2 Tahun 2011
ISSN 1693-3559
Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli,
Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;
Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf
Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman,
Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy
DAFTAR ISI
EDITORIAL ______ 3
FOKUS ______ 7
Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan
Agenda Studi Gerakan Agraria
oleh Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri ______ 9
DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme
oleh Yudi Latif ______ 63
Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan Memperbaiki Representasi
oleh Willy Purna Samadhi ______ 101
TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
oleh Teuku Kemal Fasya ______ 115
Sidang Pembaca,
3
pengadilan yang independen terhadap kasus-kasus masa lalu, adanya
kepemimpinan politik yang berpihak kepada korban, adanya vonis berat
bagi para penjahat perang, penjahat pelanggaran hak asasi, tampaknya
terbentur tembok rezim yang bermuka pura-pura demokratis. Semua
upaya pengungkapan penyelesaian kejahatan masa lalu dikanalisasi dalam
sejumlah aneka rupa kebijakan yang dikemas dalam bungkus
proseduralisme berlagak demokratis. Tengok saja bagaimana sejumlah
upaya penyelesaian kasus masa lalu yang diajukan oleh Komnas HAM
terbentur pada kuatnya institusi penegak hukum yang sesungguhnya harus
bertindak mengatasnamakan korban.
Belum selesai mengatasi persoalan masa lalu, sekarang bangsa ini
kemudian dikangkangi oleh menguatnya bentuk-bentuk tantangan
lainnya. Mengutip Herry B. Priyono, paska lepas dari perangkap
fundamentalisme politik atau rezim otoriter, saat ini Indonesia
menghadapi dua fundamentalisme lainnya yang tak kalah berbahaya:
fundamentalisme pasar dan agama. Gejala ini sangat faktual dan aktual.
Fundamentalisme sangat bertentangan dengan hak asasi manusia dari
sejak gagasan hingga ujungnya dalam bentuk kebijakan atau aksi.
Guna mengamati menguatnya fundamentalisme pasar, kita bisa
melihat betapa sistematis dan kuatnya penetrasi pasar terhadap negara atas
sektor-sektor publik. Liberalisasi maupun privatisasi yang kesemuanya
mengarah pada proses penghambaan terhadap kapitalisme menjadi kata
kunci yang sangat mujarab. Dengan demikian kekuatan pasar tentu
bertolak belakang dengan konsep hak asasi manusia terutama di ranah hak
ekonomi sosial dan budaya yang menuntut tanggung jawab lebih kepada
negara atas kesejahteraan warganya.
Kita bisa simak dalam tulisan Noer Fauzi Rachman dan Laksmi
Savitri di permulaan terbitan kali ini. Keduanya menulis betapa
sistematisnya proses kapitalisme di bidang agraria. Kapitalisme mula-mula
memanfaatkan negara supaya bertindak digdaya atas penguasaan lahan
warga yang marjinal secara politik. Lantas, seolah bisa ditebak, negara
kemudian menempatkan posisinya sebagai fasilitator para kapitalis untuk
menguasai lahan secara massif.
Sementara itu, bahaya fundamentalisme agama juga tak kalah
menakutkan. Klaim tunggal atas penafsiran agama membuat
fundamentalisme jenis ini sangat menakutkan, rentan mengandung
4
konflik komunal, bahkan persekusi terhadap penganut keyakinan
minoritas. Pada akhirnya tidak ada lagi rasa aman dan kebebasan dalam
menjalankan keyakinan yang sangat asasi. Tulisan Mujiburrahman,
pengajar pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin,
menjelaskan hal itu. Mujib secara orisinal memetakan sumber-sumber
konflik yang sering terjadi di kalangan intra-muslim. Sedang, tulisan Ade
Armando, dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)
Universitas Indonesia, menganalisis bagaimana framing hakim telah
membingkai persepsi atas korban pembantaian Ahmadiyah di Cikeusik,
awal tahun 2011, sebelum vonis dijatuhkan.
Dalam rubrik ”Diskursus”, Redaksi dignitas berupaya
mengidentifikasi strategi-strategi atau sejumlah gagasan penting guna
menghadang laju fundamentalisme. Ada tiga hal yang coba ditawarkan
para penulis di rubrik ini. Roichatul Aswidah, deputi riset Demos,
mencoba menawarkan hak asasi manusia. Aswidah menguraikan bahwa
gagasan hak asasi manusia sangat tepat sebagai solusi menghadang laju
fundamentalisme mengingat ia memiliki sifat otonom dan
mengedepankan kesetaraan. Sementara Willy Purna Samadhi, mahasiswa
program master demokrasi dan hak asasi manusia, memaparkan perlunya
perluasan partisipasi politik sekaligus menguatkan representasi.
Selanjutnya, intelektual muda Yudi Latif mendorong pentingnya bagi kita
untuk melakukan revitalisasi Pancasila dalam kehidupan publik kita.
Edisi ini ditutup dengan dua review film dan buku. Review film
berjudul Masacre At My Lai dikerjakan oleh Yosep Adi Prasetyo, wakil
ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Film ini bercerita mengenai
persidangan terhadap penjahat kemanusiaan Amerika Serikat dalam
Perang Vietnam , pada akhir 1960an. Review buku Pluralisme, Dialog,
dan Keadilan: Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik
Indonesia dan Kontroversi Gereja di Jakarta ditulis oleh Teuku Kemal
Fasya, dosen Universitas Malikussaleh, Banda Aceh.
Selamat membaca!
WIDIYANTO
Redaktur Pelaksana
5
FOKUS
Kapitalisme, Perampasan
Tanah Global, dan Agenda
Studi Gerakan Agraria
Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri
Abstract
Capitalism makes everything into commodities, including land and
natural resources. The creative destruction process, as argued by Schumpeter
(1944), used as the basis by David Harvey (2003, 2005) to theorized new
forms of capitalism to overcome the crisis of the surplus of funds/capital that
has accumulated. This paper explains how is the subject important for the
agrarian researchers among activists, academicians, and government
officials to understand how does capitalism work through the land grab and
exploitation of the natural resources. The development of capitalism ways,
which they were different among the regions, need to be understood as the
basis to formulate the agendas of agrarian movement studies.
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai gerakan-gerakan agraria sekarang ini cenderung
tanpa didasari oleh pemahaman tentang bagaimana cara kapitalisme
berkembang, dan berkembang secara berbeda-beda di seantero nusantara.1
Fernand Braudel, sejarawan Perancis pemimpin dari Aliran Annales
(Annales School) dalam ilmu sejarah, mengatakan: ”manakala kapitalisme
1. Sebagai upaya mengingatkan pentingnya kedudukan kapitalisme untuk memahami perubahan agraria, dan
pemahaman relasional atas kemiskinan agraris yang kronis di pedesaan, Dadang Juliantara dalam Jurnal Suara
Pembaruan Agraria No. 3 Tahun 1997, pernah menulis, ”Agraria adalah Akibat, Kapitalisme adalah Sebab!”
9
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Dia
melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi
yang tak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini, dan tidak
bisa tidak.” 2 Belajar memahami perkembangan kapitalisme ini sungguh
diperlukan, seiring dengan keperluan untuk senantiasa belajar
menghadapinya, termasuk dengan melakukan tindakan bersama
menyelamatkan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, memulihkan
alam yang dirusak, dan meningkatkan produktivitas rakyat.
Saat kita membicarakan masalah ekonomi, tidak bisa tidak, kita
niscaya membicarakan kapitalisme, dan cara bekerjanya. Pengusung
agenda pro-kapitalisme pun membicarakannya secara lugas. Margaret
Thatcher, pemimpin Partai Konservatif Inggris (1975-1990) yang
memenangi tiga kali pemilu untuk posisi perdana menteri Inggris,
bersama-sama dengan Ronald Reagan (Presiden Amerika ke-40,
memenangi dua kali pemilihan umum 1981-1989) secara terang
benderang menegaskan posisinya sebagai kampiun penganjur
”kapitalisme perusahaan-bebas ( free-enterprise capitalism)” dan
menyuarakan konsepsi there is no alternative.3 Istilah inilah – dan
singkatannya TINA – kemudian dipopulerkan kalangan gerakan sosial
sebagai ”antiglobalisasi”.
Tanpa adanya pemahaman yang memadai mengenai kapitalisme
dan cara kerjanya, mereka yang aktif dalam gerakan-gerakan agraria,
termasuk yang mengagendakan Reforma Agraria,4 akan bergerak-gerak
sedemikian rupa sehingga gerakan mereka bagaikan ”jauh panggang dari
api”. Karena begitu jauhnya ”panggangan” dari ”api” maka ”proses
2. Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th–18th Century Volume II: the Wheels of Commerce, hal 231.
3. Saya menganjurkan pembaca menelaah pembelaan dan tanggapan balik dari Margaret Thatcher atas kritik-
kritik dari kaum yang anti terhadap free-enterprise capitalism, dalam bab ”Capitalism and its Critics”, dalam
bukunya Margaret Thatcher (2002) Statecraft, Strategies for a Changing World. New York, HarperCollins
Publisher, hal. 412-466.
4. Tanpa prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agraria yang berasal dari Bahasa Spanyol
ini menjadi popular di kalangan pegiat gerakan sosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti,
dosen perguruan tinggi, para pejabat, dan pegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000, 2010).
10
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
memasak” tidak terjadi, walhasil tidak ada ”masakan yang bisa disajikan.”
Apa yang mau dituju sama sekali tidak dapat dicapai.
11
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati
atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri
dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan
itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin
keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-
86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses
penghancuran yang kreatif ).
Melalui proses sirkulasi barang dagangan, kebutuhan manusia pun
pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa pun yang
diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi
cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan
kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola
oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran bagaimana cara
ekonomi pasar itu diagung-agungkan.
Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan
sejarah yang terjadi di negara-negara pascakolonial di Asia, Amerika Latin,
hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di
dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan,
dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan
kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat
memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian
mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.
Di Indonesia, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat
jelas ketika Orde Baru pimpinan Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967.
Liberalisasi pertengahan dekade 1960an ini telah merampas kedaulatan
rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial
melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya.
Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai
memagari lahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan penduduk bumiputera
dari wilayah itu. Hubungan dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari
tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan
kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-
simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi
12
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan
perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah
yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu,
akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi
oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja
dibenarkan secara hukum.
Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah
penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam
tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal
perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi
sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat bumiputera yang
harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi
tenaga kerja/buruh upahan.
Adam Smith-pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan
mengenai ”tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja
mengatur bagaimana pasar bekerja-dalam karya terkenalnya the Wealth of
Nations menyatakan bahwa ”akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu
sebelum pembagian kerja”.
Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx
mengembangkan teori ”the so-called primitive accumulation”, yang
mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata
uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu
penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).5 Ini adalah
proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada
tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang
melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian
mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk
mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga
5. Uraian menarik mengenai konsep ”original accumulation” dari Adam Smith dan ”primitive accumulation”
dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan
dalam Perelman (2000) dan De Angelis (2007).
13
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
6. Michael Perelman lah yang pertama kali bertanya mengapa Marx tidak lebih lugas mengemukakan sifat keberlangsungan
akumulasi primitif. Ia menganggap bahwa cara Marx merumuskan akumulasi primitif sebagai kenyataan masa lampau
sungguh dapat dimengerti, karena ”Marx mengabdikan keterangannya mengenai akumulasi primitif sebagai kritik yang
meyakinkan terhadap kapitalisme, yakni sekali kapitalisme memegang kendali, kaum kapitalis belajar bahwa tekanan-
tekanan pasar sungguh lebih efektif dalam mengeksploitasi tenaga kerja ketimbang tindakan brutal akumulasi primitif
(Perelman 2000:30). Perelman juga yang memecahkan misteri ”primitif ” dalam ”akumulasi primitif ”. Seperti yang secara
tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya,
Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in
the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata
'previous' dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian
menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).
7. Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian
dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat
perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi
dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi
modal skala dunia. Untuk uraian mengenai pengaruh neoliberalisme ini bisa dilihat pada karya-karya Fauzi (2001); Wibowo
dan Wahono (2003), Setiawan (2003), Khudori (2004), Ya'kub (2004), dan Herry-Priyono (2006).
8. Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif ” setelah ia mengolah teori
underconsumption dari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-
teori Marxist mengenai akumulasi ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan
perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan
atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg – yang diperlakukan terhadap yang berada ”di luar dari” kapitalisme
yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus
berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif ” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah
akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para
komentator”. Harvey merujuk pada Parelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The
Commoner. Harvey memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan
cara perampasan kepemilikan), karena ia merasa ”adalah janggal untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari
”akumulasi primitif ” atau ”akumulasi awal-mula” (Harvey 2003:144). Dalam karyanya Comment in Commentaries (Harvey
2006), yang ditulisnya sebagai tanggapan atas sejumlah komentar serta kritik dari kaum Marxist lain atas New Imperialism
(Ashman dan Calinicos 2006; Brenner 2006; Brenner 2006; Castree 2006; Fine 2006; Suteliffe 2006; Wood 2006), ia
berkeras bahwa ”praktek-praktek yang bersifat kanibal dan buas yang terjadi terus di negara-negara kapitalis maju dengan
kedok privatisasi, reformasi pasar, pengetatan anggaran kesejahteraan dan neoliberalisasi lebih cocok bila ditampilkan
sebagai accumulation by disposession. Accumulation by disposession secara kualititaf dan teoritis berbeda dengan apa yang
terjadi di masa awal kapitalisme (Harvey 2006:158).
14
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
15
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
9. Sumber: Savitri, L.A. 2011. Politik Ruang dan Penguasaan Tanah untuk Pangan. Jurnal Wacana, No. 26, tahun 2011.
16
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
17
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
Gambar 2
Tipologi Cara-cara Perolehan Tanah
Perampasan
tanah illegal Penggusuran
Penjualan tanah
(Sudan) illegal melalui
adat secara
intimidasi
legal oleh elit
(Kolombia,
Alokasi tanah (Kamboja,
Uruguay)
negara secara Pakistan) Konsentrasi
tanah-tanah privat
legal, tanpa
(Peru, Kolombia,
mengindahkan Argentina),
Pengambilalihan
status tanah adat Alokasi tanah Ukraina)
tanah secara
(Etiopia, Nigeria) adat secara
legal/penyewaan
legal
tanah secara paksa
(Tanzania,
(India, Filipina, Tanah
Tanah Mozambique)
Indonesia) privat
adat
18
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Tabel 2
Daftar Perusahaan Terseleksi yang Didanai
International Financial Corporation (IFC)
No. Perusahaan Nilai investasi Lokasi/luas tanah
1. A ltima One World A griculture Development USD 75 juta Amerika Selatan, Sub-Sahara Afrika,
Fund Eropa Tengah dan Timur
2. Chayton A tlas A griculture Company USD 50 juta Zambia dan Botswana
(Inggris)
3. Citadel Capital (Mesir) USD 25 juta Mesir, Sudan, Tanzania, Kenya,
Uganda
4. Mriya A gro Holding (Ukraina) USD 75 juta Ukraina, penambahan area 165.000 ha
5. Sena Group (Mauritius)/Tereos (Perancis) USD 65 juta Mozambik
6. SLC A gricola (Brazil) USD 40 juta Brazil, penambahan area 200.000 ha
7. V ision Brazil (Brazil) USD 27 juta Brazil, penambahan area 400.000 ha
10. Bagian MIFEE ini berdasar pada Ito dkk. 2010. Lihat pula Zakaria dkk. 2010.
19
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
20
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
21
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
22
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
11. Pelajari karya-karya tulis dalam Hart et al (1989), juga Li (1999). Untuk suatu review mengenai sumbangan The Journal of
Peasant Studies dalam studi-studi petani dan perubahan agraria, lihat: Bernstein dan Byres (2001). Untuk review karya-
karya studi agraria terbaru lihat Borras (2009), Akram-Lodhi and Kay (2009, 2010a, 2010b).
23
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global
(Borras 2008):
1. Apa saja karateristik struktur agraria yang mendasari suatu
gerakan yang muncul, atau yang tidak muncul?
2. Apa basis sosial dari gerakan agraria itu? Kelas sosial dan
kelompok mana yang mereka wakili? Bagaimana bisa klaim
tersebut bisa dijelaskan?
3. Apa isu utama atau tuntutan apa yang dikedepankan oleh gerakan
itu? Dari mana tuntutan itu berasal? dan kelompok sosial mana
atau kekuatan politik mana yang menghalangi/atau menghambat
gerakan tersebut?
4. Apa isu yang menyatukan, dan memecahbelah gerakan?
5. Seberapa efektif aksi gerakan itu dalam upayanya mengubah
struktur agraria, dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan?
Mengapa satu gerakan lebih efektif dibandingkan yang lain?
24
Akar Konflik Intra
Umat Islam Indonesia
Mujiburrahman
Abstract
This paper describes an anatomy of the three roots of intra-Moslem conflicts
in Indonesia. Based on a series of historical events, this paper explains a
thread of the conflicts today have strong roots with the problems in the past.
Pendahuluan
Sebagai bangsa yang sangat majemuk, Indonesia memiliki potensi konflik
yang cukup besar yang mencakup beragam identitas seperti agama, etnis,
adat, pemerintah pusat versus daerah, Jawa versus luar Jawa, dan
sebagainya. Kadang-kadang dua identitas (misalnya agama dan etnisitas)
dapat menjadi satu dalam sebuah konflik. Berkenaan dengan konflik
agama, ia dapat berupa konflik antar agama yang berbeda, antar aliran yang
berbeda dalam suatu agama, atau antara agama dan budaya lokal (adat).
Pada masa Orde Baru, Menteri Agama, Alamsyah Ratu
Perwiranegara, menggagas tentang perlunya Trilogi Kerukunan, yakni
kerukunan antar umat beragama, kerukunan intra-umat beragama dan
kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Tiga jenis kerukunan ini
tentu masih relevan dengan kondisi bangsa kita saat ini.
Sebagai bangsa dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia,
ditambah kebudayaan yang beragam, wajar sekali jika kaum Muslim
Indonesia itu terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok dan aliran. Ketika
keran kebebasan berpendapat dan berserikat mulai dibuka di negeri ini,
kelompok-kelompok Islam yang beragam itu akhirnya menampakkan diri
secara terbuka di ruang publik. Di satu sisi, hal ini dapat menimbulkan
25
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
ketegangan yang positif dan dinamis, tetapi di sisi lain, bisa juga
mendorong pecahnya konflik yang berujung tragis.
Karena itu, dalam situasi seperti sekarang, tampaknya refleksi
terhadap pengalaman-pengalaman sejarah kita dari masa lampau hingga
sekarang sangatlah penting. Mungkin jarak yang cukup jauh antara kita
dengan peristiwa-peristiwa sejarah akan memudahkan kita untuk bersikap
lebih 'obyektif '. Selain itu, tentu saja dengan berkaca pada sejarah, kita
dapat merenungkan apa kiranya yang harus kita lakukan dalam
menghadapi tantangan-tantangan masa sekarang.
Alih-alih menyajikan sebuah kajian historis baru, tulisan ini
hampir seluruhnya berdasarkan pada kajian-kajian sejarah yang sudah ada.
Tetapi berbeda dengan kajian-kajian sejarah yang sudah ada yang terfokus
pada periode tertentu dan bersifat rinci, tulisan ini hanya menyoroti kasus-
kasus tertentu dengan tujuan menemukan kesinambungan dan perubahan
yang terjadi dalam rentang masa yang cukup panjang.
Sejak dekade awal abad ke-20 hingga sekarang, sekurang-
kurangnya ada tiga masalah penting yang menimbulkan pertentangan di
antara sesama umat Islam di Indonesia. Pertama, pertentangan ideologis
antara kelompok yang menginginkan Islam dijadikan sebagai ideologi
negara dan kelompok yang mengutamakan kebangsaan sebagai dasar
negara. Kedua, perbedaan paham keagamaan di antara gerakan-gerakan
Islam. Ketiga, perbedaan dalam masalah hakikat dan arah kebudayaan
Indonesia, termasuk bagaimana seharusnya menyikapi budaya
asing/Barat.
Ketiga jenis konflik ini kadangkala tumpang tindih satu dengan
yang lainnya, dan biasanya kepentingan sosial, ekonomi dan politik turut
mempengaruhi tinggi rendahnya suhu konflik yang bersangkutan.
Pertentangan Ideologis
Jika kita menengok kembali sejarah pemikiran dan gerakan di negeri ini,
maka kita semakin sadar bahwa ternyata hangatnya pembicaraan masalah
ideologi negara, khususnya mengenai hubungan agama dan negara, sudah
mulai menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pemimpin bangsa ini
1. Telaah historis berikut merujuk kepada Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta: LP3ES,
1980), 267-315.
26
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
27
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
2. Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945-1959) ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
28
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
3. Untuk kajian mengenai sidang Konstituante, lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante ( Jakarta: LP3ES, 1985), dan Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional
Government in Indonesia: a Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 ( Jakarta: Sinar Harapan, 1992).
4. Lihat “Perubahan Keempat UUD 1945 Disahkan” Kompas, 11 Agustus 2002.
5. C.van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan ( Jakarta: Grafiti, 1983).
6. Lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2006).
29
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
7. Lihat Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to 'New Order' Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982); dan Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003).
30
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
8. Mujiburrahman, “Oposisi atau Integrasi? Islam dan Kebangsaan di Indonesia” Tashwirul Afkar No.22 (2007), 114-115.
9. Kajian pioner mengenai masalah ini, meski dari sudut pandang seorang pendukung modernisme, adalah Noer, Gerakan
Modern Islam.
31
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
Bahkan pada tahun 1946, seorang tokoh kaum muda di Alabio ditangkap
dan dibunuh Belanda, konon karena pihak kaum tua melaporkan bahwa
sang tokoh adalah aktivis gerakan kemerdekaan. Kemudian pada tahun
1949, giliran seorang tokoh kaum tua yang diculik dan dibunuh oleh
sekelompok orang tak dikenal, dan ini diduga sebagai tindakan balas
dendam dari kaum muda.10
Banyak faktor yang mungkin mempengaruhi mengapa pertikaian
paham itu dapat terjadi begitu keras. Perebutan otoritas keagamaan di
antara tokoh-tokoh setempat ditambah dengan rendahnya pendidikan
dan wawasan orang-orang awam yang menjadi pengikut mereka,
barangkali merupakan alasan penting mengapa pertikaian itu terjadi.11
Selain itu, tak bisa dimungkiri bahwa pengaruh pemikiran Islam yang
berkembang di Timur Tengah jelas sangat signifikan dalam masalah ini.
Kebanyakan mereka yang menjadi tokoh pemurnian adalah orang-orang
yang belajar di al-Azhar, di mana pengaruh pemikiran Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha cukup kuat, sementara ulama-ulama tradisional
umumnya adalah 'alumni' pengajian klasik di Masjid al-Haram, Mekkah.12
Meskipun pertentangan paham ini sempat begitu keras, lama
kelamaan kedua belah pihak mulai 'capek' dan kemudian berusaha
bekerjasama. Tokoh-tokoh kedua kubu kemudian mengatakan bahwa
sebenarnya mereka hanya berseteru dalam hal-hal cabang (furû') bukan
prinsip (ushûl), dan karena itu tak ada alasan untuk saling mengkafirkan.
Selain itu, kalangan kaum tua perlahan-perlahan mengikuti cara-cara
kalangan kaum muda, misalnya dalam membentuk organisasi, membuat
karya tulis untuk membela paham sendiri dan menerapkan sistem klasikal
dalam pendidikan pesantren mereka. Rekonsiliasai antara kaum tua dan
kaum muda ini kemudian antara lain dicerminkan oleh pembentukan
sebuah federasi bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) di tahun
10. Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham dalam Agama Islam ( Jakarta: Rajawali Pers, 1986),
55-57.
11. Seperti diakui dan dicatat oleh Idham Chalid, tokoh NU asal Kalimantan Selatan, bahwa ketika masa mudanya, di awal
tahun 1930-an, dia menyaksikan konflik antara 'kaum tua' dan 'kaum muda' di Amuntai, kampung halamannya, terutama
karena para pengikut awam sangat fanatik pada ulama yang diidolakan mereka masing-masing. Lihat Arief Mudatsir
Mandan (ed.), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid ( Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), 65; 69.
12. Untuk kajian-kajian mengenai pengaruh alumni al-Azhar di Nusantara, lihat William Roff, ”Indonesian and Malay
Students in Cairo in the 1920s” Indonesia No.9 (1970), 73-88; Mona Abaza, ”Indonesian Azharites Fifteen Years Later”
Sojourn Vol.18 No. 1 (2003), 139-153; Michel Laffan, ”An Indonesian Community in Cairo: Continuity and Change in a
Cosmopolitan Islamic Milieu” Indonesia No. 77 (2004), 1-26; Mona Abaza, ”More on the Shifting Worlds of Islam: The
Middle East and Southeast Asia: A Troubled Relationships?” The Muslim World Vol. 97 (2007), 419-36.
13. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang Terj. Daniel
Dhakidae ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 119.
32
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
14. Kemungkinan besar Ahmadiyah Lahore dapat diterima oleh ormas Islam lainnya waktu itu adalah karena, berbeda dengan
Ahmadiyah Qadiyan, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai pembaru (mujaddid), bukan Nabi.
15. Noer, Gerakan Modern Islam, 264.
16. Noer, Gerakan Modern Islam, 255-60.
33
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
17. Lihat Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Bab Tujuh.
18. Untuk sejarah kajian sejarah Masjumi, lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional ( Jakarta: Grafiti Press, 1987).
19. Karena itu tidak heran kalau Ahmad Syafi'i Maarif menilai bahwa 'Demokrasi Terpimpin' adalah 'politik belah bambu'
Soekarno, yaitu Masjumi diinjak dan NU diangkat. Lihat Ahmad Syafi'i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), 178-186.
34
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
20. Tentang ICMI, lihat Robert W. Hefner, ”Islam, State, and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle
Class” Indonesia No. 56 (1993), 1-37; dan R.William Liddle, ”The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation” The
Journal of Asian Studies Vol.55 No.3 (1996), 613-34.
21. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Terj.Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), 262-67.
22. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 Terj. Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS,
2003), 285-97.
23. Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKiS,
1994), Bab 4.
24. Untuk kajian awal mengenai beberapa kasus aliran yang difatwa sesat atas tuduhan 'menodai agama', lihat Rumadi, Delik
Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP ( Jakarta: The Wahid Institute, 2007).
35
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
25. Untuk FPI, lihat Al-Zastrow, Politik Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta: LKiS, 2007), dan mengenai
Laskar Jihad, lihat Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia
(New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 2006).
36
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
37
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
26. Untuk diskusi lebih rinci mengenai masalah kebudayaan dan agama di Indonesia, lihat Mujiburrahman, Feeling
Threatened, Chapter 5.
38
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
39
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
29. M. Natsir, Cultuur Islam (Bandoeng: Pendidikan Islam Bg. Penjiaran, 1937).
30. Syahrazad, Renungan Indonesia (Djakarta: Pustaka Rakjat, 1951), 115.
31. Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 3-4.
32. Tentang Manifes Kebudayaan, lihat D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (eds.), Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
LEKRA/PKI dkk (Bandung: Mizan-Republika, 1995).
40
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
33. Tulisan-tulisan ini kemudian diterbitkan dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987).
34. Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978).
41
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
keras dari H.M Rasjidi, seorang tokoh Muslim reformis.35 Rasjidi bahkan
meragukan bahwa buku Strategi Kebudayaan ditulis sendiri oleh
Moertopo. Ia mencurigai bahwa penulisnya adalah A.M.W. Pranarka,
seorang intelektual Katolik di CSIS. Bagi Rasjidi, klaim-klaim yang dibuat
dalam buku itu tidak lebih dari upaya untuk memarginalkan posisi Islam
dalam kebudayaan bangsa. Baginya, Islam bukan hanya memperkaya,
melainkan mengubah kebudayaan masyarakat Indonesia. Tujuan dari
buku ini, lanjut Rasjidi, sebenarnya adalah upaya mempertegas garis
pemisah antara Muslim abangan dan Muslim santri belaka. Padahal
menurutnya, kedua kelompok itu harus dianggap sebagai Muslim.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, perkembangan
ekonomi Indonesia yang semakin baik telah membuka peluang bagi
munculnya Muslim kelas menengah. Sebagian dari mereka ini datang dari
keluarga santri yang memperoleh pendidikan modern sekuler. Banyak di
antara mereka itu ketika menjadi mahasiswa ikut aktif dalam kegiatan-
kegiatan keislaman di kampus. Maka tak heran kalau kalangan kelas
menengah Muslim ini kemudian mengembangkan budaya Islam yang
berbeda dari kalangan bawah. Mereka misalnya naik haji dengan fasilitas
mewah melalui ONH plus, suka membaca majalah-majalah pop Islam,
dan memakai pakaian muslimah yang mahal dan modis. Di kalangan
tertentu, mereka juga memproduksi karya-karya musik, sastra, novel, dan
komik Islam sebagai alternatif dari produk-produk yang datang dari Barat
atau Asia seperti Jepang dan India. Kelahiran ICMI di awal tahun 1990-an
dan pesta budaya Islam yang dikenal dengan Festival Istiqlal seringkali
dilihat sebagai wujud dari munculnya budaya kelas menengah santri di
Indonesia.
Sementara itu angin demokrasi yang bertiup kencang di Indonesia
setelah jatuhnya Orde Baru semakin membuka lebar perjumpaan dan
perbenturan budaya di Indonesia. Sulit dimungkiri bahwa globalisasi
adalah juga dominasi budaya Barat, tetapi pada saat yang sama, perlawanan
dan penyesuaian dari pihak yang didominasi terus terjadi pula. Dengan
kata lain, 'oksidentalisme' sama naifnya dengan 'orientalisme'.
Penutup
35. Muhammad Rasjidi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
42
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Terdapat tiga masalah utama konflik intra Islam yang terjadi di Indonesia,
yaitu konflik ideologis antara kaum Muslim yang beorientasi pada
ideologi kebangsaan dan kaum Muslim yang ingin menjadikan Islam
sebagai ideologi Negara; konflik organisasi dan paham keagamaan, dan
konflik mengenai hakikat dan arah kebudayaan nasional. Ketiga
kelompok masalah konflik ini ternyata masih berkembang hingga
sekarang. Mengingat bahwa konflik-konflik tersebut memiliki akar
sejarah yang panjang bagi bangsa ini, maka adalah naif apabila kita
berharap konflik akan dengan mudah disingkirkan. Hampir mustahil
dapat menghapuskan konflik karena ia adalah sesuatu yang alamiah dan
wajar dalam sebuah masyarakat, lebih-lebih yang majemuk seperti
Indonesia.
Cuaca demokrasi yang telah berlangsung selama satu dekade lebih
di negeri ini seharusnya dapat memberikan kesempatan yang luas buat
penanganan konflik-konflik tersebut sebaik-baiknya. Memang ada kesan
bahwa dalam era reformasi, kebebasan sepertinya seringkali kebablasan
dan akibatnya konflik malah seringkali terjadi. Demokrasi harus dibangun
melalui latihan yang terus-menerus hingga akhirnya tertanam dalam
budaya demokrasi itu sendiri di masyarakat.
43
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
DAFTAR PUSTAKA
Abaza, Mona., “Indonesian Azharites Fifteen Years Later” Sojourn Vol.18
No. 1 (2003), 139-153.
-------., “More on the Shifting Worlds of Islam: The Middle East and
Southeast Asia: A Troubled Relationships?” The Muslim World
Vol. 97 (2007), 419-36.
Al-Zastrow, Politik Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI
(Yogyakarta: LKiS, 2007).
Anshari, Endang Saifuddin., Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
(1945-1959) ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 3-4.
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang Terj. Daniel Dhakidae ( Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980).
Bruinessen, Martin van., NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian
Wacana Baru Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKiS, 1994).
Dijk, C.van., Darul Islam, Sebuah Pemberontakan ( Jakarta: Grafiti,
1983).
Effendy, Bahtiar., Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS,
2003).
Fealy, Greg., Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 Terj. Farid
Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003).
Hasan, Noorhaidi., Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for
Identity in Post-New Order Indonesia (New York: Southeast
Asian Program, Cornell University, 2006).
Hassan, Muhammad Kamal., Muslim Intellectual Responses to 'New
Order' Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1982).
Heeren, Katinka van., “Cruelty, Ghosts, and Verses of Love” ISIM Review
No. 22 (Autumn, 2008), 20-21
Hefner, Robert W., “Islam, State, and Civil Society: ICMI and the
Struggle for the Indonesian Middle Class” Indonesia No. 56
44
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
(1993), 1-37.
Laffan, Michel., “An Indonesian Community in Cairo: Continuity and
Change in a Cosmopolitan Islamic Milieu” Indonesia No. 77
(2004), 1-26;
Liddle, R.William., “The Islamic Turn in Indonesia: A Political
Explanation” The Journal of Asian Studies Vol.55 No.3 (1996),
613-34.
Maarif, Ahmad Syafi'i., Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante ( Jakarta: LP3ES, 1985).
-------., Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1993).
Madjid, Nurcholish., Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987).
Mandan, Arief Mudatsir (ed.), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid
( Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008).
Mihardja, Achdiat K., (ed.), Polemik Kebudajaan (Djakarta: Balai
Pustaka, 1948).
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (eds.), Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif LEKRA/PKI dkk (Bandung: Mizan-Republika, 1995).
Moertopo, Ali., Strategi Kebudayaan ( Jakarta: CSIS, 1978).
Mujiburrahman, “Oposisi atau Integrasi? Islam dan Kebangsaan di
Indonesia” Tashwirul Afkar No.22 (2007), 114-115.
-------., Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's
New Order (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006).
Nasution, Adnan Buyung., The Aspiration for Constitutional
Government in Indonesia: a Socio-legal Study of the Indonesian
Konstituante 1956-1959 ( Jakarta: Sinar Harapan, 1992).
Natsir, M., Cultuur Islam (Bandoeng: Pendidikan Islam Bg. Penjiaran,
1937).
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta:
LP3ES, 1980)
Rasjidi, Muhammad., Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan
Nasional ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
45
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam
46
Ketika Korban Menjadi 'Setan':
Kasus Pengadilan Penyerangan
Ahmadiyah di Cikeusik
Ade Armando
Abstract
The attackers who killed and savagely persecuted the Ahmadiyyas in
Cikeusik was punished lightly. Prosecutors, defense lawyers, and judges
argue, they could not be entirely blamed for the assault because it was
occurred as a reaction to the action of the victims. This tragedy of the legal
process was occurred because the construction of image that has been built
on Ahmadiyya before the trial was started.
Salah satu peristiwa hukum paling memprihatinkan pada 2011 lalu adalah
pengadilan kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik. Para
penyerang yang tindakannya sampai menewaskan tiga orang hanya
dihukum ringan, hanya tiga hingga enam bulan. Sementara yang menjadi
korban juga diadili dengan tuduhan melawan perintah hukum.
Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa pembiaran terhadap
kebiadaban tersebut turut didasari oleh wacana yang terbentuk mengenai
pihak yang sebenarnya menjadi korban, yakni kalangan Ahmadiyah.
Keadilan menjadi tak terwujud terutama karena adanya apa yang disebut
sebagai praktek 'demonisasi' terhadap Ahmadiyah. Demonisasi, dalam hal
ini, dapat didefinisikan sebagai sebagai upaya sengaja untuk membangun
pencitraan buruk terhadap kalangan tertentu yang diidentikkan sebagai
kekuatan jahat, kekuatan setan (demon) yang mengancam.
Praktek demonisasi adalah hal yang lazim dilakukan untuk
menyudutkan pihak lawan dalam sebuah konflik. Ketika sebuah
kelompok tertentu disamakan dengan 'setan', pada dasarnya tidak
diperlukan lagi pertimbangan rasional dan bukti empirik dalam
47
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
48
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
49
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
50
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
51
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
52
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
53
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
54
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
55
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
56
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
57
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’
58
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
59
DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah
Dua Fundamentalisme
Yudi Latif
Abstract
This paper describes the importance of revitalizing Pancasila as a strategy to
struggle against the religious and market fundamentalism. Pancasila has
strong roots in the history of Indonesia society, and particularly relevant to
be grounded as a solution to the problem of this plural society.
Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia!
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: 'Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan,
My nationalism is humanity'….
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka,
tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa….
Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …yang boleh saya namakan
'internasionalisme.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitanisme,
yang tidak mau adanya kebangsaan….
(Soekarno, 1 Juni 1945)
63
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
64
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
65
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
66
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
67
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
68
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka
peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas
negara.
Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur
penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakan kelembagaan
negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and
balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-
undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik
horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.
Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak
cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri. Istilah
”reform” menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary (1978) berarti
”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.”
Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk
mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah
ada, melainkan berusaha menyempurnakannya, dengan membuang yang
buruk dan meningkatkan yang baik.
Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph
Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau
berkata, ”I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the
Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I
have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as 'shock'
therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries
of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).
Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah
bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara
tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas
administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan
memunculkan ”negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-
dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.
Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu
69
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
70
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
keagamaan tertentu.
Dihadapkan pada ancaman pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) seperti itu, Indonesia sebagai negara lemah justru seringkali
mengeluarkan kebijakan politik yang melanggar prinsip-prinsip
penegakan (HAM). Setidaknya ada dua jenis pelanggaran HAM yang
sering dilakukan oleh negara. Pertama, pelanggaran terhadap hak dan
keadilan sipil yang bersifat setara (equal) dan tak dapat dikurangi (non-
derogable) . Bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar utama yang
dijamin konstitusi, yang tanpa hal itu semua kebebasan lainnya tak
bermakna.
Tidak ada konstitusi yang sempurna. Tapi, dalam persoalan
perlindungan hak berkeyakinan, konstitusi kita, bahkan sebelum
amandemen, tidak bersifat ambigu, melainkan mendasar dan jelas
(unequivocal). Sejak awal, hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, yang
kemudian lebih diperjelas dalam konsitusi versi amandemen keempat,
terutama pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 28E,
misalnya, disebutkan bahwa ”setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya” (ayat 1); dan juga ”berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya” (ayat 2).
Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi kovenan PBB
mengenai hak-hak sipil yang kemudian diratifikasi ke dalam UU No. 12
tahun 2005. Pada Bab III, Pasal 18 dari Kovenan ini disebutkan: 1.
”Everyone shall have the right of freedom of thought, conscience and religion.
This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his
choice, and freedom, either individually or in community with others and in
public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance,
practice and teaching; 2. ”No one shall be subject to coercion which would
impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.”
Baik konstitusi kita maupun kovenan ini secara nyata menjamin
kebebasan beragama sebagai prinsip yang absah. Hal ini
mengimplikasikan suatu afirmasi yang konkrit bahwa Negara dalam
kondisi apapun, bahkan dalam tuntutan untuk menjaga ketertiban umum,
71
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
tak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik dari
setiap orang.
Kedua, negara juga melakukan pelanggaran terhadap hak
komunitarian (communitarian rights) karena kegagalannya melakukan
proteksi terhadap hak untuk berbeda. Memang tidak semua perbedaan
harus diakomodasi karena bisa melumpuhkan prinsip kesetaraan dari hak
sipil itu sendiri. Tetapi ada perbedaan yang relevan (relevant difference),
yang memerlukan pengakuan dan representasi, yang diakui keabsahannya
bahkan oleh paham liberalisme. Yakni perbedaan yang ditimbulkan atau
dikonstruksikan oleh diskriminasi dan marjinalisasi. Proteksi dan
representasi khusus kelompok yang dimarjinalkan dan didiskriminasikan
ini dibenarkan, karena tanpa pengakuan terhadap hak untuk berbeda
diskriminasi bisa berlanjut yang berakibat pada pengabaian secara
permanen hak-hak sipil dari anggota komunitas tersebut. Ambillah
contoh kasus pemberian kuota khusus bagi representasi kaum perempuan.
Dengan prinsip yang sama, Jamaah Ahmadiyah—yang sering mengalami
persekusi—pun layak memperoleh jaminan hak untuk berbeda. Dalam
hal ini, tugas negara adalah melakukan proteksi terhadap kelompok yang
lemah dan didiskriminasikan, bukannya malah semakin menguatkan
diskriminasi.
Jika fundamentalisme agama membawa ancaman terhadap hak
sipil dan politik, ancaman terhadap hak ekonomi –cum hak sosial dan
budaya—datang dari fundamentalisme pasar. Halangan dalam promosi
HAM muncul sejak tahun '80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme
yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah
dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar
meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang
makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negatif
dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus
pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Studi penting telah dihasilkan
dalam kerja Sub-Commission on Prevention of Discrimination and
Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi),3 Commission on Human
3. Pada 1998, lembaga ini dinamai kembali dengan 'Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights'.
72
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
4. Sepertiga dari studi besar mengenai konsekuensi keseluruhan dari proses globalisasi terkini bagi hak asasi manusia dikerjakan
selama periode 5 tahun oleh Joe Oloka-Onyanga dan Deepika Udagama (lihat secara khusus: Sub-Commission 2000, 2001,
dan 2003). Beberapa studi penting juga dikerjakan oleh UNHCHR atau Sekretariat PBB. Antara lain studi atas dampak hak
milik intelektual (IPRs) atas hak asasi manusia dalam aspek-aspeknya yang berhubungan dengan perdagangan (UNHCHR,
2001), studi atas dampak liberalisasi perdagangan dalam jasa terhadap hak asasi manusia (UNHCHR, 2002a), serta studi
tentang globalisasi dan dampaknya pada hak asasi manusia dengan fokus khusus pada perdagangan agrikultur (UNHCHR,
2002b). Di tahun 2003, UNHCHR menghadirkan sebuah studi pada hak asasi manusia, perdagangan, dan investasi
(UNHCHR, 2003). Prinsip fundamental non-diskriminasi dalam konteks globalisasi merupakan subyek studi analisis dari
UNHCHR di tahun 2004 (UNHCHR, 2004a)
73
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
republik harus berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari
republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani
sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin
mengalami ragam perbedaan golongan dan kelas sosial.
Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi
masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam.
Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-
multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari
dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik
(political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang
menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok
budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif
dalam suatu Republik.
5. Paul Hirst & Graham Thompson, Globalization in Question (Cambridge: Polity Press, 1996).
74
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
6. UDHR plus Kovenan Internasional yang diadopsi di tahun 1966; meliputi hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial, dan
budaya.
7. Kerangka umum bagi kewajiban negara pertama kali diproporsi oleh Eide (1984) dan kemudian digunakan sebagai studi
pertama bagi PBB dalam soal hak atas pangan melalui Sub-Komisi untuk Promosi dan Proteksi Hak Asasi Manusia (PBB,
1989), dan kemudian diadopsi oleh CESCR untuk beberapa General Comment (Komentar Umum), mulai pada General
Comment No.12 dalam Hak atas Pangan di tahun 1999.
75
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
76
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
77
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
78
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
79
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila
10. Kuntowijoyo (2001) mengutip pendapat seorang koleganya, Damardjati Supadjar dari UGM, yang pernah mengusulkan
untuk mengefektifkan Pancasila. Caranya ialah menjadikan perumusan sila-sila yang berupa kata benda abstrak sebagai kata
kerja aktif. Jadi, bukan saja Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi "Mengesakan Tuhan". Bukan hanya Kemanusian yang adil dan
beradab, tapi "Membangun kemanusiaan yang adil dan beradab". Bukan saja Persatuan Indonesia, tapi "Mempersatukan
Indonesia". Bukan saja Kerakyatan, tapi "Melaksanakan kerakyatan". Bukan hanya Keadilan Sosial, tapi "Mengusahakan
Keadilan Sosial".
80
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Daftar Pustaka
81
Hak Asasi Manusia Solusi
Menghadang Fundamentalisme
Roichatul Aswidah
Abstract
Human rights is relevant to be discussed in the struggle against the religious
and market fundamentalism. In the idea of ??human rights, we see that the
clearly basic concepts of human rights is very important to be the basis of
resistance to fundamentalism. This paper describes the basic concepts of
chaos and shows the location of vulnerable fundamentalism affair with
power.
”religious fundamentalisms are an idea whose time has come and we won't be
seeing the end of its influence by focusing on some individuals; fundamentalism is
something whose seeds have been planted and which needs a long, sustained effort
at de-seeding”
Victor Hugo-parahrased by Vijay Nagari
Menyelami Fundamentalisme
Fundamentalisme pasar dan agama seringkali digambarkan mengepung
atau mencengkeram sebegitu kuatnya hingga Indonesia sebagai sebuah
negara tak bisa bergerak merdeka. Kedua jenis fundamentalisme itu telah
menggerogoti tubuh bangsa hingga menciptakan keganjilan dalam rasa-
merasa kita sebagai bangsa: ”Aku pertama-tama adalah orang beragama”,
atau ”Aku pertama-tama adalah konsumen”. Kewargaan kita terkoyak
fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.1
Kegelisahan banyak orang mengenai fundamentalisme agama di
Indonesia—terutama paska reformasi—merujuk pada maraknya aksi
kekerasan yang terjadi atas nama agama. Kekerasan yang terjadi kian
83
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
2. Lihat ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Komnas
Perempuan, 2010
3. Lihat Musdah Mulia, ”Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional
Komnas HAM ”Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
4. Ibid
5. Selain golongan eksklusif, Musdah Mulia menyatakan adanya dua golongan lain yaitu moderat (NU dan Muhamadiyah)
serta kelompok progresif (Wahid Institut, ICRD, Interfidei dsb), ibid
84
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
6. Noer Fauzi Rahman, ”Menyegarkan kembali Ingatan atas Kapitalisme”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, (ELSAM) , Jakarta, 2 Nopember 2011
7. Pancasila Dikepung Ideologi Fundamentalisme Pasar dan Agama,
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/32673/Warta/Pancasila_Dikepung_Ideologi_Fundamentalisme_Pasar_d
an_Agama.html, diakses pada 20 Desember 2011
85
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
8. Musdah Mulia, ”Agama dan Perdamaian (Membaca Konteks Keindonesiaan)”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, (ELSAM), Jakarta, 2 Nopember 2011
9. Peter Jones, Rights, Issues in Political Theory, Palgrave, New York, 1994, hal. 4
10. Ibid, hal. 4
11. Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003 hal.14
12. David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam David Beetham (ed.), Politics and Human Rights,
Blackwell Publishers, 1995, hlm. 44-46
86
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Oleh karena itu, pada dasarnya gagasan hak asasi manusia menjadi
basis pertahanan melawan excess power.13 Jadi gagasan dasar hak asasi
manusia memiliki muatan inti: pertama, dimiliki semata karena dirinya
manusia; kedua, hak ini dimiliki oleh manusia untuk hidup bermartabat.
Ada pula ahli yang membangun argumen dan menyatakan bahwa hak
asasi manusia ada untuk melindungi manusia agar dapat melakukan
tindakan moral.14 Dalam hal ini gagasan hak asasi manusia adalah untuk
melindungi human agency di mana manusia kemudian setidaknya
memiliki “kebebasan” dan derajat tertentu atas kesejahteraan dirinya (well
being) sehingga mampu dan otonom untuk menentukan tindakannya.15
13. Slavoj Zizek, Against Human Rights, New Left Review 34, July-August 2005
14. Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach, Polity, Cambridge, hal. 75
15. Ammy Guttman ”Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politics and Idolatry, Princeton University Press,
Princeton and Oxford, 2001, hal. vii-xxviii. Lihat juga ibid
16. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 4
17. Jack Donnelly, op.cit catatan kaki 11, hal. 34-35
18. UUD 1945 Pasal 4 ayat (1).
87
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
19. Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel,
Publishers, 2005, hal , XX-XXI
20. Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers 2003, hal. 48-51. Lihat juga
E/C.12/1999/5, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 12: tentang Hak atas Pangan yang
Layak, paragraf 15
21. Manfred Nowak, op.cit catatan kaki 20, hal. 50
22. Ibid, hal. 49 lihat juga Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, op.cit catatan kaki 23
23. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 4
24. Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13
88
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
89
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
30. Lihat Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966
31. Human Rights, Fundamentalism, Power and Prejudice, wawancara Cassandra Balchin, Inclusive democracy dengan Vijay
Na g a r a j , t h e E x e c u t i v e D i r e c t o r o f t h e I n t e r n a t i o n a l C o u n c i l o n H u m a n R i g h t s Po l i c y ,
http://www.opendemocracy.net/5050/vijay-nagaraj/human-rights-fundamentalism-power-and-prejudice, diakses pada
13 Desember 2011
32. Ibid
33. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politris and Idolatry, Princeton
University Press, Princeton and Oxford, 2001, hal.154-157
90
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
91
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
38. Ibid
39. Ibid
40. International Center for Human Rights and Democratic Development, Fundamentalisms and Human Rights , Report of the
Meeting (Summary Version), Montreal 12-14 May 2005, hal 29
92
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
40. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, op. cit catatan kaki 33, hal.154-157
41. International Center for Human Rights and Democratic Development , op. cit catatan kaki 40, hal 28-29usan
42. George, ”Globalizing Rights” dalam Globalizing Rights, the Oxford Amnesty Lecturers 1999, Matthew J. Gibney (ed),
Oxford University Press, New York, 2003, hal. 30-32
93
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
44. Steven Lukes, ”Five Fables about Human Rights” dalam Stephen Shute and Susan Hurley, On Human Rights, the Oxford
Amnesty Lectures 1993, BasicBooks, New York, hal. 31-33
45. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-202
46. Steven Lukes, op. cit. (catatan kaki 44), hal. 31-33
47. Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education Limited, 2002, hal.3-4
48. Ibid, hal. 13
49. Susan George, op.cit (catatan kaki 43), hal. 27-28
50. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-202
94
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
51. L ihat Cor porate Sustainabilit y in the World Economy, the United Nations Global Comnpact,
http://www.unglobalcompact.org/docs/news_events/8.1/GC_brochure_FINAL.pdf, diakses pada 23 Januari 2012
52. The UN "Protect, Respect and Remedy" Framework for Business and Human Rights, http://198.170.85.29/Ruggie-protect-
respect-remedy-framework.pdf, diakses pada 23 Januari 2012
95
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
asasi manusia dan akses yang lebih besar bagi para korban hak asasi
manusia pada pemulihan efektif baik yang bersifat yudisial maupun non
yudisial.53
Inisiatif ini tak sepenuhnya berhasil membendung pasar untuk
menggerogoti negara. Kritik yang paling tajam terhadap upaya terutama
yang dibuat oleh PBB adalah semua upaya itu disandarkan pada ”kerelaan”
pasar, bukan sebuah kewajiban hukum. Padahal pasar bisa dimanfaatkan
untuk tujuan kebaikan publik hanya jika pasar ”dipaksa” oleh negara
dengan pembebanan hukum. Negara yang mengendalikan, bukan pasar.
Dibutuhkan adanya hukum keras (hard law) di tingkat global, bukan
hukum lunak (soft law).54
Negara harus dapat mengontrol dan memiliki kuasa atas pasar dan
justru yang diharapkan adalah negara dapat memanfaatkannya bagi
kebaikan publik. Di sini letak titik tantangan kedua: pemanfaatan pasar
untuk kebaikan publik menuntut adanya pemerintahan yang demokratis.
Seluruh konstruksi pemanfaatan pasar hanya bisa terjadi dalam
pemerintahan yang demokratis. Dengan demikian, pemerintah tidak
menjadi agen pasar, namun agen bagi rakyatnya sendiri. Dalam etos
demokratis yang sebenar-benarnya, tanggung jawab pemerintah adalah
untuk menjadikan pasar tunduk pada kesejahteraan masyarakat.
Demokrasi yang senyatanya menjadi elemen penting yang sangat sentral
yang menjadi syarat untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam jangka
panjang dan berkesinambungan. Inilah yang menjadi tantangan
Indonesia.
Kualitas demokrasi Indonesia belum menjamin pemerintah
menjadi agen rakyatnya. Para aktor prodemokrasi juga belum dapat secara
maksimal dapat masuk dalam pembuatan kebijakan dan memastikan
bahwa semua kebijakan pemerintah haruslah kebijakan berbasis hak asasi
manusia (rights based policy). Dengan demikian, kita belum bisa
mengembalikan negara pada alasan adanya (the sole raison d'être) negara.
Seturut dengan itu, pasar harusnya dipaksa untuk dibebani akuntabilitas
53. Ibid
54. Álvaro J. de Regil, ”Introduction” dalam Upholding the Market's Social Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's
Report: ”Protect, Respect and Remedy: a Framework for Business and Human Rights, Human Rights and Sustainable Human
Development October 2008
96
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Penutup
Hak asasi manusia dapat menjadi solusi baik bagi fundamentalisme pasar
atau pun agama. Pada fundamentalisme agama, hak asasi manusia dapat
menjadi solusi, namun dengan catatan untuk sepenuh-penuhnya
melakukan refleksi yang sangat mendalam. Masalahnya haruslah
didudukkan pada masalah yang melampaui hukum. Bagaimana hak asasi
manusia ditempatkan pada keseharian manusia dan lokalitasnya. Inilah
yang menjadi pekerjaan rumah dan tantangan bagi seluruh pegiat hak asasi
manusia.
Sementara itu pada pasar, pesannya demikian benderang, bahwa
aktor hak asasi manusia harus menegaskan kembali ”kuasa negara” atas
kepentingan publik dan tidak memberikannya pada tangan tak kelihatan
pasar. Semua upaya untuk memasukkan pasar pada tanggung jawab atas
hak asasi manusia tidak dalam upaya untuk menggantikan negara. Upaya
itu harus dilakukan dengan membentuk instrumen pemaksa dan tidak
membiarkannya menjadi kerelaan pasar. Dengan demikian, pasar dapat
dimanfaatkan bagi kebaikan publik di bawah kuasa negara. Namun, upaya
ini mensyaratkan adanya sebuah pemerintahan demokratis yang
menjamin pemerintah tetap sebagai agen bagi rakyatnya dan bukan agen
pasar.
55. Ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, DEMOS tentang kondisi perwujudan
hak ekonomi, sosial dan budaya di enam daerah (Musi Banyuasin, Sanggau, Purbalingga, Jakara, Mimika dan Manado).
Laporan penelitian ini belum diterbitkan.
56. Álvaro J. de Regil, op. cit, catatan kaki 54
97
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Artikel
Álvaro J. de Regil, “Introduction” dalam Upholding the Market's Social
Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's Report:
“Protect, Respect and Remedy:a Framework for Business and
Human Rights, Human Rights and Sustainable Human
Development, October 2008
Ammy Guttman “Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights
as Politics and Idolatry, Princeton University Press, Princeton
and Oxford, 2001
B. Herry Priyono, “Mendidik Ulang Kewargaan”, Kompas, 23 Mei 2011
David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam
David Beetham (ed.), Politics and Human Rights, Blackwell
Publishers, 1995
Dianne F. Orentlicher, “Relativism and Religion”, dalam Michael
Ignatieff, Human rights as Politris and Idolatry, Princeton
University Press, Princeton and Oxford, 2001
Freeman, “Is Political Science of Human Rights Possible?” dalam
Netherland Quarterly of Human Rights, Vol 19/2, hal. 123-139,
2001
Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education
Limited, 2002
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca
and London: Cornell University Press, 2003
Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR
Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, 2005
Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime , Martinus
Nijhoff Publishers 2003
Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach,
Polity, Cambridge
Musdah Mulia, “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di
Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional Komnas
98
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
99
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme
100
Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan
Memperbaiki Representasi
Willy Purna Samadhi
Abstract
After passing through a decade of reformation and democratization era,
democracy in Indonesia arguably almost perfect in the procedure. However,
the democratic political processes, both to formulate and implement the
public interest, has dominated by market economic-oriented activities, that
undermined the public rights to participate and be represented. Democracy
needs to be returned to the political arena.
Pendahuluan
Pada 2007, hampir sepuluh tahun setelah reformasi dimulai, sebuah
lembaga kajian demokrasi dan HAM di Jakarta, Demos, melakukan survei
mengenai situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia. Kesimpulan
terpenting dari survei itu adalah bahwa demokrasi Indonesia berdiri di atas
1. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967), hal 240.
101
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
2. Untuk hasil lengkap survei, lihat Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009).
3. Harriss, Stokke, Törnquist, ”The New Local Politics of Democratisation”, dalam Harriss, Stokke, Törnquist (eds.), Politicising
Democracy: The New Local Politics of Democratisation (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal 2.
102
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
4. Demos melakukan survei atas situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia pada 2003/2004 dan 2007. Untuk hasil dari kedua
survei itu, lihat Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.), Making Democracy Meaningful: Problems and
Options in Indonesia ( Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD Press, 2007) dan Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw
(eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009).
5. Hadiz, Vedi R and Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (London:
Routledge Curzon, 2004).
103
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan
(3) bagaimana kontrol publik dijalankan?.
Ketiga pertanyaan di atas sangat erat kaitannya dengan persoalan
representasi dan partisipasi. Representasi berkaitan dengan jaminan atas
hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-
kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas
hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-
proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol
atas kebijakan-kebijakan publik. Institusi representasi dan partisipasi yang
demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara.
Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas
serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang
substansial.
Partisipasi dan representasi merupakan dua konsep penting yang
senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu,
masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda.
Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan
representasi lebih dekat dengan gagasan liberalisme.6 Partisipasi
merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol
semua urusan publik, sedangkan representasi berkaitan dengan
pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu.
Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung
(direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun
representasi kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas
partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili,
dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan
akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan
produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya
kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun
perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin
6. Selengkapnya, lihat Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.), Encyclopedia of Democratic Thought (London: Routledge,
2001), khususnya entry ”participation” dan ”representation”.
104
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
105
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
7. Lihat Subono, Nur Iman dan Willy Purna Samadhi, ”Politik Dominasi dan Konsolidasi Elit-dominan” dalam Samadhi
dan Warouw, op. cit., hal 95-116.
8. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967).
106
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
9. Dikutip dari Törnquist dan Warouw, “Memahami Demokrasi: Beberapa Catatan Pendahuluan tentang Konsep dan
Metode” dalam Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009), hal 36. Keterangan
mengenai buku-buku yang dirujuk Törnquist dan Warouw ada di dalam tulisan mereka.
10. Ibid., hal 36-43. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat Tornquist, ”The Problem Is Representation! Towards an Analytical
Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), op. cit.: 1-23.
107
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
11. Törnquist, “The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.),
Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 1. Mengenai kasus lain yang menunjukkan
demokrasi tanpa representasi, lihat misalnya Shadlen, Kenneth C., Democratization without Representation: The politics of
small industry in Mexico (Pennsylvania State University Press, 2004).
108
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
12. Pratikno and Nanang Indra K., ”Struggle to Gain Representation: Mixed Politics in Democratising Indonesia”, dalam PCD
Journal, Vol. II No. 1, 2010, hal 124.
13. Pada 2007-2008 Demos melakukan riset berjudul Kajian tentang Aksi Sipil dan Gerakan Sosial menjadi Tindakan Politik,
atau disebut sebagai Link Project Research. Riset itu dipimpin oleh A.E. Priyono dan mendapat supervisi dari Olle
Tornquist, yang saat itu juga tengah menjalankan riset dengan tema serupa. Dokumen hasil lengkap Link Project Research
itu tidak dibukukan namun dikemas dalam bentuk monograf penelitian, lihat Priyono, A.E. dkk, Re-Politisasi Gerakan
Sipil Menuju Demokratisasi Substansial ( Jakarta: Demos, 2009).
109
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
110
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Kesimpulan
Representasi merupakan bagian intrinsik demokrasi yang membuat sistem
demokrasi dapat dipercaya sebagai satu-satunya cara untuk menjamin
keterwakilan publik. Tetapi di banyak kasus, termasuk di Indonesia hingga
kini, pelaksanaan sistem demokrasi justru kehilangan ”jiwa” representatif-
nya. Dengan pengutamaan pada aspek-aspek prosedural, demokrasi
menjadi sebuah mekanisme statis mengenai bagaimana orang-orang
dipilih untuk menentukan kebijakan publik dan menjalankan
pemerintahan. Proseduralisme itu sangat rentan terhadap manipulasi dan
pembajakan demokrasi. Kekuatan modal (ekonomi) akan dengan mudah
memenuhi, dan kemudian menguasai, aturan permainan demokrasi. Suara
dan kepentingan publik terabaikan begitu saja. Akses partisipasi pun
tertutup karena kekuatan-kekuatan modal mendominasi proses-proses
politik demokrasi.
Akhirnya, pada tataran tertentu, kita bisa saja mempertentangkan
representasi di satu sisi dan partisipasi di sisi lain. Dengan representasi yang
baik, keterbatasan partisipasi popular boleh jadi tidak terlalu menjadi
masalah. Sebaliknya, ketika akses bagi partisipasi popular terbuka lebar
dan merata bagi setiap warga negara, masalah-masalah yang berkaitan
18. Chandhoke, Neera, ”What Is the Relation Between Particapation and Representation?”, dalam Törnquist, Webster, Stokke
(eds.), Op. cit.: 37.
111
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi
112
TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
Teuku Kemal Fasya
115
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme
termasuk urutan ke-61 negara yang paling tidak stabil. Memang urutan ini
masih lebih baik dibandingkan Somalia, Sudan, Zimbabwe, Chad, dan
Irak yang menempati negara paling gagal di dunia. Namun hal itu semakin
memberikan pertanyaan besar tentang kualitas demokrasi di Indonesia
yang belum mampu menjawab masalah kesejahteraan, kenyamanan, dan
kualitas kebebasan sipil dan beragama.
Kasus Cikeusik, Temanggung, GKI Taman Yasmin, dan
HKBP–untuk menyebut beberapa kasus yang merebak di sepanjang
tahun 2011—menunjukkan ada masalah akut terkait relasi umat
beragama di Indonesia, yang kualitasnya tidak semakin membaik di era
reformasi ini. Mengerasnya konflik antar-umat beragama dan internal
agama, atau antara kelompok mayoritas dan minoritas ini menunjukkan
posisi agama masih sebagai sumber pertikaian, yang ujungnya adalah
humiliasi, dehumanisasi dan degradasi agama sebagai sumber perdamaian
dan kebaikan.
Kasus GKI Taman Yasmin misalnya, yang telah menarik
perhatian dunia dan media massa, baik dalam dan luar negeri, telah
mengindikasikan pelanggaran HAM serius. Ironi ini memperlihatkan
bagaimana sebuah komunitas agama yang diakui negara harus tersingkir
dan menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Hukum (Putusan Kasasi
Mahkamah Agung) harus kalah oleh perilaku arogan aparatur negara
dalam hal ini Walikota Bogor, dan premanisme warga dengan klaim
mayoritas. Eksistensi negara rompang di tangan aparat negara, karena
hukum tidak manjur mendistribusikan keadilan bagi semua. Prinsip
HAM, majority rule, minority rights tidak mempraksis. Hukum dan
ketentuan perundangan-undangan memang selalu berhasil dibuat oleh
kelompok mayoritas, sebagai konsekuensi demokrasi prosedural, namun
hukum harus sensitif mengakomodasi hak-hak minoritas dan tidak
menyepelekan eksistensi mereka.
Dua buku yang dibahas dalam tulisan ini, Pluralisme, Dialog, dan
Keadilan : Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik Indonesia dan
Kontroversi Gereja di Jakarta menjadi nila dalam susu belanga negara ini
yang berhasil meraih gelar champion of democracy di Warsawa, Polandia,
116
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
tahun lalu. Kedua buku ini menunjukkan dengan jelas desau dan galau
praktik keberagamaan Indonesia yang masih jauh dari ideal. Mengapa hal
ini terjadi?
Pertama agama telah jatuh dalam helai-helai ayat denotatif yang
hanya meruyak perbedaan-perbedaan sosiologis umat. Kitab suci
diposisikan sebagai kumpulan leksikal yang mempermanenkan
'perbedaan menjadi permusuhan' tanpa mau peduli dengan realitas
keumatan yang semakin kompleks. Agama gagal menggali lebih dalam
aspek esetorik yang dimilikinya dan menjadikannya ”puisi” yang bisa
meruntuhkan perbedaan instrumental di antara agama-agama.
Normativitas itu telah membunuh renyut sejarah agama yang memiliki
tujuan utama pada pencerdasan, kedamaian, perbaikan moralitas, dan
kasih-sayang, di samping fungsi teologis dan transedentalnya.
Kedua, dalam konteks keindonesiaan, negara tidak hadir – seperti
diungkap dalam tulisan Stanley Adi Prasetyo – dengan perangkat legal
yang dimilikinya untuk menjunjung tinggi HAM yang telah diakui negara
ini sebagai salah satu fondasi kenegaraannya. Akibat sikap absen negara
itu, pada tahun 2010 saja ada 216 pelanggaran kebebasan beragama yang
terjadi dan menyebar di 20 provinsi. Dengan pekatnya pemberitaan
pelanggaran kebebasan beragama tahun ini, bisa jadi angkanya jauh
melesat.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan menjadi salah
satu produk undang-undang yang menjadi prioritas di masa awal
reformasi, menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.
Bahkan pada tahun 2005, efek dari lahirnya kesepakatan Helsinki antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah
diwajibkan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights/ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights/ICCPR). Kedua kovenan itu telah menjadi UU No. 11 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Ekosob dan UU No. 12 tahun 2005 tentang
117
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme
118
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
119
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme
120
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
121
Pelajaran dari Pembantaian My Lai
Yosep Adi Prasetyo
Dari sisi hak asasi manusia (HAM), film ini adalah sebuah dokumentasi
penting mengenai kejahatan yang terjadi saat Perang Vietnam, akhir
dekade 1960an. Film ini diangkat dari sebuah fakta yang awalnya coba
ditutup-tutupi oleh Pemerintah Amerika Serikat. Namun berkat berbagai
liputan dan protes, akhirnya digelar upaya pengadilan militer untuk
mengadili mereka yang dianggap bertanggung jawab.
Film yang diangkat berdasar tulisan wartawan Amerika pemenang
Pulitzer pada 1970, Seymour Hersh, ini sesungguhnya sebuah film Italia.
Sutradaranya, Giani Paolucci, berkewarganegaraan negeri Menara Pisa itu.
Demikian sejumlah pemeran utamanya. Mungkin tak ada orang Amerika
yang tertarik untuk menfilmkan kisah horor ini.
Massacre at My Lai dibuat melalui persiapan panjang, studi yang
mendalam, termasuk pemilihan lokasi dan kostum para pemainnya.
Sutradara terlihat berupaya keras menghidupkan kembali medan perang
Vietnam dan gaya orang, terutama para tentara Amerika pada saat itu. Ini
tampak dari latar pengambilan gambar, sungai, sawah, gubuk dan kerbau,
keadaan alam terutama hutan hujan tropisnya, dibuat mirip seperti
123
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai
Terjadinya Pembantaian
Empat puluh tiga tahun lalu, tepatnya pada 16 Maret 1968, sejumlah
pasukan tentara Amerika Serikat memasuki kawasan Desa My Lai. Mereka
merupakan bagian pasukan yang sedang melakukan operasi pembersihan
besar-besaran terhadap para gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan
Rakyat dan kader-kader lainnya dari Front Nasional untuk Pembebasan
Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC" oleh pasukan
AS.
124
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
125
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai
1. Kompi C ini disebut sebagai Charlie Company tiba di Vietnam pada Desember 1967. Selama bulan-bulan pertama mereka di
Vietnam, Kompi C belum pernah melakukan kontak senjata secara langsung dengan musuh.
2. Calley lahir di Miami, Florida, dan gagal Dari Palm Beach Junior College sebelum mendaftar di Angkatan Darat. Ia menjadi
letnan dua pada September 1967, tak lama setelah pergi ke Vietnam. Calley seorang perokok berat yang menghabiskan empat
bungkus rokok setiap hari. Tubuhnya tergolong jangkung dan ramping dengan mata abu-abu tanpa ekspresi. Teman-
temannya menggambarkan Calley sebagai orang "koboi” di angkatan darat.
126
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Terbongkarnya Kejahatan
Terbongkarnya insiden My Lai ini berawal mula dari penelitian yang
dilakukan oleh Komandan Brigade Infantri Ringan ke-11, Kolonel Oran
3. Data ini banyak diungkap media di Amerika Serikat sepanjang 1969-1970. Liputan yang menonjol adalah liputan yang
diturunkan oleh majalah Time, majalah Newsweek, majalah Life, dan majalah The New Yorker. Lihat juga Seymor M.
Hersh, Cover-up: the Army's Secret Investigation of the Massacre at My Lai, Random House, 1972. Pada mulanya potongan
cerita tentang pembantaian My Lai ditulis Hersh dan dimuat di St Louis Post-Dispatch pada tanggal 13, 20 dan 25
November 1969. Hersh sendiri memenangkan Penghargaan Pulitzer pada tahun 1970. Seymour Hersh, setelah percakapan
mendalam dengan Ridenhour, membuka cerita My Lai pada 12 November 1969, dan pada 20 November majalah Time, Life
dan Newsweek semuanya meliput kisahnya, dan CBS menyiarkan di televisi wawancara dengan Paul Meadlo. The Plain
Dealer (Cleveland) menerbitkan foto-foto yang sangat jelas tentang penduduk desa yang mati terbunuh di My Lai.
Sebagaimana terbukti dari komentar-komentar yang dibuat pada percakapan telepon 1969 antara Penasihat Keamanan
Nasional AS Henry Kissinger dan Menteri Pertahanan Melvin Laird, yang baru-baru ini diungkapkan oleh Arsip Keamanan
Nasional (NSA), foto-foto tentang kejahatan perang itu terlalu mengejutkan para perwira senior hingga mereka tidak bisa
dengan efektif menutup-nutupinya. Menteri Pertahanan Laird terdengar mengatakan, "Ada terlalu banyak mayat anak-anak
yang berserakan di sana; foto-foto ini memang otentik.”
4. Sang pilot yang mengancam akan membuka peristiwa pembantaian dengan cara memberikan kesaksian akhirnya tewas
terbunuh setelah sebelumnya pesawat helikopter yang dikendarainya ditembaki. Seymor M. Hersh menyatakan bahwa si
pilot sengaja dibunuh dengan cara ditembaki dari bawah oleh pasukan AS sendiri untuk menghilangkan jejak pembantaian
My Lai. Salah satu orang yang berjasa ikut mengungkapkan kekejian My Lai adalah anak buah Callay yang juga anggota
Kompi C, yaitu jurufoto Ronald L. Haeberle.
127
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai
5. Di kemudian hari Collin Powel menjadi tokoh militer AS terkemuka dan kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri
AS. Pada 4 Mei 2004, Powell, yang saat itu merupakan Menteri Luar Negeri AS, berkata kepada Larry King,dalam sebuah
wawancara di TV CNN , "Maksud saya, saya berada dalam kesatuan yang bertanggung jawab atas My Lai. Saya tiba di sana
setelah My Lai terjadi. Jadi, dalam peperangan, hal-hal yang mengerikan seperti ini sesekali terjadi, namun semuanya itu harus
disesali."
128
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Mahkamah Militer
Letnan William Calley akhirnya dihadapkan ke mahkamah militer dan
didakwa melakukan sejumlah pembunuhan terencana, September 1969.
Menyusul setelah itu sebanyak 25 perwira lain ikut didakwa dengan
kejahatan terkait. Namun, baru dua bulan kemudian publik Amerika
mengetahui tentang pembantaian dan peradilan itu.
Pada 17 Maret 1970, Angkatan Darat Amerika Serikat mendakwa
14 perwiranya yang dianggap telah menyembunyikan informasi berkaitan
dengan insiden My Lai. Kebanyakan dari dakwaan ini kemudian
dibatalkan. Letnan William Calley kemudian dinyatakan bersalah pada
1971. Dia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan terencana dengan
memerintahkan penembakan kepada anak buahnya. Calley mulanya
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dua hari kemudian Presiden
Richard Nixon memerintahkan supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara
untuk menjalani tahanan rumah selama 3,5 tahun di markasnya di Fort
Benning, Georgia. Seorang hakim federal kemudian memerintahkannya
bebas.
Calley mengklaim bahwa dia cuma mengikuti perintah dari
kaptennya, Ernest Medina. Namun Medina menyangkal bahwa ia telah
memberikan perintah itu. Medina sendiri dibebaskan dalam peradilan
yang terpisah. Kebanyakan dari para perwira yang terlibat dalam Insiden
My Lai ini tidak mendaftar lagi sebagai anggota militer. Dari 26 orang yang
mula-mula dikenai dakwaan, Letnan Calley adalah satu-satunya yang
dinyatakan terbukti bersalah.
Berita tentang pengadilan yang mengungkap kekejian di My Lai
ini menimbulkan kecaman luas terhadap kebijakan AS dalam Perang
Vietnam. Hal ini juga yang membangkitkan kemarahan gerakan
perdamaian Amerika yang saat itu tengah dikobarkan oleh kaum muda
yang menamakan diri sebagai generasi bunga (flower generation). Mereka
menuntut penarikan mundur semua pasukan AS dari Vietnam. Hal ini
juga menyebabkan lebih banyak calon wajib militer yang mendaftarkan
diri sebagai penentang perang Vietnam berdasarkan nurani. Mereka yang
telah selamanya menentang perang merasa menang.
129
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai
130
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Bagan 1
Persinggungan Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum HAM
131
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai
132
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011
Daftar Pustaka
Anderson, David L. (1998) Facing My Lai: Moving Beyond the Massacre
University Press of Kansas: Lawrence, Kansas — wawancara
mendalam dengan mereka yang ikut diadili dan para anggota
militer.
Belknap, Michal R. (2002) The Vietnam War on Trial: The My Lai
Massacre and the Court-Martial of Lieutenant Calley. University
Press of Kansas.
Bilton, Michael and Sim, Kevin. (1992) Four Hours in My Lai New York:
Viking, 1992.
Chomsky, Noam. After Pinkville, Bertrand Russell War Crimes Tribunal
on Vietnam, 1971
Colburn, Lawrence and Paula Brock. —, Seattle Times, 10 Maret 2002
Department of the Army. Report of the Department of the Army Review
of the Preliminary Investigations into the My Lai Incident (The
Peers Report), Volumes I-III (1970).
Gershen, Martin. (1971) Destroy or Die: The True Story of My Lai New
York: Arlington House.
Goldstein, Joseph. (1976) The My Lai Massacre and its Cover-Up New
York: Free Press.
Hammer, Richard. (1971) The Court-Martial of Lt. Calley New York:
Coward.
Hersh, Seymour M. (1972). Cover-up: the Army's secret investigation of
the massacre at My Lai 4. Random House
Hersh, Seymour M. (1970). My Lai 4: A Report on the Massacre and Its
Aftermath. Random House.
Olson, James S. and Roberts, Randy (eds.) (1998) My Lai: A Brief History
with Documents, Palgrave MacMillan.
Peers, William. (1979) The My Lai Inquiry New York: Norton.
Sack, John. (1971) Lieutenant Calley: His Own Story New York: Viking.
University of Missouri-Kansas City Law School. The My Lai Courts-
Martial, 1970.
133
KONTRIBUTOR
KONTRIBUTOR
Teuku Kemal Fasya
Dosen Universitas Malikussaleh, Banda Aceh, dan sering menjadi
fasilitator kegiatan-kegiatan sosial bertema pluralisme agama, demokrasi,
dan resolusi konflik. Kemal juga sering menulis kolom di berbagai media
dengan tema-tema tersebut.
Yudi Latif
Intelektual muda Islam, saat ini menjabat Direktur Eksekutif Reform
Institute. Yudi juga menduduki jabatan Kepala Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia).
Ade Armando
Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia. Penulis memperoleh gelar Doktor untuk
Ilmu Komunikasi pada 2006, pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran
Indonesia (2004-2007), dan kini menjadi pengurus Yayasan Wakaf
Paramadina sekaligus Pemimpin Redaksi Madina online.
137
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, dan aktif sebagai Majelis Pakar
di Sajogyo Institute.
Roichatul Aswidah
Menjabat sebagai deputi riset Demos, lembaga kajian demokrasi dan hak
asasi. Roi lama bekerja sebagai peneliti di Komnas HAM. Saat ini juga
sebagai Sekretaris Badan Pengurus Perkumpulan ELSAM.
Mujiburrahman
Dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin.
Mujib kerap terlibat dalam kegiatan terkait pluralisme dan keislaman.
Laksmi Savitri
Memperoleh gelar PhD dari Kassel University, Germany, dalam bidang
Kajian Gender dan Agraria. Saat ini Savitri menjabat Direktur Sajogyo
Institute.
138
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman
sebagai berikut:
l Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang
sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar
tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma
kalangan hukum saja.
l Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang
memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum
mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup,
yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Kata-kata seperti
retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga
kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum
perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami.
l Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by
ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran.
Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa
Indonesia, tak masalah.
l Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam
penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah.
Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus
fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan.
l Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar
20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik
TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra,
pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter.
l Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau footnote,
bukan catatan akhir atau endnote dan catatan perut.
- Contoh catatan kaki untuk sumber buku:
Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama,
( Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143.
- Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau
kumpulan tulisan:
- Moh. Mahfud MD, “Komisi Yudisial dalam Mozaik
139
Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi
Yudisial dan Reformasi Peradilan, ( Jakarta: Komisi Yudisial,
2007), hal 7.
Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh:
l
- Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara
Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan
l
pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah,
judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal,
Majalah Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung
atas kasus gugatan Suharto.
Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [“….”]. Seperti contoh:
l
Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul
“Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi
institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan.
140
PROFIL ELSAM
(LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT)
VISI
Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.
MISI
Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang
memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak
ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.
KEGIATAN UTAMA:
1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;
2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;
3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan
4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia
PROGRAM KERJA:
1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka
Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan.
2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar,
Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai
Bentuknya.
3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan
Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas dan
Akuntabilitas Lembaga.
141
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM
Badan Pengurus:
Ketua: Sandra Moniaga, SH
Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH
Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA
Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA
Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM
Anggota Perkumpulan:
Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir.
Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA;
Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini
Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd;
Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo
Pelaksana Harian:
Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM
Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi
Hukum: Wahyu Wagiman SH.
Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi
Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH
Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE
Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional:
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS
Staf Keuangan:
Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE
Kasir:
Maria Ririhena, SE
Sekretaris:
Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS
Kepala bagian umum:
Khumaedy
Staf bagian rumah tangga:
Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim
Staf bagian transportasi:
Ahmad Muzani
Staf bagian keamanan:
Elly F. Pangemanan
Alamat:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA
Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519
Email: office@elsam.or.id; Website: www.elsam.or.id
142
FOKUS
Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan Agenda Studi
Gerakan Agraria
oleh Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri
DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme
oleh Yudi Latif
Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan Memperbaiki Representasi
oleh Willy Purna Samadhi
TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
oleh Teuku Kemal Fasya
Alamat Redaksi:
ELSAM - Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta 12510 INDONESIA
Tel: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564
Fax: (+62 21) 7919 2519
Email: office@elsam.or.id
Website: www.elsam.or.id