Anda di halaman 1dari 145

Volume VII No.

2 Tahun 2011
ISSN 1693-3559

HAK ASASI MANUSIA


dan Fundamentalisme
dignitas
Volume VII No. 2 Tahun 2011
ISSN 1693-3559

Jurnal Hak Asasi Manusia

Jurnal Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun,


setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai
hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang
hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang
hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan
hubungan internasional.

Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi


pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal
Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada.

Misi Jurnal Dignitas adalah menyebarkan gagasan dan pemikiran


yang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik,
tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yang
berkaitan dengan hak asasi manusia.

Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli,
Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;
Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf
Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman,
Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519
Email: office@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id
dignitas
Volume VII No. 2 Tahun 2011
ISSN 1693-3559

Jurnal Hak Asasi Manusia

DAFTAR ISI

EDITORIAL ______ 3

FOKUS ______ 7
Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan
Agenda Studi Gerakan Agraria
oleh Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri ______ 9

Akar -akar Konflik Intra Umat Islam Indonesia


oleh Mujiburrahman ______ 25

Ketika Korban Menjadi ‘Setan’:


Kasus Pengadilan Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik
oleh Ade Armando ______ 47

DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme
oleh Yudi Latif ______ 63

Hak Asasi Manusia Solusi Menghadang Fundamentalisme


oleh Roichatul Aswidah ______ 83

Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan Memperbaiki Representasi
oleh Willy Purna Samadhi ______ 101

TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
oleh Teuku Kemal Fasya ______ 115

Pelajaran dari Pembantaian My Lai


oleh Yosep Adi Prasetyo ______ 123

KONTRIBUTOR ______ 137

PEDOMAN PENULISAN ______ 139

PROFIL ELSAM ______ 141


EDITORIAL

Sidang Pembaca,

Jurnal dignitas kembali menyapa Anda, kali ini menyuguhkan tema


utama seputar ”Hak Asasi Manusia dan Fundamentalisme”. Pilihan tema
ini berdasar atas refleksi sekaligus kegelisahan atas situasi sosial-politik
yang berkembangan saat ini. Kami yakin yang mengalami kegalauan
terhadap situasi sekarang sangat banyak. Bila diamati, mereka yang
mengungkapkan ekspresi secara verbal melalui aksi-aksi protes maupun
demonstrasi di jalanan hanya segelintir orang yang sesungguhnya mewakili
perasaan jutaan rakyat lainnya. Mereka bertindak sebagai representasi
substantif dari suara-suara yang tidak didengarkan (voicing of the voiceless).
Kegalauan atas nasib perjalanan bangsa ini muncul tatkala kita
terjebak dalam pesona kemajuan demokrasi proseduralisme yang secara
sistematis menutupi fakta pilu yang sedang terjadi. Betul bahwasanya kita
memiliki kemajuan sangat pesat dalam pengundangan aturan yang
melindungi hak asasi manusia. Sejak lebih dari satu dekade silam
Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi hingga dua kovenan
utama perlindungan hak asasi manusia yang diakui secara global: Kovenan
Hak Sipil Politik dan Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Pengadopsian (dan reservasi di dalamnya) terhadap norma-norma hukum
internasional tersebut sering digadang-gadang sebagai capaian paling
mutakir dari rezim pemerintahan paska Orde Baru Soeharto.
Di satu sisi kita memang patut berbangga. Ada sisi positif dalam
hal jaminan legislasi instrumen hak asasi manusia seperti diuraikan di atas,
sekaligus sejumlah pembentukan lembaga-lembaga khusus bidang hak
asasi manusia. Namun bagaimana realitas kepolitikan dan hak asasi
manusia sekarang? Menjawab pertanyaan ini niscaya kita akan dapati
kembali wajah bangsa yang bermuka kecut, muram, suram, dan seolah
kehilangan orientasi.
Harapan akan adanya transitional justice versi korban, dimana ada

3
pengadilan yang independen terhadap kasus-kasus masa lalu, adanya
kepemimpinan politik yang berpihak kepada korban, adanya vonis berat
bagi para penjahat perang, penjahat pelanggaran hak asasi, tampaknya
terbentur tembok rezim yang bermuka pura-pura demokratis. Semua
upaya pengungkapan penyelesaian kejahatan masa lalu dikanalisasi dalam
sejumlah aneka rupa kebijakan yang dikemas dalam bungkus
proseduralisme berlagak demokratis. Tengok saja bagaimana sejumlah
upaya penyelesaian kasus masa lalu yang diajukan oleh Komnas HAM
terbentur pada kuatnya institusi penegak hukum yang sesungguhnya harus
bertindak mengatasnamakan korban.
Belum selesai mengatasi persoalan masa lalu, sekarang bangsa ini
kemudian dikangkangi oleh menguatnya bentuk-bentuk tantangan
lainnya. Mengutip Herry B. Priyono, paska lepas dari perangkap
fundamentalisme politik atau rezim otoriter, saat ini Indonesia
menghadapi dua fundamentalisme lainnya yang tak kalah berbahaya:
fundamentalisme pasar dan agama. Gejala ini sangat faktual dan aktual.
Fundamentalisme sangat bertentangan dengan hak asasi manusia dari
sejak gagasan hingga ujungnya dalam bentuk kebijakan atau aksi.
Guna mengamati menguatnya fundamentalisme pasar, kita bisa
melihat betapa sistematis dan kuatnya penetrasi pasar terhadap negara atas
sektor-sektor publik. Liberalisasi maupun privatisasi yang kesemuanya
mengarah pada proses penghambaan terhadap kapitalisme menjadi kata
kunci yang sangat mujarab. Dengan demikian kekuatan pasar tentu
bertolak belakang dengan konsep hak asasi manusia terutama di ranah hak
ekonomi sosial dan budaya yang menuntut tanggung jawab lebih kepada
negara atas kesejahteraan warganya.
Kita bisa simak dalam tulisan Noer Fauzi Rachman dan Laksmi
Savitri di permulaan terbitan kali ini. Keduanya menulis betapa
sistematisnya proses kapitalisme di bidang agraria. Kapitalisme mula-mula
memanfaatkan negara supaya bertindak digdaya atas penguasaan lahan
warga yang marjinal secara politik. Lantas, seolah bisa ditebak, negara
kemudian menempatkan posisinya sebagai fasilitator para kapitalis untuk
menguasai lahan secara massif.
Sementara itu, bahaya fundamentalisme agama juga tak kalah
menakutkan. Klaim tunggal atas penafsiran agama membuat
fundamentalisme jenis ini sangat menakutkan, rentan mengandung

4
konflik komunal, bahkan persekusi terhadap penganut keyakinan
minoritas. Pada akhirnya tidak ada lagi rasa aman dan kebebasan dalam
menjalankan keyakinan yang sangat asasi. Tulisan Mujiburrahman,
pengajar pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin,
menjelaskan hal itu. Mujib secara orisinal memetakan sumber-sumber
konflik yang sering terjadi di kalangan intra-muslim. Sedang, tulisan Ade
Armando, dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)
Universitas Indonesia, menganalisis bagaimana framing hakim telah
membingkai persepsi atas korban pembantaian Ahmadiyah di Cikeusik,
awal tahun 2011, sebelum vonis dijatuhkan.
Dalam rubrik ”Diskursus”, Redaksi dignitas berupaya
mengidentifikasi strategi-strategi atau sejumlah gagasan penting guna
menghadang laju fundamentalisme. Ada tiga hal yang coba ditawarkan
para penulis di rubrik ini. Roichatul Aswidah, deputi riset Demos,
mencoba menawarkan hak asasi manusia. Aswidah menguraikan bahwa
gagasan hak asasi manusia sangat tepat sebagai solusi menghadang laju
fundamentalisme mengingat ia memiliki sifat otonom dan
mengedepankan kesetaraan. Sementara Willy Purna Samadhi, mahasiswa
program master demokrasi dan hak asasi manusia, memaparkan perlunya
perluasan partisipasi politik sekaligus menguatkan representasi.
Selanjutnya, intelektual muda Yudi Latif mendorong pentingnya bagi kita
untuk melakukan revitalisasi Pancasila dalam kehidupan publik kita.
Edisi ini ditutup dengan dua review film dan buku. Review film
berjudul Masacre At My Lai dikerjakan oleh Yosep Adi Prasetyo, wakil
ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Film ini bercerita mengenai
persidangan terhadap penjahat kemanusiaan Amerika Serikat dalam
Perang Vietnam , pada akhir 1960an. Review buku Pluralisme, Dialog,
dan Keadilan: Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik
Indonesia dan Kontroversi Gereja di Jakarta ditulis oleh Teuku Kemal
Fasya, dosen Universitas Malikussaleh, Banda Aceh.
Selamat membaca!

WIDIYANTO
Redaktur Pelaksana

5
FOKUS
Kapitalisme, Perampasan
Tanah Global, dan Agenda
Studi Gerakan Agraria
Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri

Abstract
Capitalism makes everything into commodities, including land and
natural resources. The creative destruction process, as argued by Schumpeter
(1944), used as the basis by David Harvey (2003, 2005) to theorized new
forms of capitalism to overcome the crisis of the surplus of funds/capital that
has accumulated. This paper explains how is the subject important for the
agrarian researchers among activists, academicians, and government
officials to understand how does capitalism work through the land grab and
exploitation of the natural resources. The development of capitalism ways,
which they were different among the regions, need to be understood as the
basis to formulate the agendas of agrarian movement studies.

Keywords: Kapitalisme, agraria, land grabbing

Pendahuluan
Pembicaraan mengenai gerakan-gerakan agraria sekarang ini cenderung
tanpa didasari oleh pemahaman tentang bagaimana cara kapitalisme
berkembang, dan berkembang secara berbeda-beda di seantero nusantara.1
Fernand Braudel, sejarawan Perancis pemimpin dari Aliran Annales
(Annales School) dalam ilmu sejarah, mengatakan: ”manakala kapitalisme

1. Sebagai upaya mengingatkan pentingnya kedudukan kapitalisme untuk memahami perubahan agraria, dan
pemahaman relasional atas kemiskinan agraris yang kronis di pedesaan, Dadang Juliantara dalam Jurnal Suara
Pembaruan Agraria No. 3 Tahun 1997, pernah menulis, ”Agraria adalah Akibat, Kapitalisme adalah Sebab!”

9
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Dia
melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi
yang tak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini, dan tidak
bisa tidak.” 2 Belajar memahami perkembangan kapitalisme ini sungguh
diperlukan, seiring dengan keperluan untuk senantiasa belajar
menghadapinya, termasuk dengan melakukan tindakan bersama
menyelamatkan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, memulihkan
alam yang dirusak, dan meningkatkan produktivitas rakyat.
Saat kita membicarakan masalah ekonomi, tidak bisa tidak, kita
niscaya membicarakan kapitalisme, dan cara bekerjanya. Pengusung
agenda pro-kapitalisme pun membicarakannya secara lugas. Margaret
Thatcher, pemimpin Partai Konservatif Inggris (1975-1990) yang
memenangi tiga kali pemilu untuk posisi perdana menteri Inggris,
bersama-sama dengan Ronald Reagan (Presiden Amerika ke-40,
memenangi dua kali pemilihan umum 1981-1989) secara terang
benderang menegaskan posisinya sebagai kampiun penganjur
”kapitalisme perusahaan-bebas ( free-enterprise capitalism)” dan
menyuarakan konsepsi there is no alternative.3 Istilah inilah – dan
singkatannya TINA – kemudian dipopulerkan kalangan gerakan sosial
sebagai ”antiglobalisasi”.
Tanpa adanya pemahaman yang memadai mengenai kapitalisme
dan cara kerjanya, mereka yang aktif dalam gerakan-gerakan agraria,
termasuk yang mengagendakan Reforma Agraria,4 akan bergerak-gerak
sedemikian rupa sehingga gerakan mereka bagaikan ”jauh panggang dari
api”. Karena begitu jauhnya ”panggangan” dari ”api” maka ”proses

2. Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th–18th Century Volume II: the Wheels of Commerce, hal 231.
3. Saya menganjurkan pembaca menelaah pembelaan dan tanggapan balik dari Margaret Thatcher atas kritik-
kritik dari kaum yang anti terhadap free-enterprise capitalism, dalam bab ”Capitalism and its Critics”, dalam
bukunya Margaret Thatcher (2002) Statecraft, Strategies for a Changing World. New York, HarperCollins
Publisher, hal. 412-466.
4. Tanpa prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agraria yang berasal dari Bahasa Spanyol
ini menjadi popular di kalangan pegiat gerakan sosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti,
dosen perguruan tinggi, para pejabat, dan pegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000, 2010).

10
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

memasak” tidak terjadi, walhasil tidak ada ”masakan yang bisa disajikan.”
Apa yang mau dituju sama sekali tidak dapat dicapai.

Pendekatan untuk Memahami Perkembangan Kapitalisme


Tidak ada yang meragukan bahwa sistem produksi kapitalis adalah yang
paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan
dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-
unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi
dan sirkulasi barang dagangan. Ketiganya mengakibatkan penggantian
pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak
kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai.
Dalam karya klasiknya Capitalism, Socialism and Democracy (1944)
bab ”Can Capitalism Survive”, Joseph A. Schumpeter menulis sebagai
berikut:
Kapitalisme, dengan demikian, hakekatnya adalah suatu bentuk
atau metode perubahan ekonomi, dan bukan hanya tidak pernah
statis tapi tidak pernah bisa statis. Dan karakter evolusioner dari
proses kapitalis bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan
ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang
berubah dan perubahan ini mengubah data dari perilaku ekonomi;
Hal ini memang penting dan perubahan-perubahan ini (perang,
revolusi dan sebagainya) sering membentuk perubahan industrial,
akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula
terutama dikarenakan peningkatan yang rada-otomatis dalam hal
ilmu dan jumlah modal, atau pada perilaku aneh dari sistem-sistem
moneter, yang kesemuanya memang benar berpengaruh. Dorongan
pokok yang menyusun dan menjaga mesin kapitalis bergerak adalah
berasal dari barang-barang konsumsi yang baru, metode-metode
produksi atau transportasi yang baru, pasar-pasar baru, bentuk-
bentuk baru dari organisasi industrial yang dibuat oleh perusahaan-
perusahaan kapitalis (Schumpeter 1976:82-83).

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi

11
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati
atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri
dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan
itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin
keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-
86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses
penghancuran yang kreatif ).
Melalui proses sirkulasi barang dagangan, kebutuhan manusia pun
pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa pun yang
diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi
cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan
kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola
oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran bagaimana cara
ekonomi pasar itu diagung-agungkan.
Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan
sejarah yang terjadi di negara-negara pascakolonial di Asia, Amerika Latin,
hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di
dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan,
dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan
kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat
memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian
mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.
Di Indonesia, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat
jelas ketika Orde Baru pimpinan Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967.
Liberalisasi pertengahan dekade 1960an ini telah merampas kedaulatan
rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial
melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya.
Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai
memagari lahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan penduduk bumiputera
dari wilayah itu. Hubungan dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari
tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan
kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-
simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi

12
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan
perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah
yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu,
akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi
oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja
dibenarkan secara hukum.
Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah
penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam
tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal
perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi
sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat bumiputera yang
harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi
tenaga kerja/buruh upahan.
Adam Smith-pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan
mengenai ”tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja
mengatur bagaimana pasar bekerja-dalam karya terkenalnya the Wealth of
Nations menyatakan bahwa ”akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu
sebelum pembagian kerja”.
Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx
mengembangkan teori ”the so-called primitive accumulation”, yang
mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata
uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu
penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).5 Ini adalah
proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada
tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang
melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian
mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk
mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga

5. Uraian menarik mengenai konsep ”original accumulation” dari Adam Smith dan ”primitive accumulation”
dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan
dalam Perelman (2000) dan De Angelis (2007).

13
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

dilahirkan oleh proses yang ini (Lihat Davis 2006).6


Penyebab perubahan agraria terbesar sekarang ini adalah korporasi
raksasa yang terus-menerus mengambil barang milik rakyat dengan
sokongan langsung dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks
melancarkan bekerjanya pasar kapitalisme di zaman globalisasi sekarang
ini,7 negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk oleh perusahaan-
perusahaan transnasional, badan-badan pembangunan internasional, dan
negara-negara kapitalis maju agar menjadi negara neoliberal.
Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by
dispossession (akumulasi dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan
accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas
melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang
dagangan.8 Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia
menekankan pentingnya ”produksi ruang, organisasi pembagian kerja

6. Michael Perelman lah yang pertama kali bertanya mengapa Marx tidak lebih lugas mengemukakan sifat keberlangsungan
akumulasi primitif. Ia menganggap bahwa cara Marx merumuskan akumulasi primitif sebagai kenyataan masa lampau
sungguh dapat dimengerti, karena ”Marx mengabdikan keterangannya mengenai akumulasi primitif sebagai kritik yang
meyakinkan terhadap kapitalisme, yakni sekali kapitalisme memegang kendali, kaum kapitalis belajar bahwa tekanan-
tekanan pasar sungguh lebih efektif dalam mengeksploitasi tenaga kerja ketimbang tindakan brutal akumulasi primitif
(Perelman 2000:30). Perelman juga yang memecahkan misteri ”primitif ” dalam ”akumulasi primitif ”. Seperti yang secara
tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya,
Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in
the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata
'previous' dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian
menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).
7. Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian
dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat
perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi
dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi
modal skala dunia. Untuk uraian mengenai pengaruh neoliberalisme ini bisa dilihat pada karya-karya Fauzi (2001); Wibowo
dan Wahono (2003), Setiawan (2003), Khudori (2004), Ya'kub (2004), dan Herry-Priyono (2006).
8. Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif ” setelah ia mengolah teori
underconsumption dari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-
teori Marxist mengenai akumulasi ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan
perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan
atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg – yang diperlakukan terhadap yang berada ”di luar dari” kapitalisme
yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus
berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif ” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah
akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para
komentator”. Harvey merujuk pada Parelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The
Commoner. Harvey memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan
cara perampasan kepemilikan), karena ia merasa ”adalah janggal untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari
”akumulasi primitif ” atau ”akumulasi awal-mula” (Harvey 2003:144). Dalam karyanya Comment in Commentaries (Harvey
2006), yang ditulisnya sebagai tanggapan atas sejumlah komentar serta kritik dari kaum Marxist lain atas New Imperialism
(Ashman dan Calinicos 2006; Brenner 2006; Brenner 2006; Castree 2006; Fine 2006; Suteliffe 2006; Wood 2006), ia
berkeras bahwa ”praktek-praktek yang bersifat kanibal dan buas yang terjadi terus di negara-negara kapitalis maju dengan
kedok privatisasi, reformasi pasar, pengetatan anggaran kesejahteraan dan neoliberalisasi lebih cocok bila ditampilkan
sebagai accumulation by disposession. Accumulation by disposession secara kualititaf dan teoritis berbeda dengan apa yang
terjadi di masa awal kapitalisme (Harvey 2006:158).

14
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula,


pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh
lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari
dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi
sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan
kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi)
membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja”
(Harvey 2003:116). Reorganisasi dan rekonstruksi geografis sebagai
akibat dari pembukaan ruang-ruang baru bagi kapitalisme ini sering
menjadi ancaman bagi keberlanjutan hidup rakyat pedesaan dengan segala
unsur kebudayaannya yang memelihara keberadaan hubungan sosial dan
nilai-nilai yang telah menancap dalam dan terikat secara sosial pada
tempat-tempat itu.
Sungguh merupakan persoalan besar ketika para kapitalis
menghadapi kenyataan bahwa uang yang telah tertumpuk sedemikian
besarnya tidak bisa disalurkan ke dalam suatu siklus perputaran uang yang
bisa melipatgandakan uang itu lagi. Intinya, uang akan mencari tempat
penyalurannya. Ini sudah menjadi sebuah keniscayaan.
Pada konteks ini kita dapat mengerti bahwa keuntungan uang yang
berlipat ganda diciptakan melalui produksi dan penjualan barang dalam
ruang dan waktu tertentu, melainkan uang yang telah terakumulasi itu
sanggup menciptakan dan membentuk ruang-ruang baru. Dalam
karyanya The New Imperialism, Harvey menampilkan beragam contoh
kontemporer dari apa yang disebutnya sebagai 'The cutting edge of
accumulation by dispossession': Aset-aset yang dipegang oleh negara atau
dikelola secara bersama oleh penduduk dilepaskan melalui pelepasan hak
secara paksa atau sukarela ke pasar, ketika modal-modal yang berkelebihan
itu sanggup berinvestasi, memperbaharui dan berspekulasi dengan
menggunakan aset-aset tersebut. Menurutnya, ”apa yang dilakukan
melalui accumulation by disposession sesungguhnya adalah melepaskan
serangkaian aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah
(dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah
terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian

15
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam suatu usaha baru


pelipatgandaan keuntungan” (Harvey 2003: 149). Secara khusus di zaman
neoliberal sekarang ini bentuk-bentuk baru accumulation by dispossession
berlangsung melalui proses privatisasi badan-badan usaha milik negara
dan publik, komodifikasi tanah dan sumber daya alam lain, finansialisasi
yang dilakukan berbagai macam badan keuangan internasional dan
nasional, kebijakan mengatasi krisis-krisis finansial, ekonomi, politik,
sosial, bahkan bencana alam, hingga bentuk-bentuk privatisasi asset milik
negara (Harvey 2005: 157-158).
9
Global land grabbing
Pemahaman cara kerja kapital seperti dijelaskan Harvey (2003, 2005),
yang menekankan pada produksi dan pembentukan ruang untuk dan
melalui perkembangan usaha kapitalisme, memudahkan para penstudi
agraria dalam mencermati gejala perampasan tanah global (global land
grab) dengan dalih kebutuhan tanah untuk mengatasi krisis pangan dan
energi. GRAIN, suatu badan penelitian yang diabdikan untuk kemajuan
gerakan untuk keadilan sosial global (global justice), telah secara
permulaan mendaftar dan memetakan sekitar hampir seratus transaksi
tanah yang berlangsung sampai 2008. Hasilnya adalah sebuah gambaran
peralihan penguasaan tanah yang menjelaskan secara gamblang pilihan
penyelesaian atas uang yang telah terakumulasi secara berlebihan (Gambar
Gambar 1
1). Peta Land Grabbing Global

Sumber: GRAIN (2008)

9. Sumber: Savitri, L.A. 2011. Politik Ruang dan Penguasaan Tanah untuk Pangan. Jurnal Wacana, No. 26, tahun 2011.

16
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Untuk wilayah region Asia Tenggara, Consortium of NTS Studies


(2010a, 2010b) mengeluarkan sebuah daftar investasi, baik sebagai janji
maupun sudah terealisasi (lihat Tabel 1).
Tabel 1
Daftar Investasi di Asia Tenggara
Negara Target Negara Asal Bentuk transaksi Status Transaksi
Investor
Kamboja Kuwait Tanah disewakan untuk padi Ditandatangani
Kamboja Vietnam 100.000 ha untuk karet Tidak diketahui
Indonesia Saudi Arabia 500.000 ha dengan investasi senilai Tidak dilanjutkan
US$4,4 milyar untuk padi, tapi gagal
Laos Vietnam 100.000 ha untuk karet Tidak diketahui
Filipina Bahrain 10.000 ha untuk agro-fishery Ditandatangani
Filipina Cina 1,24 juta ha disewakan, transaksi Tidak dilanjutkan
ditunda
Vietnam Qatar Dana gabungan sebesar US$ 1 milyar Tidak diketahui
untuk pertanian

Sumber: Consortium of NTS Studies (2010a)

Beragam cara perolehan tanah memang terjadi secara berbeda-beda.


Taylor dan Bending (2009) mengklasifikasinya menjadi beberapa tipologi
(Gambar 2). Dalam kategori ilegal, terjadi proses perampasan tanah di
Sudan oleh Jarch Capital, yakni melalui suatu perjanjian transaksi tanah
yang melanaggar prosedur formal negara yang dilakukan oleh seorang
pemilik modal perusahaan investasi di New York dengan seorang
penguasa perang wilayah (warlord) untuk luasan tak terperi: 4.000
kilometer persegi.
Kasus lain adalah penggunaan kekerasan militer untuk perampasan
tanah-tanah pribadi di Kolombia. Prosedur hukum untuk perubahan
kepemilikan lebih sering ditempuh banyak negara, terutama di wilayah
yang diakui sebagai tanah milik negara. Namun, prosedur hukum dan
penggunaan kewenangan pemerintah juga dibuat oleh negara dan elite
untuk mengesahkan pengambilalihan kepemilikan tanah-tanah adat
(Etiopia, Nigeria, Filipina, dan tentunya Indonesia). Bahkan, melalui
mekanisme pasar tanah, telah terjadi rekonsentrasi kepemilikan tanah
yang cukup tajam di Peru, Kolombia, dan Argentina.

17
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

Gambar 2
Tipologi Cara-cara Perolehan Tanah

Perampasan
tanah illegal Penggusuran
Penjualan tanah
(Sudan) illegal melalui
adat secara
intimidasi
legal oleh elit
(Kolombia,
Alokasi tanah (Kamboja,
Uruguay)
negara secara Pakistan) Konsentrasi
tanah-tanah privat
legal, tanpa
(Peru, Kolombia,
mengindahkan Argentina),
Pengambilalihan
status tanah adat Alokasi tanah Ukraina)
tanah secara
(Etiopia, Nigeria) adat secara
legal/penyewaan
legal
tanah secara paksa
(Tanzania,
(India, Filipina, Tanah
Tanah Mozambique)
Indonesia) privat
adat

Sumber: Taylor dan Bending (2009)

Selain difasilitasi langsung oleh negara-negara asal investor dan


pembuatan instrumen legal oleh negara penerima investasi, investasi asing
berskala besar untuk pembelian dan penyewaan tanah dengan argumen
keamanan pangan ini juga difasilitasi oleh lembaga perpanjangan tangan
World Bank yang disebut International Financial Corporation (IFC)
(Daniel dan Mittal 2009). Pada 2008, World Bank meluncurkan
himbauan yang disebut sebagai ”New Deal in Global Food Policy”, yaitu
himbauan untuk memacu produktivitas bahan pangan. Pada akhir tahun
fiskal 30 Juni 2008, nilai investasi IFC yang ditanamkan di rantai
pemasaran pangan mencapai lebih dari 1,3 miliar dolar Amerika Serikat.
Jumlah proyek agribisnis yang didukung meningkat dari sejumlah 17
proyek pada 2005 menjadi 32 proyek pada 2008. Selanjutnya, pada
Februari 2009, IFC membentuk sebuah proyek investasi agribisnis
khusus, Altima One World Agriculture Development Fund, untuk negara
berkembang sebesar 625 juta dolar Amerika. Selain Altima One World
Agriculture Fund (Amerika Serikat), ada juga Chayton Atlas Agriculture
Company (Inggris), Citadel Capital (Mesir), Mriya Agro Holding
(Ukraina), Sena Group (Mauritius)/Tereos (Perancis), SLC Agricola

18
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

(Brazil), dan lain-lain (lihat tabel 2)

Tabel 2
Daftar Perusahaan Terseleksi yang Didanai
International Financial Corporation (IFC)
No. Perusahaan Nilai investasi Lokasi/luas tanah
1. A ltima One World A griculture Development USD 75 juta Amerika Selatan, Sub-Sahara Afrika,
Fund Eropa Tengah dan Timur
2. Chayton A tlas A griculture Company USD 50 juta Zambia dan Botswana
(Inggris)
3. Citadel Capital (Mesir) USD 25 juta Mesir, Sudan, Tanzania, Kenya,
Uganda
4. Mriya A gro Holding (Ukraina) USD 75 juta Ukraina, penambahan area 165.000 ha
5. Sena Group (Mauritius)/Tereos (Perancis) USD 65 juta Mozambik
6. SLC A gricola (Brazil) USD 40 juta Brazil, penambahan area 200.000 ha
7. V ision Brazil (Brazil) USD 27 juta Brazil, penambahan area 400.000 ha

Sumber: GRAIN 2010, hal.5

Banyak contoh soal yang terpampang di depan mata kita, salah


satunya adalah apa yang secara resmi oleh pemerintah Indonesia dijuluki
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).10 Dari pengalaman
MIFEE saja kita bisa melihat adanya proses kebijakan yang bertingkat
dengan beragam aktor telah menyediakan banyak pintu bagi produksi dan
pembentukan ruang baru. Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses
kebijakan yang melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat
pada krisis energi semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan
kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah wacana “krisis”
menjadi “peluang”. Harga komoditas pangan yang meroket dan
permintaan energi terbarukan yang meningkat di tengah situasi tidak
terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak orang di Indonesia, baik
karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi pasar oleh pemerintah
dengan import bers dan komoditas pertanian lain, operasi-operasi pasar,
maupun injeksi uang tunai pada orang miskin. Yang sangat terlihat adalah
krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang
investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditanggapi oleh elite
pemerintah dengan menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan

10. Bagian MIFEE ini berdasar pada Ito dkk. 2010. Lihat pula Zakaria dkk. 2010.

19
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa.


Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh Presiden pada Maret 2008.
Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai
Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi
2008–2009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian
mendapat rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program
MIFEE.
Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke
maupun Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat
izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah
menghasilkan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT
Medco. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil
mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat
Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor
18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang
berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh
izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010,
melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah
mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini
diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan
sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan
bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik
”Energy Estate”. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu
pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk
pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang
mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih
ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG
International.

20
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Selanjutnya pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha


Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan
budidaya tanaman dengan memperbolehkan penguasaan tanah di Papua
dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu
mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih
dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui
dua anak perusahaannya dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat
itu, juga sudah ada sepuluh perusahaan pemegang izin lokasi untuk
perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-
rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.
Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui
penggunaan kewenangan Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi,
dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis, dari Januari 2007
hingga di Agustus 2010, untuk 48 perusahaan mencapai luas 2.319.094
hektar!
Di tahun 2011, Menteri Koordinator Perekonomian mengeluarkan
suatu cetak biru Masterplan Percepatan Pembangunan Perekonomian
Indonesia (MP3I) 2011-2025, dan diberikan landasan hukum melalui
Inpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang MP3I. Secara khusus, MIFEE
diberi tempat di dalam salah satu dari enam koridor ekonomi, yakni
Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini direncanakan
memiliki tujuh pusat ekonomi, salah satunya adalah Merauke, dengan
kegiatan ekonomi utama: pertanian pangan-MIFEE. Dengan demikian,
satu lagi bentuk kebijakan dikeluarkan untuk semakin memperkuat
legitimasi atas produksi dan pembentukan ruang melalui industri
pertanian korporasi.

Usulan Agenda Studi Gerakan Agraria


Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali
berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar
barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang.
Perbedaan itu dijelaskan dengan sangat baik oleh Karl Polanyi dalam bab 5
“Evolusi Sistem Pasar” dalam karya klasiknya The Great Transformation

21
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

(1944/1957). Dalam kalimat yang lugas, untuk memahami bagaimana


sistem ekonomi pasar kapitalis bekerja, dia membalikkan prinsip
resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar
kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-
hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat
ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57). Pasar
kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur
dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan
negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa
bekerja.
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi
barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam),
pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya.
Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya
bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya
diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan
tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan
dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.
Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang
dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial
yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan
yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu,
dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat
dari kerusakan yang lebih parah.
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari
masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme
pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian
menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada
mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak
perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan.
Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak
dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan

22
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah


lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi,
masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3).
Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad
dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double
movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar)
ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement)
menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang
diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi
masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan) itu tak cocok dengan
prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak
cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130).
Perampasan tanah dan kekayaan alam yang dialami penduduk
pedesaan Indonesia sejak dahulu, dan protes-protes agraris atas politik
agraria yang melancarkan perampasan itu, perlu dipahami dengan
kerangka ini (Fauzi 1999). Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang
sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk
bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodifikasi yang
dilancarkan oleh pasar kapitalis itu.
Masalah utama dari perspektif Karl Polanyi ini adalah anggapan
bahwa dalam menghadapi gerakan pasar, masyarakat itu sebagai satu
kesatuan yang bersatu, tidak terdiferensiasi. Untuk mengatasi kelemahan
ini kita perlu melakukan studi-studi agraria11 yang komparatif dalam
rangka mempelajari bagaimana kapitalisme berkembang secara berbeda-
beda di se-antero nusantara. Memahami masalah agraria dari perspektif
demikian akan membantu pembaca untuk di satu pihak mampu
mendudukkan gerakan-gerakan agraria yang bertumbuh, hidup, hingga
yang kemudian mati, sebagai cara masyarakat melindungi diri dari
gempuran pasar kapitalis.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang perlu diteliti adalah sebagai berikut

11. Pelajari karya-karya tulis dalam Hart et al (1989), juga Li (1999). Untuk suatu review mengenai sumbangan The Journal of
Peasant Studies dalam studi-studi petani dan perubahan agraria, lihat: Bernstein dan Byres (2001). Untuk review karya-
karya studi agraria terbaru lihat Borras (2009), Akram-Lodhi and Kay (2009, 2010a, 2010b).

23
FOKUS Kapitalisme, Perampasan, Tanah Global

(Borras 2008):
1. Apa saja karateristik struktur agraria yang mendasari suatu
gerakan yang muncul, atau yang tidak muncul?
2. Apa basis sosial dari gerakan agraria itu? Kelas sosial dan
kelompok mana yang mereka wakili? Bagaimana bisa klaim
tersebut bisa dijelaskan?
3. Apa isu utama atau tuntutan apa yang dikedepankan oleh gerakan
itu? Dari mana tuntutan itu berasal? dan kelompok sosial mana
atau kekuatan politik mana yang menghalangi/atau menghambat
gerakan tersebut?
4. Apa isu yang menyatukan, dan memecahbelah gerakan?
5. Seberapa efektif aksi gerakan itu dalam upayanya mengubah
struktur agraria, dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan?
Mengapa satu gerakan lebih efektif dibandingkan yang lain?

24
Akar Konflik Intra
Umat Islam Indonesia
Mujiburrahman

Abstract
This paper describes an anatomy of the three roots of intra-Moslem conflicts
in Indonesia. Based on a series of historical events, this paper explains a
thread of the conflicts today have strong roots with the problems in the past.

Keywords : Moslem, intra-religion conflicts, ideology

Pendahuluan
Sebagai bangsa yang sangat majemuk, Indonesia memiliki potensi konflik
yang cukup besar yang mencakup beragam identitas seperti agama, etnis,
adat, pemerintah pusat versus daerah, Jawa versus luar Jawa, dan
sebagainya. Kadang-kadang dua identitas (misalnya agama dan etnisitas)
dapat menjadi satu dalam sebuah konflik. Berkenaan dengan konflik
agama, ia dapat berupa konflik antar agama yang berbeda, antar aliran yang
berbeda dalam suatu agama, atau antara agama dan budaya lokal (adat).
Pada masa Orde Baru, Menteri Agama, Alamsyah Ratu
Perwiranegara, menggagas tentang perlunya Trilogi Kerukunan, yakni
kerukunan antar umat beragama, kerukunan intra-umat beragama dan
kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Tiga jenis kerukunan ini
tentu masih relevan dengan kondisi bangsa kita saat ini.
Sebagai bangsa dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia,
ditambah kebudayaan yang beragam, wajar sekali jika kaum Muslim
Indonesia itu terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok dan aliran. Ketika
keran kebebasan berpendapat dan berserikat mulai dibuka di negeri ini,
kelompok-kelompok Islam yang beragam itu akhirnya menampakkan diri
secara terbuka di ruang publik. Di satu sisi, hal ini dapat menimbulkan

25
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

ketegangan yang positif dan dinamis, tetapi di sisi lain, bisa juga
mendorong pecahnya konflik yang berujung tragis.
Karena itu, dalam situasi seperti sekarang, tampaknya refleksi
terhadap pengalaman-pengalaman sejarah kita dari masa lampau hingga
sekarang sangatlah penting. Mungkin jarak yang cukup jauh antara kita
dengan peristiwa-peristiwa sejarah akan memudahkan kita untuk bersikap
lebih 'obyektif '. Selain itu, tentu saja dengan berkaca pada sejarah, kita
dapat merenungkan apa kiranya yang harus kita lakukan dalam
menghadapi tantangan-tantangan masa sekarang.
Alih-alih menyajikan sebuah kajian historis baru, tulisan ini
hampir seluruhnya berdasarkan pada kajian-kajian sejarah yang sudah ada.
Tetapi berbeda dengan kajian-kajian sejarah yang sudah ada yang terfokus
pada periode tertentu dan bersifat rinci, tulisan ini hanya menyoroti kasus-
kasus tertentu dengan tujuan menemukan kesinambungan dan perubahan
yang terjadi dalam rentang masa yang cukup panjang.
Sejak dekade awal abad ke-20 hingga sekarang, sekurang-
kurangnya ada tiga masalah penting yang menimbulkan pertentangan di
antara sesama umat Islam di Indonesia. Pertama, pertentangan ideologis
antara kelompok yang menginginkan Islam dijadikan sebagai ideologi
negara dan kelompok yang mengutamakan kebangsaan sebagai dasar
negara. Kedua, perbedaan paham keagamaan di antara gerakan-gerakan
Islam. Ketiga, perbedaan dalam masalah hakikat dan arah kebudayaan
Indonesia, termasuk bagaimana seharusnya menyikapi budaya
asing/Barat.
Ketiga jenis konflik ini kadangkala tumpang tindih satu dengan
yang lainnya, dan biasanya kepentingan sosial, ekonomi dan politik turut
mempengaruhi tinggi rendahnya suhu konflik yang bersangkutan.

Pertentangan Ideologis
Jika kita menengok kembali sejarah pemikiran dan gerakan di negeri ini,
maka kita semakin sadar bahwa ternyata hangatnya pembicaraan masalah
ideologi negara, khususnya mengenai hubungan agama dan negara, sudah
mulai menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pemimpin bangsa ini

1. Telaah historis berikut merujuk kepada Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta: LP3ES,
1980), 267-315.

26
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

sejak tahun-tahun awal abad ke-20. 1


Barangkali sulit dipungkiri bahwa penyebaran Islam yang cukup
meluas di Nusantara sejak abad ke-13 dan penggunaan bahasa Melayu oleh
para ulama untuk mendakwahkan Islam, ditambah lagi oleh kesamaan
nasib di bawah jajahan Belanda, semua ini telah melempangkan jalan bagi
lahirnya rasa kebangsaan di Nusantara. Berbagai gerakan Islam seperti
Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang sama-sama didirikan tahun 1912,
dan kemudian Nahdlatul Ulama yang didirikan tahun 1926, meskipun
semuanya dimulai di Pulau Jawa, mereka segera berkembang di berbagai
wilayah di Nusantara. Penyebaran gerakan-gerakan tersebut di berbagai
daerah secara langsung ataupun tidak langsung ikut memberikan semangat
kesatuan, suatu unsur penting dari rasa kebangsaan. Inilah antara lain yang
menyebabkan para tokoh gerakan Islam sejak awal abad ke-20 begitu yakin
bahwa negara yang mereka cita-citakan harus beridentitas Islam.
Di sisi lain, kenyataan bahwa meskipun secara nominal orang-
orang Nusantara mayoritas beragama Islam, tetapi kadar dan orientasi
keislaman mereka cukup beragam. Selain itu, di sejumlah daerah, Islam
justru menjadi agama minoritas, dan di daerah-daerah yang penduduknya
mayoritas Muslim, seringkali terdapat penduduk minoritas yang memeluk
agama lain. Keadaan ini kemudian mendorong sebagian aktivis gerakan
kemerdekaan di awal abad ke-20 untuk menjadikan rasa kebangsaan
(nasionalisme), bukan Islam, sebagai dasar bagi persatuan seluruh rakyat
Indonesia.
Memang pada saat itu, nasionalisme merupakan ideologi gerakan
politik di hampir seluruh dunia, yang anginnya bertiup mula-mula dari
Barat. Tentu bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan tokoh gerakan
yang berideologi nasionalis ini adalah orang-orang yang pernah
mendapatkan pendidikan Barat, khususnya di sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu organisasi
nasionalis yang penting disebut barangkali adalah Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) yang didirikan tahun 1927 diketuai oleh Soekarno.
Meskipun pada 1935 PNI akhirnya dibubarkan oleh Belanda,
pengaruhnya tetap lestari, khususnya dalam mengilhami berbagai gerakan

27
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

nasionalis di kemudian hari.


Demikianlah sejarah mencatat bahwa para pengusung pandangan
Islam sebagai ideologi adalah mereka yang tergabung dalam berbagai
gerakan Islam (NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Sarekat Islam,
Perti dan sebagainya), sedangkan para pendukung ideologi kebangsaan
adalah umat Islam yang berada di luar gerakan-gerakan Islam dan
didukung oleh para penganut agama minoritas. Perdebatan antara dua
kubu ini sekurang-kurangnya sudah dimulai tahun 1925 hingga 1930,
terutama antara Soekarno yang nasionalis di satu pihak, dan Agus Salim
serta Mohammad Natsir di pihak lain. Meskipun terdapat variasi argumen
antara kedua belah pihak, tetapi inti pendirian mereka pada dasarnya
adalah: Soekarno melihat hanya 'kebangsaan' yang dapat mempersatukan
penduduk Nusantara, sedangkan Salim dan Natsir melihat bahwa Islam
harus dijadikan dasar perekat bangsa karena secara numerik umat Islam
adalah mayoritas, dan bahwa ajaran Islam diyakini dapat membawa negara
kepada kesejahteraan dan keadilan.
Meskipun sejarah mencatat terjadi gelombang pasang surut,
kadang gerakan Islam yang menonjol dan kadang gerakan kebangsaan
yang naik dalam masa pra-kemerdekaan, tetapi ketika konstitusi
dirumuskan tahun 1945, kekuatan kedua kubu ini boleh dikata sama-
sama kuat.2 Demikianlah akhirnya pertentangan dua kubu tersebut
menghasilkan suatu kompromi awal berupa 'Piagam Jakarta' di mana
'kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'
disebutkan. Ternyata kompromi awal inipun akhirnya harus diubah lagi
dengan kompromi baru dimana diputuskan suatu 'posisi antara' dan
'remang-remang' bahwa Indonesia adalah 'bukan negara agama, bukan
pula negara sekuler' tetapi negara Pancasila. Rumusan sila pertama,
'Ketuhanan Yang Maha Esa' dari Pancasila, dan kemudian didirikannya
Departemen Agama tahun 1946 menunjukkan 'posisi antara' negara kita
tersebut.
Sudah dapat diduga bahwa kompromi politik tersebut tidaklah
dapat memuaskan semua pihak. Kubu Islam misalnya, kembali berusaha
memasukkan gagasan penerapan syari'at Islam secara eksplisit dalam

2. Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945-1959) ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

28
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

konstitusi, seperti tercermin dalam perdebatan di Sidang Konstituante di


paruh kedua dekade 1950an,3 lalu upaya memasukkan 'tujuh kata'
(kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di
sidang MPRS tahun 1967, dan terakhir di sidang MPR tahun 2002.4
Bahkan ada juga kelompok Islam seperti DI/TII yang berjuang untuk
mendirikan 'negara Islam' melalui pemberontakan bersenjata, terutama di
Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.5 Tetapi semua usaha
itu tidak pernah berhasil.
Di sisi lain, kalangan kebangsaan sekuler juga berusaha
menyingkirkan Islam dari politik, misalnya tuntutan untuk pembubaran
Departemen Agama di tahun-tahun awal Orde Baru, keinginan
menghapuskan pelajaran agama di sekolah serta usaha mensekulerkan UU
Perkawinan, tetapi semua upaya ini juga tak pernah sepenuhnya berhasil.6
Demikianlah akhirnya lagi dan lagi, kompromi semula tetap
dipertahankan hingga sekarang.
Karena pertentangan ini sangat politis, maka dalam
perkembangan sejarah Indonesia, dikotomi antara umat Islam yang
termasuk dalam gerakan-gerakan Islam dan umat Islam yang berada di
luarnya kadang menjadi sangat tajam. Di kalangan suku Jawa (suku yang
paling dominan di Indonesia, yakni lebih dari 40 % dari total penduduk)
dikotomi antara Muslim santri dan Muslim abangan kadang sangat kental.
Yang pertama adalah mereka yang cenderung taat dalam beragama dan
berpegang teguh pada ajaran ortodoks, sedangkan yang kedua adalah
mereka yang beragama Islam secara nominal dan keberagamaan mereka
berwatak sinkretis.
Garis pemisah antara santri dan abangan secara kultural
sebenarnya tidak begitu tajam, tetapi ia menjadi semakin jelas dan tajam
justru karena permainan partai-partai politik. Inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah 'politik aliran'. Maka partai-partai nasionalis sekuler
seperti PNI, PSI dan PKI biasanya menggalang kekuatan di kalangan
abangan, sementara partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII dan

3. Untuk kajian mengenai sidang Konstituante, lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante ( Jakarta: LP3ES, 1985), dan Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional
Government in Indonesia: a Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 ( Jakarta: Sinar Harapan, 1992).
4. Lihat “Perubahan Keempat UUD 1945 Disahkan” Kompas, 11 Agustus 2002.
5. C.van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan ( Jakarta: Grafiti, 1983).
6. Lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2006).

29
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

Perti menggalang pendukung dari kalangan santri.


Setelah lahirnya Orde Baru, beberapa pengamat mengatakan
bahwa 'politik aliran' sudah tidak relevan lagi karena perubahan politik
yang terjadi. Tetapi anggapan mengenai memudarnya politik aliran ini
saya kira hanya dapat dilihat dari sudut bahwa kalangan santri atau
tepatnya, kaum Muslim yang tergabung dalam gerakan-gerakan Islam,
terpecah menjadi dua kubu sejak awal tahun 1970-an, yaitu kubu yang
masih ideologis dan kubu yang non-ideologis.7 Tetapi jika dilihat secara
umum, pertentangan antara kubu nasionalis sekuler dan kubu Islam
ideologis boleh dikata tidak pernah berhenti dalam sejarah bangsa kita
hingga sekarang.
Sejak 1970an peta konflik memang sedikit berubah, yaitu bahwa
kubu nasionalis sekuler abangan seringkali sejalan dengan kubu gerakan
Islam santri non-ideologis dalam menghadapi kubu Islam santri ideologis.
Selain itu, secara kultural barangkali budaya santri sejak tahun 1980an
hingga sekarang semakin kuat di masyarakat, tetapi perubahan budaya ini
sepertinya tidak banyak berpengaruh pada orientasi politik mereka.
Partai-partai yang tidak berasaskan Islam dari zaman Soekarno sampai
sekarang tetap kuat, sementara partai-partai yang berasaskan Islam
kembali menjamur setelah jatuhnya Orde Baru. Jadi, di ranah politik
polarisasi Islam-kebangsaan sedikit banyak masih ada.
Setelah menengok sekilas sejarah pergumulan Islam dan
kebangsaan di negeri kita, apa kira-kira yang harus kita lakukan untuk
menghadapi tantangan di masa sekarang? Belajar dari sejarah, saya kira
kita jangan sampai terperangkap terus-menerus dalam salah satu kubu
(yakni Islam atau sekuler), melainkan mencoba mengembangkan
kompromi yang sudah ada saja, yaitu Pancasila dengan 'posisi antara' itu.
Problem yang berat dihadapi oleh bangsa kita adalah karena
selama lebih dari 50 tahun usia kemerdekaan ini, meskipun sudah banyak
kemajuan yang dicapai, amanat Pancasila dan UUD 1945 masih banyak
yang belum terlaksana. Kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan sosial
yang masih terasa di mana-mana dengan mudah dijadikan alasan oleh
kalangan tertentu untuk menawarkan ideologi alternatif, baik yang

7. Lihat Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to 'New Order' Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982); dan Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003).

30
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

bersifat sekuler ataupun yang berorientasi keagamaan.


Di pihak lain, jika ideologi Pancasila diganti, maka kemungkinan
besar bangsa ini akan terpecah belah. Saya khawatir, akibatnya justru lebih
berat bagi rakyat ketimbang usaha-usaha serius untuk memperbaiki
'rumah bersama' yang sudah ada. Karena itu yang harus dilakukan
tampaknya bukan memenangkan 'kebangsaan' atas 'Islam' atau sebaliknya,
melainkan berusaha mengintegrasikan keduanya. Pada level praktis,
integrasi itu harus dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. 8

Perbedaan Paham Keagamaan dan Organisasi


Perbedaan kedua yang memicu konflik di antara umat Islam Indonesia
adalah perbedaan paham, atau lebih tepatnya, tafsir keagamaan, yang
melembaga menjadi organisasi. Perbedaan paham keagamaan yang pernah
meruncing cukup tajam adalah antara gerakan reformis atau 'kaum muda'
seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam dengan kelompok
tradisionalis atau 'kaum tua' yang diwakili Nahdlatul Ulama (NU).
Beberapa praktik keagamaan yang sudah berakar dalam budaya
masyarakat seperti tahlilan untuk orang mati, pembacaan talqin, haulan
dan sebagainya, diserang oleh orang-orang Muhammadiyah atau kaum
muda sebagai bid'ah atau bahkan syirik, terutama praktik-praktik yang
dianggap sebagai pemujaan atau minta berkah pada orang yang dianggap
suci, sementara kalangan tradisionalis mencoba mempertahankan semua
itu.9
Pertikaian antara kaum muda dan kaum tua ini terjadi bukan
hanya di Jawa tetapi juga di berbagai daerah seperti Sumatra Barat,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Di Amuntai, Kalimantan
Selatan, pada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda bahkan mau
memfasilitasi debat antara dua kubu ini. Persaingan antara kedua kubu
dalam berebut pengikut dan masjid di Alabio tahun 1931 akhirnya
melibatkan pihak keamanaan dari pemerintah kolonial untuk melerai.

8. Mujiburrahman, “Oposisi atau Integrasi? Islam dan Kebangsaan di Indonesia” Tashwirul Afkar No.22 (2007), 114-115.
9. Kajian pioner mengenai masalah ini, meski dari sudut pandang seorang pendukung modernisme, adalah Noer, Gerakan
Modern Islam.

31
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

Bahkan pada tahun 1946, seorang tokoh kaum muda di Alabio ditangkap
dan dibunuh Belanda, konon karena pihak kaum tua melaporkan bahwa
sang tokoh adalah aktivis gerakan kemerdekaan. Kemudian pada tahun
1949, giliran seorang tokoh kaum tua yang diculik dan dibunuh oleh
sekelompok orang tak dikenal, dan ini diduga sebagai tindakan balas
dendam dari kaum muda.10
Banyak faktor yang mungkin mempengaruhi mengapa pertikaian
paham itu dapat terjadi begitu keras. Perebutan otoritas keagamaan di
antara tokoh-tokoh setempat ditambah dengan rendahnya pendidikan
dan wawasan orang-orang awam yang menjadi pengikut mereka,
barangkali merupakan alasan penting mengapa pertikaian itu terjadi.11
Selain itu, tak bisa dimungkiri bahwa pengaruh pemikiran Islam yang
berkembang di Timur Tengah jelas sangat signifikan dalam masalah ini.
Kebanyakan mereka yang menjadi tokoh pemurnian adalah orang-orang
yang belajar di al-Azhar, di mana pengaruh pemikiran Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha cukup kuat, sementara ulama-ulama tradisional
umumnya adalah 'alumni' pengajian klasik di Masjid al-Haram, Mekkah.12
Meskipun pertentangan paham ini sempat begitu keras, lama
kelamaan kedua belah pihak mulai 'capek' dan kemudian berusaha
bekerjasama. Tokoh-tokoh kedua kubu kemudian mengatakan bahwa
sebenarnya mereka hanya berseteru dalam hal-hal cabang (furû') bukan
prinsip (ushûl), dan karena itu tak ada alasan untuk saling mengkafirkan.
Selain itu, kalangan kaum tua perlahan-perlahan mengikuti cara-cara
kalangan kaum muda, misalnya dalam membentuk organisasi, membuat
karya tulis untuk membela paham sendiri dan menerapkan sistem klasikal
dalam pendidikan pesantren mereka. Rekonsiliasai antara kaum tua dan
kaum muda ini kemudian antara lain dicerminkan oleh pembentukan
sebuah federasi bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) di tahun

10. Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham dalam Agama Islam ( Jakarta: Rajawali Pers, 1986),
55-57.
11. Seperti diakui dan dicatat oleh Idham Chalid, tokoh NU asal Kalimantan Selatan, bahwa ketika masa mudanya, di awal
tahun 1930-an, dia menyaksikan konflik antara 'kaum tua' dan 'kaum muda' di Amuntai, kampung halamannya, terutama
karena para pengikut awam sangat fanatik pada ulama yang diidolakan mereka masing-masing. Lihat Arief Mudatsir
Mandan (ed.), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid ( Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), 65; 69.
12. Untuk kajian-kajian mengenai pengaruh alumni al-Azhar di Nusantara, lihat William Roff, ”Indonesian and Malay
Students in Cairo in the 1920s” Indonesia No.9 (1970), 73-88; Mona Abaza, ”Indonesian Azharites Fifteen Years Later”
Sojourn Vol.18 No. 1 (2003), 139-153; Michel Laffan, ”An Indonesian Community in Cairo: Continuity and Change in a
Cosmopolitan Islamic Milieu” Indonesia No. 77 (2004), 1-26; Mona Abaza, ”More on the Shifting Worlds of Islam: The
Middle East and Southeast Asia: A Troubled Relationships?” The Muslim World Vol. 97 (2007), 419-36.
13. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang Terj. Daniel
Dhakidae ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 119.

32
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

1937 dimana semua organisasi Islam masuk sebagai anggota.13


Tetapi MIAI tidak sepenuhnya merangkul gerakan Islam. Pada
Kongres Al-Islam yang diadakan MIAI di Surabaya tahun 1938, NU
mengusulkan agar Ahmadiyah Lahore ditolak, dan usul ini diterima.
Padahal Sarekat Islam sebelumnya cukup toleran pada Ahmadiyah Lahore
yang diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1925 dengan bantuan
Muhammadiyah.14 Keakraban Muhammadiyah dan Ahmadiyah Lahore
ini kemudian berangsur retak karena perbedaan-perbedaan paham, dan
karena Ahmadiyah di India terkesan pro-Inggris.15 Yang jelas, sebagai
gerakan yang kecil, Ahmadiyah waktu itu memang mudah diabaikan oleh
organisasi-organisasi Islam lainnya.
Perlu dicatat bahwa pertikaian paham juga pernah terjadi antara
kalangan reformis sendiri, yakni antara Muhammadiyah dan Sarekat Islam
(SI). Sekurangnya ada dua masalah yang pernah menimbulkan konflik di
antara kedua organisasi ini.16 Pertama, Muhammadiyah mau mengikuti
kurikulum pendidikan pemerintah kolonial Belanda dengan imbalan
subsidi dari yang terakhir. Ini dilakukan Muhammadiyah dalam rangka
menyaingi gerakan misionaris Kristen di Indonesia dan memodernkan
pendidikan Islam. Sementara itu, Sarekat Islam (SI) adalah gerakan politik
yang tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial sehingga
beberapa tokoh SI tidak menyukai Muhammadiyah dan menganggapnya
sebagai anti-politik dan anti-nasionalis.
Kedua, pada tahun 1926, dalam rangka memenuhi undangan Ibn
Sa'ud yang baru berkuasa di Arabia, Mas Mansur dari Muhammadiyah dan
Tjokroaminoto dari SI sama-sama berangkat ke Mekkah. Pada saat itulah
ketahuan bahwa Tjokroaminoto sering tidak sembahyang. Ada juga desas-
desus bahwa ia menyelewengkan dana delegasi. Lebih-lebih, tingkah laku
isterinya (mantan seorang penari Solo) dinilai mengecewakan. Masalah
ini kemudian disebarkan oleh orang-orang Muhammadiyah sehingga
membuat keruh hubungan antara kedua organisasi tersebut di tanah air.
Terlepas dari konflik-konflik di atas, gerakan-gerakan Islam yang
bersatu dalam MIAI dapat bertahan hingga tahun awal pendudukan
Jepang. Pada mulanya Jepang memang mencoba mengeksploitasi MIAI

14. Kemungkinan besar Ahmadiyah Lahore dapat diterima oleh ormas Islam lainnya waktu itu adalah karena, berbeda dengan
Ahmadiyah Qadiyan, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai pembaru (mujaddid), bukan Nabi.
15. Noer, Gerakan Modern Islam, 264.
16. Noer, Gerakan Modern Islam, 255-60.

33
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

untuk kepentingannya, tetapi tidak begitu berhasil. Maka pada tahun


1943, Jepang mensponsori wadah baru bagi gerakan-gerakan Islam yang
diberi nama 'Majelis Sjuro Muslimin Indonesia' (Masjumi).17 Organisasi
ini didominasi oleh tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, dan tokoh
kaum tua, Hasjim Asj'ari, dipilih sebagai pemimpin puncaknya. Jepang
memang berkeinginan untuk memobilisasi massa Islam untuk perang Asia
Raya, sementara kalangan Islam melihat hal ini sebagai kesempatan untuk
memperkuat posisi mereka.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, gerakan-
gerakan Islam kembali berusaha mempersatukan kekuatan. Maka pada
Nopember 1945 dilaksanakanlah Kongres Umat Islam di Yogyakarta, dan
pada acara tersebut terbentuk satu partai politik yang mewadahi semua
gerakan Islam di Indonesia yang diberi nama 'Masjumi' (juga).18 Tetapi
rupanya politik adalah medan yang sangat rentan dengan konflik,
sehingga pada tahun 1947, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
meninggalkan Masjumi. Hanya berselang tiga tahun kemudian, pada
tahun 1952 NU juga meninggalkan Masjumi. Demikianlah persatuan
Islam di ranah politik tidak bisa bertahan lama.
Karena Masjumi menentang Demokrasi Terpimpin usulan
Soekarno, dan sebagian pemimpin Masjumi dituduh terlibat dalam
pemberontakan PRRI, maka pada bulan Agustus 1960 partai tersebut
dibubarkan oleh Soekarno dan beberapa pemimpinnya dijebloskan ke
penjara. Pada periode ini, yang banyak bermain di ranah politik dari
kalangan organisasi Islam tinggal NU dan dalam batas tertentu, juga
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Dukungan NU dan Perti terhadap
Demokrasi Terpimpin jelas semakin memperburuk hubungan antara
tokoh-tokoh kedua organisasi itu dengan tokoh-tokoh Masjumi.19
Dalam perkembangan seterusnya, gerakan-gerakan Islam tidak
pernah lagi dapat bersatu dalam satu partai politik. Memang segera setelah
kejatuhan Soekarno, pada tahun 1967-1969, ada usaha-usaha untuk

17. Lihat Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Bab Tujuh.
18. Untuk sejarah kajian sejarah Masjumi, lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional ( Jakarta: Grafiti Press, 1987).
19. Karena itu tidak heran kalau Ahmad Syafi'i Maarif menilai bahwa 'Demokrasi Terpimpin' adalah 'politik belah bambu'
Soekarno, yaitu Masjumi diinjak dan NU diangkat. Lihat Ahmad Syafi'i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), 178-186.

34
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

mempersatukan gerakan Islam kembali, tetapi usaha ini tidak pernah


berhasil. Demikian pula ketika pada awal tahun 1990-an ICMI didirikan,
sebagian orang berpikir organisasi ini dapat menjadi wadah bersama
gerakan-gerakan Islam, tetapi pemimpin NU, Abdurrahman Wahid,
menolak untuk bergabung.20
Patut pula dicatat bahwa konflik intra-umat Islam tidak hanya
terjadi antar organisasi yang berbeda, tetapi juga antar sesama Muslim
dalam satu organisasi. Misalnya, belum sampai berusia satu dasawarsa,
Sarekat Islam sudah mengalami konflik internal antara kubu yang
berorientasi Islam dan kubu yang berorientasi kiri (komunis).21 Di
kalangan NU, terjadi pula konflik internal ketika organisasi ini harus
memutuskan bagaimana menyikapi Demokrasi Terpimpin yang
diterapkan Soekarno.22 Tokoh-tokoh semisal Bisri Syansuri dan Moch.
Dachlan antara lain termasuk orang-orang yang keras menentang
Demokrasi Terpimpin, sementara Wahab Chasbullah dan Idham Chalid
memilih bergabung dengan Soekarno. Pertarungan di tubuh NU antara
kubu Situbondo dan kubu Cipete di awal tahun 1980-an merupakan
contoh lain dari perseteruan internal dalam organisasi Muslim tradisional
ini di masa Soeharto.23
Sementara itu, sejak tahun 1975, atas keinginan pemerintah Orde
Baru, didirikanlah Majelis Ulama Indonesia (MUI), di mana wakil-wakil
dari berbagai gerakan Islam diakomodasi. Meskipun MUI tidak
mempunyai kekuasaan memaksa selain memberi fatwa, pemerintah
seringkali mendengarkan pandangan MUI. Dalam hal ini, sejak Orde
Baru hingga sekarang, MUI telah mengeluarkan banyak fatwa, di
antaranya adalah menetapkan bahwa aliran-aliran tertentu sebagai sesat
(misalnya Ahmadiyah dan Salamullah), terutama karena dianggap telah
menyimpang dari prinsip-prinsip aqidah Islam.24 Beberapa tindak

20. Tentang ICMI, lihat Robert W. Hefner, ”Islam, State, and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle
Class” Indonesia No. 56 (1993), 1-37; dan R.William Liddle, ”The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation” The
Journal of Asian Studies Vol.55 No.3 (1996), 613-34.
21. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Terj.Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), 262-67.
22. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 Terj. Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS,
2003), 285-97.
23. Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKiS,
1994), Bab 4.
24. Untuk kajian awal mengenai beberapa kasus aliran yang difatwa sesat atas tuduhan 'menodai agama', lihat Rumadi, Delik
Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP ( Jakarta: The Wahid Institute, 2007).

35
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia tahun 2005 dan


2006 yang lalu antara lain mendasarkan diri pada fatwa MUI tentang
kesesatan Ahmadiyah tersebut.
Kalau dilihat secara politis, pada masa Orde Baru, MUI
sebenarnya sangat tergantung pada pemerintah sehingga posisinya sangat
lemah dibanding ormas-ormas Islam lain yang independen. Tetapi setelah
jatuhnya Orde Baru, MUI mulai bergerak mandiri, terutama karena MUI
mulai berhasil mengumpulkan dana sendiri yang (konon) didapatkannya
melalui sertifikasi halal dan keterlibatan pengurusnya sebagai komisaris
Bank-Bank Syari'ah yang semakin menjamur di Indonesia. Selain itu,
beberapa gerakan Islam ideologis juga mulai mendapatkan kedudukan di
MUI, bahkan dalam perkembangan akhir-akhir ini tampaknya mereka
sudah 'menguasai' kendali terhadap kebijakan-kebijakan MUI.
Terbukanya keran demokrasi di era reformasi semakin
melempangkan jalan bagi munculnya berbagai organisasi Islam di tanah
air, dengan beragam orientasi dan paham. Selama Orde Baru, organisasi-
organisasi Islam yang berwatak ideologis tidak dapat diterima
kehadirannya oleh pemerintah, sehingga tidak heran setelah Orde Baru
jatuh, organisasi-organisasi jenis ini banyak bermunculan. Beberapa studi
tentang organisasi Islam seperti FPI dan Laskar Jihad memang
menunjukkan kemungkinan adanya dukungan dari kalangan tentara
dan/atau polisi pada mereka.25 Dengan demikian, memang sulit kiranya
untuk memahami gerakan-gerakan Islam radikal di era reformasi ini tanpa
menyelidiki lebih jauh keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok
kepentingan lainnya.
Boleh jadi sebagian kaum Muslim mulai jenuh dengan ormas-
ormas besar Islam semisal Muhammadiyah dan NU yang sibuk dengan
rutinitas atau dengan 'syahwat' politik para elitnya, sedangkan ormas-
ormas Islam yang baru muncul justru terkesan dapat memberikan 'sesuatu'
yang lain pada mereka. Jika asumsi ini benar, maka ormas-ormas besar
Islam harus segera melakukan evaluasi mengenai program-program yang
selama ini dilaksanakan, dan lebih penting lagi, mengenai tingkah laku

25. Untuk FPI, lihat Al-Zastrow, Politik Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta: LKiS, 2007), dan mengenai
Laskar Jihad, lihat Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia
(New York: Southeast Asian Program, Cornell University, 2006).

36
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

para pemimpin mereka.


Saya kira siapa pun orangnya yang berpikir realistis saat ini, tentu
ia tidak akan lagi bermimpi untuk dapat mempersatukan semua gerakan
Islam yang berbeda-beda paham dalam satu organisasi sosial apalagi dalam
satu partai politik.
Pertanyaan penting adalah, apakah sistem demokrasi kita
sekarang dapat menjadi sarana yang positif bagi hubungan yang sehat,
damai dan berkeadilan di antara sesama gerakan Islam? Tampaknya kita
harus memberikan jawaban positif terhadap pertanyaan ini. Masalahnya
kemudian, bagaimana kiranya kita dapat memfungsikan demokrasi
sehingga dapat membawa kita kepada hasil yang positif tersebut? Saya kira
hal ini hanya akan terwujud jika demokrasi politik dapat berkembang ke
arah demokrasi sosial, yakni terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat, dan ormas-ormas Islam harus terlibat aktif dalam upaya
mewujudkan cita-cita mulia tersebut.

Perbedaan dalam Masalah Kebudayaan


Masalah ketiga yang menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam
adalah perbedaan dalam masalah hakikat dan arah kebudayaan Indonesia.
Sebagai bangsa yang dijajah sangat lama oleh bangsa Belanda, kaum
Muslim Indonesia telah mengembangkan sikap yang ambivalen terhadap
kebudayaan Barat yang pada mulanya diperkenalkan oleh kaum penjajah
itu.
Dalam beberapa pemberontakan kaum pribumi melawan Belanda
di beberapa daerah di Nusantara, Islam telah menjadi identitas perekat
sekaligus pembeda vis-à-vis musuh asing yang kafir (Kristen). Dalam
rangka mempertegas perbedaan itu, sebagian ulama tradisional bahkan
melarang kaum Muslim meniru pakaian orang Belanda (misalnya
memakai dasi dinyatakan haram). Bahkan lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang terpusat di banyak pesantren dan madrasah tidak mau
mempelajari huruf latin yang diperkenalkan oleh orang Belanda.
Namun tidak semua tokoh Islam berpandangan demikian. Seperti
telah disinggung di muka, gerakan pembaruan Muhammadiyah dengan
berani mencoba mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan yang

37
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

sesuai dengan kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah kolonial


(meskipun ditambah dengan pelajaran agama) dalam rangka
memodernkan pendidikan Islam, mendapatkan subsidi dari pemerintah
dan menyaingi lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh
misionaris Kristen.26 Selain itu, cukup banyak kaum Muslim yang masuk
ke sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
sendiri. Sedangkan kaum Muslim lainnya lebih suka kepada lembaga-
lembaga pendidikan Taman Siswa yang mengajarkan budaya tradisional,
khususnya budaya Jawa, memiliki orientasi kebangsaan yang cukup kental
(karena itu menolak subsidi pemerintah Belanda), tapi juga menawarkan
pendidikan Barat seperti pelajaran bahasa-bahasa Eropa dan matematika.
Kalau kita perhatikan tokoh-tokoh gerakan Islam di awal abad ke-
20, khususnya di kalangan reformis, maka kita akan lihat betapa
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mendapatkan
pendidikan Belanda. Orang-orang seperti Agus Salim, M. Natsir,
Mohammad Roem, Tjokroaminoto dan lain-lain, adalah orang-orang
yang pernah belajar di sekolah-sekolah Belanda. Bahkan banyak di antara
mereka yang mempelajari Islam justru dari buku-buku yang berbahasa
Eropa karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Konon para
aktivis Jong Islamieten Bond ( JIB) yang didirikan oleh Agus Salim dan
kawan-kawan tahun 1925 seringkali berdiskusi tentang Islam dengan
menggunakan bahasa Belanda. Mungkin inilah sebabnya mengapa
kalangan Muslim reformis pada mulanya lebih mudah berdekatan dengan
aktivis dari kalangan kebangsaan yang juga lulusan sekolah Belanda.
Tetapi konflik yang keras antara para aktivis gerakan Islam dengan
mereka yang di luar gerakan Islam, atau lebih tegasnya, antara santri dan
abangan juga terjadi pada dekade-dekade awal abad ke-20. Pada akhir
dekade 1920-an, kalangan abangan mulai mempertanyakan ketepatan
ajaran Islam mengenai poligami dan naik haji. Bahkan dalam catatan
Deliar Noer, pada tahun 1930, sebuah artikel diterbitkan di Swara Umum
mengkritik banyaknya kaum Muslim yang berangkat haji ke Mekkah.
Penulis artikel itu mengatakan bahwa berhaji sangat merugikan secara
ekonomi, dan banyak warga Indonesia yang tidak pulang lagi karena

26. Untuk diskusi lebih rinci mengenai masalah kebudayaan dan agama di Indonesia, lihat Mujiburrahman, Feeling
Threatened, Chapter 5.

38
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

meninggal di perjalanan atau di Mekkah. Si penulis bahkan mengatakan


bahwa berhaji sama dengan menyembah berhala Arab.27
Penulis artikel tersebut tampaknya membaca tulisan-tulisan Barat
yang cenderung negatif terhadap Islam. Selain itu, sepertinya ada
kecenderungan di kalangan abangan untuk menekankan bahwa Islam,
Kristen dan kebudayaan Barat secara umum, tidaklah dapat
menghilangkan budaya asli setempat, yakni budaya Jawa, yang dianggap
lebih luhur. Di sisi lain, kalangan santri tentu marah dengan artikel itu.
Salah satu bentuk reaksi kaum santri adalah pembelaan yang bersifat
apologis (seperti tampak dari nama majalah Persis, Pembela Islam), yakni
suatu pembelaan yang menekankan kebenaran Islam dan kelemahan
pandangan lawan. Secara umum, model reaksi apologetis kaum santri ini
memang tidak hanya ditujukan kepada para pengusung keagungan
kebudayaan lokal, tetapi juga kepada para pemuja kebudayaan Barat.
Polemik kebudayaan di awal tahun 1930-an yang melibatkan S.T.
Alisjahbana di satu pihak, dan tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara
(dari Taman Siswa) dan dr. Soetomo (dari Budhi Oetomo) di pihak lain,
dapat lebih memperjelas makna artikel Swara Umum di atas.28 Takdir
berargumen bahwa karena Indonesia belum ada di masa lalu, maka
kebudayaan Indonesia itu belum ada. Tugas para cendekiawan adalah
menentukan ke arah mana kiranya kebudayaan Indonesia yang akan
terwujud di masa depan. Bagi Takdir, kebudayaan Indonesia harus
berkiblat ke Barat yang rasional dan individualis. Sementara bagi Soetomo
dan Ki Hajar, kebudayaan Indonesia tidak harus berkiblat ke Barat,
melainkan pada tradisi Timur yang tidak hanya menekankan rasionalitas,
tetapi juga rasa, yang tidak individualis, tetapi kolektivis. Mungkin penting
dicatat bahwa meskipun Ki Hajar adalah Muslim, dia sebenarnya lebih
tertarik pada pendalaman mistik Jawa (kejawen) dalam hidup spiritualnya.
Kalau kita perhatikan buku Polemik Kebudayaan, maka suara kalangan
santri tampak tidak terwakili di dalamnya. Takdir memang ada sedikit
menyebut kejayaan kebudayaan Islam klasik, tetapi hanya selintas.
Sementara itu, di luar polemik Takdir, sebenarnya pada tahun 1937 telah
terbit sebuah buku yang ditulis Mohammad Natsir berjudul Cultuur Islam

27. Noer, Gerakan Modern Islam, 278-80.


28. Achdiat K. Mihardja (ed.), Polemik Kebudajaan (Djakarta: Balai Pustaka, 1948).

39
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

yang oleh penulisnya “dihadapkan kepada pemoeda2 Islam perangkatan


baroe”.29 Buku ini banyak berbicara tentang kejayaan kebudayaan Islam
Arab di abad pertengahan dan hanya sedikit bicara tentang kebudayaan
Islam Indonesia. Meskipun demikian, dapatlah kiranya ditafsirkan bahwa
bagi Natsir kebudayaan Indonesia yang dicita-citakannya adalah
kebudayaan yang berdasarkan Islam. Apalagi di dalam buku ini Natsir
dengan bangga mengutip pernyataan H.A.R Gibb bahwa ”Islam is indeed
more than a system of theology, it is a complete civilization”.
Selanjutnya dalam pembuangannya di Banda Neira, Sutan Sjahrir
menulis pada akhir tahun 1936, bahwa Barat dan Timur tidak penting.
”Kita tidak perlu mengambil yang satu atau yang lain, kita boleh menolak
kedua-duanya, oleh sebab keduanya harus silam dan sekarang ini sedang
tenggelam ke masa silam,” tulisnya.30 Kemudian, seolah melanjutkan
pandangan Sjahrir, pada tahun 1950, majalah Siasat menulis deklarasi
kelompok Gelanggang yang antara lain berbunyi:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini
kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan
lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat.31

Masalah kebudayaan ini kemudian menjadi wacana politik yang


keras pada masa Demokrasi Terpimpin di awal tahun 1960-an, terutama
ketika kelompok Manifes Kebudayaan yang didukung oleh intelektual
yang berasal dari gerakan nasionalis sekuler dan juga gerakan Islam,
berhadapan dengan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang
didukung oleh PKI dan pemerintah.32 Dukungan kalangan gerakan Islam
terhadap Manisfes Kebudayaan tampaknya hanya karena sama-sama
menganggap PKI sebagai lawan. Dalam kenyataannya, kalangan gerakan
Islam juga membuat pernyataan kebudayaan yang berbasis doktrin Islam,
seperti yang disampaikan MASBI (Majelis Seni dan Budaya Islam) pada
tahun 1963. Singkatnya, kalangan Muslim di luar gerakan Islam

29. M. Natsir, Cultuur Islam (Bandoeng: Pendidikan Islam Bg. Penjiaran, 1937).
30. Syahrazad, Renungan Indonesia (Djakarta: Pustaka Rakjat, 1951), 115.
31. Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 3-4.
32. Tentang Manifes Kebudayaan, lihat D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (eds.), Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
LEKRA/PKI dkk (Bandung: Mizan-Republika, 1995).

40
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

cenderung pada humanisme universal dengan Pancasila sebagai basis


ideologi nasionalnya, sedangkan kaum Muslim dari gerakan-gerakan
Islam cenderung ingin menjadikan Islam sebagai dasar bagi kebudayaan
Indonesia.
Ketika Orde Baru mulai ditegakkan pada awal tahun 1970-an,
pemerintah dengan bantuan negara-negara Barat merancang program
pembangunan atau yang dikenal dengan istilah modernisasi. Pada saat itu
muncul desas-desus bahwa Islam dianggap sebagai penghalang bagi
program-program pembangunan karena tokoh-tokoh Islam seringkali
menunjukkan kekuatiran akan pembaratan (westernisasi). Dalam konteks
inilah perdebatan mengenai modernisasi di awal Orde Baru terjadi.
Tulisan Cak Nur berjudul 'Modernisasi adalah Rasionalisasi, bukan
Westernisasi' tampak merupakan upaya untuk menepis anggapan bahwa
Islam menghalangi pembangunan. Sementara slogan 'Islam Yes, Partai
Islam No?' sepertinya melegitimasi pandangan bahwa modernisasi politik
menghendaki sekularisasi.33
Pada masa kekuasaan Soeharto, politik kebudayaan pemerintah
diarahkan untuk menggabungkan visi humanisme sekuler dengan
kebudayaan jawa (abangan/priyayi), khususnya yang tercermin dalam
buku sang arsitek Orde Baru, Ali Moertopo, berjudul Strategi
Kebudayaan. Buku yang diterbitkan oleh CSIS (Centre for Strategic and
International Studies) ini menggambarkan kebudayaan Indonesia secara
esensialis.34 Konon kebudayaan asli Indonesia itu tercermin dalam
Pancasila yang intinya sudah ada sejak sebelum datangnya agama-agama
besar seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen. Semua agama ini hanya
memperkaya, tidak menghapuskan kebudayaan asli tersebut. Lebih lanjut,
kebudayaan asli Indonesia itu tidak memperbolehkan konflik (baca:
oposisi pada pemerintah) sebab ia menekankan nilai-nilai kekeluargaan,
kerjasama dan harmoni. Penafsiran ala budaya politik kekeluargaan inilah
yang kemudian mewarnai doktrin P4 yang dipropagandakan ke seluruh
rakyat Indonesia ketika itu.
Pandangan-pandangan Moertopo segera mendapat tanggapan

33. Tulisan-tulisan ini kemudian diterbitkan dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987).
34. Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978).

41
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

keras dari H.M Rasjidi, seorang tokoh Muslim reformis.35 Rasjidi bahkan
meragukan bahwa buku Strategi Kebudayaan ditulis sendiri oleh
Moertopo. Ia mencurigai bahwa penulisnya adalah A.M.W. Pranarka,
seorang intelektual Katolik di CSIS. Bagi Rasjidi, klaim-klaim yang dibuat
dalam buku itu tidak lebih dari upaya untuk memarginalkan posisi Islam
dalam kebudayaan bangsa. Baginya, Islam bukan hanya memperkaya,
melainkan mengubah kebudayaan masyarakat Indonesia. Tujuan dari
buku ini, lanjut Rasjidi, sebenarnya adalah upaya mempertegas garis
pemisah antara Muslim abangan dan Muslim santri belaka. Padahal
menurutnya, kedua kelompok itu harus dianggap sebagai Muslim.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, perkembangan
ekonomi Indonesia yang semakin baik telah membuka peluang bagi
munculnya Muslim kelas menengah. Sebagian dari mereka ini datang dari
keluarga santri yang memperoleh pendidikan modern sekuler. Banyak di
antara mereka itu ketika menjadi mahasiswa ikut aktif dalam kegiatan-
kegiatan keislaman di kampus. Maka tak heran kalau kalangan kelas
menengah Muslim ini kemudian mengembangkan budaya Islam yang
berbeda dari kalangan bawah. Mereka misalnya naik haji dengan fasilitas
mewah melalui ONH plus, suka membaca majalah-majalah pop Islam,
dan memakai pakaian muslimah yang mahal dan modis. Di kalangan
tertentu, mereka juga memproduksi karya-karya musik, sastra, novel, dan
komik Islam sebagai alternatif dari produk-produk yang datang dari Barat
atau Asia seperti Jepang dan India. Kelahiran ICMI di awal tahun 1990-an
dan pesta budaya Islam yang dikenal dengan Festival Istiqlal seringkali
dilihat sebagai wujud dari munculnya budaya kelas menengah santri di
Indonesia.
Sementara itu angin demokrasi yang bertiup kencang di Indonesia
setelah jatuhnya Orde Baru semakin membuka lebar perjumpaan dan
perbenturan budaya di Indonesia. Sulit dimungkiri bahwa globalisasi
adalah juga dominasi budaya Barat, tetapi pada saat yang sama, perlawanan
dan penyesuaian dari pihak yang didominasi terus terjadi pula. Dengan
kata lain, 'oksidentalisme' sama naifnya dengan 'orientalisme'.

Penutup
35. Muhammad Rasjidi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980).

42
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Terdapat tiga masalah utama konflik intra Islam yang terjadi di Indonesia,
yaitu konflik ideologis antara kaum Muslim yang beorientasi pada
ideologi kebangsaan dan kaum Muslim yang ingin menjadikan Islam
sebagai ideologi Negara; konflik organisasi dan paham keagamaan, dan
konflik mengenai hakikat dan arah kebudayaan nasional. Ketiga
kelompok masalah konflik ini ternyata masih berkembang hingga
sekarang. Mengingat bahwa konflik-konflik tersebut memiliki akar
sejarah yang panjang bagi bangsa ini, maka adalah naif apabila kita
berharap konflik akan dengan mudah disingkirkan. Hampir mustahil
dapat menghapuskan konflik karena ia adalah sesuatu yang alamiah dan
wajar dalam sebuah masyarakat, lebih-lebih yang majemuk seperti
Indonesia.
Cuaca demokrasi yang telah berlangsung selama satu dekade lebih
di negeri ini seharusnya dapat memberikan kesempatan yang luas buat
penanganan konflik-konflik tersebut sebaik-baiknya. Memang ada kesan
bahwa dalam era reformasi, kebebasan sepertinya seringkali kebablasan
dan akibatnya konflik malah seringkali terjadi. Demokrasi harus dibangun
melalui latihan yang terus-menerus hingga akhirnya tertanam dalam
budaya demokrasi itu sendiri di masyarakat.

43
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

DAFTAR PUSTAKA
Abaza, Mona., “Indonesian Azharites Fifteen Years Later” Sojourn Vol.18
No. 1 (2003), 139-153.
-------., “More on the Shifting Worlds of Islam: The Middle East and
Southeast Asia: A Troubled Relationships?” The Muslim World
Vol. 97 (2007), 419-36.
Al-Zastrow, Politik Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI
(Yogyakarta: LKiS, 2007).
Anshari, Endang Saifuddin., Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
(1945-1959) ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 3-4.
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang Terj. Daniel Dhakidae ( Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980).
Bruinessen, Martin van., NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian
Wacana Baru Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKiS, 1994).
Dijk, C.van., Darul Islam, Sebuah Pemberontakan ( Jakarta: Grafiti,
1983).
Effendy, Bahtiar., Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS,
2003).
Fealy, Greg., Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 Terj. Farid
Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003).
Hasan, Noorhaidi., Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for
Identity in Post-New Order Indonesia (New York: Southeast
Asian Program, Cornell University, 2006).
Hassan, Muhammad Kamal., Muslim Intellectual Responses to 'New
Order' Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1982).
Heeren, Katinka van., “Cruelty, Ghosts, and Verses of Love” ISIM Review
No. 22 (Autumn, 2008), 20-21
Hefner, Robert W., “Islam, State, and Civil Society: ICMI and the
Struggle for the Indonesian Middle Class” Indonesia No. 56

44
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

(1993), 1-37.
Laffan, Michel., “An Indonesian Community in Cairo: Continuity and
Change in a Cosmopolitan Islamic Milieu” Indonesia No. 77
(2004), 1-26;
Liddle, R.William., “The Islamic Turn in Indonesia: A Political
Explanation” The Journal of Asian Studies Vol.55 No.3 (1996),
613-34.
Maarif, Ahmad Syafi'i., Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante ( Jakarta: LP3ES, 1985).
-------., Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1993).
Madjid, Nurcholish., Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987).
Mandan, Arief Mudatsir (ed.), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid
( Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008).
Mihardja, Achdiat K., (ed.), Polemik Kebudajaan (Djakarta: Balai
Pustaka, 1948).
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (eds.), Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif LEKRA/PKI dkk (Bandung: Mizan-Republika, 1995).
Moertopo, Ali., Strategi Kebudayaan ( Jakarta: CSIS, 1978).
Mujiburrahman, “Oposisi atau Integrasi? Islam dan Kebangsaan di
Indonesia” Tashwirul Afkar No.22 (2007), 114-115.
-------., Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's
New Order (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006).
Nasution, Adnan Buyung., The Aspiration for Constitutional
Government in Indonesia: a Socio-legal Study of the Indonesian
Konstituante 1956-1959 ( Jakarta: Sinar Harapan, 1992).
Natsir, M., Cultuur Islam (Bandoeng: Pendidikan Islam Bg. Penjiaran,
1937).
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta:
LP3ES, 1980)
Rasjidi, Muhammad., Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan
Nasional ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980).

45
FOKUS Akar-akar Konflik Intra Umat Isalam

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern Terj.Dharmono


Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991).
Roff, William., “Indonesian and Malay Students in Cairo in the 1920s”
Indonesia No.9 (1970), 73-88;
Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP
( Jakarta: The Wahid Institute, 2007).
Saifuddin, Achmad Fedyani., Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham
dalam Agama Islam ( Jakarta: Rajawali Pers, 1986).
Syahrazad, Renungan Indonesia (Djakarta: Pustaka Rakjat, 1951).

46
Ketika Korban Menjadi 'Setan':
Kasus Pengadilan Penyerangan
Ahmadiyah di Cikeusik
Ade Armando

Abstract
The attackers who killed and savagely persecuted the Ahmadiyyas in
Cikeusik was punished lightly. Prosecutors, defense lawyers, and judges
argue, they could not be entirely blamed for the assault because it was
occurred as a reaction to the action of the victims. This tragedy of the legal
process was occurred because the construction of image that has been built
on Ahmadiyya before the trial was started.

Keywords: Ahmadiyya. freedom of religion

Salah satu peristiwa hukum paling memprihatinkan pada 2011 lalu adalah
pengadilan kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik. Para
penyerang yang tindakannya sampai menewaskan tiga orang hanya
dihukum ringan, hanya tiga hingga enam bulan. Sementara yang menjadi
korban juga diadili dengan tuduhan melawan perintah hukum.
Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa pembiaran terhadap
kebiadaban tersebut turut didasari oleh wacana yang terbentuk mengenai
pihak yang sebenarnya menjadi korban, yakni kalangan Ahmadiyah.
Keadilan menjadi tak terwujud terutama karena adanya apa yang disebut
sebagai praktek 'demonisasi' terhadap Ahmadiyah. Demonisasi, dalam hal
ini, dapat didefinisikan sebagai sebagai upaya sengaja untuk membangun
pencitraan buruk terhadap kalangan tertentu yang diidentikkan sebagai
kekuatan jahat, kekuatan setan (demon) yang mengancam.
Praktek demonisasi adalah hal yang lazim dilakukan untuk
menyudutkan pihak lawan dalam sebuah konflik. Ketika sebuah
kelompok tertentu disamakan dengan 'setan', pada dasarnya tidak
diperlukan lagi pertimbangan rasional dan bukti empirik dalam

47
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

menghakiminya. Ketika sebuah kelompok dikategorikan sebagai 'setan',


mereka dengan sendirinya salah. Kaum penganut Ahmadiyah di Cikeusik
mengalami itu.

Hari Berdarah di Cikeusik


Tragedi Cikeusik terjadi pada pada 6 Februari 2011. Pada hari itu, lebih
dari seribu pria—atas nama Islam—menyerang sebuah rumah tempat
kediaman jemaat Ahmadiyah di kampung Peundeuy, desa Umbulan,
sekira 5-7 jam dari kota Serang. Akibat penyerangan, tiga jemaat
Ahmadiyah tewas dalam kondisi mengenaskan, sementara lima jemaat
Ahmadiyah lainnya luka parah.
Kekejaman itu berawal dari upaya pengusiran seorang mubaligh
Ahmadiyah bernama Ismail Suparman dari kampung tersebut. Sejak akhir
2010, kelompok yang menamakan diri Gerakan Muslim Cikeusik
mendesak aparat keamanan untuk memerintahkan Suparman dan
jemaatnya untuk keluar dari Cikeusik.
Kelompok anti Ahmadiyah ini berargumen bahwa dengan
merujuk pada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Ahmadiyah
pada 2008, Ahmadiyah seharusnya tidak lagi berhak hidup di Cikeusik.
Menurut mereka, masyarakat resah karena Suparman dan pengikutnya tak
mau melebur dengan masyarakat, menyelenggarakan shalat Jumat dan
pengajian eksklusif, dan terus menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang sesat.
Bahkan ada kabar bahwa Suparman digaji Rp 10 juta per bulan untuk
menjalankan dakwah Ahmadiyah.
Suparman berulangkali dipanggil aparat desa dan berulangkali
pula berusaha menjelaskan legalitas status Ahmadiyah dan hak mereka
untuk beribadat sesuai dengan berbagai peraturan pemerintah yang ada. Ia
juga menjelaskan bahwa keberadaan Ahmadiyah selama hampir 20 tahun
di sana tidak pernah menimbulkan kontroversi. Penolakan ini
membangkitkan amarah. Sejumlah pemuka agama kemudian
memutuskan untuk mengusir sama sekali Suparman.
Sejak akhir Januari Februari 2011, kondisi Cikeusik sudah sangat
menegangkan. Salah seorang tokoh Islam berpengaruh di daerah itu, KH
Ujang Muhammad Arif berulangkali mengirimkan pesan melalui

48
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

berbagai media komunikasi–antara lain SMS–yang mengajak para ulama


dan masyarakat untuk bersama-sama mengusir Ahmadiyah. Setidaknya
pada empat tanggal berbeda, Ujang mengirimkan SMS berisikan ajakan
untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik, pada 6 Februari 2011.
Tidak jelas juga apa yang dimaksudkan dengan kata
'membubarkan'. Tapi jelas, Ujang berharap ada rombongan massa yang
akan datang berduyun-duyun ke tempat tinggal Suparman. Dalam salah
satu SMS, Ujang bahkan mengatur strategi kedatangan massa, misalnya
dengan menetapkan bahwa: “Yang datang dari arah selatan berkumpul di
Prapatan Umbulan, sedangkan dari utara berkumpul di Masjid Cangkore.”
Lebih dari itu, Ujang bahkan mengirimkan juga sebuah SMS yang
mengingatkan bahwa para peserta aksi harus memakai pita biru yang
dipasang di dada sebelah kiri. Tujuannya adalah sebagai ciri yang dapat
digunakan untuk mengindetifikasi anggota rombongan. Dengan kata
lain, Ujang sebenarnya sudah membayangkan bahwa memang akan ada
konflik sehingga adalah penting untuk mengenali 'siapa kawan dan siapa
lawan'.
Dalam salah satu SMSnya, Ujang sebenarnya mengingatkan agar
tak ada yang memberitahu polisi soal rencana tersebut. Namun, tentu saja,
pihak aparat keamanan dengan segera mengendusnya. Karena itulah pada
4 Februari 2011, Polres Pandeglang memanggil Suparman untuk datang
ke kantor mereka dengan alasan meminta keterangan tentang status
istrinya yang berkebangsaaan Filipina. Nyatanya ketika Suparman dan
keluarganya memenuhi panggilan, mereka diminta tidak kembali ke
rumah mengingat adanya ancaman terhadap keselamatan jiwa mereka.
Dengan kata lain, polisi berusaha 'mengamankan' Suparman.
Bila saja polisi tidak melakukan langkah itu, bisa dibayangkan
bahwa yang harus menghadapi massa adalah keluarga Suparman. Dengan
ditahannya Suparman, polisi berharap, mereka yang ingin
menghancurkan Ahmadiyah hanya akan berhadapan dengan sebuah
rumah kosong. Tentu saja, sangat mungkin rumah itu dihancurkan, tapi
paling tidak tidak akan ada pembantaian terjadi.
Hanya saja, kabar mengungsinya Suparman ini sampai ke telinga

49
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

pengurus Ahmadiyah Jakarta. Karena informasi itu, 17 warga Ahmadiyah


di bawah koordinasi Deden Sudjana – yang berposisi sebagai Kepala
Penasehat Keamanan Jamaah Ahmadiyah -- berangkat ke Cikeusik pada 5
Februari. Tanah dan rumah yang didiami Suparman memang milik
organisasi Ahmadiyah yang ditempatinya karena posisinya sebagai
mubaligh. Dengan kata lain, kedatangan tim Jakarta di bawah koordinasi
Deden ini dilakukan untuk melindungi 'aset Ahmadiyah'.
Bagi Deden dan kawan-kawan, kedatangan mereka ke Cikeusik
adalah semacam kewajiban menjalankan perintah agama untuk
mempertahankan hak milik mereka tatkala berhadapan dengan
kezaliman. Menurut catatan Ahmadiyah, sampai 2010 ada 248
masjid/rumah Ahmadiyah yang dibakar dan dirusak massa. Karena itu,
Deden datang dengan kesiapan untuk membela keyakinan dan apa yang
mereka miliki.
Kedatangan Deden dan rombongan pada 5 Februari malam
mengejutkan kepolisian Cikeusik. Karena itu, mereka segera bereaksi pada
6 Februari pagi dengan mendatangi dan menyarankan agar rombongan
Deden meninggalkan rumah Suparman. Deden menolak permintaan itu
mengingat mereka memang diamanatkan untuk melindungi hak milik
mereka dari ancaman kaum anarkis. Deden juga meminta agar aparat
keamanan melindungi mereka dari serangan yang mungkin terjadi.
Pihak kepolisian jelas tak siap. Ketika kemudian pada sekitar
pukul 10 pagi, rombongan massa yang diprovokasi seruan Ujang benar-
benar datang dan menyerbu rumah Suparman, polisi yang ada praktis tak
melakukan apa-apa. Menghadang pun tidak. Pembantaian tak
terhindarkan. Meski berusaha melawan, rombongan 17 orang Ahmadiyah
menjadi bulan-bulanan. Mereka dilempari, dipukuli, dibacok, ditusuk,
diseret, ditendangi, dibantai. Tiga korban tewas adalah Tubagus Chandra,
Roni Pasaroni, dan Warsono.
Hasil otopsi para korban menunjukkan betapa bengisnya para
pengeroyok membantai para jemaat Ahmadiyah. Almarhum Tubagus
Chandra tewas dengan kerusakan luka pada bagian tubuh depan, lengan,
leher, dada, punggung dan tungkai bawah. Ia tewas karena tulang-

50
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

tulangnya 'patah berkeping' dan karena 'patah tengkorak'. Kondisi


almarhum Roni Pasaroni sama mengenaskannya. Ada luka di rahang. Ada
lecet geser di bagian tulang iga. Rahang atas kepala patah. Ada resapan
darah di kepala. Punggung bawah dia menunjukkan luka sayat; tanda dia
disabet dengan benda tajam selagi dikeroyok. Kepala almarhum Warsono
sobek. Ada tanda bahwa dia diseret sewaktu ajal mendekat. Ada
pendarahan di kepalanya. Saat tubuhnya tak bernyawa, para penyerang
masih melukai bagian zakar dengan benda tumpul.
Nasib salah satu korban parah, Ahmad Masihudin, memperjelas
kebiadaban yang terjadi. Pada saat kejadian, dia lari ke sawah. Kepalanya
dipukul bambu dan lehernya hampir digorok. Para penyerang mengambil
uang Rp1,1 juta dari tas dia serta Blackberry Gemini. Dia diseret ke
halaman rumah Suparman, lantas dipukuli beramai-ramai. Dia selamat
karena polisi merangkulnya dan menenangkan massa. Dianggap sudah
tewas, dia dilempar begitu saja ke dalam pick-up polisi. Deden Sudjana
sendiri kena sabetan golok di berbagai bagian tubuhnya: kepala, kaki dan
tangan.

Pertanyaan tentang Keadilan


Apa yang terjadi di Cikeusik pada 6 Februari 2011 tentu adalah sebuah
kejahatan kemanusiaan. Pertanyaaannya: adakah kemudian hukum
ditegakkan? Peristiwa biadab ini memang tidak berlalu begitu saja. Paska
kejadian, aparat keamanan turun tangan menjaring mereka yang dianggap
terlibat. Hanya dalam waktu sepekan setelah kejadian, polisi mulai
menahan tersangka pelaku. Dalam waktu tak lama, 12 orang warga
Cikeusik ditahan dan kemudian diadili. Salah satunya adalah KH Ujang
Muhammad Arif.
Pengadilan diselenggarakan sejak 26 April 2011 di Pengadilan
Negeri Serang Banten. Para terdakwa diadili dua kali seminggu, di dua
ruang terpisah, dengan sembilan hakim berbeda. Bila dilihat dari
kecepatan penahanan serta intensitas penyelenggaraan pengadilan
memang publik bisa tertipu bahwa negara serius menyikapi aksi
pembantaian ini.
Dalam kenyataannya, yang terjadi sama sekali berbeda. Sejak awal

51
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

tanda-tanda bahwa para penyerang akan dihukum ringan sudah terasa.


Pengadilan sendiri berlangsung dengan mencekam. Tak jarang takbir
massa yang diikuti dengan teriakan 'Ahmadiyah Kafir', 'Ahmadiyah Sesat!',
menggema di ruang sidang. Hakim sendiri kelihatan tak berdaya
menghadapi tekanan massa. Jaksa tampak bersikap bersahabat dengan
para terdakwa.
Benar saja, vonis yang dijatuhkan hakim pada 28 Juli, ternyata
sangat rendah. Para terdakwa hanya divonis antara tiga sampai enam bulan
penjara potong masa tahanan. Beberapa orang di antaranya dalam waktu
singkat segera meninggalkan tahanan karena sudah menjalani tahanan
dalam masa yang sama dengan vonis yang dijatuhkan.
Di sisi lain, yang sama tragisnya adalah bahwa pengadilan juga
memutuskan untuk memperkarakan jemaat Ahmadiyah sendiri. Dedan
Sudjana, yang memang ditugaskan untuk mengamankan 'aset Ahmadiyah'
ditahan dan diadili dengan tuduhan: menghasut, melawan perintah
petugas dan penganiayaan. Ia juga akhirnya dijatuhi vonis enam bulan
penjara potong masa tahanan.
Pengingkaran atas rasa keadilan ini dimulai dengan tuntutan
jaksa. Kendati nyata sekali bukti yang menunjukkan bagaimana
pembantaian terjadi, jaksa hanya mengajukan tuntutan penjara ringan
kepada mereka yang terbukti melakukan penghasutan maupun yang
melakukan kekerasan.
Terhadap beberapa tokoh penghasut, yakni Ujang dan beberapa
ulama lainnya, jaksa hanya meminta hakim menjatuhkan hukuman
terhadap para terdakwa dengan pidana penjara maksimal tujuh bulan.
Padahal, Pasal 160 KUHP yang digunakan sebenarnya menetapkan
pidana maksimal lima tahun.
Hakim sendiri kemudian mengambil posisi serupa. Terasa sekali
bahwa hakim mengada-ada untuk memberi pembenaran yang melindungi
para pemuka agama itu. Saat memvonis Ujang, hakim menyatakan bahwa
meskipun terdakwa memang terbukti bersalah menghasut untuk
melakukan perbuatan pidana, tapi ada dua hal meringankan yang
dijadikan pertimbangan. Pertama, apa yang dilakukan Ujang adalah

52
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

karena permintaan masyarakat yang resah terhadap keberadaan Jamaah


Ahmadiyah. Kedua, Ujang sendiri adalah ulama besar yang keberadaannya
sangat dibutuhkan masyarakat.
Terhadap Endang bin Sidik, seorang guru mengaji yang dituduh
menganjurkan perbuatan melawan hukum, pertimbangan tentang hal
yang meringankannya juga sama mencengangkannya. Menurut hakim,
Endang cukup dihukum ringan karena jemaah Ahmadiyah sendiri turut
menyebabkan terjadinya tindak pidana tersebut karena tidak
mengindahkan perintah petugas keamanan untuk meninggalkan tempat
kejadian.
Adapun terhadap pelaku pembantaian, jaksa juga mengajukan
tuntutan rendah. Isi dakwaan hanya menyangkut pengeroyokan,
penganiayaan, bukan pembunuhan. Misalnya dalam kasus terdakwa Dani
bin Misra yang terbukti terlibat dalam pembunuhan Warsono dan Roni.
Dani melempar batu ke kepala Warsono dan setelah korban tersungkur ia
memukul punggung, kepala dan leher Warsono sebanyak enam kali. Ia
juga memukul bagian belakang tubuh Roni.
Terhadap Dani, pasal yang digunakan jaksa adalah Pasal 170
KUHP yang sebenarnya menetapkan hukuman penjara maksimal 12
tahun untuk tindak kekerasan pengeroyokan yang menyebabkan
kematian. Nyatanya, jaksa hanya mengajukan tuntutan penjara lima bulan
pada Dani
Hakim kemudian bahkan memberi vonis lebih rendah lagi: Dani
hanya dihukum penjara tiga bulan. Lagi-lagi hal yang dianggap hakim
meringankan Dani adalah karena jemaat Ahmadiyah dianggap turut
menjadi penyebab terjadinya tindak pidana karena tidak mengindahkan
perintah petugas keamanan untuk meninggalkan tempat kejadian. Hal-
hal yang meringankan lain adalah: terdakwa masih muda (17 tahun),
sopan, terus terang, menyesal dan belum pernah ditahan. Logika serupa
digunakan majelis hakim pada para terdakwa pelaku pengeroyokan lain.

Membaca Teks Hukum secara Kritis


Dagelan pengadilan ini semakin terasa dalam kasus Deden Sudjana,

53
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

koordinator tim Ahmadiyah yang menjadi sasaran aksi brutal massa.


Deden dijadikan terdakwa dengan dasar tuduhan mengada-ada. Menurut
jaksa, ia bersalah melakukan tindak pidana penghasutan, melawan
perintah petugas dan penganiayaan.
Dedan memang berada di barisan terdepan untuk menghadapi
ratusan orang yang menyerbu rumah Suparman. Tapi itu jelas
dilakukannya untuk mepertahankan hak milik organisasi dari serangan
mereka yang tak berhak. Pertarungan berlangsung di tanah milik
Ahmadiyah. Ketika Deden memukul salah seorang penyerbu, itu
dilakukannya dalam kapasitas seseorang yang sedang mempertahankan
hak miliknya. Apa yang dilakukan Deden sejajar dengan seorang pemilik
rumah yang 'menyerang' perampok yang berusaha merampas hak milknya.
Jaksa juga mempersoalkan bahwa di rumah Suparman, polisi
menemukan tombak, batu dan ketapel. Bagi jaksa, ini merupakan bukti
bahwa Deden dan kawan-kawan tidak memiliki niat baik untuk
bermusyawarah. Tentu saja fakta ini bisa dibaca dengan sudut pandang
berbeda. 'Persenjataan' yang tersedia di rumah Suparman layak dibaca
sebagai bentuk upaya mempertahankan diri. Deden sadar bahwa
gerombolan yang menyerbu mungkin sekali akan menggunakan jalan
kekerasan – sebagaimana yang sudah menimpa berbagai permukiman
Ahmadiyah yang diserang oleh gerombolan anarkis di sejumlah tempat
lain. Karena itu ia bersiap-siap.
Tuduhan lain terhadap Deden adalah bahwa ia melawan perintah
petugas. Aparat kepolisian memang sudah menyarankan agar Deden
meninggalkan rumah Suparman mengingat adanya ancaman penyerbuan.
Namun kalau Deden menolak saran itu tentu bukanlah melawan perintah
petugas mengingat ia berada di tanah sah milik Ahmadiyah. Dengan kata
lain, pilihan Deden untuk berada di rumah Suparman bukanlah tindakan
melanggar hukum. Sang petugas hanya meminta Deden untuk
mengevakuasi diri, mengingat polisi 'tak sanggup' menjalankan
kewajibannya melindungi warga yang seharusnya dilindunginya melawan
gerombolan yang melanggar hukum.
Dalam dakwaan jaksa, Deden digambarkan sebagai orang yang

54
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

sengaja menghasut agar kekerasan terjadi. Sebagai bukti, jaksa


menampilkan cuplikan dialog antara Deden dengan Hasanuddin, Kanit
Intel Polsek Cikeusik, Hasanudian, yang meminta Deden untuk
meninggalkan rumah Suparman mengingat pihak kepolisian kuatir
dengan massa yang mungkin akan mendatangi rumah tersebut. Dalam
dialog yang rekaman videonya kemudian tersebar luas itu, Deden memang
sempat mengeluarkan kata-kata (yang ditujukan pada Hasanuddin):
”Kalau kepolisian tidak sanggup,.. lepasin aja Pak,… biarin banjir darah di
sini, iya nggak Pak? Seru kan? Iya nggak Pak?”
Dalam rekaman video itu, terlihat pula ada seorang anggota
Ahmadiyah yang merespons pernyataan Deden itu dengan mengatakan:
”Kami siap, kami siap” – walau kemudian itu ditanggapi dengan cepat oleh
Deden yang memberi isyarat agar pemuda itu tidak mencampuri dialog.
Masalahnya, cuplikan pembicaraan itu tak bisa dibaca sebagai
kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Dalam rekaman video dialog sekitar
9 menit, sejak awal justru terlihat bahwa Deden menghendaki dialog.
Sejumlah kalimat yang ia lontarkan, adalah:
”Kalau tidak suka, dialoglah… Jangan membakar, jangan menghasut,
memaki, menimpuk, melempar… Ini negara hukum… Marilah tegakkan
hukum sama-sama..Sudah ada SKB 3 Menteri, silakan baca…”
”Kalau kita bicara akidah, marilah kita dialog… Masalah multi
tafsir itu kan saling berbeda,.. Kayak Syiah sama Sunni saling bom-boman
masjid,.. Kita kan sedih sesama Islam, masjid dibom besoknya masjid ini
dibom,.. Malu kita kan Pak? Masa Indonesia mau seperti itu?”
Dengan kata lain, bila diikuti secara lengkap, dialog tersebut justru
menunjukkan keinginan Deden untuk berkomunikasi. Di bagian lain dia
memang menyatakan bahwa jemaat Ahmadiyah terpaksa tak akan diam
saja kalau hak milik mereka terus diserang. Tapi dia berulangkali
mengatakan, seharusnya jalan yang ditempuh adalah dialog. Bahwa ia
akhirnya menyatakan : ”Kalau kepolisian tidak sanggup, lepasin aja Pak..
biar banjir darah…” – itu adalah ekspresi ironi yang sarkastis yang
dilontarkan seseorang yang putus asa melihat betapa lemahnya aparat
kepolisian yang ia harapkan pertolongannya.

55
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

Dengan segenap fakta itu, Deden ternyata tetap dinyatakan


bersalah. Ia memang dibebaskan dari dakwaan 'menghasut', tapi Deden
tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana 'melawan pejabat' dan
'penganiayaan'. Hukumannya: 6 bulan penjara potong masa tahanan.
Sebagai perbandingan, Dani yang terbukti membunuh dihukum penjara
hanya 3 bulan sementara Deden dihukum penjara 6 bulan.

Vonis Sudah Dijatuhkan Sebelum Peradilan


Keputusan pengadilan tersebut tentu memprihatinkan. Namun itu
mungkin tak terlalu mengherankan bila diingat bahwa vonis terhadap
Ahmadiyah sebenarnya sudah diambil bahkan sebelum pengadilan
dimulai. Pada dasarnya manusia tidak bereaksi pada realitas objektif
melainkan realitas subjektif. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
manusia tidak memahami dunia sebagaimana apa adanya melainkan
berdasarkan tafsiran mengenai apa yang terjadi. Karena itu menjadi
penting untuk memahami bagaimana imaji tentang dunia dikonstruksi.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, apa yang dipandang sebagai
pelanggaran hak asasi manusia dapat dipahami oleh kelompok tertentu
sebagai sebuah kelayakan mengingat skema mental yang sudah terbangun
mengenai Ahmadiyah. Ketika ada anggota Ahmadiyah dibunuhi dengan
bengis, kekejaman itu bisa menjadi nampak sebagai sesuatu yang layak
karena ia dikategorikan sebagai 'sesat' atau 'jahat'.
Sejarah manusia memberikan banyak contoh. Ketika rakyat
Jerman menyaksikan sendiri bagaimana saudara mereka sesama warga
Jerman keturunan Yahudi ditindas oleh Nazi, mereka membiarkannya
karena sebuah kepercayaan bahwa Yahudi adalah sumber masalah
kehancuran ekonomi Jerman. Ketika orang-orang PKI dibantai,
pembiaran terhadapnya juga bersumber pada sebuah keyakinan tentang
kejahatan kaum Komunis. Keyakinan tidak harus didasarkan pada bukti.
Keyakinan bisa datang dari ide.
Ini pula yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah. Keputusan
pengadilan yang nampak janggal bisa jadi sekadar mencerminkan
ketakutan hakim atas desakan massa yang hari demi hari memenuhi ruang
persidangan. Tapi kalaupun itu bukan karena keyakinan para hakim,

56
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

keputusan yang diambil sekadar merefleksikan sebuah konstruksi imej


tentang Ahmadiyah yang diyakini banyak orang dan karena itu memberi
pembenaran terhadap kelayakan vonis yang seharusnya berpihak pada
kebenaran.
Mendasar dalam keseluruhan gambaran adalah konstruksi
tentang kelompok Ahmadiyah sebagai kaum 'sesat' yang melanggar
peraturan perundangan dan meresahkan. Sebagai bukti bahwa mereka
meresahkan, kelompok ini digambarkan sebagai 'tak mau berbaur' karena
menyelenggarakan sholat Jumat dan pengajian eksklusif. Dalam hal ini
yang lazim dijadikan rujukan adalah SKB Tiga Menteri tentang
Ahmadiyah.
Sebuah pengamatan lebih seksama sebenarnya menunjukkan
bahwa Suparman tidaklah melanggar SKB tersebut. SKB tidak pernah
menyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang di Indonesia. Yang dikatakan
SKB, umat Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya. Lebih jauh lagi,
SKB bahkan menyatakan bahwa tidak boleh ada pihak manapun yang
melakukan kekerasan dan menyerang Ahmadiyah.
Suparman tidak melakukan hal terlarang itu. Jemaah Ahmadiyah
di kampung itu hanya 25 orang. Suparman memang memimpin ritus
peribadatan – seperti sholat dan mengaji – secara eksklusif, tapi itu
dilakukan mengingat memang ada perbedaan di sana-sini dalam ajaran
Ahmadiyah dengan keyakinan mayoritas umat Islam di daerah itu. Untuk
alasan sama, Suparman tidak mengajak para tetangga non-Ahmadiyah
untuk mengikuti shalat Jumat atau kegiatan keagamaan mereka. Mereka
memang tidak melebur dalam artian melakukan kegiatan keagamaan
bersama justru karena tujuan mereka memang tidak mendakwahkan
ajaran mereka pada kalangan lain.
Namun demikian, isi SKB ataupun apa yang dilakukan Suparman
nampaknya memang bukan hal yang relevan. Bagi para pemuka agama
seperti Ujang, adalah tidak penting bahwa Suparman atau pengikut
Ahmadiyah lainnya berlaku santun atau bersahabat atau 'melebur'. Bagi
mereka, Ahmadiyah adalah 'demon' (setan). Bagi mereka perseteruan ini
adalah semacam peperangan antara menegakkan kebenaran melawan

57
FOKUS Ketika Korban Menjadi ‘Setan’

kebathilan. Ini adalah semacam perang suci yang harus dijalankan.


Konstruksi imej ini pula yang kemudian mendorong lebih dari
seribu orang berduyun datang ke rumah Suparman pada pagi berdarah
tersebut. Keyakinan semacam itulah yang memungkinkan orang-orang
waras mengeroyok, memukuli, menghantam dengan batu, dengan kayu,
menyiksa para jemaat Ahmadiyah yang tak berdaya itu sampai mati.
Dan wacana itulah yang mengisi seluruh proses pengadilan. Para
jemaat Ahmadiyah jelas-jelas diposisikan sebagai bersalah sejak awal,
sementara para penyerang dicitrakan sebagai kalangan yang terprovokasi
oleh perilaku kaum sesat. Dalam berbagai pertimbangan yang diajukan
hakim, berulangkali dinyatakan bahwa walau penyerangan dan
pembunuhan tersebut tak dapat dibenarkan secara hukum, namun pada
dasarnya pihak Ahmadiyah dengan sengaja memprovokasi penyerangan.
Pengadilan tahu persis bahwa rencana penyerbuan ke rumah
Suparman tidak berlangsung secara spontan dan tidak terencana. Karena
itu, fakta bahwa rombongan Deden datang dengan mempersenjatai diri
dengan tombak, ketapel dan batu sama sekali tidak bisa dipandang sebagai
upaya untuk memprovokasi. Hakim tahu persis bahwa ketika Deden
melayangkan tinju ke arah mereka yang masuk ke pekarangan rumah
adalah dalam rangka mempertahankan diri dan bukan untuk 'menganiaya'.
Hakim tahu persis bahwa ketika Deden dan rombongan tidak mau
meninggalkan rumah adalah karena kewajiban untuk mempertahankan
diri dan bukan untuk 'melawan perintah petugas'. Hakim tahu persis
bahwa ketika Deden menyatakan 'biar saja banjir darah terjadi', itu
bukanlah ungkapan harapan tapi ungkapan sarkastis terhadap
ketidakberdayaan negara melindungi warga.
Namun, semua logika itu menjadi tidak berarti, karena pengadilan
pada dasarnya memang sekadar mencari bukti untuk menjustifikasi
keputusan yang akan menyelamatkan para penyerang yang sebenarnya
telah melakukan tindakan di luar perikemanusiaan.
Pengadilan Cikeusik dengan demikian tidaklah menjadi tempat
di mana keadilan ditegakkan. Vonis terhadap Ahmadiyah sebenarnya
sudah dijatuhkan jauh hari sebelum peradilan dimulai. Vonis itu adalah:

58
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Ahmadiyah bersalah karena mereka adalah kaum sesat. Apapun yang


terjadi senantiasa harus merujuk pada vonis pertama itu. Para hakim, para
jaksa, Tim Pembela Muslim hanya sekadar berpura-pura menjalankan
sandiwara hukum untuk menunjukkan bahwa pengadilan secara faktual
memang berlangsung.

59
DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah
Dua Fundamentalisme
Yudi Latif

Abstract
This paper describes the importance of revitalizing Pancasila as a strategy to
struggle against the religious and market fundamentalism. Pancasila has
strong roots in the history of Indonesia society, and particularly relevant to
be grounded as a solution to the problem of this plural society.

Keywords: Pancasila. ideology, revitalization of Pancasila

Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia!
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: 'Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan,
My nationalism is humanity'….
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka,
tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa….
Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …yang boleh saya namakan
'internasionalisme.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitanisme,
yang tidak mau adanya kebangsaan….
(Soekarno, 1 Juni 1945)

Dengan berlalunya perang dingin, dua ekstrem fundamentalisme menebar


ancaman baru bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan:
fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Keduanya
merupakan dua sisi dari koin yang sama, bernama ”globalisme triumphalis”,
yang berlomba menaklukkan setiap jengkal dunia hidup atas dasar
hegemoni penunggalan agama dan pasar. Kedua jenis fundamentalisme

63
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

ini membonceng arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam


penetrasinya, dan instan kecepatannya. Situasi demikian memungkinkan
keduanya menjelma menjadi fenomena yang serba hadir (ubiquitous) yang
dapat merusak tatanan perikemanusiaan dan perikebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, dasar falsafah bernegara, Pancasila,
sesungguhnya telah mengantisipasi dampak buruk dari globalisasi. Secara
umum, sila kedua, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan
prinsip agar globalisasi (internasionalisme) yang dikembangkan
hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan dan keberadaban. Secara
khusus, sila pertama, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, menekankan prinsip
ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran, yang menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan sila kelima, ”Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menekankan prinsip yang menolak
dominasi pasar dengan mengupayakan keseimbangan antara peran
negara, komunitas (koperasi), dan pasar (swasta).
Untuk mencegah dampak buruk dari ancaman fundamentalisme
agama dan pasar, tulisan ini menganjurkan perlunya melakukan
revitalisasi Pancasila dalam memuliakan hak-hak asasi manusia dalam
kerangka negara-bangsa, dengan memahami dan mengaktualkan ide-ide
pokoknya.

Globalisasi dan Dampak Ideologisnya


Globalisasi modern dan pasca-modern menemukan pijakannya dari
perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-
penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang
kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957,
satelit pertama buatan manusia, ”Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet.
Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Soviet dan
Amerika. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya,
”Explorer 1”. Pada Juni 1961, Angkatan Udara Amerika menggunakan
berbagai fasilitas dari Jaringan Mata Angkasa Amerika (the United States
Space Surveillance Network) untuk mengkatalogkan sejumlah 115 satelit
yang mengorbit bumi.

64
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Keberadaan satelit ini, yang kemudian disusul oleh penemuan


fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan
telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia yang
melampaui hambatan-hambatan ruang dan waktu. Dengan berbagai
penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informatika, dunia
mengalami arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam
penetrasinya, dan instan kecepatannya. Yang dimaksud dengan globalisasi
dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), ”adalah intensifikasi relasi-
relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan
sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitupun
sebaliknya” (Globalization is the intensivication of world-wide social
relations Which link distant localities in such a way that local happenings are
shaped by events occurring many miles away and vice versa).
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi
membawa 'distansiasi ruang-waktu' (time-space distanciation) sekaligus
'pemadatan ruang-waktu' (time-space compression) yang merobohkan
batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey,
1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestukturisasi cara hidup umat
manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
Berhembus pertama kali dari pusat-pusat adidaya, globalisasi pada
akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali negara adikuasa
sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata. Dengan
perluasan, pendalaman dan percepatan globalisasi ini, lingkungan
strategik yang mempengaruhi perkembangan negara-bangsa merupakan
resultante dari kesalingterkaitan antar berbagai elemen terpenting dalam
lingkungan global, regional, nasional, dan lokal. Dampak yang
ditimbulkannya bersifat mendua, yang dikenal dengan istilah 'global
paradox': memberi peluang dan hambatan, positif dan negatif
Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi
menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan
komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat

65
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian)


tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak
ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara
terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya.
Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang
didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Kesulitan-kesulitan
ekonomis yang ditimbulkan oleh mismanajemen yang bertaut dengan
tekanan globalisasi memaksa Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev
meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnost. Secara konstan,
Uni Soviet kehilangan kekuatan dan kekuasaannya terhadap Eropa Timur
dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1991. Meski dalam kadar dan
implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuensi
globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya
pada awal milenium baru.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa,
yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-
bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik
masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme
dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-
indentitas kultural. Dalam planet bumi yang dirasa kian ”mengecil”,
jumlah negara bangsa justru kian bertambah. Antara 1960 dan 2006,
anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192,
dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur
(antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru).1 Seiring
dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan
diterima sebagai anggota baru Federation of International Football
Association (FIFA).2 Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang
bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan
pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius.
Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide,
orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam
perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang
memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih

1. Lihat, http://www.un.org/Overview/growth.htm diakses pada 21 Oktober 2009.


2. Lihat Alex MacGillivray (2006: 52-54).

66
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun


dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam
tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian
elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu
lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha.
Pergeseran modus produksi Fordisme (yang kaku dan kurang mobil) ke
sistem akumulasi fleksibel (yang beroperasi dengan kelenturan dan
layanan just-in-time) merupakan eksemplar bagaimana pengolalaan atas
ruang dan waktu semakin signifikan dalam kapitalisme lanjut di era
globalisasi ini.
Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak
sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang”
(winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan
baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm,
2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk
terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi
memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak
rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke
negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan
”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan
dunia).
Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung
pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi
dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi
berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat
memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi
kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya
melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan
untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).
Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung
kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri.
Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya,
bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya. Dalam

67
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

konteks kelembagaan antarbangsa, ada beberapa institusi yang semula


didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk tujuan
sebaliknya. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank. Ketika
didirikan, premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian-
pengandaian John Maynard Keynes. Tetapi kemudian IMF menjadi pintu
bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi tingkat
dunia, tanpa memperhatikan dampak tingkah lakunya.
Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim
pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun '80-an, yang kemudian
mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih
hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan
persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank
tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan
hukum internasional. Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti
oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional
untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-
kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan
lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll).

Implikasinya bagi Indonesia


Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke
pusaran gelombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut
Huntington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan
reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda
Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari
penetrasi kekuatan-kekutan global, yang setelah perang dingin berakhir,
terutama dari gerakan-gerakan trans-nasional keagamaan dan modal.
Padahal, usaha demokratisasi menghendaki penguatan
kedaulatan negara guna merespon meluasnya tuntutan rakyat di dalam
negeri. Tanpa kedaulatan negara, transisi menuju demokrasi, seperti yang
berlangsung di Indonesia, kerapkali hanyalah membuat pendulum sejarah
berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Demokrasi
memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa

68
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka
peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas
negara.
Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur
penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakan kelembagaan
negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and
balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-
undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik
horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.
Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak
cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri. Istilah
”reform” menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary (1978) berarti
”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.”
Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk
mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah
ada, melainkan berusaha menyempurnakannya, dengan membuang yang
buruk dan meningkatkan yang baik.
Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph
Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau
berkata, ”I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the
Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I
have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as 'shock'
therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries
of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).
Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah
bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara
tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas
administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan
memunculkan ”negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-
dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.
Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu

69
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

luas cakupannya, terlalu dalam penetrasinya, dan terlalu cepat


pelaksanaannya; tanpa perhitungan yang matang mengenai dampak
ikutan, prasyarat yang mesti dipenuhinya, serta kecocokan institusi-
institusi baru bagi sistem sosial-budaya Indonesia. Secara kumulatif, hal ini
memperlemah otoritas negara Indonesia dalam situasi ketika negara
dihadapkan pada aneka rongrongan yang membonceng arus globalisasi
dan lokalisasi.
Arus globalisasi yang bersanding dengan lokalisasi membawa
paradoks global dalam kehidupan berbangsa. Tarikan global ke arah
demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi
oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di
seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan
perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan
bangsa—mengalami gelombang pasang.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan
dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik
penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini
bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan,
melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa
identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara
menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).
Tantangan berat terhadap nasionalisme politikal datang dari
persenyawaan antara pengekspresian politik identitas yang bersifat trans-
nasional dengan revivalisme sentimen kedaerahan. Komitmen
kebangsaan bisa dilampaui oleh komitmen etno-komunal yang
mendapatkan sumber-sumber moralitas dan idealitasnya dari gerakan-
gerakan kebudayaan dan keagamaan trans-nasional.
Persenyawaan keyakinan atavistik ini melahirkan tuntutan ke arah
entitas politik mondial berbasis keagamaan (seperti gagasan kekhalifahan
Islam), revivalisme ide negara Islam (NII), syariahisasi politik lokal (perda
syariah), fatwa-fatwa keagamaan yang ekslusif (seperti banyak fatwa
MUI). Lebih dari itu, tuntutan ini juga mengarah pada gejala kekerasan
keagamaan: aksi terorisme, persekusi pengikut agama atau sekte

70
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

keagamaan tertentu.
Dihadapkan pada ancaman pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) seperti itu, Indonesia sebagai negara lemah justru seringkali
mengeluarkan kebijakan politik yang melanggar prinsip-prinsip
penegakan (HAM). Setidaknya ada dua jenis pelanggaran HAM yang
sering dilakukan oleh negara. Pertama, pelanggaran terhadap hak dan
keadilan sipil yang bersifat setara (equal) dan tak dapat dikurangi (non-
derogable) . Bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar utama yang
dijamin konstitusi, yang tanpa hal itu semua kebebasan lainnya tak
bermakna.
Tidak ada konstitusi yang sempurna. Tapi, dalam persoalan
perlindungan hak berkeyakinan, konstitusi kita, bahkan sebelum
amandemen, tidak bersifat ambigu, melainkan mendasar dan jelas
(unequivocal). Sejak awal, hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, yang
kemudian lebih diperjelas dalam konsitusi versi amandemen keempat,
terutama pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 28E,
misalnya, disebutkan bahwa ”setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya” (ayat 1); dan juga ”berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya” (ayat 2).
Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi kovenan PBB
mengenai hak-hak sipil yang kemudian diratifikasi ke dalam UU No. 12
tahun 2005. Pada Bab III, Pasal 18 dari Kovenan ini disebutkan: 1.
”Everyone shall have the right of freedom of thought, conscience and religion.
This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his
choice, and freedom, either individually or in community with others and in
public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance,
practice and teaching; 2. ”No one shall be subject to coercion which would
impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.”
Baik konstitusi kita maupun kovenan ini secara nyata menjamin
kebebasan beragama sebagai prinsip yang absah. Hal ini
mengimplikasikan suatu afirmasi yang konkrit bahwa Negara dalam
kondisi apapun, bahkan dalam tuntutan untuk menjaga ketertiban umum,

71
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

tak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik dari
setiap orang.
Kedua, negara juga melakukan pelanggaran terhadap hak
komunitarian (communitarian rights) karena kegagalannya melakukan
proteksi terhadap hak untuk berbeda. Memang tidak semua perbedaan
harus diakomodasi karena bisa melumpuhkan prinsip kesetaraan dari hak
sipil itu sendiri. Tetapi ada perbedaan yang relevan (relevant difference),
yang memerlukan pengakuan dan representasi, yang diakui keabsahannya
bahkan oleh paham liberalisme. Yakni perbedaan yang ditimbulkan atau
dikonstruksikan oleh diskriminasi dan marjinalisasi. Proteksi dan
representasi khusus kelompok yang dimarjinalkan dan didiskriminasikan
ini dibenarkan, karena tanpa pengakuan terhadap hak untuk berbeda
diskriminasi bisa berlanjut yang berakibat pada pengabaian secara
permanen hak-hak sipil dari anggota komunitas tersebut. Ambillah
contoh kasus pemberian kuota khusus bagi representasi kaum perempuan.
Dengan prinsip yang sama, Jamaah Ahmadiyah—yang sering mengalami
persekusi—pun layak memperoleh jaminan hak untuk berbeda. Dalam
hal ini, tugas negara adalah melakukan proteksi terhadap kelompok yang
lemah dan didiskriminasikan, bukannya malah semakin menguatkan
diskriminasi.
Jika fundamentalisme agama membawa ancaman terhadap hak
sipil dan politik, ancaman terhadap hak ekonomi –cum hak sosial dan
budaya—datang dari fundamentalisme pasar. Halangan dalam promosi
HAM muncul sejak tahun '80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme
yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah
dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar
meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang
makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negatif
dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus
pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Studi penting telah dihasilkan
dalam kerja Sub-Commission on Prevention of Discrimination and
Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi),3 Commission on Human

3. Pada 1998, lembaga ini dinamai kembali dengan 'Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights'.

72
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Rights (disebut Komisi), UN High Commissioner for Human Rights


(UNHCHR) atau oleh Secretariat of the United Nations (Sekretariat
PBB). Studi pionir disiapkan oleh Danilo Türk (1992) untuk Sub-
Komisi, menunjukan tidak adanya perhatian yang serius pada hak
ekonomi dan sosial dan peran problematis dari lembaga Bretton Woods
(Sub-Commission, 1992). Beberapa studi lanjutan yang disiapkan oleh
Sub-Komisi, Special Rapporteur Jose Bengoa membuat penilaian atas
meningkatnya perbedaan pendapatan yang timbul seiring dengan
gelombang globalisasi korporasi, dan akibat negatifnya pada perlindungan
hak asasi manusia (Sub-Commission, 1997).4
Tidak satupun studi ini yang menolak pentingnya kerjasama dan
perdagangan global, tetapi studi ini lebih mengarahkan perhatian pada
ancaman terhadap kemanusiaan dan HAM yang ditimbulkan oleh
globalisasi pasar yang berbasis ideologi neo-liberalisme. Studi-studi ini
mengandung saran-saran yang bagus bagi reorientasi dan perbaikan arah
globalisasi, dengan mengubah kebijakan neo-liberal di masa mendatang
menuju pembangunan berbasis-hak (right-based development).
Dalam konteks Indonesia, ancaman neoliberalisme terhadap
HAM bisa diurut mulai dari kasus kejahatan perusahaan-perusahaan
multinasional mapun nasional dalam penjarahan sumberdaya alam dan
perusakan ekosistem, penetrasi kepentingan korporasi dalam penyusunan
perundang-undangan, intervensi korporasi dalam pemilihan aparatur
negara, hingga kekerasan dan pembunuhan warga di sekitar areal
perusahaan.
Ancaman terhadap HAM yang datang dari fundamentalisme
agama dan pasar itu mengisyaratkan betapa pemahaman warga dan
aparatur negara tentang prinsip-prinsip demokrasi konstitusional masih
sangat lemah. Hal ini memperkuat tuntutan agar Indonesia sebagai

4. Sepertiga dari studi besar mengenai konsekuensi keseluruhan dari proses globalisasi terkini bagi hak asasi manusia dikerjakan
selama periode 5 tahun oleh Joe Oloka-Onyanga dan Deepika Udagama (lihat secara khusus: Sub-Commission 2000, 2001,
dan 2003). Beberapa studi penting juga dikerjakan oleh UNHCHR atau Sekretariat PBB. Antara lain studi atas dampak hak
milik intelektual (IPRs) atas hak asasi manusia dalam aspek-aspeknya yang berhubungan dengan perdagangan (UNHCHR,
2001), studi atas dampak liberalisasi perdagangan dalam jasa terhadap hak asasi manusia (UNHCHR, 2002a), serta studi
tentang globalisasi dan dampaknya pada hak asasi manusia dengan fokus khusus pada perdagangan agrikultur (UNHCHR,
2002b). Di tahun 2003, UNHCHR menghadirkan sebuah studi pada hak asasi manusia, perdagangan, dan investasi
(UNHCHR, 2003). Prinsip fundamental non-diskriminasi dalam konteks globalisasi merupakan subyek studi analisis dari
UNHCHR di tahun 2004 (UNHCHR, 2004a)

73
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

republik harus berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari
republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani
sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin
mengalami ragam perbedaan golongan dan kelas sosial.
Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi
masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam.
Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-
multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari
dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik
(political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang
menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok
budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif
dalam suatu Republik.

Perlu Revitalisasi Pancasila


Apakah dengan tekanan globalisasi dan internasionalisme nasib negara-
bangsa akan sekadar menjadi sebuah 'fiksi' sebagaimana dikatakan baik
oleh Kenichi Ohmae? Lantas muncul pertanyaan pula bagaimana peran
pemerintah di tengah arus globalisasi? Apakah pemerintah akan menjadi
usang?
Tentu saja, tidak! ”They are not, but their shape is being altered,”
ujar Giddens (1999: 32). Negara tidak akan usang, akan tetapi bentuknya
sedang berubah. Seiring dengan itu, nasionalisme pun menemukan
konteks baru (Hobsbawm, 2007: 2). Menurut Paul Kennedy (1994),
negara-bangsa akan tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya
responsif terhadap globalisasi.5
Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-
perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang
semakin menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa.
Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai locus utama bagi
identitas para warganya, sejauh belum ada institusi lain yang secara
adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespon

5. Paul Hirst & Graham Thompson, Globalization in Question (Cambridge: Polity Press, 1996).

74
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

perubahan global. Seperti dikemukakan oleh Paul Kennedy:


”Barangkali memang ada erosi tertentu dari kekuasaan negara-
bangsa dalam dekade-dekade terakhir, namun negara-bangsa masih tetap
sebagai locus utama identitas dari kebanyakan orang; tak peduli siapapun
majikannya dan apapun yang mereka kerjakan untuk hidup; individu-
individu membayar pajak pada negara, tunduk pada hukum-hukumnya,
dan bertugas (jika dibutuhkan) dalam angkatan bersenjatanya, dan hanya
dapat bepergian ke luar negeri dengan memiliki paspornya.
Kesimpulannya, bahkan jika otonomi dan fungsi negara mengalami erosi
oleh kecenderungan transnasional, belum ada penggantinya yang adekuat
sebagai unit kunci dalam menjawab perubahan global. Bagaimanapun,
kepemimpinan politik suatu bangsa dalam mempersiapkan rakyatnya
untuk menghadapi abad ke-21 masih amat penting bahkan ketika
instrumen-instrumen tradisional negara mulai memudar—itulah
sebabnya mengapa sekarang perlu untuk mempertimbangkan prospek
masing-masing negara dan kawasan berdasarkan kemampuannya
merespon, atau gagal merespon, terhadap tantangan abad baru (Kennedy,
1994: 134).”
Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam
penegakan HAM internasional. Menurut hukum hak asasi manusia
sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights,6
pertanggungjawaban untuk perwujudan hak asasi manusia dalam hukum
internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang
dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari
komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR. Untuk menghidupkan
tanggungjawab itu, negara harus memikul 3 perangkat kewajiban: untuk
menghormati (respect) kebebasan individu; untuk memenuhi (fulfill) hak
tersebut baik melalui fasilitasi (facilitation) atau melalui penyediaan
(providing) akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar
seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.7

6. UDHR plus Kovenan Internasional yang diadopsi di tahun 1966; meliputi hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial, dan
budaya.
7. Kerangka umum bagi kewajiban negara pertama kali diproporsi oleh Eide (1984) dan kemudian digunakan sebagai studi
pertama bagi PBB dalam soal hak atas pangan melalui Sub-Komisi untuk Promosi dan Proteksi Hak Asasi Manusia (PBB,
1989), dan kemudian diadopsi oleh CESCR untuk beberapa General Comment (Komentar Umum), mulai pada General
Comment No.12 dalam Hak atas Pangan di tahun 1999.

75
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

Peran negara pun masih penting untuk mewujudkan


kesejahteraan masyarakat, seperti tercermin dari kegagalan ideologi dan
proyek neo-liberalisme yang membawa krisis Amerika Serikat dan dunia
pada awal milenium baru. Tendensi neoliberalisme untuk mengecilkan
peran negara membuat pasar bebas melenggang tanpa aturan maupun
pengawasan, yang memunculkan aneka kebobrokan pelaku pasar (moral
hazard), yang berujung pada krisis perekonomian. Lebih dari itu, Naomi
Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana kebijakan neoliberalisme
menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasi,
ketidaksetaraan, dan pengrusakan lingkungan.8 Bahkan sekalipun
neoliberalisme sering mengabaikan peran negara, dalam praktiknya,
seperti ditunjukkan Robert Kuttner (2007), neoliberalisme Amerika
Serikat acapkali menggunakan kekuatan negara untuk menderegulasikan
industri keuangan.9
Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi,
globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang
mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat,
seperti ditunjukkan oleh China. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat
di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk
pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui
regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen
internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international
governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila
kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat.
”Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana
kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi
global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam
perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini
dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,
8. Naomi Klein, 2007, The Shock Doctrrine: The Rise of Disaster Capitalism, New York: Henry Holt and Company
9. Robert Kuttner, 2007, The Squandering of America: How our Politics Undermines Our Prosperity, New York: Knopf.

76
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang


dimilikinya untuk secara bebas-aktif 'ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial',
sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Kedalam,
bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, 'benda
ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak-azasi kemanusiaan' (Yamin,
1956: 186-187).
Menyadari relevansi dan aktualitas visi Pancasila dalam
mengantisipasi ancaman globalisasi terhadap HAM, terasa perlu
melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai kerangka konsepsional
penegakan HAM dalam konteks negara bangsa. Dalam kaitan ini, perlu
disadari bahwa sila-sila Pancasila secara keseluruhan maupun sendiri-
sendiri tidaklah bertentangan, bahkan mendukung prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia. Pancasila dapat dikatakan sebagai prinsip
kontekstualisasi HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai bangsa
multikultural dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam.
Dihadapkan pada realitas seperti itu, negara ingin memenuhi HAM
dengan mengembangkan dua prinsip pokok: negara kekeluargaan dan
negara keadilan (kesejahteraan).
Negara kekeluargaan adalah negara yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan. Dalam ungkapan Soekarno, “Negara
Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara
'semua buat semua', 'satu buat semua, semua buat satu'.”
Negara keadilan (kesejahteraan) mengandung arti bahwa peran
negara bukan hanya sebagai 'penjaga malam', melainkan memainkan peran
aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial,
melalui penguasaan, regulasi, fasilitasi, dan penyediaan akses pada
kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan,
pendidikan, dan kesehatan.
Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu
dilukiskan dalam pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ungkapan:

77
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

”Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia


dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan basis konsepsi kenegaraan seperti itu, Pancasila mampu
mengantisipsi berbagai tantangan global dalam perlindungan HAM.
Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme
agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan
dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, ”Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan
secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya 'egoisme-agama'…Ketuhanan
yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain.”
Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi
dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas,
prinsip ”sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga
Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.
Dalam prinsip ”sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesia adalah
kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri
atas prinsip semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia
juga kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang mengarah pada
persaudaraan, keadilan dan keadaban dunia. Dikatakan Bung Karno,
”Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”.
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan
ekonomi, prinsip ”sosio-demokrasi” yang tertuang dalam sila keempat dan
kelima Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini,
demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada
ranah politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi
permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan
melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif.
Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial,

78
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang yang


terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat,
membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa
Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan
banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan
merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan
radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan
tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme
triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-
individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-
bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa
Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang,
masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal
memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai menengok
warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai
mengabaikannya.

Penutup: Pembumian Pancasila


Diperlukan penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila
untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme. Dengan
menguatkan nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang
berprikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi
keadilan sosial, Indonesia akan mampu menghadapi perkembangan baru
dengan suatu visi global yang berkearifan lokal.
Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang
terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama
lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, yang

79
DISKURSUS Revitalisasi Pancasila

diperlukan adalah apa yang disebut Kuntowijoyo (2001) dengan proses


”radikalisasi Pancasila”. ”Radikalisasi” dalam arti ini adalah pengakaran
ideologi, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk
bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar.10 Radikalisasi Pancasila
yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai
ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi
Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai
konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan
korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya
melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik
kebijakan negara.
Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila
menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan; sanggup
memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan
tanpa makna. Tetapi pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi
lebih bermakna sejauh diberi kaki operasionalisasinya agar bisa
menyejarah dan memiliki makna bagi kehidupan kemanusian dalam
konteks negara-bangsa Indonesia.

10. Kuntowijoyo (2001) mengutip pendapat seorang koleganya, Damardjati Supadjar dari UGM, yang pernah mengusulkan
untuk mengefektifkan Pancasila. Caranya ialah menjadikan perumusan sila-sila yang berupa kata benda abstrak sebagai kata
kerja aktif. Jadi, bukan saja Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi "Mengesakan Tuhan". Bukan hanya Kemanusian yang adil dan
beradab, tapi "Membangun kemanusiaan yang adil dan beradab". Bukan saja Persatuan Indonesia, tapi "Mempersatukan
Indonesia". Bukan saja Kerakyatan, tapi "Melaksanakan kerakyatan". Bukan hanya Keadilan Sosial, tapi "Mengusahakan
Keadilan Sosial".

80
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Daftar Pustaka

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011.
http://www.un.org/Overview/growth.htm, diakses pada 21 Oktober
2009.
Paul Hirst & Graham Thompson, Globalization in Question
(Cambridge: Polity Press, 1996).
Naomi Klein, 2007, The Shock Doctrrine: The Rise of Disaster
Capitalism, New York: Henry Holt and Company
Robert Kuttner, 2007, The Squandering of America: How our Politics
Undermines Our Prosperity, New York: Knopf.

81
Hak Asasi Manusia Solusi
Menghadang Fundamentalisme
Roichatul Aswidah

Abstract
Human rights is relevant to be discussed in the struggle against the religious
and market fundamentalism. In the idea of ??human rights, we see that the
clearly basic concepts of human rights is very important to be the basis of
resistance to fundamentalism. This paper describes the basic concepts of
chaos and shows the location of vulnerable fundamentalism affair with
power.

Keywords: human rights, autonomy, equality

”religious fundamentalisms are an idea whose time has come and we won't be
seeing the end of its influence by focusing on some individuals; fundamentalism is
something whose seeds have been planted and which needs a long, sustained effort
at de-seeding”
Victor Hugo-parahrased by Vijay Nagari

Menyelami Fundamentalisme
Fundamentalisme pasar dan agama seringkali digambarkan mengepung
atau mencengkeram sebegitu kuatnya hingga Indonesia sebagai sebuah
negara tak bisa bergerak merdeka. Kedua jenis fundamentalisme itu telah
menggerogoti tubuh bangsa hingga menciptakan keganjilan dalam rasa-
merasa kita sebagai bangsa: ”Aku pertama-tama adalah orang beragama”,
atau ”Aku pertama-tama adalah konsumen”. Kewargaan kita terkoyak
fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.1
Kegelisahan banyak orang mengenai fundamentalisme agama di
Indonesia—terutama paska reformasi—merujuk pada maraknya aksi
kekerasan yang terjadi atas nama agama. Kekerasan yang terjadi kian

1. B. Herry Priyono, “Mendidik Ulang Kewargaan”, Kompas, 23 Mei 2011

83
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

mencemaskan. Mulai dari aksi teror, penyerangan terhadap pemeluk


agama lain, persekusi, bahkan pembantaian dengan dalih ajaran yang
menyesatkan.
Wujud lain dari fundamentalisme agama dapat dilihat dari
munculnya berbagai peraturan yang populer disebut Perda Syariah. Studi
yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan menemukan antara 1999-2009 tercatat adanya 154 peraturan
daerah bernuansa agama dan moralitas yang diskriminatif terhadap hak-
hak perempuan. Kebijakan tersebut diterbitkan di 69 kabupaten/kota di
21 propinsi.2 Perda-perda bernuansa Syariat Agama ini menerapkan
praktik agama yang lebih ketat, misalnya, mengharuskan semua pegawai
pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian muslim,
hingga membatasi kegiatan perempuan di waktu malam hari.3
Singkatnya, bagi sebagian masyarakat muslim, era ini bak sebuah
momentum bagi 'kebangkitan' Islam di Indonesia. Identitas Islam menjadi
tidak lagi tunggal seperti masa Soeharto. Kebebasan sipil di masa reformasi
sekarang memungkinkan aneka macam aliran Islam muncul ke
permukaan. Ada akibat lain dari kebebasan ini yaitu munculnya
organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-label Islam, termasuk
media-media Islam baru.4
Golongan eksklusif menjadi salah satu corak organisasi
keagamaan yang muncul di era reformasi. Golongan ini cenderung
berhaluan ”keras”, yang tak segan dalam aksinya melakukan kekerasan.
Musdah Mulia mencontohkan: Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front
Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, Majelis Mujahidin Indonesia,
Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jundullah, Gerakan Pemuda Islam
(GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Pada tataran ideologi
sebagian kelompok ”garis keras” berjuang untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi negara.5
Sedangkan perbincangan mengenai fundamentalisme pasar di

2. Lihat ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Komnas
Perempuan, 2010
3. Lihat Musdah Mulia, ”Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional
Komnas HAM ”Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
4. Ibid
5. Selain golongan eksklusif, Musdah Mulia menyatakan adanya dua golongan lain yaitu moderat (NU dan Muhamadiyah)
serta kelompok progresif (Wahid Institut, ICRD, Interfidei dsb), ibid

84
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Indonesia seringkali merujuk pada mulai menjauhnya negara dari kontrol


dan tanggung jawab atas kebijakan sektor-sektor dasar publik. Pada agraria
cengkeraman pasar dapat ditarik jauh sekali pada kebijakan yang berkaitan
dengan perkebunan, pertambangan maupun kehutanan yang membuka
kemungkinan perusahaan kapitalis negara-negara penjajah di Eropa
memiliki akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam.6
Sejarah mencatat terjeratnya Indonesia pada program program
penyesuaian struktural IMF mengharuskan negara ini melakukan
pengurangan subsidi. Negara menjauh dan melepaskan tanggung
jawabnya pada berbagai sektor, lalu menyerahkannya kepada pasar.
Kepungan pasar saat ini semakin menyusup pada sektor-sektor dasar
publik: 75 persen pertambangan, 50,6 persen perbankan, 70 persen
jaringan telekomunikasi, dan 65 persen agroindustri di Indonesia, sudah
dikuasai asing. Selain itu, 100 persen teh dan makanan ringan merk
tertentu juga dimiliki Inggris, kemudian 74 persen minuman ringan
dikuasai Prancis. Pasar juga ditengarai masuk dalam proses regulasi
dengan kompensasi utang dan bantuan teknis kepada Indonesia, di
antaranya UU Minyak dan Gas, UU Telekomunikasi, UU Listrik, UU
Sumberdaya Air, dan sebagainya. Dinyatakan bahwa 49 persen pemain
asing sudah diizinkan masuk pendidikan, dan juga swastanisasi rumah
sakit.7
Kekuatan fundamentalisme pasar adalah ia menggerogoti
kemudian melumpuhkan kuasa lalu menggantikan peran negara dalam
mengurusi kepentingan publik. Negara secara pelan dan sayup-sayup
menghilang (dissapearing) kalaupun tak mau dikatakan semakin “tak ada”
dalam pengurusan kesejahteraan publik. Pertanyaannya kemudian adalah
adakah gagasan yang dapat menjadi basis untuk membendung laju
fundamentalisme, baik agama maupun pasar? Mampukah ia memaksa
negara kembali pada kontrol dan tanggung jawabnya atas kepentingan
publik?

6. Noer Fauzi Rahman, ”Menyegarkan kembali Ingatan atas Kapitalisme”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, (ELSAM) , Jakarta, 2 Nopember 2011
7. Pancasila Dikepung Ideologi Fundamentalisme Pasar dan Agama,
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/32673/Warta/Pancasila_Dikepung_Ideologi_Fundamentalisme_Pasar_d
an_Agama.html, diakses pada 20 Desember 2011

85
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

Selain itu, menyangkut agama dan netralisme negara, bagaimana


memposisikan agama dalam konteks negara yang plural? Bagaimana
merumuskan negara yang netral agama?8 Bagaimana memisahkan ruang
privat dan ruang publik? Bagaimana memisahkan posisi warga negara dan
umat beragama.
Di sinilah letak relevansi membicarakan hak asasi manusia guna
mendudukkan negara kembali dalam kapasitasnya. Sebagai gagasan, hak
asasi manusia penting untuk coba ditawarkan sebagai solusi menghadang
fundamentalisme karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang
otonom.

Konsep Dasar Hak Asasi Manusia


Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak asasi manusia, berikut adalah
konsep dasar mengenai apa itu hak asasi manusia. Konsep ini merupakan
unsur yang menjadi pembentuk gagasan hak asasi manusia yang sifatnya
mutlak dan tak bisa ditawar lagi.

a. Semata karena Manusia


Dalam memperbincangkan konsep hak asasi manusia,9 seringkali
dinyatakan oleh para ahli bahwa hak asasi manusia dimiliki oleh manusia
semata-mata karena dirinya manusia.10 Hak asasi manusia dimiliki oleh
manusia untuk mempertahankan martabatnya sebagai manusia, dimana
hak asasi manusia dibutuhkan oleh manusia bukan hanya untuk hidup,
tetapi hidup lebih bermartabat.11
Konsep hak asasi manusia kemudian didefinisikan secara lebih
rinci oleh hal-hal yang menjadi ancaman-ancaman besar pada martabat
manusia. Muatan hak sipil dan politik didefinisikan oleh kemungkinan
absolut dan kesewenang-wenangan kekuasaan negara modern. Sementara
itu dapat pula dinyatakan bahwa muatan hak ekonomi dan sosial
didefinisikan oleh ancaman yang muncul dari tak terkendalikannya
kekuatan pasar, juga urbanisasi, serta industrialisasi.12

8. Musdah Mulia, ”Agama dan Perdamaian (Membaca Konteks Keindonesiaan)”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, (ELSAM), Jakarta, 2 Nopember 2011
9. Peter Jones, Rights, Issues in Political Theory, Palgrave, New York, 1994, hal. 4
10. Ibid, hal. 4
11. Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003 hal.14
12. David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam David Beetham (ed.), Politics and Human Rights,
Blackwell Publishers, 1995, hlm. 44-46

86
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Oleh karena itu, pada dasarnya gagasan hak asasi manusia menjadi
basis pertahanan melawan excess power.13 Jadi gagasan dasar hak asasi
manusia memiliki muatan inti: pertama, dimiliki semata karena dirinya
manusia; kedua, hak ini dimiliki oleh manusia untuk hidup bermartabat.
Ada pula ahli yang membangun argumen dan menyatakan bahwa hak
asasi manusia ada untuk melindungi manusia agar dapat melakukan
tindakan moral.14 Dalam hal ini gagasan hak asasi manusia adalah untuk
melindungi human agency di mana manusia kemudian setidaknya
memiliki “kebebasan” dan derajat tertentu atas kesejahteraan dirinya (well
being) sehingga mampu dan otonom untuk menentukan tindakannya.15

b. Negara Sang Pemangku Kewajiban


Konsep ”hak” pada hak asasi manusia menerbitkan konsep kewajiban.
Seseorang dinyatakan memiliki hak dan ini menerbitkan kewajiban di
pihak lain. Konsep hak asasi manusia modern menempatkan manusia
sebagai pemegang hak (rights holder), sementara negara pemegang
kewajiban (duty bearer) di mana hal ini berakar kuat pada teori kontrak
sosial.16
Konsep hak asasi manusia modern kemudian menempatkan
negara pada posisi yang sangat sentral sebagai pihak yang memegang
kewajiban untuk perwujudan efektif hak-hak kodrati (natural rights).
Konsep ini diadopsi oleh hukum hak asasi manusia internasional modern
di mana negaralah yang memangku kewajiban dalam bidang hak asasi
manusia.17
Konsep yang menempatkan negara sebagai pemangku kewajiban
telah pula diatur dalam konstitusi kita di mana pasal 28 I ayat (4) konstitusi
Indonesia menyatakan kewajiban dalam bidang hak asasi manusia terletak
pada negara dengan menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.”18

13. Slavoj Zizek, Against Human Rights, New Left Review 34, July-August 2005
14. Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach, Polity, Cambridge, hal. 75
15. Ammy Guttman ”Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politics and Idolatry, Princeton University Press,
Princeton and Oxford, 2001, hal. vii-xxviii. Lihat juga ibid
16. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 4
17. Jack Donnelly, op.cit catatan kaki 11, hal. 34-35
18. UUD 1945 Pasal 4 ayat (1).

87
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

Sebagai pemangku kewajiban, negara memiliki baik kewajiban


yang bersifat positif maupun negatif. Pertama, kewajiban untuk
menghormati (obligation to respect) yang lebih memiliki karakter negatif
yang pada intinya membebankan kewajiban agar negara menahan diri
untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah
(legitimate).19
Kedua, negara memiliki kewajiban untuk melindungi (obligation
to protect) hak asasi manusia baik terhadap pelanggaran yang dilakukan
aparat negara maupun pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh
entitas atau pihak lain non negara.20 Kewajiban ini memuat kewajiban
negara untuk mengambil tindakan termasuk untuk mengkriminalkan
sebuah perbuatan apabila tindakan lain dianggap tidak memadai untuk
melindungi hak. Dengan demikian, kewajiban ini memiliki karakter
positif.21
Selain itu negara juga memiliki kewajiban untuk memenuhi
(obligation to fulfill) hak asasi manusia warganya. Dalam hal ini, negara
harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan
praktis untuk menjamin pemenuhan itu dimana negara kemudian wajib
memfasilitasi dan juga menyediakan agar hak-hak warga terpenuhi. 22

c. Nilai Kesetaraan dan Otonomi


Konsep bahwa hak asasi manusia semata dimiliki oleh manusia memiliki
konsekuensi moral penting yaitu semua hak asasi manusia memiliki
kesetaraan yang melintasi perbedaan kelas, kasta, ras maupun agama.23
Inilah konsep yang kemudian menjadi jantung dari nilai hak asasi manusia
yaitu kesetaraan dengan menempatkan manusia sebagai semata manusia
terlepas dari ras, agama, kasta, jenis kelamin, etnis atau apapun.
Gagasan hak asasi manusia memiliki nilai sangat penting lainnya
yang memberikan hak paling dasar yaitu kebebasan untuk menentukan

19. Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel,
Publishers, 2005, hal , XX-XXI
20. Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers 2003, hal. 48-51. Lihat juga
E/C.12/1999/5, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 12: tentang Hak atas Pangan yang
Layak, paragraf 15
21. Manfred Nowak, op.cit catatan kaki 20, hal. 50
22. Ibid, hal. 49 lihat juga Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, op.cit catatan kaki 23
23. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 4
24. Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13

88
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

pilihan (freedom of choice).24 Manusia di sini ditempatkan sebagai


makhluk otonom yang memiliki hak untuk memutuskan dan bertindak.25
Dalam kebebasan untuk memilih dan individu sebagai makhluk otonom
inilah pada intinya terletak titik kewajiban negara untuk menghormati
(obligation to respect). Konsep ini dapat merujuk pada konsep Kantian
mengenai otonomi yang seringkali dihubungkan dengan liberalisme
”netralis/neutralist” yang memiliki pandangan bahwa negara harus tetap
netral pada apa yang menjadi tujuan hidup di mana warga negaranya akan
mencurahkan seluruh hidupnya.26

Hak Asasi Manusia sebagai Solusi Fundamentalisme Agama dan


Tantangannya
Gagasan hak asasi manusia berfungsi melawan fundamentalisme agama
pada titik di mana hak asasi manusia menaturalisasi kembali karakter
esensial yang terbentuk secara historis.27 Maksudnya, dalam hak asasi
manusia, ”manusia” akan diakui bukan sebagai umat Islam, Kristen,
Budha, Hindu dan seterusnya, tapi sebagai manusia yang sederajat dengan
manusia lain. Manusia yang otonom tanpa label tertentu. Dalam konteks
negara-bangsa yang menjadi locus perwujudan hak asasi manusia,
kumpulan umat tersebut idealnya menjadi ”warga negara” yang memiliki
hak yang setara.
Hak asasi manusia sendiri memandang keyakinan terbagi dalam
dua bagian. Pertama, ranah keyakinan yang disebut sebagai forum
internum, arena keyakinan mengenai pilihan personal dan tidak harus
dimanifestasikan di hadapan publik. Negara tidak boleh mengurangi atau
melakukan pembatasan.28 Justru negara wajib untuk menghormati (to
respect) kebebasan internal individu dalam memilih dan memeluk agama.
Dalam hal sebuah agama dan keyakinan dimanifestasikan di
hadapan publik, maka ia menjadi subyek untuk dibatasi.29 Inilah wilayah

25. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal 122-129


26. Ibid, hal 132-133
27. Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13
28. UN Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994, Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 22 tentang Pasal 18,
paragraf 3
29. Lihat Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13. Lihat juga Manfred`Nowak, op. cit catatan kaki 19, hal 410-411

89
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

yang sering disebut sebagai forum eksternum. Di sini masuk kewajiban


negara untuk melindungi (to protect) di mana negara bisa membatasi
manifestasi sebuah pilihan atas agama dan keyakinan dengan alasan
keamanan, ketertiban, kesehatan dan moral publik, atau kebebasan dasar
dan hak asasi orang lain.30
Vijay Nagaraj menggambarkan bahwa konsep dasar hak asasi
manusia ini sungguh berbeda dengan klaim para fundamentalis agama.
Bagi para fundamentalis, kemanusiaan disematkan di atas dasar klaim
keagamaan tertentu yang harus dilegitimasi oleh otoritas tertentu yang
pada akhirnya menyebabkan ditetapkannya seperangkat kewajiban, lalu
hubungan diri dan orang lain pun tunduk pada rejim tertentu itu.31 Lebih
jauh fundamentalisme agama juga berada dalam sebuah pencarian untuk
secara fundamental mentransformasikan dan membentuk karakter yang
esensial tentang hubungan kita dengan diri kita sendiri-antar individu,
dalam keluarga, dalam hubungan yang intim dalam kelembagaan, dalam
komunitas dan pada akhirnya dengan negara itu sendiri. Di sini bukan
hanya soal gagasan. Cara kaum fundamentalis mentransformasikan agency
dan gagasan yang fundamentalisme agama perjuangkan itu yang membuat
mereka berbahaya.32 Ketika menghadapi fundamentalisme agama, kita
sedang berurusan dengan sebuah penataan kembali hubungan ”diri” dan
”liyan” juga tantangan pada otonomi kita untuk mendefiniskan kembali
kita sebagai ”manusia/being” dan cara kita berhubungan. Hal ini bersifat
sangat mendasar yang menuntut pula etika universal ataupun plural pada
tataran yang sama mendasarnya.
Kita harus menyadari betul bahwa gagasan hak asasi manusia
adalah sebuah gagasan yang sangat revolusiner yang menantang
kekuasaan–dalam hal ini negara—namun juga dalam pelaksanaannya
memerlukan adanya tranformasi sistem apa yang selama ini menjadi
sesuatu yang secara fundamental dipercaya masyarakat (the fundamental
belief system).33

30. Lihat Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966
31. Human Rights, Fundamentalism, Power and Prejudice, wawancara Cassandra Balchin, Inclusive democracy dengan Vijay
Na g a r a j , t h e E x e c u t i v e D i r e c t o r o f t h e I n t e r n a t i o n a l C o u n c i l o n H u m a n R i g h t s Po l i c y ,
http://www.opendemocracy.net/5050/vijay-nagaraj/human-rights-fundamentalism-power-and-prejudice, diakses pada
13 Desember 2011
32. Ibid
33. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politris and Idolatry, Princeton
University Press, Princeton and Oxford, 2001, hal.154-157

90
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Oleh karena itu, menangani fundamentalisme agama


mensyaratkan sebuah refleksi yang lebih tulus dan rinci serta memahami
dengan sepenuhnya tentang bagaimana otonomi individu serta hubungan
sosial dikonstruksikan di hari-hari ini. Mereka yang bekerja di bidang hak
asasi manusia haruslah berjuang keras untuk memahami nuansa politik,
realitas sosial yang membentuk interaksi antara individu dalam keluarga,
dalam komunitas, masyarakat dan bahkan di dalam bangsa dan negara.
Hal ini adalah soal melakukan sebuah refleksi mendalam tentang sebuah
kekuatan apa dalam konteks sosial yang berbeda-beda yang membentuk
individu dan hubungan sosial.34
Hukum hak asasi manusia sendiri belum menjadi basis yang
memadai untuk mengkritik fundamentalisme secara politik oleh karena
seringkali perumusannya justru merupakan hasil kompromi politik.35
Rumusan kewajiban negara di atas di mana negara harus menjamin
kebebasan internal setiap individu untuk memilih dan menganut agama
dan negara dibebani kewajiban untuk melindungi dengan menjamin tidak
ada pelanggaran yang dilakukan baik oleh aparat negara maupun pihak
ketiga, dianggap tidak cukup.
Lebih dari itu, hukum hak asasi manusia juga hanya
mendudukkan masalah fundamentalisme agama sebagai soal intoleransi
yang berkutat pada soal prasangka (prejudice). Melampaui itu,
fundamentalisme agama adalah soal kekuasaan (power) yang tidak cukup
ditangkal dengan penanaman toleransi. Mendudukkan ini sebagai
problem toleransi tidak memadai untuk menangkap spektrum politik dari
cakupan fundamentalisme agama oleh karena fundamentalisme agama
mencerminkan sebuah proyek politik yang sangat sadar. Untuk itu sangat
penting untuk memahami bahwa fundamentalisme adalah juga tentang
kekuasaan dan bukan semata-mata tentang prasangka (prejudice).36
Yang menjadi fokus kemudian adalah ancaman nyata
fundamentalisme agama yang justru datang dari tujuan politis atau proyek
politik yang merupakan jantung dari fundamentalisme yang secara
esensial adalah untuk mentransformasikan bagaimana identitas diakui
dan dinegosiasikan.37 Para aktor hak asasi manusia tidak cukup hanya

34. Vijay Nagaraj, op. cit catatan kaki 31


35. Ibid
36. Ibid
37. Ibid

91
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

melihat pada standar yang seringkali dipakai untuk menilai pelanggaran-


pelanggaran yang terjadi, tapi harus pula menyelami kedalaman kerangka
hak asasi manusia serta mengambil kembali nilai-nilai prinsip yang
membentuk etika universal yaitu jantungnya proyek besar hak asasi
manusia. Seluruh reformasi dan perubahan kelembagaan hukum bahkan
perilaku memanglah penting. Akan tetapi, tiga tataran itu tetap harus
mengikutsertakan pertanyaan etis itu oleh karena jantung masalah
fundamentalisme agama adalah proyek besar untuk mendefinisikan
kembali human agency dengan cara profound di mana bahkan tingkatan
politik saja tidaklah memadai untuk menanganinya. Mendapatkan
kembali kedirian kita serta individu dan juga hubungan sosial dari ruang
penuh ketakutan dan juga dari etos totalitarian fundamentalisme
merupakan tantangan etika ini.38
Pada titik soal pendefinisian kembali human agency itu, hak asasi
manusia dapat menjadi solusi bagi fundamentalisme agama oleh karena
hak asasi manusia dapat menjadi counter-narrative (dan bukan anti
narrative) bagi fundamentalisme agama di mana hak asasi manusia dapat
menjadi dasar untuk reclaiming agency. Hak asasi manusia bisa berfokus
pada individu dan agenda–agendanya dan justru memfokuskan bukan
pada bagaimana mendelegitimasi 'tindakan mereka', tetapi bagaimana
melegitimasi dan memberdayakan gagasan-gagasan mereka.39 Dengan
demikian, persis hak asasi manusia dapat menjadi dasar bagi reclaiming
agency itu. Hanya pekerjaan rumahnya adalah bagaimana counter narrative
itu dilaksanakan dengan turun ke bumi dan menghirup seluruh konteks
sosial budaya dan agama dimana fundamentalisme tumbuh untuk
kemudian melakukan counter atas fundamentalisme agama. Pada intinya
kemudian pekerjaan menghadapi fundamentalisme merupakan bagian
dari kerangka besar perubahan sosial.40 Hak asasi manusia kemudian tidak
bisa ditempatkan dalam sebuah ruang yang seolah-olah vakum dari sosial
dan budaya serta agama manusia yang memilikinya. Pelaksanaannya harus
ditempatkan dalam lintas budaya, agama dan sosial manusianya.
Para pejuang hak asasi manusia harus secara serius melibatkan

38. Ibid
39. Ibid
40. International Center for Human Rights and Democratic Development, Fundamentalisms and Human Rights , Report of the
Meeting (Summary Version), Montreal 12-14 May 2005, hal 29

92
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

agama daripada mengeluarkannya dalam proses lintas budaya


pembentukan dan penafsiran hak asasi manusia. Gagasan bahwa hak asasi
manusia bersifat religious tidak mensyaratkan adanya komitmen dengan
agama tertentu. Hanya, sebuah proses pelibatan agama yang sejati
membutuhkan adanya komitmen para pegiat hak asasi manusia pada
pluralisme. Hal ini akan memperkaya dialog lintas budaya yang kemudian
dapat berjalan sebagai sebuah pengecekan atas absolutisme. Persisnya,
kerja ini merupakan proses penanaman hak asasi manusia pada
kebhinekaan sistem kepercayaan, tradisi atau pun budaya. Dengan
demikian, mengutip Michael Ignaitieff, hak asasi manusia tak mungkin
dapat benar-benar mengglobal tanpa masuk secara mendalam pada
lokalitas.41 Oleh karena itu organisasi hak asasi manusia harus turun ke
”bumi” dengan bekerja bersama organisasi atau pun masyarakat lokal dan
dengan demikian dapat memahami baik akar maupun titik awal
munculnya fundamentalisme.42

Hak Asasi Manusia sebagai Solusi Fundamentalisme Pasar dan


Tantangannya
Apakah hak asasi manusia dapat menjadi solusi bagi fundamentalisme
pasar? Kesadaran dasar yang salah kaprah atas pasar adalah ia tak mungkin
dibebani kewajiban pada hak asasi manusia, seperti kita membebankan
kepada negara. Kita harus berhenti mendewakan pasar. Pasar memang
dapat melakukan banyak hal baik, dan memanglah haruslah ditumbuhkan
untuk melakukan banyak hal tanpa hambatan. Akan tetapi mengharapkan
pasar untuk melakukan pilihan etis bagi masyarakat adalah sebuah hal tak
masuk akal.43 Di sini pilihannya adalah hak asasi manusia atau pasar.
Hak asasi manusia memiliki segenap kelengkapan untuk
menantang pasar dan menyatakannya tak layak untuk diberi beban
kewajiban untuk menanggung kepentingan publik karena memang bukan
begitu dasar rancangan pasar. Di sini sungguh hak asasi manusia tidak
dapat berekonsiliasi dengan pasar.
Lukes menggarisbawahi bahwa pasar, by design, bekerja atas dasar
nilai tambah. Semakin besar yang bisa diberikan sebagai nilai tambah oleh

40. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, op. cit catatan kaki 33, hal.154-157
41. International Center for Human Rights and Democratic Development , op. cit catatan kaki 40, hal 28-29usan
42. George, ”Globalizing Rights” dalam Globalizing Rights, the Oxford Amnesty Lecturers 1999, Matthew J. Gibney (ed),
Oxford University Press, New York, 2003, hal. 30-32

93
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

seseorang, semakin besar yang didapatkannya. Mereka yang miskin akan


mendapat paling sedikit oleh karena mereka tidak memiliki keterampilan
yang bisa diberikan sebagai nilai tambah.44 Keadilan pembagian diukur
semata-mata dari efisiensi, nilai tambah yang diberikan.45 Hak yang
merupakan ”entitlements” tak dapat subur karena hak itu melekat pada
semua orang secara setara tanpa diskriminasi. Mereka yang miskin dan tak
beruntung memiliki hak yang sama dengan mereka yang kaya. Hak mereka
yang terpinggirkan menuntut adanya langkah afirmatif dari negara
sehingga mereka menikmati hak yang setara. Pemenuhan kesehatan
ataupun pendidikan bagi si miskin bukanlah atas dasar belas kasih tetapi
hak.46 Konsep hak menjadi sangat sentral bagi dasar pembuatan kebijakan
sosial karena ”substantive entitlements” menjadi alasan bagi adanya
kebijakan tersebut.
Selain itu, konsep hak memberi dasar bagi adanya klaim atas
kesejahteraan kepada negara sebagai penanggung kewajiban.47 Negara
harus menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kesejahteraan
manusia dan tidak melepaskan penyediaan tersebut pada mekanisme
entitas lain termasuk pasar.48 Persis di situlah hak asasi manusia akan dapat
menantang pasar dengan menuntut negara untuk mewujudkan
kesejahteraan warganya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan serta
mengontrol dan memiliki kuasa atas pasar. Hak asasi manusia menjadi
dasar bagi permintaan akan kesejahteraan bagi mereka yang tak dihitung
oleh pasar.
Dalam konteks politik, hal ini membutuhkan pembentukan
sebuah sistem yang berdasar pada hak (rights based system) dan bukan
pasar dan kompetisi bebas bagi semua tanpa ada pengaturan (unregulated
market free for all). Hal ini membutuhkan juga pembentukan sistem yang
berdasar pada solidaritas dan bukan karitas.49 Pengalaman banyak negara
memberi pelajaran tentang pembentukan konsep negara kesejahteraan
untuk melakukannya dan mengoreksi pemberian pemenuhan
kesejahteraan kepada pasar.50

44. Steven Lukes, ”Five Fables about Human Rights” dalam Stephen Shute and Susan Hurley, On Human Rights, the Oxford
Amnesty Lectures 1993, BasicBooks, New York, hal. 31-33
45. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-202
46. Steven Lukes, op. cit. (catatan kaki 44), hal. 31-33
47. Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education Limited, 2002, hal.3-4
48. Ibid, hal. 13
49. Susan George, op.cit (catatan kaki 43), hal. 27-28
50. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-202

94
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Banyak insiatif telah dilakukan berkaitan dengan pasar dan hak


asasi manusia. Di tingkat global PBB mengeluarkan the UN Global
Compact pada 2000 yang terus direview sampai kini. Inisitiaf ini terdiri
atas sepuluh prinsip yang meliputi bukan hanya hak asasi manusia namun
juga soal buruh, lingkungan dan antikorupsi, dan dimaksudkan untuk
mengarusutamakan sepuluh prinsip tersebut dalam kegiatan bisnis di
seluruh dunia. Selain itu the Global Compact juga bertujuan untuk
mengkatalisir aksi untuk mendukung tujuan-tujuan PBB termasuk dalam
hal ini MDGs.51
Pada 2004, Sub-Komisi dan kemudian Komisi Hak Asasi
Manusia PBB mengeluarkan serangkaian ”Draft Norms on the
Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business
Enterprises with Regard to Human Rights”. Rancangan norma ini pada
dasarnya merupakan upaya untuk membebankan sebuah kewajiban yang
bersifat mengikat pada perusahaan di bawah hukum internasional hak
asasi manusia pada tingkat yang sama dengan negara. Kewajiban itu
meliputi baik kewajiban menghormati, melindungi maupun menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Perbedaan kewajiban perusahaan dengan
negara hanyalah bahwa bagi negara itu merupakan kewajiban utama
karena terkait dengan mandat politik, sementara kewajiban pada
perusahaan bersifat sekunder di mana kewajiban itu hanya akan diminta
dilaksanakan dalam kondisi tertentu.52 Akan tetapi, rancangan norma ini
ditentang keras kalangan bisnis. Komisi HAM PBB akhirnya tidak
mengadopsinya dan merekomendasikan PBB untuk menunjuk Special
Representatives dengan tugas untuk salah satunya mengklarifikasi peran
perusahaan dan aktor sosial dalam hak asasi manusia.
Pada 2005 Prof. John Ruggie ditunjuk mengisi pos tersebut dan
pada pada Juni 2008, Prof. Ruggie memaparkan kerangka ”Protect, Respect
and Remedy” yang bersandar pada tiga pilar yaitu kewajiban negara untuk
melindungi atas pelanggaran yang dilakukan pihak ketiga termasuk
kelompok bisnis, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak

51. L ihat Cor porate Sustainabilit y in the World Economy, the United Nations Global Comnpact,
http://www.unglobalcompact.org/docs/news_events/8.1/GC_brochure_FINAL.pdf, diakses pada 23 Januari 2012
52. The UN "Protect, Respect and Remedy" Framework for Business and Human Rights, http://198.170.85.29/Ruggie-protect-
respect-remedy-framework.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

95
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

asasi manusia dan akses yang lebih besar bagi para korban hak asasi
manusia pada pemulihan efektif baik yang bersifat yudisial maupun non
yudisial.53
Inisiatif ini tak sepenuhnya berhasil membendung pasar untuk
menggerogoti negara. Kritik yang paling tajam terhadap upaya terutama
yang dibuat oleh PBB adalah semua upaya itu disandarkan pada ”kerelaan”
pasar, bukan sebuah kewajiban hukum. Padahal pasar bisa dimanfaatkan
untuk tujuan kebaikan publik hanya jika pasar ”dipaksa” oleh negara
dengan pembebanan hukum. Negara yang mengendalikan, bukan pasar.
Dibutuhkan adanya hukum keras (hard law) di tingkat global, bukan
hukum lunak (soft law).54
Negara harus dapat mengontrol dan memiliki kuasa atas pasar dan
justru yang diharapkan adalah negara dapat memanfaatkannya bagi
kebaikan publik. Di sini letak titik tantangan kedua: pemanfaatan pasar
untuk kebaikan publik menuntut adanya pemerintahan yang demokratis.
Seluruh konstruksi pemanfaatan pasar hanya bisa terjadi dalam
pemerintahan yang demokratis. Dengan demikian, pemerintah tidak
menjadi agen pasar, namun agen bagi rakyatnya sendiri. Dalam etos
demokratis yang sebenar-benarnya, tanggung jawab pemerintah adalah
untuk menjadikan pasar tunduk pada kesejahteraan masyarakat.
Demokrasi yang senyatanya menjadi elemen penting yang sangat sentral
yang menjadi syarat untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam jangka
panjang dan berkesinambungan. Inilah yang menjadi tantangan
Indonesia.
Kualitas demokrasi Indonesia belum menjamin pemerintah
menjadi agen rakyatnya. Para aktor prodemokrasi juga belum dapat secara
maksimal dapat masuk dalam pembuatan kebijakan dan memastikan
bahwa semua kebijakan pemerintah haruslah kebijakan berbasis hak asasi
manusia (rights based policy). Dengan demikian, kita belum bisa
mengembalikan negara pada alasan adanya (the sole raison d'être) negara.
Seturut dengan itu, pasar harusnya dipaksa untuk dibebani akuntabilitas

53. Ibid
54. Álvaro J. de Regil, ”Introduction” dalam Upholding the Market's Social Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's
Report: ”Protect, Respect and Remedy: a Framework for Business and Human Rights, Human Rights and Sustainable Human
Development October 2008

96
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

yang memberi jaminan bahwa pasar hanyalah sebuah instrumen bagi


pemenuhan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kepentingan privat pada diri pasar hanya diperbolehkan oleh negara jika
dan hanya jika tidak melanggar hak asasi manusia siapa pun.55 Kembali
lagi, hanya bisa ”dipaksa” dan bukan dengan sebuah kerelaan.56

Penutup
Hak asasi manusia dapat menjadi solusi baik bagi fundamentalisme pasar
atau pun agama. Pada fundamentalisme agama, hak asasi manusia dapat
menjadi solusi, namun dengan catatan untuk sepenuh-penuhnya
melakukan refleksi yang sangat mendalam. Masalahnya haruslah
didudukkan pada masalah yang melampaui hukum. Bagaimana hak asasi
manusia ditempatkan pada keseharian manusia dan lokalitasnya. Inilah
yang menjadi pekerjaan rumah dan tantangan bagi seluruh pegiat hak asasi
manusia.
Sementara itu pada pasar, pesannya demikian benderang, bahwa
aktor hak asasi manusia harus menegaskan kembali ”kuasa negara” atas
kepentingan publik dan tidak memberikannya pada tangan tak kelihatan
pasar. Semua upaya untuk memasukkan pasar pada tanggung jawab atas
hak asasi manusia tidak dalam upaya untuk menggantikan negara. Upaya
itu harus dilakukan dengan membentuk instrumen pemaksa dan tidak
membiarkannya menjadi kerelaan pasar. Dengan demikian, pasar dapat
dimanfaatkan bagi kebaikan publik di bawah kuasa negara. Namun, upaya
ini mensyaratkan adanya sebuah pemerintahan demokratis yang
menjamin pemerintah tetap sebagai agen bagi rakyatnya dan bukan agen
pasar.

55. Ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, DEMOS tentang kondisi perwujudan
hak ekonomi, sosial dan budaya di enam daerah (Musi Banyuasin, Sanggau, Purbalingga, Jakara, Mimika dan Manado).
Laporan penelitian ini belum diterbitkan.
56. Álvaro J. de Regil, op. cit, catatan kaki 54

97
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Artikel
Álvaro J. de Regil, “Introduction” dalam Upholding the Market's Social
Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's Report:
“Protect, Respect and Remedy:a Framework for Business and
Human Rights, Human Rights and Sustainable Human
Development, October 2008
Ammy Guttman “Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights
as Politics and Idolatry, Princeton University Press, Princeton
and Oxford, 2001
B. Herry Priyono, “Mendidik Ulang Kewargaan”, Kompas, 23 Mei 2011
David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam
David Beetham (ed.), Politics and Human Rights, Blackwell
Publishers, 1995
Dianne F. Orentlicher, “Relativism and Religion”, dalam Michael
Ignatieff, Human rights as Politris and Idolatry, Princeton
University Press, Princeton and Oxford, 2001
Freeman, “Is Political Science of Human Rights Possible?” dalam
Netherland Quarterly of Human Rights, Vol 19/2, hal. 123-139,
2001
Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education
Limited, 2002
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca
and London: Cornell University Press, 2003
Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR
Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, 2005
Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime , Martinus
Nijhoff Publishers 2003
Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach,
Polity, Cambridge
Musdah Mulia, “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di
Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional Komnas

98
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel


Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
Musdah Mulia, ”Agama dan Perdamaian (Membaca Konteks
Keindonesiaan), tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Jakarta, 2 Nopember 2011
Noer Fauzi Rahman, ”Menyegarkan kembali Ingatan atas Kapitalisme”,
tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, ELSAM , Jakarta, 2 Nopember 2011
Peter Jones, Rights, Issues in Political Theory, Palgrave, New York, 1994
Slavoj Zizek, Against Human Rights, New Left Review 34, July-August
2005
Steven Lukes, “Five Fables about Human Rights” dalam Stephen Shute
and Susan Hurley, On Human Rights, the Oxford Amnesty
Lectures 1993, BasicBooks, New York
Susan George, ”Globalizing Rights” dalam Globalizing Rights, the
Oxford Amnesty Lecturers 1999, Matthew J. Gibney (ed),
Oxford University Press, New York, 2003

Peraturan perundang-undangan/dokumen PBB


UUD 1945
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik , 1966
E/C.12/1999/5, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Komentar Umum No. 12: tentang Hak atas Pangan yang Layak,
U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994, Komite Hak Asasi Manusia,
Komentar Umum No. 22 tentang Pasal 18
Corporate Sustainability in the World Economy, the United Nations
Global Comnpact,
http://www.unglobalcompact.org/docs/news_events/8.1/GC_bro
chure_FINAL.pdf, diakses pada 23 Januari 2012
The UN "Protect, Respect and Remedy" Framework for Business and
Human Rights, http://198.170.85.29/Ruggie-protect-respect-
remedy-framework.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

99
DISKURSUS hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme

Laporan Lembaga Negara/Lembaga Nasional


”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam
Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Komnas Perempuan, 2010

Laporan Lembaga Non Negara


International Center for Human Rights and Democratic Development,
Fundamentalisms and Human Rights , Report of the Meeting
(Summary Version), Montreal 12-14 May 2005, hal 28-29
Laporan Penelitian Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi,
DEMOS tentang kondisi perwujudan hak ekonomi, sosiaol dan
budaya di enam daerah (Musi Banyuasin, Sanggau, Purbalingga,
Jakara, Mimika dan Manado). Laporan penelitian ini beluk
diterbitkan.

Artikel Media Massa/ Berita Media Massa


”Indonesia dalam Ancaman Dua Fundamentalisme” di
Human rights, fundamentalism, power and prejudice, wawancara
Cassandra Balchin, Inclusive democracy dengan Vijay Nagaraj, the
Executive Director of the International Council on Human Rights
Policy, http://www.opendemocracy.net/5050/vijay-
nagaraj/human-rights-fundamentalism-power-and-prejudice,
diakses pada 13 Desember 2011
Lingkar Muda Indonesia, Kompas, Senin 22 Mei 2006
Pancasila Dikepung Ideologi Fundamentalisme Pasar dan Agama, ,
diakses pada 20 Desember 2011
“Pasar Bebas Jerumuskan Indonesia” di
http://www.lintasberita.com/Nasional/Bisnis/Konsep_Pasar_Beb
as_Jerumuskan_Indonesia,

100
Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan
Memperbaiki Representasi
Willy Purna Samadhi

Abstract
After passing through a decade of reformation and democratization era,
democracy in Indonesia arguably almost perfect in the procedure. However,
the democratic political processes, both to formulate and implement the
public interest, has dominated by market economic-oriented activities, that
undermined the public rights to participate and be represented. Democracy
needs to be returned to the political arena.

Keywords: representation, political participation

”The concept of representation … is a continuing tension between ideal and


achievement. This tension should lead us neither to abandon the ideal, … nor to
abandon its institutionalization and withdraw from political reality. Rather, it
should present a continuing but not hopeless challenge: to construct institutions
and train individuals in such a way that they engage in the pursuit of the public
interest, the genuine representation of the public; and at the same time, to remain
critical of those institutions and that training, so that they are always open to
further interpretation and reform.”
Hanna Fenichel Pitkin1

Pendahuluan
Pada 2007, hampir sepuluh tahun setelah reformasi dimulai, sebuah
lembaga kajian demokrasi dan HAM di Jakarta, Demos, melakukan survei
mengenai situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia. Kesimpulan
terpenting dari survei itu adalah bahwa demokrasi Indonesia berdiri di atas

1. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967), hal 240.

101
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

pasir. Maksudnya, bangunan demokrasi tidak ditopang oleh fondasi


terpentingnya, yaitu representasi. Sementara perbaikan institusi-institusi
operasional demokrasi, seperti pengakuan atas hak-hak sipil dan
kebebasan politik, serta pemerintahan yang baik dan antikorupsi
mengalami perbaikan, institusi representasi tergolong paling buruk
kinerjanya.
Meskipun prosedur teknis pelaksanaan pemilu mengalami
perbaikan dari satu pemilu ke pemilu lainnya, kendati ada kebebasan
mendirikan partai politik, dan bahkan meskipun hak-hak warga negara
untuk berpartisipasi di dalam pemilihan umum melalui jalur non-partai
juga dijamin, demokratisasi seperti itu pun ternyata tidak menjamin
terwakilinya kepentingan rakyat di dalam proses-proses politik yang
demokratis. Akibatnya, di tengah-tengah proses demokratisasi, tak sedikit
yang mempertanyakan manfaat demokrasi bagi rakyat. Demokrasi, secara
paradoks, seolah-olah justru menjauhkan kebijakan-kebijakan publik dari
kepentingan rakyat. Ada demokrasi, namun tidak ada keterwakilan
publik.2
Sementara itu, proses demokratisasi selama satu-dua dekade
terakhir di seluruh dunia berlangsung di bawah bayang-bayang globalisasi.
Kecenderungan global itu sangat mempengaruhi proses-proses politik di
seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di
Indonesia. Globalisasi bukan saja ditandai oleh ketergantungan
antarnegara dan terintegrasinya sistem-sistem ekonomi dan sosial, tetapi
juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-
statisation dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh
berkurangnya peran negara sebagai akibat liberalisasi pasar dan
terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal.3
Lebih lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan
politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan
dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat
global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik
demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan
publik, didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat

2. Untuk hasil lengkap survei, lihat Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009).
3. Harriss, Stokke, Törnquist, ”The New Local Politics of Democratisation”, dalam Harriss, Stokke, Törnquist (eds.), Politicising
Democracy: The New Local Politics of Democratisation (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal 2.

102
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya.


Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk
berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.
Dalam konteks Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada
2003/2004 dan 2007,4 serta paparan Vedi Hadiz dan Robison,5 misalnya,
memperlihatkan demokratisasi yang cenderung oligarkis. Kendati banyak
pula kajian lain yang memandang lebih positif demokratisasi di Indonesia,
penilaian-penilaian itu jika dicermati lebih banyak mendasarkan diri atas
praktik-praktik prosedural. Instrumen-instrumen demokratis di bidang
pemilihan umum, penegakan hukum, pemerintahan yang bersih dan
antikorupsi, boleh jadi memang menampakkan kinerja yang semakin baik.
Bagaimanapun, hal itu harus pula dilihat sebagai kemajuan dan
memunculkan optimisme terhadap demokrasi. Akan tetapi, pada saat
bersamaan para pegiat demokrasi di Indonesia harus waspada terhadap
potensi kemunduran demokrasi jika perluasan partisipasi publik dan
perbaikan representasi tidak segera dilakukan.
Tulisan ini ingin melihat bagaimana situasi representasi dan
partisipasi popular dalam demokratisasi di Indonesia, upaya-upaya yang
sudah dilakukan, dan apa yang masih perlu dilakukan untuk memperbaiki
kedua pilar demokrasi itu.

Partisipasi, Representasi, dan Demokrasi


Meskipun demokrasi memiliki beragam pengertian, sebuah definisi yang
paling umum dan mencakup berbagai pengertian yang ada adalah sebuah
sistem yang memungkinkan berlangsungnya ”kontrol publik terhadap
urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara”. Pengertian
mendasar demokrasi seperti itu secara jelas memperlihatkan tiga unsur
pokok demokrasi, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik
(public matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-
pertanyaan terpenting untuk mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi

4. Demos melakukan survei atas situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia pada 2003/2004 dan 2007. Untuk hasil dari kedua
survei itu, lihat Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.), Making Democracy Meaningful: Problems and
Options in Indonesia ( Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD Press, 2007) dan Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw
(eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009).
5. Hadiz, Vedi R and Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (London:
Routledge Curzon, 2004).

103
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan
(3) bagaimana kontrol publik dijalankan?.
Ketiga pertanyaan di atas sangat erat kaitannya dengan persoalan
representasi dan partisipasi. Representasi berkaitan dengan jaminan atas
hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-
kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas
hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-
proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol
atas kebijakan-kebijakan publik. Institusi representasi dan partisipasi yang
demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara.
Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas
serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang
substansial.
Partisipasi dan representasi merupakan dua konsep penting yang
senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu,
masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda.
Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan
representasi lebih dekat dengan gagasan liberalisme.6 Partisipasi
merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol
semua urusan publik, sedangkan representasi berkaitan dengan
pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu.
Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung
(direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun
representasi kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas
partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili,
dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan
akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan
produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya
kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun
perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin

6. Selengkapnya, lihat Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.), Encyclopedia of Democratic Thought (London: Routledge,
2001), khususnya entry ”participation” dan ”representation”.

104
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

substantif pada pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan


prosedur.
Institusi-institusi demokrasi yang lain, seperti rule of law,
supremasi dan penegakan hukum, kesetaraan di depan hukum,
pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, pemilihan umum yang bebas,
adil, dan terbuka, merupakan instrumen-instrumen operasional yang
hanya bisa bekerja baik jika ditopang oleh keterbukaan bagi partisipasi
publik yang luas dan keterwakilan publik yang akuntabel. Tanpa ditopang
partisipasi publik yang luas dan representasi yang transparan dan
akuntabel, operasionalisasi instrumen-instrumen dapat tergelincir ke arah
praktik-praktik yang elitis dan eksklusif.
Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan
hal yang sangat mendasar. Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-
aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan agregasi kepentingan
publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih
baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan
publik yang bisa dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik,
prosedur-prosedur demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian
anggota masyarakat. Dengan kata lain, kelompok-kelompok masyarakat
yang tidak terwakili kepentingannya akan terasing dari proses-proses
politik.
Bagaimanapun, prosedur-prosedur demokratis tentu saja bukan
hal yang tak penting. Atas nama demokrasi, pemenuhan kepentingan-
kepentingan publik tetap harus dijalankan melalui cara-cara dan
mekanisme yang demokratis. Meskipun begitu, ketika demokrasi
mengalami stagnasi, ketika banyak orang merasakan demokrasi justru
menjauhkan mereka dari proses-proses perumusan kepentingan publik
(karena pengelolaan pemerintahan yang teknokratis) dan tidak berdaya
melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis
(karena urusan publik diserap menjadi mekanisme pasar dan hanya
menguntungkan segelintir pemilik modal), dan ketika konflik demi
konflik komunal mengisi hari-hari pelaksanaan demokrasi (karena ada
begitu banyak pengkotak-kotakan demos di tengah-tengah menguatnya

105
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

gejala komunalisme), hal paling utama yang harus diwaspadai adalah


datangnya godaan-godaan baru untuk meninggalkan demokrasi dan
menyerah pada pilihan-pilihan politik lain yang bisa saja berupa
otoritarianisme.
Survei Demos 2007 antara lain juga menengarai indikasi adanya
upaya-upaya menciptakan ”politik keteraturan” untuk mengatasi
kekacauan-kekacauan sosial-politik yang terjadi di dalam proses
demokratisasi di Indonesia.7
Sebagai sebuah tema kajian, representasi sudah banyak menyedot
perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya
Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation.8
Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap representasi, yaitu ”to make
present again.” On this definition, political representation is the activity of
making citizens' voices, opinions, and perspectives ”present” in the public
policy making processes. Ulasan Pitkin mengenai representasi itu
dirangkum oleh Tornquist dan Warouw:
”... bahwa representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang
yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya.
Dinamika representasi terutama menyangkut dengan otorisasi dan
akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya
tanggap. Apa yang direpresentasikan dapat bersifat substantif,
deskriptif atau simbolik. Representasi substantif adalah ketika wakil
'bertindak untuk' (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya
seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh.
Representasi deskriptif adalah ketika wakil 'berdiri untuk' (stands for)
orang-orang yang secara objektif serupa. Misalnya, seorang
perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa
mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah
representasi simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh
mereka yang diwakili, juga, 'berdiri untuk' (stands for) mereka, tetapi

7. Lihat Subono, Nur Iman dan Willy Purna Samadhi, ”Politik Dominasi dan Konsolidasi Elit-dominan” dalam Samadhi
dan Warouw, op. cit., hal 95-116.
8. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967).

106
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas.


Namun demikian representasi simbolik bisa juga dipahami secara
lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke,
2002) dan Anderson (1983), sebagai sesuatu yang mengonstruksi
demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili
dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang
wakil.”9
Berangkat dari kategorisasi representasi Pitkin itu, Törnquist
menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami representasi.
Representasi harus mencakup pula model-model partisipasi alternatif
berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok
kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat.10 Lihat Gambar 1.
Gambar 1.
Kerangka terintegrasi bagi studi representasi popular demokratis

(Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation


(New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11).

9. Dikutip dari Törnquist dan Warouw, “Memahami Demokrasi: Beberapa Catatan Pendahuluan tentang Konsep dan
Metode” dalam Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009), hal 36. Keterangan
mengenai buku-buku yang dirujuk Törnquist dan Warouw ada di dalam tulisan mereka.
10. Ibid., hal 36-43. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat Tornquist, ”The Problem Is Representation! Towards an Analytical
Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), op. cit.: 1-23.

107
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

Kerangka yang ditawarkan Törnquist ini memungkinkan kita


untuk memahami gejala buruknya representasi bukan saja dari kacamata
politik formal, akan tetapi juga memperhatikan model-model partisipasi
alternatif yang bekerja atas dasar kesepakatan-kesepakatan dan cara-cara
informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok
lobi, dan LSM. Kerangka komprehensif ini pula yang senantiasa
mengingatkan kita akan pentingnya arti dan posisi demos sebelum
membicarakan lebih jauh mengenai jalur-jalur representasi. Bekerjanya
jalur-jalur perwakilan informal yang bisa saja berdasarkan etnisitas atau
keagamaan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pengamatan dan pemahaman kita mengenai siapa sebenarnya demos, serta
kepentingan-kepentingan apa saja yang kemudian disepakati menjadi
urusan publik.

Politisasi demokrasi untuk perbaikan representasi


Rapuhnya representasi dan partisipasi di dalam sistem yang demokratis
bukanlah gejala unik Indonesia. Törnquist mengungkapkan bahwa di
banyak negara post-colonial, termasuk Indonesia, demokrasi mengalami
kemandegan karena kepentingan-kepentingan publik mengalami
depolitisasi. Kepentingan publik dianggap semata-mata sebagai urusan
pemerintahan teknokratis atau mengalami privatisasi di dalam mekanisme
pasar, jika tidak diserap oleh komunalisme dan patronase. Itulah yang
menjadi akar persoalan representasi yang buruk.11 Dengan kata lain,
operasionalisasi prosedur-prosedur politik demokratis tidak disangga oleh
satu pilar terpentingnya, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan
publik dan terbukanya akses partisipasi popular.
Potensi Indonesia untuk mencapai situasi demokrasi yang baik
sesungguhnya ikut ditopang oleh desentralisasi yang menjadi warna baru
hubungan pusat-daerah sejak reformasi dimulai. Pada kenyataannya, ada
hubungan problematis antara desentralisasi dan demokratisasi di
Indonesia. Liberalisasi politik, hingga ke tingkat lokal, menimbulkan

11. Törnquist, “The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.),
Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 1. Mengenai kasus lain yang menunjukkan
demokrasi tanpa representasi, lihat misalnya Shadlen, Kenneth C., Democratization without Representation: The politics of
small industry in Mexico (Pennsylvania State University Press, 2004).

108
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keterwakilan dan akses. Alih-


alih menghasilkan demokrasi dan keterwakilan di tingkat lokal,
desentralisasi justru menjadi arena baru bagi para oligark dan sekutu-
sekutunya. Para oligark ini membajak dan memanipulasi kebijakan
desentralisasi dan prosedur-prosedur demokrasi sehingga menghambat
pencapaian demokrasi yang lebih substantif, kesejahteraan rakyat, dan
termasuk membatasi partisipasi publik yang lebih luas.12
Yang juga penting untuk dicermati adalah bahwa buruknya
kondisi institusi representasi dan partisipasi itu terjadi justru di tengah-
tengah gejala menjamurnya gerakan politik yang dimotori kalangan
masyarakat sipil. Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir,
keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat. Organisasi-
organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong
aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend
baru di kalangan masyarakat sipil yang selama puluhan tahun sebelumnya
menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebagian dari
mereka masuk ke dalam partai politik, sebagian ada yang mendirikan
partai politik, sebagian ada pula yang menggerakkan partisipasi langsung
melalui inisiasi penganggaran dan perencanaan partisipatoris meniru pola
serupa yang sukses di Brasil dan Kerala.
Upaya-upaya untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan
publik dan menerobos akses partisipasi popular bukannya tidak
dilakukan. Sebuah studi yang dilakukan Priyono dkk13 pada 2007-2008
mengungkap data-data menarik mengenai terobosan-terobosan aksi-aksi
politik yang dilakuan berbagai gerakan sosial di Indonesia. Ada dua
temuan penting yang diperoleh melalui studi itu. Temuan pertama
mengungkapkan pola-pola perluasan gerakan politik yang dilakukan
organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan dimensi isu, dimensi
kepentingan dan dimensi geografis sebagai indikator perluasan gerakan,

12. Pratikno and Nanang Indra K., ”Struggle to Gain Representation: Mixed Politics in Democratising Indonesia”, dalam PCD
Journal, Vol. II No. 1, 2010, hal 124.
13. Pada 2007-2008 Demos melakukan riset berjudul Kajian tentang Aksi Sipil dan Gerakan Sosial menjadi Tindakan Politik,
atau disebut sebagai Link Project Research. Riset itu dipimpin oleh A.E. Priyono dan mendapat supervisi dari Olle
Tornquist, yang saat itu juga tengah menjalankan riset dengan tema serupa. Dokumen hasil lengkap Link Project Research
itu tidak dibukukan namun dikemas dalam bentuk monograf penelitian, lihat Priyono, A.E. dkk, Re-Politisasi Gerakan
Sipil Menuju Demokratisasi Substansial ( Jakarta: Demos, 2009).

109
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

Priyono dkk mengidentifikasi tiga pola perluasan gerakan, yaitu (1)


rekoneksi intra-lokal, (2) rekoneksi lokal-supralokal, dan (3) rekoneksi
nasional-lokal. Pola pertama dan kedua bersifat memperluas gerakan
melalui perluasan isu dan kepentingan, misalnya dengan membangun
koalisi atau aliansi lintas-sektoral namun terbatas pada lingkup geografis
tertentu. Pola ketiga, sebaliknya, mencoba meleburkan batas-batas
geografis namun dengan pembatasan pada isu-isu atau kepentingan
spesifik atau berbasis sektoral, misalnya pembentukan Partai Perserikatan
Rakyat (PPR) yang besifat nasional berbasis organisasi tani.14
Temuan kedua dari studi yang sama adalah identifikasi atas
pilihan-pilihan strategi yang digunakan organisasi masyarakat sipil untuk
menerobos masuk ke dalam sistem politik. Ada lima pilihan strategi go
politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di
Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2)
masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai
alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan.15
Pada kurun waktu yang bersamaan, sebuah studi lain yang
dilakukan Törnquist16 juga berhasil mengidentifikasi jalur-jalur politisasi
yang sudah dan sedang ditempuh berbagai gerakan masyarakat sipil di
Indonesia. Jalur-jalur politisasi itu adalah (1) politik berbasis kepentingan
masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics),
(2) politik komunitas kaum tertindas (dissident community politics), (3)
partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak
politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian,
yaitu dengan melakukan (6) front dari dalam, (7) membangun partai
serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai nasional berbasis
ideologi, dan (10) partai politik lokal.17
Namun, kendati ada harapan, baik Priyono dkk maupun
Törnquist tiba pada kesimpulan bahwa upaya-upaya untuk go politics itu

14. Ibid., hal 71-72.


15. Ibid., hal 83-95.
16. Lihat Törnquist, Tharakan, Quimpo, ”Popular Politics of Representation” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), op. cit.,
hal 197-222.
17. Törnquist, O., ”Dari Aksi Menuju Politik Demokratis”, bab pengantar dalam laporan riset Priyono dkk, Re-Politisasi
Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial ( Jakarta: Demos, 2009, tidak dipublikasikan), hal 13-19.

110
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

tampaknya tidak terlalu berhasil menciptakan situasi representasi yang


baik. Tanpa mengatakan berbagai pola-pola perluasan gerakan dan pilihan
strategi go politics itu ada yang lebih baik dibanding yang lainnya,
kenyataan bahwa ada begitu banyak polarisasi gerakan sosial justru
membuat fragmentasi di kalangan gerakan masyarakat sipil menjadi
semakin parah. Dalam beberapa kasus yang dipelajari lewat kedua studi
itu, bahkan, ada indikasi terjadinya kompetisi dan konflik horisontal di
antara sesama gerakan sosial. Kedua studi itu mempertegas hasil survei
Demos (2007) yang mengindikasikan buruknya situasi institusi
representasi dan partisipasi. Mengenai hal ini, tampaknya benar apa yang
ditulis Chandokhe bahwa kebangkitan masyarakat sipil ”…tidak ada
kaitannya dengan kesadaran (anxiety) mengenai representasi dan
partisipasi”.18

Kesimpulan
Representasi merupakan bagian intrinsik demokrasi yang membuat sistem
demokrasi dapat dipercaya sebagai satu-satunya cara untuk menjamin
keterwakilan publik. Tetapi di banyak kasus, termasuk di Indonesia hingga
kini, pelaksanaan sistem demokrasi justru kehilangan ”jiwa” representatif-
nya. Dengan pengutamaan pada aspek-aspek prosedural, demokrasi
menjadi sebuah mekanisme statis mengenai bagaimana orang-orang
dipilih untuk menentukan kebijakan publik dan menjalankan
pemerintahan. Proseduralisme itu sangat rentan terhadap manipulasi dan
pembajakan demokrasi. Kekuatan modal (ekonomi) akan dengan mudah
memenuhi, dan kemudian menguasai, aturan permainan demokrasi. Suara
dan kepentingan publik terabaikan begitu saja. Akses partisipasi pun
tertutup karena kekuatan-kekuatan modal mendominasi proses-proses
politik demokrasi.
Akhirnya, pada tataran tertentu, kita bisa saja mempertentangkan
representasi di satu sisi dan partisipasi di sisi lain. Dengan representasi yang
baik, keterbatasan partisipasi popular boleh jadi tidak terlalu menjadi
masalah. Sebaliknya, ketika akses bagi partisipasi popular terbuka lebar
dan merata bagi setiap warga negara, masalah-masalah yang berkaitan

18. Chandhoke, Neera, ”What Is the Relation Between Particapation and Representation?”, dalam Törnquist, Webster, Stokke
(eds.), Op. cit.: 37.

111
DISKURSUS Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi

dengan representasi bukan menjadi hal yang utama. Akan tetapi,


sebagaimana kerangka analisis representasi yang ditawarkan oleh
Tornquist, dalam konteks demokrasi dan demokratisasi Indonesia saat ini,
kedua aspek itu tampaknya sama-sama harus diperbaiki.
Memang tidak mungkin membayangkan perluasan partisipasi
popular untuk demokrasi berskala nasional dengan keluasan wilayah dan
jumlah penduduk yang sedemikian besar. Karena itu, upaya-upaya
memperbaiki representasi melalui perluasan partisipasi popular
barangkali lebih tepat jika dilakukan pada level lokal, baik provinsi
maupun terutama di kabupaten/kota. Pengelolaan partisipasi popular di
tingkat lokal seperti itu bukan saja lebih memungkinkan secara teknis,
tetapi sekaligus dapat lebih memperjelas siapa demos dan apa saja
kepentingan-kepentingan publik. Langkah itu sekaligus untuk merespon
fenomena kebangkitan politik lokal sebagai akibat globalisasi. Sedangkan
untuk level nasional, perbaikan demokrasi terutama memang diletakkan
pada aspek representasi, yaitu melalui sebuah sistem kepartaian nasional
yang mampu melakukan kontrol terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan
publik yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan di tingkat lokal.
Pekerjaan mempromosikan representasi di tingkat nasional itu sekaligus
bisa memperkuat kerangka kerja politik nasional demi mengantisipasi
tergerusnya otoritas nasional akibat globalisasi. Pekerjaan-pekerjaan di
kedua konteks level itu harus dilakukan secara bersama dan sinergis demi
mengembalikan demokrasi ke pengertian dasarnya, yaitu terselenggaranya
kontrol publik terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga
negara. Sejatinya, itulah yang dimaksud dengan politisasi demokrasi.

112
TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
Teuku Kemal Fasya

Judul : Pluralisme, Dialog, dan


Keadilan: Tantangan
Berdemokrasi dalam Negara
Republik Indonesia.
Penulis : Stanley Adi Prasetyo (ed).
Penerbit : Dian-Interfidei, Yogyakarta.
Cetakan I : Oktober 2011.
Tebal : 232 + viii hal.
ISBN : 979-8726-08-1.

Judul : Kontroversi Gereja di Jakarta.


Penulis : Tim Peneliti Yayasan
Paramadina, dll
Penerbit : Center for Religious and Cross-
cultural Studies (CRCS),
Yogyakarta.
Cetakan I : Maret 2011.
Tebal : 157 hal.
ISBN : 978-602-96257-3-8.

Kendati Indonesia dianggap sebagai negara berpenduduk muslim terbesar


di dunia dan menempati posisi ketiga paling demokratis di seluruh dunia,
kualitas riil dari demokrasi negeri ini masih harus dilihat secara objektif
menurut 'kacamata orang dalam'. Secara makro Indonesia memang
dianggap sebuah negara yang mulus melakukan transformasi politik, dari
otoritarianisme ke era reformasi dengan tidak berdarah-darah(?).
Termasuk adanya konsolidasi dari kalangan penduduk muslim sebagai
mayoritas untuk tidak mengubah negara ini menjadi negara
agama/sektarian. Label itu kemudian semakin dipertahankan di masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggelar Bali
Demokrasi Forum (BDF), yang diselenggarakan setiap tahun dan
mengundang partisipan negara-negara demokratis. Perhelatan itu telah
telah berlangsung sejak 2008 dan dilaksanakan setiap awal Desember.
Namun bagaimanakah sesungguhnya dasar laut demokrasi kita?
Dalam catatan Foreign Policy yang dirilis awal 2011, Indonesia

115
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme

termasuk urutan ke-61 negara yang paling tidak stabil. Memang urutan ini
masih lebih baik dibandingkan Somalia, Sudan, Zimbabwe, Chad, dan
Irak yang menempati negara paling gagal di dunia. Namun hal itu semakin
memberikan pertanyaan besar tentang kualitas demokrasi di Indonesia
yang belum mampu menjawab masalah kesejahteraan, kenyamanan, dan
kualitas kebebasan sipil dan beragama.
Kasus Cikeusik, Temanggung, GKI Taman Yasmin, dan
HKBP–untuk menyebut beberapa kasus yang merebak di sepanjang
tahun 2011—menunjukkan ada masalah akut terkait relasi umat
beragama di Indonesia, yang kualitasnya tidak semakin membaik di era
reformasi ini. Mengerasnya konflik antar-umat beragama dan internal
agama, atau antara kelompok mayoritas dan minoritas ini menunjukkan
posisi agama masih sebagai sumber pertikaian, yang ujungnya adalah
humiliasi, dehumanisasi dan degradasi agama sebagai sumber perdamaian
dan kebaikan.
Kasus GKI Taman Yasmin misalnya, yang telah menarik
perhatian dunia dan media massa, baik dalam dan luar negeri, telah
mengindikasikan pelanggaran HAM serius. Ironi ini memperlihatkan
bagaimana sebuah komunitas agama yang diakui negara harus tersingkir
dan menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Hukum (Putusan Kasasi
Mahkamah Agung) harus kalah oleh perilaku arogan aparatur negara
dalam hal ini Walikota Bogor, dan premanisme warga dengan klaim
mayoritas. Eksistensi negara rompang di tangan aparat negara, karena
hukum tidak manjur mendistribusikan keadilan bagi semua. Prinsip
HAM, majority rule, minority rights tidak mempraksis. Hukum dan
ketentuan perundangan-undangan memang selalu berhasil dibuat oleh
kelompok mayoritas, sebagai konsekuensi demokrasi prosedural, namun
hukum harus sensitif mengakomodasi hak-hak minoritas dan tidak
menyepelekan eksistensi mereka.
Dua buku yang dibahas dalam tulisan ini, Pluralisme, Dialog, dan
Keadilan : Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik Indonesia dan
Kontroversi Gereja di Jakarta menjadi nila dalam susu belanga negara ini
yang berhasil meraih gelar champion of democracy di Warsawa, Polandia,

116
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

tahun lalu. Kedua buku ini menunjukkan dengan jelas desau dan galau
praktik keberagamaan Indonesia yang masih jauh dari ideal. Mengapa hal
ini terjadi?
Pertama agama telah jatuh dalam helai-helai ayat denotatif yang
hanya meruyak perbedaan-perbedaan sosiologis umat. Kitab suci
diposisikan sebagai kumpulan leksikal yang mempermanenkan
'perbedaan menjadi permusuhan' tanpa mau peduli dengan realitas
keumatan yang semakin kompleks. Agama gagal menggali lebih dalam
aspek esetorik yang dimilikinya dan menjadikannya ”puisi” yang bisa
meruntuhkan perbedaan instrumental di antara agama-agama.
Normativitas itu telah membunuh renyut sejarah agama yang memiliki
tujuan utama pada pencerdasan, kedamaian, perbaikan moralitas, dan
kasih-sayang, di samping fungsi teologis dan transedentalnya.
Kedua, dalam konteks keindonesiaan, negara tidak hadir – seperti
diungkap dalam tulisan Stanley Adi Prasetyo – dengan perangkat legal
yang dimilikinya untuk menjunjung tinggi HAM yang telah diakui negara
ini sebagai salah satu fondasi kenegaraannya. Akibat sikap absen negara
itu, pada tahun 2010 saja ada 216 pelanggaran kebebasan beragama yang
terjadi dan menyebar di 20 provinsi. Dengan pekatnya pemberitaan
pelanggaran kebebasan beragama tahun ini, bisa jadi angkanya jauh
melesat.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan menjadi salah
satu produk undang-undang yang menjadi prioritas di masa awal
reformasi, menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.
Bahkan pada tahun 2005, efek dari lahirnya kesepakatan Helsinki antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah
diwajibkan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights/ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights/ICCPR). Kedua kovenan itu telah menjadi UU No. 11 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Ekosob dan UU No. 12 tahun 2005 tentang

117
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme

Pengesahan Kovenan Sipol, sejak 28 Oktober 2008.


Ketiga, negara ini belum masuk dalam penghayatan esensialnya
dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber moral utama berbangsa dan
bernegara. Seperti disebutkan Zuly Qodir, tokoh muda Muhammadiyah,
ideologi negara itu memang tidak sempurna dalam praktiknya selama ini,
terlebih ketika rejim di orde lalu menjadikannya sebagai alat politik
kekuasaan. Namun sesungguhnya nilai-nilai Pancasila telah memastikan
bahwa hanya dengan pluralisme, humanisme, demokrasi, dan keadilan
sosial lah negara ini tetap tegak sebagai sebuah kesatuan.
Para founding fathers ketika merumuskan fondasi dasar negara
telah memiliki permafhuman bahwa dasar ”negara sekuler” adalah pilihan
terbaik bagi Indonesia untuk meredam gonjangan sosio-kultural-politik
akibat kemajemukan yang dimilikinya. Dengan 250 etnis dan ratusan
keyakinan yang ada, baik migran atau pun lokal, Indonesia adalah pualam
kebinekaan yang harus dijaga dengan konsep yang bisa menghargai
kebinekaan itu tetap utuh dan sehat. Dan itu hanya dengan Pancasila.
Keempat, meskipun masih compang-camping di dalam, ada pesan
yang bisa dibagikan negara ini kepada dunia luar. Saat ini, dalam tulisan
Greg Barton, profesor bidang keislaman dan demokrasi dari Monash
University, Indonesia menjadi kiblat penting, terutama bagi negara-
negara Timur-tengah, pasca ”Arab Spring” yang bergulir sejak akhir tahun
lalu di Tunisia, dan kemudian merebak ke Mesir, Yaman, Oman, Suriah,
Libanon, dan Libya. Meskipun ada praktik kekerasan atas dasar agama dan
munculnya partai-partai yang berafiliasi agama di awal reformasi, namun
Indonesia tetap bisa mempertahankan diri sebagai negara demokrasi
sekuler dari dunia Islam.
Dikatakan Barton, meskipun ada aliran keras dalam komunitas
Islam di Indonesia yang memenuhi pemberitaan melalui aksinya,
termasuk (impor) terorisme, namun kebanyakan intelektual muslim
Indonesia tidak pernah goyah pada prinsip melanjutkan ide negara
sekuler. Pilihan Islam militan tidak diikuti oleh mayoritas rakyat.
Indikatornya adalah semakin mengecilnya partai-partai agama, dan mulai
berpalingnya mereka kepada ide-ide inklusif dan pluralisme, termasuk dari

118
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

partai-partai Islam puritan seperti PKS, PPP, dan PBB.


Buku ini juga memperlihatkan ada hal-hal yang mungkin ”dilihat
namun tidak pernah terperhatikan”, seperti efek negatif politik Syariat
Islam di Aceh atau adanya komunitas Yahudi di daerah Serambi Mekkah
itu, seperti yang diulas oleh Teuku Cut Mahmud Aziz. Realitas itu sering
tertutupi debu mayoritas dan kesadaran agama yang taken for granted. Hal
ini karena agama diyakini telah final dalam segala hal, tanpa pernah
mendedah dan mengambil jarak, sehingga tidak sensitif dengan transkrip-
transkrip tersembunyi (hidden transcripts) – memakai istilah James C.
Scott – yang ada dalam realitas sosio-antropologis kita.
Di antara transkrip tersembunyi itu adalah masalah pendirian
gereja di Jakarta, yang merupakan hasil riset dalam buku kedua. Polemik
pendirian gereja menjadi sampel untuk melihat masalah dari kelompok
minoritas, yaitu antara umat Islam sebagai mayoritas dan Kristen-Katolik
sebagai minoritas.
Ada dinamika yang unik dalam hubungan keduanya dalam
rentang sejarah Indonesia. Ada proses yang terputus-putus dalam relasi
yang bersifat kooperatif, namun ada juga lonjakan kompetisi dan konflik
di tengah-tengahnya. Memang kehadiran agama ini di Nusantara
bersamaan dengan sejarah kolonialisme, sejak masa Portugis (1522-1590-
an)–yang menyebarkan Katolik hingga Belanda yang mengembangkan
Kristen Protestan–termasuk ketika mereka membentuk VOC (1602 –
1799). Atau terkait dengan perjumpaan budaya Barat di Nusantara.
Itulah salah satu yang menjadi stigma yang sulit dihilangkan dalam relasi
dengan mayoritas.
Sejarah ini kemudian mengidentikkan agama Kristiani sebagai
agama penjajah, meskipun dalam dokumentasi sejarah disebutkan gereja
termasuk cepat mengambil jarak dengan Belanda setelah proklamasi
kemerdekaan 1945, dengan maksud agar para misionaris tidak
diperlakukan sama dengan Belanda. Bahkan perkembangan agama
Kristen berkembang cepat setelah 1949, yang menunjukkan bahwa ada
proses pembaruan sosial-budaya atau inkulturasi yang berhasil dilakukan
dengan penduduk tempatan.

119
TINJAUAN Langkah Gontai Menuju Pluralisme

Namun ada memori permusuhan yang menyalak, terutama ketika


pendirian gereja terjadi. Ini tak lain karena masih ada trauma isu
kristenisasi, yang muncul secara periodik dalam rentang sejarah Indonesia
merdeka, termasuk menjelang akhir kekuasaan Orde Lama yang
disebarkan oleh para tokoh Muhammadiyah seperti Bisron A. Wardy,
Djarnawi Hadikusumo, dan Hasbullah Bakri. Bahkan ada gelombang
kristenisasi yang cukup besar yang terjadi pada masa transisi Orde Lama ke
Orde Baru, di tengah prahara kemanusiaan, pembantaian massa pengikut
PKI. Hal itu terjadi karena ada kekuatiran jika tidak memilih agama resmi
mereka akan dituduh ateis atau komunis.
Sensus penduduk 1971 menunjukkan bahwa penduduk
beragama Kristen di Indonesia menjadi 7,5 persen atau hampir 9 juta jiwa,
meningkat jauh dari sensus 1933, yang hanya 2,8 persen atau kurang dari 2
juta jiwa. Data ini mengejutkan di kalangan umat Islam tapi tidak secara
kritis dilihat sebagai akibat trauma pembantaian PKI yang secara eksesif
“dilakukan” oleh ormas Islam sehingga terjadinya migrasi kelompok
“abangan” kepada agama Kristiani.
Memasuki dekade kedua pada milenium ketiga ini, umat Kristen
di Jakarta masih meghadapi kendala pendirian rumah ibadah. Salah satu
curah masalah ternyata berasal dari regulasi SKB Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang
Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban
dan Kelancaran Pelaksanaaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh
Pemeluk-Pemeluknya dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9/8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Regulasi ini dianggap menindas bagi kelompok minoritas dan
memberikan ruang arogansi bagi mayoritas.
Meskipun demikian dari hasil penelitian buku ini tersimpulkan,
tidak dalam semua hal mayoritas menjadi tersalah, karena ada juga izin
pendirian gereja yang sejak awal sudah bermasalah. Termasuk tidak semua
masalah akan terhunjam konflik, tergantung sikap pejabat
pemerintahnya. Jika sebuah daerah memiliki aparat yang mampu

120
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

melakukan mediasi dan memproses penyelesaian secara adil, tentu tidak


akan ada ruah diskriminasi yang menyakitkan hati.
Dua buku ini mengingatkan kita bahwa jalan menuju masyarakat
pluralistik dan demokratis, yang menghargai perbedaan tanpa perlu
bersungut dendam, masih sungguh panjang. Sepanjang rencana jembatan
Jawa-Sumatera yang belum terancang, akibat trauma tenggelamnya
jembatan Kutai-Tenggarong, yang tak lain karena rencana awal sudah
pincang.
Pluralisme hanya bisa ditegakkan dengan kejujuran dan
keikhlasan hati. Tak akan berhasil hanya dengan retorika, politik, dan
mobilisasi.

121
Pelajaran dari Pembantaian My Lai
Yosep Adi Prasetyo

Judul : Massacre at My Lai Four


Format : DVD, Blue Ray
Durasi : 112 menit
Sutradara : Giani Paolucci
Pemain : Alvin Anson, Gianluca
Baldari, Beau Ballinger
Produksi : Moonlight Interuction Film,
Lionsgate, Warner Bros
Pictures, dan Sony Pictures,
2011

Dari sisi hak asasi manusia (HAM), film ini adalah sebuah dokumentasi
penting mengenai kejahatan yang terjadi saat Perang Vietnam, akhir
dekade 1960an. Film ini diangkat dari sebuah fakta yang awalnya coba
ditutup-tutupi oleh Pemerintah Amerika Serikat. Namun berkat berbagai
liputan dan protes, akhirnya digelar upaya pengadilan militer untuk
mengadili mereka yang dianggap bertanggung jawab.
Film yang diangkat berdasar tulisan wartawan Amerika pemenang
Pulitzer pada 1970, Seymour Hersh, ini sesungguhnya sebuah film Italia.
Sutradaranya, Giani Paolucci, berkewarganegaraan negeri Menara Pisa itu.
Demikian sejumlah pemeran utamanya. Mungkin tak ada orang Amerika
yang tertarik untuk menfilmkan kisah horor ini.
Massacre at My Lai dibuat melalui persiapan panjang, studi yang
mendalam, termasuk pemilihan lokasi dan kostum para pemainnya.
Sutradara terlihat berupaya keras menghidupkan kembali medan perang
Vietnam dan gaya orang, terutama para tentara Amerika pada saat itu. Ini
tampak dari latar pengambilan gambar, sungai, sawah, gubuk dan kerbau,
keadaan alam terutama hutan hujan tropisnya, dibuat mirip seperti

123
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai

Vietnam. Padahal lokasi syutingnya di Filipina yang memang punya


kondisi alam seperti Vietnam.
Film ini selesai diproduksi pada 2009 dan baru tayang pada 2011.
Pada 2011 film ini mendapat penghargaan bergengsi sebagai the Best
Motion Picture of the Year Academy Award 2011. Ada banyak adegan
dalam film ini merupakan rekayasa ulang atas momen-momen bersejarah
yang diabadikan secara otentik oleh seorang fotografer tentara yang berada
di lokasi saat kejadian.
Film ini bercerita tentang penggalan cerita panjang tentang
pembantaian yang dilakukan oleh tentara AS terhadap ratusan warga sipil
Vietnam tidak bersenjata, dan kebanyakan perempuan dan anak-anak,
pada 16 Maret 1968, pada saat Perang Vietnam. Pembantaian ini menjadi
lambang kejahatan perang Amerika di Vietnam. Kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan tentara Amerika Serikat ini segera membangkitkan
kemarahan di seluruh dunia serta mengurangi dukungan masyarakat di
dalam negeri terhadap perang itu sendiri. Peristiwa ini kadangkala juga
dikenal dengan nama Pembantaian Son My atau Pembantaian Song My.
Babakan dalam film ini tergolong pendek. Hanya bercerita
tentang patroli Kompi C yang dihadang serangan dan dua hari kemudian
mereka melakukan penyerangan atas desa-desa yang ditengarai menjadi
basis dukungan bagi musuh. Film ini menampakkan sisi kekejaman satuan
tentara yang dilatih untuk membunuh dan memusnahkan musuh. Di sisi
lain juga menampakkan sebagian wajah humanis manusia yang muak
dengan kekejian sejawatnya, sesama tentara.

Terjadinya Pembantaian
Empat puluh tiga tahun lalu, tepatnya pada 16 Maret 1968, sejumlah
pasukan tentara Amerika Serikat memasuki kawasan Desa My Lai. Mereka
merupakan bagian pasukan yang sedang melakukan operasi pembersihan
besar-besaran terhadap para gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan
Rakyat dan kader-kader lainnya dari Front Nasional untuk Pembebasan
Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC" oleh pasukan
AS.

124
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Desa My Lai secara tidak resmi disebut pinkville. Sebutan ini


merujuk pada tanda merah jambu desa tersebut pada peta militer AS.
Provinsi ini sebenarnya sudah dalam keadaan hancur-lebur karena sering
dibom dan ditembaki oleh tentara Amerika. Bahkan bisa dikatakan
memasuki tahun 1968 hampir semua rumah di seluruh provinsi ini telah
hancur atau rusak.
Pihak militer Amerika di Vietnam menganggap penting untuk
memusnahkan para tenaga lapangan FNPV. Militer Amerika tidak
mengukur sukses dari banyaknya wilayah atau lokasi strategis yang direbut
(misalnya), melainkan berdasar 'jumlah mayat' orang yang dicurigai
sebagai tenaga lapangan FNPV yang terbunuh. Para tentara dianjurkan
oleh atasan mereka untuk melebih-lebihkan perhitungan yang meninggal
guna memberikan kesan keberhasilan militer. Karena tekanan itu, dan
kenyataannya seringkali para tenaga lapangan FNPV sulit sekali
dibedakan dari rakyat biasa, seringkali ada kesenjangan yang sangat luas
antara jumlah mayat yang dilaporkan dalam suatu misi tertentu dengan
jumlah senjata musuh yang direbut.
Seorang profesor hukum Universitas Missouri, Kansas, Doug
Linder, menyatakan bahwa para tentara Amerika menyebarkan lelucon
tentang "apapun yang mati dan bukan putih adalah VC (Viet Cong)".
Memang tidak diragukan bahwa banyak warga sipil yang terbunuh di
provinsi itu, sehingga semakin membakar yang sudah ada di wilayah
tersebut.
Para pemberontak kadang-kadang ditampung dan dilindungi
oleh warga sipil di daerah itu. Banyak tentara Amerika yang menjadi
frustrasi karena keterlibatan rakyat setempat. Ditambah dengan
ketidakmampuan mereka untuk mengejar musuh yang selalu lolos dan
meluasnya rasa ketakutan akan disergap. Kemarahan ini semakin
menambah kemungkinan mereka melakukan balas dendam yang kejam
terhadap warga sipil.
Pada Januari 1968, Batalyon 48 dari FNPV melakukan serentetan
serangan terhadap Quang Ngai. Intelijen militer AS menyimpulkan
bahwa Batalyon 48 ini, setelah mengundurkan diri, berlindung di desa Son

125
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai

My. Sejumlah kampung tertentu di desa itu—yang dinamai sebagai My Lai


1, 2, 3 dan 4 (yang dijuluki Pinkville)—dicurigai sebagai tempat
berlindung anggota batalyon itu. Pasukan AS kemudian merencanakan
serangan besar-besaran terhadap kampung-kampung itu. Rencana ini
melibatkan sebuah satuan setingkat kompi, yaitu Kompi C yang
merupakan bagian dari Brigade ke-11 Divisi Amerika.1
Pada malam menjelang serangan itu, Kompi C dinasihati oleh
komando militer AS bahwa warga yang benar-benar sipil di My Lai akan
meninggalkan rumah mereka untuk pergi ke pasar pada pukul 07.00 pagi
hari. Mereka menyimpulkan bahwa semua orang yang tinggal di rumah
pasti Viet Cong atau simpatisan aktifnya. Mereka diperintahkan untuk
menghancurkan desa itu. Pada saat briefing, Kapten Ernest Medina
ditanya apakah perintah itu termasuk membunuh kaum perempuan dan
anak-anak. Mereka yang hadir dalam briefing itu belakangan memberikan
jawaban yang berbeda-beda tentang tanggapan Medina.
Pasukan AS yang tiba di desa itu pada pagi hari 16 Maret 1968 tak
menemukan pemberontak satu pun. Para tentara itu, satu peleton yang
dipimpin oleh Letnan William Calley,2 kemudian mengumpulkan
ratusan penduduk di sebuah lapangan kecil. Penduduk yang terdiri dari
anak-anak, perempuan, balita, dan dan kaum lansia ini kemudian ditanyai
apakah ada di antara mereka yang tahu tentang Viet Cong dan apakah
mereka menyembunyikannya. Tak ada satu pun penduduk yang menjawab
dan menunjuk keberadaan anggota Viet Cong. Karena habis kesabaran,
Letnan Callay mengeluarkan perintah pada anak buahnya untuk
bertindak. Ratusan warga sipil dibunuh dengan cara ditembaki. Sebagian
disiksa atau diperkosa. Lusinan digiring ke sebuah lubang dan ditembak
mati dengan senjata otomatis. Pada satu kesempatan, Calley

1. Kompi C ini disebut sebagai Charlie Company tiba di Vietnam pada Desember 1967. Selama bulan-bulan pertama mereka di
Vietnam, Kompi C belum pernah melakukan kontak senjata secara langsung dengan musuh.
2. Calley lahir di Miami, Florida, dan gagal Dari Palm Beach Junior College sebelum mendaftar di Angkatan Darat. Ia menjadi
letnan dua pada September 1967, tak lama setelah pergi ke Vietnam. Calley seorang perokok berat yang menghabiskan empat
bungkus rokok setiap hari. Tubuhnya tergolong jangkung dan ramping dengan mata abu-abu tanpa ekspresi. Teman-
temannya menggambarkan Calley sebagai orang "koboi” di angkatan darat.

126
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

mengungkapkan maksudnya untuk melemparkan sejumlah granat ke


sebuah liang yang penuh dengan warga desa.3
Pengakuan atas jumlah korban peristiwa tersebut masih
menimbulkan tanda tanya. Jumlah korban yang pasti berbeda-beda dari
sumber yang satu ke sumber lainnya. Yang paling sering disebut adalah 347
dan 504 korban. Sebuah peringatan di tempat pembantaian itu
mencantumkan 504 nama, dengan usia korban antara 82 tahun yang
paling tua hingga 1 tahun yang paling muda. Menurut laporan seorang
letnan Angkatan Darat Vietnam Selatan kepada para atasannya, ini adalah
suatu insiden pertumpahan darah yang "mengerikan" oleh suatu pasukan
bersenjata yang berusaha melampiaskan kemarahannya.
Seorang awak helikopter Angkatan Darat AS berupaya
menyelamatkan sejumlah warga sipil dengan cara mendarat di antara
pasukan-pasukan Amerika dan sisa-sisa orang Vietnam yang bersembunyi
di lubang perlindungan. Penerbang berusia 24 tahun dibantu dua anggota
lainnya dari awak helikopter itu mencoba melakukan evakuasi warga desa
dan berhasil menyelamatkan sekurang-kurangnya 11 jiwa. Namun tentara
AS tak lama setelah peristiwa itu justru mengecam pilot dan awak
helikopter itu sebagai pengkhianat.4

Terbongkarnya Kejahatan
Terbongkarnya insiden My Lai ini berawal mula dari penelitian yang
dilakukan oleh Komandan Brigade Infantri Ringan ke-11, Kolonel Oran

3. Data ini banyak diungkap media di Amerika Serikat sepanjang 1969-1970. Liputan yang menonjol adalah liputan yang
diturunkan oleh majalah Time, majalah Newsweek, majalah Life, dan majalah The New Yorker. Lihat juga Seymor M.
Hersh, Cover-up: the Army's Secret Investigation of the Massacre at My Lai, Random House, 1972. Pada mulanya potongan
cerita tentang pembantaian My Lai ditulis Hersh dan dimuat di St Louis Post-Dispatch pada tanggal 13, 20 dan 25
November 1969. Hersh sendiri memenangkan Penghargaan Pulitzer pada tahun 1970. Seymour Hersh, setelah percakapan
mendalam dengan Ridenhour, membuka cerita My Lai pada 12 November 1969, dan pada 20 November majalah Time, Life
dan Newsweek semuanya meliput kisahnya, dan CBS menyiarkan di televisi wawancara dengan Paul Meadlo. The Plain
Dealer (Cleveland) menerbitkan foto-foto yang sangat jelas tentang penduduk desa yang mati terbunuh di My Lai.
Sebagaimana terbukti dari komentar-komentar yang dibuat pada percakapan telepon 1969 antara Penasihat Keamanan
Nasional AS Henry Kissinger dan Menteri Pertahanan Melvin Laird, yang baru-baru ini diungkapkan oleh Arsip Keamanan
Nasional (NSA), foto-foto tentang kejahatan perang itu terlalu mengejutkan para perwira senior hingga mereka tidak bisa
dengan efektif menutup-nutupinya. Menteri Pertahanan Laird terdengar mengatakan, "Ada terlalu banyak mayat anak-anak
yang berserakan di sana; foto-foto ini memang otentik.”
4. Sang pilot yang mengancam akan membuka peristiwa pembantaian dengan cara memberikan kesaksian akhirnya tewas
terbunuh setelah sebelumnya pesawat helikopter yang dikendarainya ditembaki. Seymor M. Hersh menyatakan bahwa si
pilot sengaja dibunuh dengan cara ditembaki dari bawah oleh pasukan AS sendiri untuk menghilangkan jejak pembantaian
My Lai. Salah satu orang yang berjasa ikut mengungkapkan kekejian My Lai adalah anak buah Callay yang juga anggota
Kompi C, yaitu jurufoto Ronald L. Haeberle.

127
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai

Henderson. Atas dasar perintah dari perwira Asisten Komandan Divisi


Amerika, Brigadir Jenderal Young, Hendersen mewawancarai sejumlah
perwira yang terlibat dalam insiden ini. Hendersen kemudian
mengeluarkan sebuah laporan tertulis pada akhir April 1969, yang isinya
menyatakan bahwa sekitar 20 warga sipil secara tidak sengaja terbunuh
pada operasi militer di My Lai. Pada saat ini tentara masih
menggambarkan peristiwa ini sebagai kemenangan militer yang
mengakibatkan kematian 128 orang pada pihak lawan.
Enam bulan kemudian, seorang perwira muda dari Infantri
Ringan ke-11 (Brigade Jagal) yang bernama Tom Glen menulis surat berisi
tuduhan terhadap Divisi America 1 dan seluruh satuan lainnya militer AS
telah melakukan perbuatan yang brutal terhadap warga sipil Vietnam.
Surat itu yang sangat rinci isinya itu berisi tuduhan yang mengerikan. Dan
surat tersebut tidak sendirian, karena isinya juga menggemakan berbagai
keluhan yang diterima dari tentara-tentara lain.
Seorang tentara di Angkatan Darat AS berpangkat mayor, Colin
5
Powell, mendapat perintah untuk mengecek dan meneliti kebenaran
surat Tom Glen, terutama yang berkaitan dengan insiden My Lai. Powell
menyimpulkan bahwa tuduhan itu tak benar. Dia kemudian menulis,
"Sebagai bantahan langsung terhadap penggambaran ini adalah kenyataan
bahwa hubungan antara tentara-tentara Amerika dan rakyat Vietnam
sangat baik." Belakangan, bantahan Powell disebut sebagai upaya
"memutihkan" berita tentang My Lai, dan pertanyaan-pertanyaan tetap
disembunyikan dari publik.
Peristiwa pembantaian My Lai itu mungkin akan lenyap dalam
sejarah bila bukan karena seorang perwira, Ron Ridenhour, yang berkirim
surat kepada Presiden Nixon, Pentagon, Departemen Luar Negeri, Kepala
Angkatan Bersenjata, dan sejumlah anggota Kongres. Berbagai salinan
suratnya dikirim pada Maret 1969, tepat setahun setelah kejadian itu.
Kebanyakan penerima surat Ridenhour mengabaikannya, kecuali anggota
Dewan Perwakilan Morris Udall. Ridenhour mengetahui tentang
kejadian-kejadian di My Lai lewat orang lain, melalui pembicaraan dengan
mantan anggota Kompi C, saat ia masih aktif menjadi tentara.

5. Di kemudian hari Collin Powel menjadi tokoh militer AS terkemuka dan kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri
AS. Pada 4 Mei 2004, Powell, yang saat itu merupakan Menteri Luar Negeri AS, berkata kepada Larry King,dalam sebuah
wawancara di TV CNN , "Maksud saya, saya berada dalam kesatuan yang bertanggung jawab atas My Lai. Saya tiba di sana
setelah My Lai terjadi. Jadi, dalam peperangan, hal-hal yang mengerikan seperti ini sesekali terjadi, namun semuanya itu harus
disesali."

128
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Mahkamah Militer
Letnan William Calley akhirnya dihadapkan ke mahkamah militer dan
didakwa melakukan sejumlah pembunuhan terencana, September 1969.
Menyusul setelah itu sebanyak 25 perwira lain ikut didakwa dengan
kejahatan terkait. Namun, baru dua bulan kemudian publik Amerika
mengetahui tentang pembantaian dan peradilan itu.
Pada 17 Maret 1970, Angkatan Darat Amerika Serikat mendakwa
14 perwiranya yang dianggap telah menyembunyikan informasi berkaitan
dengan insiden My Lai. Kebanyakan dari dakwaan ini kemudian
dibatalkan. Letnan William Calley kemudian dinyatakan bersalah pada
1971. Dia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan terencana dengan
memerintahkan penembakan kepada anak buahnya. Calley mulanya
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dua hari kemudian Presiden
Richard Nixon memerintahkan supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara
untuk menjalani tahanan rumah selama 3,5 tahun di markasnya di Fort
Benning, Georgia. Seorang hakim federal kemudian memerintahkannya
bebas.
Calley mengklaim bahwa dia cuma mengikuti perintah dari
kaptennya, Ernest Medina. Namun Medina menyangkal bahwa ia telah
memberikan perintah itu. Medina sendiri dibebaskan dalam peradilan
yang terpisah. Kebanyakan dari para perwira yang terlibat dalam Insiden
My Lai ini tidak mendaftar lagi sebagai anggota militer. Dari 26 orang yang
mula-mula dikenai dakwaan, Letnan Calley adalah satu-satunya yang
dinyatakan terbukti bersalah.
Berita tentang pengadilan yang mengungkap kekejian di My Lai
ini menimbulkan kecaman luas terhadap kebijakan AS dalam Perang
Vietnam. Hal ini juga yang membangkitkan kemarahan gerakan
perdamaian Amerika yang saat itu tengah dikobarkan oleh kaum muda
yang menamakan diri sebagai generasi bunga (flower generation). Mereka
menuntut penarikan mundur semua pasukan AS dari Vietnam. Hal ini
juga menyebabkan lebih banyak calon wajib militer yang mendaftarkan
diri sebagai penentang perang Vietnam berdasarkan nurani. Mereka yang
telah selamanya menentang perang merasa menang.

129
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai

Sejak pengungkapan pembantaian My Lay ini terjadi pergeseran


yang lebih besar pada sikap masyarakat umum terhadap perang Vietnam.
Orang yang sebelumnya tidak tertarik akan perdebatan perang/damai
mulai menganalisis masalahnya dengan lebih cermat. Kisah-kisah
mengerikan tentang prajurit-prajurit yang lain mulai ditanggapi lebih
sungguh-sungguh, dan berbagai pelanggaran muncul ke permukaan.

Pelajaran Penting dari Film My Lai


Pengadilan terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas
pembantaian My Lai sangat menarik. Risalah-risalah persidangan dan
berbagai kliping berita yang mudah diakses melalui internet perlu
dipelajari dan didiskusikan kembali.
Kalangan militer, termasuk militer di Indonesia, kerap
mengabaikan HAM. Militer beranggapan yang lebih mengikat kerja-kerja
dalam kemiliteran adalah hukum humaniter. Jelas ini adalah pandangan
yang salah, karena pada dasarnya terdapat persinggungan antara hukum
humaniter dan HAM
Penerapan HAM pada dasarnya lebih ditekankan pada situasi
damai atau bukan situasi perang, sedangkan hukum humaniter berlaku
dan diterapkan hanya dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang
diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada dua pihak atau
lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau
konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan
angkatan bersenjatanya.
Namun, sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya,
hukum humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai
tujuan yang sama, yaitu memberikan perlindungan kemanusiaan kepada
mereka yang berada dalam situasi yang lemah. Dalam konteks hak asasi
manusia, misalnya, yang berada dalam situasi lemah adalah warga negara
yang dihadapkan dengan pihak penguasa. Sedangkan dalam konteks
hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil
serta “combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak

130
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang.


Berikut adalah bagan persinggungan antara hukum humaniter
internasional dan hukum hak asasi manusia:

Bagan 1
Persinggungan Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum HAM

Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum


humaniter serta prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait
dengan hukum pidana internasional. Tentu saja tidak semua pelanggaran
hak asasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup hukum pidana
internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter (atau
yang biasa disebut dengan kejahatan perang) termasuk dalam lingkup
hukum pidana internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi
manusia tertentu saja yang termasuk dalam lingkup hukum pidana
internasional, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang
keduanya dikategorikan sebagai ”gross violation of human rights” atau
pelanggaran berat hak asasi manusia.

131
TINJAUAN Pelajaran dari Pembantaian My Lai

Sedangkan Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Jenewa,


Hukum Den Haag, dan Hukum Campuran. Konvensi Jenewa IV
mengatur tentang perlindungan kepada penduduk sipil dalam
peperangan. Sebelum tahun 1949 Hukum Humaniter belum dapat
diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil, sehingga pada tahun 1949
disetujui Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan kepada penduduk
sipil dalam peperangan, dalam konvensi tersebut menegaskan bahwa:
setiap orang mempunyai hak dan jaminan asasi yang harus dihormati
tanpa diskriminasi.

132
dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011

Daftar Pustaka
Anderson, David L. (1998) Facing My Lai: Moving Beyond the Massacre
University Press of Kansas: Lawrence, Kansas — wawancara
mendalam dengan mereka yang ikut diadili dan para anggota
militer.
Belknap, Michal R. (2002) The Vietnam War on Trial: The My Lai
Massacre and the Court-Martial of Lieutenant Calley. University
Press of Kansas.
Bilton, Michael and Sim, Kevin. (1992) Four Hours in My Lai New York:
Viking, 1992.
Chomsky, Noam. After Pinkville, Bertrand Russell War Crimes Tribunal
on Vietnam, 1971
Colburn, Lawrence and Paula Brock. —, Seattle Times, 10 Maret 2002
Department of the Army. Report of the Department of the Army Review
of the Preliminary Investigations into the My Lai Incident (The
Peers Report), Volumes I-III (1970).
Gershen, Martin. (1971) Destroy or Die: The True Story of My Lai New
York: Arlington House.
Goldstein, Joseph. (1976) The My Lai Massacre and its Cover-Up New
York: Free Press.
Hammer, Richard. (1971) The Court-Martial of Lt. Calley New York:
Coward.
Hersh, Seymour M. (1972). Cover-up: the Army's secret investigation of
the massacre at My Lai 4. Random House
Hersh, Seymour M. (1970). My Lai 4: A Report on the Massacre and Its
Aftermath. Random House.
Olson, James S. and Roberts, Randy (eds.) (1998) My Lai: A Brief History
with Documents, Palgrave MacMillan.
Peers, William. (1979) The My Lai Inquiry New York: Norton.
Sack, John. (1971) Lieutenant Calley: His Own Story New York: Viking.
University of Missouri-Kansas City Law School. The My Lai Courts-
Martial, 1970.

133
KONTRIBUTOR
KONTRIBUTOR
Teuku Kemal Fasya
Dosen Universitas Malikussaleh, Banda Aceh, dan sering menjadi
fasilitator kegiatan-kegiatan sosial bertema pluralisme agama, demokrasi,
dan resolusi konflik. Kemal juga sering menulis kolom di berbagai media
dengan tema-tema tersebut.

Yosep Adi Prasetyo


Wakil Ketua I Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
terlibat lama dalam banyak organisasi yang bergerak pada isu hak asasi
seperti Demos, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), maupun Elsam.

Willy Purna Samadhi


Mahasiswa program master Demokrasi dan HAM, Jurusan Politik dan
Pemerintahan, Fisipol UGM Yogyakarta, dan anggota Perkumpulan
DEMOS Jakarta
Email: willy.purnasamadhi@yahoo.com. Twitter: @wpsamadhi.

Yudi Latif
Intelektual muda Islam, saat ini menjabat Direktur Eksekutif Reform
Institute. Yudi juga menduduki jabatan Kepala Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia).

Ade Armando
Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia. Penulis memperoleh gelar Doktor untuk
Ilmu Komunikasi pada 2006, pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran
Indonesia (2004-2007), dan kini menjadi pengurus Yayasan Wakaf
Paramadina sekaligus Pemimpin Redaksi Madina online.

Noer Fauzi Rachman


memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, Amerika
Serikat, dalam bidang Environmental Science, Policy and Management.
Saat ini Oji mengajar studi agraria dan kebijakan pertanahan di

137
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, dan aktif sebagai Majelis Pakar
di Sajogyo Institute.

Roichatul Aswidah
Menjabat sebagai deputi riset Demos, lembaga kajian demokrasi dan hak
asasi. Roi lama bekerja sebagai peneliti di Komnas HAM. Saat ini juga
sebagai Sekretaris Badan Pengurus Perkumpulan ELSAM.

Mujiburrahman
Dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin.
Mujib kerap terlibat dalam kegiatan terkait pluralisme dan keislaman.

Laksmi Savitri
Memperoleh gelar PhD dari Kassel University, Germany, dalam bidang
Kajian Gender dan Agraria. Saat ini Savitri menjabat Direktur Sajogyo
Institute.

138
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman
sebagai berikut:
l Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang
sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar
tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma
kalangan hukum saja.
l Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang
memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum
mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup,
yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Kata-kata seperti
retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga
kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum
perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami.
l Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by
ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran.
Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa
Indonesia, tak masalah.
l Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam
penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah.
Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus
fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan.
l Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar
20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik
TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra,
pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter.
l Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau footnote,
bukan catatan akhir atau endnote dan catatan perut.
- Contoh catatan kaki untuk sumber buku:
Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama,
( Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143.
- Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau
kumpulan tulisan:
- Moh. Mahfud MD, “Komisi Yudisial dalam Mozaik

139
Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi
Yudisial dan Reformasi Peradilan, ( Jakarta: Komisi Yudisial,
2007), hal 7.
Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh:
l
- Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara
Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan
l
pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah,
judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal,
Majalah Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung
atas kasus gugatan Suharto.
Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [“….”]. Seperti contoh:
l
Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul
“Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi
institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan.

Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamat


email office@elsam.or.id dengan melampirkan biodata. Redaksi
menyediakan honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat.

140
PROFIL ELSAM
(LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research


and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan,
berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta.
Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan,
memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi
manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD
1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun
tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan
masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM).

VISI
Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.

MISI
Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang
memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak
ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.

KEGIATAN UTAMA:
1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;
2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;
3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan
4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia

PROGRAM KERJA:
1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka
Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan.
2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar,
Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai
Bentuknya.
3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan
Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas dan
Akuntabilitas Lembaga.

141
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM
Badan Pengurus:
Ketua: Sandra Moniaga, SH
Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH
Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA
Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA
Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM

Anggota Perkumpulan:
Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir.
Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA;
Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini
Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd;
Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo

Pelaksana Harian:
Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM
Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi
Hukum: Wahyu Wagiman SH.
Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi
Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH
Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE
Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional:
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS

Staf Pelaksana Program bidang Advokasi Hukum:


Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SH
Staf Senior Pelaksana Program Bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:
E. Rini Pratsnawati
Staf Pelaksana Program bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:
Wahyudi Djafar, SH
Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi:
Paijo, Sukadi, Ari Yurino

Staf Keuangan:
Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE
Kasir:
Maria Ririhena, SE
Sekretaris:
Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS
Kepala bagian umum:
Khumaedy
Staf bagian rumah tangga:
Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim
Staf bagian transportasi:
Ahmad Muzani
Staf bagian keamanan:
Elly F. Pangemanan

Alamat:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA
Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519
Email: office@elsam.or.id; Website: www.elsam.or.id

142
FOKUS
Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan Agenda Studi
Gerakan Agraria
oleh Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri

Akar -akar Konflik Intra Umat Islam Indonesia


oleh Mujiburrahman

Ketika Korban Menjadi ‘Setan’:


Kasus Pengadilan Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik
oleh Ade Armando

DISKURSUS
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme
oleh Yudi Latif

Hak Asasi Manusia Solusi Menghadang Fundamentalisme


oleh Roichatul Aswidah

Politisasi Demokrasi:
Memperluas Partisipasi Politik dan Memperbaiki Representasi
oleh Willy Purna Samadhi

TINJAUAN
Langkah Gontai Menuju Pluralisme
oleh Teuku Kemal Fasya

Pelajaran dari Pembantaian My Lai


oleh Yosep Adi Prasetyo

Alamat Redaksi:
ELSAM - Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta 12510 INDONESIA
Tel: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564
Fax: (+62 21) 7919 2519
Email: office@elsam.or.id
Website: www.elsam.or.id

Anda mungkin juga menyukai