apakah Kopi Mirna ini merupakan pengalihan informasi
untuk konsumsi publik? Dua peristiwa ini terjadi dalam bulan yang sama, selisih sekitar satu
minggu.
Berita Sumbangan 2 Trilion Akidi Tio, Nasi Kuning Yusuf Hamka serta Veronika Koman dalam
penjuangan HAM Papua. Ketiga berita ini merupakan berita viral yang memiliki model yang
sama dalam mempengaruhi persepsi publik. Apakah ini juga termasuk nerkortikal warfare ?
Kita juga pernah membaca berita persaingan pemilihan presiden di amerika serikat. Tim
Pemenangan Presiden pihak Donald Trump dicurigai mempengaruhi pemilihnya melalui berita-
merita yang mereka baca. Berdasarkan beberapa contoh diatas, strategi neocortical warfare
dimanfaatkan untuk kebutuhan misi jangka pendek sampai kebutuhan jangka menengah.
Kampanye terselubung untuk mempengaruhi pilihan pembaca, kampanye ideologis serta
perebutan pengaruh persepsi publik. Misalnya berita viral kopi mirna. Kopi mirna menjadi
pilihan Pemred Media mainstraine sebagai headline. Apakah ini menjadi salah satu perang
neocortex untuk jangka pendek ? Membuat berita untuk menutup isu tertentu sebagai sebuah
pengalihan informasi ataupersepsi publik. Model ketiga ini, seperti yang dilakukan oleh bangsa
sendiri yaitu perang terhadap komunis. Hal ini merupakan fakta sejarah yang telah melahirkan
dan membesarkan ibu pertiwi saat ini.
Kepentingan-kepentingan yang menggunakan strategi neokortikal warfare ini bisa datang sesuai
kebutuhannya. Mulai dari kepentingan untuk mempengaruhi kebijakan seperti undang-undang,
pada kepentingan penguasaan pasar guna memanfaatkan potensi demografi sampai.
memperjuangkan persepsi publik pemimpin tertentu. Tujuannya untuk mendapatkan pemimpin
yang memiliki cara pandang global dan tidak diskriminasi terhadap kebijakan global. Semua
kepentingan dengan caranya sendiri-sendiri untuk memenangkan pengaruhnya. Penggunaan isu
primordialisme. Apakah semua hal ini bermanfaat bagi kepentingan rakyat ? Apakah semua ini
berguna untuk optimalisasi SKA untuk kesejahteraa rakyat dan memperkuat daya saing bangsa
atau hanya untuk mengambil SKA bangsa Indonesia? Ini sebuah pertanyaan yang mudah untuk
dijawab oleh kita.
Terlepas dari tujuan penggunaan strategi neokortek tersebut, bangsa Indonesia secara kolektif
belum sadar dan belum banyak belajar banyak untuk menggunakan sejarah masa lalunya
sebagai landasan baru guna membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Era orde baru, era
reformasi sampai saat ini di era Pandemi Covid-19. Walaupun Covid-19 adalah fakta, hal lain
yang tidak dapat diungkapkan adalah kepentingan pendanaan internasional. Akibat pengelolaan
anggaran yang tidak efisien pada level pemangku kepentingan lokal politik dan maupun
nasional. Tarik menarik kepentingan menyebabkan bangsa ini sulit untuk keluar dari jebakan
utang. Termasuk untuk keluar dari setiap masa transisinya dari era seharto dan soekarno, era
reformasi dan pandemi covid ini. Terjebak dalam ketergantungan pada pinjaman luar negeri,
akibat ulah dari anak bangsa sendiri. Pola ini terus berulang. Walaupun kita punya Sri Muliyani
yang manajemable, namun upaya ini tidak cukup untuk mengoptimalkan kekuatan SKA dan
Demografi sebagai aspek strategis untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa memiliki daya
saing tinggi.
Peran media merupakan salah satu alat utama berkontribusi dalam penggunaan neokortikal
warfare dengan bahan informasinya. Media sebagai unit bisnis dan media sebagai alat intelijen
untuk fungsi strategis suatu kekuatan khususnya ekonomi dan politik serta ideologi untuk
perembutan pengaruh.
Perang gerilya tidak bergantung pada keberhasilan operasi peralatan mekanis yang kompleks,
sistem logistik yang sangat terorganisir, atau keakuratan komputer elektronik. Elemen dasarnya
adalah manusia, dan manusia lebih kompleks daripada semua mesinnya. Dia diberkahi dengan
kecerdasan, emosi, dan kemauan (cetak miring milikku).
Guerrilla war is not dependent for success on the efficient operation of complex mechanical
devices, highly organized logistical systems, or the accuracy of electronic computers. Its basic
element is man, and man is more complex than any of his machines. He is endowed with
intelligence, emotion, and will (italics mine).
Sejak serangan 11 September 2011, pertahahanan amerika telah menyerap anggaran yang
sangat besar. Dengan anggaran yang sangat besar berdampak pada tingkat pengeluaran
amerika. Hal ini kemudian disadari oleh amerika. Peperangan tradisional yang bertujuan untuk
menguasai daratan akhirnya tidak tercapai, walaupun telah mengeluarkan biaya yang besar
dalam operasi militernya. Biden akhirnya membuat keputusan sulit, menarik Pasukan dari
Afghanistan 31 Agustus 2021, Presiden Amerika akhirnya mengumumkan penarikan pasukannya
dari afganistan. Hal ini juga bisa dinilai sebagai kegagalan amerika dalam perang tradisional
maupun strategi dilpomasi dan politik termasuk strategi perang neokorteknya dalam skala yang
sempit.
Jika seseorang mengukur kemajuan di medan perang dengan metrik nyata seperti jumlah
korban dan peralatan yang hancur, maka argumen ini memiliki arti penting. Seseorang dapat
menggambar grafik dan berseru “…lebih dari 120 orang tewas di Teater Nord-Ost!” atau
“Perusahaan berhasil kembali dari Grozny dengan hanya 20 persen dari kendaraan yang
dilacak!” jika begitu cenderung. Namun, ketika seseorang memperhatikan konflik dengan
cermat, ada metrik lain yang perlu dipertimbangkan. Seperti yang dipelajari AS secara tragis di
Mogadishu, ketika memerangi segerombolan pemberontak berteknologi rendah di kota-kota
medan, mentalitas ruang rapat perusahaan semacam ini—yang terobsesi dengan angka,
teknologi, dan inventaris—tidak banyak memprediksi kemenangan. Ada variabel yang kurang
nyata yang menuntut perhatian lebih besar:
On July 15, 2004, retired Army Major General and former Commandant of the U.S. Army War
College Robert Scales supported this viewpoint before the House Armed Services Committee
when he asserted that, “The center of gravity in war is no longer the enemy’s army, it’s the
enemy’s people.”27 If this intangible variable in the equation of conflict is “will”, how then can a
combatant manipulate that variable’s value amongst both the enemy and his own troops?
Pada tanggal 15 Juli 2004, pensiunan Mayor Jenderal Angkatan Darat dan mantan Komandan
Sekolah Tinggi Perang Angkatan Darat AS Robert Scales mendukung sudut pandang ini di
hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR ketika ia menegaskan bahwa, “Pusat gravitasi dalam
perang bukan lagi tentara musuh, itu orang-orang musuh.”27 Jika variabel tak berwujud dalam
persamaan konflik ini adalah “kehendak”, bagaimana seorang kombatan dapat memanipulasi
nilai variabel itu di antara musuh dan pasukannya sendiri?

Apakah kita dapat melihat kemenangan Pilres nanti dengan adanya dukungan cabinet yang pro
Indonesia. Bersatu untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keunggulan
geostragis.

Mari menghitung seberapa besar dampak neokortical warfare terhadap kepentingan bangsa.
Dari sisi investasi, kepentingan nasiona dan tujuan untuk mekemakmuran rakyat. Pertama
investasi. Diantara tiga posisi teratas kandidat prsiden dapat dibandingkan berdasarkan jaringan
kepentingan dari masing-masing kandidat serta pengaruh kepentingan dari masing-masing
kandidat serta pengaruh kepentingan asing terhadap investasi yang sudah ada maupun yang
akan datang.
Kedua, kepentingan nasional. Kita dapat membaca dari track record calon-calon pemimpin
tersebut. Baik yang saat ini duduk sebagai legislatif maupun eksekutif di level kebijakan, baik
menteri ataupun sebagai kepala daerah.
Ketiga, tujuan untuk kemakmuran rakyat. Dapat dilihat dari kepemimpinan dan track recor pada
saat menjabat serta upaya-upaya melawan praktek-prakek KKN.
Dalam situasi neocortical warfare yang sedang terjadi ini, sejauh mana kita dapat mengambil
peran untuk tidak terjebak dari konflik kepentingan ini. Namun, apabila kita melihat
kompleksitas problematika bangsa, pada tingkat masyarakat bangsa, kita cenderung untuk sulit
mengontrol situasi ini. Namun perlu dilakukan upaya-upaya oleh pemimpin khususnya, faktor
pendorong/legislatif yang berperan penting dalam pesta demokrasi yang sebentar lagi aka
hadir nanti.

Jaman reformasi, proxy untuk protes dan penggerakan aksi-aksi terhadap rezim. Disatu sisi
bahwa praktek neocortex dilakukan secara sistematis oleh pemerintah melalui gerakan anti PKI
dan anti china. Praktek gerakan neokortikal yang dilakukan oleh pemerintah. Model yang sama
juga seperti perang terhadap KKN yang menjadi musuh besar yang behhasil mengajak gerakan
masa khususunya mahasiswa di seluruh wilayah indonesia yang berkahir dengan tumbangnya
rezim soeharto. Di masa sekarang ini strategi neokortek kekuatiran kita bersama. Anak-anak
bangsa dipengaruhi oleh konflik kepentingan kapitalis bercampur dengan kepentingan
primordialis. Yang menjadi kekuatiran bersama adalah diaantara anak bangsa sudah terlalu jauh
berada pada medan pertempuran neokortek. Bisa disebut pertempuran ini sebagai dari perang
gerilya modern. Medan pertempuran yang tidak kelihatan musuhnya. Secara senyap menyerang
lawan dengan senjata-senjata informasi yag membawa pada opini publik. Dengan
perkembangan teknologi telah memperkuat penggunaan neokortek warfare. Di jaman perang
dunia ke dua(meniru hitler) yang mampu merebut wilayah eropa tanpa peperangan.
Perbedaannya strategi neokortek yang digunakan didukung oleh kesamaan visi sebagai ras yang
sama. Pengaruhi pemimpin negara. Pada saat ini misi neokortekal warfare lebih mudah
diprediksi. Kekuatan teknologi, neokortical warfare menjadi senjata yang sangat aman dan
ampuh dalam merubah mindset pembacanya dan secara tidak langsung berdampak pada
pemimpinnya.
Ada persoalan masa kini yang sedang berlangsung. Dinamika politik untuk merebut pengaruh
pada pemilihan presiden. Giring vs Anis, Prabowo dan Ganjar serta yang terakhir adalah
pemindahan ibukota negara. Apabila kita lihat dari hasil survey calon presiden, terdapat 3
kandidat yang memiliki potensi untuk bersaing dalam pemilihan presiden. Terdapat 3 kadidat
utama yang memiliki potensi untuk bersaing dalam pemilihan presiden. (hasil survey, beberapa
lembaga survey).
Dalam masa menjelang pesta demokrasi tersebut, perebutan pengaruh kadang datang dari
pemberitaan2 yang sangat viral. Peran media masa menjadi salah satu alat yang digunakan
untuk menjadi alat neokortical warfare semakin kuat menjadi senjata/alat baru dalam
memenangkan calon atau kandidat tertentu. Dari informasi-informasi yang ditulis dapat
merugikan lawan politik. Informasi yang merugikan ini digunakan sebagai informasi dalam
strategi neokortek warfare. Di level yang paling tinggi di dunia jurnalis ini adalah suatu
kesepakatan media/pemimpin media secara tidak langsung mendukung kepentingan tertentu.
Kekuatan media ini menjadi strategi yang sudah umum dalam neokortek warfare. Masing-
masing memiliki kemampuan yang sama. Namun, keunggulan teknologi menjadi kunci dakam
oerang informasi pada neokortek. Hal ini dapat menjadi peluang dari kepentingan dari
kepentingan yang memiiki interest terhadap bangsa ini. Pemngerahan alat, dan manusia serta
teknologi serta jurnalis dan proxy bekerja untuk mempengaruhi masa. Masa tradisional, logis
maupun masa mengambang. Lebih jauh lagi perang neokortek ini juga membawa kepentingan
kawasan. Eropa, Amerika, Asia (China, Jepang, Korea, Singapura), Arab dan Australia.

Anda mungkin juga menyukai