Anda di halaman 1dari 2

SOLOPOS / Edisi : Sabtu, 15 Agustus 2009 , Hal.

Kemerdekaan bukan akhir perjuangan

Tanggal 17 Agustus 2009 besok, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-64.
Kemerdekaan adalah bagian integral dari nilai kemanusiaan. Bahkan seorang filsuf dari Prancis, Jean
Paul Sartre, secara paradoksal menyatakan bahwa kemerdekaan adalah takdir bagi manusia.

Artinya, kemerdekaan melekat dalam dimensi kemanusiaan sejak lahir.


Dalam filosofi ini, kemerdekaan tidak bersifat eksternal dalam arti merupakan pemberian orang lain,
melainkan bersifat internal bahkan eksistensial karena ada dalam diri manusia dan menjadi
perwujudan martabat manusia. Karena itulah insan manapun tidak menghendaki hak vital ini dicabut
dari dirinya. Demikian halnya tidak satu pun manusia yang berhak mencabut hak ini dari seorang
individu.
Pencabutan kemerdekaan merupakan pencabutan dimensi mendasar humanisme itu sendiri. Karena
alasan utama ini pula setiap bangsa menolak penjajahan. Dalam sejarah pendirian bangsa ini, tampak
secara jelas bahwa filosofi ini pula mendasari para pendiri negeri kita untuk menolak kolonialisme dan
penjajahan. Bung Karno adalah salah satu dari sekian the founding fathers bangsa ini yang secara
tegas menyatakan hal itu.
Bagi kelangsungan pembangunan sebuah bangsa, Bung Karno bahkan lebih jauh melihat peran
kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah jembatan emas. Penempatan kemerdekaan sebagai jembatan
emas mengisyaratkan bahwa kemerdekaan bukanlah menjadi akhir sebuah perjuangan, melainkan
sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan yang luhur.
Dalam bingkai berpikir ini, kemerdekaan bukanlah sebuah kondisi statis, melainkan sebuah kondisi
yang bersifat dinamis (sesuatu yang hidup) dan progresif (mengedepankan kemajuan) serta
konstruktif (bernilai). Sebagai sebuah kondisi dinamis dan progresif serta konstruktif, kemerdekaan
tidak akan bermakna tanpa diisi dengan tindakan-tindakan yang berarti dan berbasis pada nilai-nilai
kemanusiaan.
Selain tiga sifat di atas, pemikiran Bung Karno tentang makna kemerdekaan Indonesia tidak bersifat
partikular dalam arti kemerdekaan itu hanya menjadi milik dari dan dirasakan oleh segelintir orang
atau kelompok tertentu. Artinya, kemerdekaan sebagai bangsa adalah milik semua orang.
Tekanan universalitas kemerdekaan ini memiliki implikasi etis yang sangat luas, termasuk hasil-hasil
pembangunan yang merupakan pengisian terhadap kemerdekaan haruslah menjadi milik semua
warga masyarakat. Itu berarti seluruh anggota masyarakat negeri ini memiliki hak untuk
mendapatkan kesejahteraan.
Karena itu pula, Bung Karno sejak awal sangat tegas menolak ideologi-ideologi ekonomi bersifat
partikularistik dan hegemonistik seperti monopoli, kapitalisme, dan egalitarianisme. Semua ideologi
ekonomi ini tidak mengindahkan keadilan sosial dan humanitas. Karena itulah, filosofi yang
didengungkan Bung Karno adalah ”semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya- tetapi semua buat semua,” (bdk,
Bung Karno: Wacana Konstitusi dan Demokrasi, Grasindo, 2001).

Memaknai kemerdekaan
Menyambut HUT ke-64 Kemerdekaan ini, bagaimana kita bisa memaknai kemerdekaan ini? Menurut
penulis, ada dua hal yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memaknai peringatan ini. Bahan
refleksi pertama, sejauh mana rasionalitas telah mendapat tempat dalam masyarakat.
Merujuk pada pemikiran Immanuel Kant, seorang filsuf dari Jerman, satu ciri penting dari manusia
merdeka adalah memaksimalkan penggunaan akal budi (vernunft) dalam seluruh perilaku hidup baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas. Kant bahkan lebih jauh menjadikan rasionalitas
sebagai ukuran kedewasaan.
Dalam konteks hidup bersama, rasionalitas ini juga menjadi ciri penentu kedewasaan sebuah
komunitas bangsa. Artinya, masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang seluruh aktivitasnya
berpijak pada akal budi.
Dua argumen utama mengapa akal budi menjadi modal penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Argumen pertama diletakkan pada sisi utama kemanusiaan itu sendiri. Kant sadar betul bahwa hidup
menurut bimbingan akal budi merupakan perwujudan nilai hakiki dari kemanusiaan.
Bahkan elemen humanisme inilah yang memberikan makna bagi kemerdekaan, karena ciri orang
merdeka ada pada kemampuan untuk mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari
tindakannya bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain, orang merdeka adalah orang
yang mampu mengambil keputusan yang bermutu. Dalam relasi sosial justru ini sangat penting.
Argumen kedua bersandar pada dampak positif pemaksimalan penggunaan rasio itu sendiri. Kant
mengandaikan bahwa kalau semua orang bisa menggunakan dalil yang sama, yakni menempatkan
akal budi sebagai titik pijak kehidupannya dan dijadikan sebagai hukum yang berlaku umum, maka
hidup bersama akan semakin bermakna.
Artinya, kalau semua orang menjadikan ini sebagai hukum pribadi dan karena itu menjadi kewajiban,
atas dasar kewajiban inilah dia akan mempertimbangkan seluruh tindakannya. Hasilnya,
ketenteraman dan ketertiban bersama.
Di samping kebangkitan rasionalitas, dalam memaknai kemerdekaan, bahan refleksi kedua adalah
bagaimana rasionalitas itu diwujudkan dalam ruang publik. Akal budi di satu sisi memang bersifat
personal. Tetapi pemaknaannya membutuhkan ruang. Itu berarti apa? Kemerdekaan akan bermakna
kalau rasionalitas setiap individu mendapat ruang gerak. Dalam hal ini dua hal yang mendapat
perhatian.
Hal pertama adalah pengakuan. Agar bisa hidup, rasionalitas membutuhkan pengakuan dari ranah
publik. Itu berarti kemerdekaan setiap orang untuk mengeluarkan pendapat, aspirasi, inovasi serta
kreativitasnya memerlukan legitimasi. Tanpa ada pengakuan dari publik rasionalitas tidak berarti apa-
apa.
Hal kedua adalah ruang publik. Kualitas orang merdeka juga terungkap dalam hal sejauh mana
rasionalitas berimplementasi dalam relasi sosial seperti upaya menyelesaikan persoalan-persoalan
hidup bersama, khususnya menanggapi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang muncul.
Ketika ruang publik dikuasai oleh tindakan-tindakan yang bersifat progresif dan konstruktif, di situlah
kemerdekaan semakin bermakna. Karena yang dihidupkan adalah tanggung jawab moral dan
kepedulian terhadap orang lain. Orang merdeka akan selalu menanamkan dalam dirinya etika
kepedulian.
Jadi, kemerdekaan sesungguhnya akan semakin memiliki arti mendasar kalau dalam ranah publik
perhatian untuk menghidupkan nilai-nilai humanisme menjadi fokus utama seluruh anggota
masyarakat dalam kehidupan bersama. Modal mendasar di sini adalah kesadaran setiap individu akan
eksistensinya sebagai makhluk rasional yang membutuhkan pengakuan publik dan memerlukan ruang
publik untuk bergerak.
Pada umur 64 tahun bangsa ini, internalisasi akan filosofi ini perlu mendapat perhatian dan menjadi
bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara untuk memaknai kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia!
- Oleh : Sutrisno Guru SMPN 1 Wonogiri

Anda mungkin juga menyukai